Anda di halaman 1dari 7

Pelajaran dari Perang Badar

Kategori: Ramadhan, Sejarah Islam

27 Komentar // 7 September 2009

Saudaraku sesama muslim…


Marilah sejenak kita melakukan kilas balik terhadap berbagai peristiwa di bulan Ramadhan yang
penuh berkah ini. Kita berharap mudah-mudahan dengan mempelajari dan mengamati peristiwa
ini, kita bisa mendapatkan banyak hikmah dan pelajaran berharga bagi kehidupan kita sehari-
hari. Dua tahun setelah Nabi kita tercinta Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke
madinah, bertepatan dengan bulan Ramadhan yang mulia ini, terjadilah satu peristiwa besar
namun sering dilupakan kaum muslimin. Peristiwa tersebut adalah perang Badar.

Disebut sebagai peristiwa besar, karena perang Badar merupakan awal perhelatan senjata dalam
kapasitas besar yang dilakukan antara pembela Islam dan musuh Islam. Saking hebatnya
peristiwa ini, Allah namakan hari teradinya peristiwa tersebut dengan Yaum Al Furqan (hari
pembeda) karena pada waktu itu, Allah, Dzat yang menurunkan syariat Islam, hendak
membedakan antara yang haq dengan yang batil. Di saat itulah Allah mengangkat derajat
kebenaran dengan jumlah kekuatan yang terbatas dan merendahkan kebatilan meskipun jumlah
kekuatannya 3 kali lipat. Allah menurunkan pertolongan yang besar bagi kaum muslimin dan
memenangkan mereka di atas musuh-musuh Islam.

Sungguh sangat disayangkan, banyak di antara kaum muslimin di masa kita melalaikan kejadian
bersejarah ini. Padahal, dengan membaca peristiwa ini, kita dapat mengingat sejarah para
shahabat yang mati-matian memperjuangkan Islam, yang dengan itu, kita bisa merasakan
indahnya agama ini.

Sebelum melanjutkan tulisan, kami mengingatkan bawa tujuan tulisan bukanlah mengajak anda
untuk mengadakan peringatan hari perang badar, demikian pula tulisan tidak mengupas sisi
sejarahnya, karena ini bisa didapatkan dengan merujuk buku-buku sejarah. Tulisan ini hanya
mencoba mengajak pembaca untuk merenungi ibrah dan pelajaran berharga di balik serpihan-
serpihan sejarah perang Badar.

Latar Belakang Pertempuran

Suatu ketika terdengarlah kabar di kalangan kaum muslimin Madinah bahwa Abu Sufyan beserta
kafilah dagangnya, hendak berangkat pulang dari Syam menuju Mekkah. Jalan mudah dan
terdekat untuk perjalanan Syam menuju Mekkah harus melewati Madinah. Kesempatan berharga
ini dimanfaatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat untuk merampas
barang dagangan mereka. Harta mereka menjadi halal bagi kaum muslimin. Mengapa demikian?
Bukankah harta dan darah orang kafir yang tidak bersalah itu haram hukumnya?

Setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan harta Orang kafir Quraisy tersebut halal bagi para
shahabat:
1. Orang-orang kafir Quraisy statusnya adalah kafir harbi, yaitu orang kafir yang secara
terang-terangan memerangi kaum muslimin, mengusir kaum muslimin dari tanah
kelahiran mereka di Mekah, dan melarang kaum muslimin untuk memanfaatkan harta
mereka sendiri.
2. Tidak ada perjanjian damai antara kaum muslimin dan orang kafir Quraisy yang
memerangi kaum muslimin.

Dengan alasan inilah, mereka berhak untuk menarik kembali harta yang telah mereka tinggal dan
merampas harta orang musyrik.

Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat bersama tiga ratus sekian belas
shahabat. Para ahli sejarah berbeda pendapat dalam menentukan jumlah pasukan kaum muslimin
di perang badar. Ada yang mengatakan 313, 317, dan beberapa pendapat lainnya. Oleh karena
itu, tidak selayaknya kita berlebih-lebihan dalam menyikapi angka ini, sehingga dijadikan
sebagai angka idola atau angka keramat, semacam yang dilakukan oleh LDII yang menjadikan
angka 313 sebagai angka keramat organisasi mereka dengan anggapan bahwa itu adalah jumlah
pasukan Badar.

Di antara tiga ratus belasan pasukan itu, ada dua penunggang kuda dan 70 onta yang mereka
tunggangi bergantian. 70 orang di kalangan Muhajirin dan sisanya dari Anshar.

Sementara di pihak lain, orang kafir Quraisy ketika mendengar kabar bahwa kafilah dagang Abu
Sufyan meminta bantuan, dengan sekonyong-konyong mereka menyiapkan kekuatan mereka
sebanyak 1000 personil, 600 baju besi, 100 kuda, dan 700 onta serta dengan persenjataan
lengkap. Berangkat dengan penuh kesombongan dan pamer kekuatan di bawah pimpinan Abu
Jahal.

Allah Berkehendak Lain

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para shahabat keluar dari Madinah dengan harapan
dapat menghadang kafilah dagang Abu Sufyan. Merampas harta mereka sebagai ganti rugi
terhadap harta yang ditinggalkan kaum muhajirin di Makah. Meskipun demikian, mereka merasa
cemas bisa jadi yang mereka temui justru pasukan perang. Oleh karena itu, persenjataan yang
dibawa para shahabat tidaklah selengkap persenjataan ketika perang. Namun, Allah berkehendak
lain. Allah mentakdirkan agar pasukan tauhid yang kecil ini bertemu dengan pasukan kesyirikan.
Allah hendak menunjukkan kehebatan agamanya, merendahkan kesyirikan. Allah gambarkan
kisah mereka dalam firmanNya:

َّ ‫ق ْال َح‬
‫ق بِ َكلِ َماتِ ِه َويَ ْقطَ َع دَابِ َر‬ َّ ‫ت ال َّشوْ َك ِة تَ ُكونُ لَ ُك ْم َوي ُِري ُد هَّللا ُ َأ ْن ي ُِح‬
ِ ‫وَِإ ْذ يَ ِع ُد ُك ُم هَّللا ُ ِإحْ دَى الطَّاِئفَتَي ِْن َأنَّهَا لَ ُك ْم َوت ََو ُّدونَ َأ َّن َغي َْر َذا‬
َ‫ْال َكافِ ِرين‬

“Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang
kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai
kekekuatan senjata-lah yang untukmu (kamu hadapi, pent. Yaitu kafilah dagang), dan Allah
menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-
orang kafir.” (Qs. Al Anfal: 7)
Demikianlah gambaran orang shaleh. Harapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
shahabat tidak terwujud. Mereka menginginkan harta kafilah dagang, tetapi yang mereka
dapatkan justru pasukan siap perang. Kenyataan ini memberikan pelajaran penting dalam
masalah aqidah bahwa tidak semua yang dikehendaki orang shaleh selalu dikabulkan oleh Allah.
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, tidak ada yang mampu mengendalikan keinginan Allah.
Sehebat apapun keshalehan seseorang, setinggi apapun tingkat kiyai seseorang sama sekali tidak
mampu mengubah apa yang Allah kehendaki.

Keangkuhan Pasukan Iblis

Ketika Abu Sufyan berhasil meloloskan diri dari kejaran pasukan kaum muslimin, dia langsung
mengirimkan surat kepada pasukan Mekkah tentang kabar dirinya dan meminta agar pasukan
Mekkah kembali pulang. Namun, dengan sombongnya, gembong komplotan pasukan kesyirikan
enggan menerima tawaran ini. Dia justru mengatakan,

“Demi Allah, kita tidak akan kembali sampai kita tiba di Badar. Kita akan tinggal di sana tiga
hari, menyembelih onta, pesta makan, minum khamr, mendengarkan dendang lagu biduwanita
sampai masyarakat jazirah arab mengetahui kita dan senantiasa takut kepada kita…”

Keangkuhan mereka ini Allah gambarkan dalam FirmanNya,

ٌ‫ص ُّدونَ ع َْن َسبِي ِل هَّللا ِ َوهَّللا ُ بِ َما يَ ْع َملُونَ ُم ِحيط‬ ِ َ‫َواَل تَ ُكونُوا َكالَّ ِذينَ خَ َرجُوا ِم ْن ِدي‬
ِ َّ‫ار ِه ْم بَطَرًا َو ِرَئا َء الن‬
ُ َ‫اس َوي‬

“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa
angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah.
Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan…” (Qs. Al-Anfal: 47)

Mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu di bawah pengaturan Allah, karena
ditutupi dengan kesombongan mereka. Mereka tidak sadar bahwa Allah kuasa membalik
keadaan mereka. Itulah gambaran pasukan setan, sangat jauh dari kerendahan hati dan tawakal
kepada Yang Kuasa.

Kesetiaan yang Tiada Tandingnya

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa yakin bahwa yang nantinya akan ditemui
adalah pasukan perang dan bukan kafilah dagang, beliau mulai cemas dan khawatir terhadap
keteguhan dan semangat shahabat. Beliau sadar bahwa pasukan yang akan beliau hadapi
kekuatannya jauh lebih besar dari pada kekuatan pasukan yanng beliau pimpin. Oleh karena itu,
tidak heran jika ada sebagian shahabat yang merasa berat dengan keberangkatan pasukan menuju
Badar. Allah gambarkan kondisi mereka dalam firmanNya,

ِ ‫ق َوِإ َّن فَ ِريقًا ِمنَ ْال ُمْؤ ِمنِينَ لَ َك‬


َ‫ارهُون‬ ِّ ‫ك بِ ْال َح‬
َ ِ‫ك ِم ْن بَ ْيت‬ َ ‫َك َما َأ ْخ َر َج‬
َ ُّ‫ك َرب‬

“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal


sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya.” (Qs. Al Anfal:
5)
Sementara itu, para komandan pasukan Muhajirin, seperti Abu Bakr dan Umar bin Al Khattab
sama sekali tidak mengendor, dan lebih baik maju terus. Namun, ini belum dianggap cukup oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau masih menginginkan bukti konkret kesetiaan
dari shahabat yang lain. Akhirnya, untuk menghilangkan kecemasan itu, beliau berunding
dengan para shahabat, meminta kepastian sikap mereka untuk menentukan dua pilihan: (1) tetap
melanjutkan perang apapun  kondisinya, ataukah (2) kembali ke madinah.

Majulah Al Miqdad bin ‘Amr seraya berkata, “Wahai Rasulullah, majulah terus sesuai apa yang
diperintahkan Allah kepada anda. Kami akan bersama anda. Demi Allah, kami tidak akan
mengatakan sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Musa: ‘Pergi saja kamu, wahai Musa
bersama Rab-mu (Allah) berperanglah kalian berdua, kami biar duduk menanti di sini saja.
[1]‘” Kemudian Al Miqdad melanjutkan: “Tetapi pegilah anda bersama Rab anda (Allah), lalu
berperanglah kalian berdua, dan kami akan ikut berperang bersama kalian berdua. Demi Dzat
Yang mengutusmu dengan kebenaran, andai anda pergi membawa kami ke dasar sumur yang
gelap, kamipun siap bertempur bersama engkau hingga engkau bisa mencapai tempat itu.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan komentar yang baik terhadap
perkataan Al Miqdad dan mendo’akan kebaikan untuknya. Selanjutnya, majulah Sa’ad bin
Muadz radhiyallahu ‘anhu, komandan pasukan kaum anshar.

Sa’ad mengatakan, “Kami telah beriman kepada Anda. Kami telah membenarkan Anda.
Andaikan Anda bersama kami terhalang lautan lalu Anda terjun ke dalam lautan itu, kami pun
akan terjun bersama Anda….” Sa’ad radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan, “Boleh jadi Anda
khawatir, jangan-jangan kaum Anshar tidak mau menolong Anda kecuali di perkampungan
mereka (Madinah). Sesungguhnya aku berbicara dan memberi jawaban atas nama orang-orang
anshar. Maka dari itu, majulah seperti yang Anda kehendaki….”

Di Sudut Malam yang Menyentuh Jiwa…

Pada malam itu, malam jum’at 17 Ramadhan 2 H, Nabi Allah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam lebih banyak mendirikan shalat di dekat pepohonan. Sementara Allah menurunkan rasa
kantuk kepada kaum muslimin sebagai penenang bagi mereka agar bisa beristirahat. Sedangkan
kaum musyrikin di pihak lain dalam keadaan cemas. Allah menurunkan rasa takut kepada
mereka. Adapun Beliau senantiasa memanjatkan do’a kepada Allah. Memohon pertolongan dan
bantuan dari-Nya. Di antara do’a yang dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berulang-ulang
adalah,

“…Ya Allah, jika Engkau berkehendak (orang kafir menang), Engkau tidak akan disembah. Ya
Allah, jika pasukan yang kecil ini Engkau binasakan pada hari ini, Engkau tidak akan
disembah…..”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang-ulang do’a ini sampai selendang beliau tarjatuh
karena lamanya berdo’a, kemudian datanglah Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu
memakaikan selendang beliau yang terjatuh sambil memeluk beliau… “Cukup-cukup, wahai
Rasulullah…”
Tentang kisah ini, diabadikan Allah dalam FirmanNya,

ِ ‫ق اَأْل ْعن‬
‫َاق َواضْ ِربُوا‬ َ ‫ب الَّ ِذينَ َكفَرُوا الرُّ ْع‬
َ ْ‫ب فَاضْ ِربُوا فَو‬ ِ ‫ك ِإلَى ْال َماَل ِئ َك ِة َأنِّي َم َع ُك ْم فَثَبِّتُوا الَّ ِذينَ َآ َمنُوا َسُأ ْلقِي فِي قُلُو‬ ِ ‫ِإ ْذ ي‬
َ ُّ‫ُوحي َرب‬
)13( ‫ب‬ َ ْ ‫هَّللا‬ َ َ ‫هَّللا‬
ِ ‫ق َ َو َرسُولهُ فِإ َّن َ َش ِدي ُ•د ال ِعقا‬ َ ‫هَّللا‬ ُّ َّ ‫َأ‬
ِ ِ‫ك بِ نهُ ْم َشاقوا َ َو َرسُولهُ َو َم ْن يُ َشاق‬ َ
َ ِ‫) ذل‬12( ‫ِمنهُ ْم ك َّل بَنَا ٍن‬ ُ ْ

“Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama
kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman”. Kelak akan Aku jatuhkan
rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan
pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena
sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa menentang Allah dan
Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya.” (Qs. Al Anfal: 12-13)

Bukti kemukjizatan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam

Seusai beliau menyiapkan barisan pasukan shahabatnya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam berjalan di tempat pertempuran dua pasukan. Kemudian beliau berisyarat, “Ini tempat
terbunuhnya fulan, itu tempat matinya fulan, sana tempat terbunuhnya fulan….”

Tidak satupun orang kafir yang beliau sebut namanya, kecuali meninggal tepat di tempat yang
diisyaratkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bara Peperangan Mulai Menyala

Yang pertama kali menyulut peperangan adalah Al Aswad Al Makhzumi, seorang yang
berperangai kasar dan akhlaknya buruk. Dia keluar dari barisan orang kafir sambil menantang.
Kedatangannya langsung disambut oleh Hamzah bin Abdul Muthallib radhiyallahu ‘anhu.
Setelah saling berhadapan, Hamzah radhiyallahu ‘anhu langsung menyabet pedangnya hingga
kaki Al Aswad Al Makhzumi putus. Setelah itu, Al Aswad merangkak ke kolam dan tercebur di
dalamnya. Kemudian Hamzah menyabetkan sekali lagi ketika dia berada di dalam kolam. Inilah
korban Badar pertama kali yang menyulut peperangan.

Selanjutnya, muncul tiga penunggang kuda handal dari kaum Musyrikin. Ketiganya berasal dari
satu keluarga. Syaibah bin Rabi’ah, Utbah bin Rabi’ah, dan anaknya Al Walid bin Utbah.
Kedatangan mereka ditanggapi 3 pemuda Anshar, yaitu Auf bin Harits, Mu’awwidz bin Harits,
dan Abdullah bin Rawahah. Namun, ketiga orang kafir tersebut menolak adu tanding dengan tiga
orang Anshar dan mereka meminta orang terpandang di kalangan Muhajirin. Kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ali, Hamzah, dan Ubaidah bin Harits untuk maju.
Ubaidah berhadapan dengan Al Walid, Ali berhadapan dengan Syaibah, dan Hamzah berhadapan
dengan Utbah. Bagi Ali dan Hamzah, menghadapi musuhnya tidak ada kesulitan. Lain halnya
dengan Ubaidah. Masing-masing saling melancarkan serangan, hingga masing-masing terluka.
Kemudian lawan Ubaidah dibunuh oleh Ali radhiyallahu ‘anhu. Atas peritiwa ini, Allah
abadikan dalam firmanNya,

ْ ‫ان خَ صْ َما ِن‬


َ َ‫اخت‬
‫ص ُموا فِي َربِّ ِه ْم‬ ِ ‫هَ َذ‬
“Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling
bertengkar mengenai Rabb mereka (Allah)…” (Qs. Al Hajj: 19)

Selanjutnya, bertemulah dua pasukan. Pertempuran-pun terjadi antara pembela Tauhid dan
pembela syirik. Mereka berperang karena perbedaan prinsip beragama, bukan karena rebutan
dunia. Sementara itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di tenda beliau, memberikan
komando terhadap pasukan. Abu Bakar dan Sa’ad bin Muadz radhiyallahu ‘anhuma bertugas
menjaga beliau. Tidak pernah putus, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melantunkan
do’a dan memohon bantuan dan pertolongan kepada Allah. Terkadang beliau keluar tenda dan
mengatakan, “Pasukan (Quraisy) akan dikalahkan dan ditekuk mundur…”

Beliau juga senantiasa memberi motivasi kepada para shahabat untuk berjuang. Beliau bersabda,
“Demi Allah, tidaklah seseorang memerangi mereka pada hari ini, kemudian dia terbunuh
dengan sabar dan mengharap pahala serta terus maju dan pantang mundur, pasti Allah akan
memasukkannya ke dalam surga.”

Tiba-tiba berdirilah Umair bin Al Himam Al Anshari sambil membawa beberapa kurma untuk
dimakan, beliau bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah surga lebarnya selebar langit dan bumi?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.” Kemudian Umair mengatakan: “Bakh…
Bakh… (ungkapan kaget). Wahai Rasulullah, antara diriku dan aku masuk surga adalah ketika
mereka membunuhku. Demi Allah, andaikan saya hidup harus makan kurma dulu, sungguh ini
adalah usia yang terlalu panjang. Kemudian beliau melemparkan kurmanya, dan terjun ke
medan perang sampai terbunuh.”

Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil segenggam
pasir dan melemparkannya ke barisan musuh. Sehingga tidak ada satu pun orang kafir kecuali
matanya penuh dengan pasir. Mereka pun sibuk dengan matanya sendiri-sendiri, sebagai tanda
kemukjizatan Beliau atas kehendak Dzat Penguasa alam semesta.

Kuatnya Pengaruh Teman Dekat Dalam Hidup

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh Abul Bakhtari. Karena ketika di
Mekkah, dia sering melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang memiliki inisiatif
untuk menggugurkan boikot pada Bani Hasyim. Suatu ketika Al Mujadzar bin Ziyad bertemu
dengannya di tengah pertempuran. Ketika, itu Abul Bakhtari bersama rekannya. Maka, Al
Mujadzar mengatakan, “Wahai Abul Bakhtari, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang kami untuk membunuhmu.”

“Lalu bagaimana dengan temanku ini?”, tanya Abul Bakhtari


“Demi Allah, kami tidak akan membiarkan temanmu.” Jawab Al Mujadzar.

Akhirnya mereka berdua melancarkan serangan, sehingga dengan terpaksa Al Mujadzar


membunuh Abul Bakhtari.

Kemenangan Bagi Kaum Muslimin


Singkat cerita, pasukan musyrikin terkalahkan dan terpukul mundur. Pasukan kaum muslimin
berhasil membunuh dan menangkap beberapa orang di antara mereka. Ada tujuh puluh orang
kafir terbunuh dan tujuh puluh yang dijadikan tawanan. Di antara 70 yang terbunuh ada 24
pemimpin kaum Musyrikin Quraisy yang diseret dan dimasukkan ke dalam lubang-lubang di
Badar. Termasuk diantara 24 orang tersebut adalah Abu Jahal, Syaibah bin Rabi’ah, Utbah bin
Rabi’ah dan anaknya, Al Walid bin Utbah.

Demikianlah perang badar, pasukan kecil mampu mengalahkan pasukan yang lebih besar dengan
izin Allah. Allah berfirman,

َ‫ت فَِئةً َكثِي َرةً بِِإ ْذ ِن هَّللا ِ َوهَّللا ُ َم َع الصَّابِ ِرين‬


ْ َ‫َك ْم ِم ْن فَِئ ٍة قَلِيلَ ٍة َغلَب‬

“…Betapa banyak golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin
Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Qs. Al Baqarah: 249)

Mereka…
Mereka menang bukan karena kekuatan senjata
Mereka menang bukan karena kekuatan jumlah personilnya
Mereka MENANG karena berperang dalam rangka menegakkan kalimat Allah dan membela
agamaNya…
Allahu Al Musta’an…

Footnote:
[1] Perkataan Al Miqdad radhiyallahu ‘anhu ini merupakan cuplikan dari firman Allah surat Al
Maidah: 24

***

Penulis: Ammi Nur Baits


Artikel www.muslim.or.id

Dari artikel Pelajaran dari Perang Badar — Muslim.Or.Id by null

Anda mungkin juga menyukai