Anda di halaman 1dari 3

PENDIDIKAN PANCASILA

Nama : Nurmalitasari Rhamadani


Prodi : Akuntansi
NIM : 22220003

Pertanyaan :
Pada saat ini banga Indonesia sedang menghadapi berbagai permasalahan dan
ancaman baik dari faktor internal maupun eksternal. Lebih dari 75 tahun Indonesia merdeka,
ternyata bangsa Indonesia belum merdeka yang sesungguhnya. Ancaman disintergrasi
bangsa, ketergantungan dengan negara dan bangsa lain serta arus globalidsasi yang melanda
di semua aspek kehidupan merupakan tantangan yang harus dihadapi dan disikapi semua
komponen bangsa. Pancasila sebagai dasar negara dengan segala implementasi baik dalam
pola pikir, sikap, perilaku dan perbuatan merupakan sarana yang sangat ampuh untuk
menghadapi segala ancaman, tantangan, gangguan dan hambatan bangsa Indonesia baik
untuk masa sekarang maupun yang akan datang. Buatlah analisis tentang keampuhan
Pancasila sehingga sampai saat ini bangsa Indonesia masih tetap eksis...?

Jawaban :

Satu juni 2022 Pancasila genap 77 tahun. Seperti pepatah lama, setiap pertambahan
tahun turut menambah jarak informasi terhadap sumbernya. Artinya pengalaman historis,
pemahaman filosofis dan situasi kebatinan ikut menjauh dari peristiwa sesungguhnya.

Benar saja, setiap tahun kelahiran Pancasila dinikmati sebagai hari libur semata,
nyaris tanpa khidmat. Sedikit saja diantara kita berupaya memahami persis peristiwa sebelum
Pancasila dilahirkan, serta perdebatan yang melatarbelakanginya. Secara teknis pemahaman
Pancasila mengalami kedangkalan. Jika dibiarkan, Pancasila lambat laun akan mengalami
distorsi informasi. Kemudian dimanfaatkan sekelompok orang untuk menafsir ulang
Pancasila dengan tujuan mengganti Ideologi Negara.

Kita banyak mendengar gelaran percakapan tentang Pancasila, namun sebatas


formalitas tanpa menyentuh makna. Di tingkat basis, Pancasila tersimpilifikasi berupa meme
“Saya Pancasila”, atau “saya hapal lima sila”. Semata menghasilkan premis Jika Saya
ucapkan itu maka Saya Pancasila dan tidak radikal. Sehingga mendikotomikan satu anak
bangsa dengan yang lain. Padahal dalam ilmu hukum ucapan atau pengakuan merupakan alat
bukti paling lemah.

Sebagai penanda sikap Nasionalisme, adalah baik bagi kita menghapal sila beserta
butir-butirnya, tetapi menghapal saja tidak cukup. Pancasila menjadi bermakna ketika
diamalkan. Pancasila adalah cerminan diri kita. Potret dari relasi sosial budaya yang selama
ini ada namun belum terbahasakan. Jika disebut sebagai ilmu, Pancasila merupakan ilmu
terapan. Jika disebut sebagai seni, Pancasila adalah pertunjukkan terhebat yang pernah
tergagas dalam sejarah bangsa.
Tantangan Ideologi

Sebagai sistem keyakinan, Ideologi sangat efektif mengikat individu dalam jumlah
besar meski di antara mereka tak saling mengenal. Ideologi membangkitkan empati, rasa
persaudaraan antar sesama penganutnya. Seorang Pemuda Aceh akan merasa sakit yang sama
ketika ada pemuda Papua mengalami perlakuan tidak menyenangkan oleh bangsa lain
meskipun dirinya tidak pernah ke Papua. Sebaliknya, remaja di pulau rote mengalami rasa
bangga yang sama ketika mendengar remaja Miangas menjuarai olimpiade membawa nama
bangsa.

Keterikatan rasa seperti itu membentuk identitas kita sebagai suatu bangsa. Ikatan
Ideologi semakin diperlukan untuk bangsa dengan tingkat kemajemukan tinggi. Terlebih
Indonesia yang dirahmati banyak perbedaan. Terbukti, Pancasila berhasil mengikat manusia
Indonesia yang terserak di 17.000 lebih pulau, dengan 1.300an suku dan 700 lebih ragam
bahasa.

Pada tataran global, Eksistensi Pancasila menghadapi tantangan yang juga dialami
dua ideologi besar dunia, Liberalisme dan Komunisme. Daniel Bell mengungkap istilah
'matinya ideologi' ketika menggambarkan inkonsistensi Kapitalisme dan Komunisme dalam
menghadapi persoalan-persoalan konkret di dalam negeri masing-masing. Amerika Serikat
sebagai pengusung pasar bebas -dalil pokok kapitalisme- mengakhiri dirinya sendiri ketika
Pemerintah AS melakukan pengambil-alihan aset sejumlah perusahaan swasta melalui
kebijakan bantuan likuiditas. Hal ini bertentangan dengan prinsip kapitalisme yang
mengharamkan peran negara dalam perekonomian.

Komunisme sudah lebih dulu runtuh ketika Gorbachev menelurkan politik Glasnost
dan Perestroika untuk meningkatkan laju perekonomian Uni Soviet yang melambat. China
sebagai adik kandung ideologi komunisme Soviet pun tak bertahan lama, tatkala hak
kepemilikian tanah dan investasi asing diperbolehkan demi mendongkrak investasi China.

Sejumlah peristiwa di atas membuktikan tiada satu negara pun yang menjalankan
ideologinya secara murni dan konsekuen. Ideologi pada akhirnya harus berkompromi dengan
keadaan. Bell menyimpulkan pertumbuhan industri, organisasi sosial-ekonomi suatu negara
ditentukan oleh kemampuan manajerial pemerintahnya, bukan karena ideologi politik apa
pun.

Tidak hanya tantangan keluar, ketahanan Ideologi Pancasila mengalami sejumlah


tantangan ke dalam. Survey LSI Denny JA tahun 2018 merilis penurunan persentasi publik
pro Pancasila sebanyak 10 persen dalam kurun waktu 13 tahun. Yakni 85,2% tahun 2005
menjadi 75,3% di tahun 2018. Penurunan ini ditemukan pada segmen masyarakat
berpenghasilan rendah (MBR) dengan penghasilan kurang dari Rp1-2 juta.
Walaupun angka 75,3% tergolong mayoritas, trend penurunan ini perlu mendapat
perhatian khusus. Kesenjangan ekonomi akan selalu menjadi pemicu yang menjauhkan
publik dari Pancasila. Oleh karenanya, Negara perlu hadir mempersempit kesenjangan,
meredistribusi keadilan sosial, serta membangun peradaban bangsa yang berkualitas.

Bagaimana dengan segmen generasi muda sebagai pemegang tongkat estafet


Pancasila? Merekalah penentu apakah Pancasila bertahan sebagai ideologi atau malah
berakhir. Survey Komunitas Pancasila Muda tahun 2020 melalui media sosial mengurai
19,5% responden berusia 18-25 tahun merasa tidak yakin dengan relevansi Pancasila dengan
kehidupan sehari-hari mereka. Pancasila dipandang sudah tinggal nama di atas kertas, tidak
ada makna tersisa selain kenangan masa lalu. Fakta ini menyiratkan bahwa generasi muda
memiliki perspektif kritis sendiri tentang ideologi. Mereka memanfaatkan arus informasi,
mengolahnya lalu menarik kesimpulannya sendiri.

Era Globalisasi dan digitalisasi informasi adalah konsekuensi logis dari


perkembangan teknologi. Tak heran teknologi sangat dekat dengan generasi muda. Pada era
ini, relasi sosial tidak melulu diikat secara emosional, tapi juga rasional. Cara hidup
pragmatis, konsumerisme, hedonisme, sudah menjadi kehidupan sehari-hari yang memukul
hampir seluruh tatanan norma bangsa. Oleh karena itu, Pancasila harus beradaptasi cepat dan
bermitra dengan perubahan. Pancasila perlu dihayati secara rileks dan diimplementasikan
seturut dengan kontekstualitas zamannya. Kalau anak muda bisa belajar gaya hidup kebarat-
baratan melalui media sosial elektronik, maka mereka juga bisa belajar Pancasila dari sana.
Ini hanya urusan teknis, mengatasinya tentu memerlukan solusi teknis.

Ketahanan Ideologi adalah pekerjaan rumah tiada akhir. Tak perlu gusar dengan trend
penurunan cinta Pancasila. Anggap saja hasil survey tersebut sebagai fenomena yang
terpetakan lebih awal. Agar kita dapat mencari formula baru mendekatkan Pancasila terhadap
generasi muda. Saatnya menggelar dialog lintas generasi. Esensi Pancasila perlu dielaborasi
lebih dalam, di antaranya dengan memperkuat solidaritas relasi ke dalam kelompok masing-
masing, sembari mengatasi sentimen primordial dengan membangun relasi antar kelompok,
sebagaimana nilai yang terkandung dalam Pancasila. Jika dilakukan, kita bukan hanya
berhasil menjaga eksistensi Pancasila, namun mencegah Pancasila dipandang sebagai
pelengkap sejarah belaka.

Anda mungkin juga menyukai