TUBERCULOSIS PARU
OLEH:
Aflin Bihar (105101100220)
Irham Ma’ruf (1051011022420)
Baso Nuzul Maqfir (105101102020)
Ahmad Yogendra Baebudi (105101102120)
Ikhsan Mursad (105505407118)
Pembimbing:
Dr. Nungki Mahesarani
Dalam kesempatan ini izinkan penulis mengucapan terima kasih kepada dosen
pembimbing, dr. Nungki Mahesarani yang telah memberikan petunjuk, arahan dan nasehat
dalam penyusunan sampai dengan selesainya laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih banyak
kelemahan dan kekurangan, baik dari isi maupun penulisannya. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan itu dimasa yang
akan datang.
Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca secara umum
dan penulis secara khusus. Aamiin. Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Kelompok B
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB), yang merupakan suatu penyakit infeksi kronik menular oleh
karena Mycobacterium tuberculosis (MTB) (Amin, 2006), masih menjadi masalah utama
kesehatan di Indonesia dan sebagian besar negara-negara di dunia (GTNP TB, 2007). Pada
tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai
Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus
baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam)
positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional
WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di
dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di
Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk.
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun
(Amin, 2006).
Laporan kasus TB di dunia oleh WHO tahun 2006, masih menempatkan Indonesia
sebagai penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah
kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun. Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, menempatkan TB sebagai penyebab kematian ketiga
terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan, dan merupakan
nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi (NN, 2009).
Penting bagi kita untuk memahami lebih lanjut karena tuberkulosis paru termasuk
dalam kasus dengan area kompetensi empat, dimana dokter umum atau dokter pada tingkat
layanan primer harus mampu membuat diagnosa klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan tambahan serta mampu memutuskan dan menangani kasus tersebut secara
mandiri hingga tuntas.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat kasus ini sebagai
pembelajaran dalam upaya pendekatan kedokteran keluarga yang bersifat holistik,
komprehensif, terpadu dan berkesinambungan terhadap penanganan pasien dengan
permasalahan penyakit tuberkulosis paru.
BAB II
GAMBARAN UMUM PUSKESMAS JONGAYA
Puskesmas Jongaya sebagai salah satu Puskesmas yang berada di kecamatan Tamalate
Kota Makassar. Puskesmas Jongaya adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kota
Makassar.
1. Kepala Puskesmas 1
2. Kasubag tata usaha 2
3. Dokter Umum 2
4. Dokter Gigi 2
5. Bidan 7
6. Perawat 17
7. Tenaga kesehatan masyarakat 1
8. Tenaga kesehatan lingkungan 2
9. Laboran 1
10. Tenaga Gizi 2
11. Tenaga Teknik kefarmasian 1
12. Tenaga Apoteker 1
13. Pekarya Kesehatan 1
A. Identitas Penderita
Nama : Tn. AR
Umur : 28 tahun
TTL : 05 mei 1995
Status : Belum menikah
Pekerjaan : Belum/ Tidak bekerja
Agama : Islam
Suku : Bugis
Tanggal Home Visit : 13 mei 2023
B. Anamnesis Penyakit
Keluhan Utama:
Batuk berdahak
Riwayat penyakit sekarang
Pasien dengan keluhan batuk yang dialami sejak 2 bulan yang lalu sebelum
kunjungan. Batuk disertai dengan lendir (+) berwarna putih kekuningan, darah (-).
Batuk dirasakan sangat sering dan berat, terkadang terasa sesak jika batuk semakin
memberat. Pasien juga mengeluh sering keringat dingin malam hari, badan terasa
lemas dan pusing. Kadang badan panas dan meriang terutama saat malam hari.
Pasien juga mengatakan mengalami penurunan berat badan dalam 1 bulan terakhir.
Riwayat penyakit dahulu beserta pengobatan
Riwayat mengkonsumsi paracetamol, CTM, ambroxol, ranitidine, dan cefixime. Saat
ini pasien tengan mengkonsumsi OAT yang sdh berjalan selama 2 minggu
Riwayat penyakit keluarga
Menurut pengakuan ibu pasien, ia menderita batuk kronik yang sudah berlangsung
selama kurang lebih 10 tahun
Riwayat personal social
memiliki riwayat merokok tetapi sudah berhenti sejak mengeluh batuk dan sesak
yaitu sekitar 9 bulan yang lalu. Riwayat minum alkohol disangkal
Riwayat social ekonomi
Aspek ekonomi keluarga tergolong menengah kebawah. Pembiayaan kesehatan Tn.S
dan keluarga menggunakan BPJS sehingga dapat dijangkau. Akses pelayanan
kesehatan juga terjangkau. Aspek sosial dan keluarga cukup baik, sering berkumpul
dengan tetangga dan temannya, hal ini mencerminkan interaksi dengan tetangga
tergolong baik
: Laki-Laki
: Perempuan
: Penderita
: Tinggal Serumah
2. Bentuk Keluarga (family Structure)
Keluarga inti (Nuclear Family)
3. Tahapan Siklus Kehidupan Keluarga
Keluarga tahap lanjut usia, usia produktif, dan remaja
4. Peta Keluarga
Hubungan antara pasien dan keluarga baik dan tidak ada konflik dalam keluarga
5. APGAR Keluarga (Family APGAR)
Adaptability-Partnershiip-Growth-Affection-Resolve (APGAR) merupakan instrumen
yang digunakan sebagai skrining awal untuk melihat adanya disfungsi keluarga
Adaptation : kemampuan anggota keluarga beradaptasi dengan anggota keluarga
yang lain, serta penerimaan, dukungan, dan saran dari anggota keluarga yang lain.
Partnership : menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi antara
anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh keluarga tersebut
Growth : menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal-hal baru yang
dilakukan anggota keluarga lain
Affection : menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar anggota
Resolve : menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang kebersamaan dan
waktu yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain.
Kadang- Hampir
Hampir
APGAR Keluarga Kadang Tidak
selalu (2)
(1) Pernah (0)
1. Saya merasa puas karena saya dapat
meminta pertolongan kepada √
keluarga saya ketikda saya
menghadapi permasalahan
2. Saya merasa puas dengan cara
keluarga saya membahas berbagai √
hal dengan saya dan berbagai
masalah dengan saya
3. Saya merasa puas karena keluarga
saya menerima dan mendukung
keinginan-keinginan saya untuk √
memulai kegiatan atau tujuan baru
dalam hidup saya
4. Saya merasa puas dengan cara keluarga
saya mengungkapkan kasih sayang dan
menanggapi perasaan-perasaan saya √
seperti kemarahan, kesedihan dan
cinta.
5. Saya merasa puas dengan cara keluarga √
saya dan saya berbagi waktu bersama
Skor total 8: sangat Fungsional
3 Hipertensi √
4 Cancer √
5 Asma √
6 PPOK √
7 TB Paru √
8 Penyakit Jantung √
9 OA √
10 Gangguan Imunologi √
13 GGK √
E. Pemeriksaan Fisis
1. KU: Tampak sakit ringan
2. Kesadaran: Compos Mentis
3. TTV:
TD = 110/70
HR: 87x/ menit
RR: 20x/menit
S: 36.7 derajat celcius
4. Antropometri:
Tinggi badan: 165 meter
Berat badan: 46 kg
IMT : 16.8 kg/cm2
Status Gizi: berat badan kurang
5. Pemeriksaan umum
Kepala : Normocephal, rambut dalam batas normal
Mata : Pupil isokor/isokor, RCL dan RCTL (+)
Telinga : Otore (-), Otalgia (-), Nyeri (-), Gatal (-)
Hidung : Rinore (-), Epistaksis (-)
Mulut : Stomatitis (-), lidah kotor (-), T1/T1 Hiperemis (-)
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar Getah Bening
Thorax:
Inspeksi : Dada simetris kiri kanan, retraksi (-), tanda radang (-)
Palpasi : kiri=kanan, vocal fremitus kiri > kanan
Perkusi : sonor kiri = kanan
Auskultasi : Vesikuler +/+, Rhonki +/+ ,Wheezing : -/-
Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas kiri pada ICS V linea midclavicularis sinistra, Batas kanan
pada ICS IV linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi Jantung I/II murni regular, murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak Cembung
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Timpani
Ekstremitas:
Inspeksi : Edema (-), Ulkus (-), Gangrene (-), tanda radang (-)
Palpasi : ankral hangat (+), sianosis (-), krepitasi (-)
F. Pemeriksaan Khusus
Tidak ada pemeriksaan khusus
G. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: TCM Detected Sensitive Rifampisin
H. Diagnosis
TB Paru Sensitive Rifampisin
I. Diagnosis Holistik
Aspek Klinis : TB Paru
Aspek Personal
Alasan berobat : batuk yang disertai sesak hilang timbul
Kekhawatiran : pasien khawatir penyakit yang dideritanya akan menularkan
dikeluarganya yang lain. Pasien juga khawatir penyakitnya akan bertambah
buruk bila tidak diobati
Harapan : pasien berharap penyakit yang dideritanya dapat membaik dan
sembuh
Aspek Risiko Internal
- Sebelum sakit, gaya hidup pasien tergolong dalam gaya hidup yang kurang sehat.
Pasien merupakan seorang perokok, sehingga dapat menjadi faktor yang
memperberat keluhan pasien
Aspek Risiko Eksternal
- Keluarga pasien yaitu ibu pasien memiliki Riwayat menderita batuk yang cukup
lama (Riwayat batuk kronik 10 tahun)
Aspek derajat fungsional
Penilaian dengan skor 1-5, berdasarkan disabilitas dari pasien, yaitu:
Aktivitas menjalankan fungsi
Score Keterangan
social dalam kehidupan
Mandiri dalam perawatan diri,
Mampu melakukan pekerjaan
1 bekerja di dakam dan luar
seperti sebelum sakit
rumah
Mampu melakukan pekerjaan 2 Mulai mengurangi aktivitas
ringan sehari-hari di dalam dan luar kerja kantor
rumah
Mampu melakukan perawatan diri,
Mandiri dalam perawatan diri,
taou tidak mampu melakukan 3
tidak mampu bekerja ringan
pekerjaan ringan
Dalam keadaan tertentu masih
mampu merawat diri, tetapi Tidak melakukan aktivitas
4
Sebagian besar aktivitas hanya kerja, tergantung pada keluarga
duduk dan berbaring
Perawatan diri oleh orang lain,
5 Tergantung pada pelaku rawat
hanya berbaring pasif
Kesimpulan: Poin 1 (Mampu melakukan pekerjaan seperti sebelum sakit
J. Pengelolalaan Komperhensif
1. Patient Centered (5 tahap pencegajan penyakit)
Health Promotion
- Edukasi pasien dan keluarga mengenai penyakit TB Paru, terutama mengenai
penularan penyakit tersebut
- Edukasi untuk minum obat secara teratur
- Edukasi pola hidup sehat dan prilaku hidup bersih dan sehat
- Edukasi tatacara bersin yang benar
- Edukasi untuk tidak membuang dahak sembarangan
Disability Limitation
- Pada tingkat ini Pendidikan kesehatan diperlukan karena dikhawatirkan pasien
sering tidak mau melanjutkan pengobatannya sampai tuntas atau tidak mau
melakukan pemeriksaan dan pengobatan penyakitnya secara tuntas karena
kurangnya pengetahuan dan kesadaran pasien akan penyakitnya. Pengobatan yang
tidak layak atau tidak tuntas dapat mengakibatkan penderita menjadi cacat atau
resisten terhadap obat. Pendidikan kesehatan ini meliputi perawatan untuk
menyembuhkan penyakitnya, pencegahan komplikasi lebih lanjut, serta fasilitas
yang dapat digunakan
Rehabilitation
- Pada tingkat ini Pendidikan kesehatan diperlukan karena setelah sembuh dari
penyakit TB tersebut, pasien mungkin akan malu untuk beraktivitas di luar rumah
karena merasa malu pernah menderita penyakit tersebut.
2. Family Focused
Intervensi yang diberikan kepada keluarga antara lain:
- memberikan edukasi menggunakan media misalnya leaflet atau poster mengenai
penyakit TB dan risiko penularan kepada keluarga
- memberikan edukasi mengenai penularan penyakit TB
- memberikan edukasi kepada keluarga untuk memastikan cahaya matahari masuk
ke dalam rumah
- memberikan edukasi kepada keluarga untuk berperan memberikan dukungan serta
pengawasan dalam meminum obat
- serta deteksi dini kuman TB pada keluarga yang tinggal serumah dengan pasien
3. Community Oriented
- Memberikan edukasi kepada tetangga pasien yang beresiko untuk terpapar
mengenai penyakit TB mulai dari penularan hingga pengobatannya
- Karena lingukangan tempat tinggal pasien tergolong dalam kategori kumuh, maka
edukasi mengenai pentingnya kebersihan lingkungan patut dilakukan untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder yang dapat memperparah penyakit utama
- Memberikan edukasi kepada orang-orang lingkungan tempat tinggal pasien utuk
memberikan dukungan kepada pasien, sehingga pasien tidak perlu malu akan
penyakit yang dideritanya
- Melakukan deteksi dini kepada tetangga pasien yang beresiko tinggi untuk
terpapar penyakit tersebut
A. Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam
sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman TB
sering ditemukan menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan TB paru, namun bakteri
ini juga memiliki kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti
pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru lainnya.1
B. Epidemiologi
Berdasarkan Global TB Report 2021, diperkirakan ada 824.000 kasus TBC di
Indonesia, namun pasien TBC yang berhasil ditemukan, diobati, dan dilaporkan ke dalam
sistem informasi nasional hanya 393.323 (48%). Masih ada sekitar 52% kasus TBC yang
belum ditemukan atau sudah ditemukan namun belum dilaporkan.
Insidensi tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2018 adalah 316 per 100.000
penduduk atau diperkirakan sekitar 845.000 penduduk menderita tuberkulosis pada tahun
2018. Laporan WHO juga memperkirakan angka kematian tuberkulosis di Indonesia yaitu
sekitar 35 per 100.000 penduduk atau terdapat sekitar 93.000 orang meninggal akibat
tuberkulosis pada tahun 2018.4
Beban penyakit tuberkulosis yang tertinggi diperkirakan berada pada kelompok
usia muda dan produktif 25-34 tahun, dengan prevalensi 753 per 100.000 penduduk.4
D. Patogenesis
Mycobacterium tuberkulosis (MTB) masuk ke dalam saluran pernafasan melalui
droplet dan sampai di alveolus dimana terdapat makrofag dan dendritik sel. Proses
berikutnya adalah fagositosis MTB oleh makrofag dan dendritik sel. Makrofag dan
dendritik sel kemudian mengeluarkan sitokin proinflamatori seperti IL-12 dan IL-18.
Proses inflamasi ini memicu datangnya monosit dan memfagositosis kuman yang masih
hidup. Di dalam makrofag, MTB menghambat pertemuan antara fagosom dan lisosom
sehingga makrofag hancur sedangkan MTB bertumbuh. TNF- terbentuk dan memicu
respon hipersensitivitas tipe lambat yang akan menghancurkan makrofag dengan MTB di
dalamnya. Sebagai hasilnya, akan terbentuk sentral nekrosis kaseosa yang dikelilingi oleh
makrofag aktif, sel T, dan sel imun lainnya. Jika respon imun tubuh buruk, maka MTB
dapat bermultiplikasi dan beberapa akan masuk ke dalam sistem limfatik dan sirkulasi
menuju ke organ – organ lain, termasuk mata. Sebaliknya, jika respon imun tubuh baik,
maka MTB akan dimakan oleh sel T sebelum dapat bermultiplikasi dan menyebar.
Setelah sampai di organ mata, MTB dapat langsung aktif dan menimbulkan gejala klinis,
namun dapat juga memasuki fase dorman selama bertahun – tahun dan bisa menjadi aktif
kapan saja.3
E. Manifestasi Klinis
Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bemacam-macam atau malah
banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan
kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah :5
1. Demam
2. Batuk/ Batuk darah
3. Sesak napas
4. Nyeri dada
5. Malaise
F. Dignosis
Semua pasien terduga TB harus menjalani pemeriksaan bakteriologis untuk
mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis merujuk pada pemeriksaan
apusan dari sediaan biologis (dahak atau spesimen lain), pemeriksaan biakan dan
identifikasi M. tuberculosis atau metode diagnostik cepat yang telah mendapat
rekomendasi WHO.1
1. Metode Konvensional uji kepekaan obat
Pemeriksaan biakan M.TB dapat dilakukan menggunakan 2 macam medium
padat (Lowenstein Jensen /LJ atau Ogawa) dan media cair MGIT (Mycobacterium
growth indicator tube). Biakan M.TB pada media cair memerlukan waktu yang
singkat minimal 2 minggu, lebih cepat dibandingkan biakan pada medium padat yang
memerlukan waktu 28-42 hari.
2. Metode cepat uji kepekaan obat (Uji diagnostic molecular cepat)
Pemeriksaan molekular untuk mendeteksi DNA M.TB saat ini merupakan
metode pemeriksaan tercepat yang sudah dapat dilakukan di Indonesia. Metode
molekuler dapat mendeteksi M.TB dan membedakannya dengan Non-Tuberculous
Mycobacteria (NTM). Selain itu metode molekuler dapat mendeteksi mutasi pada gen
yang berperan dalam mekanisme kerja obat antituberkulosis lini 1 dan lini 2. WHO
merekomendasikan penggunaan Xpert MTB/RIF untuk deteksi resistan rifampisin.
Resistan obat antituberkulosis lini 2 direkomendasikan untuk menggunakan second
line line probe assay (SL-LPA) yang dapat mendeteksi resistensi terhadap obat
antituberkulosis injeksi dan obat antituberkulosis golongan fluorokuinolon.
Pemeriksaan molekuler untuk mendeteksi gen pengkode resistensi OAT lainnya saat
ini dapat dilakukan dengan metode sekuensing, yang tidak dapat diterapkan secara
rutin karena memerlukan peralatan mahal dan keahlian khusus dalam
menganalisisnya. WHO telah merekomendasi pemeriksaan molekular line probe assay
(LPA) dan TCM, langsung pada spesimen sputum.
Pemeriksaan dengan TCM dapat mendeteksi M. tuberculosis dan gen
pengkode resistan rifampisin (rpoB) pada sputum kurang lebih dalam waktu 2 (dua)
jam. Konfirmasi hasil uji kepekaan OAT menggunakan metode konvensional masih
digunakan sebagai gold standard.1
Pada kondisi tidak berhasil mendapatkan sputum secara ekspektorasi spontan
maka dapat dilakukan tindakan induksi sputum atau prosedur invasif seperti
bronkoskopi atau torakoskopi. Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB yang
terkonfirmasi bakteriologis maupun terdiagnosis klinis adalah pemeriksaan HIV dan
gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi misalnya fungsi hati, fungsi
ginjal, dan lain-lain.1
G. Tatalaksana
Tahapan pengobatan TB
1. Tahap Awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh
pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah
resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada
semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat
menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.
2. Tahap Lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman yang masih
ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap lanjutan selama 4 bulan. Pada fase
lanjutan seharusnya obat diberikan setiap hari.
Pasien berusia diatas 60 tahun tidak dapat mentoleransi lebih dari 500-700
mg perhari, beberapa pedoman merekomendasikan dosis 10 mg/kg BB pada pasien
kelompok usia ini. Pasien dengan berat badan di bawah 50 kg tidak dapat
mentoleransi dosis lebih dari 500-750 mg perhari.
Jika tidak tersedia paduan dosis harian, dapat dipakai paduan 2RHZE/4R3H3
dengan syarat harus disertai pengawasan yang lebih ketat secara langsung untuk
setiap dosis obat. Pada akhir fase intensif, bila hasil apusan dahak tetap positif maka
fase sisipan tidak lagi direkomendasikan namun dievaluasi untuk TB-RO (uji
kepekaan), sementara pengobatan diteruskan sebagai fase lanjutan.1
Pasien TB paru sebaiknya mendapatkan paduan obat : 2RHZE/4HR, selama 6
bulan. Untuk TB ekstra paru biasanya diperlukan durasi pengobatan yang lebih dari 6
bulan. Semua pemberi layanan harus memastikan pemantauan pengobatan dan
dukungan untuk semua pasien TB agar dapat menjalankan pengobatan hingga selesai.
Semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT harus diperiksa uji kepekaan OAT
pada awal pengobatan. Uji kepekaan dapat dilakukan dengan metode cepat atau rapid
test (TCM, LPA lini 1 dan 2), dan metode konvensional baik metode padat (LJ), atau
metode cair (MGIT) .1
Bila terdapat laboratorium yang dapat melakukan uji kepekaan obat
berdasarkan uji molekular cepat dan mendapatkan hasil dalam 1-2 hari maka hasil ini
digunakan untuk menentukan paduan OAT pasien. Bila laboratorium hanya dapat
melakukan uji kepekaan obat konvensional dengan media cair atau padat yang baru
dapat menunjukkan hasil dalam beberapa minggu atau bulan maka daerah tersebut
sebaiknya menggunakan paduan OAT kategori I sambil menunggu hasil uji kepekaan
obat. Pada daerah tanpa fasilitas biakan, maka pasien TB dengan riwayat pengobatan
diberikan OAT kategori 1 sambil dilakukan pengiriman bahan untuk biakan dan uji
kepekaan.1
Daftar Pustaka