Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Symbolic Convergence Theory (SCT)

Symbolic Convergence Theory (SCT) atau dalam bahasa Indonesia

menjadi Teori Konvergensi Simbolik (TKS) yang diilhami dari riset

Robert Bales mengenai komunikasi dalam kelompok-kelompok kecil.

Kemudian gagasan tersebut oleh Ernest Bormann direplikasi ke dalam

tindakan retoris masyarakat dalam skala yang lebih luas dari sekedar

proses komunikasi kelompok kecil.

Konvergensi (convergence) sebagai suatu cara dimana dunia simbolik

pribadi dari dua atau lebih individu saling bertemu, saling mendekati

satu sama lain, atau kemudian saling berhimpitan. Sedangkan istilah

simbolik itu sendiri terkait dengan kecenderungan manusia untuk

memberikan penafsiran dan menanamkan makna kepada berbagai

lambang, tanda, kejadian yang tengah dialami, atau bahkan tindakan

yang dilakukan manusia. Ernest Bormann menyatakan bahwa teori

konvergensi simbolik adalah teori umum yang mengupas tentang

fenomena pertukaran pesan yang memunculkan kesadaran kelompok

10
11

yang beimplikasi pada hadirnya makna, motif dan perasaan bersama

(Hirokawa dan Pole, 1986: 219; Suryadi, 2010: 430).

Bormann (1990: 106 ; Suryadi, 2010:431) mengartikan istilah

konvergensi sebagai suatu cara dimana dunia simbolik pribadi dari dua

atau lebih individu menjadi saling bertemu, saling mendekati satu sama

lain atau kemudian saling berhimpitan. Sedangkan istilah simbolik

sendiri terkait dengan kecenderungan manusia untuk memberikan

penafsiran dan menanamkan makna kepada berbagai lambang, tanda,

kejadian yang tengah dialami, atau bahkan tindakan yang dilakukan

manusia (Bormann, 1986:221; Suryadi, 2010:431). Konvergensi terjadi

ketika beberapa orang mengembangkan dunia simbolik pribadi mereka

untuk saling melengkapi, sehingga mereka memiliki dasar untuk

menciptakan komunitas untuk mendiskusikan pengalaman bersama, dan

untuk menciptakan pemahaman bersama (William, Benoit L. et. al,

2001:380-381; Arianto, 2012:3).

Bormann juga menyebutkan dua asumsi pokok yang mendasari teori

konvergensi simbolik. Pertama, realitas diciptakan melalui komunikasi.

Dalam hal ini komunikasi menciptakan realitas melalui pengaitan antara

kata-kata yang digunakan dengan pengalaman atau pengetahuan yang

diperoleh. Kedua, makna individual terhadap simbol dapat mengalami

konvergensi (penyatuan) sehingga menjadi realitas bersama. Realitas

dalam teori ini dipandang sebagai susunan narasi atau cerita-cerita yang
12

menerangkan bagaimana sesuatu harus dipercayai oleh orang – orang

yang terlibat di dalamnya.

Teori konvergensi simbolis banyak digunakan untuk menganalisis

proses komunikasi dalam konteks kelompok seperti aktivitas pembuatan

keputusan dalam kelompok, budaya kelompok, identitas dan identifikasi

kelompok hingga peneguhan kohesivitas kelompok (Wilson dan Hanna,

1993; Frey dan Poole, 1999). Teori konvergensi simbolis memberikan

pemahaman bahwa obrolan, lelucon, atau gosip yang dilakukan dalam

suatu kelompok memiliki fungsi kohesivitas dan penguatan kesadaran

kelompok.

Fungsi dari teori ini adalah menganalisa interaksi yang terjadi di dalam

skala kelompok kecil. Kelompok di sini dapat berupa kelompok sosial,

kelompok tugas, atau kelompok dalam sebuah pergaulan. Ernest G

Bormann dalam Communication and Organizations: an intepretive

approach (Putnam and Pacanowsky, 1983: 110). Stephen W Littlejohn

dan Foss dalam Theories of Human Communication (2008:165)

menambahkan bahwa cerita atau tema-tema fantasi diciptakan melalui

interaksi simbolik dalam kelompok kecil dan kemudian dihubungkan

dari satu orang ke orang lain dan dari satu kelompok ke kelompok lain

untuk menciptakan sebuah pandangan dunia yang terbagi. Dilihat dari

segi konteks komunikasi.


13

Symbolic Convergence Theory (SCT) dianggap sebagai teori umum

yang dapat diterapkan dalam berbagai konteks komunikasi seperti

Komunikasi antarpribadi, kelompok, organisasi, publik, ataupun massa

( Salwen & Stack, 1996: 373, Wood, 2000, Bormann, 1990). Sementara

bila dilihat dari bidang spesialisasi komunikasi, Teori ini dapat

diterapkan dalam kegiatan komunikasi politik, keluarga,

pendidikan, hingga komunikasi pemasaran.

1. Interaksi Simbolik

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang

merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran

simbol yang diberi makna (Mulyana, 2001: 68). Perspektif interaksi

simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang

subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus

dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan

mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi

orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka.

2. Aplikasi Teori Konvergensi Simbolik

Symbolic Convergence Theory (SCT) merupakan teori yang dapat

diterapkan dalam konteks komunikasi antarpribadi, kelompok,

organisasi, publik, maupun massa. Sementara jika dilihat dari bidang


14

spesialisasi komunikasi, teori ini dapat diterapkan di semua bidang

komunikasi, yaitu komunikasi keluarga, pendidikan, politik, seni dan

pemasaran.

1) Dalam bidang seni

Karya sastra, musik, dan film mampu menciptakan tama

fantasi yang dapat membuai para peminatnya dan menciptakan

fantasi pada para pemirsa, pendengar, dan pembaca. Bila kita

menganggap fantasi itu ”omong kosong”,mungkin tidak akan ada

karya-karya sastra ,musik, dan film yang mampu membuai dan

menciptakan fantasi di benak pemirsa, pendengar, dan pembaca.

Berdasarkan insting sebagai organisme, manusia akan selalu

berusaha keluar, menghindar dari tekanan dan ancaman pada

dirinya.Wajar bila ada tekanan dan impitan hidup yang kian

berat,banyak orang yang berusaha lari dari kenyataan yang ada.

Sinetron(opera sabun) merupakan media murah meriah yang

mampu mengisi khayalan-khayalan yang ada di benak orang.

Karena itu, terlepas pada adanya kepentingan ekonomi politik dan

bias selebritas, penulis begitu menghargai kehadiran sinetron dan

film di masyarakat sebagai penghibur dan penciptaan fantasi

masyarakat Teori ini termasuk kedalam ranah Objektif karena orang

lain atau manusia itu dianggap pasif dan dapat dikendalikan atau

diarahkan.
15

2) Dalam bidang hiburan (entertaiment)

Dalam dunia hiburan banyak selebritis yang menggunakan

jargon untuk menanbah eksistensi dirinya. Misalnya Sahrini berhasil

menciptakan tema-tema fantasi yang kemudian menjadi visi retoris

seperti “sesuatu” “cetar membahana” atau “bye”.

3) Dalam bidang politik

Dalam dunia politik Atau yang paling minim adalah tidak

menggunakan hak suara (golput) saat pemilu. Sikap apatis tersebut

adalah bentuk penolakan yang paling kentara oleh rakyat dalam

menanggapi kondisi negara yang tidak jelas dengan dunia politik

yang bobrok. Padahal seharusnya,melalui berbagai pesta demokrasi,

rakyat dibuai dan diberikan fantasi-fantasi politik dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Pemilu politik, entah itu pemilu legislatif,

presiden atau pemilihan kepala daerah, merupakan momen penting

di mana semua mata tertuju pada keriaan tersebut dan panggung

politik digelar dengan dramaturgi yang jelas dalam upaya

perbaikan,kemajuan, dan kesejahteraan rakyat. Kenyataan

menunjukkan sebaliknya. Para politisi bukan menciptakan fantasi

yang menyejukkan,malah memuakkan: banyak kecurangan dalam

kampanye,klaim tuntutan perhitungan suara ulang alasan tidak

fairsampai kepada tindakan-tindakan kriminal dalam pemilu.


16

Dalam bidang politik, misalnya menjelang pemilihan presiden

Indonesia 2014, masing-masing calon presiden atau pendukungnya

menciptakan tema fantasi untuk menambah eksistensi dririnya di

masyarakat yang kemudian menjadi visi retoris di masyarakat luas

sepeti “garuda merah”, “aku rapopo”, “macan asia”, “salam dua jari”,

“Jokowi-JKadalah kita”, dll.

4) Dalam bidang pendidikan

Ketika guru sedang mengajar di kelas, guru akan memberikan

lelucon atau tema fantasi untuk mencairkan suasana kelas. Lelucon

atau tema fantasi yang diberikan oleh guru secara terus menerus akan

membentuk rantai fantasi di dalam kelas sehingga menimbulkan

konvergensi makna yang pada akhirnya akan menciptakan ikatan

yang kohesive.

3. Tujuan Teori Konvergensi Simbolik

Fungsi dari teori ini adalah menganalisa interaksi yang terjadi

di dalam skala kelompok kecil. Kelompok di sini dapat berupa

kelompok sosial, kelompok tugas, atau kelompok dalam sebuah

pergaulan. Secara proses, teori ini bertujuan untuk mengetahui

bagaimana proses terbentuknya kesadaran masyarakat dan kelompok

dalam sebuah kelompok. Teori ini memiliki anggapan dasar bahwa

setiap anggota kelompok melakukan pertukaran fantasi dalam rangka


17

membentuk kelompok yang kohesif. Dengan saling bertukar fantasi

tersebut bisa memicu terjadinya interaksi kelompok yang baik. Fantasi

yang dimaksudkan di sini bisa berupa ide-ide, cerita, gurauan, dan

lain-lain yang mengungkapkan emosi atau mengandung emosi. Fantasi

bisa meliputi peristiwa di masa lalu atau yang akan terjadi, namun

fantasi tidak termasuk pada komunikasi yang berfokus pada kegiatan

yang terjadi dalam kelompok tersebut.

2.1.2 Komunikasi Instruksional

Komunikasi instruksional merupakan kegiatan komunikasi dengan

sasaran kelompok yang berisi pengajaran tentang suatu pengetahuan atau

keterampilan tertentu. dalam komunikasi instruksional baik yang formal,

tujuan utama yang harus dicapai di dalamnya adalah terjadilah perilaku

peserta didik. Nina Winangsih (2002: 21). Komunikasi instruksional yang

berarti juga komunikasi dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Agar

komunikasi bisa berjalan dengan efektif, maka dalam kegiatan berkomunikasi

diharuskan adanya komunikator, komunikan dan pesan yang akan

disampaikan.

Pada komunikasi instruksional ini dimana yang akan menjadi

komunikator adalah guru atau pengajar yang mampu mengajar dalam

menggambarkan, menerangkan, dan memberikan sebuah metode dalam

menyampaikan materi kepada siswa, sehingga proses pendidikan yang


18

disampaikan oleh pengajar dapat berjalan secara efektif dan sesuai dengan

kurikulum yang ditetapkan oleh suatu lembaga pendidikan. Adapun yang

berperan sebagai komunikannya adalah siswa itu sendiri yang akan menerima

apapun yang diinstruksikan oleh gurunya. Pengertian komunikasi

instruksional di kemukakan oleh Lashbrook dan Wheeless, (dalam Nimmo,

1979: 525),

“Komunikasi Instruksional sebagai studi komunikasi yang terdiri dari

berbagai variabel seperti strategi, proses, teknologi dan atau suatu sistem yang

berhubungan dengan formal dan penguasaan materi serta modifikasi hasil

belajar. Istilah pengajaran lebih bermakna pemberi ajar.

Mengajar artinya memindahkan sebagaian pengetahuan guru (pengajar)

kepada murid-muridnya. Sedangkan arti pelajaran lebih menitikberatkan pada

bahan belajar atau materi yang disampaikan atau diajarkan oleh guru atau

dosen. Dengan pengertian lain, informasi yang mengandung pesan belajar

itulah yang diutamakan. (Yusuf, 1990:18). Dalam komunikasi, mata

pembelajaran yang terdapat dalam kurikulum disebut dengan pesan. Namun,

bukan wadah mata pelajaran itu sendiri yang dinamakan pesan. Pesan adalah

informasi yang ditransmisikan atau diteruskan oleh komponen lain dalam

bentuk ide, ajaran, fakta, makna, nilai, ataupun data. Jadi, informasi yang

terkandung dalam setiap mata pelajaran itulah yang namanya pesan.


19

Dalam hal ini, tentunya pesan belajar, pesan yang dirancang khusus

untuk tujuan belajar dan untuk mempermudah terjadinya proses belajar

(Yusuf, 1990: 20). Kegiatan instruksional bisa berhasil dengan efektif hanya

apabila komunikasi bisa berjalan atau berproses dengan baik. Oleh karena itu,

kegiatan instruksional pada zaman informasi ini mendapat perhatian yang

lebih di titikberatkan pada unsur sasaran didik dengan cara mengoptimalkan

pemanfaatan sumber-sumber informasi edukatif (sumber- sumber belajar)

yang ada, bukannya lebih banyak di tentukan oleh faktor guru dan para

pendidik lainnya. Komunikasi merupakan proses berputarnya pesan –pesan

informasi. Efek sentuhannya tadi menimbulkan berbagai perubahan.

Perubahan- perubahan yang diharapkan ini bertumpu pada tiga domain, yaitu

pengetahuan, sikap, dan keterampilan (kongnitif, afektif, dan psikomotor).

Perubahan perilaku yang demikian inilah yang dalam dunia pendidikan

disebut belajar.

Perubahan ini terjadi pada seseorang atau individu akibat pengaruh dari

pengalaman-pengalaman selama hidupnya. Perubahan ini juga bersifat

permanen dan berkelanjutan sepanjang hayatnya, tetapi bukan perubahan

akibat kedewasaan (Hilgar dan Bower, 1981. Dalam Yusuf, 1990:22-23).

Komunikasi instruksional dalam dunia pendidikan mempunyai pengertian

sebagai komunikasi yang lebih ditunjukan kepada aspek-aspek

operasionalisasi pendidikan, terutama aspek pembelajaran sasaran, kredibilitas


20

komunikator. Situasi dan kondisi lingkungan, metode, dan termasuk bahasa

yang digunakan komunikator sengaja dipersiapkan secara khusus untuk

mencapai efek perubahan perilaku pada diri sasaran (Yusuf, 1990:17).

2.2 Komunikasi Pembelajaran

Komunikasi pembelajaran tidak terlepas kaitanya dengan komunikasi

pendidikan dan komunikasi pada umumnya. Pendidikan adalah peristiwa

komunikasi yang memiliki kerangka yang sama yaitu adanya hubungan antar

manusia. Hubungan ini mengandung unsur saling membutuhkan. Kebutuhan

pokok dalam kehidupan manusia adalah saling berhubungan dan berinteraksi

dengan sesama manusia. Komunikasi merupakan penghubung manusia yang

sangat penting. Pendapat senada dikemukakakn pula oleh Mulyana (2000:4).

Bahwa komunikasi mempunyai fungsi hubungan. Fungsi isi yang melibatkan

pertukaran informasi yang kita perlukan untuk menyelesaikan tugas,dan

fungsi hubungan yang melibatkan pertukaran informasi mengenai bagaimana

hubungan kita dengan orang lain.

Komunikasi dalam bidang pendidikan merupakan unsur yang sangat

penting dan mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan

keberhasilan pendidikan.Proses belajar-mengajar yang dilaksanakan di kelas

sebagian besar terjadi karena adanya komunikasi. Komunikasi instruksional

merupakan inti dari kegiatan proses belajar-mengajar. Dalam Webster’s

Thrid new International Dictionary of the English Language mencantumkan


21

kata instructional (dari kata to instruct) dengan arti memberikan pengetahuan

dalam berbagai seni atau spesialisasi tertentu atau dapat berarti pula

“mendidik bidang pengetahuan tertentu” (Yusup, 1989:18).

2.3 Kreativitas Belajar

2.3.1 Pengertian Kreativitas

Satiadarma dan Waruwu berpendapat (2003: 108), “Kreativitas

adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru.” Sesuatu

yang baru disini bukan harus sama yang baru, tetapi dapat juga sebagai

kombinasi baru atau melihat hubungan-hubungan baru antar unsur data,

atau hal-hal yang ada sebelumnya. Sedangkan menurut Munandar yang

diterjemahkan Sukmadinata (2004:104) Kreativitas adalah kemampuan

a) untuk membuat kombinasi baru berdasarkan data informasi atau

unsur yang ada, b) berdasarkan data atau informasi yang tersedia,

menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah,

dimana penekanannya adalah pada kualitas, ketepat gunaan dan

keragaman jawaban, c) yang mencerminkan kelancaran, keluwesan dan

orisinilitas dalam berfikir serta kemampuan untuk mengelaborasi suatu

gagasan.
22

2.3.2 Pengertian Belajar

Belajar merupakan aktivitas manusia untuk mendapatkan

perubahan dalam dirinya. Belajar dapat dilakukan dengan berlatih atau

mencari pengalaman baru.Dengan demikian, belajar dapat membawa

perubahan bagi seseorang, baik berupa pengetahuan, sikap, maupun

keterampilan.

Menurut Syaiful Bahri D. 11& Aswan Zain (2002: 11), belajar

adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan.

Belajar merupakan usaha menggunakan sarana atau sumber, di dalam

atau di luar pranata pendidikan, guna perkembangan dan pertumbuhan

pribadi.

Belajar merupakan suatu perubahan yang relatif tetap, yang terjadi

sebagai hasil pengalaman. Menurut Anni Catharina (2004: 2), “Belajar

merupakan proses penting bagi perubahan perilaku manusia dan ia

mencakup segala sesuatu yang diperkirakan dan dikerjakan”. Manusia

belajar dengan cara melihat, mendengar, mencium, dan meraba. Dalam

belajar guru manusia adalah lingkungannya, dari lingkungan sekitar

manusia dapat mengetahui secara nyata hal-hal yang terjadi dalam

lingkungan 14 masyarakat, misalnya langit berwarna biru, gandum

berstruktur lembut, bau sampah itu busuk dll. Menurut Slameto

(2003:2).
23

2.3.3 Kreativitas Belajar

Belajar tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Kita dapat belajar

kapan saja dan dimana saja, dalam pengalaman belajar akan menemui

pengalaman belajar yang menyenangkan serta pengalaman belajar yang

tidak menyenangkan. Belajar merupakan suatu kegiatan yang subyektif,

yang artinya bahwa kita sendiri yang akan menentukan mau atau tidak

mau belajar. belajar kreatif berhubungan erat dengan penghayatan

terhadap pengalaman belajar yang sangat menyenangkan. Menurut

Munandar (2009:19) “Kreativitas adalah kemampuan untuk membuat

kombinasi-kombinasi baru berdasarkan bahan, informasi dan data yang

sudah ada sebelumnya menjadi hal bermakna dan bermanfaat”.

Sedangkan menurut Drevdahl dalam Ali dan asrori (2005:42).

1. Ciri-ciri Kreativitas Belajar

Sungguh menarik mengamati anak-anak yang mempelajari dunia

disekeliling mereka. Menurut Freema dan Munandar (2001: 248),

beberapa ciri yang mencerminkan kreativitas alamiah anak adalah

sebagai berikut:

a) Senang menjajaki lingkungannya.

b) Mengamati dan memegang segala sesuatu, mendekati segala

tempat atau pojok, seakan-akan haus akan pengalaman.


24

c) Rasa ingin tahu yang besar

d) Selalu ingin mendapatkan pengalaman-pengalaman baru

e) Senang melakukan eksperimen.

f) Jarang merasa bosan dan selalu ingin melakukan macam-

macam hal yang ingin dilakukan.

g) Mempunyai imajinasi yang tinggi.

2. Faktor Pendukung Perkembangan Kreativitas Belajar

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa seorang anak yang

mendapat rangsangan (dengan melihat, mendengar, dan bergerak)

akan lebih berpeluang lebih cerdas dibandingkan dengan

sebaliknya. Salah satu bentuk rangsangan yang penting adalah

dengan kasih sayang. Dengan kasih sayang anak akan memiliki

kemampuan untuk menyatukan berbagai pengalaman emosional

dan mengolahnya dengan baik. Kreativitas sangat terkait dengan

kebebasan kepribadian. Hal itu berarti seorang anak harus

memiliki rasa aman dan kepercayaan diri yang tinggi, sebelum

berkreasi.

Sedangkan pondasi untuk membangun rasa aman dan

kepercayaan diri adalah dengan kasih sayang.

Menurut Rahmawati dan Kurniati (2001:27), ada empat hal yang

diperhitungkan dalam perkembangan kreativitas yaitu:


25

a. Memberikan rangsangan mental baik pada aspek kognitif

maupun kepribadiannya serta suasana psikologis

b. Menciptakan lingkungan kondusif yang akan memudahkan

anak untuk mengakses apapun yang dilihatnya, dipegang,

didengar, dan dimainkan untuk pengembangan kreativitasnya.

Perangsangan mental dan lingkungan kondusif dapat berjalan

beriringan seperti halnya kerja simultan otak kiri dan otak

kanan.

c. Peran serta guru dalam mengembangkan kreativitas, artinya

ketikan anak ingin menjadi kreatif, maka juga dibutuhkan pula

guru yang kreatif pula dan mampu memeberikan stimulasi

yang tepat pada anak.

d. Peran serta orang tua yang mengembangkan kreativitas anak.

3. Karakteristik Individu Kreatif

Perilaku kreatif memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda dengan

perilaku yang umum.Perilaku kreatif seakan-akan “abnormal” karena

terkadang tidak lazim ada pada lingkungan tertentu.Hal ini yang

membuat, orang kreatif mendapat stigma “gila”. Tetapi, stigma ini akan

menghilang jika sebuah perilaku kreatif sudah menjadi kebiasaan dalam


26

suatu masayarakat tertentu. Banyak ahli yang sudah merumuskan ciri-

ciri perilaku kreatif.

Ciri-ciri perilaku kreatif yang dikemukakan oleh Torrence

(dalam Utami Munandar, 1988) adalah:

a. Berani dalam pendirian, berarti ia berani mempertahankan

b. pendiriannya meskipun tidak sama dengan kebanyakan

orang.

c. Memiliki sifat ingin tahu.

d. Mandiri dalam berpikir dan menilai sesuatu.

e. Menjadi orang yang berpikir dengan tugas-tugasnya.

f. Bersifat intuitif atau mendasarkan pada gerak hati dalam

pemenuhan kebutuhan.

g. Orang yang teguh.

h. Tidak mudah menerima penilaian dari orang lain,

meskipun banyak orang yang menyetujuinya.

2.4 Anak Jalanan

2.4.1 Pengertian anak jalanan

Menurut Shalahuddin (2000:25), yang dimaksudkan anak

jalanan adalah individu yang berumur di bawah 18 tahun yang

menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan

melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau guna


27

mempertahankan hidupnya. Jalanan yang dimaksudkan tidak hanya

menunjuk pada “jalanan” saja, melainkan juga tempattempat lain

seperti pasar, pusat pertokoan, taman kota, alun-alun, terminal, dan

stasiun. Anak turun ke jalan dan menjadi anak jalanan disebabkan

oleh adanya kekerasan yang dilakukan anggota keluarga kepada

anak, adanya dorongan dari keluarga untuk membantu

perekonomian keluarga, adanya keinginan untuk 10 mendapatkan

kebebasan dari keluarga, adanya keinginan untuk memiliki uang

sendiri, dan adanya pengaruh dari teman sebaya. Anak jalanan

dapat dikategorikan menjadi beberapa macam.

Anak jalanan melakukan aktivitas tertentu di jalanan yang

bertujuan untuk mempertahankan hidup. Beberapa aktivitas yang

dilakukan anak jalanan antara lain adalah membangun solidaritas,

melakukan kegiatan ekonomi, memanfaatkan barang bekas/sisa,

melakukan tindakan kriminal, dan melakukan kegiatan yang rentan

terhadap eksploitasi seksual (Shalahuddin, 2000:20-27).


28

2.4.2 Karakteristik Anak Jalanan

Berdasarkan karakteristiknya di jalanan, anak jalanan dapat

dikelompokkan menjadi tiga karakteristik utama yaitu (Bagong Suyanto,

1999 : 41-42) :

a. Chidren of the street

Anak yang hidup/tinggal di jalanan dan tidak ada hubungan dengan

keluarganya. Kelompok ini biasanya tinggal di terminal, stasiun

kereta api, emperan toko dan kolong jembatan.

b. Children on the street

Anak yang bekerja di jalanan. Umumnya mereka adalah anak putus

sekolah, masih ada hubungannya dengan keluarga namun tidak

teratur yakni mereka pulang ke rumahnya secara periodik.

c. Vulberable children to be street children

Anak yang rentan menjadi anak jalanan. Umumya mereka masih

sekolah dan putus sekolah, dan masih ada hubungan teratur (tinggal)

dengan orang tuanya.

2.4.3 Faktor-Faktor Munculnya Anak Jalanan

Departemen Sosial (2001: 25-26) menyebutkan bahwa penyebab

keberadaan anak jalanan ada 3 macam, yakni faktor pada tingkat mikro

(immediate causes), faktor pada tingkat messo (underlying causes), dan

faktor pada tingkat makro (basic causes).


29

a. Tingkat Mikro (Immediate Causes)

Faktor pada tingkat mikro ini yaitu faktor yang berhubungan dengan

anak dan keluarganya. Departemen Sosial (2001: 25-26) menjelaskan

pula bahwa pada tingkat mikro sebab yang bisa diidentifikasi dari anak

dan keluarga yang berkaitan tetapi juga berdiri sendiri, yakni:

1) Lari dari keluarga, disuruh bekerja baik karena masih sekolah

atau sudah putus, berpetualangan, bermain-main atau diajak teman.

2) Sebab dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan orang

tuamenyediakan kebutuhan dasar, ditolak orang tua, salah

perawatan atau kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan

keluarga atau tetangga, terpisah dengan orang tua, sikap-sikap

yang salah terhadap anak, keterbatasan merawat anak yang

mengakibatkan anak menghadapi masalah fisik, psikologis dan

sosial. Hal ini dipengaruhi pula oleh meningkatnya masalah

keluarga yang disebabkan oleh kemiskinan pengangguran,

perceraian, kawin muda, maupun kekerasan dalam keluarga.

3) Melemahnya keluarga besar, dimana keluarga besar tidak lagi

membantu terhadap keluarga-keluarga inti, hal ini diakibatkan oleh

pergeseran nilai, kondisi ekonomi, dan kebijakan pembangunan

pemerintah.
30

4) Kesenjangan komunikasi antara orang tua dan anak, dimana orang

tua sudah tidak mampu lagi memahami kondisi serta harapan

anak-anak, telah menyebabkan anak-anak mencari kebebasan.

2.5 Komunitas

Komunitas merupakan suatu kelompok sosial yang dapat dinyatakan

sebagai “masyarakat setempat”, suatu kelompok yang bertempat tinggal dalam

suatu wilayah tertentu dengan batas-batas tertentu pula, dimana kelompok itu

dapat memenuhi kebutuhan hidup dan dilingkupi oleh perasaan kelompok serta

interaksi yang lebih besar di antara para anggotanya. Komunitas adalah sebuah

kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya

memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-

individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan,sumber daya,preferensi,

kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. (Wenger, 2002: 4).

Menurut Crow dan Allan, Komunitas dapat terbagi menjadi 2 komponen:

1. Berdasarkan Lokasi atau Tempat Wilayah atau tempat sebuah

komunitas dapat dilihat sebagai tempat dimana sekumpulan orang

mempunyai sesuatu yang sama secara geografis

2. Berdasarkan Minat Sekelompok orang yang mendirikan suatu komunitas

karena mempunyai ketertarikan dan minat yang sama, misalnya agama,

pekerjaan, suku, ras, maupun berdasarkan kelainan seksual.


31

2.6 Kerangka Berfikir

Tujuan dari adanya kerangka berfikir adalah untuk menggambarkan

secara jelas bagaimana kerangka berfikir yang digunakan peneliti untuk

mengkaji serta memahami permasalahan yang akan diteliti (Gunawan

Witjaksana, 2009: 36). Pada dasarnya pengajaran merupakan suatu proses

terjadinya interaksi seorang pengajar yang ada di komunitas satoe atap

semarang yang diberikan tanggung jawab untuk memberikan pengarahan

yang akan terjadi pada anak - anak jalanan yang nanti akan dicerna dan

mengubah tingkah laku anak sebagaimana mestinya.

Kerangka Berfikir dari penelitian ini digambarkan pada bagan sebagai berikut:

Bagan 2.6 Kerangka Berfikir


32

Maksud dari kerangka berfikir di atas adalah peneliti akan mengkaji

bagaimana cara mengaitkan Teory Symbolic Convergence Theory (SCT) dan

Teori Komunikasi Instruksional.

Symbolic Convergence Theory (SCT) menjelaskan bahwa Fungsi dari

teori ini adalah menganalisa interaksi yang terjadi di dalam kelompok kecil

yaitu komunitas satoe atap semarang. Jadi didalam komunitas satoe atap

semarang terdapat sekelompok orang yang saling bertemu untuk mendekati

satu sama lain untuk membentuk suatu tujuan dan membentuk wadah bagi

anak jalanan untuk mendapatkan pengajaran yang baik yang sesuai

pendidikan mereka.

Lalu dari Komunikasi Instruksional yang berarti juga komunikasi dalam

bidang pendidikan dan pengajaran. Agar komunikasi bisa berjalan dengan

efektif, maka dalam kegiatan berkomunikasi diharuskan adanya komunikator,

komunikan dan pesan yang akan disampaikan yang nantinya akan membentuk

sebuah kreativitas belajar yang dihasilkan dalam sebuah pengajaran tersebut.

Pada komunikasi instruksional ini dimana yang akan menjadi

komunikator adalah guru atau pengajar dari Komunitas Satoe Atap Semarang

yang mampu mengajar dalam menggambarkan, menerangkan, dan

memberikan sebuah metode dalam menyampaikan materi kepada siswa (anak

jalanan) , sehingga proses pendidikan yang disampaikan oleh pengajar dapat


33

berjalan secara efektif dan sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan oleh

suatu lembaga pendidikan. Adapun yang berperan sebagai komunikannya

adalah siswa itu sendiri yang akan menerima apapun yang diinstruksikan oleh

gurunya dan akan menghasilkan sebuah kreativitas belajar.

Jadi, dari sebuah kelompok kecil di komunitas satoe atap dengan

mengajak anak-anak jalanan didalam sebuah pengajaran yang nantinya akan

menghasilkan sebuah kreativitas belajar.

Anda mungkin juga menyukai