Anda di halaman 1dari 3

Symbolic Convergence Theory (CST)

Kemunculan Symbolic Convergence Theory (CST) atau dalam bahasa Indonesia


menjadi Teori Konvergensi Simbolik (TKS) diilhami dari riset Robert Bales mengenai
komunikasi dalam kelompok-kelompok kecil. Pada penelitian yang dilakukan tahun 1950-an
tersebut, Bales sebenarnya memfokuskan penyelidikannya pada perilaku anggota kelompok.
Namun dalam proses tersebut, Bales menemukan kenyataan lain yang menarik minatnya.
Yakni, adanya kecenderungan anggota-anggota kelompok menjadi dramatis dan berbagi
cerita, ketika kelompok mengalami ketegangan. Ernest Bormann meminjam gagasan tersebut
untuk direplikasi ke dalam tindakan retoris masyarakat dalam skala yang lebih luas dari
sekedar proses komunikasi kelompok kecil. Penelitian-penelitian Bormann secara intensif
sepanjang tahun 1970-an lantas bermuara pada munculnya Teori Konvergensi Simbolik.
Pertama kali teori ini disampaikan oleh Ernest Bormann dalam tulisannya yang bertajuk
“Fantasties and Rhetorical Vision : The Retorichal Criticism of Social Reality” yang
diterbitkan dalam Quarterly Journal of Speech 1972. Teori ini menjelaskan tentang proses
pertukaran pesan yang menimbulkan kesadaran kelompok yang menghasilkan hadirnya
makna, motif dan juga persamaan bersama. Kesadaran kelompok yang terbangun dalam suatu
kelompok dapat membangun semacam makna, motif untuk bertindak bagi orang-orang dalam
kelompok tersebut.

Teori konvergensi simbolik (Symbolic Convergence Theory) berfokus terhadap


perilaku anggota kelompok. Teori ini memiliki pemahaman bahwa interaksi yang dilakukan
oleh manusia pada suatu kelompok tertentu memiliki kohesivitas dan penguatan kesadaran
dalam suatu kelompok. Teori ini didasari dari hasil riset yang dilakukan oleh Robert Bales
mengenai komunikasi dalam kelompok -kelompok kecil yang kemudian dikenal dengan
istilah Fantasy Theme. Kemudian Ernest Bormann meminjam gagasan tersebut untuk
direplikasi kedalam tindakan retoris masyarakat dalam skala yang lebih luas dari sekedar
proses komunikasi kelompok kecil. Fungsi dari teori ini adalah untuk menganalisa interaksi
yang terjadi di dalam skala kelompok kecil. Dalam hal ini dapat berupa kelompok sosial,
kelompok tugas maupun kelompok dalam suatu pergaulan.

Terdapat dua asumsi pokok yang menjadi dasar Teori Konvergensi Simbolik.
Pertama, realitas diciptakan melalui komunikasi. Dalam hal ini, komunikasi menciptakan
realitas melalui pengaitan antara kata-kata yang digunakan dengan pengalaman atau
pengetahuan yang diperoleh. Kedua, makna individual terhadap symbol dapat mengalami
konvergensi (penyatuan), sehingga menjadi realitas bersama. Realitas dalam teori ini
dipandang sebagai susunan narasi atau cerita-cerita yang menerangkan bagaimana sesuatu
harus dipercayai oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya. Cerita tersebut bermula
diperbincangkan dalam lingkungan kelompok, kemudian disebarkan ke lingkungan
masyarakat yang lebih luas.

Ernest Bormann mengoperasionalkan teorinya dengan istilah Fantasy Theme Analysis


(FTA), konsep “fantasi” dijadikan sebagai kata kunci dalam teori ini. Fantasi tidak mencakup
komunikasi yang berfokus pada apa yang terjadi di dalam kelompok.Adapun istilah-istilah
kunci dalam ATF adalah : Fantasy Theme ( Tema Fantasi), Sebagai dramatisi pesan yang
dapat berupa lelucon, analogi, permainan kata, cerita dan sebagainya yang memompa
semangat interaksi. Fantasy Chain (rantai fantasi), Pesan yang didramatisi berhasil
mendapatkan tanggapan dari partisipan komunikasi, hingga meningkatkan intensitas dan
kegairahan partisipan dalam berbagai fantasi. Fantasy Type (Tipe Fantasi), tema-tema fantasi
yang berulang dibicarakan pada situasi, karakter, dan latar belakang yang lain, namun dengan
alur cerita yang sama, dan Rhetorical Visions (Visi retoris), Tema-tema fantasi telah
berkembang dan melebar keluar dari kelompok yang mengembangkan fantasi tersebut pada
awalnya. Karena perkembangan tersebut, maka tema-tema fantasi itu menjadi fantasi
masyarakat luas dan membentuk semacam rhetorical community.

Contoh kasus dari teori konvergensi simbolik. April 2022, negeri ini cukup
dihebohkan oleh fenomena Citayam Fashion Week. Bermula dari viralnya istilah SCBD
(Sudirman, Citayam, Bojonggede, Depok) di mana sekelompok anak muda dari wilayah sub-
urban ibu kota “menjajah” kawasan Sudirman-Thamrin, sebuah kawasan yang dulunya
seolah eksklusif hanya untuk kaum pekerja kantoran saja. Kawasan ini semakin ramai dengan
hadirnya generasi muda yang oleh sebagian tokoh disebut “kreatif”. Kreativitas anak-anak
muda ini kemudian semakin viral dengan munculnya “Citayam Fashion Week”. Sekelompok
anak muda yang berlenggak-lenggok bagai sedang berjalan di catwalk, namun nyatanya
mereka menggelar semacam fashion show di trotoar, bahkan zebra cross, di salah satu
kawasan elite ibu kota. Sebuah fenomena yang luar biasa, sehingga menarik minat para
pejabat, bahkan artis-artis ikutan ambil bagian di sana. Namun demikian, di balik viralnya
kisah Citayam Fashion Week baru-baru ini, muncul juga berita lain dari kisah viral ini, yaitu
ketika artis Baim Wong hendak mendaftarkan “merk” Citayam Fashion Week ke Dirjen
HAKI untuk mendapatkan hak paten. Sebuah langkah yang mendapat tentangan dari berbagai
pihak. Sebagian pihak menyatakan bahwa tidak seharusnya Citayam Fashion Week dikuasai
oleh satu pihak saja. Ridwan Kamil bahkan menyindir dengan mengatakan bahwa Citayam
Fashion Week adalah gerakan organik akar rumput yang tumbuh kembangnya harus natural
dan organik pula. Dari perspektif teori komunikasi, fenomena ini bisa dilihat sebagai salah
satu bentuk dari Symbolic Convergence Theory (SCT).

Ernest G. Bormann, John F. Cragan, & Donald C. Shields menanggapi kritik awal
pada tahun 1994. Bormann mencatat bahwa SCT kekurangan satu poin untuk memprediksi
dan mengontrol komunikasi manusia pada tahun 1982. Em Griffen mengajukan argumen
bahwa Teori Konvergensi Simbolik adalah teori objektif. Kritik dan perkembangan teori
konvergensi simbolik, pertama bersifat objektif karena berfokus pada berbagi fantasi
kelompok yang menciptakan konvergensi simbolik. Kedua, teori objektif yang baik
memprediksi apa yang akan terjadi, SCT dapat memprediksi bahwa konvergensi simbolik
juga akan terjadi ketika rantai fantasi meletus di antara para anggota. Ketiga, teori
interpretatif yang baik mengklarifikasi nilai-nilai orang. Keempat, teori interpretatif yang
baik menawarkan pemahaman baru tentang orang. Kelima, SCT menggambarkan bahwa
semua anggota kelompok memiliki kekuatan dan akses yang sama untuk membuat dan
merangkai tema fantasi. Keenam, SCT menjelaskan bahwa komunitas retoris digambarkan
bebas konflik, dan perbedaan di antara mereka diabaikan dalam teori.

Daftar Pustaka

Cragan, John F. Shields, Donald C. Symbolic Theories in Applied Communication Research:


Bormann, Burke, and Fisher. Hampton Press. ISBN 978-1-881303-78-7.
Griffin, Em (2012). A First Look at Communication Theory. New York, NY: McGraw Hill.
Suryadi, I. (2010). Teori konvergensi simbolik. Academica, 2(2).
Zahro, M. (2020). Realitas Simbolik Dalam Film Dokumenter Anak Jalanan Analisis Teori
Konvergensi Simbolik Film Anak Jalanan-Little Treasure Of Lombok Produksi Yayasan
Peduli Anak (Doctoral dissertation, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya).

Anda mungkin juga menyukai