Anda di halaman 1dari 62

EBOOK UMPTKIN

2021

MATERI FIKIH
Barang siapa dengan sengaja
menyiarkan,memamerkan,mengedarakan atau menjual kepada umum
suatu ciptaan atau barang asli pelanggaran hak cipta atau hak terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dipidana dengan penjara paling
lama 5 tahun dan/ atau denda paling banyak 500.000.0000
(UUD R.I NOMOR 19 TAHUN 2002)

Penulis : ISRA MARDHATILLAH


IG : trik_umptkin
Youtube : isra mardhatillah

”Unders stars, we are stars”


BAB I

Konsep Fikih dalam Islam

A. Konsep Fikih dalam Islam


Kata fikih adalah bentukan dari kata fiqhun yang secara bahasa berarti (pemahaman
yang mendalam) yang menghendaki pengerahan potensi akal. Ilmu fikih merupakan
salah satu bidang keilmuan dalam syariah Islam yang secara khusus membahas
persoalan hukum atau aturan yang terkait dengan berbagai aspek kehidupan manusia,
baik menyangkut individu, masyarakat, maupun hubungan manusia dengan
Penciptanya.
Defnisi fikih secara istilah mengalami perkembangan dari masa ke masa, sehingga
tidak pernah bisa kita temukan satu definisi yang tunggal. Pada setiap masa itu para ahli
merumuskan pengertiannya sendiri. Sebagai misal, Abu Hanifah mengemukakan bahwa
fikih adalah pengetahuan manusia tentang hak dan kewajibannya. Dengan demikian,
fikih bisa dikatakan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dalam berislam, yang
bisa masuk pada wilayah akidah, syariah, ibadah dan akhlak. Pada perkembangan
selanjutnya, kita jumpai definisi yang paling populer, yakni definisi yang dikemukakan
oleh al-Amidi yang mengatakan bahwa fikih sebagai ilmu tetang hukum syara’ yang
bersifat praktis yang diperoleh melalui dalil yang terperinci.

B. Ruang Lingkup Fikih


Ruang lingkup yang terdapat pada ilmu Fikih adalah semua hukum yang berbentuk
amaliyah untuk diamalkan oleh setiap mukallaf (Mukallaf artinya orang yang sudah
dibebani atau diberi tanggungjawab melaksanakan ajaran syariah Islam dengan tanda-
tanda seperti baligh, berakal, sadar, sudah masuk Islam).
Hukum yang diatur dalam fikih Islam itu terdiri dari hukum wajib, sunah, mubah,
makruh dan haram. di samping itu ada pula dalam bentuk yang lain seperti sah, batal,
benar, salah dan sebagainya.
Adapun ruang lingkupnya seperti telah disebutkan di muka meliputi:
1. hukum yang bertalian dengan hubungan manusia dengan khaliqnya (Allah ).
Hukum-hukum itu bertalian dengan hukum-hukum ibadah.
2. hukum-hukum yang bertalian dengan muammalat, yaitu hukum- hukum yang
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya baik pribadi maupun kelompok.
Inilah hukum-hukum Islam yang dibicarakan dalam kitab-kitab Fikih dan terus
berkembang.
C. Perbedaan fikih dengan syariah
Secara terminologis, kata syariah berarti sumber air yang digunakan untuk minum.
Namun dalam perkembangannya kata ini lebih sering digunakan untuk jalan yang lurus
( P E D JPD D (,yakni agama yang benar. Pengalihan ini bisa dimengerti karena sumber
mata air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk memelihara
kehidupannya, sedangkan agama yang benar juga merupakan kebutuhan pokok
manusia yang akan membawa pada keselamatan dan kebaikan hidup di dunia dan
akhirat. Oleh karena itu, selanjutnya arti syariah menjadi agama yang lurus yang
diturunkan oleh Allah Swt. (satu-satunya Tuhan semesta Alam) untuk umat manusia.
Secara umum keberadaan syariah Islam ialah untuk mengatur kehidupan manusia
sebagai makhluk individual untuk taat, tunduk dan patuh kepada Allah Swt. Ketaatan
dan ketundukan tersebut diwujudkan dalam bentuk ibadah yang telah diatur dalam
syariah Islam. Adapun tujuan syariah secara khusus yang lebih dikenal dengan
istilah Maqâsid Al-Syariah yaitu:
1. Untuk memelihara agama (hifz al-Din)
Yaitu untuk menjaga dan memelihara tegaknya agama dimuka bumi. Agama diturunkan
oleh Allah untuk dijadikan pedoman hidup dalam hablum minallah dan hablum
minannas, sehingga manusia akan sejahtera dan tenteram dalam kehidupan dunia dan
kehidupan akhirat. Oleh karena itu agama menjadi sesuatu hal yang sangat penting dan
mutlak bagi manusia.
2. Memelihara jiwa (hifz al-Nafs)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara jiwa manusia dalam arti luas. Larangan
membunuh manusia merupakan salah satu bentuk dari peran syariah untuk
memberikan kedamaian dan kenyamanan dalam berkehidupan.
3. Memelihara akal (hifz al-Aql)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara akal sebagai anugerah Allah yang sangat
prinsip karena tidak diberikan kepada makhluk selain manusia. Akal inilah di antara
anugerah Allah yang paling utama, sehingga dapat membedakan antara manusia
dengan makhluk lain dan dapat membedakan antara manusia yang sehat jiwanya
dengan manusia yang tidak sehat jiwanya
4. Memelihara keturunan (Hifz Al-Nasl)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara keturunan yang baik karena dengan
memelihara keturunan, agama akan berfungsi, dunia akan terjaga. Salah satu
bentuknya adalah hukum tentang pernikahan yang telah banyak diatur dalam Al-Qur’an
dan As-sunnah.
5. Memelihara harta (Hifz al-Mal)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara harta benda dalam rangka sebagai sarana
untuk beribadah kepadanya.
D. Ibadah dan karakteristinya

Kata ibadah berasal dari bahasa arab, artinya pengabdian, penyembahan, keta’atan,
merendahkan diri atau doa. Secara istilah ibadah berarti perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang sebagai usaha menghubungkan dan mendekatkan dirinya kepada Allah
sebagai Tuhan yag di sembah. Orang yang melakukan ibadah disebut abid dan yang
disembah disebut ma’bud. Semua orang dihadapan Allah sebagai abid, karena manusia
tersebut harus mengabdikan diri kepada Allah SWT.
Didalam Al Qur`an, kata ibadah berarti: patuh (at-ta’ah), tunduk (al-khudu`),
mengikut, menurut, dan doa. Dalam pengertian yang sangat luas, ibadah adalah segala
sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maunpun perbuatan.
Adapun menurut ulama Fikih, ibadah adalah semua bentuk pekerjaan yang bertujuan
memperoleh ridho Allah dan mendambakan pahala dari-Nya di akhirat.

Dasar tentang ibadah dalam islam


Dalam Al-Qur’an banyak ayat tentang dasar-dasar ibadah sebagaimana berikut di
bawah ini :

dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku. (Q.S. Az-Zariyat : 56)

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa, (Q.S. Al-Baqarah : 21)
Macam-macam ibadah
Secara garis besar, ibadah dibagi menjadi 2 yakni : ibadah khassah (khusus)
atau mahdah dan ibadah `ammah (umum) atau ghairu mahdah.
1. Ibadah mahdah adalah ibadah yang khusus berbentuk praktik atau perbuatan
yang menghubungkan antara hamba dan Allah melalui cara yang telah ditentukan
dan diatur atau dicontohkan oleh Rasulullah saw.. Oleh karena itu, pelaksanaan
dan bentuk ibadah ini sangat ketat, yaitu harus sesuai dengan contoh dari
Rasulullah seperti, shalat, zakat, puasa, dan
2. Adapun ibadah ghairu mahdah adalah ibadah umum berbentuk hubungan
sesama manusia dan manusia dengan alam yang memiliki nilai ibadah. Ibadah ini
tidak ditentukan cara dan syarat secara detail, diserahkan kepada manusia sendiri.
Islam hanya memberi perintah atau anjuran, dan prinsip-prinsip umum saja.
Misalnya : menyantuni fakir-miskin, mencari nafkah, bertetangga, bernegara,
tolong-menolong, dan lain-lain.
Ibadah dari segi pelaksanaannya dapat dibagi dalam 3 bentuk, yakni sebagai berikut:
 Ibadah Jasmaniah Ruhaniah, yaitu perpaduan ibadah antara jasmani dan rohani
misalnya shalat dan
 Ibadah Ruhaniah dan maliah, yaitu perpaduan ibadah rohaniah dan harta seperti
 Ibadah Jasmani, Ruhaniah, dan Mâliyah yakni ibadah yang menyatukan ketiganya
contohnya seperti ibadah
Ditinjau dari segi kepentingannya, ibadah dibagi menjadi 2 yaitu
kepentingan fardi (perorangan) seperti shalat dan kepentingan ijtima`I (masyarakat)
seperti zakat dan haji.
E. Tujuan ibadah dalam islam
Tujuan ibadah adalah untuk membersihkan dan menyucikan jiwa dengan mengenal
dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. serta mengharapkan ridha dari Allah Swt.
Sehingga ibadah disamping untuk kepentingan yang bersifat ukhrawi juga untuk
kepentingan dan kebaikan bagi diri sendiri, keluarga serta masyarakat yang bersifat
duniawi.
BAB II
ZAKAT
A. PENGERTIAN ZAKAT
Menurut segi bahasa, kata Zakat merupakan kata dasar (mashdar) yang berasal dari
kata Zakaa yang artinya berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Sesuatu itu zakaa berarti
sesuatu itu tumbuh dan berkembang, dan seseorang itu zakaa, berarti orang itu baik.
Dari kata zakaa, menjadi kata "zakat", yaitu sesuatu yang dikeluarkan oleh manusia dari
harta yang dimilikinya untuk disalurkan kepada fakir miskin dan golongan yang berhak
menerima. Disebut demikian karena padanya ada harapan untuk mendapat berkah atau
membersihkan jiwa atau menumbuhkannya dengan kebaikan dan berkah.
Zakat menurut bahasa berarti berkembang dan suci. Yakni membersihkan jiwa atau
mengembangkan keutamaan-keutamaan jiwa dan menyucikannya dari dosa-dosa
dengan menginfakkan harta di jalan Alloh dan menyucikannya dari sifat kikir, bakhil,
dengki, dan lain-lain.

Zakat menurut syara' adalah memberikan (menyerahkan) sebagian harta tertentu untuk
orang atau golongan tertentu yang telah ditentukan syara' dengan niat karena Allah
SWT.

Orang yang berkewajiban untuk membayar zakat disebut muzakki. Sedangkan, orang
yang berhak menerima zakat disebut mustahiq.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam. Hukum zakat adalah wajib. Zakat merupakan
kewajiban setiap individu (fardhu 'ain) yang dikeluarkan oleh seorang muslim yang
memiliki harta tertentu, yang dikeluarkan sendiri ataupun diambil oleh para petugas
zakat.

B. Macam-Macam Zakat

Secara umum, zakat terbagi menjadi dua macam, yaitu zakat fitrah dan zakat maal.

Zakat fitrah
Adalah zakat jiwa yang wajib untuk dikeluarkan oleh umat islam yang mampu bagi
dirinya sendiri dan juga orang-orang yang berada dalam tanggungannya.
Jumlahnya sebanyak satu Sha' (1.k 3,5 liter/2,5 Kg) per orang, yang didistribusikan
pada tanggal 1 Syawal setelah sholat shubuh sebelum sholat Iedul Fitri.Hukumnya
adalah wajib

Zakat Maal
Adalah zakat yang harus dikeluarkan dari harga seseorang dengan tujuan untuk
mensucikan atau membersihkan harta yang dimilikinya.

C. Macam macam harta yang diwajib dizakati

Ketentuan harta yang harus dizakati berkembang seiring dengan berkembangnya waktu.
Awalnya, pada masa Rasulullah SAW, hanya beberapa harta saja yang wajib untuk
dizakati. Harta itu antara lain hasil pertanian (kurma, gandum, dan anggur), hewan
ternak (unta, sapi, kambing), emas, perak, dan juga harta perniagaan. Kemudian,
Sayyid Sabiq menambahkan ma’din (barang tambang) dan juga rikaz (harta karun).
Jenis benda yang harus dizakati pun menjadi bertambah variasinya. Contohnya hasil
pertanian tidak cuma sebatas kurma, anggur, dan juga gandum saja, namun
berkembang menjadi semua hasil pertanian yang mempunyai nilai ekonomis.
Selanjutnya pada masa berikutnya, para ulama kemudian memunculkan satu jenis zakat
lagi yaitu zakat atas profesi.

- Emas dan Perak

Nisab Emas adalah sebesar 20 dinar atau 96. Sedangkan untuk perak, nisabnya yaitu
sebesar 672 gram atau setara dengan 200 dirham. Jika kita mempunyai emas atau
perak yang jumlahnya sudah memenuhi nisab dan mencapai haul (telah dimiliki dalam
waktu satu tahun) maka kita harus mengeluarkan zakat sebesar 2,5%. Dewasa ini,
pengertian dari emas dan perak menjadi meluas pada seluruh harta kekayaan yang bisa
untuk dimiliki oleh manusia, seperti deposito, tabungan, saham perusahaan, sampai
dengan tanah investasi. Dengan demikian harta-harta tersebut juga harus dikeluarkan
zakatnya.

- Hewan Ternak

Pada masa Nabi Muhammad SAW, untuk hewan ternak yang wajib untuk dikeluarkan.

Selain hewan ternak tersebut, para ulama juga menambahkan semua hewan yang
diusahakan oleh manusia harus dikeluarkan zakatnya termasuk juga untuk burung
kicau, ayam petelur/ pedaging, sampai dengan ikan yang dibudidayakan. Untuk nisab
dari hewan-hewan tersebut adalah dipersamakan dengan nisab emas dengan besar
zakat 2,5%.
zakatnya berupa unta, sapi atau kerbau dan juga kambing atau domba

- Hasil Pertanian

Pada masa Nabi Muhammad SAW, zakat dari hasil pertanian berlaku untuk jewawut
atau gandum, kurma, dan juga anggur. Adapun nisab dari ke-3 hasil pertanian tersebut
adalah sebesar 5 wasaq atau setara dengan 653 kilogram.

Ketentuan jumlah pembayaran zakatnya adalah 5% daru hasil, jika dalam masa tanam
membeli air untuk pengairanya dan 10 % dari dari hasil, jika dalam masa tanam tidak
membeli air untuk pengairanya. dan apabila dalam masa tanam menggunakan air yang
membeli dan tidak membeli dalam kurun waktu yang sama, sebagian ulama
berpendapat besarnya zakat adalah sebesar 7,5%.

- Barang Perdagangan

Para ulama mensyaratkan bahwa barang dagangan itu adalah dimiliki melalui
perdagangan, bukan melalui warisan, hibah, wasiat ataupun melalui sedekah. Adapun
untuk nisab barang perdagangan adalah setara dengan nisabnya dari emas. Dasar yang
dipakai adalah merujuk hadits Nabi Muhammad, SAW yang diriwayatkan oleh Abu
Daud dari Samurah bin Jundub bahwa orang yang mempunyai harta perdagangan
senilai 200 dirham atau 20 dinar wajib untuk mengeluarkan zakat sebesar seperempat
puluh atau 2,5%. Sehingga, nisab harta perdagangan adalah sebesar 96 gram emas
dengan kadar 2,5% dalam masa kepemilikan 1 tahun.

- Ma'adin dan Rikaz

Pengertian Ma'adin adalah merupakan sebutan untuk barang tambang, yaitu barang
yang ditambang dari dalam bumi. Adapun pengertian rikaz adalah merupakan harta
peninggalan orang jaman dahulu yang terpendam lalu kita temukan, atau dikenal
dengan harta karun. Zakat ma'adin dan rikaz tidak mengenal haul. Ini berarti bahwa
pada waktu ditemukan/ diolah, barang tambang atau harta temuan tersebut wajib
dikeluarkan zakatnya. Sebagian besar ulama tidak memberikan batas terhadap nisab
barang tambang dan barang temuan. Kadar zakat barang tambang sebesar 2,5%
sedangkan untuk zakat barang temuan adalah sebesar 20 % dari nilai harta yang
ditemukannya.

- Hasil Profesi atau Penghasilan

Zakat profesi atau Penghasilan adalah zakat yang wajib dikeluaran dari hasil usaha yang
kita lakukan atau penghasilan yang kita peroleh.

Dari berbagai pendapat dinyatakan bahwa nisab zakat profesi mengacu pada zakat hasil
pertanian yaitu sebesar 5 wasaq atau 653 kg padi atau gabah atau 522 kg beras dengan
kadar zakat sebesar 2,5%. Zakat profesi sebaiknya dibayarkan ketika memperoleh
penghasilan tersebut atau setiap bulannya.
BAB III

HAJI DAN UMRAH

A. Pengertian Haji dan Umrah


Pengertian haji sesuai bahasa atau etimologi ialah pergi ke Baitullah atau Kakbah untuk
menjalankan ibadah yang sudah ditetapkan Allah SWT. Sementara itu, pengertian haji
menurut istilah (terminologi) ialah pergi ketanah suci (mekkah) untuk beribadah,
menjalankan tawaf, sa’i, serta wukuf di Arafah maupun menjalankan seluruh
ketentuan-ketentuan ibadah haji pada bulan Zulhijah lainnya.

Sementara itu, pengertian umrah sesuai bahasa (etimologi) ialah dari kata “i’tamara”
artinya berkunjung. Dalam syariat islam, ibadah umrah berarti berkunjung ke Baitullah
atau (Masjidil Haram) yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada sang kuasa yakni
Allah SWT dengan memenuhi seluruh syarat syaratnya dengan waktu tak ditentukan
seperti pada ibadah haji.

B. Hukum Haji dan Umrah


Hukum menjalankan ibadah haji ialah wajib terhadap setiap muslim dengan syarat
dirinya mampu, berdasarkan firman Allah pada Surah Ali Imran 97.
Artinya: “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata (di antaranya) maqam Ibrahin,
barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji) maka
sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS Ali
Imran: 97).

Bagi sebagian ulama berpendapat jika umrah memiliki hukum mutahabah yakni baik
untuk dilakukan serta tidak diwajibkan. Didalam sebuah Hadis Nabi Muhammad saw
juga menyatakan dasar hukumnya dengan arti berikut ini.
Artinya: Haji adalah fardu sedangkan umrah adalah “tatawwu.” (A1 Hadis)

Dalam istilah tatawwu disini artinya tidak diwajibkan, namun baik dilakukan guna
mendekatkan diri pada Allah. Sehingga melakukannya lebih utama dibandingkan
meninggalkannya karena tatawwu memiliki ganjaran berupa pahala yang didapatkan.

C. Syarat, Rukun, dan Wajib Haji dan Umrah


1. Syarat Haji
Salah satu syarat wajib haji ialah islam, mampu (kuasa), berakal, balig, ada bekal,
merdeka, dan juga aman pada perjalanannya.
2. Rukun Haji
Didalam haji juga terdapat rukun haji yang harus dilakukan diantaranya:

Ihram
Rukun haji yang pertama adalah ihram yakni berniat dalam mulai mengerjakan haji
dengan menggunakan kain putih dan tidak dijahit. Selain itu, ibadah ihram ini dimulai
sesudah tiba di miqat atau (batas-batas yang sudah ditentukan).

Miqat
Miqat ada dua macam yakni miqat zamani dan miqat makani. Pada mikat zamani ialah
batas yang sudah ditetapkan sesuai waktu. Mulai dari bulan Syawal hingga terbit fajar
10 Zulhijah. Jadi, di masa itulah haji dapat dilaksanakan.
Yang kedua adalah miqat makani yaitu, batas yang sudah ditetapkan sesuai tempat.
Miqat makani dapat dibagi menjadi beberapa temjat diantaranya.

 Untuk orang yang bertempat tinggal di Mekah, maka niat ihram dihitung dari
waktu keluar dari kota Mekah.
 Kemudian untuk orang yang asalnya dari Madinah maupun sekitarnya, maka
niat ihram dapat dimulai dari mereka sampai pada Dzulhulaifah (Bir Ali).
 Untuk orang dari kota Syam, Mesir, serta dari arah barat, maka bisa memulai
ihram saat sampai di kota Juhfah.
 Untuk mereka yang datang dari kota Yaman dan juga Hijaz, maka ihramnya
dapat dimulai sesudah mereka sampai pada bukit Qarnul Manazil.
 Kemudian untuk orang dari India, negara Indonesia, maupun negara yang searah,
maka bisa memulai ihram sesudah mereka ada di bukit Yalamlam.
 Untuk orang yang berasal dari arah Irak maupun yang searah dengannya, maka
ibadah ihram dapat dimulai pada Dzatu Irqin.

Wukuf di Arafah
Rukun haji yang berikutnya adalah Wukuf di Arafah. Yakni berhenti dulu diPadang
Arafah dari tergelintirnya matahari pada tanggal 9 bulan Zulhijah hingga terbit fajar
ditanggal 10 Zulhijah.

Tawaf Ifadah
Selanjutnya adalah Tawaf ifadah yakni ibadah mengelilingi Kakbah sampai 7 kali dan
didalamnya juga ada syarat sebagai berikut ini.

 Dirinya harus suci dari hadas serta najis dari mulai badan hingga pakaian mereka.
 Menutup aurat.
 Kemudian posisi Kakbah juga harus ada disebelah kiri seseorang tersebut yang
mengelilinginya.
 Harus memulai tawaf pada arah hajar aswad atau (batu hitam) yang ada pada
salah satu pojok luar Kakbah.
 Tawaf sendiri juga memiliki lima macam diantaranya:
a) Tawaf qudum yakni tawaf yang dilakukan saat baru tiba di kota Mekah
b) Tawaf ifadah ialah tawaf yang termasuk rukun haji
c) Kemudian tawaf sunah yakni tawaf yang dilakukan hanya semata-mata ingin
ridho Allah saja.
d) Tawaf nazar ialah tawaf yang dilakukan guna memenuhi nazar yang
diucapkannya.
e) Tawaf wada ialah tawaf yang dilakukan oleh jamaah haji sebelum mereka
meninggalkan kota Mekah.

Sa’i
Rukun haji yang ke 5 ialah melakukan Sa’i. Yakni lari-lari kecil ataupun jalan cepat
diantara Safa sampai Marwa (dasar ukumnya ada di QS Al Baqarah: ayat 158).
Sementara ada beberapa syarat dalam ibadah sa’I diantaranya.

 Harus dimulai dari atas bukit Safa kemudian berakhir pada bukit Marwa.
 Harus dilakukan dengan jumlah tujuh kali.
 Sa’i harus dilakukan sesudah menjalankan ibadah tawaf qudum.

Tahalul
Rukun haji yang ke 6 ialah Tahalul. Ibadah tahalul ialah mencukur ataupun
menggunting rambut paling sedikit tiga helai rambut. Pihak yang menyatakan jika
bercukur adalah rukun haji, memiliki alasan karena tak bisa diganti oleh
penyembelihan.

Tertib.
Rukun ibadah haji juga harus tertib. Yang dimaksud dengan tertib disini ialah
menjalankan rukun haji diatas secara berurutan dan tidak secara acak.

3. Wajib Haji
Didalam wajib haji juga terdapat tujuh macam diantaranya.

 Ihram dari mulai miqat.


 Kemudian bermalam di Muzdalifah saat malam hari raya qurban.
 Harus Melempar Jumratul Aqabah yang sudah disiapkan.
 Lemparan jumrah sebanyak tiga jumrah yaitu.
– Jumrah pertama adalah jumrah ula
– Kemudian jumrah wusta, yang etrakhir
– Jumrah aqabah.

Ibadah melempar jumrah ini dapat dilakukan setiap hari di tanggal 11, 12, maupun
tanggal 13 di bulan Zulhijah dengan waktu sesudah tergelincirnya matahari. Masing
masing dari jumrah yang dilempar dengan jumlah 7 (tujuh) kali menggunakan batu
kecil yang ada disitu.

 Bermalam di kota Mina.


 Kemudian Tawaf wada.
 Setelah itu, menjauhkan diri terhadap semua larangan yang diharamkan di
masjidil haram dan umrah. Diantara larangan yang dimaksud ialah:
– Untuk pria, dilarang mengenakan pakaian berjahit.
– Tertutup kepalanya untuk pria. Tertutup mukanya untuk wanita
– Dilarang memotong kuku.
– Dilarang membunuh hewan buruan.
– Dilarang menggunakan wangi-wangian.
– Dilarang hubungan suami isteri atau (bersetubuh)
– Dilarang mengadakan aqad nikah (baik kawin ataupun mengawinkan).
– Dilarang memotong rambut ataupun bulu badan lainnya.

BAB IV

QURBAN DAN AQIQAH

A) QURBAN

A. PENGERTIAN QURBAN

Jika di artikan kedalam bahasa arab Pengertian qurban adalah dekat. Sedangkan
menurut istilah qurban meruapakan suatu pemotongan hewan ternak yang di
kerjakan/dilakukan pada hari besar Islam yakni idul adha dan hari tasyriq bertujuan
sebagai pendekatan diri terhadap Allah SWT.
Dengan kata lain Ibadah qurban bisa di sebut juga “udzhiyah” yang mana memiliki
arti hewan yang disembelih sebagai qurban. Orang yang dikenakan menjalankan
berqurban adalah seseorang yang menunaikan ibadah haji dan boleh yang tidak.
Pensyari’atan qurban terjadi pada tahun kedua hijriyah.
Perintah untuk melaksanakan qurban seperti yang telah di sampaikan Oleh Allah
dalam firmanya di al-Qur’an surah al-Kautsar, yakni :

“Maka dirikanlah shalat untuk Tuhanmu dan menyembelihlah”.


Ibadah qurban merupakan sebuah aktifitas melakukan penyembelihan atau
menyembelih hewan ternak yang di kerjakan di tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijah atau
umumnya disebut juga dengan hari tasyrik Niat untuk melaksanakannya adalah
semata-mata beribadah kepada Allah SWT.
Hukum menjalankan ibadah qurban yakni sunat muakkad atau salah satu sunah yang
utama untuk dikerjakan. Sedangkan waktu pelaksanaan kegiatan qurban ialah pada saat
matahari mulai sejarak tombak setelah menunaikan shalat idul adha di Tepatnya pada
tanggal 10 bulan Dzulhijjah
diperbolehkan.

B. HEWAN QURBAN

1. Jenis Hewan Kurban

Syarat hewan kurban yang pertama adalah jenis hewannya harus binatang ternak. Unta,
sapi, kambing, dan domba bisa dijadikan pilihan sebagai hewan kurban.
2. Usia Hewan Kurban
Usia hewan kurban harus mencapai umur minimal yang ditentukan syari'at. Usia hewan
ternak yang boleh dijadikan hewan kurban adalah:

- Unta minimal berusia 5 tahun dan telah masuk tahun ke-6


- Sapi minimal berusia 2 tahun dan telah masuk tahun ke-3
- Domba berusia 1 tahun atau minimal berusia 6 bulan bagi yang sulit mendapatkan
domba berusia 1 tahun. Sedangkan kambing minimal berusia 1 tahun dan telah masuk
tahun ke-2

3. Sehat Tanpa Cacat

Rasulullah SAW merinci beberapa hal yang tak boleh dialami oleh hewan yang akan
dikurbankan. Supaya memenuhi syarat hewan qurban, jangan memilih hewan yang
buta sebelah, sakit, pincang, sangat kurus dan tidak mempunyai sumsum tulang.
Pilihlah hewan kurban yang sehat.

4. Bukan Milik Orang Lain

Hewan kurban tidak sah jika didapat dari hasil mencuri dan milik orang lain. Tidak sah
hukumnya berkurban dengan hewan gadai (milik orang lain) atau pun hewan warisan.

5. Penyembelihan Hewan Kurban

Penyembelihan hewan kurban harus terjadi pada waktu yang telah ditentukan syari'at.
Menurut Ibnu Rusyd dari Madzhab Maliki didukung oleh Imam Ahmad, Imam Abu
Hanifah, dan Imam lainnya, penyembelihan dilakukan setelah salat Idul Adha.

Dan batas akhir penyembelihan hewan kurban adalah terbenam matahari pada tanggal
13 Dzulhijjah. Sedangkan menurut Madzhab Syafii adalah 4 hari setelah Idul Adha.

C. CARA MENYEMBLIH HEWAN KURBAN

a. Penyembelih harus orang Islam (khusus qurban, sunnah penyembelih adalah


yang berqurban sendiri, jika diwakilkan disunatkan hadiri pada waktu
penyembelihannya)
b. Alat untuk menyembelih harus benda tajam.
c. Memotong 2 urat yang ada di kiri-kanan leher agar lekas matinya, tetapi jangan
sampai putus lehernya (makruh).
d. Binatang yang disembelih hendaklah digulingkan ke sebelah kiri tulang rusuknya
agar mudah saat penyembelihan.
e. Hewan yang disembelih disunnahkan dihadapkan ke arah Kiblat.
f. Orang yang menyembelih disunatkan membaca; basmallah, shalawat, takbir, do’a
D. HIKMAH MELAKSANAKNAN QURBAN

a. Menambah cintanya kepada Allah SWT


b. Akan menambah keimanannya kepada Allah SWT
c. Sebagai ungkapan syukur.
d. Sebagai bukti telah berbakti kepada orang lain, dimana tolong menolong, kasih
mengasihi dan rasa solidaritas dan toleransi memang dianjurkan oleh agama Islam.

B) AQIQAH
Aqiqah adalah menyembelih hewan pada hari ketujuh dari hari lahirnya anak,
hukum aqiqah adalah sunnah mu’akkad bagi orang tua (atau orang yang wajib memberi
nafkah kepada bayi) yang mampu dalam waktu 60 hari. Waktu penyembelihan hewan
aqiqah adalah dimulai ketika bayi sudah lahir sempurna, sedangkan tidak ada batas
akhirnya. Jika smpai baligh anak tersebut belum diaqiqahi maka anak tersebut
mengaqiqahi dirinya sendiri, sebaiknya aqiqah dilakasanakan hari ketujuh.

1. Dalil Mengenai Aqiqah

  昀  J 
  㷟   昀 J ⿏  㷟     ˴⿏˸ DPJ P  ⿏ 㷟˶Θ ⿏
“Setiap anak yang lahir tergadai aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, dan pada
hari itu ia diberi nama dan digunduli rambutnya.”
(Hadits Sahih Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, Baihaqi dan
Hakim).

2. Hewan Aqiqah
Binatang yang sah menjadi aqiqah sama dengan keaddan binatang yang sah untuk
qurban, macamnya, umurnya, dan jangan bercacat. Dalam Aqiqah bagi anak laki-laki
dengan dua ekor kambing dan bagi wanita dengan seekor kambing

3. Syarat Melaksanakan Aqiqah

a. Dari sudut umur binatang Aqiqah & korban sama sahaja.


b. Sembelihan aqiqah dipotong mengikut sendinya dengan tidak memecahkan
tulang sesuai dengan tujuan aqiqah itu sebagai “Fida”(mempertalikan ikatan diri anak
dengan Allah swt).
c. Sunat dimasak dan dibagi atau dijamu fakir dan miskin, ahli keluarga, tetangga
dan saudara. Berbeda dengan daging qurban, sunat dibagikan daging yang belum
dimasak.
d. Anak lelaki disunatkan aqiqah dengan dua ekor kambing dan seekor untuk anak
perempuan kerana mengikut sunnah Rasulullah.

4. Hikmah Aqiqah
a. Menghidupkan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu alahi wa sallam dalam
meneladani Nabiyyullah Ibrahim alaihissalam tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala
menebus putra Ibrahim yang tercinta Ismail alaihissalam.
b. Dalam aqiqah ini mengandung unsur perlindungan dari syaitan yang dapat
mengganggu anak yang terlahir itu, dan ini sesuai dengan makna hadits, yang artinya:
“Setiap anak itu tergadai dengan aqiqahnya.”. Sehingga Anak yang telah ditunaikan
aqiqahnya insya Allah lebih terlindung dari gangguan syaithan yang sering mengganggu
anak-anak. Hal inilah yang dimaksud oleh Al Imam Ibunu Al Qayyim Al Jauziyah
“bahwa lepasnya dia dari syaithan tergadai oleh aqiqahnya”.
c. Aqiqah merupakan tebusan hutang anak untuk memberikan syafaat bagi kedua
orang tuanya kelak pada hari perhitungan. Sebagaimana Imam Ahmad mengatakan:
“Dia tergadai dari memberikan Syafaat bagi kedua orang tuanya (dengan aqiqahnya)”.
d Merupakan bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
sekaligus sebagai wujud rasa syukur atas karunia yang dianugerahkan Allah Subhanahu
wa Ta’ala dengan lahirnya sang anak.
e. Aqiqah sebagai sarana menampakkan rasa gembira dalam melaksanakan
syari’at Islam & bertambahnya keturunan mukmin yang akan memperbanyak
umat Rasulullah SAW pada hari kiamat.
f. Aqiqah memperkuat ukhuwah (persaudaraan) diantara masyarakat.

BAB V
KEPEMILIKAN DALAM ISLAM

1. Pengertian Kepemilikan dalam Islam

"Kepemilikan" sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang
artinya memiliki. Dalam bahasa Arab "milk" berarti kepenguasaan orang terhadap
sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil
maupun secara hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa
orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang
tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada
orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-
halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu. Contohnya Ahmad
memiliki sepeda motor. Ini berarti bahwa sepeda motor itu dalam kekuasaan dan
genggaman Ahmad. Dia bebas untuk memanfaatkannya dan orang lain tidak boleh
menghalanginya dan merintanginya dalam menikmati sepeda motornya.
Konsep dasar kepemilikan dalam Islam adalah firman Allah swt ;
284 EPoD ν     昀 㷟 昀  D  ⿏
Milik Allah-lah segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. QS 2: 284

Para fukoha memberikan batasan-batasan syar'i "kepemilikan" dengan berbagai


ungkapan yang memiliki inti pengertian yang sama. Di antara yang paling terkenal
adalah definisi kepemilikan yang mengatakan bahwa "milik" adalah hubungan khusus
seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki
hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada
hambatan legal yang menghalanginya.
Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang
mendapatkan suatu barang atau harta melalui caara-cara yang dibenarkan oleh syara',
maka terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut dengan orang yang
memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang
(harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya
sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'i
seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau masih terlalu kecil sehingga belum paham
memanfaatkan barang.
Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya,
tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun
kecuali si empunya telah memberikan ijin, surat kuasa atau apa saja yang serupa
dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si empunya atau si pemilik boleh saja
seorang yang masih kecil, belum balig atau orang yang kurang waras atau gila tetapi
dalam hal memanfaatkan dan menggunakan barang-barang "miliknya" mereka
terhalang oleh hambatan syara' yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki.
Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan kepada orang lain seperti wali, washi (yang
diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).

2. Jenis-jenis Kepemilikan

Sebelumnya perlu diterangkan di sini bahwa konsep Islam tentang kepemilikan


memiliki karakteristik unik yang tidak ada pada sistem ekonomi yang lain. Kepemilikan
dalam Islam bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak atau absolut. Pengertian nisbi
di sini mengacu kepada kenyataan bahwa apa yang dimiliki manusia pada hakekatnya
bukanlah kepemilikan yang sebenarnya (genuine, real) sebab, dalam konsep Islam, yang
memiliki segala sesuatu di dunia ini hanyalah Allah SWT, Dialah Pemilik Tunggal jagat
raya dengan segala isinya yang sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada
hakekatnya adalah milik Allah yang untuk sementara waktu "diberikan" atau
"dititipkan" kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap Allah SWT. Karena itu dalam
konsep Islam, harta dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap Muslim mengandung
konotasi amanah. Dalam konteks ini hubungan khusus yang terjalin antara barang dan
pemiliknya tetap melahirkan dimensi kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk
memanfaatkan dan mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya namun
pemanfaatan dan penggunaan itu tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh
Pemilik riil. Kesan ini dapat kita tangkap umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan
zakat (yang bersifat wajib) dan imbauan untuk berinfak, sedekah dan menyantuni
orang-orang yang membutuhkan.
Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu kepemilikan
sempurna (tamm) dan kepemilikan kurang (naaqis). Dua jenis kepemilikan ini mengacu
kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang
dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja, atau nilai gunanya saja
atau kedua-duanya. Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap
barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang
hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua-dua jenis kepemilikan
ini akan memiliki konsekuensi syara' yang berbeda-beda ketika memasuki kontrak
muamalah seperti jual beli, sewa, pinjam-meminjam dan lain-lain.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam syariah ada empat


macam yaitu:
(1) kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan,
(2) akad,
(3) penggantian dan
(4) turunan dari sesuatu yang dimiliki.

Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ada tiga macam kepemilikan yaitu :

a. Kepemilikan Individu (Milkiyah Fardhiah)


adalah idzin syariat pada individu untuk memanfaatkan suatu barang melalui lima
sebab kepemilikan (asbab al-tamalluk) individu yaitu 1) Bekerja (al-’amal), 2) Warisan
(al-irts), 3) Keperluan harta untuk mempertahankan hidup, 4) Pemberian negara (i’thau
al-daulah) dari hartanya untuk kesejahteraan rakyat berupa tanah pertanian, barang
dan uang modal, 5) Harta yang diperoleh individu tanpa berusaha seperti hibah, hadiah,
wasiat, diat, mahar, barang temuan, santunan untuk khalifah atau pemegang kekuasaan
pemerintah. Kekayaan yang diperoleh melalui bekerja (al-’amal) meliputi upaya
menghidupkan tanah yang mati (ihya’u al-mawat), mencari bahan tambang, berburu,
pialang (makelar), kerjasama mudharabah, musyaqoh, pegawai negeri atau swasta.

b. Kepemilikan Umum (Milkiyah ‘Ammah)


adalah idzin syariat kepada masyarakat secara bersama-sama memanfaatkan suatu
kekayaan yang berupa barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupa
sehari-hari seperti air, sumber energi (listrik, gas, batu bara, nuklir dsb), hasil hutan,
barang tidak mungkin dimiliki individu seperti sungai, pelabuhan, danau, lautan, jalan
raya, jembatan, bandara, masjid dsb, dan barang yang menguasai hajat hidup orang
banyak seperti emas, perak, minyak dsb.

c. Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah)


adalah idzin syariat atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan
khalifah sebagai kepala negara. Termasuk dalam kategori ini adalah harta ghanimah
(pampasan perang), fa’i, kharaj, jizyah, 1/5 harta rikaz (harta temuan), ‘ushr, harta
orang murtad, harta yang tidak memiliki ahlli waris dan tanah hak milik negara.
3. Sebab sebab kepemilikan

Sebab sebab adanya kepemilikan yang ditetapkan syara’ ada empat yaitu :

IHRAZUL MUBAHAT
Ihrozul mubahat adalah memiliki sesuatu (benda) yang menurut syara’ boleh
dimiliki. Yang dimaksud dengan barang-barang yang diperbolehkan di sini adalah
barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan) yang belum dimiliki oleh seseorang dan
tidak ada larangan syara’ untuk dimiliki seperti air di sumbernya, rumput di padangnya,
kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan di sungai dan di laut.

AQAD / AKAD
Akad berasal dari bahasa arab yang artinya perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga
bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad.

1. Rukun dan Syarat Akad


o Aqid (Orang yang melakukan Akad)
o Ma'qud ‘Alaih (benda yang menjadi objek transaksi)
o Shighat, yaitu Ijab dan Qobul (Ijab Qobul merupakan ungkapan yang
menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang melakukan akad)
2. Macam macam Akad

Diantara macam macam akad adalah


a. Berdasarkan segi sah tidaknya, Akad ada dua macam :
o Akad shahih, akad yang memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh
syara’.
o Akad tidak shahih ( Fasidah), akad yang cacat / tidak sempurna.
b. Berdasarkan segi ditetapkan atau tidaknya oleh syara’ :
o Akad musamah , yaitu akad yang telah ditetapkan syara' dan telah ada
hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, dan ijarah.
o Ghair musamah yaitu akad yang belum ditetapkan oleh syara' dan belum
ditetapkan
c. Berdasarkan zat benda yang diakadkan
o Benda yang berwujud
o Benda tidak berwujud

3. Hikmah Akad

a. Adanya ikatan yang kuat diantara dua orang atau lebih didalam bertransaksi
atau memiliki sesuatu
b. Tidak bisa sembarangan dalam membatalkan sesuatu ikatan perjanjian, karena
telah diatur secara syar’i
c. Akad merupakan payung hukum didalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak
lain tidak bisa menggugat atau memilikinya.
KHALAFIYAH
Khalafiyah artinya pewarisan. Khalafiyah ada dua macam yaitu :

1. Khalafiyah Syakhsyun ‘an Syakhsyin (Warisan)


2. Khalafiyah Syaa’in ‘an syaa’iin (Menjamin kerugian)

IHYA’U MAWAT AL-ARDH

1. Pengertian Ihya’u Mawat Al-ardh


Ihya’u Mawat Al-ardh yaitu membuka lahan baru yang belum dibuka/ dikerjakan dan
dimiliki orang lain.
2. Hukum membuka lahan baru
Membuka lahan baru yang belum yang belum dimiliki atau dijadikan kahan oleh orang
lain .Hukumnya adalah mubah, sabda rasululllah S.A.W
“siapa yang menyuburkan tanah gersang,maka tanah itu menjadi miliknya”.

BAB VI
PEREKONOMIAN DALAM ISLAM

A. Muamalah

1. Pengertian Muamalah
Muamalah merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan
antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum Islam yang termasuk muamalah,
seperti jual beli, sewa menyewa, serta usaha perbankan dan asuransi yang islami.
Dari pengertian muamalah tersebut ada yang berpendapat bahwa muamalah
hanya menyangkut permasalahan hak dan harta yang muncul dari transaksi antara
seseorang dengan orang lain atau antara seseorang dan badan hukum atau antara badan
hukum yang satu dan badan hukum yang lain.

2. Asas-asas Transaksi Ekonomi dalam Islam

Ekonomi adalah sesuatu yang berkaitan dengan cita-cita dan usaha manusia
untuk meraih kemakmuran, yaitu untuk mendapatkan kepuasan dalam memenuhi
segala kebutuhan hidupnya.
Transaksi ekonomi maksudnya perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi,
misalnya dalam jual beli, sewa-menyewa, kerjasama di bidang pertanian dan
perdagangan. Contohnya transaksi jual beli.
Dijelaskan bahwa dalam setiap transaksi ada beberapa prinsip dasar (asas-asas)
yang diterapkan syara’, yaitu:
1. Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi,
kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara’, misalnya
memperdagangkan barang haram. (Lihat Q. S. Al-Ma’idah, 5: 1!)
2. Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh
tanggung jawab, tidak menyimpang dari hukum syara’ dan adab sopan santun.
3 Setiap transaksi dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.
(Lihat Q.S. An-Nisa’ 4: 29!)
4. Islam mewajibkan agar setiap transaksi, dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas
karena Allah SWT, sehingga terhindar dari segala bentuk penipuan, dst. Hadis Nabi
SAW menyebutkan: ”Nabi Muhammad SAW melarang jual beli yang mengandung
unsur penipuan.” (H.R. Muslim)
5. Adat kebiasaan atau ’urf yang tidak menyimpang dari syara’, boleh digunakan untuk
menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi. Misalnya, dalam akad sewa-
menyewa rumah.
Insya Allah jika asas-asas transaksi ekonomi dalam Islam dilaksanakan, maka
tujuan filosofis yang luhur dari sebuah transaksi, yakni memperoleh mardatillah
(keridaan Allah SWT) akan terwujud.

B. Penerapan Transaksi Ekonomi dalam Islam

1. Jual Beli

a. Pengertian, Dasar Hukum, dan Hukum Jual Beli


Jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang
menyerahkan/menjual barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli
barang yang dijual).
Jual beli sebagai sarana tolong menolong sesama manusia, di dalam Islam
mempunyai dasar hukum dari Al-Qui’an dan Hadis. Ayat Al-Qur’an yang menerangkan
tentang jual beli antara lain Surah Al-Baqarah, 2: 198 dan 275 serta Surah An-Nisa’ 4:
29.

b. Rukun dan Syarat Jual Beli

Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus
dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’ (hukum Islam).
• Orang yang melaksanakan akad jual beli (penjual dan pembeli).
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah:
1) Berakal
2) Balig
3) Berhak menggunakan hartanya

• Sigat atau ucapan ijab dan kabul


Ulama fiqih sepakat bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara
penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan
melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli).

• Barang yang diperjualbelikan


Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan antara lain:
1) Barang yang diperjualbelikan sesuatu yang halal
2) Barang itu ada manfaatnya
3) Barang itu ada di tempat, atau tidak ada tetapi sudah tersedia di tempat lain
4) Barang itu merupakan milik si penjual atau di bawah kekuasaannya
5) Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas

• Nilai tukar barang yang dijual (pada zaman modern sekarang ini berupa uang)
Syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang dijual adalah:
1) Harga jual yang disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
2) Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli.
3) Apabila jual beli dilakukan secara barter atau Al-Muqayadah (nilai tukar barang yang
dijual bukan berupa uang tetapi berupa barang) dan tidak boleh ditukar dengan barang
haram.

c. Macam-macam jual beli

1. Jual beli yang sah dan tidak terlarang yaitu jual beli yang terpenuhi rukun-rukun dan
syarat-syaratnya.

2) Jual beli yang terlarang dan tidak sah (batil) yaitu jual beli yang salah satu atau
seluruh rukunnya tidak terpenuhi atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak
disyariatkan (disesuaikan dengan ajaran Islam).

Contoh :
a) Jual beli sesuatu yang termasuk najis, seperti bangkai dan daging babi.
b) Jual beli air mani hewan ternak.
c) Jual beli hewan yang masih berada dalam perut induknya (belum lahir).
d) Jual beli yang mengandung unsur kecurangan dan penipuan.

3) Jual beli yang sah tetapi terlarang (fasid).


Karena sebab-sebab lain misalnya:
a) Merugikan si penjual, si pembeli, dan orang lain.
b) Mempersulit peredaran barang.
c) Merugikan kepentingan umum.

Contoh :
1. Mencegat para pedagang yang akan menjual barang-barangnya ke kota, dan membeli
barang-barang mereka dengan harga yang sangat murah, kemudian menjualnya di kota
dengan harga yang tinggi.
2. Jual beli dengan maksud untuk ditimbun terutama terhadap barang vital.
3. Menjual barang yang akan digunakan oleh pembelinya untuk berbuat maksiat.
4) Menawar sesuatu barang dengan maksud hanya untuk memengaruhi orang lain agar
mau membeli barang yang ditawarnya, sedangkan orang yang menawar barang tersebut
adalah teman si penjual (najsyi).
5) Monopoli yaitu menimbun barang agar orang lain tidak membeli, walaupun dengan
melampaui harga pasaran.
2. Khiyar

a. Pengertian Khiyar
Khiyar ialah hak memilih bagi si penjual dan si pembeli untuk meneruskan jual
belinya atau membatalkan karena adanya sesuatu hal, misalnya ada cacat pada
barang.

b. Macam-macam bentuk khiyar

· Khiyar Majlis
Artinya antara penjual dan pembeli boleh memili akan melanjutakan jual beli atau
membatalkannya selama keduanya masih dalam satu tempat atau majelis.
Khiyar majlis sah menjadi milik si penjual dan si pembeli semenjak dilangsungkannya
akad jual beli hingga mereka berpisah, selama mereka berdua tidak mengadakan
kesepakatan untuk tidak ada khiyar, atau kesepakatan untuk menggugurkan hak khiyar
setelah dilangsungkannya akad jual beli atau seorang di antara keduanya
menggugurkan hak khiyarnya, sehingga hanya seorang yang memiliki hak khiyar.

· Khiyar syarat
Yaitu penjualan yang didalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual dan pembeli,
seperti seseorang berkata “saya jual rumah ini dengan harga seratus juta rupiah dengan
syarat khiar selama tiga hari.

. Khiyar ‘aib
Artinya dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli.
Yaitu jika seseorang membeli barang yang mengandung aib atau cacat dan ia tidak
mengetahuinya hingga si penjual dan si pembeli berpisah, maka pihak pembeli berhak
mengembalikan barang dagangan tersebut kepada si penjualnya.

3. Syirkah

a. Pengertian Syirkah
Secara bahasa syirkah adalah campuran dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat
lagi dibedakan antara yang satu dengan yang lainnya.Sedangkan secara istilah
pengertian syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang
telah bersepakat dalam melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan
bersama.
Islam sangat menganjutkan bagi para pemilik modal untuk melalkukan syirkah. Hal
ini dikarenakan diantara pekerjaan atau proyek-proyek ada yang sangat membutuhkan
modal yang tidak sedikit, baik itu modal yang berupa uang, tenaga, pikiran dan lain
sebagainya. Modal yang besar tersebut tentunya tidak dapat ditanggung oleh seorang
saja, tetapi dibutuhkan banyak orang untuk saling bekerja sama agar hasil dari usaha
tersebut baik dan maksimal.
b. Rukun dan Syarat Syirkah

Setelah mengetahui tentang definisi dari syirkah, maka selanjutnya adalah rukun dan
syarat syirkah. Dan berikut ini adalah rukun dan syarat syirkah :

1. Rukun dan syarat syirkah yang pertama adalah masing-masing pihak yang melakukan
syirkah mempunyai syarat harus mempunyai kemampuan dalam mengelola harta yang
dimilikinya.
2. Rukun dan syarat syirkah yang kedua adalah obyek akad yang mencakup modal dan
pekerjaan. Syaratnya pekerjaan atau benda syirkah adalah halal dan diperbolehkan
dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.
3. Akad (ijab qabul) atau sghat dengan syarat ada aktifitas pengelolaan.

c. Macam-macam syirkah

1. Syirkah inan
Macam syirkah yang pertama adalah syirkah inan, definisi dari syrikah inan ini adalah
suatu syirkah yang dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih, yang masing-masing
pihak memberi konstribusi kerja dan modal yang sama.
2. Syirkah Abdan
Definisi dari macam syirkah yang kedua adalah syirkah atara dua belah pihak atau lebih
dimana masing-masing pihak hanya memberikan konstribusi kerja tanpa konstribusi
modal dan keuntungannya dibagi menurut kesepakatan bersama. Contoh dari syrkah
abdan di Indonesia seperti PT (Perseroan Terbatas), Koperasi, CV (Commander
Ventschap) dll.
3. Syirkah wujud
Pengertian dari syirkah wujud adalah syirkah yang didasarkan pada kedudukan,
ketokohan atau keahlian seseorang ditengah masyarakat. Syirkah wujud adalah syirkah
antara dua belah pihak dimana masing-masing memberi konstribusi kerja dengan pihak
ketiga yang memberikan modal dan keuntungan dibagi menurut kesepakatan diantara
mereka.
Dalam hal ini pihak yang memberi konstribusi kerja adalah tokoh masyarakat. Contoh
syirkahh ini misalnya iklan di TV yang memanfaatkan arti sebagai bintang iklan. Artis
sebagai public figur (tokoh masyarakat) bekerja sebagai bintang iklan. Artis sebagai
public figur bekerja pada perusahaan pemilik modal untuk memasarkan produk-produk
merekaa pada perusahaan pemilik modal untuk memasarkan produk-produk mereka.
4. Syirkah Mufawadlah
Definisi dari syirkah mufawadlah adalah syirkah antara dua belah pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah diatas. Sendangkan keuntungannya dibagi
menurut kesepakatan
BAB VII
PELEPASAN DANN PERUBAHAN KEPEMILIKAN HARTA

A. Shadaqah
1. Pengertian shadaqah dan hukumnya
Shadaqah ialah pemberian sesuatu kepada seseorang yang membutuhkan, semata-
mata hanya mengharap ridha Allah. Mengenai Shadaqah Allah swt berfirman:
Artinya:Maka ketika mereka masuk ke (tempat) Yusuf, mereka berkata : "Hai Al Aziz,
kami dan keluarga kami Telah ditimpa kesengsaraan dan kami datang membawa
barang-barang yang tak berharga, Maka sempurnakanlah sukatan untuk kami, dan
bersedekahlah kepada kami, Sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-
orang yang bersedekah". (QS. Yusuf [12] : 88)
Dalam ayat lain, Allah juga berfirman: Artinya:"Dan kamu tidak menafkahkan,
melainkan karena mencari keridhaan Allah dan sesuatu yang kamu belanjakan, kelak
akan disempurnakan balasannya sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya".
(QS. Al-Baqarah [2] : 272)
Pemberian shadaqah hendaknya benar-benar ikhlas, jangan sampai ada rasa riya’
atau pamrih. Kemudian setelah shadaqah diberikan kita tidak boleh menyebut-nyebut
pemberian kita lebih-lebih memperolok-olok si penerima shadaqah. Karena hal tersebut
dapat menghapus pahala shadaqah.
Sebagaimana Firman Allah: Artinya:"Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena
riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, Kemudian batu
itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak
menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 264)
2. Hukum shadaqah
Hukum shadaqah adalah sunnah muakad (sunnah yang sangat dianjurkan).
Namun begitu pada kondisi tertentu shadaqah bisa menjadi wajib. Misal ada seorang
yang sangat membutuhkan bantuan makanan datang kepada kita memohon shadaqah.
Keadaan orang tersebut sangat kritis, jika tidak diberi maka nyawanya menjadi
terancam. Sementara pada waktu itu kita memiliki makanan yang dibutuhkan orang
tersebut, sehingga kalau kita tidak memberinya kita menjadi berdosa.
Pada dasarnya semua orang, baik kaya maupun miskin, punya uang atau tidak,
bisa memberikan shadaqah sesuai dengan apa yang dimiliknya. Karena apa dalam
shadaqah dalam arti yang luas tidak sebatas hanya berupa materi.
Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa di antara kamu tidak sanggup
memelihara diri dari api neraka, maka bersedahlah meskipun hanya dengan sebiji
kurma, maka barangsiapa tidak sanggup maka bersedekahlah dengan perkataan
yang baik.” (HR. Ahmad dan Muslim)
3. Rukun shadaqah
Rukun shadaqah dan syaratnya masing-masing adalah sebagai berikut :
a) Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan berhak untuk
mentasharrufkan (memperedarkannya).
b) Orang yang diberi, syaratnya berhak memiliki. Dengan demikian tidak syah
memberi kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya atau memberi kepada
binatang, karena keduanya tidak berhak memiliki sesuatu.
c) Ijab dan qabul. Ijab ialah pernyataan pemberian dari orang yang memberi
sedangkan qabul, ialah pernyataan penerimaan dari orang yang menerima pemberian.
d) Barang yang diberikan, syaratnya adalah barang tersebut yang dapat dijual.
4. Hilangnya pahala shadaqah
Dari ayat al-Qur’an surat Al-Baqarah: 264 sebagaimana disebutkan di atas, dapat
kita ambil pelajaran bahwasannya pahala shadaqah bisa hilang dikarenakan :
a) Menyebut-nyebut shadaqah yang sudah diberikan dalam artian mengungkit-
ungkitnya.
b) Baik kepada si penerimana maupun kepada orang lain.
c) Menyinggung hati si penerima shadaqah.
d) Riya’ atau mempunyai niat ingin di puji dan disanjung oleh orang lain.
5. Manfaat Shadaqah
Ada banyak sekali hikmah atau manfaat dari amalan shadaqah, di antaranya :
a) Dapat membantu meringankan beban orang lain
Sebagai makhluk sosial sudah sepatutnya kita saling membantu dengan memberikan
apa yang kita miliki kepada orang-orang yang membutuhkan. Dengan bershadaqah
maka ketimpangan antara si kaya dan si miskin dapat dihilangkan sehingga kita bisa
sama-sama menikmati hidup ini dengan sejahtera.
b) Menumbuhkan rasa kasih sayang dan mempererat hubungan antar sesama
Rasulullah bersabda, artinya : “Shadaqah yang diberikan kepada orang miskin
hanya merupakan shadaqah saja sedangkan yang diberikan kepada kerapabat
menjadi shadaqah dan tali penghubung silaturrahim. (HR. An-Nasa’i)
c) Sebagai Obat penyakit
Sabda Rasulullah saw : “Peliharalah kekayaanmu dengan cara mengeluarkan zakat
dan obatolah penyakitmu dengan jalan bershadaqah. Kemudian hadapilah cobaan
dengan berdoa sambil merendahkan diri pada Allah swt.” (HR. Abu Darda)
d) Dapat meredam murka Allah dan menolak bencana, juga menambah umur.
Sabda Rasulullah saw : “Perbuatan kebajikan itu dapat mencegah kejahatan dan
yang dirahasiakan itu dapat meredam murka Allah dan mempererat silaturrahim itu
dapat menambah umur.” (HR. Thabrani)
e) Memperoleh Pahala yang Mengalir Terus
Sabda Rasulullah saw : "Apabila seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah
semua amalnya kecuali tiga perkara, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat
atau anak shaleh yang selalu mendo'akan kedua orang tuanya". (HR. Muslim)
f) Akan dilapangkan rejekinya
Sabda Rasulullah saw : “Tidaklah seseorang membuka jalan untuk bershadaqah atau
memberi melainkan Allah akan menambah lebih banyak bagnya, dan tidaklah
seseorang membuka jalan untuk meminta karena ingin kaya (banyak) melainkan
Allah akan menambah kekuarangan baginya.” (HR. Baihaqi)
g) Menghapus Kesalahan
Allah berfirman : Artinya : Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu
adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada
orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan
menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui
apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Baqarah [2] : 271)
6. Perbedaan dan persamaan antara shadaqah dengan infaq
Shadaqah lebih bersifat umum dan luas, sedangkan infak adalah
pemberian yang dikeluarkan pada waktu menerima rejeki atau karunia Allah. Namun
keduanya memiliki kesamaan, yakni tidak menentukan kadar, jenis, maupun jumlah,
dan diberikan dengan mengharap ridha Allah semata. Karena istilah shadaqah dan
infak sedikit sekali perbedaannya, maka umat Islam lebih cenderung menganggapnya
sama, sehingga biasanya ditulis infaq atau shadaqah.
B. Hibah
1. Pengertian hibah dan hukumnya
Menurut bahasa hibah artinya pemberian. Sedangkan menurut istilah hibah ialah
pemberian sesuatu kepada seseorang secara cuma-cuma, tanpa mengharapkan apa-apa.
2. Hukum hibah
Hukum asal hibah adalah mubah (boleh). Tetapi berdasarkan kondisi dan peran si
pemberi dan si penerima hibah bisa menjadi wajib, haram dan makruh.
Wajib. Hibah suami kepada kepada istri dan anak hukumnya adalah wajib sesuai
kemampuannya.
Haram. Hibah menjadi haram manakala harta yang diberikan berupa barang haram,
misal minuman keras dan lain sebagainya. Hibah juga haram apabila diminta kembali,
kecuali hibah yang diberikan orangtua kepada anaknya (bukan sebaliknya).
Makruh. Menghibahkan sesuatu dengan maksud mendapat imbalan sesuatu baik
berimbang maupun lebih hukumnya adalah makruh.
3. Rukun hibah
Rukun hibah ada empat, yaitu :
a) Pemberi hibah (Wahib).
b) Penerima hibah (Mauhub Lahu).
c) Barang yang dihibahkan.
d) Penyerahan (Ijab Qabul).
4. Syarat-syarat hibah
a) Diberikan atas kemauan sendiri.
b) Pemberinya bukan orang yang hilang akal (mabuk atau gila).
c) Barang yang diberikan dapat dilihat (wujud).
d) Dapat dimiliki oleh penerima hibah.

5. Ketentuan hibah
Hibah dapat dianggap syah apabila pemberian itu sudah mengalami proses serah
terima. Jika hibah itu baru diucapkan dan belum terjadi serah terima maka yang
demikian itu belum termasuk hibah.
Jika barang yang dihibahkan itu telah diterima maka yang menghibahkan tidak
boleh meminta kembali kecuali orang yang memberi itu orang tuanya sendiri (ayah/ibu)
kepada anaknya.
6. Hikmah hibah
a) Akan terhindar dari sifat kikir atau bakhil.
b) Akan terbentuk sifat dermawan bagi pemberi hibah.
c) Akan dilapangkan rejekinya dan dimudahkan urusannya.
C. Hadiah
1. Pengertian hadiah dan hukumnya
Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk
memuliakan atau memberikan penghargaan. Rasulullah SAW menganjurkan kepada
umatnya agar saling memberikan hadiah. Karena yang demikian itu dapat
menumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antara sesama.
Rasulullah saw. bersabda : "Hendaklah kalian saling memberikan hadiah,
niscaya kalian akan saling menyayangi". (HR. Abu Ya'la)
2. Hukum hadiah
Hukum hadiah adalah mubah. Nabi sendiri juga sering menerima dan memberi
hadiah kepada sesama muslim, sebagaimana sabdanya:"Rasulullah saw menerima
hadiah dan beliau selalu membalasnya". (HR. AI Bazzar)
3. Rukun hadiah
Rukun hadiah dan rukun hibah sebenarnya sama dengan rukun shadaqah, yaitu
a) Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan yang berhak
mentasyarrufkannya (memanfaatkannya).
b) Orang yang diberi, syaratnya orang yang berhak memiliki.
c) Ijab dan qabul.
d) Barang yang diberikan, syaratnya barangnya dapat dijual.
4. Hikmah dan manfaat hadiah
a) Akan mendidik seseorang untuk selalu menepati janji.
b) Akan mendorong seseorang untuk berprestasi.
c) Akan terhindar dari sifat iri dan dengki.
D. Perbedaan dan Persamaan Shadaqah, Hibah dan Hadiah
Berikut adalah persamaan dan perbedaanya.
1. Persamaan
a) Sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT. yang diwujudkan dengan
memberi sebagian harta kepada orang lain.
b) Dapat menciptakan rasa kasih sayang, kekeluargaan dan persaudaraan yang lebih
intim antara pemberi dan penerima
2. Perbedaan
a) Shadaqah diberikan oleh seseorang atas dasar untuk mencari ridha Allah semata.
b) Hibah diberikan kepada seseorang atas dasar rasa kasih sayang, iba atau ingin
mempererat tali silaturrahim.
c) Hadiah diberikan kepada seseorang sebagai bentuk penghargaan atas prestasi yang
telah dicapai.
d) Hukum asal shadaqah adalah sunnah sementara hibah dan hadiah adalah mubah.

BAB VIII
RIBA, BANK DAN ASURANSI
A. RIBA

1. Pengertian
Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, riba berarti
tumbuh dan membesar. Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari
harta pokok atau modal secara batil.

Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang
merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam
transaksi jual beli maupun pinjam-peminjam secara batil atau bertentangan dengan
prinsip muamalah dalam Islam.

2. Dasar Hukum
Dalil keharaman riba dapat ditemui dalam al-Qur’an maupun Hadis. Ayat yang secara
tegas mengharamkan riba adalah Surat al-Baqarah: 275

h h aa
a eh aa 䀤 쀀䁑䀤 a 쀦a

Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Dipertegas lagi dalam Surat al-Baqarah: 278

aaa a a¯ 쀀ha a¯ 쀀dzr


㷟 ⿏䀤 e䀤 a쀀䀤 ≘䀤 ⿏ a 㷟 쀦a
h rtha
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.

3. Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-
piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi Riba Qardh dan Riba
Jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi Riba
Fadhl dan Riba Nasi’ah. Berikut penjelasannya:

Pertama, Riba Qardh. Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan
terhadap yang berutang (muqtaridh).

Kedua, Riba Jahiliyyah. Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak
mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.

Ketiga, Riba Fadhl. Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

Keempat, Riba Nasi’ah. Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi
yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba Nasi’ah muncul karena
adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat
ini dengan yang diserahkan kemudian. Sebagian ulama menyebut penyerahan tertunda
dalam pertukaran sesama barang ribawi ini dengan istilah khusus, yakni Riba Yad.

B. BANK

1. Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa pengertian bank
adalah badan usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang dalam
masyakarat, terutama memberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang.

Menurut Fuad Mohd Fachruddin, bank berasal dari kata banko (bahasa Italia),
sedangkan menurut Yan Pramadyapuspa, bank berasal dari bahasa Inggris atau
Belanda yang berarti kantor penyimpanan uang. Bank adalah simbol bahwa para
penukar uang meletakkan uang penukaran di atas sebuah meja, meja ini
dinamakan banko yaitu bangku dalam bahasa Indonesia. Jadi, kata bank dambil dari
kata banko sebagai simbol penukaran uang di Italia. Selanjutnya, Fuad Mohd
Fachruddin berpendapat bahwa bank menurut istilah adalah suatu perusahaan yang
memperdagangkan utang-piutang, baik yang berupa uangnya sendiri maupun uang
orang lain.
2. Macam-macam Bank
Berikut ini macam-macam bank yang beroperasi hingga kini:

Pertama, Bank Desa: Bank yang mengatur pemberian kredit, lalu lintas transaksi
keuangan, pembayaran dan peredaran uang di desa;

Kedua, Bank Devisa: Bank yang mengatur peredaran devisa, alat pembayaran luar
negeri;

Ketiga, Bank Garansi: Bank yang mengeluarkan surat jaminan untuk membayar
seseorang berdasarkan undang-undang tertentu yang berfungsi sebagai alat
pembayaran;

Keempat, Bank Pasar: Bank yang terdapat di sebuah pasar, melayani simpan pinjam
uang para pedagang dan umum, serta mengelola peredaran uang di pasar;

Kelima, Bank Pembangunan: Bank yang dalam pengumpulan dananya menerima


simpanan dalam bentuk deposito dan/atau mengeluarkan kertas berharga jangka
menengah dan panjang, serta memberikan kredit jangka menengah dan panjang di
bidang pembangunan;

Keenam, Bank Penerbit: Bank yang mengeluarkan uang atas permintaan atau bank
yang mengeluarkan warkat niaga yang diberikan kepada yang berhak dan setiap saat
dapat diuangkan atau diperdagangkan;

Ketujuh, Bank Plecit: Sebutan bagi lembaga bukan bank atau perseorangan yang
meminjamkan uang, biasanya dengan bunga tinggi dan penagihannya dilakukan setiap
hari;

Kedelapan, Bank Sentral: Bank yang tugas pokoknya membantu pemerintah dalam hal
mengatur, menjaga, dan memelihara kestabilan nilai mata uang negara, serta
mendorong kelancaran produksi dan pembangunan, serta memperluas kesempatan
kerja;

Kesembilan, Bank Syariah: Bank yang didasarkan atas hukum Islam;

Kesepuluh, Bank Tabungan: Bank yang dalam pengumpulan dananya murni


mengutamakan penerimaan dari simpanan dalam bentuk tabungan, sedangkan
usahanya yang utama adalah membungakan dananya dalam kertas berharga;

Kesebelas, Bank Umum: Bank yang dalam pengumpulan dananya mengutamakan


penerimaan simpanan dalam bentuk giro dan deposito serta dalam usahanya
mengutamakan pemberian kredit jangka pendek.
4. Perbandingan antara Bank Syariah dan Bank Konvesional

perbandingan antara bank Syariah dan bank konvensional disajikan dalam tabel berikut:

Tabel
Ringkasan Perbandingan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional

BANK ISLAM BANK KONVENSIONAL


1) 1. Melakukan investasi-investasi yang 1) 1. Investasi yang halal dan haram
halal saja 2) 2. Memakai perangkat bunga
2) 2.Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli,
atau sewa 3) 3. Profit oriented
3) 3.Profit dan fallah oriented 4) 4.Hubungan dengan nasabah dalam
4) 4.Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitor-debitor
bentuk hubungan kemitraan 5) 5. Tidak terdapat dewan sejenis
5) 5. Penghimpunan dan penyaluran dana
harus sesuai dengan fatwa Dewan
Pengawas Syariah

C. ASURANSI

1. Pengertian
Menurut Pasal 246 Kitab Undang-Undang Perniagaan, asuransi adalah suatu
persetujuan di mana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk
menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan
diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan
terjadi. Sedangkan premi adalah jumlah uang yang harus dibayarkan pada waktu
tertentu kepada asuransi sosial.

2. Macam-macam Asuransi
Asuransi yang terdapat pada negara-negara di dunia ini bermacam-macam. Hal ini
terjadi karena keaneka-ragaman sesuatu yang diasuransikan.

Pertama, Asuransi Timbal Balik. Yaitu beberapa orang memberikan iuran tertentu yang
dikumpulkan dengan maksud meringankan atau melepaskan beban seseorang dari
mereka saat mendapat kecelakaan. Jika uang yang dikumpulkan tersebut telah habis,
dipungut lagi iuran yang baru untuk persiapan selanjutnya. Demikian seterusnya.

Kedua, Asuransi Dagang. Yaitu beberapa manusia yang senasib bermufakat dalam
mengadakan pertanggung-jawaban bersama untuk memikul kerugian yang menimpa
salah seorang anggota mereka. Apabila timbul kecelakaan yang merugikan salah
seorang anggota kelompoknya yang telah berjanji itu, seluruh orang yang tergabung
dalam perjanjian tersebut memikul beban kerugian itu dengan cara memungut derma
(iuran) yang telah ditetapkan atas dasar kerjasama untuk meringankan teman
semasyarakat.

Ketiga, Asuransi Pemerintah. Yaitu menjamin pembayaran harga kerugian kepada siapa
saja yang menderita di waktu terjadinya suatu kejadian yang merugikan tanpa
mempertimbangkan keuntungannya, bahkan pemerintah menanggung kekurangan
yang ada karena uang yang dipungut sebagai iuran dan asuransi lebih kecil daripada
harga pembayaran kerugian yang harus diberikan kepada penderita di waktu kerugian
itu terjadi. Asuransi pemerintah dilakukan secara obligator atau paksaan dan dilakukan
oleh badan-badan yang telah ditentukan untuk masing-masing keperluan.

Keempat, Asuransi Jiwa. Yaitu asuransi atas jiwa orang-orang yang mempertanggung-
jawabkan atas jiwa orang lain. Penanggung (asurador) berjanji akan membayar
sejumlah uang kepada orang yang disebutkan namanya dalam polis apabila orang yang
ditanggung itu meninggal dunia atau sudah melewati masa-masa tertentu.

Kelima, Asuransi atas Bahaya yang Menimpa Badan. Yaitu asuransi dengan keadaan-
keadaan tertentu pada asuransi jiwa atas kerusakan-kerusakan diri seseorang, seperti
asuransi mata, asuransi telinga, asuransi tangan atau asuransi atas penyakit-penyakit
tertentu.

Keenam, Asuransi terhadap Bahaya-bahaya Pertanggung-jawaban Sipil. Yaitu asuransi


yang diadakan terhadap benda-benda, seperti asuransi rumah, perusahaan, mobil,
kapal udara, kapal laut motor, dan yang lainnya.

BAB IX
JINAYAT DAN HIMAHNYA

A. PENGERTIAN JINAYAT
Jinayah menurut fuqaha' ialah perbuatan atau perilaku yang jahat yang
dilakukan oleh seseorang untuk mencerobohi atau mencabul kehormatan jiwa atau
tubuh badan seseorang yang lain dengan sengaja. Penta`rifan tersebut adalah khusus
pada kesalahan-kesalahan bersabit dengan perlakuan seseorang membunuh atau
menghilangkan anggota tubuh badan seseorang yang lain atau mencederakan atau
melukakannya yang wajib di kenakan hukuman qisas atau diyat.
Kesalahan-kesalahan yang melibatkan harta benda, akal fikiran dan sebagainya
adalah termasuk dalam jinayah yang umum yang tertakluk di bawahnya semua
kesalahan yang wajib dikenakan hukuman hudud, qisas, diyat atau ta`zir.

Faedah dan manafaat daripada Pengajaran Jinayat :-

1. Menjaga keselamatan nyawa daripada berlaku berbunuhan sesama sendiri dan


sebagainya
2. Menjaga keamanan maruah di dalam masyarakat daripada segala fitrah tuduh-
menuduh.
3. Menjaga keamanan maruah di dalam harta benda dan nyawa daripada kecurian,
ragut dan lain-lain.
4. Berhubung dengan keamanan negara dan menyelenggarakan keselamatan diri.
5. Perkara yang berhubung di antara orang-orang Islam dengan orang-orang kafir
di dalam negara Islam Pembunuhan

B. FUNGSI DAN TUJUAN DITERAPKANNYA HUKUM


Tujuan diterapkannya hukum adalah mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat
(mengambil segala yang bermaslahat serta menolak segala yang merusak dalam rangka
menuju keridhaan Allah sesuai dengan prinsip tauhid)
Ditinjau dari segi prioritas kepentingannya bagi kehidupan manusia, tujuan
diterapkannya hukum terbagi menjadi lima, yaitu:
1. memelihara agama
2. memelihara jiwa
3. memelihara akal
4. memelihara keturunan dan kehormatan
5. memelihara harta
Sedangkan fungsi diterapkannya hukum adalah mencapai tujuan yang akan dituju.

C. MACAM-MACAM DAN BENTUK-BENTUK JINAYAT

1. Diyat (Denda)
Pengertian : denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan
padanya hukum bunuh.
Diyat ada dua macam, yaitu
a. Diyat Mughaladzah (denda berat), yaitu seratus ekor unta, dengan perincian: 30 ekor
unta betina umur tiga masuk empat tahun, 30 ekor unta betina, umur empat masuk
lima tahun, 40 ekor unta betina yang sudah bunting.
b. Diyat Mukhaffafah (denda ringan), yaitu seratus ekor unta, tetapi dibagi lima, yaitu 20
ekor unta betina umur tiga tahun, 20 ekor unta jantan umur dua masuk tiga tahun, 20
ekor unta betina umur tiga masuk empat tahun, 20 ekor unta betina umur empat masuk
lima tahun. Denda ini wajib dibayar oleh keluarga yang membunuh dalam masa tiga
tahun, tiap-tiap akhir tahun dibayar sepertiganya.
Hikmah dari Diyat ada tiga, yaitu:
a. mencegah kejahatan terhadap jiwa dan raga
b. obat pelipur lara korban
c. timbulnya ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat

2. Kifarat
Pengertian : tebusan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang telah
ditentukan oleh syari’at Islam karena telah melakukan kesalahan atau pelanggaran yang
diharamkan Allah.
Macam-macam kifarat ada dua, yaitu:
. a.Kifarat karena pembunuhan, yaitu dengan memerdekakan hamba sahaya / berpuasa
selama 2 bulan berturut-turut.
b. Kifarat karena melanggar sumpah, yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin atau
memberi pakaian, memerdekakan 1 budak atau berpuasa 3 hari

3. Hudud
Pengertian : sanksi bagi orang yang melanggar hukum dengan dera / dipukul
(jilid) atau dengan dilempari batu hingga mati (rajam)
Perbuatan yang dapat dikanakan hudud ada 4, yaitu:
a. Zina
b. Qadzaf (menuduh orang berbiat zina)
c. Minuman keras
d. Mencuri

5. Ta’zir
Pengertian : apabila seorang melakukan kejahatan yang tidak atau belum
memenuhi syarat untuk dihukum atau tidak/belum memenuhi syarat membayar diyat.
(hukuman yang tidak ditetapkan hukumnya dalam quran dan hadits yang bentuknya
sebagai hukuman ringan).

D. Qishash
1. Qishash
Pengertian : hukuman balasan yang seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun
perusakan anggota badan sesorang, yang dilakukan dengan sengaja.
Dasar hukum : Al Baqarah : 178, An Nisa’ : 93 dan beberapa hadits
178 EPoD D lPD J D⿏ ˸D
Syarat-syarat Qishash :
a. Pembunuh sudah baligh dan berakal sehat
b. Pembunuh bukan orang tua dari orang yang dibunuh
c. Jenis pembunuhan adalah pembunuhan yang disengaja
d. Orang yang dibunuh terpelihara darahnya
e. Orang yang dibunuh sama derajatnya
f. Qishash dilakukan dalam hal yang sama

2. Hikmah hukum Qishash


1. Memberikan pelajaran bagi manusia untuk tidak melakukan kejahatan terhadap
manusia
2. Manusia akan merasa takut berbuat jahat pada orang lain
3. Qishash dapat melindungi jiwa dan raga manusia
4. Timbulnya ketertiban, keamanan dan kedamaian dalam masyarakat

BAB X

HUDUD DAN HIKMAHNYA

Hudud adalah hukuman-hukuman tertentu yang telah ditetapkan Allah sebagai sanksi
hukum terhadap pelaku tindak kejahatan selain pembunuhan dan penganiayaan.
Macam-macam jaraimul hudud :

A. Zina

a. Pengertian zina : perbuatan dengan cara memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam
alat kelamin perempuan yang mendatangkan syahwat dan dilakukan oleh orang orang
yang tidak terikat hubungan pernikahan.
b. Status hukum zina : haaram dan termasuk dosa besar. (QS.al-Isra’:32)
c. Dasar penetapan hukum zina :
Seseorang dikatakan melakukan zina apabila memenuhi dasar-dasar berikut :
1. Adanya empat orang saksi laki-laki yang adil (QS.an-Nisa’:15).
2. Pengakuan pelaku zina.
3. Sebagian ulama’ ada yang menyatakan bahwa kehamilan perempuan tanpa suami
dapat dijadikan dasar penetapan perbuatan zina.

Syarat-syarat had zina dapat dijatuhkan terhadap pelakunya :


1. Sudah baligh dan berakal.
2. Perbuatan zina dilakukan tanpa paksaan.
3. Pelaku zina mengetahui bahwa konsekuensi dari perbuatan zina adalah had.
4. Telah diyakini secara syara’ bahwa pelaku tindak zina benar-benar melakukan
perbuatan zina.
d. Macam-macam zina dan had-nya :
1. Zina mukhshan : dirajam
2. Zina ghairu mukhshan : didera 100 kali (QS.an-Nur:2) dan hukuman pengasingan.
e. Hikmah diharamkan zina : memelihara dan menjaga keturunan dengan baik, menjaga
harga diri dan kehormatan manusia, menjaga ketertiban dan keteraturan rumah
tangga.

B. Qadzaf

a. Pengertian qadzaf : melempar tuduhan zina kepada seseorang yang dikenal baik zecara
terang-terangan.
b. Hukum qadzaf : dosa besar yang diharamkan Allah (QS.an-Nur:23)
c. Had qadzaf : cambuk sebanyak 80 kali bagi yang merdeka, dan 40 kali bagi budak.
d. Syarat-syarat berlakunya had qadzaf : tertuduh berzina adalah mukhshan, penuduh
baligh dan berakal, tuduhan berzina benar-benar sesuai syara’, dimana saksi dalam
kasus qadzaf adalah dua orang laki-laki adil yang menyatakan bahwa pennuduh telah
menuduh orang baik-baik berbuat zina atau pengakuan dari penuduh sendiri.
e. Gugurnya had qadzaf : penuduh dapat menghadirkan 4 orang saksi, li’an (sumpah
seorang suami atas nama Allah sebanyak 4 kali) jika suami menuduh istri berzina dan
tak mampu menghadirkan 4 orang saksi, tertuduh memaafkan.
f. Hikmah dilarangnya Qadzaf : menjaga kehormatan diri seseorang di mata masyarakat,
menjaga keharmonisan pergaulan antara sesama anggota masyarakat, agar si
penuduh merasa jera dan sadar dari perbuatanya, dll.

C. Meminum Minuman Keras

a. Pengertian khamr : segala jenis minuman atau selainnya yang memabukkan dan
menghilangkan fungsi akal.
b. Hukum minuman keras : haram dan dosa besar (QS.al-Maidah : 90)
c. Had minum khamr :
1. Jumhur ulama’ : dipukul 80 kali
2. Imam’ syafi’i, Abu Daud, dan ulama’ Dzahiriyyah : 40 kali cambuk, tetapi hakim
boleh menambahkan menjadi 80 kali.
d. Hikmah diharamkannya minuman khamr : masyarakat terhindar dari kejahatan
seseorang yang diakibatkan dari pengaruh minum khamr, menjaga kesehatan jasmani
dan rohani dari berbagai penyakityang disebabkan oleh pengaruh minuman khamr, dll.

D. Mencuri

a. Pengertian mencuri : mukallaf yang mengambil harta orang lain secara sembunyi-
sembunyi. Praktik pencurian yang pelakunya dikenai had, harus memenuhi syarat
sebagai berikut : pelakunya adalah mukallaf, barang yang dicuri milik orang lain,
dilakukan dengan diam-diam dan sembunyi-sembunyi, barang yang dicuri disimpan di
tempat penyimpanan, pencuri tidak memiliki andil kepemilikan, barang yang dicuri
mencapai 1 nisab.
b. Pembuktian praktik pencurian, tertuduh harus dapat dibuktikan melalui salah satu tiga
kemungkinan berikut : kesaksian dari dua orang saksi yang adil dan merdeka,
pengakuan dari pelaku pencurian, sumpah dari penuduh.
c. Had mencuri : potong tangan (QS.al-Maidah:38)
d. Nisab (kadar) barang yang dicuri : menurut madzhab Hanafi, 10 dirham. Sedangkan
menurut jumhur ulama' ¼ dinar emas, atau 3 dirham perak.
e. Hikmah had bagi pencuri : seseorang tidak akan dengan mudah mengambil barang
orang lain, menghindarkan manusia dari sikap malas, membuat jera dll.

E. Penyamun, Perampok, dan Perompak

a. Pengertian : mengambil harta orang lain dengan menggunakan cara kekerasan atau
mengancam pemilik harta dengan senjata dan terkadang disertai dengan pembunuhan.
(menyamun dan merampok di darat, sedangkam merompak di laut).
b. Hukum : dosa besar dan haram hukumnya.
c. Had : potong tangan dan kaki secara menyilang, disalib, dibunuh, dan diasingkan dari
kediamannya. (QS.al-Maidah : 33).
Secara lebih rinci adalah sebagai berikut :
1. Jika disertai membunuh maka hadnya adalah dihukum mati kemudian disalib.
2. Jika tidak sempat merampas harta tetapi dia sudah membunuhnya, maka hadnya
adalah dihukum mati.
3. Jika tidak disertai membunuh maka hadnya dihikum potong tangan dan kaki secara
menyilang.
4. Jika tidak merampas harta dan tidak membunuhnya, semisal kala dia hanya ingin
menakut-nakuti, atau kala ia melancarkan aksi jahatnya tetpai ia sudah tertangkap
terlebih dahulu maka hadnya adalah dipenjarakan atau diasingkan keluar wilayahnya.
F. Bughat (Pembangkang)

a. Pengertian : orang-orang yang memberontak pemimpin Islam yang terpilih secara sah.
Seorang dikatakan bughat dan dikenai hukuman had apabila memenuhi kriteria sebagai
berikut : memiliki kekuatan, baik berupa pengikut maupun senjata, memiliki alasan
atas tindakan mereka keluar dari kepemimpinan imam yang sah atau tindakan mereka
menolak kewajiban, memiliki imam yang ditaati.
b. Tindakan hukum terhadap bughat :
1. Mengirim utusan kepada mereka agar diketahui sebab-sebab pemberontakan,
apabila sebabnya karena ketidaktahuan dan keraguan mereka maka mereka harus
diyakinkan.
2. Apabila tindakan pertama tidak berhasil, maka selanjutnya mereka harus dinasehati
dan diajak agar mau mentaati imam.
3. Jika usaha kedua tidak berhasil, maka usaha berikutnya memberi ultimatum atau
ancaman bahwa mereka akan diperangi.
4. Jika mereka tidak taat maka mereka harus diperangi.
c. Status hukum pembangkang : tidak dihukumi kafir. Dan apabila bertaubat maka
taubatnya diterima dan tidak boleh dibunuh. Dan harta mreka tidak boleh disamakan
ghanimah.

BAB XI
PERADILAN ISLAM

1. PERADILAN

a. Pengertian Peradilan

Peradilan atau dalam bahasa arab diungkapkan dengan kata qadā’ berarti memutuskan,
memberi keputusan, menyelesaikan.

Menurut istilah adalah suatu lembaga pemerintahan/negara yang ditugaskan untuk


menyelesaikan/menetapkan keputusan atas setiap perkara dengan adil berdasarkan
hukum yang berlaku. Dengan demikian kalau peradilan Islam, maka yang dijadikan
dasar adalah hukum Islam.

Sedangkan pengadilan adalah tempat untuk mengadili suatu perkara dan orang yang
bertugas mengadili suatu perkara disebut qāḍi atau hakim.

b. Fungsi Peradilan
Sebagai lembaga negara yang ditugasi untuk menyelesaikan dan memutuskan
setiap perkara dengan adil, maka peradilan berfungsi untuk menciptakan
ketertiban dan ketentraman masyarakat yang dibina melalui tegaknya hukum. Pe
radilan Islam bertujuan pokok untuk menciptakan kemaslahatan umat dengan
tegaknya hukum Islam. Untuk terwujudnya hal tersebut di
atas, peradilan Islam mempunyai tugas pokok yaitu :

1.Mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.


2.Menetapkan sangsi dan menerapkannya kepada para
pelaku perbuatan yang melanggar hukum.
3.Terciptanya amar ma’ruf nahi munkar
4.Dapat melindungi jiwa, harta dan kehormatan masyarakat.
5.Menciptakan kemaslahatan umat dengan tetap tegak berdirinya
hukum Islam

c. Hikmah Peradilan

Sesuai dengan fungsi dan tujuan peradilan sebagaimana dijelaskan di atas,


maka dengan adanya peradilan akan diperoleh hikmah yang sangat besar bagi
kehidupan umat, yaitu:

1) Peradilan dapat mewujudkan masyarakat yang bersih. Hal ini sesuai dengan haddits
Rasulullah SAW:

Ǭ 䀤 Èƫ
⋸ࡴ ⿏ 䀤 䀤 䀤 䀤 䀤 tÌ⿏䀤 쀀r ha 䀤 Ǭ 䀤̄ 쀀r hÈ Ǭ 䀤̄ ºa ƪǨ䀤 Ǭ 䀤ƫ
e Ȁ ǨÌ eÊȀrȀÌ ƨhȀ 쀀 ƨ ehȺa
Artinya:”Dari Jabir berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: ”Tidak
(dinilai) bersih suatu masyarakat dimana hak orang yang lemah diambil oleh yang
kuat”. (H.R. Ibnu Majah).

2) Terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat. Artinya setiap hak – hak orang dihargai dan
tidak dianiaya.

3) Terwujudnya perlindungan hak setiap orang. Tiap orang mempunyai hak asasi yang
tidak boleh dilanggar oleh orang lain. Sabda Rasulullah SAW. :

Ǭ 䀤 Èƫ
ri ri e Ȁ䀤 ǨÌ 䀤 䀤 䀤 tÌ⿏䀤 쀀r ha 䀤 :Ǭ 䀤̄ 쀀r hÈ Ǭ 䀤̄ ºa ƪǨ䀤 : Ǭ 䀤ƫ
eÊȀrȀÌ ƨȀ 쀀 ƨ ehȺa
“Dari Jabir katanya : Saya dengar Rasulullah SAW. bersabda : Tidak dinilai bersih
suatu masyarakat, dimana hak orang yang kuat diambil oleh orang yan kuat.”( H.R.
Ibnu Hiban)
4) Terciptanya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa.

5) Dengan masyarakat yang bersih, pemerintah yang bersih dan berwibawa serta tegaknya
peradilan maka akan terwujud ketentraman, kedamaian dan keamanan dalam
masyarakat.

2. HAKIM

Setelah temen-temen tahu pengertian, fungsi dan hikmah peradilan temen-temen juga
harus mengerti siapa saja orang-orang yang berada dalam peradilan Islam

a. Pengertian dan kedudukan Hakim


Hakim ialah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk menyelesaikan persengketaan
dan memutuskan hukum suatu perkara dengan adil.
Dengan kata lain, hakim adalah orang yang bertugas mengadili, ia mempunyai
kedudukan yang terhormat selama berlaku adil, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
ǬÊaȀÌ䀤 쀀ra ǬÊ ¯쀀ra ǬÊa Ȁ r ≘ È Ǭ䀤 Èƫ ǬÊ 耀
Ϙ Ϭrϳi i 㷟 쀀a ƫ a , 䀤 䀤 À䁑Ê 䀤 䀤 a ÈÈ a a
a
Apabila seorang hakim duduk ditempatnya (sesuai dengan kedudukan hakim adil),
maka dua malaikat membenarkan, menolong dan menunjukkannya selama tidak
seorang (menyeleweng), apabila menyeleweng, maka kedua malaikat
H.R. Baihaqi meninggalkannya

b. Syarat-Syarat Hakim

Untuk menjadi hakim harus memenuhi syarat - syarat berikut :

1) Beragama Islam. Tidak boleh menyerahkan suatu perkara kepada hakim kafir untuk
dihukumi. Umar bin Khatab memperingatkan Abu Musa ketika mengangkat seorang
sekretaris dari seorang Nasrani, karena orang Nasrani membolehkan suap.

2) Baligh dan berakal sehat. Anak kecil dan orang gila perkataannya tidak bisa dipegang
dan tidak dikenai hukum.

3) Merdeka. Seorang hamba tidak mempunyai kekuasaan pada dirinya, apalagi kekuasaan
kepada orang lain.

4) Adil. Orang fasik atau tidak adil tidak bisa menegakkan keadilan dan kebenaran.

5) Laki-laki.

6) Memahami hukum yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis.

7) Memahami Ijma’ Ulama.


8) Memahami bahasa arab

9) Mamahami metode ijtihadd.

10) Dapat mendengar, melihat, mengerti baca tulis. Hakim harus bisa mendengar dan
melihat, kalau tuli tidak bisa mengetahui antara yang menerima dan menolak.
Demikian juga kalau buta tidak bisa mengetahui antara penggugat dan tergugat.

11) Memiliki ingatan yang kuat. Orang yang pelupa atau tidak jelas bicaranya tidak boleh
menjadi hakim.

c. Macam – Macam Hakim

Hakim merupakan pekerjaan yang mulia. Kemuliaan yang dimilikinya itu


disebabkan adanya tuntutan supaya adil dalam memutuskan perkara. Untuk itu ia tidak
boleh semena – mena dalam menentukan hukum. Oleh sebab itu Rasulullah saw
mengelompokkan hakim itu menjadi tiga golongan sebagaimana hadis Rasul sebagai
berikut :

a aha ᰘ Ǭ a
Ǫh Èa 晦 ƫ a h䀤 a ᰘ Ǭ
Ì 쀀 ǪÈ䀤 a 晦 ƫ aha ᰘ ≘ a h䀤 a ᰘ
Ū ŪȂÌ a
¯쀀 e ¯쀀
㷟 a aa ¯ 㷟aaa a h a ᰘ 䀤 Èƫ Ì
¯쀀
“ Hakim ada tiga macam. Satu disurga dan dua di neraka. Hakim yang mengetahui
kebenaran dan menetapkan hukum berdasarkan kebenaran itu maka ia masuk surga,
hakim yang mengetahui kebanaran dan menetapkan hukum bertentangan dengan
kebenaran ia masuk neraka, hakim yang menetapkan hukum dengan kebodohannya
ia masuk neraka.”(HR. Abu Dawud dan lainnya)

Berdasarkan hadis di atas, maka hakim terbagi menjadi 3 golongan

1) Hakim yang tahu kebenaran dan memutuskan dengan kebenaran yang ia ketahui,
hakim seperti ini masuk surga.

2) Hakim yang mengetahui kebenaran tetapi memutuskan perkara menyimpang dari


kebenaran yang ia ketahui, hakim seperti ini masuk neraka.

3) Hakim yang tidak mengetahui kebebenaran dan memutuskan perkara dengan ketidak
tahuanya maka hakim seperti ini masuk neraka.

d. Sikap hakim dalam persidangan

Dalam pelaksanaan persidangan seorang hakim harus bersikap sebagai berikut:


1) Memberikan kesempatan pertama kepada penggugat untuk menyampaikan semua
tuduhan disertai dengan bukti-bukti dan saksi.

2) Dan tergugat dipersilahkan untuk memperhatikan gugatan atau tuduhan.

3) Setelah penggugat selesai menyampaikan tuduhanya, hakim bertanya sesuai dengan


keperluanan dan meminta bukti - bukti untuk menguatkan tuduhan.

4) Jika tidak terdapat bukti, hakim dapat meminta penggugat untuk bersumpah
( tanpa paksaan ).

5) Jika penggugat menunjukkan bukti-bukti yang benar, maka hakim harus


memutuskan sesuai dengan tuduhan meskipun tergugat menolak tuduhan tersebut.

6) Jika tidak terdapat bukti yang benar, maka hakim harus menerima sumpah terdakwa
dan membenarkan terdakwa.

e. Hal-hal yang dilarang atas hakim ketika menjatuhkan vonis

Hakim tidak boleh menjatuhkan vonis pada saat:

- Sedang marah.
- Sangat lapar.
- Sedang bersin.
- Habis begadang
- Sedang bersedih.
- Sangat gembira.
- Sedang sakit.
- Sangat mengantuk.
- Sedang menolak keburukan
- Dan dalam keadaan cuaca yang sangat panas maupun sangat dingin.

3. PENGGUGAT DAN BUKTI

a. Pengertian dan syarat-syarat penggugat

Penggugat adalah orang yang mengajukan gugatan karena merasa di rugikan oleh pihak
tergugat, Penggugat disebut juga dengan penuntut atau pendakwa atau mudda’i. .

Sedang Materi yang dipersoalkan oleh kedua belah pihak yang terlibat perkara
dalam proses peradilan disebut gugatan.
Penggugat harus dapat membuktikan kebenaan gugatannya disertai bukti-bukti yang
kuat, saksi-saksi yang adil atau dengan melakukan sumpah dari penggugat sebagai
berikut : “ Apabila gugatan saya tidak benar, maka laknat Allah atas diri saya”.

b. Syarat-syarat Gugatan

Gugatan tidak sah jika tidak memenuhi persyaratan berikut, yaitu

1) gugatan harus di sampaikan ke pengadilan baik secara tulis maupun lisan.

2) gugatan harus di uraikan secara jelas.

3) pihak tergugat jelas orangnya.

4) penggugat dan tergugat sama-sama Islam, baligh dan berakal.

c. Pengertian Bukti ( enϬrϳi

Barang bukti atau bayinah adalah segala sesuatu yang ditunjukkan oleh penggugat
untuk memperkuat kebenaran dakwaannya. Barang bukti tersebut dapat
berupa surat-surat resmi, dokumen, dan barang-barang lain yang dapat memperjelas
masalah (dakwaan) terhadap terdakwa. Hal ini sebagaimana sabagaimana sabda
Rasulullah, bahwa kekuatan barang bukti adalah sebagai berikut :
Ǭ 䀤 Èƫ 㷟Ȁ Ê Ȁaaa ƾ耀 䀤
䀤 ehȺa hÈ Ǭ 䀤̄ ºa ⿏ Ì 쀀 쀀 e aa Ȁ䀤 ƫ h a 䀤 ǼaÊ 쀀䀤
ƪ dz Ǭ 쀀 aÌ䀤 a 㷟È a ≘h a 䀤ƫ
Ê 㷟Ȁr 耀
Ϭ iϳi

“ dari Jabir bahwasanya ada dua orang yang bersengketa tentang seekor unta betina,
tiap di antara mereka menyatakan : Diperanakkan unta ini disisi saya, dan keduanya
mengadakan bukti, maka Rasulullah SAW. memutuskan unta itu menjadi hak orang
yang unta itu ada ditangannya al Haddits)

4. TERGUGAT DAN SUMPAH

a. Pengertian tergugat

Orang yang terkena gugatan dari penggugat disebut tergugat atau dalam istilah
fiqih disebut muda’a alaih. Tergugat dapat membela diri dengan
membantah kebenaran gugatan dengan menunjukkan bukti-bukti administrasi dan
bahan-bahan yang meyakinkan, disamping melakukan sumpah.

Bila seorang pendakwa menuduh suatu hak kepada orang lain sedang dia tidak
mampu mengajukan bukti, maka tertuduh harus bersumpah untuk mengingkari apa
yang di tuduhkan. Rasulullah saw bersabda :
Ǭ 䀤 Èƫ
Ϡ γ ϣ rϳi i ƫhȀ 䀤 a 䀤 ƫhȀ 䀤 a Èƫ 䁑䀤 a
㷟 䀤 aa

“Orang yang mendakwa (penggugat) harus menunjukkan bukti dan terdakwa


(tergugat) harus bersumpah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jika tergugat menolak bersumpah maka ketidakberaniaanya untuk bersumpah


itu dianggap sebagai pengakuannya atas tuduhan. Dalam keadaan yang demikian,
sumpah tidak boleh dikembalikan kepada penuduh; tidak ada sumpah bagi pendakwa
atas kebenaran dakwaan yang dituduhkanya, sebab sumpah itu selamanya dalam hal
keingkaran.

Menurut Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad, bahwa ketidakberanian untuk


bersumpah itu sendiri tidak cuckup untuk menghukumi orang yang didakwa, sebab
ketidakberanian untuk bersumpah itu adalah hujjah yang lemah yang wajib diperkuat
oleh sumpah orang yang mendakwa bahwa dia betul dalam dakwaannya. Apabila
pendakwa mau bersumpah, maka dia dihukumi dengan dakwaannya itu. Akan tetapi
apabila dia tidak mau bersumpah, maka dakwaannya ditolak.

b. Tujuan dan Sumpah Tergugat

Tujuan sumpah dalam syariat Islam ada dua yaitu :

- Menyatakan tekad untuk melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh dan


bertanggung jawab terhadap tugas tersebut.

- Membuktikan dengan sungguh-sungguh bahwa yang bersangkutan berada difihak


yang benar.

Tujuan sumpah yang kedua inilah yang dilakukan di pengadilan. Sumpah tergugat
adalah sumpah yang dilakukan oleh tergugat dalam rangka
mempertahankan diri dari tuduhan penggugat disamping harus menunjukkan bukt
i-bukti tertulis dan bahan-bahan yang meyakinkan.

c. Syarat-syarat Orang Bersumpah

Orang yang bersumpah harus memenuhi tiga syarat yaitu :

- baligh dan berakal.

- Atas kemauan sendiri tanpa paksaan dari siapapun.

- Disengaja, bukan karena terlanjur dan lain sebagainya.


Ada tiga kalimat yang diucapkan untuk bersumpah, yaitu : , dan . Ketiga kata
itu artinya sama yaitu “demi Allah“. Sebagaimana contoh sumpah yang dilakukan oleh
Rasulullah sebagai berikut :

i ri i rah 䀤r 쀀 ≘h aÂ䀤 DŽ a
r Ū

“Demi Allah, sesungguhnya aku akan memerangi kaum quraisy, kalimat ini
diucapkan tiga kali oleh Beliau.” (HR. Abu Daud).

d. SAKSI

1) Pengertian Saksi dan hukum melakukan kesaksian

Kesaksian dalam bahasa arab berasal dari kata syahaddah, yang berarti melihat dengan
mata kepala, karena orang yang menyaksikan itu memberitahukan tentang apa yang
disaksikan dan dilihatnya.

Saksi adalah orang yang diperlukan oleh pengadilan untuk memberikan


keterangan yang berkaitan dengan suatu perkara demi tegaknya hukum dan
tercapainya keadilan dalam pangadilan dan saksi harus jujur dalam memberikan
kesaksiannya, karena itu seorang saksi harus terbebas dari pengaruh dari luar maupun
tekanan dari dalam sidang pengadilan. Saksi bisa memberikan kebenaran suatu
peristiwa itu betul-betul terjadi atau sebaliknya. Sehingga saksi itu bisa meringankan
atau memberatkan terdakwa dalam proses pengadilan. Dengan dihaddirkannya saksi
akan dapat membantu para hakim dalam rangka memberikan putusan sesuai dengan
kebenaran, karena didukung adanya bukti-bukti yang kuat, sehingga putusan yang
diambil sesuai dengan prosedur yang ada.

Kesaksian hukumnya fardhu ‘ain bagi orang yang memikulnya apabila di dipanggil
untuk memberikan kesaksian dan dikhawatirkan kebenaran akan hilang. Allah
berfirman dalam QS. Al Baqarah: 283:

“janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang


menyembunyikannya, maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya” (QS. Al Baqarah /2: 183).

2) Fungsi saksi

1). sebagai salah satu alat bukti dalam memeriksa kebenaran tuduhan.
2). Sebagai bahan pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara.
3). Sebagai penguat dan bahan prbandingan atas bukti-bukti lainya.
3) Syarat-syarat Saksi

a) Islam.
b) Baligh
c) Berakal sehat
d) Orang yang merdeka
e) Adil
4) Saksi yang di tolak

Dengan adanya saksi di harapkan pengadilan bisa berjalan dengan adil, tetapi jika
keberadaan saksi di khawatirkan akan memuculkan ketidak adilan maka saksi harus di
tolak, berikut ini adalah orang-orang yang kesaksiannya ditolak :

a) Saksi yang tidak adil


b) Saksi seorang musuh kepada musuhnya
c) Saksi seorang ayah kepada anaknya
d) Saksi seorang anak kepada ayahnya
e) Orang yang menumpang di rumah terdakwa

BAB XII
PERNIKAHAN DALAM ISLAM

A. PENGERTIAN NIKAH

Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu, berkumpul.
Menurut istilah nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan
perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang
dilakukan menurut hukum syariat Islam.
l   昀   aΘ sb s昀 Ϡ DJ    oD  ή o D E   
Rasulullah SAW bersabda :
sE . D Elo D     D 
昀 soD 昀  昀 D sb 㷟  lD ⿏ J    㷟  D    D   昀 ) Artinya :”Hai para pemuda, barang siapa
diantara kamu telah sanggup menikah, maka nikahlah. Karena nikah itu dapat
menundukkan mata dan memelihara faraj (kelamin) dan barang siapa tidak sanggup
maka hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (HR. Bukhori
Muslim)

B, HUKUM NIKAH

Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh
dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian ditinjau dari segi kondisi orang
yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi wajib, sunat,
makruh dan haram. Adapun penjelasannya adalah sebagi berikut :
1.Jaiz, artinya dibolehkan dan inilah yang menjadi dasar hukum nikah.
2 Wajib, yaitu orang yang telah mampu/sanggup menikah sedangkan bila tidak
menikah khawatir akan terjerumus ke dalam perzinaan.
3.Sunat, yaitu orang yang sudah mampu menikah namun masih sanggup
mengendalikan dirinya dari godaan yang menjurus kepada perzinaan.
4.Makruh, yaitu orang yang akan melakukan pernikahan dan telah memiliki keinginan
atau hasrat tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberikan nafkah tanggungan-
nya.
5 Haram, yaitu orang yang akan melakukan perkawinan tetapi ia mempunyai niat yang
buruk, seperti niat menyakiti perempuan atau niat buruk lainnya.

C. TUJUAN NIKAH

Secara umum tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia
(pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang
bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam.

Secara umum tujuan pernikahan dalam Islam dalam diuraikan sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh kebahagiaan dan ketenangan hidup (sakinah). Ketentraman dan
kebahagiaan adalah idaman setiap orang. Nikah merupakan salah satu cara supaya
hidup menjadi bahagia dan tentram. Allah SWT berfirman yang artinya :” Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. “.(Ar-Rum :
21)
2. Membina rasa cinta dan kasih sayang. Nikah merupakan salah satu cara untuk
membina kasih sayang antara suami, istri dan anak. ( lihat QS. Ar- Rum : 21) :”Dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. “.(Ar- Rum : 21)
3. Untuk memenuhi kebutuhan seksual yang syah dan diridhai Allah SWT
4. Melaksanakan Perintah Allah swt. Karena melaksanakan perintah Allah swt maka
menikah akan dicatat sebagai ibadah. Allah swt., berfirman yang artinya :" Maka
nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai". (An-Nisa' : 3)
5. Mengikuti Sunah Rasulullah saw. Rasulullah saw., mencela orang yang hidup
membujang dan beliau menganjurkan umatnya untuk menikah.
Sebagaimana sabda beliau dalam haditsnya
: 昀 soD 昀  J  D    Θ     D 㷟  e D
e a
)
Artinya :"Nikah itu adalah sunahku, barang siapa tidak senang dengan sunahku,
maka bukan golonganku". (HR. Bukhori dan Muslim)
6. Untuk memperoleh keturunan yang syah. Allah swt.,
D. RUKUN NIKAH DAN SYARATNYA.

1. Calon Suami Beragama Islam Atas kehendak sendiri Bukan muhrim Tidak sedang
ihrom haji 2. Calon Istri Beragama Islam Tidak terpaksa Bukan Muhrim Tidak bersuami
Tidak sedang dalam masa idah Tidak sedang ihrom haji atau umroh
3. Adanya Wali Mukallaf (Islam, dewasa, sehat akal) (Ali Imron : 28) Laki-laki merdeka
Adil Tidak sedang ihrom haji atau umroh
4. Adanya 2 Orang Saksi - Syaratnya sama dengan no : 3
5. Adanya Ijab dan Qobul

E. MUHRIM

Menurut pengertian bahasa muhrim berarti yang diharamkan.


Menurut Istilah dalam ilmu fiqh muhrim adalah wanita yang haram dinikahi. Penyebab
wanita yang haram dinikahi ada 4 macam :

1. Wanita yang haram dinikahi karena keturunan


a. Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek dari ayah).
b. Anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan seterusnya).
c. Saudara perempuan sekandung (sekandung, sebapak atau seibu).
d. Saudara perempuan dari bapak.
e. Saudara perempuan dari ibu.
f. Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.
g. Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah
.
2. Wanita yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan
a. Ibu yang menyusui.
b. Saudara perempuan sesusuan

3. Wanita yang haram dinikahi karena perkawainan


a. Ibu dari isrti (mertua)
b. Anak tiri (anak dari istri dengan suami lain), apabila suami sudah kumpul dengan
ibunya.
c. Ibu tiri (istri dari ayah),
d. Menantu (istri dari anak laki-laki), baik sudah dicerai maupun belum.

4. Wanita yang haram dinikahi karena mempunyai pertalian muhrim dengan istri.
Misalnya haram melakukan poligami (memperistri sekaligus) terhadap dua orang
bersaudara, terhadap perempuan dengan bibinya, terhadap seorang perempuan dengan
kemenakannya. (lihat An-Nisa : 23)
Wali nikah di bagi menjadi 2 macam yaitu wali nasab dan wali hakim :
1. Wali nasab yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita
yang akan dinikahkan. Adapun Susunan urutan wali nasab adalah sebagai berikut :
a. Ayah kandung, ayah tiri tidak syah jadi wali
b. Kakek (ayah dari ayah mempelai perempuan) dan seterusnya ke atas
c. Saudara laki-laki sekandung
d. Saudara laki-laki seayah
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
g. saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah
h. Anak laki-laki dari sdr laki-laki ayah yang sekandung dengan ayah
i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah

2. Wali hakim, yaitu seorang kepala Negara yang beragama Islam.


Wali hakim bertindak sebagai wali nikah apabila memenuhi kondisi sebagai berikut :
a. Wali nasab benar-benar tidak ada
b. Wali yang lebih dekat (aqrob) tidak memenuhi syarat dan wali yang lebih jauh (ab’ad)
tidak ada.
c. Wali aqrob bepergian jauh dan tidak memberi kuasa kepada wali nasab urutan
berikutnya untuk berindak sebagai wali nikah.
d. Wali nasab sedang berikhram haji atau umroh
e. Wali nasab menolak bertindak sebagi wali nikah
f. Wali yang lebih dekat masuk penjara sehingga tidak dapat berintak sebagai wali
nikah
g. Wali yang lebih dekat hilang sehingga tidak diketahui tempat tinggalnya. Wali hakim
berhak untuk bertindak sebagai wali nikah

F. TALAK

1. Pengertian dan Hukum Talak


Menurut bahasa talak berarti melepaskan ikatan. Menurut istilah talak ialah lepasnya
ikatan pernikahan dengan lafal talak. Asal hukum talak adalah makruh,
Hal-hal yang harus dipenuhi dalam talak ( rukun talak) ada 3 macam :
a. Yang menjatuhkan talak(suami), syaratnya: baligh, berakal dan kehendak sendiri.
b. Yang dijatuhi talak adalah istrinya.
c. Ucapan talak, baik dengan cara sharih (tegas) maupun dengan cara kinayah
(sindiran). Cara sharih, misalnya “saya talak engkau!” atau “saya cerai engkau!”. Ucapan
talak dengan cara sharih tidak memerlukan niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya
dengan cara sharih, maka jatuhlah talaknya walupun tidak berniat mentalaknya.
Cara kinayah, misalnya “Pulanglah engkau pada orang tuamu!”, atau “Kawinlah engkau
dengan orang lain, saya sudah tidak butuh lagi kepadamu!”

2. Macam-Macam Talak

Talak dibagi menjadi 2 macam yaitu :


a. Talak Raj'i yaitu talak dimana suami boleh rujuk tanpa harus dengan akad nikah
lagi. Talak raj’I ini dijatuhkan suami kepada istrinya untuk pertama kalinya atau kedua
kalinya dan suami boleh rujuk kepada istri yang telah ditalaknya selam masih dalam
masa iddah.
b. Talak Bain. Talak bain dibagi menjadi 2 macam yaitu talak bain sughro dan talak
bain kubra.
1. Talak bain sughro yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum dicampuri
dan talak khuluk (karena permintaan istri). Suami istri boleh rujuk dengan cara
akad nikah lagi baik masih dalam masa idah atau sudah habis masa idahnya.
2. Talak bain kubro yaitu talak yang dijatuhkan suami sebanyak tiga kali (talak tiga)
dalam waktu yang berbeda. Dalam talak ini suami tidak boleh rujuk atau menikah
dengan bekas istri kecuali dengan syarat:
- Bekas istri telah menikah lagi dengan laki-laki lain
- Telah dicampuri dengan suami yang baru.
- Telah dicerai dengan suami yang baru.
- Telah selesai masa idahnya setelah dicerai suami yang baru.

3. Macam-macam Sebab Talak

Talak bisa terjadi karena :


a. Ila' yaitu sumpah seorang suami bahwa ia tidak akan mencampuri istrinya. Ila'
merupakan adat arab jahiliyah. Masa tunggunya adalah 4 bulan. Jika sebelum 4 bulan
sudah kembali maka suami harus menbayar denda sumpah. Bila sampai 4 bulan/lebih
hakim berhak memutuskan untuk memilih membayar sumpah atau mentalaknya.

b. Lian, yaitu sumpah seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina. sumpah itu
diucapkan 4 kali dan yang kelima dinyatakan dengan kata-kata : "Laknat Allah swt atas
diriku jika tuduhanku itu dusta". Istri juga dapat menolak dengan sumpah 4 kali dan
yang kelima dengan kata-kata: "Murka Allah swt, atas diriku bila tuduhan itu benar".

c. Dzihar, yaitu ucapan suami kepada istrinya yang berisi penyerupaan istrinya dengan
ibunya seperti : "Engkau seperti punggung ibuku ". Dzihar merupakan adat jahiliyah
yang dilarang Islam sebab dianggap salah satu cara menceraikan istri.
d. Khulu' (talak tebus) yaitu talak yang diucapkan oleh suami dengan cara istri
membayar kepada suami. Talak tebus biasanya atas kemauan istri. Penyebab talak
antara lain : Istri sangat benci kepada suami. Suami tidak dapat memberi nafkah. Suami
tidak dapat membahagiakan istri.

e. Fasakh, ialah rusaknya ikatan perkawinan karena sebab-sebab tertentu yaitu : Karena
rusaknya akad nikah seperti : diketahui bahwa istri adalah mahrom suami. Salah
seorang suami / istri keluar dari ajaran Islam. Semula suami/istri musyrik kemudian
salah satunya masuk Islam. Karena rusaknya tujuan pernikahan, seperti : Terdapat
unsur penipuan, misalnya mengaku laki-laki baik ternyata penjahat. Suami/istri
mengidap penyakit yang dapat mengganggu hubungan rumah tangga. Suami
dinyatakan hilang. Suami dihukum penjara 5 tahun/lebih.

F. Hadhonah. Hadhonah artinya mengasuh dan mendidik anak yang masih kecil. Jika
suami/istri bercerai maka yang berhak mengasuh anaknya adalah : a. Ketika masih
kecil adalah ibunya dan biaya tanggungan ayahnya. b. Jika si ibu telah menikah lagi
maka hak mengasuh anak adalah ayahnya.

G. IDDAH

Secara bahasa iddah berarti ketentuan. Menurut istilah iddah ialah masa menunggu
bagi seorang wanita yang sudah dicerai suaminya sebelum ia menikah dengan laki-laki
lain. Masa iddah dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada bekas suaminya
apakah dia akan rujuk atau tidak.

1. Lamanya Masa Iddah.

a. Wanita yang sedang hamil masa idahnya sampai melahirkan anaknya.


b. Wanita yang tidak hamil, sedang ia ditinggal mati suaminya maka masa idahnya 4
bulan
10 hari.
c. Wanita yang dicerai suaminya sedang ia dalam keadaan haid maka masa idahnya 3
kali
quru' (tiga kali suci).
d. Wanita yang tidak haid atau belum haid masa idahnya selama tiga bulan. (
e. Wanita yang dicerai sebelum dicampuri suaminya maka baginya tidak ada masa
iddah)
2. Hak Perempuan Dalam Masa Iddah.
a. Perempuan yang taat dalam iddah raj'iyyah (dapat rujuk) berhak mendapat dari
suami yang mentalaknya: tempat tinggal, pakaian, uang belanja. Sedang wanita yang
durhaka tidak berhak menerima apa-apa.
b. Wanita dalam iddah bain (iddah talak 3 atau khuluk) hanya berhak atas tempat
tinggal saja. (Lihat QS. At-Talaq : 6)
c. Wanita dalam iddah wafat tidak mempunyai hak apapun, tetapi mereka dan anaknya
berhak mendapat harta warits suaminya.

H. RUJUK.

Rujuk artinya kembali. Maksudnya ialah kembalinya suami istri pada ikatan
perkawinan setelah terjadi talak raj'i dan masih dalam masa iddah. Dasar
hukum rujuk adalah QS. Al-Baqoroh: 229, yang artinya sebagai berikut: "Dan suami-
suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki rujuk".

BAB XIII

PEMBAGIAN WARIS DALAM ISLAM

A. Pengertian Ilmu Mawaris

Ilmu mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang cara pembagian harta yang telah
di tentukan dalam Alquran dan Hadits.cara pembagian menurut ahli mawarits adalah
yang terbaik, seadil-adilnya dengan tanpa melupakan hak seorang ahli waris sekalipun
terhadap anak-anak yang masih kecil.
Ilmu mawaris disebut juga dengan ilmu faraidh, ilmu faraidh merupakan suatu cara
yang sangat efektif untuk mendapat pembagian warisan-warisan yang berprinsip dan
nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya .
Ilmu mawaris dan ilmu faraidh pada prinsipnya adalah sama yaitu ilmu yang
membicarakan tentang segala sesuatu yang berkenan dengan harta peninggalan orang
yang meninggal dunia.

Para waris dari golongan laki-laki yang di sepakati pewaris mereka ada 10 orang yang
secara garis besar dan Ada 15 orang secara terperinci.

a. Golongan dari laki-laki

1. Anak laki-laki
2. Putra dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah
3. Ayah
4. kakek yang shohih dan seterusnya ke atas.
5. saudara laki-laki seayah dan seibu
6. saudara laki-laki seayah
7. saudara laki-laki seibu
8. putra saudara laki-laki seayah dan seibu
9. putra saudara laki-laki seayah
10. saudara laki-laki ayah yang seayah seibu
11. saudara laki-laki seayah
12. putra saudara laki-laki yang seayah seibu
13. putra saudara laki-laki ayah yang seayah
14. suami
15. orang yang laki laki yang membebaskan budak.

b. Golongan dari perempuan

1. Anak perempuan
2. Ibu
3. putri dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
4. nenek yang shohih dan seterusnya keatas ( ibu dari ibu )
5. nenek yang shohih dan seterusnya keatas ( ibu dari ayah )
6. saudara perempuan seayah dan seibu
7. saudara perempuan seayah
8. saudara perempuan seibu
9. Istri
10. orang perempuan yang membebaskan budak[2]

Tujuan Ilmu Mawarits

a. Agar dapat melaksanakan pembagian harta warisan kepada ahli warits yang berhak
menerimanya sesuai dengan ketentuan syari’at Islam
b. Agar dapat di ketahui secara jelas siapa orang yang berhak menerima harta warisan
dan berapa bagian masing”.
c. Agar dapat menentukan bagian harta warisan secara adil dan benar sehingga tidak
terjadi perselisihan.

Syarat pewarisan

a. Kematian
Orang yang telah meninggal dunia dan mempunyai harta maka akan di wariskan harta
peninggalannya.karna sudah merupakan ketentuan hukumnya.harta warisan tidak
mungkin di bagikan sebelum orang yang mempunyai harta peninggalan itu di nyatakan
meninggal dunia secara hakiki.
b. Ahli waris harus masih hidup
Ahli waris yang akan menerima harta warisan dari orang yang meninggal dunia harus
masih hidup. Artinya Apabila ada ahli waris yang sudah meninggal itu tidak berhak
mendapat harta peninggalan.
c. Ahli waris harus jelas posisinya
Masing-masing ahli waris harus dapat di ketahui posisinya secara pasti, supaya bagian-
bagian harta warisan itu dapat di peroleh sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebab
ketentuan hukum pewrisan selalu berubah-ubah sesuai dengan tingkatan ahli waris.

Rukun Pewarisan
a. Muwaris
Yaitu Orang yang meninggal dunia atau orang yang meninggalkan harta kepada orang-
orang yang berhak menerimanya sesuai dengan syari’at Islam
b Waris
Yaitu Orang yang berhak menerima harta peninggalan dari Muwarits karena sebab-
sebab tertentu. Waris di sebut juga dengan Ahli Waris.
c. Miras
Yaitu Harta yang di tinggalkan oleh muwaris yang akan di bagikan kepada orang-orang
yang berhak menerimanya ( ahli waris ). Miras itu bermacam-macam harta, misalnya
tanah, rumah, uang, kendaraan, dan lain sebagainya.

B. Sebab-sebab Menerima harta warisan dan penghalang mendapatkan


warisan.

Dalam Agama islam sebab-sebab menerima harta warisan, adalah sebagai berikut:

· Hubungan kekeluargaan
Dalam hubungan kekeluargaan tidak membedakan antara ahli waris laki-laki dan
perempuan, orang tua dan anak-anak, orang yang kuat dan Lemah. Sesuai ketentuan
yangberlaku semuanya harta warisan.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, Dalam Alquran surah An-nisa’ ayat 7 :

yoJls E n⿏ 昀    ϥ ⿏E  昀 ϥ  D  D ˴E Jls  e D昀 ϥ ⿏E  昀 ϥ  D  D ˴E Jls ϝ  Ee D


 
y 昀E. 
Artinya; Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.

Hubungan kekeluargaan ini bila di lihat dari penerimaannya ada tiga kelompok:

1. Dzawil Furudh
Yaitu ahli waris yang memperoleh bagian tertentu seperti suami mendapat seperdua
bila orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan mendapat seperempat bila orang
yang meninggal mempunyai anak.
2. Dzawil arham
Yaitu keluarga yang hubungan kekeluargaan nya jauh, mereka tidak termasuk ahli waris
yang mendapat bagian tertentu, tetapi mereka mendapat warisan jika ahli waris yang
dekat tidak ada.
3. Ahlul Ashabah
Yaitu Ahli waris yang mendapat sisa harta atau menghabiskan sisa, setelah ahli waris
yang memperoleh bagian tertentu mengambil bagian masing-masing.

· Hubungan perkawinan
Selama perkawinan masih utuh bisa menyebabkan adanya saling waris mewarisi.
Akan tetapi, jika perkawinan sudah putus maka gugurlah saling waris mewarisi, kecuali
istri dalam keadaan masa iddah pada talak raj’i.
· Hubungan wala’ ( memerdekakan budak )
Seseorang yang telah memerdekakan budak bisa menyebabkan memperoleh
warisan. Jika budak yang di merdekakan itu meninggal dunia, maka orang yang
memerdekakan itu berhak menerima warisan. Akan tetapi, jika orang yang
memerdekakan itu meninggal dunia maka budak yang telah di merdekakan itu tidak
berhak mendapatkan apa-apa.

· Hubungan Agama
Apabila ada orang yang meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, baik dari
hubungan kekeluargaan, perkawinan, wala’, maka harta warisannya itu di berikan
kepada kaum muslimin, yaitu diserahkan ke baitul Mal untuk kemashlahatan umat
islam.

Sebab-sebab Tidak menerima / Hilangnya Hak menerima Harta Warisan:

· Perbudakan
Seorang budak tidak dapat menerima warisan dan tidak dapat memberikan warisan
dari dan kepada semua keluarganya (yang mempunyai hubungan nasab) yang
meninggal dunia selama ia masih berstatus budak.
· Pembunuhan
Para ahli hukum islam sepakat bahwa tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli
waris terhadap pewarisnya, pada prinsipnya menjadi penghalang baginya untuk
mewarisi harta warisan pewaris yang dibunuhnya.
· Berlainan Agama
Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama yang menjadi kepercayaan antara
orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan. Dasar hukum berlainan agama
sebagai mawani’ul irsi adalah hadis rasulullah saw yang artinya :
Orang islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat
mewarisi harta orang muslim.
· Berlainan Negara
Ciri-ciri suatu negara adalah memiliki kepala negara sendiri, memiliki angkatan
bersenjata, dan memiliki kedaulatan sendiri. Maka yang dimaksud berlainan negara
adalah yang berlainan ketiga unsur tersebut. Berlainan negara ada tiga kategori, yaitu
berlainan menurut hukumnya, berlainan menurut hakikatnya, dan berlainan menurut
hakikat sekaligus hukumnya. Berlainan negara antara sesama muslim, telah disepakati
fuqaha bahwa hal ini tidak menjadi penghalang untuk saling mewarisi, sebab semua
negara islam mempunyai kesatuan hukum, meskipun berlainan politik dan sistem
pemerintahannya. Yang diperselisihkan adalah berlainan negara antara orang-orang
yang non muslim.[4]

C. Pengelompokkan ahli waris dan hak masing-masing.

- Ahli Waris Yang masuk golongan ashabah ialah:


1. Anak Laki-laki
2. Cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah
3. Ayah
4. Kakek Laki-laki dan seterusnya keatas
5. Saudara laki-laki seibu
6. Saudara seayah
7. Anak laki-laki dari saudara seibu seayah
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
9. Paman seibu seayah
10. Paman seayah
11. Anak laki-laki dari paman laki-laki seibu seayah
12. Anak laki-laki dari paman saudara seayah
13. Laki-laki yang memerdekakan.
14. Perempuan yang memerdekakan

Ahli waris ashabah ini menerima warisan berdasarkan peringatan di mulai dari
peringkat pertama Bila ada ashabah pada peringkat yang lebih dekat tentu ashabah
yang barada di peringkat berikutnya akan terhijab otomatis.

Mengenal kedudukan ayah dan kakek memang strategis, satu sisi mereka adalah dzaul
furudh tetapi disisi lain mereka juga jadi ashabah, tentu manakala atau cucu laki-laki
tidak ada, ayah dan kakek tetap menjadi dzaul furudh.

- Bahagian Ahli Waris Dzaul Furudh

a. Yang menerima setengah (1/2)


1. Anak perempuan apabila hanya seorang
2. Anak perempuan dari anak laki-laki ( cucu perempuan ), Apabila hanya seorang,
selama tidak ada anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Saudara perempuan seayah, jika hanya seorang saja, dan tidak juga tsb pada point 1
dan 2
4. Suami, jika tidak ada anak, dan tidak ada cucu laki-laki dan anak laki-laki

b. Yang menerima seperempat (1/4)


1. Suami, jika tidak ada anak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki
2. Istria tau beberapa orang istri, jika tidak ada anak atau cucu laki-laki dari anak laki-
laki

c. Yang menerima seperdelapan (1/8)


1. Istri atau beberapa orang istri bila ada anak atau cucu dari anak laki-laki

d. Yang mendapat dua pertiga (2/3)


1. Dua orang anak perempuan atau lebih jika mereka tidak mempunyai saudara laki-laki
2. Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak lak-laki, selama tidak ada anak
perempuan atau saudara laki-laki
3. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih, jika tidak ada anak perempuan
atau anak perempuan dari anak laki-laki, atau saudara laki-laki mereka.
4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, jika tidak ada yang tsb dari point 123

e. Yang mendapat (1/3)


1. Ibu, jika tidak terhalang, jika tidak meninggalkan anak atau cucu laki-laki. Atau tidak
pula meninggalkan dua orang saudara baik laki-laki maupun perempuan , baik seibu
seayah atau bukan.
2. Dua orang laki-laki atau lebih, juga saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih,
jika tidak ada pokok dan cabang (ayah atau kakek dan anak atau cucu).itulah yang di
maksud dengan “kalalah”. Selain itu jumlah mereka harus ada dua orang atau lebih baik
mereka lelaki atau perempuan.

f. Yang menerima seperenam (1/6)


1. Ibu, jika ada anak, atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, atau dua orang atau lebih dari
saudara laki-laki dan perempuan.
2. Ayah, jika tidak ada anak atau cucudari anak laki-laki
3. Nenek perempuan jika tidak ada ibu
4. Cucu perempuan dari anak laki-laki, jika bersama-sma dengan seoranganak
perempuan sekandung.
5. Saudara perempuan seayah, jika bersama-sama dengan seorang saudara perempuan
sekandung ayah.

- Ahli waris zul arham


Ahli waris zul arham adalah orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan
pewaris, namun tidak dijelaskan bagiannya dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai
zaul furudh dan tidak pula termasuk dalam kelompok ashabahbila kerabat yang
menjadi ashabah adalah laki-laki dalam garis keturunan laki-laki, maka zaul arham itu
adalah perempuan atau laki-laki melalui garis keturunan perempuan.
Zul arham terdapat 4 kelompok garis keturunan yaitu:

a. Garis keturunan lurus ke bawah yaitu:


- Anak laki-laki atau perempuan dan keturunannya.
- Anak laki-laki atau perempuan dari cucu perempuan dan keturunannya.

b. Anak keturunan lurus ke atas


- Ayah dari ibu dan seterusnya ke atas
- Ayah dari ibunya ibu dan seterusnya ke atas
- Ayah dari ibunya ayah dan seterusnya ke atas

c. Garis keturunan kesampig pertama, yaitu:


- Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung atau seayah dan anaknya
- Anak laki-laki atau perempuan dari saudara seibu dan seterusnya ke bawah
d. Garis keturunan kesamping kedua yaitu:
- Saudara perempuan ( kandung, seayah, atau ibu) dari ayah dan anaknya.
- Saudara laki-laki atau perempuan seibu dari ayah dan seterusnya ke bawah.
- Saudara laki-laki atau perempuan ( kandung, seayah, atau ibu) dari ibu dan
seterusnya ke bawah

D. Gugurnya Ahli Waris

1. Bagian Untuk nenek perempuan menjadi gugur karena ada ibu, atau datuk laki-laki
terhalang karena ada ayahnya.
2. Bagian saudara ibu menjadi gugur karena ada salah seorang dari 4 Macam ahli waris:

a. Anak
b. Cucu dariAnak laki-laki
c. Ayah
d. Datuk laki-laki

3. Bagian saudara Laki-laki sekandung menjadi gugur, karena ada salah seorang dari tiga
ahli waris yaitu :

a. Anak Laki-laki
b. cucu laki-laki dari anak laki-laki
c. Ayah

4. Bagian Anak Ayah( Saudara laki-laki atau perempuan seayah ) manjadi gugur, karena
adanya salah seorang tersebut di atas, yakni anak laki-laki, cucu laki- laki dari anak
laki-laki atau ayah.Dan jika ada saudara laki-laki seayah seibu.
5. Empat orang yang dapat menjadi ‘Ashobah kepada saudara-saudara perempuan
mereka Yakni:

a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c. Saudara laki-laki sekandung
d. Saudara laki-laki seAyah

BAB XIV
JIHAD DALAM ISLAM

A. PENGERTIAN JIHAD
Jihad dari kata jahada berarti mencurahkan segala kemampuaan (untuk tercapainya
seuatu yang diinginkan) berjuang bersungguh – sungguh.[7]
Dalam salah satu firmannya allah memerintahkan

Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. (QS
(Al-hajj [22]: 78

Dalam firmannya allah yang lain diungkapkan:t

Dan Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk
dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan
sesuatu) dari semesta alam. (QS Al-Ankabut [29] : 6)
Dari kedua ayat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam Al-qur’an, kata jihad tidak
selalu menunjukkan pada makna perang, atau perjuangan bersenjata, dari catatan
sejarah menyatakan bahwa perjuangan bersenjata baru dilakukan Nabi Saw dan para
sahabatnya setelah beliau dan para sahabat telah berhijrah ke madinah padahal surah
Al- Ankabut yang banyak mengandung perintah jihad telah turun sekitar tahun ke 5 dari
kerasulan Muhammad Saw, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jihad adalah
segala upaya yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang sebagai manifestasi
keimanan nya dalam rangka tegaknya kebenaran dan terberantasnya kebatilan, baik
dilakukan dengan jalan perang maupun tanpa perang.

Dengan kata lain jihad adalah perjuangan umat islam di jalan allah dalam rangka
tegaknya amar–ma’ruf dan nahi–munkar.

Motivasi jihad yang dilakukan kaum muslimin tidak terlepas dari upaya penegakan
amar–ma’ruf dan nahi–munkar, berupa:[8]
1. Terpeliharanya agama
2. Tercegahnya kezaliman
3. Memberantas kemunafikan
4. Membela orang – orang lemah

B. SYARAT JIHAD
Menurut Syaikh Abu Syujak syarat-syarat jihat ada tujuh antar lain
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Merdeka
5. Laki-laki
6. Sehat
7. Kuat berperrang
8.
C. RUKUN JIHAD
Menurut Syaikh Abu Syujak rukun jihad antar lain:

1. Tegas dan siap mati ketika menghadapi serangan musuh, karena Allah Ta’ala
mengharamkan Mujahid mundur dari serangan musuh.
2. Dzikir kepada Allah Ta’ala dengan hati dan lisan dalam rangka meminta kekuatan
Allah Ta’ala dengan ingat janji, ancaman, dukungan serta pertolongan-Nya kepada
wali-wali-Nya. Dengan dzikir seperti itu, hati menjadi tegar dan semangat perang
menjadi kuat.
3. Ta’at kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya dengan tidak melanggar perintah keduanya
dan meninggalkan larangan keduanya.
4. Tidak menimbulkan konflik ketika memasuki kancah perang, namun dengan satu
barisan yang tidak ada celah kosong didalamnya, hati yang menyatu, dan badan-badan
yang rapat seperti bangunan kokoh.
5. Sabar dan tetap dalam kesabaran, dan siap mati ketika memasuki kancah perang
hingga pertahanan musuh terbongkar dan barisan mereka terkalahkan, sebagaimana
firman Allah Ta’ala.

E. MACAM – MACAM JIHAD


1. Jihad Al-nafs
Jihad al-nafs ialah jihad dalam arti memerangi hawa nafsu, dalam islam Jihad al-nafs
dikatagorikan ke dalam jihad akbar, sebab Jihad al-nafs merupakan awal dari
segalabentuk jihad, termasuk ke dalam jihad al-nafs adalah memerangi ketamakan,
kezaliman, kesombongan, kebodohan, kemalasan, kemiskinan, kemaksiatan, nafsu
ingin dihormati, menghasut, dan buruk sangka.

2. Jihad Al-Mal

Jihad al-mal merupakan perpaduan jihad bi al-nafs dan jihad bi al-amwal, jihad bil-nafs
sama dengan al-qital (perang) , yaitu jihad atau perjuangan dengan mengorbankan jiwa,
jika diserang diusir atau diancam musuh yang mengakibatkan terganggu atau hilangnya
kebebasan beragama, sedangkan jihad bil-amwal adalah perjuangan dengan
(mengorbankan) demi kepentingan agama dan masyarakat harta, jihad bil-amwal dapat
berupa infak, sedekah, wakaf dan sebagainya

BAB XV
IJMA’ DAN QIYAS
A. Ijma’

1. Pengertian
Menurut ulama Ushul Fiqh, ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara
umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syara
tentang suatu masalah. Karena itu, jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan
kepada seluruh mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu waktu, mereka kemudian
bersepakat terhadap suatu hukum mengenai kejadian tersebut. Kesepakatan mereka
itulah yang disebut ijma

2. Kehujjahan Ijma’
Apabila keempat rukun ijma’ terpenuhi (1. Adanya sejumlah mujtahid saat terjadinya
peristiwa, 2. Adanya kesepakatan mujtahid tentang peristiwa tanpa memandang latar
belakang, 3. Adanya pendapat dari masing-masing mujtahid, 4. Realisasi dari
kesepakatan mujtahid) dengan diadakan perhitungan pada suatu masa diantara masa-
masa sesudah Rasulullah SAW wafat terhadap semua mujtahid Umat Islam menurut
perbedaan latar belakang para mujtahid, kemudian mereka dihadapkan kepada
suatu kejadian untuk diketahui hukum syara’nya dan masing-masing mujtahid
mengemukakan pendapat , baik secara kolektif ataupun secara individual, kemudia
mereka sepakat atas suatu hukum mengenai suatu peristiwa maka hukum yang
disepakati ini adalah suatu undang-undang syar’I yang wajib diikuti dan tidak boleh
ditentang Jadi kehujjahan ijma’ sebagaimana dalam Qur’an Surat An-Nisa ayat 59,
Allah memerintahkan orang yang beriman untuk menaati Perintah-Nya, Rasul, dan juga
Ulil Amri. Ibnu Abbas menafsirkan Ulil Amrisebagai Ulama’, jika ulama’ telah sepakat
mengenai sesuatu hukum hendaknya hukum itu diikuti dan ditaati.

3. macam-macam ijma’
Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada dua bagian yaitu
a. Ijma Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap suatu
kejadian dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan
dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan
b. Ijma Syukuty yaitu sebagian mujtahid pada satu waktu mengemukakan pendapatnya
secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa dan
mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau
perbedaannya
Sedangkan dilihat dari segi qath’i dan zhanni dalalah hukumnya, ijma ini terbagi
menjadi dua bagian juga yaitu sebagai berikut.
a) Ijma Qoth’i. Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya telah dipastikan dan tidak ada
jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan serta tidak boleh mengadakan
ijtihad hukum syara mengenai suatu kejadian setelah adanya ijma sharih
b) Ijma Zhanni. Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya diduga berdasarkan dugaan
kuat mengenai suatu kejadian. Oleh sebab itu masih memungkinkan adanya ijtihad lain,
sebab hasil ijtihad bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid

B. Qiyas

1. Pengertian
Al-Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang bisa
menyamainya. Contohnya, mengukur pakaian dengan meteran. Sedangkan menurut
ulama Ushul Fiqh, Qiyas adalah menyamakan satu kejadian yang tidak ada nashnya
kepada kejadian lain yang ada nashnya pada hukum yang telah menetapkan lantaran
adanya kesamaan di antara dua kejadian itu dalam illat hukumnya. Misalnya, masalah
meminum khamr merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam
nash. Hukumnya haram berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90. Dengan illat memabukkan.
Oleh karena itu setiap minuman yang terdapat illat memabukkan hukumnya sama
dengan khamr dan haram meminumnya

2. Rukun-rukun qiyas
Setiap qiyas terdiri dari 4 rukun, yaitu :
a) Al-Ashl ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash. Rukun ini biasanya
disebut Maqis ‘Alaih (yang dipakai sebagai ukuran)
b) Al-Far’u ialah sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di dalam nash dan hukumnya
disamakan kepada al-ashl, biasa disebut juga Al Maqis (yang diukur)
c) Hukmul Ashl ialah hukum syara yang terdapat nashnya menurut al ashl dan dipakai
sebagai hukum asal bagi al-Far’u.
d) Al-Illat ialah keadaan tertentu yang dipakai dasar bagi hukum ashl, kemudian al-Far’u
itu disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya

Anda mungkin juga menyukai