Anda di halaman 1dari 81

Diplomasi Pertahanan Maritim:

Strategi, Tantangan, dan Prospek

Pusat Pengkajian dan Pengembangan


Kebijakan pada Organisasi Internasional
(Pusat P2K-OI)
Kementerian Luar Negeri

1
Diplomasi Pertahanan Maritim: Strategi, Tantangan, dan Prospek

Pengarah dan Penanggung Jawab


Kepala BPPK, Siswo Pramono

Editor
Kepala Pusat P2K-OI, Fikry Cassidy

Tim Penulis:
Centre for Strategic and International Studies

Cover Image: www.kemlu.go.id

Diterbitkan oleh:
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia
Jalan Taman Pejambon No. 6
Jakarta Pusat, 10110
Tel. (021) 3849810 ext. 7709
Fax. (021) 3861385
Email. pppk_oi@kemlu.go.id

Pendapat maupun pandangan yang disampaikan dalam tulisan serta presentasi yang ada di dalam
kajian ini tidak mewakili pandangan maupun kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia

2
Daftar Isi

Daftar Isi ............................................................................................... 3

1 Pengantar ......................................................................................... 4
1.1 Kerangka Laporan ........................................................................................... 5
1.2 Metodologi Penelitian dan Sumber Data ....................................................... 6
1.3 Ringkasan Temuan-temuan Kunci Penelitian ............................................... 9

2 Perubahan Lingkungan Strategis Maritim Indonesia ....................... 11

3 Poros Maritim Dunia dan Kebijakan Kelautan Nasional: Modalitas


Strategi Raya? .................................................................................20
3.1 Poros Maritim Dunia dalam Perspektif Historis dan Komparatif ............... 22
3.2 Kebijakan Kelautan Nasional: Menuju Strategi Raya? ................................ 26

4 Diplomasi Pertahanan Maritim: Kerangka Konseptual dan Kebijakan


........................................................................................................ 32
4.1 Kerangka Teoritis: Diplomasi Pertahanan dan Diplomasi Maritim ............ 32
4.2 Kerangka Kebijakan Ideal Diplomasi Pertahanan Maritim ......................... 35

5 Pola Instrumen Diplomasi Pertahanan Maritim Indonesia (1998–


2016) ............................................................................................... 39
5.1 Diplomasi Pertahanan Maritim Bilateral ..................................................... 39
5.2 Diplomasi Pertahanan Maritim Multilateral................................................ 41
5.3 Diplomasi Pertahanan Melalui Hukum Internasional ................................. 43

6 Evaluasi Diplomasi Pertahanan Maritim Indonesia ........................ 44

7 Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan ....................................... 47


7.1 Bagi Kantor Kepresidenan Republik Indonesia ........................................... 47
7.2 Bagi Kementerian Luar Negeri .....................................................................48

8 Lampiran Pelengkap ....................................................................... 50

References ........................................................................................... 73

3
1 Pengantar

Di tengah memanasnya sengketa kawasan Laut Tiongkok Selatan dan


mengganasnya kembali berbagai perompakan laut di Asia Tenggara, doktrin Poros
Maritim Dunia (PMD) yang dikumandangkan Presiden Joko Widodo (lebih dikenal
dengan Jokowi) nampak semakin relevan. Konsep diplomasi maritim sebagai salah
satu pilar PMD (dan belakangan menjadi salah satu komponen utama Kebijakan
Kelautan Nasional) juga nampaknya dapat menjadi ujung tombak kebijakan luar
negeri Indonesia dalam meredakan ketegangan kawasan dan memimpin
pembangunan tatanan kawasan berbasis prinsip dan aturan hukum internasional
(rules-based order). Potensi strategis doktrin Jokowi ini juga disadari oleh komunitas
internasional yang berharap Indonesia meneruskan peran aktifnya sebagai salah satu
pemimpin kawasan Asia Tenggara dan bahkan Indo-Pasifik.

Kendati demikian, diplomasi maritim sebagai kerangka kebijakan dan konsep


strategis merupakan perkembangan baru dalam khazanah kajian hubungan
internasional pasca-Perang Dingin. Selain itu, para pembuat kebijakan luar negeri
pun, baik di Indonesia maupun di kawasan Indo-Pasifik, cenderung mengartikan
diplomasi maritim secara sempit—antara sebagai diplomasi perbatasan atau
penggunaan gunboat diplomacy. Akibatnya, berbagai studi diplomasi maritim
kontemporer cenderung bersifat sempit, terkotak-kotak, dan jarang menawarkan
kerangka kebijakan yang implementatif dan “berguna” bagi para pembuat kebijakan.

Padahal, Indonesia dan kawasan Asia Tenggara dapat dikatakan telah


menjalankan diplomasi maritim dalam berbagai bentuk selama lebih dari satu dekade
belakangan. Namun, kami memandang bahwa perubahan lingkungan strategis
maritim kawasan—terutama kebangkitan militer Tiongkok dan memanasnya
berbagai sengketa wilayah maritim—serta komitmen dari pemerintah untuk
menjalankan PMD, nampak mendorong perlunya kajian sistematis dan menyeluruh
mengenai diplomasi pertahanan maritim Indonesia. Berangkat dari berbagai
pertimbangan di atas, dan sesuai dengan permintaan Kementerian Luar Negeri
Indonesia, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), melakukan
penelitian mengenai diplomasi pertahanan maritim selama beberapa bulan terakhir.

4
Laporan penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengulas perubahan lingkungan strategis maritim Indonesia;


2. Mengkaji secara empiris pola-pola diplomasi maritim Indonesia sejak 1999;
3. Menawarkan kerangka evaluasi kebijakan diplomasi pertahanan maritim;
4. Memberikan rekomendasi kebijakan diplomasi pertahanan maritim.

Dalam beberapa bagian berikut, kami akan paparkan kerangka laporan,


metodologi, dan temuan-temuan kunci serta rekomendasi kebijakan awal. Laporan
ini juga telah mendapatkan masukan dari pertemuan Focused Group Discussion yang
diadakan di kantor CSIS di bulan September 2016 dan dihadiri berbagai pakar senior
serta para pemangku kebijakan diplomasi pertahanan maritim.

1.1 Kerangka Laporan

Laporan ini akan dibagi ke dalam beberapa bagian. Pertama, kami akan
memberikan gambaran perubahan lingkungan maritim strategis Indonesia. Bagian
ini akan menjabarkan berbagai tantangan strategis Indonesia di ranah maritim yang
perlu dihadapi dalam waktu dekat dan dalam jangka panjang. Bagian ini juga akan
menjelaskan mengapa tantangan-tantangan tersebut membutuhkan strategi
diplomasi pertahanan maritim yang komprehensif, terintegrasi dan melibatkan
berbagai instansi pemerintahan, terutama Kementerian Pertahanan, Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), Badan Keamanan Laut (Bakamla),
Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Luar Negeri.

Kedua, kami akan mengulas doktrin Poros Maritim Dunia sebagaimana


dijabarkan oleh Presiden Jokowi. Kami juga akan meletakkan doktrin tersebut dalam
perspektif historis dan komparatif sebagai upaya pengerucutan konsepsi strategi raya
(grand strategy). Ulasan ini lalu akan kami sandingkan dengan pokok-pokok
Kebijakan Kelautan Nasional sebagai buku putih peta jalan perwujudan doktrin PMD
yang tengah dirancang Kementerian Koordinator Maritim. Analisa kami juga akan
berusaha mengoperasionalisasikan konsepsi strategi raya maritim tersebut—
terutama dari dimensi outward-looking doktrin PMD—dengan menjabarkan
kebijakan-kebijakan prioritas yang dapat dipertimbangkan beserta instansi
pelaksananya.

5
Ketiga, agar Indonesia dapat merespon berbagai tantangan strategis sesuai
dengan visi doktrin PMD, kami akan memberikan kerangka konseptual dan kebijakan
diplomasi pertahanan maritim secara umum. Kerangka konseptual ini dibangun dari
berbagai literatur ilmu hubungan internasional terkait ‘diplomasi pertahanan’ dan
‘diplomasi maritim’. Kerangka kebijakan ideal yang lalu kami kembangkan dari
perpaduan dua konsep ini akan menjabarkan berbagai dimensi temporal terkait
pertahanan maritim dan instrumen kebijakan yang sesuai. Kerangka ini penting
bukan hanya sebagai pola berpikir sistematis, tetapi juga sebagai patokan ideal
integrasi kebijakan diplomasi pertahanan maritim yang melibatkan berbagai instansi
pemerintahan.

Keempat, dengan menggunakan berbagai sumber sekunder dan primer yang


terbuka, kami mengumpulkan dan menganalisa data empiris diplomasi pertahanan
maritim Indonesia sejauh ini yang mencakup: (a) kerja sama bilateral maritim dengan
berbagai negara, (b) kerja sama maritim multilateral, baik dalam kerangka ASEAN
maupun non-ASEAN, (c) latihan-latihan operasi bersama terkait keamanan maritim
atau keselamatan di laut, dan (d) instrumen-instrumen hukum internasional dan
konvensi regional terkait persoalan maritim. Pola-pola diplomasi pertahanan maritim
ini penting agar rekomendasi kami berangkat dari konteks kebijakan yang lebih luas
sambil menghindari perangkap memutar kembali roda kebijakan (reinventing the
wheel).

Kelima, dengan menggunakan kerangka konseptual dan kebijakan ideal


diplomasi pertahanan maritim, kami menganalisa kelebihan dan kekurangan
diplomasi pertahanan maritim Indonesia sejauh ini. Kami juga akan menjabarkan
secara lebih detil berbagai tantangan diplomasi pertahanan maritim dan prospek ke
depan kebijakan tersebut. Keenam dan terakhir, berdasar pada bagian-bagian
sebelumnya, kami akan mengajukan berbagai rekomendasi kebijakan untuk
memperkuat diplomasi pertahanan maritim sebagai bagian visi PMD, terutama bagi
Kantor Kepresidenan, Kementerian Luar Negeri, dan instansi pemerintah terkait
lainnya.

1.2 Metodologi Penelitian dan Sumber Data

Secara umum dataset yang ada di dalam penelitian ini merupakan data
kuantitatif yang bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari

6
dokumen resmi kementerian, lembaga dan organisasi internasional, website resmi
kementerian, lembaga dan organisasi internasional, sedangkan data sekunder
diperoleh dari berbagai jurnal ilmiah, buku, surat kabar dan media massa. Guna
menjamin validitas dan akurasi data, maka tidak semua sumber data sekunder yang
dikumpulkan kemudian diolah dan dijadikan dataset. Data sekunder yang
dikumpulkan kemudian diseleksi berdasarkan kriteria tingkat waktu keberlakuan
data, kesesuaian data dan ketepatan data dengan penelitian yang sedang dijalankan.
Penjelasan singkat mengenai sumber data sekunder dan primer dari setiap dataset
akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Diplomasi pertahanan maritim multilateral (ASEAN dan ASEAN-related):


Rencana Strategis, Laporan Kinerja, Buku Putih, Joint Declaration, Statement,
Concept Paper, Protocol to the Concept Paper, Additional Protocol, Annex,
Report, Draft Paper, Annual Outlook Paper, Workplan Paper, Workshop
Paper, Agenda, Terms of Reference.

2. Diplomasi pertahanan maritim multilateral (non-ASEAN):


Rencana Strategis, Charter, Code of Conduct, Declaration, Statement,
Memorandum of Understanding, Report, Meeting Summary, Fact Sheet,
Terms of Reference, Official Presentation, Speech Paper, Newsletter, Press
Release.

3. Diplomasi pertahanan maritim (bilateral serta latihan-latihan bersama):


Agreement, Arrangement, Protocol, Memorandum of Understanding, Letter
of Intent, Plan of Action, Joint Declaration, Report, Meeting Summary.

4. Aset keamanan maritim Indonesia:


Rencana Strategis, Rencana Kerja, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah, Statistik Perhubungan, Statistik Transportasi, Analisis Data
Kementerian, Kementerian dalam Angka, Data Permohonan Informasi Publik.

5. Instrumen hukum internasional dan konvensi regional:


Treaty, Convention, Agreement, Arrangement, Declaration, Protocol,
Amendment, Code, Annex, Appendix, Manual.

Berbagai dokumen tersebut di atas kami kaji dan olah lebih lanjut dalam upaya
menampilkan pola-pola empirik pelaksanaan diplomasi pertahanan maritim
Indonesia sejauh ini (1998 hingga 2016). Harapan kami, pola-pola ini dapat

7
membantu rekomendasi kebijakan terkait kekuatan dan kelemahan praktek
diplomasi pertahanan maritim Indonesia sejauh ini. Lebih jauh, kami fokus pada
instrumen-instrumen bilateral, multilateral (baik ASEAN maupun non-ASEAN),
serta berbagai traktat hukum internasional dan konvensi regional terkait maritim.
Kami berangkat dari fokus ini karena kami memandang kapabilitas angkatan laut
Indonesia (TNI AL) sejauh ini belum dapat digunakan sebagai instrumen gunboat
diplomacy di luar batas wilayah Indonesia. Akibatnya, instrumen diplomatik dan
hukum internasional cenderung menjadi default kebijakan diplomasi pertahanan
maritim.

Penjelasan mengenai sumber-sumber yang kami gunakan untuk memperoleh


berbagai dokumen di atas dijabarkan dalam Tabel 1 di bawah.

Tabel 1: Situs dan Sumber yang Digunakan

Kategori Situs

Organisasi asean.org, aseanregionalforum.asean.org, admm.asean.org,

internasional dan rpoaiuu.org, iora.net, ions.gov.in, amsa.gov.au/aphomsa,

regional recaap.org, treaties.un.org, imo.org

Kementerian dan mindef.gov.sg, mod.gov.my, coastguard.gov.ph,


Lembaga Negara bakamla.go.id, basarnas.go.id, kemlu.go.id, kemhan.go.id,
marina.difesa.it, treaty.kemlu.go.id, afp.gov.au, afma.gov.au,
indonesia. embassy.gov.au, navy.gov.au,
minister.defence.gov.au, indiannavy.nic.in,
indianembassyjakarta.com, pib.nic.in, mofa.go.jp, id.emb-
japan.go.jp, kln.gov.my, mot.gov.sg, navy.mi.th, army.mil.ph,
defense.gov, navy.mil, cpf.navy.mil, jakarta.usembassy.gov,
dephub.go.id, beacukai.go.id, polri.go.id, polair.polri.go.id,
bnpp.go.id, dmc.kemhan.go.id, koarmatim.tnial.mil.id,
koarmabar.tnial.mil.id, marinir.mil.id, tnial.mil.id,
afp.gov.au, public.navy.mil, cusnc.navy.mil,
royalnavy.mod.uk, armada.mde.es, dephub.go.id

Lembaga riset dan usnwc.edu, iiss.org, fairplay.ihs.com, ikahan.com


penelitian

8
Media nasional news.defence.gov.au, news.navy.gov.au, vietnamplus.vn,
dan regional cnn.com, pelita.or.id, tempo.co, antaranews.com, antara.
co.id, abc.net.au, theage.com.au, theaustralian.com.au,
radioaustralia.net.au, bt.com.bn, thaindian.com,
newindianexpress.com, thejakartapost.com, jakartaglobe.
beritasatu.co, kompas.com, nasional.kompas.com,
cnnindonesia.com, bbc.co.uk, en.people.cn. china.org.cn,
navaltoday.com, republika.co.id, nasional.harianterbit.com,
antarajatim.com, suaramerdeka.com, thediplomat.com,
jpnn.com, rri.co.id, tribunnews.com, news.okezone. com,
japantimes.co.jp, viva.co.id, dw.com, bbc.com,
channelnewsasia.com, news.detik.com, pikiran-rakyat.com,
thestar.com.my, jurnalmaritim.com, rmol.co, asiaone.com,
maritimnews.com, mb.com.ph, inquirer.net, philstar.com,
beritasatu.com, navynews.co.uk, timesofisrael.com,
militarynews.com, azvision.az, indiastrategic.in,
globalsecurity.org, timesofindia.indiatimes

1.3 Ringkasan Temuan-temuan Kunci Penelitian

Sebagaimana akan dijabarkan lebih jauh dalam laporan ini di bagian-bagian


berikut, penelitian kami menghasilkan beberapa temuan kunci dan rekomendasi
kebijakan terkait diplomasi pertahanan maritim.

1. Berbagai persoalan domestik terkait pengelolaan sektor maritim, terutama


tumpang tindih kewenangan aktor keamanan laut, masih menghambat
dikembangkannya strategi diplomasi pertahanan maritim yang koheren,
konsisten, dan efektif menghadapi perubahan lingkungan maritim Indonesia.

2. Lingkungan maritim Indonesia telah berubah dengan cepat dengan


menguatnya persinggungan berbagai tantangan keamanan maritim tradisional
seperti konflik bersenjata di laut antara negara kekuatan kawasan dan
ancaman nontradisional seperti pembajakan dan pencurian ikan di laut.

3. Doktrin Poros Maritim Dunia (PMD) masih terlalu “umum” dan abstrak untuk
menjadi panduan kebijakan strategis terkait diplomasi pertahanan maritim.

9
Sebuah strategi raya diperlukan untuk memperkuat dimensi eksternal dari
doktrin tersebut.

4. Sejak 1998, pelaksanaan dan praktek diplomasi pertahanan maritim Indonesia


cenderung tidak merata, tidak konsisten, dan masih melibatkan berbagai aktor
keamanan maritim dalam negeri secara terpisah. Akibatnya, instrumen-
instrumen diplomatik, baik bilateral maupun multilateral, hukum, dan militer
dalam konteks diplomasi pertahanan maritim masih belum mencapai tujuan-
tujuan strategis Indonesia.

5. Sejak 1998, fokus pelaksanaan dan praktek diplomasi pertahanan maritim


Indonesia cenderung berpusat pada instrumen-instrumen damai dan bukan
pada pembangunan sistem manajemen krisis. Padahal, persoalan sengketa di
Laut Tiongkok Selatan sudah diakui sejak 1990-an sebagai salah satu
flashpoint konflik kawasan.

10
2 Perubahan Lingkungan Strategis Maritim
Indonesia

Dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia akan menghadapi berbagai


persoalan keamanan maritim, baik ancaman tradisional maupun nontradisional, yang
semakin rumit. Dalam konteks itu, menjaga integritas teritorial tetap menjadi tujuan
utama kebijakan luar negeri dan pertahanan Indonesia. Meski lingkungan keamanan
di Asia Tenggara diperkirakan masih relatif stabil, masalah perbatasan yang belum
terselesaikan terus menjadi perhatian terdepan negara-negara kawasan. Indonesia
khususnya, menurut Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), masih terlibat
dalam sengketa teritorial dengan sejumlah negara tetangga di tiga kawasan perbatasan
darat dan tujuh kawasan perbatasan laut (lihat Figur 1). 1

Figur 1: Wilayah Perbatasan Darat dan Laut Indonesia yang Belum Terselesaikan

1 Lihat juga, misalnya, prioritas kebijakan luar negeri Indonesia bidang perbatasan dalam Marsudi
(2015).

11
Buku Putih Pertahanan Indonesia tahun 2015 juga membahas nilai strategis
dari 92 pulau kecil di wilayah perbatasan bagi kepentingan keamanan nasional. Dua
belas di antaranya—termasuk Pulau Nipah, Sebatik dan Sekatung—merupakan
prioritas utama pemerintah Indonesia (BNPP 2011). Sementara itu, sengketa
antarnegara yang berkepanjangan di Laut Tiongkok Selatan berpotensi meningkatkan
ketidakamanan di kawasan perbatasan Indonesia. Tanpa adanya batas geografis yang
jelas, negara-negara pesisir termasuk Tiongkok dan beberapa negara ASEAN secara
unilateral mengklaim memiliki kedaulatan atau hak berdaulat atas wilayah maritim
yang dipersengketakan tersebut (lihat Figur 2). Meski Indonesia bukan merupakan
negara penggugat (non-claimant state), sengketa di Laut Tiongkok Selatan berpotensi
menghadirkan tantangan terhadap hak berdaulat Indonesia (sovereign rights) sebagai
negara kepulauan menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum
Laut (UNCLOS).

Kekhawatiran Indonesia terhadap dampak sengketa wilayah di Laut Tiongkok


Selatan di antaranya berkaitan dengan kepentingan ekonomi nasional. Kepulauan
Natuna dipercaya memiliki cadangan gas alam yang luar biasa besar di bawah dasar
lautnya. Dengan meningkatnya permintaan energi di dalam negeri, pemerintah
Indonesia mengategorikan ladang-ladang gas lepas pantai—termasuk Blok Natuna D-
Alpha—sebagai daerah vital keamanan energi nasional. Hingga kini, Indonesia
memang tidak memberikan sikap keras terhadap berbagai aktivitas pengerukan di
Kepulauan Spratly. Namun, mengingat kekayaan sumber daya lautnya, aktivitas lepas
pantai yang destruktif di kawasan sekitarnya berpotensi membahayakan
keanekaragaman hayati dan keberlanjutan ekosistem laut di Kepulauan Natuna.

Isu besar lainnya adalah penangkapan ikan secara ilegal yang tidak dilaporkan
dan tidak diregulasi (IUU Fishing). Dengan menurunnya jumlah ikan di kawasan Asia
Tenggara, kapal-kapal ikan asing harus beroperasi lebih jauh hingga ke wilayah negara
tetangga. Dalam beberapa tahun terakhir, tidak jarang kapal ikan asal Tiongkok,
Thailand, dan Vietnam berkeliaran dan tertangkap melakukan penangkapan ikan di
perairan Indonesia (lihat Figur 3). Menurut sebuah sumber akademik, Indonesia
diperkirakan mengalami kerugian sekitar 520 triliun Rupiah dari tahun 2001 sampai
2013 sebagai akibat penangkapan ikan ilegal yang merajalela.2

2Lihat data dari The Fisheries Resources Laboratory seperti dikutip dalam “Kapal Siluman di Laut
Nusantara”, Tempo, (29 Juni–5 Oktober 2014).

12
Figur 2: Batas Maritim Laut Tiongkok Selatan

Figur 3: Kapal Ikan yang Ditangkap Berdasarkan Negara Asal

Sumber: KKP

13
Isu pencurian ikan cenderung bertambah problematik di daerah yang
berdekatan dengan wilayah sengketa atau daerah dengan batas laut yang belum
sepenuhnya selesai didemarkasi. Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan
perairan Natuna sebagai daerah yang paling rentan terhadap berbagai aktivitas
penangkapan ikan ilegal.3 Bila dilihat dari negara-negara asalnya, resiko menangkap
kapal ikan Thailand dan Vietnam tidak terlalu signifikan dibandingkan kapal ikan asal
Tiongkok. Berbagai insiden terdahulu di perairan Natuna—di mana patroli penjaga
pantai Tiongkok berupaya menggagalkan usaha otoritas maritim Indonesia untuk
menangkap nelayan ilegal—merepresentasikan sebuah kondisi ketidakamanan di
perbatasan laut yang berpotensi mengganggu hubungan diplomatik antara Indonesia
dan negara-negara sahabat.

Sampai dua tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, penerapan


dimensi eksternal dari doktrin PMD (dibahas di bagian berikut) paling kentara terlihat
pada upaya Indonesia dalam memernagi kegiatan perikanan ilegal. Melalui
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia mulai menerapkan tindakan keras
berupa peledakan dan penenggelaman kapal yang tertangkap melakukan aktivitas
perikanan ilegal. Dalam kurun waktu Oktober 2014 sampai Desember 2015 tercatat
pemerintah telah menenggelamkan 121 kapal ikan yang berasal dari negara-negara
tetangga (lihat Figur 4).4 Selain itu, pemerintah dikabarkan sempat memberlakukan
moratorium pemberian izin operasi sejak November 2014 terutama kepada kapal-
kapal berbendera asing. Pada pertengahan Juni 2014, dilaporkan bahwa pemerintah
telah mencabut lisensi 15 perusahaan perikanan yang mengoperasikan sejumlah 283
kapal yang terkait dengan praktik-praktik ilegal seperti kapal berbendera ganda,
pemekerjaan kapten dan awak kapal asing, serta kapal-kapal yang tidak mengativasi
Sistem Pemantai Kapal (VMS) dan Sistem Pelacakan Otomatis (AIS).5

Sebagai dampak dari diberlakukannya tindakan yang lebih keras terhadap


aktivitas perikanan asing, jumlah produksi ikan air asin Indonesia meningkat pada
caturwulan pertama tahun 2014. Sementara itu, Uni Eropa pada saat yang bersamaan
menerapkan peringatan keras kepada Thailand atas praktek perikanan ilegal yang
dilakukannya. Peringatan ini telah menekan pasokan produk perikanan Thailand dan

3 Lihat misalnya “Akibat Illegal Fishing, Negara Rugi 80 Triliun per Tahun,” Media Indonesia, 22
Agustus 2010
4 Lihat “57 Kapal Pelaku ‘Illegal Fishing’ Siap Ditenggelamkan Tahun Ini,” Kompas, 6 Januari 2016.
5 Lihat “Izin 15 Perusahaan Perikanan Dicabut,” Kompas, 23 Juni 2015.

14
membuka celah bagi Indonesia untuk memasok kebutuhan ikan masyarakat Eropa. 6
Hal ini dinilai meningkatkan peluang untuk menggencarkan pertumbuhan ekonomi.

Figur 4: Negara Asal Kapal Pelaku IUU Fishing yang Telah Ditenggelamkan

Sumber: kompas.com

Pemberantasan pembajakan dan perampokan di laut merupakan tantangan


Indonesia lainnya dalam menjamin pelayaran yang aman dan bebas di Asia Tenggara.
Walaupun jumlah serangan terhadap kapal dagang yang berlayar melalui perairan
Indonesia cenderung menurun dari tahun 2013 hingga 2015, perairan Indonesia tetap
merupakan wilayah perairan dengan jumlah serangan paling banyak dibandingkan
dengan wilayah lain di dunia (lihat Figur 5). Pelayaran komersil dinilai sangat berisiko
ketika melawati alur laut yang padat dan sempit atau di mana patroli keamanan laut
jarang terlihat. Insiden-insiden penyerangan dapat terjadi dengan berbagai modus
operandi, mulai dari perampokan bersenjata hingga penyanderaan atau pembajakan
kapal. Belajar dari peristiwa di akhir tahun 1990-an, insiden di laut berpotensi
meningkat seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara
kawasan, termasuk Indonesia.

Bagi Indonesia, perompakan adalah isu domestik yang harus ditangani dengan
langkah-langkah internal tanpa intervensi asing. Selain patroli laut yang terkoordinasi
dengan negara-negara pesisir, Indonesia cenderung enggan untuk ikut serta dalam
upaya- upaya multilateral di luar kerangka ASEAN atau UNCLOS, termasuk
“Kesepakatan Kerja Ssama Asia untuk Pemberantasan Perompakan dan Perampokan

6 Lihat “Sumber Pertumbuhan Ekonomi Baru,” Kompas, 15 Mei 2015.

15
Bersenjata di Laut” (ReCAAP) yang disponsori oleh pemerintah Jepang. Guna
melindungi keamanan maritim, pemerintah Indonesia telah membentuk Badan
Keamanan Laut (Bakamla) untuk memperkuat kordinasi patroli laut, baik antarintansi
dalam negeri maupun di kawasan.

Figur 5: Laporan Insiden Percobaan dan Serangan Aktual Terhadap Kapal Komersil
di Perairan dan Batas Laut Indonesia

350

300

250

200

150

100

50

0
2012 2013 2014 2015 2016

Indonesia Selat Malaka Laut Tiongkok Selatan


Total di Seluruh Dunia India Bangladesh
Nigeria Somalia

Sumber: International Maritime Bureau

Mengingat signifikannya dampak dari gangguan perdagangan laut terhadap


ekonomi regional maupun global, pemerintah Indonesia tetap perlu mengantisipasi
potensi intervensi eksternal dalam pengelolaan jalur perdagangan lautnya. Di masa
lalu, Indonesia secara tegas menolak “Inisiatif Keamanan Maritim Regional” (RMSI)
yang digagas oleh Amerika Serikat, terutama kaitannya dengan kemungkinan
pengerahan pasukan khusus dan tindakan pencegatan secara unilateral di perairan
Indonesia. Potensi serupa juga tercermin dari kegiatan pengawalan angkatan laut
Amerika Serikat dan India terhadap kapal-kapal komersil bermuatan strategis yang
berlayar melalui Selat Malaka (Young and Valencia 2003). Kehadiran kekuatan laut
ekstraregional menghadirkan tantangan tersendiri terhadap kemampuan Indonesia
untuk menegakkan kedaulatan nasional di wilayah laut yang menjadi yurisdiksinya.

16
Ke depan, perairan Indonesia akan semakin terbuka terhadap perkembangan
kepentingan geopolitik negara-negara besar. Jepang dan Tiongkok, misalnya, semakin
mengkhawatirkan keamanan pasokan energi mereka baik dari Timur Tengah maupun
Afrika Timur. Mengacu pada Pedoman Pertahanan Nasional terbaru, pemerintah
Jepang tampak berambisi untuk mengembangkan postur pertahanan yang “realis dan
berorientasi pada ancaman”. Kebijakan ini secara spesifik berusaha meningkatkan
kemampuan militer negara tersebut untuk mengantisipasi berbagai pertempuran di
luar wilayah negaranya, termasuk di jalur-jalur perdagangan laut Asia Tenggara dan
Samudera Hindia. Demikian pula dengan Tiongkok. Sebagai bagian dari inisiatif
“Jalur Sutra Maritim Baru”, pemerintahan Xi Jinping berupaya keras mengamankan
jalur laut komersilnya yang merentang mulai dari dari pesisir timur Tiongkok melalui
Laut Tiongkok Selatan, Selat Malaka dan Samudera Hindia hingga ke Laut Arab dan
Teluk Persia. Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok terus mendanai pembangunan
pelabuhan-pelabuhan laut dalam di Myanmar, Sri Lanka, Bangladesh dan Pakistan
yang akan menjadi penghubung perdagangan regional, dan sekaligus memberikan
akses kepada angkatan lautnya untuk menggelar kekuatan maritim di luar kawasan
Asia Timur.

Dalam jangka panjang, sengketa maritim memiliki implikasi terhadap aspirasi


Indonesia untuk memelihara stabilitas strategis di kawasan Asia Timur. Aktivitas
pengerukan laut dan pembentukan pulau buatan berpotensi mengubah perimbangan
kekuatan militer di di Laut Tiongkok Selatan. Dengan membangun infrastruktur
strategis seperti landasan terbang, dermaga dan sistem intai maritim di pulau-pulau
buatan tersebut, Tiongkok dapat mengendalikan seluruh navigasi yang melewati
Kepulauan Spratly. Dengan begitu, operasi pengerukan berskala besar Tiongkok
merepresentasikan ambisinya untuk memproyeksi kekuatan militer di wilayah yang
diperebutkan. Di lain pihak, Amerika Serikat telah mengirimkan aset angkatan lautnya
secara reguler dalam radius 12 mil laut dari pulau-pulau buatan Tiongkok untuk
menegakkan kebebasan bernavigasi di wilayah perairan Laut Tiongkok Selatan.

Lebih jauh, dinamika sengketa maritim di Asia Timur telah menjadi pendorong
utama kompetisi persenjataan angkatan laut antar negara-negara kawasan.
Kecenderungan regional ini tentu saja tidak lepas dari pengamatan para perencana
pertahanan Indonesia. Antara 2010 dan 2014, pengeluaran pertahanan di Asia telah
meningkat 27.2 persen dari USD 270.6 miliar menjadi USD 344.2 miliar (The Military

17
Balance 2015). Kekhawatiran utama Indonesia adalah apabila tindakan negara-negara
kawasan untuk melakukan modernisasi militer tidak sesuai dengan kebutuhan
keamanan yang ada, maka proses tersebut hanya akan memprovokasi terjadinya
“perlombaan senjata” (arms race) belaka (Glaser 2004). Dinamika persenjataan yang
demikian akhirnya akan melemahkan keamanan nasional dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya konflik bersenjata di laut.

Singkatnya, lingkungan strategis maritim Indonesia semakin menunjukkan


gejala persinggungan tantangan strategis tradisional—termasuk rivalitas AS-
Tiongkok, Tiongkok-Jepang, atau kemungkinan intervensi eksternal terhadap
kepentingan maritim domestik serta militerisasi kawasan—dengan tantangan
nontradisional, termasuk IUU fishing, perompakan, dan keselamatan di laut maupun
pelabuhan. Artinya, strategi politik luar negeri Indonesia terkait dengan ranah
maritim tidak bisa lagi dihadapi oleh satu kementerian, tapi membutuhkan kerja sama
lintas departemen dan dibimbing satu strategi terpadu.

Padahal, saat ini, Indonesia mengandalkan kekuatan armada patroli maritim


yang berada di bawah kendali tujuh instansi utama, yaitu TNI-AL, Bakamla, satuan
Polisi Air dan Udara (Polairud) di Polri, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kesatuan
Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) di Kementerian Perhubungan, Direktoral Jenderal
Bea Cukai di Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Imigrasi di Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia (lihat Figur 6).7

7Data dalam figur 6 berasal dari sumber resmi Bakamla. Kendatipun demikian, kategorisasi “armada
patroli” agak rancu untuk TNI AL karena banyak kapal perang yang sebenarnya tidak didesain untuk
patroli keamanan laut semata (misalnya, kapal jenis fregat) dianggap sebagai bagian dari armada
patroli.

18
Figur 6: Komposisi Armada Patroli Maritim Indonesia

Sumber: Bakamla

Penyelesaian batas laut, misalnya, tidak hanya meniscayakan kepiawaian para


diplomat Kementerian Luar Negeri di meja perundingan. Dukungan dan pelibatan
asset-aset pertahanan seperti TNI-AL atau Bakamla juga memainkan peran krusial
dalam menjamin stabilitas maritim di kawasan. Mengingat luasnya wilayah Indonesia,
pengawasan terhadap sumber daya perikanan tidak akan efektif tanpa adanya sinergi
antar instansi penegak hukum di laut—termasuk Bakamla, KKP dan Polairud.
Demikian juga keamanan pelayaran di laut memerlukan koordinasi antar armada
patroli maritim yang bersifat lintas batas negara. Sebagaimana akan dijelaskan di
bagian-bagian berikut, diplomasi pertahanan maritim bukan hanya diartikan sebagai
diplomasi negosiasi batas delimitasi maritim dengan negara-negara tetangga.
Diplomasi pertahanan maritim juga dapat diartikan sebagai optimalisasi kekuatan
armada patroli maritim untuk mencapai tujuan politik luar negeri Indonesia terkait
lingkungan strategis maritimnya.

19
3 Poros Maritim Dunia dan Kebijakan Kelautan
Nasional: Modalitas Strategi Raya?

Memperhatikan asal-muasal doktrin PMD, Presiden perlu memiliki


pengejawantahan yang lebih baik akan asumsi geopolitik yang dulu pernah menjadi
latar belakang pemikiran bergulirnya konsep tersebut. Hal ini terutama karena
minimnya penekanan dimensi eksternal dari PMD dan dominannya fokus orientasi
dalam negeri—yakni sebagai upaya memperkuat kehadiran negara dalam menyatukan
keseluruhan wilayah Indonesia sebagai kesatuan geografi dan ekonomi. Intinya adalah
terciptanya konektivitas antarpulau yang lebih baik untuk merevitalisasi
perekonomian Indonesia yang lebih sesuai dengan karakter geografis. Pada mulanya,
gagasan ini bertujuan meningkatkan infrastruktur maritim yang mencakup
pembangunan pelabuhan dan perkapalan dengan harapan Indonesia dapat menjadi
pusat perdagangan maritim kawasan (Shekhar and Liow 2014).

Terminologi “Poros Maritim Dunia” sendiri dikemukakan pertama kali dalam


sesi debat publik calon presiden atas kebijakan luar negeri di bulan Juli tahun 2014.
Jokowi mengindikasikan bahwa konsepsi PMD berpangkal pada asumsi bahwa
kekuatan geopolitik ekonomi tengah bergeser dari Dunia Barat ke Asia.8 Anggapan ini
berhubungan dengan mengemukanya konsensus politik dalam negeri bahwa
Indonesia dapat mengalami ancaman keamanan eksternal yang serius, terutama
terkait dengan tingginya militerisasi di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik,
eskalasi perselisihan antara Tiongkok dengan sejumlah negara kawasan di Laut
Tiongkok Selatan, serta makin seringnya Tiongkok melanggar hak berdaulat Indonesia
di perairan kepulauan Natuna.

Dalam konteks geopolitik, konsensus ini dapat dimaknai sebagai cerminan


mental map elit politik Indonesia mengenai eksistensi geografis negeri. Keberadaan
sejumlah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) serta letak strategis Indonesia di
antara dua benua dan dua samudera senantiasa membuat para pengambil kebijakan

8 Visi Pertahanan, Prabowo Kemakmuran, Jokowi Maritim, BBC Indonesia,


http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/06/140622_indonesia_debatcapres_dua

20
merasakan ketidakamanan dan ketakutan akan eksploitasi asing sehingga sering kali
muncul urgensi untuk menerapkan kontrol dan patroli terhadap perairan Indonesia
(Laksmana 2011). Dalam konsepsi PMD, nuansa demikian dibalut dengan visi ideal
sehingga karakter geopolitik Indonesia tidak hanya sebagai cerminan perasaan
ketidakamanan, tapi juga sebagai kesempatan untuk menaikkan posisi Indonesia
secara global.

Lebih jauh, konsepsi PMD juga kembali mengakui nilai strategis Samudra
Hindia. Dalam gambaran geografis Indonesia, Samudra Hindia selalu diakui bersama-
sama Samudra Pasifik sebagai samudra yang mengapit Indonesia. Namun, selama ini
perhatian lebih terarah ke belahan utara, yakni Samudra Pasifik, ketimbang selatan
(Samudra Hindia), terutama kepada Selat Malaka dan Laut Tiongkok Selatan yang
masing-masing dianggap sebagai potensi keuntungan yang dapat datang dari kontrol
dan potensi bahaya yang dapat menarik kekuatan besar bermain di perairan
Indonesia. Dengan mencanangkan PMD, Jokowi dinilai bermaksud membawa
kembali Samudera Hindia ke dalam “kanvas regional” seraya memproyeksikan
kekuatan Indonesia.

Melalui PMD, Jokowi membayangkan Indonesia akan berada dalam konstelasi


global yang menuntut keseluruhan bangsa untuk menegaskan diri dalam sebuah
negara kepulauan untuk menjadi “pemenang”. Dalam gagasan beliau, pembangunan
maritim akan menempatkan Indonesia sebagai titik sentral dinamika hubungan
internasional di Asia. Namun demikian, sampai dengan dua tahun berjalannya
pemerintahan Jokowi, belum ada perhatian yang cukup berarti untuk dimensi
eksternal—kebijakan luar negeri dan pertahanan—PMD. Kesadaran mengenai
pentingnya keamanan maritim serta angkatan laut yang lebih kuat sebetulnya sudah
mulai banyak dibicarakan sebelum era Jokowi; misalnya, banyak kalangan
berpendapat bahwa pembangunan kekuatan bersenjata yang berfokus kepada matra
darat tidak sesuai dengan kondisi alamiah Indonesia. Maka dari itu, diperlukan
perumusan terperinci mengenai persinggungan dimensi luar negeri dan pertahanan
dalam PMD. Dengan demikian, PMD dapat diharapkan untuk memberikan arahan
yang lebih jelas dalam menghasilkan suatu kebijakan luar negeri yang robust sebagai
potensi dibentuknya strategi raya (grand strategy) Indonesia.

21
3.1 Poros Maritim Dunia dalam Perspektif Historis dan
Komparatif

Sebelum Jokowi, Indonesia memiliki beragam rubrik untuk mendeskripsikan


politik luar negerinya, namun tidak pernah betul-betul melenceng dari gagasan bebas
dan aktif yang berjangkar pada pemahaman situasi politik internasional era Perang
Dingin, sebagaimana dicanangkan oleh Moh. Hatta (Hatta 1988). Intinya, politik luar
negeri harus senantiasa menghindarkan Indonesia menjadi “obyek dalam pertarungan
politik internasional,” melainkan menjadi negara yang dapat menentukan sikap dan
tujuan sendiri: “bebas” dalam arti tidak memiliki pakta pertahanan dengan negara lain
dan “aktif” turut serta dalam upaya global yang sesuai dengan tujuan nasional. Namun
dalam perkembangannya, nampaknya prinsip “bebas-aktif” telah dimanfaatkan
sebagai instrumen kontestasi politik domestik.

Sejarah mencatat bagaimana “bebas-aktif” menjadi alat pertarungan elit politik


domestik; baik di era Presiden Sukarno maupun Suharto. Dengan demikian, politik
luar negeri bebas aktif di masa Orde Lama dan Orde Baru cenderung berfungsi
menegaskan independensi di saat Indonesia perlu memobilisasi sumber daya luar
negeri untuk kepentingan pembangunan rezim yang berkuasa (Weinstein 1972). Selain
anggapan bahwa politik luar negeri bertujuan menjaga independensi dan
mengamankan pembangunan dalam negeri, pendirian ASEAN di era Suharto dengan
asumsi bahwa Indonesia layak menjadi pemimpin kawasan sekaligus penjaga
stabilitas untuk menarik investasi asing (Haftel 2010), menjadi salah satu konsensus
yang terlembaga dalam agen-agen politik luar negeri dan diplomasi Indonesia seperti
Kementerian Luar Negeri.

Pasca berakhirnya Orde Baru, politik luar negeri Indonesia mengalami berbagai
reinkarnasi. Pertama, di era Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda yang bertugas sejak
periode kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, Indonesia mendorong
rubrik “Diplomasi Total (Total Diplomacy)” yang mencerminkan banyaknya aktor-
aktor kebijakan luar negeri Indonesia di alam demokratis. Gagasan ini pada dasarnya
melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam rangka menjangkau keseluruhan
publik melalui praktek dipomasi banyak jalur (multi-track) (Alles 2015). Kedua, di era
Presiden Yudhoyono, politik luar negeri memanfaatkan pamor Indonesia sebagai
negara demokratis dan muslim moderat sambil menekankan kerja sama multilateral

22
dan perdagangan internasional. Ini yang lalu dikembangkan oleh Menteri Luar Negeri
Marty Natalegawa sebagai doktrin keseimbangan dinamis (dynamic equilibrium).
Presiden Yudhoyono sendiri yang menggunakan istilah “sejuta teman dan nol musuh
(a million friends and zero enemies)”: tidak ada negara yang memandang Indonesia
sebagai musuh dan tidak ada negara yang dipandang oleh Indonesia sebagai musuh.9

Dipandang dalam konteks arah evolusi strategi kebijakan luar negeri Indonesia
ini, doktrin PMD memiliki konsepsi yang lebih jelas mengenai sistem internasional.
Bahkan, penggunaan kata “poros” dalam PMD diharapkan mengganti kekhawatiran
“ke dalam” secara geopolitik dengan upaya mendorong Indonesia “ke luar” melalui
identifikasi peluang dari sistem internasional. PMD cukup cermat menggunakan
kepercayaan mendalam tentang nasionalisme dan hakikat geografis dan
menghubungkannya dengan prinsip “aktif” untuk membuka peluang bagi Indonesia
suatu saat sebagai “pemenang” dalam konstelasi global. PMD juga berpotensi meramu
pembangunan dengan penguatan negara yang semakin penting bagi keberlangsungan
demokrasi di Indonesia.10

Namun demikian, kelemahan dari PMD justru terletak pada orientasi domestik
dan inward looking yang dapat menimbulkan kesalahpahaman atas relevansi dan
pentingnya Indonesia demokratis yang kuat bagi kawasan. Banyak kalangan bahkan
menilai figur Jokowi dan perhatian yang lebih diberikannya kepada politik domestik
berarti kita harus khawatir akan terabaikannya kebijakan luar negeri Indonesia.
Menurut satu pengamat, fokus kepada kekuatan negara serta visi maritim
mengandung pertentangan dalam wacana nasionalisitik Jokowi; sedemikian rupa
sehingga Indonesia akan memiliki kebijakan luar negeri yang kurang jelas, kurang
berwawasan damai, kurang kooperatif, dan menjauh dari kepemimpinan Indonesia di
Asia Tenggara, dan juga secara global (Connelly 2015, p. 21). Selain itu, nada
nasionalistik yang dikemukakan Presiden di acara pembukaan Konferensi Asia Afrika
2015, menurut media The Economist, dapat menjadi momok yang menakutkan bagi
para investor asing.

9 Lihat misalnya dalam “SBY: Indonesia Has ‘A Million Friends and Zero Enemies’,” The Jakarta Globe,
http://jakartaglobe.beritasatu.com/archive/sbyindonesia-has-a-million-friends-and-zero-enemies/
10 Hal ini berkenaan dengan anggapan bahwa upaya memperkuat negara adalah tugas paling penting

dalam memastikan demokrasi bertahan terhadap alternatifnya di negara pascakolonial seperti


Indonesia. Lihat lebih jauh dalam Slater, Smith and Nair (2014).

23
Kontradiksi-kontradiksi PMD ini dapat dipahami sebagai dampak tidak
langsung dari belum matang dan terlembaganya proses formulasi strategi raya yang
jelas dan menjadi panduan kebijakan sekaligus sebagai acuan yang dapat digunakan
oleh dunia internasional. Sejauh ini, bergulirnya berbagai rubrik atau konsepsi politik
luar negeri hanya menunjukkan improvisasi yang terkadang dilakukan oleh Presiden
ketika ia tertarik persoalan-persoalan internasional (atau oleh pembantu Presiden
ketika ia tidak tertarik). Dalam kondisi demikian, sistem formulasi kebijakan luar
negeri cenderung “presidential-driven” dan tidak terlembaga dengan baik—padahal
proses pelembagaan penting untuk mengoptimalkan sumber daya politik luar negeri.
Sekali lagi, doktrin PMD dalam hal ini berpotensi meletakkan landasan dan sistem
(atau proses pelembagaan kebiasaan-kebiasaan) formulasi strategi raya secara
koheren dan konsisten.

Selain Indonesia, Tiongkok juga kini tengah merumuskan strategi raya


maritimnya. Dalam melakukan hal tersebut, Tiongkok menempuh proses di mana
petinggi negara membuat strateginya, mengartikulasikannya, serta menggerakkan
lembaga negara untuk mengarahkan prioritasnya kepada sasaran-sasaran yang
ditentukan oleh strategi raya tersebut—dalam hal ini, pembangunan. Hal ini
disebabkan oleh pengakuan mereka terhadap kontradiksi yang ditimbulkan oleh
sosialisme Tiongkok yang masih berada tahap awal sehingga menimbulkan kebutuhan
materi dan kultural.11 Dalam konteks inilah Jalur Sutera Maritim (Maritime Silk Road)
Tiongkok dapat dimaknai: sebagai visi yang dikembangkan dengan merangkai
kekuatan militer, ekonomi dan diplomatik untuk mewujudkan situasi internasional
yang kondusif. Visi ini merujuk kepada serangkaian proyek infrastruktur untuk
menghubungkan jalur darat yang membentang menghubungkan Tiongkok dengan
Asia Tengah, Rusia dan Eropa, sekaligus jalur laut yang menghubungkan Tiongkok
dengan Samudera Hindia melalui Laut Tiongkok Selatan.12 Meskipun demikian,
Tiongkok juga belum memiliki dokumen resmi inisiatif tersebut.

11 Terdapat setidaknya tiga kepentingan inti yang akan diamankan oleh Tiongkok, yakni stabilitas
sistem politik dan sosial, pembangunan ekonomi dan sosial yang berkesinambungan dan kedaulatan,
keamanan nasional, integritas teritorial dan reunifikasi nasional. Dalam upaya tersebut, Tiongkok
memiliki persepsi bahwa Amerika Serikat dan sistem aliansi yang dikembangkannya di kawasan
merupakan ancaman utama. Lihat lebih jauh di Norton (2015).
12 Tujuan Tiongkok adalah mengkoordinasikan kebijakan masing-masing negara yang terhubung

dengan jalur tersebut agar perencanaan pembangunan mereka terhubung dengan rencana mewujudkan
pasar bebas dan integrasi finansial yang dibarengi dengan pendirian Asian Infrastructure Investment
Bank (AIIB). Lihat Shannon Tiezzi, “Where is China’s Silk Road Actually Going?”, The Diplomat, 30
Maret 2015.

24
Sementara itu, sejak akhir 1990-an, India mulai mengakui kepentingan
maritimnya dengan membayangkan kembali bentang laut “dari Aden sampai Malaka”
dan “dari Suez sampai Laut Tiongkok Selatan” dalam wacana keamanan nasionalnya.
India bercita-cita untuk menjadikan angkatan lautnya suatu kekuatan yang dapat
mengamankan laut wilayah dan ZEE-nya serta menjadi security provider di Samudra
Hindia. Dalam menjalankan perannya sebagai security provider, India perlu
mengembangkan program bantuan keamanan yang komprehensif, yang terdiri atas
serangkaian instrumen kebijakan terkait transfer persenjataan dan sumber daya
keuangan. Sejalan dengan hal itu, India hingga kini juga terus mengembangkan
kekuatan angkatan lautnya agar dapat mencapai status “blue-water navy.” Akan
tetapi, India menghadapi suatu tantangan internal di mana kalangan elit politiknya
belum memiliki komitmen yang tinggi dalam merumuskan strategi maritim yang
komprehensif dan berkelanjutan (Mohan 2010).

Pengembangan kekuatan maritim yang dilakukan India didorong oleh


keinginan India untuk menjadi kekuatan dominan di kawasan tersebut. Namun dalam
pratiknya, India tidak menolak keterlibatan kekuatan-kekuatan besar “extra-regional”
seperti Amerika Serikat dan Tiongkok di Samudra Hindia. India menyadari bahwa
tidak ada mekanisme regional yang akan berhasil apabila keterlibatan negara-negara
besar “extra-regional” tidak diakui (Mohan 2010).

Jika dibandingkan, cakupan gagasan PMD memang tidak seluas visi maritim
Tiongkok. Meskipun demikian, Indonesia masih memiliki kebutuhan yang cukup
tinggi akan kontribusi asing untuk mendanai pembangunan infrastruktur dan
konektivitas yang dicanangkan PMD. Indonesia dapat mulai belajar soal kejelasan visi
yang diterjemahkan ke dalam strategi yang logis sehingga seluruh lembaga dan sumber
daya dapat dimobilisasi ke arah visi maritim tersebut. India, paling tidak, meski tidak
memiliki strategi raya yang jelas, telah mengalami pergeseran cara pandang dalam
menentukan sasaran-sasaran strategisnya, terutama soal Maritime Silk Road.

Sebagai sebuah visi maritim, PMD memang telah secara baik mengakui hakikat
alamiah Indonesia dan membelokannya sebagai peluang, alih-alih perasaan
ketidakamanan semata. Namun demikian, untuk menjadi panduan yang koheren,
pencanangan PMD perlu dibarengi dengan upaya menciptakan tradisi membangun
strategi raya agar apa yang dicita-citakan pemimpin—yang biasanya menjadi visi yang
mereka ungkapkan ketika berkampanye—dapat secara jelas diterjemahkan dan

25
menjadi modal untuk menata keseluruhan sumber daya serta kelembagaan nasional.
Upaya ini membutuhkan Indonesia untuk memiliki penilaian yang cermat terhadap
peluang dan tantangan yang muncul dari sistem internasional, alih-alih semata-mata
mengapropriasi prinsip bebas dan aktif sebagai panduan merumuskan kebijakan luar
negeri.

Singkatnya, PMD sebagai strategi raya Indonesia perlu dengan cermat


menghitung dan memaknai perubahan lingkungan strategis (sebagaimana dibahas di
atas). Namun yang lebih penting lagi, gagasan PMD sebaiknya tidak ditelantarkan
sebagai warisan masa kampanye. Dalam hal ini, Presiden dan pemerintah perlu
merealisasikan potensi doktrin PMD dengan membangun sistem formulasi kebijakan
luar negeri yang lebih konsisten, sistematis, koheren, dan lebih proaktif mengambil
peluang strategis di kawasan. Dalam hal ini, kami menyarankan relevansi diplomasi
pertahanan maritim sebagai ujung tombak PMD dalam kerangka Kebijakkan Kelautan
Nasional.

3.2 Kebijakan Kelautan Nasional: Menuju Strategi Raya?

Secara konseptual, strategi raya adalah seperangkat gagasan yang padu


mengenai apa yang disasar oleh suatu negara dan bagaimana melakukannya.
Khususnya, terminologi ini memaknai suatu kumpulan rencana dan kebijakan yang
meliputi upaya negara untuk merangkai sarana-sarana politik, militer, diplomasi dan
ekonominya untuk mencapai tujuan negara dengan cara memetakannya ke dalam
hubungan antara tujuan dan alat mencapai tujuan tersebut. Dalam implementasinya,
strategi raya memberikan bentuk terhadap kebijakan luar negeri yang meliputi aspek
militer, diplomasi dan komponen-komponen lain yang terkait, memberikan
kesinambungan antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang sekaligus
memberikan petunjuk mengenai hirarki tujuan yang ingin dicapai dari implementasi
kebijakan luar negeri serta cara negara memobilisasi sumber daya dan kekuatan
dengan tepat.

Dalam hal ini, PMD berpotensi menjadi tonggak di mana Indonesia, alih-alih
berpedoman pada prinsip kebijakan luar negeri yang cenderung abstrak namun lentur,
dapat memiliki kebijakan yang memiliki pedoman yang kokoh serta instruktif bagi
penataan keseluruhan elemen bangsa dalam bergerak ke arah yang sama. Hal ini

26
ditunjukkan dengan kontinuitas visi yang diikuti dengan upaya penerjemahannya
secara lebih detail sejak gagasan PMD diungkapkan pertama kali sampai kepada
pembentukan badan pemerintah untuk menunjukkan adanya prioritas pemerintah.

Ketika visi PMD pertama kali dijabarkan oleh Presiden Joko Widodo dalam
acara KTT Asia Timur di Myanmar tanggal 13 November 2014, terdapat lima pilar yang
menjadi penjabaran tersebut, yakni (1) budaya maritim yang berkaitan dengan cara
pandang dan jati diri bangsa, (2) ekonomi maritim yang berkaitan dengan kedaulatan
pangan dan pengembangan industri, (3) infrastruktur maritim yang berkenaan dengan
pembangunan konektivitas wilayah di Indonesia, (4) diplomasi maritim yang
berkaitan dengan tata laksana hubungan luar negeri yang berbasis kerjasama, dan (5)
pertahanan maritim yang berkaitan dengan pembangunan kekuatan maritim dalam
rangka menjaga kedaulatan, sumber daya, keselamatan dan keamanan di wilayah laut
Indonesia. Dua pilar terakhir merupakan pilar gagasan PMD yang memiliki orientasi
eksternal.

Sejalan dengan dicanangkannya visi maritim ini, Jokowi memprakarsai


berdirinya Kementerian Koordinator Bidang Maritim yang meliputi Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan
dan Perikanan, serta Kementerian Pariwisata. Dalam rangka menerjemahkan visi
PMD, Kementerian Koordinator Bidang Maritim menerbitkan “Buku Putih Kebijakan
Kelautan Indonesia: Menuju Poros Maritim Dunia”. Dalam dokumen tersebut,
terdapat indikasi bahwa lima pilar yang telah dicanangkan tahun 2014 akan
dikembangkan menjadi tujuh pilar Kebijakan Kelautan Indonesia. Tujuh pilar ini
mencakup (1) pengelolaan sumber daya kelautan dan sumber daya manusia, (2)
pertahanan, keamanan, penegakan hukum dan keselamatan laut, (3) tata kelola dan
kelembagaan laut, (4) ekonomi, infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan, (5)
pengelolaan ruang laut dan pelindungan lingkungan laut, (6) budaya bahari, dan (7)
diplomasi maritim.

Dalam pengejawantahan tersebut, terdapat empat pilar yang cenderung


outward looking: pilar pertahanan, keamanan, penegakan hukum dan keselamatan
laut (P2), pilar tata kelola dan kelembagaan laut (P3), pilar pengelolaan ruang laut dan
pelindungan lingkungan laut (P4), dan pilar diplomasi maritim (P7).

1. P2 menyebutkan beberapa dimensi yang relevan dengan kebijakan luar negeri,


yakni pembangunan pertahanan dan keamanan beserta sinergi kinerja

27
lembaga terkait, percepatan pembangunan daerah perbatasan dan pulau
terluar, kerja sama pertahanan baik tingkat regional maupun internasional,
penegakan kedaulatan dan hukum, optimalisasi sistem komando serta
penjaminan akan keamanan dan keselamatan pelayaran.

2. P3 mempertegas kerangka tata kelola dan kelembagaan dengan menekankan


penataan sistem hukum dan pemberlakuan hukum internasional di bidang
kelautan yang diselaraskan dengan tata kelola kelautan nasional.

3. Dalam bidang pertahanan dan kebijakan luar negeri, P5 mengindikasikan


kesadaran akan pentingnya kerja sama internasional yang mendampingi
upaya konservasi kelautan serta penanganan bencana.

4. Sementara itu, spesifik untuk P7, rencana kebijakan kelautan mengamanatkan


kepemimpinan internasional serta peran aktif Indonesia yang berdampingan
dengan upaya-upaya untuk menyusun norma internasional di bidang
kelautan, upaya penetapan batas maritim serta keinginan untuk
menempatkan WNI di organisasi internasional bidang kelautan.

Meskipun program-program utama yang tertera dalam rencana kebijakan


kelautan nasional tersebut telah nampak terperinci, masih terdapat kontradiksi yang
cukup signifikan bila ditinjau dari kacamata strategi raya. Pilar-pilar ini dipersatukan
oleh satu visi yang dinyatakan secara eksplisit sebagai arah untuk “menjadi sebuah
negara maritim yang maju, mandiri, kuat, serta mampu memberikan kontribusi positif
bagi keamanan dan perdamaian kawasan dan dunia sesuai dengan kepentingan
nasional.” Permasalahan utama dari pengejawantahan gagasan ini terletak pada
bagaimana prioritas tujuan disusun. Landasan pemikiran yang membentuk
penerjemahan PMD dalam rencana buku putih banyak menekankan aspek kedaulatan,
namun penempatan pengelolaan sumber daya sebagai program pertama
mencerminkan kesan bahwa pembangunan lebih menjadi prioritas untuk
pengamanan.

Sepintas, kebijakan penenggelaman kapal yang dilakukan di periode-periode


awal pemerintahan Presiden Joko Widodo menunjukkan ketegasan yang dibutuhkan
untuk mengamankan kapasitas Indonesia sebagai pengelola sumber daya kelautan
yang sah, namun dalam kerangka jangka panjang, pemerintah harus memiliki
kalkulasi yang tepat antara biaya yang harus ditanggung dari penenggelaman kapal

28
dengan potensi pemasukan dan pengeluaran yang diemban oleh negara.

Permasalahan kedua terletak pada tatanan kelembagaan. Rencana buku putih


mengindikasikan bahwa kebijakan kelautan Indonesia akan dikoordinasikan oleh
Kemenko Maritim yang memiliki wewenang untuk mengkoordinasikan,
menyelaraskan dan mengendalikan urusan yang berkenaan dengan empat
kementerian di atas serta lembaga lain yang relevan. Sementara itu, rencana ini juga
mengakui tupoksi Kemenko Polhukam dalam penyusunan Kebijakan Pertahanan. Hal
ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan ketidaksinkronan koordinasi bila
tidak diperhatikan secara seksama. Rancangan kebijakan kelautan nasional memiliki
bobot yang cukup berat pada pertahanan dan keselamatan laut. Sementara, pengelola
yang ditunjuk tidak secara langsung mengoordinasikan unit-unit terkait dengan fungsi
pertahanan dan keselamatan. Pada level operasional, hal ini juga berpotensi
menimbulkan komplikasi kelembagaan dan tata kelola. Untuk menerapkan program-
program yang dicanangkan dalam rencana kebijakan kelautan nasional—khususnya
yang berkenaan dengan kebijakan luar negeri, pertahanan dan keamanan—secara
komprehensif, paling tidak terdapat beberapa lembaga yang relevan dengan berbagai
fungsinya, sebagaimana dapat dilihat di Figur 7 berikut.

Figur 7: Kerangka Operasionalisasi Strategi Raya Kelautan Nasional dan


Lembaganya

Sumber: CSIS

29
Dalam tabel di atas terlihat bahwa terdapat badan yang cukup beragam dalam
menjalankan fungsi-fungsi yang dicanangkan dalam rencana buku putih kebijakan
kelautan nasional Indonesia. Beberapa instansi memiliki armada yang membuat
mereka menjadi perhatian dalam pembangunan postur pertahanan dan keamanan di
bidang maritim. Sebagian berperan penting dalam koordinasi pertahanan dan
keamanan sementara yang lainnya lebih berperan dalam konservasi lingkungan serta
pembangunan kawasan terluar yang merupakan fungsi penting yang berkenaan
dengan kebijakan luar negeri. Seluruh instansi ini memiliki kesempatan dan kapasitas
untuk terlibat dalam kerja sama internasional sesuai dengan ranah kewenangan
masing-masing. Kondisi beragamnya otoritas ini membuat penting bagi Indonesia
untuk memiliki koordinasi yang baik.

Dengan demikian, terdapat dua arah yang penting untuk diperhatikan bagi
kepentingan kebijakan luar negeri. Pertama, karena memiliki potensi yang penting
bagi perubahan kebijakan luar negeri secara keseluruhan, pemerintah dapat
mempertimbangkan dengan serius untuk meng-upgrade visi maritim, khususnya
gagasan PMD, dari sekedar visi maritim menjadi visi kebijakan luar negeri. Visi PMD
bisa disandingkan dengan gagasan diplomasi berorientasi rakyat dan diselaraskan
sebagai strategi raya Indonesia. Memang tidak ada suatu keharusan bahwa negara
memiliki secara spesifik dokumen strategi raya atau strategi keamanan nasional yang
menjadi pedoman eksplisit yang terbuka baik bagi penyelenggara negara maupun bagi
dunia internasional. Akan tetapi, penjabaran tujuan yang disosialisasikan dengan
seksama dan diikuti oleh klarifikasi prioritas nasional beserta strateginya bisa menjadi
tonggak di mana Indonesia memulai tradisi membangun strategi raya.

Untuk itu, Presiden perlu dengan segera memastikan setiap kementerian terkait
kebijakan luar negeri merumuskan buku putih yang kira-kira memuat penjabaran
kepentingan nasional di bidang maritim, perlindungan WNI, dan percepatan
pembangunan nasional. Hal ini tentunya membutuhkan Presiden untuk memiliki
perhatian yang memadai terhadap hubungan internasional dan masalah-masalah
keamanan serta memiliki doktrin yang senantiasa dikumandangkan. Selain itu,
penataan hukum dan regulasinya juga memegang peranan penting agar kebijakan
yang dihasilkan nantinya memiliki kerangka yang mampu menerjemahkan visi serta
menggerakkan keseluruhan elemen pemerintahan agar bergerak ke arah fungsi dan
tanggung jawab yang sesuai untuk tujuan yang ditetapkan.

30
Kedua, mengingat adanya kondisi tumpang-tindih wewenang, pelaksanaan
program-program yang menjadi strategi kebijakan kelautan nasional membutuhkan
adanya “single hub” bagi keseluruhan kebijakan maritim. Hal ini berkaitan dengan
kebutuhan yang lebih riil di level-level teknis. Sebagai contoh, dengan terbatasnya aset
yang dimiliki, dalam menjalankan fungsinya Bakamla memerlukan dukungan logistik
dari TNI AL. Selain itu, otoritas-otoritas di level daerah, seperti misalnya otoritas
pelabuhan, juga memiliki fungsi koordinasi dan implementasi yang penting. Bila tidak
didukung oleh kebijakan personalia yang baik, misalnya dengan memperhatikan
kriteria jabatan dan golongan dalam penetapan pimpinan otoritas, implementasi
kebijakan di lapangan dapat terkendala oleh masalah-masalah yang tidak perlu yang
berkenaan dengan wibawa dan efektivitas otoritas. Keberadaan single hub juga
menjadi penting mengingat kebutuhan akan komando yang memadai serta respon
yang terukur serta harmonis di saat krisis-krisis terjadi, seperti yang terjadi dengan
insiden Natuna akhir-akhir ini.

Kerangka strategi raya ini dapat memberi batasan-batasan ideal untuk


meletakkan tujuan-tujuan serta evaluasi praktek diplomasi pertahanan maritim
Indonesia selama ini. Strategi raya sebagai operasionalisasi PMD ini semakin
mendesak mengingat berbagai perubahan strategis di lingkungan maritim Indonesia
sebagaiman kita bahas di atas. Namun kenyataannya, Indonesia sudah menjalankan
“diplomasi maritim” dalam berbagai bentuk paling tidak sejak 1999. Bagaimana kita
mengukur kesuksesan atau kegagalan diplomasi maritim kita selama ini? Bagian
berikut akan memberikan: (1) kerangka konseptual diplomasi pertahanan maritim,
yang lalu (2) akan digunakan untuk menilai pola-pola empiris diplomasi pertahanan
maritim Indonesia.

31
4 Diplomasi Pertahanan Maritim: Kerangka
Konseptual dan Kebijakan

Berdasar berbagai pertimbangan pentingnya strategi raya serta analisa


perubahan lingkungan maritim Indonesia di atas, kami mengajukan konsep
Diplomasi Pertahanan Maritim (DPM) sebagai pengejawantahan integrasi berbagai
elemen eksternal dari doktrin PMD. Singkatnya, kami mengartikan strategi DPM
sebagai pencapaian tujuan-tujuan pertahanan maritim—mulai dari keamanan dan
keselamatan di laut hingga stabilitas konflik dan ketegangan kawasan sengketa—
melalui integrasi dan optimalisasi berbagai instrumen diplomatik, hukum, dan
militer (maritim), baik dalam keadaan damai, krisis ataupun perang. Konsepsi DPM
kami lebih diarahkan sebagai formulasi kerangka ideal bagaimana seharusnya
sebuah pemerintahan menjalankan diplomasi pertahanan maritim.

Sebagaimana akan dibahas di bagian berikut, gagasan DPM ini berangkat


dari perpaduan konseptual berbagai studi “diplomasi pertahanan” dan “diplomasi
maritim”. Singkatnya, ‘pertahanan maritim’ di sini kami artikan sebagai tujuan
strategi raya (yang merupakan perpaduan kebijakan pertahanan dan luar negeri); di
mana, mengingat lingkungan geostrategis berbasis perairan dan kepulauan serta
lemahnya kapabilitas TNI AL untuk melakukan proyeksi kekuatan di luar batas
wilayah, instrumen-instrumen diplomatik menjadi pilihan utama. Namun, dalam
konteks perubahan lingkungan maritim Indonesia, instrumen diplomatik tidak lagi
kami artikan secara sempit dan sederhana sebagai kegiatan para diplomat Kemenlu
semata. Sebaliknya, konsepsi DPM kami mengusulkan bahwa kegiatan ‘diplomasi’
demi memperkuat ‘pertahanan maritim’ perlu melibatkan aktor-aktor negara
lainnya, terutama dari sektor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bakamla, dan
TNI AL serta aset-aset strategis lainnya.

4.1 Kerangka Teoritis: Diplomasi Pertahanan dan Diplomasi


Maritim

Secara teoritis, diplomasi pertahanan maritim merupakan perpaduan dua


konsep yang mengemuka dalam khazanah ilmu hubungan internasional dan

32
diskursus kebijakan strategis pasca-Perang Dingin: ‘diplomasi pertahanan’ (defense
diplomacy) dan ‘diplomasi maritim’ (maritime diplomacy). Diplomasi pertahanan
maritim, dalam hal ini, dapat dipandang sebagai turunan (atau subset) dari
diplomasi pertahanan dan/atau diplomasi maritim. Secara umum, diplomasi
pertahanan adalah “penggunaan sumber daya pertahanan di masa damai dan tanpa
tekanan eksternal untuk menggapai tujuan nasional, terutama dalam hubungan
antar-negara” (Cheyre 2013, p. 369). Secara lebih khusus, diplomasi pertahanan
terjadi ketika angkatan bersenjata dan infrastruktur pertahanan (terutama
kementerian pertahanan) digunakan dalam masa damai sebagai alat kebijakan luar
negeri (Cottey 2004, p. 4).

Dalam hal ini, diplomasi pertahanan di era pasca-Perang Dingin biasanya


diarahkan pada pencegahan dan penyelesaian konflik. Tujuan-tujuan ini misalnya
dapat dilihat dari berbagai kegiatan yang sering disebut sebagai diplomasi
pertahanan, termasuk latihan dan kerja sama antarmiliter, pertukaran perwira di
lembaga pendidikan dan pelatihan, operasi gabungan multilateral, atau forum-forum
diplomatik perwira dan pejabat kementerian pertahanan. Berbagai kegiatan ini
diharapkan dapat memperbaiki manajemen krisis dan confidence building measures
melalui pergeseran norma dan sikap antar institusi militer, meningkatnya
transparansi dalam hubungan pertahanan, dan menguatnya kepercayaan strategis
(Muthanna 2011).

Singkatnya, berbagai studi diplomasi pertahanan seringkali mengartikannya


sebagai upaya-upaya diplomasi dengan menggunakan instrumen (atau aktor dari)
sektor pertahananan (biasanya dari militer) untuk mencapai tujuan kebijakan luar
negeri. Pemahaman diplomasi pertahanan ini merupakan produk dari atau turunan
dari berakhirnya Perang Dingin; di mana militer diorientasikan ulang untuk berbagai
misi dan fungsi perdamaian. Ini juga dapat dilihat dari komponen kedua definisi di
atas tersebut: digunakannya instrumen militer untuk mencapai tujuan-tujuan
perdamaian—dengan kata lain, penggunaan “operasi militer selain perang” seperti
humanitarian assistance and disaster relief, peacekeeping, dan lain lain.

Namun, diplomasi pertahanan juga dapat diartikan sebagai upaya-upaya


diplomasi untuk menangani atau memecahkan berbagai persoalan pertahanan.
Dengan kata lain, jika definisi sebelumnya menekankan ‘pertahanan’ sebagai
instrumen kebijakan luar negeri, konsepsi ini menekankan ‘pertahanan’ sebagai

33
tujuan kebijakan luar negeri. Definisi ini berangkat dari berbagai studi mengenai
perundingan-perundingan arms control, teknologi nuklir, atau genjatan senjata.
Laporan ini mengambil posisi bahwa landasan konseptual strategi DPM idealnya
harus diukur dan dilihat dari dua definisi ini secara bersamaan (lihat Figur 8 di
bawah). Dari segi “dua sisi satu koin” strategi DPM ini, kita dapat memformulasikan
kerangka kebijakan ideal untuk mengevaluasi praktek diplomasi pertahanan maritim
Indonesia selama ini. Strategi raya yang dibahas di atas mengaharuskan
dipadukannya kedua kerangka tersebut (kebijakan luar negeri dan pertahanan) dan
pentingnya integrasi berbagai instrumen pertahanan dan diplomasi.

Figur 8: Landasan Konseptual Kebijakan Diplomasi Pertahanan

Meski demikian, studi-studi terkini menggambarkan kelemahan diplomasi


pertahanan kontemporer sebagai kerangka kebijakan. Hal ini terutama karena
diplomasi pertahanan seringkali dipandang dari segi hubungan antarlembaga
militer. Akibatnya, dampak atau efek diplomasi pertahanan cenderung terbatas dan
terasa pada tataran operasional tertentu—misalnya, saat terjadi bencana regional—
dan tidak pada tataran strategis secara luas (Baldino and Carr 2016). Dengan kata
lain, diplomasi pertahanan saja tidak cukup untuk mendorong perubahan strategis.

Oleh sebab itu, kami mendorong konsepsi diplomasi pertahanan ke ranah


maritim sebagai karakter geopolitik dominan Indonesia. Serupa dengan makna
diplomasi pertahanan di atas, konsep diplomasi maritim juga merupakan produk
berbagai kebijakan dan diskursus akademik pasca-Perang Dingin. Diplomasi

34
maritim juga dapat diartikan dengan dua cara: (1) digunakannya berbagai instrumen
kebijakan maritim (seperti Angkatan Laut dan Penjaga Pantai) untuk mencapai
tujuan kebijakan luar negeri (seperti confidence building measure), atau (2)
digunakannya instrumen diplomasi tradisional (melalui para diplomat) untuk
menghadapi atau menyelesaikan persoalan-persoalan maritim, seperti delimitasi
landas kontinen atau sengketa Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Kebanyakan studi-
studi tentang diplomasi maritim fokus pada pemahaman yang pertama dan bukan
yang kedua (Le Mi`ere 2014; Kraska 2011).

Penggunaan kata ‘maritim’ sendiri dalam konsepsi DPM ditujukan untuk


memperluas aktor-aktor sektor maritim di luar pihak angkatan laut (TNI AL).
Bahkan, studi-studi menunjukkan bahwa instansi paramiliter maritim (maritime
constabulary) di berbagai belahan dunia adalah aktor utama dalam diplomasi
maritim. Dalam hal ini, diplomasi maritim mempunyai fungsi: (1) kooperatif, seperti
misalnya port calls, latihan bersama, (2) persuasif, seperti misalnya patroli freedom
of navigation, dan (3) koersif, sebagaimana dilihat dalam konsep “gunboat
diplomacy” (Le Mi`ere 2014). Apapun fungsinya, diplomasi maritim secara umum
ditujukan untuk mencapai tatanan kelautan yang stabil dalam naungan hukum laut
internasional (Kraska and Pedrozo 2013, p. 6).

Bagaimana lalu kita mengoperasionalkan konsepsi strategi DPM ini? Berikut


kami tawarkan kerangka ideal sebagai pengukur evaluasi praktek diplomasi
pertahanan maritim Indonesia selama ini.

4.2 Kerangka Kebijakan Ideal Diplomasi Pertahanan Maritim

Jika kita mengartikan tujuan ‘pertahanan maritim’ secara luas, maka perlu kita
jabarkan berbagai potensi ancaman keamanan maritim, termasuk, antara lain,
perompakan dan pembajakan kapal, digunakannya laut oleh kelompok teroris,
penyelundupan narkoba dan senjata, dan IUU fishing, sebagaimana telah dibahas di
bagian pertama laporan ini. Ancaman maritim ini, dalam konteks Indonesia,
diperparah dengan persoalan rivalitas negara-negara kekuatan kawasan, misalnya
antara Jepang vs. Tiongkok, AS vs. Tiongkok, dan seterusnya. Persoalan perlombaan
persenjataan pun cenderung lebih fokus pada berbagai instrumen angkatan laut,
seperti meningkatnya belanja kapal selam di kawasan, dan keamanan laut, seperti

35
meningkatnya fokus pada kekuatan dan armada penjaga pantai. Bagaimana Indonesia
dapat merespon perkembangan ini dengan strategi DPM yang kami usulkan?

Dengan berangkat dari dua landasan definisi diplomasi pertahanan dan


diplomasi maritim di atas, kita dapat memilah berbagai instrumen kebijakan yang
relevan untuk mengukur efektivitas diplomasi pertahanan maritim Indonesia. Paling
tidak, sejak era reformasi, Indonesia telah menggunakan beberapa instrumen
diplomasi pertahanan maritim (meskipun pemerintah tidak pernah menggunakan
istilah ini). Berbagai instrumen ini termasuk:

1. Kerja sama bilateral dengan negara-negara tetangga dan mitra strategis;


2. Kerja sama multilateral, baik dalam kerangka ASEAN maupun non-ASEAN;
3. Hukum internasional dan konvensi regional tentang keamanan maritim;
4. Operasi keamanan laut bersama.

Masing-masing instrumen diplomasi pertahanan maritim ini didasarkan pada


sejarah kerja sama dan politik luar negeri Indonesia serta perkembangan lingkungan
strategis maritim kawasan Indo-Pasifik. Idealnya, instrumen hukum internasional dan
maritim saling mendukung instrumen kerja sama bilateral dan multilateral. Apalagi,
belakangan hukum laut internasional (UNCLOS) dinilai dapat menjadi dasar
pendekatan kolaboratif terkait otoritas penegakan hukum di laut. Hal ini terutama
karena UNCLOS dan instrumen hukum laut internasional dan konvensi regional
lainnya memfasilitasi pembatasan penggunaan kekerasan dan peningkatan langkah-
langkah yang membangun rasa saling percaya (Kraska and Pedrozo 2013, p. 9).

Namun, instrumen-instrumen “tradisional” ini diformulasikan dalam kondisi


(atau diharapkan paling tidak) damai. Mereka belum tentu dapat digunakan secara
efektif dalam situasi krisis atau perang—sebagaimana dapat muncul di Laut Tiongkok
Selatan sewaktu-waktu. Bahkan, salah satu kritik utama terhadap ASEAN belakangan
adalah tidak mampunya lembaga multilateral tersebut untuk meredakan ketegangan-
ketegangan yang muncul akibat berbagai insiden di laut antara negara-negara
claimant dan non-claimants yang cenderung bersifat singkat tapi penuh dengan
ketegangan militer tinggi. Dengan kata lain, ada dimensi temporal (waktu) yang
bersinggungan dengan dimensi spasial (cakupan geografis) yang perlu diperhitungkan
dalam mengkaji diplomasi pertahanan maritim. Dengan mempertimbangkan konsepsi
ini, kerangka ideal diplomasi maritim bisa dilihat di Figur 9 berikut.

36
Figur 9: Kerangka Ideal Kebijakan Diplomasi Pertahanan Maritim

Secara umum, dengan demikian, laporan ini memandang diplomasi pertahanan


maritim secara luas baik penggunaan instrumen maritim untuk mencapai tujuan
kebijakan luar negeri maupun pengerahan instrumen diplomasi untuk mencapai
tujuan pertahanan maritim. Oleh sebab itu, kerangka dan mekanisme dan kebijakan
diplomasi pertahanan maritim pun perlu dijabarkan secara luas. Sebagaimana
digambarkan di figur 9 di atas, beberap instrumen strategi DPM nampak lebih tepat
guna bagi persoalan strategis maritim tertentu dalam kondisi tertentu pula.
Bagaimana instrumen-instrumen ini digunakan bergantung pada ada atau tidaknya
beberapa kondisi awal berikut:

1. Kebijakan strategi raya maritim, apalagi mengingat karakter geopolitik dan


geostrategis Indonesia sebagai negara kepulauan. Doktrin PMD dan Kebijakan
Kelautan Nasional harus “diturunkan” dan dioperasionalkan dengan sebuah
strategi raya.

2. Karakter tantangan maritim yang multisektoral dan lintas-persoalan


mengharuskan keterlibatan instansi pemerintah selain Kementerian Luar
Negeri. Dalam hal ini, kita membutuhkan kerja sama, paling tidak, dari
Angkatan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian
Perhubungan serta Bakamla.

37
3. Kepemimpinan serius dari Presiden untuk mengarahkan—tidak hanya
mengkoordinasikan—berbagai aktor maritim sesuai dengan strategi raya
maritim kegiatan keseharian satuan tugas lintas departemen yang juga dapat
menangani berbagai krisis maritim yang dapat muncul di kawasan Asia
Tenggara.

4. Sumber daya maritim perlu dialokasikan dengan strategis sesuai dengan


evaluasi empiris capaian-capaian diplomasi pertahanan maritim dan perpaduan
dan sinergi sumber daya maritim digunakan secara tepat guna, efektif, dan
efisien demi mencapai tujuan-tujuan strategi raya maritim.

38
5 Pola Instrumen Diplomasi Pertahanan Maritim
Indonesia (1998–2016)

Kerangka kebijakan ideal strategi DPM di atas akan digunakan untuk


mengevaluasi praktik diplomasi pertahanan maritim Indonesia selama ini (meski
pemerintah tidak pernah menggunakan istilah tersebut). Dengan menggunakan
berbagai sumber sebagaimana dijabarkan di bagian pengantar di atas, berikut kami
gambarkan berbagai pola diplomasi pertahanan maritim Indonesia sejak berakhirnya
rezim Orde Baru.

5.1 Diplomasi Pertahanan Maritim Bilateral

Di tengah bergejolaknya kawasan Asia Pasifik dengan bangkitnya Tiongkok


sebagai kekuatan kawasan, Indonesia perlahan-lahan mulai membangun hubungan
bilateralnya dengan berbagai negara. Secara keseluruhan, antara 1999 dan 2014,
Indonesia menandatangani 86 perjanjian bilateral pertahanan dan keamanan dengan
31 negara (Laksmana 2014, p. 37). Berbagai perjanjian bilateral ini adalah bagian dari
diplomasi pertahanan Indonesia yang bertujuan meningkatkan pembangunan
kepercayaan sambil memperkuat kapabilitas pertahanan di tengah ketidakpastian
situasi kawasan.13

Ada beberapa komponen dari kerja sama bilateral diplomasi pertahanan ini
yang terkait langsung dengan aspek maritim. Sebagaimana dapat dilihat di Figur 10 di
bawah, secara keseluruhan, sebagian besar kegiatan diplomasi pertahanan maritim
kita lebih banyak terfokus dengan beberapa negara tertentu dan cenderung berkisar
pada kegiatan tertentu pula. Sebagaimana akan dibahas di bawah, variasi negara dan
tipe kerja sama diplomasi pertahanan maritim bilateral ini nampaknya bergantung
pada faktor derajat kepentingan maritim Indonesia. Singkatnya, kerja sama bilateral
diplomasi pertahanan Indonesia nampak semakin terdiversifikasi—makin banyak
negara partnernya—jika bidang kerja samanya cenderung umum dan tidak bermuatan

13Untuk lebih detil mengenai pola-pola diplomasi pertahanan Indonesia secara umum, lihat misalnya
Gindarsah (2015); Laksmana (2012).

39
nilai strategis tinggi. Jika bentuk kerja samanya bernilai strategis tinggi, maka
Indonesia cenderung hanya fokus pada beberapa negara tertentu saja.

Figur 10: Negara Mitra Diplomasi Pertahanan Maritim Bilateral, 1998-2016

Bandingkan, misalnya, tingkat persebaran negara mitra dalam pertukaran


informasi dan pertukaran informasi intelijen (Figur 11) dalam bidang keamanan
maritim dan angkatan laut. Atau, selain persoalan informasi dan intelijen, kita bisa
lihat perbedaan derajat kepentingan diplomasi pertahanan maritim Indonesia secara
bilateral dengan menyandingkan antara courtesy call dan port call (cenderung lebih
bernilai strategis) sebagaimana dapat kita lihat di Figur 12.

Selain berbagai kegiatan di atas, Indonesia juga telah melaksanakan berbagai


kegiatan diplomasi pertahanan maritim secara bersama-sama dengan berbagai mitra,
terutama patroli bersama (coordinated patrols) dan latihan bersama (joint exercises).
Sebagaimana dapat kita lihat dari Figur 13 di bawah, Indonesia pun juga hanya
terfokus pada beberapa negara tertentu, seperti Singapura dan Malaysia (untuk
coordinated patrols) dan Singapura dan Amerika Serikat (untuk joint exercises).
Daftar lengkap berbagai kegiatan ini dapat dilihat di bagian lampiran.

40
Figur 11: Pertukaran Informasi dan Intelijen Pertahanan Maritim Bilateral, 1998-
2016

(a) Kerja Sama Intelijen (b) Kerja Sama Pertukaran Informasi

Figur 12: Kunjungan Angkatan Laut Bilateral, 1998-2016

(a) Port Calls (b) Courtesy Calls

5.2 Diplomasi Pertahanan Maritim Multilateral

Sementara itu dalam konteks multilateral, Indonesia juga telah banyak


berpartisipasi dalam berbagai kegiatan diplomasi pertahanan maritim. Sebagaimana
dapat kita lihat di Figur 14 di bawah, sebagian besar masih berkisar pada berbagai

41
kegiatan yang dijalankan di bawah panji-panji ASEAN dan negara-negara mitra
strategis ASEAN. Indonesia juga semakin berusaha meningkatkan partisipasinya di
berbagai forum diplomasi pertahanan maritim multilateral non-ASEAN, meski dalam
skala yang jauh lebih kecil.

Figur 13: Kegiatan Diplomasi Pertahanan Maritim Bersama, 1998-2016

(a) Joint Exercises (b) Coordinated Patrols

Figur 14: Forum Diplomasi Pertahanan Maritim Multilateral Indonesia, 1998-2016

(a) Overall Distribution (b) Participation on non-ASEAN Forums

42
5.3 Diplomasi Pertahanan Melalui Hukum Internasional

Selain instrumen bilateral dan multilateral, Indonesia juga telah secara aktif
berusaha menekankan instrumen hukum internasional terkait persoalan maritim
dalam diplomasi pertahanan maritimnya, sebagaimana dapat kita lihat di Figur 15 di
bawah.

Figur 15: Instrumen Hukum Internasional dan Konvensi Regional Terkait Persoalan
Maritim yang Diadopsi Indonesia (Dari Total Populasi Traktat dan Perjanjian yang
Ada)

43
6 Evaluasi Diplomasi Pertahanan Maritim
Indonesia

Dengan menggunakan kerangka kebijakan ideal tersebut di atas, bagaimana


kita menilai pelaksanaan praktek diplomasi pertahanan maritim sejauh ini?

Pertama, secara umum, kita dapat lihat bahwa fokus diplomasi pertahanan
maritim cenderung pada instrumen-instrumen di masa damai dan hampir tidak ada
instrumen kebijakan pertahanan maritim di masa krisis atau bahkan perang. Baru
belakangan pemerintah Indonesia berencana memformulasikan prosedur tetap
(protap) komunikasi krisis terkait kemungkinan insiden atau krisis dengan Tiongkok
di Laut Tiongkok Selatan.14 Pengumuman ini pun belum nampak terlalu jelas
implementasinya atau bahkan apakah protap ini mengadopsi berbagai instrumen yang
sudah ada seperti Code for Unplanned Encounters at Sea (CUES) yang diajukan
Singapura sebagai bagian manajemen krisis ASEAN-Tiongkok.

Absennya berbagai persiapan krisis atau pun kemungkinan konflik bersenjata


di laut ini memperparah ketidakmampuan Kementerian Luar Negeri maupun instansi
pemerintah lainnya untuk menghasilkan strategi-strategi atau kebijakan-kebijakan
inovatif dalam persoalan Laut Tiongkok Selatan, misalnya. Dengan kata lain,
peningkatan kegiatan ataupun perjanjian diplomasi pertahanan maritim, baik secara
bilateral maupun multilateral—jika tidak dibarengi pengembangan sistem manajemen
krisis—justru berpotensi mengurangi fleksibilitas dan kegesitan kebijakan luar negeri
Indonesia dalam menghadapi perubahan lingkungan maritimnya.

Kedua, terkait instrumen hukum internasional. Meski perlu diakui bahwa


Indonesia tidak perlu menandatangani atau meratifikasi semua instrumen hukum
internasional terkait maritim yang ada, paling tidak kita perlu mempertimbangkan
berbagai instrumen terkait peperangan di laut (naval warfare), navigasi, dan
keselamatan di laut di mana kita belum menjadi peserta (lebih dari 100). Kemampuan
Indonesia untuk menjadi “pemenang” dalam konstelasi politik global yang bergeser ke

14Lihat dalam “Protap Kontak Langsung Laut China Selatan Selesai Tahun Ini”,
BeritaSatu.Com, 29 September 2016, http://www.beritasatu.com/dunia/389432-protap-kontak-
langsung-laut-china-selatan-selesai-tahun-ini.html

44
Asia akan bergantung pada kemampuan Indonesia untuk menjadi “suara dan juara”
hukum laut internasional—yang sebagaimana kita lihat di atas, tidak hanya terdiri dari
UNCLOS 1982. Sebagai contoh, pengadopsian San Remo Manual on International
Law Applicable to Armed Conflicts at Sea dapat membantu menajamkan berbagai
ketetapan dalam negeri soal prosedur penindakan dalam operasi keamanan laut dan
dapat kita tawarkan sebagai pelengkap CUES dalam kerangka mekanisme manajemen
ketegangan di Laut Tiongkok Selatan.

Ketiga, dalam konteks kerja sama maritim bilateral maupun multilateral, baik
ASEAN atau non-ASEAN, terdapat beberapa pola tertentu yang perlu digarisbawahi:

1. Belum adanya konsistensi instansi pemerintah yang menjadi leading actor


antara, misalnya, TNI AL, Kementerian Luar Negeri, Bakamla, atau Polisi Air
dalam menjalankan berbagai kegiatan atau praktek diplomasi pertahanan.
Sebagaimana dijabarkan di atas, fungsi koordinasi di tingkat Kemenko pun
menjadi rumit karena sebagian aktor-aktor diplomasi pertahanan maritim
merupakan tanggung jawab Kemenko Polhukam (TNI-AL, Kemenhan,
Bakamla) dan sebagian lagi masuk wilayah Kemenko Maritim (Kementerian
Kelautan dan Perikanan). Padahal, konsepsi diplomasi pertahanan maritim
yang efektif membutuhkan integrasi dan perpaduan lintas sektoral dan instansi
pemerintahan dan pengelolaan ranah maritim, baik dari segi keamanan,
keselamatan, penegakan hukum, maupun diplomasi regional.

2. Tidak meratanya intensitas dan cakupan kerja sama bilateral maritim, di mana
mayoritas kita hanya fokus pada beberapa negara tertentu (terutama Singapura,
Malaysia, Tiongkok, Australia, dan AS). Kerja sama tradisional seperti
coordinated patrols masih belum konsisten dan koheren dan perluasan kerja
sama maritim pun baru terjadi beberapa tahun belakangan. Akibatnya, kerja
sama bilateral maritim Indonesia belum terlembaga dengan baik maupun
menyeluruh. Meski variasi partner diplomasi pertahanan maritim dan tipe
kegiatannya dapat dimaklumi mengingat derajat kepentingan strategis yang
berbeda-beda, strategi DPM yang menyeluruh membutuhkan investasi yang
menyeluruh pula. Dengan kata lain, setiap negara yang berada di ranah maritim
Indonesia perlu diperhatikan secara serius.

3. Pada tataran operasional, kerja sama multilateral maritim Indonesia lebih


bersifat sukarela dan informal serta mencakup isu-isu yang cenderung butuh

45
waktu lama untuk mempunyai dampak strategis (misalnya, pertukaran
informasi). Isu-isu strategis lainnya seperti pengelolaan sumber daya maritim,
pencegahan IUU fishing, atau bahkan perlindungan ekosistem maritim dan
eksploitasi sumber daya hidrokarbon nampak tidak menjadi prioritas.
Ketimpangan ini dapat dimaklumi mengingat hakikat kerja sama multilateral
yang selalu berusaha mengakomodir kepentingan-kepentingan semua negara
anggota peserta—yang berdampak pada munculnya kesepakatan berdasar
standar lowest common denominator. Meski demikian, efektivitas diplomasi
pertahanan maritim hanya dapat dirasakan manfaatnya jika ada proses
pelembagaan yang mencapai dalam dan dapat digunakan untuk memobilisasi
sumber daya bersama untuk menangani persoalan-persoalan maritim terkini.

46
7 Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Dari evaluasi praktek diplomasi pertahanan Indonesia selama ini, dan


mengingat perubahan lingkungan maritim Indonesia, konsepsi PMD, dan kerangka
ideal strategi DPM, maka kami mengajukan beberapa rekomendasi kebijakan sebagai
berikut.

7.1 Bagi Kantor Kepresidenan Republik Indonesia

Pertama, kami mengusulkan dimulainya proses formulasi strategi raya


Diplomasi Pertahanan Maritim sebagai pengejawantahan dimensi eksternal dari
doktrin PMD. Sebagai kebijakan maritim nasional, strategi ini perlu mengintegrasikan
berbagai kelebihan dan kekurangan dari instrumen-instrumen diplomasi pertahanan
maritim di atas, baik dari konteks kerja sama bilateral dan multilateral maupun hukum
internasional. Selain itu, strategi raya tersebut juga perlu menjabarkan kebijakan-
kebijakan yang dapat mengintegrasikan berbagai instrumen dan aktor diplomasi
pertahanan maritim, baik dalam operasional kesehariannya atau proses kelembagaan
strategisnya. Kami juga mengusulkan idealnya strategi raya ini diformulasikan oleh
sebuah kantor khusus di bawah lembaga kepresidenan (antara Sekretariat Negara atau
Kepala Staf Presiden) yang membawahi persoalan maritim. Strategi raya ini juga perlu
ditetapkan sebagai Ketetapan atau Peraturan Presiden agar dapat mempunyai
landasan dan kekuatan hukum yang solid.

Kedua, kami mengusulkan bahwa Presiden perlu merumuskan kembali dan


mendorong proses penataan hukum dan kelembagaan untuk mempertegas wewenang
penegakan keamanan di wilayah perairan di Indonesia. Hal ini terutama karena
pembenahan pengelolaan sektor maritim, sebagai prasyarat kesatuan strategi
diplomasi pertahanan maritim, akan sulit tercapai jika masih terdapat tumpang-tindih
regulasi yang mengatur pembagian tugas pokok pengamanan laut dan maritim di
Indonesia. Lebih jauh, kami menyarankan dibentuknya satu simpul yang berfungsi
membantu Kantor Kepresidenan menjembatani Kemenko Maritim dan Kemenko
Polhukam (yang masing-masing memegang fungsi koordinasi berbagai aktor sektor

47
maritim) serta menyarikan dan mengintegrasikan informasi dan pertimbangan
kebijakan lintas sektor (terutama terkait dengan TNI AL, Bakamla, Polisi Air, dan
Satgas 115 serta Kementerian Luar Negeri). Diplomasi pertahanan maritim tidak akan
pernah konsisten dan koheren tanpa pembenahan pengelolaan sektor maritim dalam
negeri.

7.2 Bagi Kementerian Luar Negeri

Pertama, Kementerian Luar Negeri perlu mulai melakukan konsultasi dan


koordinasi reguler dengan para pemangku kebijakan pertahanan maritim lainnya,
terutama TNI-AL, Bakamla, dan Satgas 115 serta Kementerian Kelautan dan Perikanan
maupun Kementerian Pertahanan. Perlu juga dipertimbangkan apakah perlu
meningkatkan partisipasi diplomat-diplomat senior dalam berbagai kursus singkat
maupun reguler yang diadakan Lemhannas sebagai ajang membangun jaringan dan
hubungan baik dengan elit politik dan birokrasi lainnya, terutama yang berkaitan
dengan pelaksanaan diplomasi pertahanan maritim secara efektif. Kami juga
mengusulkan Kemenlu untuk mengadakan forum Diplomasi Pertahanan Maritim
secara reguler (paling tidak satu bulan satu kali)—dengan format foreign policy
breakfasts selama ini—dengan berbagai pemangku kebijakan pertahanan maritim,
baik instansi pemerintah lainnya ataupun kalangan masyrakat sipil dan pengusaha
sektor perikanan nasional.

Kedua, Kementerian Luar Negeri perlu mulai memikirkan formulasi sistem


manajemen krisis (baik bilateral maupun regional) yang dapat sewaktu-waktu
diaktifkan jika seandainya ada insiden-insiden di laut yang dapat meningkatkan
ketegangan. Sistem manejemen krisis ini harus dilakukan secara dua jalur—dengan
counter-part negara-negara kawasan dan dengan aktor-aktor pertahanan dan
keamanan dalam negeri lainnya. Berbagai insiden di Natuna tahun ini dengan
Tiongkok menunjukkan pentingnya sistem manajemen krisis ini. Selain aspek
komunikasi dalam rangka peredaan ketegangan, sistem manajemen krisis juga dapat
“menyatukan suara” yang berbeda-beda jika ada insiden terkait keamanan maritim
atau bahkan IUU fishing.

Ketiga, Kementerian Luar Negeri perlu mengkaji berbagai instrumen hukum


internasional dan konvensi regional terkait keamanan maritim—terutama naval

48
warfare—yang belum diadopsi oleh Indonesia. Di satu sisi, Indonesia harus
mempertegas posisinya dengan mendasarkan diri pada serangkaian hukum
internasional dan domestik mengenai wilayah perairan negara dalam persoalan-
persoalan sensitif seperti Laut Tiongkok Selatan. Namun di sisi lain, kurang
lengkapnya partisipasi Indonesia dalam berbagai instrumen hukum laut dan maritim
internasional dapat meningkatkan kemungkinan eskalasi krisis di laut karena
perbedaan protap keamanan laut atau konflik bersenjata di laut, misalnya, sebagai
akibat tidak diadopsinya standar regional bersama (misal San Remo Manual).

Keempat, Kementerian Luar Negeri perlu mengkaji efektivitas masing-masing


forum diplomasi pertahanan maritim multilateral yang selama ini diikuti, baik di
bawah panji-panji ASEAN maupun non-ASEAN. Selain evaluasi tepat gunanya
berbagai forum bersama ini, kajian ulang terhadap multilateralist mindset ini menjadi
perlu mengingat diplomatic habits yang dikembangkan oleh Indonesia cenderung
bertumpu pada kepuasan akan kerangka multilateral yang bersandar pada
kepercayaan bahwa Indonesia memiliki kepemimpinan di ASEAN mungkin tidak akan
relevan lagi mengingat dinamika rivalitas strategis di kawasan. Singkatnya,
Kementerian Luar Negeri membutuhkan pemikiran-pemikiran segar agar kegesitan
kebijakan luar negeri di ranah maritim tidak terbelengu kerangka berpikir
multilateralisme yang cenderung lamban.

Kelima, Kementerian Luar Negeri perlu memperdalam kerangka-kerangka


perjanjian bilateral terkait diplomasi pertahanan maritim dengan kegiatan-kegiatan
baru (misalnya, joint counter-piracy or counter-IUU fishing operations) yang lebih
sesuai dengan perubahan lingkungan maritim Indonesia. Modalitas banyaknya
perjanjian bilateral strategis Indonesia perlu dimanfaatkan dalam hal ini. Selain itu,
“pendalaman” berbagai perjanjian bilateral ini juga perlu diarahkan pada pemerataan
tipe-tipe kegiatan diplomasi pertahanan maritim bersama dan pemerataan negara-
negara mitra kerja Indonesia (di luar mitra tradisional seperti Singapura, Malaysia,
atau Australia dan AS).

49
8 Lampiran Pelengkap

Figur 16: Latihan Keamanan Maritim dan Angkatan Laut Bersama, 1998-2016

50
Tabel 2: Kerja Sama Multilateral Maritim dalam Kerangka ASEAN (hingga 2016)

No MULTILATERAL PARTNERSHIPS TOPICS TYPES OF PARTNERSHIP COMMENCEMENT INSTITUTION LEADING/IMPLEMENTING AGENCIES

1 ASEAN Maritime Forum (AMF) Maritime security Information sharing 28-Jul-10 ASEAN Ministry of Foreign Affairs
Maritime safety Intelligence sharing Maritime Security Board
Technological Cooperation Exchange of visits
Best practices sharing
2 ASEAN Maritime Forum (AMF) Experts’ Group Maritime security Best practices sharing 19-Agu-15 ASEAN Maritime Security Board
Meeting on the ASEAN Coast Guard Forum Maritime safety Ministry of Transportation
(ACGF) Maritime enviromental Ministry of Foreign Affairs
protection
3 Expanded ASEAN Maritime Forum (EAMF) Maritime security Information sharing 05-Okt-12 ASEAN Ministry of Foreign Affairs
Maritime safety Intelligence sharing Maritime Security Board
Technical cooperation
Exchange of visits
Best practices sharing
Capacity Building
4 ASEAN Regional Forum (ARF) Meeting of Maritime safety Information sharing 05-Nov-98 ASEAN Regional Ministry of Foreign Affairs
Specialist Officials (MOS) on Maritime Issues Maritime security Forum (ARF)
Maritime enviromental
protection
5 ASEAN Regional Forum (ARF) Inter-Sessional Maritime security Information sharing and Best Practices 05-Mei-09 ASEAN Regional Ministry of Foreign Affairs
Meeting on Maritime Security (ISM-MS) Maritime safety Intelligence sharing Forum (ARF) Ministry of Marine Affairs and
Marine environmental protection Confidence Building Measures Fisheries
Technical Cooperation Ministry of Defence
Capacity Building Maritime Security Agency
6 ASEAN Regional Forum (ARF) Inter-Sessional Maritime security (Maritime Develop mutual legal assistance (MLA) 22-Mar-03 ASEAN Regional Ministry of Foreign Affairs
Meeting on Counter-Terrorism and terrorism, transnational crimes) Information sharing Forum (ARF)
Transnational Crime (ISM on CTTC) Intelligence sharing
Capacity building

7 ASEAN Regional Forum (ARF) Disaster Relief Maritime safety Exercise 4-May-09 ASEAN Regional National Search & Rescue Agency
Exercise (DiREx) Forum (ARF)
8 ASEAN Regional Forum (ARF) Security Policy Maritime security Confidence building measures 04-Nov-04 ASEAN Regional Ministry of Defence
Conference (ASPC) Dialogue Forum (ARF) Ministry of Foreign Affairs

51
9 ASEAN Regional Forum (ARF) ASEAN Defense Maritime security (transnational Dialogue 18-Mar-10 ASEAN Regional Ministry of Defence
Officials' Dialogue (DOD) crimes, piracy, refugee Information-sharing Forum (ARF)
assistance) Intelligence sharing
HADR assistancce
Confidence building measures
10 ASEAN Defence Ministers' Meeting (ADMM) Maritime security Dialogue 09-Mei-06 ASEAN Ministry of Defence
Maritime safety Defence and security policies briefing
Review of ASEAN defense cooperation
HADR assistancce
11 ASEAN Defence Senior Officials' Meeting Maritime security Lead preparations for the ADMM and its 25-Jan-07 ASEAN Ministry of Defence
(ADSOM) Maritime safety activities.
12 ASEAN Defence Ministers' Meeting (ADMM)- Maritime security Dialogue 12-Okt-10 ASEAN Ministry of Defence
Plus Maritime safety Defence and security policies briefing
Defence industry Review of ASEAN defense cooperation
Joint Exercise
13 ASEAN Defence Ministers' Meeting (ADMM)- Maritime security Dialogue 19-Jul-11 ASEAN Ministry of Defence
Plus Maritime Security Expert Working Group Information Sharing
(EWG)
14 ASEAN Defence Senior Officials' Meeting Plus Maritime security Lead preparations for the ADMM-Plus and its 29-Apr-11 ASEAN Ministry of Defence
(ADSOM)-Plus Maritime safety activities.
Defence industry

15 ASEAN Defence Ministers’ Meeting-Plus Maritime security Joint exercise 24-Okt-13 ASEAN Navy
(ADMM+) Maritime Security Field Traiining
Exercise (FTX)
16 ASEAN Defence Ministers’ Meeting-Plus Maritime security (Maritime Joint exercise 09-Sep-13 ASEAN Armed Forces
(ADMM+) Counter Terrorism Exercise (CTX) terrorism)
17 ADMM Retreat Maritime security Informal and urgent dialogue 23-Mar-07 ASEAN Ministry of Defence
Maritime safety
Defence industry
18 ADMM-Plus Retreat Maritime security Informal and urgent dialogue ADMM-Plus Retreat ASEAN Ministry of Defence
Maritime safety is yet to be
Defence industry convened

19 ASEAN SAR Expert Group Meeting Maritime safety SAR awarenes 16-Okt-12 ASEAN Ministry of Transportation
Information sharing
Technical cooperation
Capacity building
20 ASEAN Transport SAR Forum Maritime safety Maritime safety awareness 05-Mar-13 ASEAN Ministry of Transportation
Information sharing National Search and Rescue Agency
Technical cooperation
Capacity building
Joint Exercise

52
21 East Asia Summit (EAS) Maritime security Confidence building measures 14-Des-05 East Asia Ministry of Foreign Affairs
Capacity building Summit (EAS)
Hotline communication
Best practices sharing
Information sharing
Dialogue
Capacity building
HADR Assistance
22 Regional Plan of Action to Promote Maritime security (IUU fishing) Fisheries legislation development 13-Agu-07 Autonomous Ministry of Marine Affairs and
Responsible Fishing Practices including Marine environmental protection Information sharing cooperation Fisheries
Combating IUU Fishing in the Region (RPOA- Capacity building supported by
IUU) Monitoring, Control and Surveillance (MCS) FAO, SEAFDEC,
23 ASEAN Navy Chiefs Meeting (ANCM) Maritime security Confidence building measures 01-Jul-01 WorldFish
ASEAN and Navy
Capacity building InfoFish
Maritime awareness
HADR assistance
Hot lines
Intelligence sharing
Joint exercise
Exchange of personnel
24 South East Asia Cooperation and Training Maritime security Joint exercise 2003 ASEAN Navy
(SEACAT)
25 ASEAN Regional Disaster Emergency Response Maritime safety Joint exercise 27-Jun-05 ASEAN National Search & Rescue Agency
Simulation (ARDEX) National Agency for Disaster
Management
Armed Forces

53
Tabel 3: Kerja Sama Keamanan Maritim dan Keselamatan di Laut Secara Bilateral (hingga 2016)

TIMEFRAME
No BILATERAL PARTNERSHIP TYPE OF PARTNERSHIP LEADING/IMPLEMENTING AGENCIES
98 99 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16

1 Singapore Coordinated Patrol Navy


Marine Police
Exchange of Visit Navy
Ministry of Defence
Marine Police
Maritime Security Board
Joint Exercise Navy
National Search & Rescue Agency
Information Sharing Ministry of
Defence Navy
Intelligence Sharing Ministry of Defence
Adoption of Navy
SOP/Code/Arrangement
Technical Assistance Ministry of Defence

Joint Operation Navy


2 Malaysia Coordinated Patrol Navy
Marine Police
Custom and Excise Office
Maritime Security Board
Sea and Coast Guard Unit
Exchange of Visit Navy
Ministry of Defence
Marine Police
Ministry of Fisheries and Marine Affairs
Port Call Navy
Joint Exercise Navy
Maritime Security Board
Information Sharing Navy
Intelligence Sharing Navy

54
Adoption of Ministry of Foreign
SOP/Code/Arrangement Affairs
Navy
Sea and Coast Guard Unit
Marine Police
Technical Assistance Navy
3 The Philippines Coordinated Patrol Navy
Exchange of Visit Navy
Marine Police
Port Call Navy
Joint Exercise Marine Police
Information Sharing Ministry of Foreign Affairs
Navy
Intelligence Sharing MInistry of Foreign Affairs
Navy
Adoption of Ministry of Defence
SOP/Code/Arrangement Ministry of Foreign
Technical Assistance Affairs
Navy
4 Vietnam Exchange of Visit Navy
Ministry of Foreign Affairs
Port Call Navy
5 Thailand Exchange of Visit Navy
Maritime Security Board
Port Call Navy
Joint Exercise Navy
Information Sharing Navy
6 Brunei Darussalam Exchange of Visit Navy
Ministry of Defence
Joint Exercise Navy
Information Sharing Navy
7 East Timor Exchange of Visit Ministry of Fisheries and Marine Affairs
Information Sharing Navy
Adoption of Ministry of Foreign Affairs
SOP/Code/Arrangement
8 Papua New Guinea Exchange of Visit Navy
Ministry of Fisheries and Marine Affairs
Information Sharing Navy

55
Adoption of Ministry of Fisheries and Marine Affairs
SOP/Code/Arrangement
9 Australia Coordinated patrol Navy
Ministry of Fisheries and Marine Affairs
Exchange of Visit Navy
Ministry of Marine Affairs and Fisheries
Ministry of Defence
Maritime Security Board
Port Call Navy
Joint Exercise Navy
Maritime Security Board
Information Sharing Navy
Ministry of Fisheries and Marine Affairs
Intelligence Sharing Ministry of Defence
Adoption of Marine Police
SOP/Code/Arrangement Ministry of Fisheries and Marine Affairs
Joint Operation Navy
10 India Coordinated patrol Navy
Exchange of Visit Navy
Maritime Security Board
Ministry of Defence
Port Call Navy
Maritime Security Board
Joint Exercise Navy
Information Sharing Navy
Intelligence Sharing Navy
11 United States Exchange of Visit Navy
Ministry of Defence
Maritime Security Board
Port Call Navy
Joint Exercise Navy
12 China Exchange of Visit Navy
Ministry of Defence
Port Call Navy
13 Japan Exchange of Visit Navy
Ministry of Defence
Ministry of Foreign Affairs
Ministry of Fisheries and Marine Affairs

56
Port Call Navy
Maritime Security Board
Sea and Coast Guard Unit
Marine Police
Joint Exercise Navy
Maritime Security Board
Assistance Navy
Ministry of Foreign Affairs
14 South Korea Exchange of Visit Navy
Ministry of Defence
Ministry of Foreign Affairs

Port Call Navy


Marine Police
Joint Exercise Navy

57
Tabel 5: Partisipasi Indonesia dalam Berbagai Konvensi Internasional Terkait Maritim Beserta Lampiran/Amandemen Mereka.

No Convention Sektor Indonesia Entry into force di Indonesia

1 INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SAFETY OF LIFE AT SEA, 1974 Safety Peserta melalui acceptance 17-May-1981
2 1981 (CHAPTERS II-1, II-2, III, IV, V, VI) AMENDMENTS MSC.1(XLV) Safety Peserta 1-Sep-1984
3 1983 (CHAPTERS II-1, II-2, III, IV, VII) AMENDMENTS (MSC.6(48)) Safety Peserta 1-Jul-1986
4 1987 (IBC CODE) AMENDMENTS (MSC.10(54)) Safety Peserta 30-Oct-1988
5 1988 (CHAPTER II-1) AMENDMENTS (MSC.11(55)) Safety Peserta 22-Oct-1989
6 1988 (CHAPTER II-1) AMENDMENTS (MSC.12(56)) Safety Peserta 29-Apr-1990
7 1988 (GMDSS) AMENDMENTS (CONF) Safety Peserta 1-Feb-1992
8 1989 (CHAPTERS II-1, II-2, III, IV, V, VII) AMENDMENTS (MSC.13(57)) Safety Peserta 1-Feb-1992
9 1989 (IBC CODE) AMENDMENTS (MSC.14(57)) Safety Peserta 13-Oct-1990
10 1990 (IBC CODE) AMENDMENTS (MSC.16(58)) Safety Peserta 3-Feb-2000
11 1990 (IGC CODE) AMENDMENTS (MSC.17(58)) Safety Peserta 3-Feb-2000
12 1990 (CHAPTER II-1) AMENDMENTS (MSC.19(58)) Safety Peserta 1-Feb-1992
13 1991 (CHAPTERS II-2, III, V, VI, VII) AMENDMENTS (MSC.22(59)) Safety Peserta 1-Jan-1994
14 1992 (CHAPTER II-2) AMENDMENTS (MSC.24(60)) Safety Peserta 1-Oct-1994
15 1992 (CHAPTER II-1) AMENDMENTS (MSC.26(60)) Safety Peserta 1-Oct-1994
16 1992 (CHAPTERS II-1, II-2, III, IV) AMENDMENTS (MSC.27(61)) Safety Peserta 1-Oct-1994
17 1992 (IBC CODE) AMENDMENTS (MSC.28(61)) Safety Peserta 1-Jul-1994
18 1992 (IGC CODE) AMENDMENTS (MSC.30(61)) Safety Peserta 1-Jul-1994
Amendment di Annex 1 berlaku 1
19 1994 (CHAPTERS V, II-2) AMENDMENTS (MSC.31(63)) Safety Peserta Januari 1996 dan Amendment di
Annex 2 berlaku 1 July1998
20 1994 (IGC CODE) AMENDMENTS (MSC.32(63)) Safety Peserta 1-Jul-1998
Amendment di Annex 1 berlaku 1
21 1994 (NEW CHAPTERS IX, X, XI) AMENDMENTS (CONF) Safety Peserta Januari 1996 dan Amendment di
Annex 2 berlaku 1-Jul-1998
22 1994 (CHAPTERS VI, VII) AMENDMENTS (MSC.42(64)) Safety Peserta 1-Jul-1996
23 1995 (CHAPTER V) AMENDMENTS (MSC.46(65)) Safety Peserta 1-Jan-1997
24 1995 (CHAPTERS II-I, II-2, III, IV, V, VI) AMENDMENTS (CONF) Safety Peserta 1-Jul-1997
25 1996 (CHAPTERS II-1, III, VI, XI) AMENDMENTS (MSC.47(66)) Safety Peserta 1-Jul-1998
26 1996 (RESOLUTION A.744(18)) AMENDMENTS (MSC.49(66)) Safety Peserta 1-Jul-1998
27 1996 (IBC CODE) AMENDMENTS (MSC.50(66)) Safety Peserta 1-Jul-1998
28 1996 (CHAPTERS II-1, II-2, V) AMENDMENTS (MSC.57(67)) Safety Peserta 1-Jul-1998
29 1996 (IBC CODE) AMENDMENTS (MSC.58(67)) Safety Peserta 1-Jul-1998
30 1996 (IGC CODE) AMENDMENTS (MSC.59(67)) Safety Peserta 1-Jul-1998
31 1997 (CHAPTERS II-1, V) AMENDMENTS MSC.65(68) Safety Peserta 1-Jul-1999
32 1997 (NEW CHAPTER XII, RESOLUTION A.744(18)) AMENDMENTS (CONF) Safety Peserta 1-Jul-1999
33 1998 (CHAPTERS II-1, IV, VI, VII) AMENDMENTS (MSC.69(69)) Safety Peserta 1-Jul-2002
34 1999 (CHAPTER VII) AMENDMENTS (MSC.87(71)) Safety Peserta 1-Jan-2001
35 2000 (CHAPTER III) AMENDMENTS (MSC.91(72)) Safety Peserta 1-Jan-2002

58
36 2000 (CHAPTERS II-1, II-2, V, IX AND X) AMENDMENTS (MSC.99(73)) Safety Peserta 1-Jul-2002
37 (2000 FTP CODE) (MSC.101(73)) Safety Peserta 1-Jul-2002
38 2000 (IBC CODE) AMENDMENTS (MSC.102(73)) Safety Peserta 1-Jul-2002
39 2000 (IGC CODE) AMENDMENTS (MSC.103(73)) Safety Peserta 1-Jul-2002
40 2000 (ISM CODE) AMENDMENTS (MSC.104(73)) Safety Peserta 1-Jul-2002
41 2000 (RESOLUTION A.744(18)) AMENDMENTS (MSC.105(73)) Safety Peserta 1-Jul-2002
42 2001 (CHAPTER VII) AMENDMENTS (MSC.117(74)) Safety Peserta 1-Jan-2003
43 2001 (INF CODE) AMENDMENTS (MSC.118(74)) Safety Peserta 1-Jan-2003
44 2001 (1994 HSC CODE) AMENDMENTS (MSC.119(74)) Safety Peserta 1-Jan-2003
45 2002 (CHAPTERS IV, V, VI AND VII) AMENDMENTS (MSC.123(75)) Safety Peserta 1-Jan-2004
46 2002 (RESOLUTION A.744(18)) AMENDMENTS (MSC.125(75)) Safety Peserta 1-Jan-2004
47 2002 (TECHNICAL PROVISIONS FOR MEANS OF ACCESS FOR INSPECTIONS) AMENDMENTS (MSC.133(76)) Safety Peserta 1-Jan-2005
48 2002 (CHAPTERS II-1, II-2, III AND XII) AMENDMENTS (MSC.134(76)) Safety Peserta 1-Jul-2004
49 2002 (INF CODE) AMENDMENTS (MSC.135(76)) Safety Peserta 1-Jul-2004
50 2002 (CHAPTERS V, XI, NEW CHAPTER XI-2)AMENDMENTS TO THE ANNEX OF THE CONVENTION Safety Peserta 1-Jul-2004
51 2003 (CHAPTER V) AMENDMENTS (MSC.142(77)) Safety Peserta 1-Jul-2006
52 2003 (RESOLUTION A.744(18)) AMENDMENTS (MSC.144(77)) Safety Peserta 1-Jan-2005
53 2004 (CHAPTER II-1) AMENDMENTS (MSC.151(78)) Safety Peserta 1-Jan-2006
54 2004 (CHAPTERS III AND IV) AMENDMENTS (MSC.152(78)) Safety Peserta 1-Jul-2006
55 2004 (CHAPTER V) AMENDMENTS (MSC.153(78)) Safety Peserta 1-Jul-2006
56 2004 (IMDG Code) Amendments (MSC.157(78)) Safety Peserta 1-Jan-2006
57 2004 AMENDMENTS TO THE TECHNICAL PROVISIONS FOR MEANS OF ACCESS FOR INSPECTIONS (MSC.158(78)) Safety Peserta 1-Jan-2006
58 2004 STANDARDS AND CRITERIA FOR SIDE STRUCTURES OF BULK CARRIERS OF SINGLE-SKIN CONSTRUCTION (MSC.168(79)) Safety Peserta 1-Jul-2006
59 2004 STANDARDS FOR OWNERS’ INSPECTION AND MAINTENANCE OF BULK CARRIER HATCH COVERS(MSC.169(79)) Safety Peserta 1-Jul-2006
60 2004 (CHAPTERS II-1, III, V AND XII) AMENDMENTS (MSC.170(79)) Safety Peserta 1-Jul-2006
61 2004 (FTP CODE) AMENDMENTS (MSC.173(79)) Safety Peserta 1-Jul-2006
62 2004 (1994 HSC CODE) AMENDMENTS (MSC.174(79)) Safety Peserta 1-Jul-2006
63 2004 (2000 HSC CODE) AMENDMENTS (MSC.175(79)) Safety Peserta 1-Jul-2006
64 2004 (IBC CODE) AMENDMENTS (MSC.176(79)) Safety Peserta 1-Jan-2007
65 2004 (IGC CODE) AMENDMENTS (MSC.177(79)) Safety Peserta `1 July 2006
66 2004 (INF CODE) AMENDMENTS (MSC.178(79)) Safety Peserta 1-Jul-2006
67 2004 (INF CODE) AMENDMENTS (MSC.178(79)) Safety Peserta 1-Jul-2006
1st Amendment berlaku tanggal 1
68 2005 (CHAPTERS II-1, II-2, VI, IX, XI-1, XI-2 AND APPENDIX TO THE ANNEX) AMENDMENTS (MSC.194(80)) Safety Peserta Januari 2007 dan 2nd Amendment
berlaku tanggal 1-Jan-2009
69 2005 (ISM CODE) AMENDMENTS (MSC.195(80)) Safety Peserta 1-Jan-2009
70 2005 (ISPS CODE) AMENDMENTS (MSC.196(80)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2009
71 2005 (RESOLUTION A.744(18)) AMENDMENTS (MSC.197(80)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2007
72 2006 (CHAPTER II-2) AMENDMENTS (MSC.201(81)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2010
73 2006 (CHAPTER V) AMENDMENTS (MSC.202(81)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2008
74 2006 (IMDG CODE) AMENDMENTS (MSC.205(81)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2008
75 2006 (FSS CODE) AMENDMENTS (MSC.206(81)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2010
76 2006 (LSA CODE) AMENDMENTS (MSC.207(81)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2010
77 2006 (RESOLUTION A.739(18)) AMENDMENTS (MSC.208(81)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2010
78 2006 PERFORMANCE STANDARD FOR PROTECTIVE COATINGS FOR DEDICATED SEAWATER BALLAST TANKS IN ALL TYPES OF Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2008
SHIPS AND DOUBLE SIDE SKIN SPACES OF BULK CARRIERS (MSC.215(82))
79 2006 (CHAPTERS II-1, II-2, III AND XII AND APPENDIX) AMENDMENTS (MSC.216(82)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2010
80 2006 (FSS CODE) AMENDMENTS (MSC.217(82)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2010

59
81 2006 (LSA CODE) AMENDMENTS (MSC.218(82)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2008
82 2006 (IBC CODE) AMENDMENTS (MSC.219(82)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2009
83 2006 (IGC CODE) AMENDMENTS (MSC.220(82)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2008
84 2006 (1994 HSC CODE) AMENDMENTS (MSC.221(82)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2008
85 2006 (2000 HSC CODE) AMENDMENTS (MSC.222(82)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2008
86 2007 (CHAPTERS IV, VI AND APPENDIX) AMENDMENTS TO THE CONVENTION (MSC.239(83)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2009
87 2007(INF CODE) AMENDMENTS (MSC.241(83)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2009
88 CODE OF THE INTERNATIONAL STANDARDS AND RECOMMENDED PRACTICES FOR A SAFETY INVESTIGATION INTO A MARINE Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2010
CASUALTY OR MARINE INCIDENT (CASUALTY INVESTIGATION CODE) (MSC.255(84))
89 2008 (CHAPTERS II-1, II-2, III, IV AND APPENDIX) AMENDMENTS (MSC.256(84)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2010
90 2008 (CHAPTER XI-1) AMENDMENTS (MSC.257(84)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2010
91 2008 (1994 HSC CODE) AMENDMENTS (MSC.259(84)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2010
92 2008 (2000 HSC CODE) AMENDMENTS (MSC.260(84)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2010
93 2008 (RESOLUTION A.744(18)) AMENDMENTS (MSC.261(84)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2010
94 2008 (IMDG CODE) AMENDMENTS (MSC.262(84)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2010
95 2008 INTERNATIONAL CODE ON INTACT STABILITY (2008 IS CODE) (MSC.267(85)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2010
96 2008 INTERNATIONAL MARITIME SOLID BULK CARGOES (IMSBC) CODE (MSC.268(85)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2011
97 2008 (CHAPTERS II-1, II-2, VI AND VII) AMENDMENTS (MSC.269(85)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2011
98 (2000 HSC CODE) AMENDMENTS (MSC.271(85)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2011
99 2008 (LSA CODE) AMENDMENTS (MSC.272(85)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2010
100 2008 (ISM CODE) AMENDMENTS (MSC.273(85)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2010
101 2009 (CHAPTERS II-1, V, VI) AMENDMENTS (MSC.282.(86)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2011
102 2010 INTERNATIONAL GOAL-BASED SHIP CONSTRUCTION STANDARDS FOR BULK CARRIERS AND OIL TANKERS (MSC.287(87)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2012
103 2010 PERFORMANCE STANDARD FOR PROTECTIVE COATINGS FOR CARGO OIL TANKS OF CRUDE OIL TANKERS (MSC.288(87)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2012
104 2010 PERFORMANCE STANDARD FOR PROTECTIVE COATINGS FOR ALTERNATIVE MEANS OF CORROSION PROTECTION FOR Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2012
CARGO OIL TANKS OF CRUDE OIL TANKERS (MSC.289(87))
105 2010 (CHAPTER II-1) AMENDMENTS (MSC.290(87)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2012
106 2010 (CHAPTERS II-1 AND II-2) AMENDMENTS (MSC.291(87)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2012
107 2010 AMENDMENTS TO THE INTERNATIONAL CODE FOR FIRE SAFETY SYSTEMS (FSS CODE) (MSC.292(87)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2012
108 2010 AMENDMENTS TO THE INTERNATIONAL LIFE-SAVING APPLIANCE (LSA) CODE (MSC.293(87)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2012
109 2010 AMENDMENTS TO THE INTERNATIONAL MARITIME DANGEROUS GOODS (IMDG) CODE (MSC.294(87)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2012
110 2010 (FTP CODE) AMENDMENTS (MSC.307(88)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2012
111 2010 AMENDMENTS (CHAPTERS II 1, II 2 AND V AND APPENDIX) (MSC.308(88)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2012
112 2010 (FSS CODE) AMENDMENTS (MSC.311(88)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2012
113 2011 (CHAPTER III) AMENDMENTS (MSC.317(89)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2013
114 2011 AMENDMENTS TO THE INTERNATIONAL MARITIME SOLID BULK CARGOES (IMSBC) CODE (MSC.318(89)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2013
115 2011 AMENDMENTS TO THE INTERNATIONAL LIFE-SAVING APPLIANCE (LSA) CODE (MSC.320(89)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2013
116 2012 (CHAPTER II-1) AMENDMENTS (MSC.325(90) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2014
117 2012 (2000 HSC CODE) AMENDEMENTS (MSC.326(90) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2014
118 2012 (FSS CODE) AMENDMENTS (MSC.327(90) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2014
119 2012 (IMDG CODE) AMENDMENTS (MSC.328(90) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2014
120 2012 AMENDMENTS (MSC.338(91) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2014
121 2012 (FSS CODE) AMENDMENTS (MSC.339(91) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2014
122 2012 (IBC CODE) AMENDMENTS (MSC.340(91) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jun-2014
123 2012 PERFORMANCE STANDARD FOR PROTECTIVE COATINGS FOR DEDICATED SEAWATER BALLAST TANKS IN ALL TYPES OF Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2014
SHIPS AND DOUBLE SIDE SKIN SPACES OF BULK CARRIERS (MSC.341(91)
124 2012 PERFORMANCE STANDARD FOR PROTECTIVE COATINGS FOR CARGO OIL TANKS OF CRUDE OIL TANKERS(MSC.342(91)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2014

60
125 2013 (CHAPTERS III, V AND XI-1)) AMENDMENTS (MSC.350(92)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2015
126 2013 (1994 HSC CODE) AMENDMENTS (MSC.351(92)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2015
127 2013 (2000 HSC CODE) AMENDMENTS ((MSC.352(92)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2015
128 2013 (ISM CODE) AMENDMENTS (MSC.353(92)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2015
129 2013 AMENDMENTS TO THE INTERNATIONAL MARITIME SOLID BULK CARGOES (IMSBC) CODE (MSC.354(92)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2015
130 2014 (CHAPTERS II-1 AND II-2) AMENDMENTS (MSC.365(93)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2016
131 2014 (NEW CHAPTER XIII) AMENDMENTS (MSC.366(93)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2016
132 2014 (FSS CODE) AMENDMENTS (MSC.367(93)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2016
133 2014 (LSA CODE) AMENDMENTS (MSC.368(93)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2016
134 2014 (IBC CODE) AMENDMENTS (MSC.369(93)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2016
135 2014 (IGC CODE) AMENDMENTS (MSC.370(93)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2016
136 2014 (2011 ESP CODE) AMENDMENTS (MSC.371(93)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2016
137 014 (IMDG CODE) AMENDMENTS (MSC.372(93)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2016
138 2014 (CHAPTERS II-2, VI AND XI-1 AND APPENDIX) AMENDMENTS (MSC.380(94)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2016
139 2014 (2011 ESP CODE) AMENDMENTS (MSC.381(94)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jul-2016
140 2014 (NEW CHAPTER XIV) AMENDMENTS (MSC.386(94)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2017
141 2015 (CHAPTERS II-1, II-2 AND APPENDIX) AMENDMENTS (MSC.392(95)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2017
142 2015 AMENDMENTS TO THE INTERNATIONAL MARITIME SOLID BULK CARGOES (IMSBC) CODE MSC.393(95)) Security and Safety Peserta (tacit agreement) 1-Jan-2017
143 PROTOCOL OF 1978 RELATING TO THE INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SAFETY OF LIFE AT SEA, 1974, AS AMENDED Security and Safety Peserta melalui aksesi 23-Nov-1988
(SOLAS PROT 1978)
144 1981 AMENDMENTS (MSC.2(XLV)) . Safety Peserta 1-Sep-1984
145 1988 (GMDSS) AMENDMENTS (CONF) Safety Peserta 1-Feb-1992
146 2012 PERFORMANCE STANDARD FOR PROTECTIVE COATINGS FOR CARGO OIL TANKS OF CRUDE OIL TANKERS (MSC.343(91)) Safety Peserta 1-Jul-2014
147 2015 AMENDMENTS (MSC.394(95)) Safety Belum ada pernyataan Amendments masih belum
memenuhi status untuk Enter into
Force
148 PROTOCOL OF 1988 RELATING TO THE INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SAFETY OF LIFE AT SEA, 1974, AS AMENDED Safety Bukan Peserta -
(SOLAS PROT 1978)
149 2000 (APPENDIX TO THE ANNEX) AMENDMENTS (MSC.92(72)) Safety Bukan Peserta -
150 2000 (APPENDIX TO THE ANNEX) AMENDMENTS (MSC. 100(73)) Safety Bukan Peserta -
151 2002 (APPENDIX TO THE ANNEX) AMENDMENTS (MSC.124(75)) Safety Bukan Peserta -
152 2004 (APPENDIX TO THE ANNEX) AMENDMENTS (MSC.154(78)) Safety Bukan Peserta -
153 2004 (APPENDIX TO THE ANNEX) AMENDMENTS (MSC.171(79)) Safety Bukan Peserta -
154 2006 (APPENDIX TO THE ANNEX) AMENDMENTS (MSC.204(81) Safety Bukan Peserta -
155 2006 (APPENDIX TO THE ANNEX) AMENDMENTS (MSC.227(82)) Safety Bukan Peserta -
156 2007 (APPENDIX TO THE ANNEX) AMENDMENTS (MSC.240(83)) Safety Bukan Peserta -
157 2008 (APPENDIX TO THE ANNEX) AMENDMENTS (MSC.258(84)) Safety Bukan Peserta -
158 2009 (APPENDIX TO THE ANNEX) AMENDMENTS (MSC.283(86)) Safety Bukan Peserta -
159 2010 (APPENDIX TO THE ANNEX) AMENDMENTS (MSC.309(88)) Safety Bukan Peserta -
160 2012 (APPENDIX TO THE ANNEX) AMENDMENTS (MSC.344(91)) Safety Bukan Peserta -
161 2015 (APPENDIX TO THE ANNEX) AMENDMENTS (MSC.395(95)) Safety Bukan Peserta -
AGREEMENT CONCERNING SPECIFIC STABILITY REQUIREMENTS FOR RO-RO PASSENGER SHIPS UNDERTAKING REGULAR Bersifat khusus tidak memiliki
162 SCHEDULED INTERNATIONAL VOYAGES BETWEEN OR TO OR FROM DESIGNATED PORTS IN NORTH WEST EUROPE AND THE Safety Bukan Peserta hubungan dengan Indonesia
BALTIC SEA (SOLAS AGR. 1996)
163 CONVENTION ON THE INTERNATIONAL REGULATIONS FOR PREVENTING COLLISIONS AT SEA, 1972, AS AMENDED (COLREG Safety Pihak/Melalui 13-Nov-1979
1972) Akseptasi/Acceptance
164 1981 AMENDMENTS (A.464(XII)) Safety Pihak 1-Jun-1983

61
165 1987 AMENDMENTS (A.626(15) Safety Pihak 19-Nov-1989
166 1989 AMENDMENT (A.678(16)) Safety Pihak 19-Apr-1991
167 1993 AMENDMENTS (A.736(18)) Safety Pihak 4-Nov-1995
168 2001 AMENDMENTS (A.910(22)) Safety Pihak 29-Nov-2003
169 2007 AMENDMENTS (A.1004(25)) Safety Pihak 1-Dec-2009
170 2013 AMENDMENTS (A.1085(28)) Safety PIhak 1-Jan-2016
171 PROTOCOL OF 1978 RELATING TO THE INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE PREVENTION OF POLLUTION FROM SHIPS, ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 21-Jan-1987
19731, (MARPOL)
172 1984 (ANNEX I) AMENDMENTS (MEPC.14(20)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 7-Jan-1986
173 1985 (ANNEX II) AMENDMENTS (MEPC.16(22)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 6-Apr-1987
174 1985 (PROTOCOL I) AMENDMENTS (MEPC.21(22)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 6-Apr-1987
175 1987 (ANNEX I) AMENDMENTS (MEPC.29(25)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Apr-1989
176 1989 (IBC CODE) AMENDMENTS (MEPC.32(27)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 13-Oct-1990
177 1989 (BCH CODE) AMENDMENTS (MEPC.33(27)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 13-Oct-1990
178 1989 (ANNEX II) AMENDMENTS (MEPC.34(27)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 13-Oct-1990
179 1989 (ANNEX V) AMENDMENTS (MEPC.36(28)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 18-Feb-1991
180 1990 (ANNEXES I, II, HSSC) AMENDMENTS (MEPC.39(29)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 3-Feb-2000
181 1990 (IBC CODE) AMENDMENTS (MEPC.40(29)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 3-Feb-2000
182 1990 (BCH CODE) AMENDMENTS (MEPC.41(29)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 3-Feb-2000
183 1990 (ANNEXES I AND V) AMENDMENTS (MEPC.42(30)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 17-Mar-1992
184 1991 (ANNEX I) AMENDMENTS (MEPC.47(31)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 4-Apr-1993
185 1991 (ANNEX V) AMENDMENTS (MEPC.48(31)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 4-Apr-1993
186 1992 (ANNEX I) AMENDMENTS (MEPC.51(32)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 6-Jul-1993
187 1992 (ANNEX I) AMENDMENTS (MEPC.52(32)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 6-Jul-1993
188 1992 (IBC CODE) AMENDMENTS (MEPC.55(33)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jul-1994
189 1992 (BCH CODE) AMENDMENTS (MEPC.56(33)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jul-1994
190 1992 (ANNEX II) AMENDMENTS (MEPC.57(33)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jul-1994
191 1992 (ANNEX III) AMENDMENTS (MEPC.58(33)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jul-1994
192 1994 (ANNEXES I, II, III, V) AMENDMENTS (CONF) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 3-Mar-1996
193 1995 (ANNEX V) AMENDMENTS (MEPC.65(37)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jul-1997
194 1996 (PROTOCOL I) AMENDMENTS (MEPC.68(38)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-1998
195 1996 (IBC CODE) AMENDMENTS (MEPC.69(38)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jul-1998
196 1996 (BCH CODE) AMENDMENTS (MEPC.70(38)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jul-1998
197 1997 (IBC CODE) AMENDMENTS (MEPC.73(39)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 10-Jul-1998
198 1997 (ANNEX I) AMENDMENTS (MEPC.75(40)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Feb-1999
199 1999 (ANNEXES I AND II) AMENDMENTS (MEPC.78(43)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2001
200 1999 (IBC CODE) AMENDMENTS (MEPC.79(43)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jul-2002
201 1999 (BCH CODE) AMENDMENTS (MEPC.80(43)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jul-2002
202 2000 (ANNEX III) AMENDMENTS (MEPC.84(44)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2002
203 2000 (ANNEX V) AMENDMENTS (MEPC.89(45)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Mar-2002
204 2000 (IBC CODE) AMENDMENTS (MEPC.90(45)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jul-2002
205 2000 (BCH CODE) AMENDMENTS (MEPC.91(45)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jul-2002
206 2001 CONDITION ASSESSMENT SCHEME (CAS) AMENDMENTS (MEPC.94(46)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Sep-2002
207 2001 (ANNEX I) AMENDMENTS (MEPC.95(46)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Sep-2002
208 2002 AMENDMENTS TO THE CONDITION ASSESSMENT SCHEME (MEPC.99(48)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Mar-2004
209 2003 (ANNEX I) AMENDMENTS (MEPC.111(50)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 5-Apr-2005
210 2003 AMENDMENTS TO THE CONDITION ASSESSMENT SCHEME (MEPC.112(50)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 5-Apr-2005
211 2004 (REVISED ANNEX IV) AMENDMENTS (MEPC.115(51)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Aug-2005
212 2004 (APPENDIX TO ANNEX V) AMENDMENTS (MEPC.116(51)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Aug-2005

62
213 2004 (REVISED ANNEX I) AMENDMENTS (MEPC.117(52)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2007
214 2004 (REVISED ANNEX II) AMENDMENTS (MEPC.118(52)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2007
215 2004 (IBC CODE) AMENDMENTS (MEPC.119(52)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2007
216 2005 (CONDITION ASSESSMENT SCHEME (CAS)) AMENDMENTS (MEPC.131(53)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2007
217 2006 (REVISED ANNEX I) AMENDMENTS (MEPC.141(54)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Aug-2007
218 2006 (ANNEX IV) AMENDMENTS (MEPC.143(54)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Aug-2007
219 2006 (BCH CODE) AMENDMENTS (MEPC.144(54)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Aug-2007
220 2006 (ANNEX 1) AMENDMENTS (MEPC.154(55)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Mar-2008
221 2006 CONDITION ASSESSMENT SCHEME (CAS)) AMENDMENTS (MEPC.155(55)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Mar-2008
222 2006 (REVISED ANNEX III) AMENDMENTS (MEPC.156(55)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2010
223 2007 (ANNEXES I AND IV) AMENDMENTS (MEPC.164(56)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Dec-2008
224 2007 (IBC CODE) AMENDMENTS (MEPC.166(56)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2009
225 2009 (ANNEX I) AMENDMENTS (MEPC.186(59)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2011
226 2009 (ANNEX I) AMENDMENTS (MEPC.187(59)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2011
227 2010 (ANNEX I) AMENDMENTS (MEPC.189(60)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Aug-2011
228 2010 (REVISED ANNEX III) AMENDMENTS (MEPC.193(61)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2014
229 2011 (SPECIAL AREA PROVISIONS AND THE DESIGNATION OF THE BALTIC SEA AS A SPECIAL AREA UNDER MARPOL ANNEX IV) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2013
AMENDMENTS (MEPC.200(62))
230 2011 (REVISED ANNEX V) AMENDMENTS (MEPC.201(62)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2013
231 2012 ((REGIONAL ARRANGEMENTS FOR PORT RECEPTION FACILITIES UNDER MARPOL ANNEXES I, II, IV AND V)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Aug-2013
AMENDMENTS (MEPC.216(63))
232 2012 AMENDMENTS TO THE INTERNATIONAL CODE FOR THE CONSTRUCTION AND EQUIPMENT OF SHIPS CARRYING ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jun-2014
DANGEROUS CHEMICALS IN BULK (IBC CODE) (MEPC.225(64))
233 2013 (TO FORM A AND FORM B OF SUPPLEMENTS TO THE IOPP CERTIFICATE UNDER MARPOL ANNEX I) AMENDMENTS ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Oct-2014
(MEPC.235(65))
234 2013 CONDITION ASSESSMENT SCHEME (CAS)) AMENDMENTS (MEPC.236(65)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Oct-2014
235 2013 (ANNEXES I AND II TO MAKE THE RO CODE MANDATORY) AMENDMENTS (MEPC.238(65)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2015
236 2014 (ANNEXES I, II, III, IV AND V TO MAKE THE USE OF THE III CODE MANDATORY) AMENDMENTS (MEPC.246(66)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2016
237 2014 (ANNEX I - MANDATORY CARRIAGE REQUIREMENTS FOR A STABILITY INSTRUMENT) AMENDMENTS (MEPC.248(66)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2016
238 2014 (BCH CODE) AMENDMENTS (MEPC.249(66)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2016
239 2014 (IBC CODE) AMENDMENTS (MEPC.250(66)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2016
240 2014 (ANNEX I, REGULATION 43) AMENDMENTS (MEPC.256(67)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Mar-2016
241 2014 (ANNEX III, APPENDIX ON CRITERIA FOR THE IDENTIFICATION OF HARMFUL SUBSTANCES IN PACKAGED FORM) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Mar-2016
AMENDMENTS (MEPC.257(67))
242 2015 (ANNEXES I, II, IV AND V TO MAKE USE OF ENVIRONMENT-RELATED PROVISIONS OF THE POLAR CODE MANDATORY)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2017
AMENDMENTS (MEPC.265(68))
243 2015 (ANNEX I - REGULATION 12) AMENDMENTS (MEPC.266(68)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2017
244 PROTOCOL OF 1997 TO AMEND THE INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE PREVENTION OF POLLUTION FROM SHIPS, ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 24-Nov-2012
1973, AS MODIFIED BY THE PROTOCOL OF 1978 RELATING THERETO (MARPOL PROT 1997)
245 2005 (ANNEX VI AND NOX TECHNICAL CODE) AMENDMENTS (MEPC.132(53)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 22-Nov-2006
246 2008 (ANNEX VI) AMENDMENTS (MEPC.176(58)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jul-2010
247 2008 (NOX TECHNICAL CODE) AMENDMENTS (MEPC.177(58)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jul-2010
248 2010 AMENDMENTS TO THE ANNEX (MEPC.190(60)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Aug-2011
249 2010 AMENDMENTS TO THE ANNEX (REVISED FORM OF SUPPLEMENT TO THE IAPP CERTIFICATE) (MEPC.194(61)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Feb-2012

63
250 2011 (DESIGNATION OF THE UNITED STATES CARIBBEAN SEA EMISSION CONTROL AREA AND EXEMPTION OF CERTAIN SHIPS
OPERATING IN THE NORTH AMERICAN EMISSION CONTROL AREA AND THE UNITED STATES CARIBBEAN SEA EMISSION ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2013
251 CONTROL AREA) AMENDMENTS
2011 (INCLUSION TO THE
OF REGULATIONS ANNEX (MEPC.202(62))
ON ENERGY EFFICIENCY FOR SHIPS) AMENDMENTS TO THE ANNEX (MEPC.203(62)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2013
252 2012 ((REGIONAL ARRANGEMENTS FOR PORT RECEPTION FACILITIES UNDER MARPOL ANNEX VI AND CERTIFICATION OF ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Aug-2013
MARINE DIESEL ENGINES FITTED WITH SELECTIVE CATALYTIC REDUCTION SYSTEMS UNDER THE NOX TECHNICALCODE 2008)
(MEPC.217(63))
253 2014 (TO MAKE THE USE OF THE III CODE MANDATORY) AMENDMENTS (MEPC.247(66)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Jan-2016
254 2014 (ANNEX VI AND NOX TECHNICAL CODE) AMENDMENTS (MEPC.251(66)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Sep-2015
255 2014 (ANNEX VI, REGULATIONS 2 AND 13 AND THE SUPPLEMENT TO THE IAPP CERTIFICATE) AMENDMENTS (MEPC.258(67)) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 1-Mar-2016
256 CONVENTION ON FACILITATION OF INTERNATIONAL MARITIME TRAFFIC, 1965, AS AMENDED (FAL 1965) Documentary Peserta melalui aksesi 3-Jan-2003
requirements (Clerical)
AMENDMENTS TO THE CONVENTION Documentary
257 1973 Amendment requirements (Clerical) Peserta 2-Jun-1984
258 AMENDMENTS TO THE ANNEX Documentary Peserta 12-Aug-1971
requirements (Clerical)
259 1969 Amendments Documentary Peserta 12-Aug-1971
requirements (Clerical)
260 1977 Amendments Documentary Peserta 31-Jul-1978
requirements (Clerical)
261 1986 Amendments Documentary Peserta 1-Oct-1986
requirements (Clerical)
262 1987 Amendments (FAL.1(17)) Documentary Peserta 1-Jan-1989
requirements (Clerical)
263 1990 Amendments (FAL.2(19)) Documentary Peserta 1-Sep-1991
requirements (Clerical)
264 1992 Amendments (FAL.3(21)) Documentary Peserta 1-Sep-1993
requirements (Clerical)
265 1993 Amendments (FAL.4(22)) Documentary Peserta 1-Sep-1994
requirements (Clerical)
266 1996 Amendments (FAL.5(24)) Documentary Peserta 1 Mei 1997
requirements (Clerical)
267 1999 Amendments (FAL.6(27)) Documentary Peserta 1-Jan-2001
requirements (Clerical)
268 2002 Amendments (FAL.7(29)) Documentary Peserta 1-May-2003
requirements (Clerical)
269 2005 Amendments (FAL.8(32)) Documentary Peserta 1-Nov-2006
requirements (Clerical)
270 2009 Amendments (FAL.10(35)) Documentary Peserta 15-May-2010
requirements (Clerical)
271 INTERNATIONAL CONVENTION ON LOAD LINES 1966 (LL 1966) Safety Pihak/ Melalui aksesi 17-Apr-1977
272 1971 AMENDMENTS (A.231(VII)) Safety Belum Pihak Amendment belum memenuhi
syarat
Entry into force

64
273 1975 AMENDMENT (A.319(IX)) Safety Belum Pihak Amendment belum memenuhi
syarat
274 1979 AMENDMENT (A.411(XI)) Safety Belum Pihak Entrybelum
Amendment into force
memenuhi
syarat
275 1983 AMENDMENTS (A.513(13)) Safety Belum Pihak Entrybelum
Amendment into force
memenuhi
syarat
276 1995 AMENDMENTS (A.784(19)) Safety Belum Pihak Entrybelum
Amendment into force
memenuhi
syarat
277 2005 AMENDMENTS (A.972(24)) Safety Pihak Entry into force
3-Feb-2010
278 2013 AMENDMENTS (A.1082(28)) Safety Belum Pihak Amendment masih dalam proses
pengajuan hingga 28-Feb-2017
279 2013 AMENDMENTS (A.1083(28)) Safety Belum Pihak Amendment masih dalam proses
pengajuan hingga 28-Februari-2017
280 PROTOCOL OF 1988 RELATING TO THE INTERNATIONAL CONVENTION ON LOAD LINES, 1966 (LL PROT 1988) Safety Belum Pihak Belum melakukan ratifikasi
281 2003 (ANNEX B) AMENDMENTS (MSC.143(77)) Safety Belum Pihak Belum melakukan ratifikasi
282 2004 (ANNEX B) AMENDMENTS (MSC.172(79)) Safety Belum Pihak Belum melakukan ratifikasi
283 2006 (ANNEX B) AMENDMENTS (MSC.223(82)) Safety Belum Pihak Belum melakukan ratifikasi
284 2008 (ANNEX B) AMENDMENTS (MSC.270(85)) Safety Belum Pihak Belum melakukan ratifikasi
285 2012 (ANNEX B) AMENDMENTS (MSC.329(90)) Safety Belum Pihak Belum melakukan ratifikasi
286 2012 (ANNEX B) AMENDMENTS (MSC.345(91)) Safety Belum Pihak Belum melakukan ratifikasi
287 2013 (ANNEX B) AMENDMENTS (MSC.356(92)) Safety Belum Pihak Belum melakukan ratifikasi
288 2014 (ANNEX B) AMENDMENTS (MSC.375(93)) Safety Belum Pihak Belum melakukan ratifikasi
289 INTERNATIONAL CONVENTION ON TONNAGE MEASUREMENT OF SHIPS, 1969 (TONNAGE 1969) Measurement system Peserta melalui akseptasi 14-Jun-1989
290 2013 AMENDMENTS (A.1084(28)) Measurement system Peserta 28-Feb-2017
291 INTERNATIONAL CONVENTION RELATING TO INTERVENTION ON THE HIGH SEAS IN CASES OF OIL POLLUTION CASUALTIES, Security Bukan Peserta -
1969 (INTERVENTION 1969)
292 PROTOCOL RELATING TO INTERVENTION ON THE HIGH SEAS IN CASES OF POLLUTION BY SUBSTANCES OTHER THAN OIL, Security Bukan Peserta -
1973, AS AMENDED (INTERVENTION PROT 1973)
293 1991 AMENDMENTS (MEPC.49(31)) Security Bukan Peserta -
294 1996 AMENDMENTS (MEPC.72(38)) Security Bukan Peserta -
295 2002 AMENDMENTS (MEPC.100(48)) Security Bukan Peserta -
296 2007 AMENDMENTS (MEPC.165(56)) Security Bukan Peserta -
297 INTERNATIONAL CONVENTION ON CIVIL LIABILITY FOR OIL POLLUTION DAMAGE, 1969 (CLC 1969) ENVIRONMENTAL PESERTA (ratification) 30-Nov-1978
298 PROTOCOL [OF 1976] TO THE INTERNATIONAL CONVENTION ON CIVIL LIABILITY FOR OIL POLLUTION DAMAGE, 1969 (CLC ENVIRONMENTAL BUKAN PESERTA 8-Apr-1981
299 PROT 1976)OF 1992 TO AMEND THE INTERNATIONAL CONVENTION ON CIVIL LIABILITY FOR OIL POLLUTION DAMAGE, 1969
PROTOCOL ENVIRONMENTAL PESERTA accession 6-Jul-2000
(CLC PROT 1992)
300 2000 (LIMITATION AMOUNTS) AMENDMENTS (LEG.1(82)) ENVIRONMENTAL PESERTA accession 1-Nov-2003
301 SPECIAL TRADE PASSENGER SHIPS AGREEMENT, 1971 (STP 1971) Safety Peserta melalui acceptance 2-Jan-1974
302 PROTOCOL ON SPACE REQUIREMENTS FOR SPECIAL TRADE PASSENGER SHIPS, 1973 (SPACE STP 1973) Safety Peserta melalui aksesi 10-Jan-1980

65
303 CONVENTION RELATING TO CIVIL LIABILITY IN THE FIELD OF MARITIME CARRIAGE OF NUCLEAR MATERIAL, 1971 (NUCLEAR Security/Liability Bukan Peserta -
1971)
304 INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ESTABLISHMENT OF AN INTERNATIONAL FUND FOR COMPENSATION FOR OIL ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 30-Nov-1978
POLLUTION DAMAGE, 1971 (FUND 1971)
305 PROTOCOL OF 1976 TO THE INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ESTABLISHMENT OF AN INTERNATIONAL FUND FOR ENVIRONMENTAL BUKAN PESERTA 22-Nov-1994
COMPENSATION FOR OIL POLLUTION DAMAGE, 1971 (FUND PROT 1976)*
306 PROTOCOL OF 1992 TO AMEND THE INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ESTABLISHMENT OF AN INTERNATIONAL FUND ENVIRONMENTAL BUKAN PESERTA 30-May-1996
FOR COMPENSATION FOR OIL POLLUTION DAMAGE, 1971 (FUND PROT 1992)
307 2000 (LIMITS OF COMPENSATION) AMENDMENTS (LEG.2(82)) ENVIRONMENTAL BUKAN PESERTA 1-Nov-2003
308 PROTOCOL OF 2000 TO THE INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ESTABLISHMENT OF AN INTERNATIONAL FUND FOR ENVIRONMENTAL BUKAN PESERTA 27-Jun-2001
COMPENSATION FOR OIL POLLUTION DAMAGE, 1971 (FUND PROT 2000)
309 PROTOCOL OF 2003 TO THE INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ESTABLISHMENT OF AN INTERNATIONAL FUND FOR ENVIRONMENTAL BUKAN PESERTA 3-Mar-2005
COMPENSATION FOR OIL POLLUTION DAMAGE, 1992 (FUND PROT 2003)
310 INTERNATIONAL CONVENTION FOR SAFE CONTAINERS (CSC), 1972 (CSC 1972) Safety Peserta melalui aksesi 25-Sep-1990
311 1981 AMENDMENTS TO ANNEX I Safety Peserta 1-Dec-1981
312 1983 AMENDMENTS TO ANNEXES I AND II Safety Peserta 1-Jan-1984
313 1991 AMENDMENTS TO ANNEXES I AND II Safety Peserta 1-Jan-1993
314 1993 AMENDMENTS TO THE CONVENTION AND ANNEXES I AND II Safety Belum Peserta Amendment masih belum
memenuhi syarat Enter into Force
315 2010 AMENDMENTS TO THE CONVENTION MSC.310(88) Safety Peserta 1-Jan-2012
316 2013 AMENDMENTS (MSC. 355(92) Safety Peserta 1-Jul-2014
317 ATHENS CONVENTION RELATING TO THE CARRIAGE OF PASSENGERS AND THEIR LUGGAGE BY SEA, 1974 (PAL 1974) Safety Carriage Rules Bukan Peserta -
318 PROTOCOL TO THE ATHENS CONVENTION RELATING TO THE CARRIAGE OF PASSENGERS AND THEIR LUGGAGE BY SEA, 1974 Safety Carriage Rules Bukan Peserta -
(PAL PROT 1976)
319 PROTOCOL OF 1990 TO AMEND THE ATHENS CONVENTION RELATING TO THE CARRIAGE OF PASSENGERS AND THEIR Safety Carriage Rules Bukan Peserta -
LUGGAGE BY SEA, 1974 (PAL PROT 1990)
320 PROTOCOL OF 2002 TO THE ATHENS CONVENTION RELATING TO THE CARRIAGE OF PASSENGERS AND THEIR LUGGAGE BY Safety Carriage Rules Bukan Peserta -
SEA, 1974 (PAL PROT 2002)
321 CONVENTION ON THE INTERNATIONAL MOBILE SATELLITE ORGANIZATION, AS AMENDED (IMSO C 1976) Safety Peserta melalui aksesi 9-Oct-1986
322 1985 AMENDMENTS Safety Peserta 13-Oct-1989
323 1989 AMENDMENTS Safety Peserta 26-Jun-1997
324 1994 AMENDMENTS Sudah menyatakan diri untuk Amendment masih belum
Safety melakukan acceptance : 28 Juni memenuhi syarat Enter into Force
1999
325 1998 AMENDMENTS Safety Peserta 31-Jul-2001
326 2006 AMENDMENTS Safety - Amendment sudah tidak berlaku
dan diganti dengan 2008
amendments
327 2008 AMENDMENTS Safety Belum menyatakan diri untuk Amendment masih belum
melakukan acceptance memenuhi syarat Enter into Force
328 OPERATING AGREEMENT ON THE INTERNATIONAL MOBILE SATELLITE ORGANIZATION (INMARSAT), AS AMENDED Safety - Konvensi sudah tidak berlaku
329 (INMARSAT OA) *
1985 AMENDMENTS Safety - Konvensi sudah tidak berlaku

66
330 1989 AMENDMENTS Safety - Konvensi sudah tidak berlaku
331 1994 AMENDMENTS Safety - Konvensi sudah tidak berlaku
332 1998 AMENDMENTS Safety - Konvensi sudah tidak berlaku
333 CONVENTION ON LIMITATION OF LIABILITY FOR MARITIME CLAIMS, 1976 (LLMC 1976) Liability and Bukan Peserta -
Compensation
334 PROTOCOL OF 1996 TO AMEND THE CONVENTION ON LIMITATION OF LIABILITY FOR MARITIME CLAIMS, 1976 (LLMC PROT Liability and Bukan Peserta -
1996) Compensation
335 2012 (LIMITATION AMOUNTS SET OUT IN ARTICLE 3 OF THE 1996 LLMC PROTOCOL) AMENDMENTS (LEG.5(99)) Liability and Bukan Peserta -
Compensation
INTERNATIONAL CONVENTION ON STANDARDS OF TRAINING, CERTIFICATION AND WATCHKEEPING FOR SEAFARERS, 1978, Sertifikasi Pelaut/
336 AS AMENDED (STCW 1978) Documentary Peserta 27-Apr-1987
Requirement
Sertifikasi Pelaut/
337 1991 (CHAPTERS I, II, IV AND VI) AMENDMENTS (MSC.21(59)) Documentary Peserta 1-Dec-1992
Requirement
Sertifikasi Pelaut/
338 1994 (CHAPTER V) AMENDMENTS (MSC.33(63)) Documentary Peserta 1-Jan-1996
Requirement
Sertifikasi Pelaut/
339 1995 (CHAPTER I AND STCW CODE) AMENDMENTS (CONF) Documentary Peserta 1-Feb-1997
Requirement
Sertifikasi Pelaut/
340 1997 (CHAPTER V) AMENDMENTS (MSC.66(68)) Documentary Peserta 1-Jan-1999
Requirement
Sertifikasi Pelaut/
341 1997 (STCW CODE) AMENDMENTS (MSC.67(68) Documentary Peserta 1-Jan-1999
Requirement
Sertifikasi Pelaut/
342 1998 (STCW CODE) AMENDMENTS (MSC.78(70)) Documentary Peserta 1-Jan-2003
Requirement
Sertifikasi Pelaut/
343 2004 (STCW CODE) AMENDMENTS (MSC.156(78)) Documentary Peserta 1-Jul-2006
Requirement
Sertifikasi Pelaut/
344 2004 (STCW CODE) AMENDMENTS (MSC.180(79)) Documentary Peserta 1-Jul-2006
Requirement
Sertifikasi Pelaut/
345 2006 (CHAPTERS I AND VI) AMENDMENTS (MSC.203(81)) Documentary Peserta 1-Jan-2008
Requirement
Sertifikasi Pelaut/
346 2006 (STCW CODE) AMENDMENTS (MSC.209(81)) Documentary Peserta 1-Jan-2008
Requirement
Sertifikasi Pelaut/
347 2010 MANILA AMENDMENTS (STCW CONVENTION AND STCW CODE) Documentary Peserta 1-Jan-2012

67
Requirement
Sertifikasi Pelaut/
348 2014 (CHAPTER I) AMENDMENTS (MSC.373(93)) Documentary Peserta 1-Jan-2016
Requirement
Sertifikasi Pelaut/
349 2014 (STCW CODE, CHAPTER I) AMENDMENTS (MSC.374(93)) Documentary Peserta 1-Jan-2016
Requirement
Sertifikasi Pelaut/
350 2015 (CHAPTERS I AND V) AMENDMENTS (MSC.396(95)) Documentary - Belum berlaku
Requirement
Sertifikasi Pelaut/
351 2015 (STCW CODE, CHAPTER V) AMENDMENTS (MSC.397(95)) Documentary - Belum berlaku
Requirement
352 INTERNATIONAL CONVENTION ON STANDARDS OF TRAINING, CERTIFICATION AND WATCHKEEPING FOR FISHING VESSEL Safety Bukan Peserta -
PERSONNEL, 1995 (STCW-F 1995)
353 INTERNATIONAL CONVENTION ON MARITIME SEARCH AND RESCUE, 1979, AS AMENDED (SAR 1979) Safety Peserta melalui aksesi 23-Sep-2012
354 1998 (REVISED ANNEX) AMENDMENTS (MSC.70(69)) Safety Peserta 1-Jan-2000
355 2004 (CHAPTERS II, III AND IV) AMENDMENTS (MSC.155(78)) Safety Peserta 1-Jul-2006
356 CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF UNLAWFUL ACTS AGAINST THE SAFETY OF MARITIME NAVIGATION (SUA) Security Bukan Peserta -
357 PROTOCOL OF 2005 TO THE CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF UNLAWFUL ACTS AGAINST THE SAFETY OF MARITIME Security Bukan Peserta -
NAVIGATION (SUA 2005)
358 PROTOCOL FOR THE SUPPRESSION OF UNLAWFUL ACTS AGAINST THE SAFETY OF FIXED PLATFORMS LOCATED ON THE Security Bukan Peserta -
CONTINENTAL SHELF (SUA PROT)
359 PROTOCOL OF 2005 TO THE PROTOCOL FOR THE SUPPRESSION OF UNLAWFUL ACTS AGAINST THE SAFETY OF FIXED
PLATFORMS LOCATED ON THE CONTINENTAL SHELF (SUA PROT 2005) Security Bukan Peserta -
360 THE INTERNATIONAL COSPAS-SARSAT PROGRAMME AGREEMENT (COS-SAR 1988) Safety System Peserta Ground Segment Providers berlaku
mulai 27 -June-1992
361 INTERNATIONAL CONVENTION ON SALVAGE, 1989 (SALVAGE 1989) ENVIRONMENTAL Bukan Peserta -
362 INTERNATIONAL CONVENTION ON OIL POLLUTION PREPAREDNESS, RESPONSE AND CO-OPERATION, 1990 (OPRC 1990) Security Bukan Peserta -
363 PROTOCOL ON PREPAREDNESS, RESPONSE AND CO-OPERATION TO POLLUTION INCIDENTS BY HAZARDOUS AND NOXIOUS Security Bukan Peserta -
SUBSTANCES, 2000 (OPRC-HNS 2000)
364 TORREMOLINOS PROTOCOL OF 1993 RELATING TO THE TORREMOLINOS INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SAFETY OF Safety Bukan Peserta -
FISHING VESSELS, 1977 (SFV PROT 1993)
365 CAPE TOWN AGREEMENT OF 2012 ON THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE TORREMOLINOS PROTOCOL OF Safety Bukan Peserta -
1993 RELATING TO THE TORREMOLINOS INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SAFETY OF FISHING VESSELS, 1977
366 INTERNATIONAL CONVENTION ON LIABILITY AND COMPENSATION FOR DAMAGE IN CONNECTION WITH THE CARRIAGE OF ENVIRONMENTAL Bukan Peserta Belum Berlaku
HAZARDOUS AND NOXIOUS SUBSTANCES BY SEA, 1996 (HNS 1996)
367 PROTOCOL OF 2010 TO AMEND THE INTERNATIONAL CONVENTION ON LIABILITY AND COMPENSATION FOR DAMAGE IN ENVIRONMENTAL Bukan Peserta Belum Berlaku
CONNECTION WITH THE CARRIAGE OF HAZARDOUS AND NOXIOUS SUBSTANCES BY SEA, 1996 (HNS PROT 2010)
368 INTERNATIONAL CONVENTION ON CIVIL LIABILITY FOR BUNKER OIL POLLUTION DAMAGE, 2001(BUNKERS 2001) ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) 11-Dec-2014
369 INTERNATIONAL CONVENTION ON THE CONTROL OF HARMFUL ANTI-FOULING SYSTEMS ON SHIPS, 2001 (AFS 2001) Enviromental Peserta (aksesi) 11-Dec-2014
370 INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE CONTROL AND MANAGEMENT OF SHIPS’ BALLAST WATER AND SEDIMENTS, 2004 ENVIRONMENTAL PESERTA (accession) Not yet in force
(BWM 2004)

68
371 NAIROBI INTERNATIONAL CONVENTION ON THE REMOVAL OF WRECKS, 2007 (NAIROBI WRC 2007) ENVIRONMENTAL and Bukan Peserta
SAFETY
372 HONG KONG INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SAFE AND ENVIRONMENTALLY SOUND RECYCLING OF SHIPS, 2009 ENVIRONMENTAL Bukan Peserta Not yet in force
(HONG KONG CONVENTION)
373 CONVENTION ON THE PREVENTION OF MARINE POLLUTION BY DUMPING OF WASTES AND OTHER MATTER, 1972, AS ENVIRONMENTAL Bukan Peserta
AMENDED (LC 1972)1
374 Amendments to the Convention ENVIRONMENTAL Bukan Pesesrta not yet in force
375 Amendments to the Annexes ENVIRONMENTAL Bukan Peserta
376 1996 PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE PREVENTION OF MARINE POLLUTION BY DUMPING OF WASTES AND OTHER ENVIRONMENTAL Bukan Peserta
MATTER, 1972 (LC PROT 1996)
377 2006 (ANNEX I) AMENDMENTS (LP.1(1)) ENVIRONMENTAL Bukan Peserta
enter into force on the sixtieth day
after the date on which that
378 2009 (ARTICLE 6) AMENDMENT (LP.3(4)) ENVIRONMENTAL Bukan Peserta Contracting Party has deposited its
instrument of acceptance of the
amendment
enter into force on the sixtieth day
after the date on which that
379 2013 AMENDMENT (LP.4(8)) ENVIRONMENTAL Bukan Peserta Contracting Party has deposited its
instrument of acceptance of the
amendment
378 DECLARATION RESPECTING MARITIME LAW NAVALWARFARE Bukan Peserta 16-Apr-1856
379 INSTRUCTIONS FOR THE GOVERNMENT OF ARMIES OF THE ARMIES OF THE UNITED STATES IN THE FIELD NAVALWARFARE Bukan Peserta 24-Apr-1863
379 CONVENTION (X) FOR THE ADAPTATION TO MARITIME WARFARE OF THE PRINCIPLES OF THE GENEVA CONVENTION NAVALWARFARE Bukan Peserta 26-Jan-1910
380 HAGUE CONVENTION (VI) ON ENEMY MERCHANT SHIPS NAVALWARFARE Bukan Peserta 26-Jan-1910
381 HAGUE CONVENTION (VII) ON CONVERSION OF MERCHANT SHIPS NAVALWARFARE Bukan Peserta 26-Jan-1910
382 HAGUE CONVENTION (VIII) ON SUBMARINE MINES NAVALWARFARE Bukan Peserta 26-Jan-1910
383 HAGUE CONVENTION (IX) ON BOMBARDMENT BY NAVAL FORCES NAVALWARFARE Bukan Peserta 26-Jan-1910
384 HAGUE CONVENTION (XI) ON RESTRICTIONS OF THE RIGHT OF CAPTURE NAVALWARFARE Bukan Peserta 26-Jan-1910
385 HAGUE CONVENTION CONVENTION (XIII) ON NEUTRAL POWERS IN NAVAL WAR NAVALWARFARE Bukan Peserta 26-Jan-1910
386 DECLARATION CONCERNING THE LAW OF NAVAL WARFARE NAVALWARFARE Bukan Peserta -
387 ADDITIONAL PROTOCAL TO THE CONVENTION RELATIVE TO THE ESTABLISHMENT OF AN INTERNATIONAL PRIZE COURT NAVALWARFARE Bukan Peserta -
389 MANUAL OF THE LAWS OF NAVAL WAR NAVALWARFARE Bukan Peserta -
390 TREATY RELATING TO THE USE OF SUBMARINES AND NOXIOUS GASES IN WARFARE NAVALWARFARE Bukan Peserta -
391 HAVANA CONVENTION ON MARITIME NEUTRALITY NAVALWARFARE Bukan Peserta 12-Jan-1931
392 LONDON TREATY ON LIMITATION AND REDUCTION OF NAVAL ARMAMENTS NAVALWARFARE Bukan Peserta 31-Dec-1930
393 PROCES-VERBAL ON SUBMARINE WARFARE OF THE TREATY OF LONDON NAVALWARFARE Bukan Peserta 6-Nov-1936
394 GENEVA CONVENTION FOR THE AMELIORATION OF THE CONDITION THE WOUNDED AND SICK SHIPWRECKED MEMBERS OF NAVALWARFARE Bukan Peserta 21-Oct-1950
ARMED FORCES AT SEA (II)
395 PROTOCOL ADDITIONAL TO THE GENEVA CONVENTIONS OF 12 AUGUST 1949 AND RELATING TO THE PROTECTION OF NAVALWARFARE Bukan Peserta 7-Dec-1978
VICTIMS OF INTERNATIONAL ARMED CONFLICTS (PROTOCOL I)

69
396 SAN REMO MANUAL ON INTERNATIONAL LAW APPLICABLE TO ARMED CONFLICTS AT SEA NAVALWARFARE Bukan Peserta -
397 IINTERNATIONAL CONVENTION ON THE MARITIME ORGANIZATION NAVIGATION Peserta 18-Jan-1961
398 AMENDMENTS TO ARTICLES 17 AND 18 OF THE CONVENTION ON THE INTERNATIONAL MARITIME ORGANIZATION NAVIGATION Peserta 21-Oct-1966
399 AMENDMENT TO ARTICLE 28 OF THE CONVENTION ON THE INTERNATIONAL MARITIME ORGANIZATION NAVIGATION Bukan Peserta -
400 AMENDMENTS TO ARTICLES 10, 16, 17, 18, 20, 28, 31 AND 32 OF THE CONVENTION ON THE INTERNATIONAL MARITIME NAVIGATION Peserta 23-Nov-1976
ORGANIZATION
401 AMENDMENTS TO THE TITLE AND SUBSTANTIVE PROVISIONS OF THE CONVENTION ON THE INTERNATIONAL MARITIME NAVIGATION Bukan Peserta -
ORGANIZATION
402 AMENDMENTS TO THE CONVENTION ON THE INTERNATIONAL MARITIME ORGANIZATION RELATING TO THE NAVIGATION Peserta
INSTITUTIONALIZATION OF THE COMMITTEE ON TECHNICAL CO-OPERATION IN THE CONVENTION 29-Jul-1983
403 AMENDMENTS TO ARTICLES 17, 18, 20 AND 51 OF THE CONVENTION ON THE INTERNATIONAL MARITIME ORGANIZATION NAVIGATION Peserta 29-Jul-1983
404 AMENDMENTS TO THE CONVENTION ON THE INTERNATIONAL MARITIME ORGANIZATION (INSTITUIONALIZATION OF THE NAVIGATION Peserta
FACILITATION COMMITTEE) 21-May-1996
405 AMENDMENTS TO THE CONVENTION ON THE INTERNATIONAL MARITIME ORGANIZATION NAVIGATION Peserta 21-May-1996
406 CONVENTION REGARDING THE MEASUREMENT AND REGISTRATION OF VESSELS EMPLOYED IN INLAND NAVIGATION NAVIGATION Bukan Peserta -
407 CON ENTION RELATING TO THE UNIFICATION OF CERTAIN RULES CONCERNING COLLISSIONS IN INLAND NAVIGATION NAVIGATION Bukan Peserta -
408 CONVENTION ON THE REGISTRATION OF INLAND NAVIGATION VESSELS NAVIGATION Bukan Peserta -
409 CONVENTION ON THE MEASUREMENT OF INLAND NAVIGATION VESSELS NAVIGATION Bukan Peserta -
410 CONVENTION ON A CODE OF CONDUCT FOR LINEAR CONFERENCES NAVIGATION Bukan Peserta 11-Jan-1977
411 UNITED NATIONS CONVENTION ON CONDITIONS FOR REGISTRATION OF SHIPS NAVIGATION Bukan Peserta -
412 INTERNATIONAL CONVENTION ON ARREST OF SHIPS NAVIGATION Bukan Peserta -
413 CONVENTION ON THE TERRITORIAL SEA AND THE TERRITORIAL SEA AND CONTIGUOUS ZONE SEA Bukan Peserta -
414 CONVENTION ON THE HIGH SEAS SEA Peserta 10-Agu-61
415 CONVENTION ON FISHING AND CONSERVATION OF THE LIVING RESOURCES OF THE HIGH SEAS SEA Bukan Peserta -
416 NAIROBI INTERNATIONAL CONVENTION ON THE REMOVAL OF WRECKS, 2007 (NAIROBI WRC 2007) SEA Bukan Peserta -
417 OPTIONAL PROTOCOL OF SIGNATURE CONCERNING THE COMPULSORY SETTLEMENT OF DISPUTES SEA Bukan Peserta -
418 UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA SEA Peserta 03-Feb-86
419 AGREEMENT RELATING TO THE IMPLEMENTATION OF PART XI OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA Peserta 02-Jun-00
SEA
420 AGREEMENT OF THE IMPLEMENTION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA SEA Peserta
RELATING TO THE CONSERVATION AND MANAGEMENT OF STRADDLING FISH STOCKS AND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS 28-Sep-09
421 AGREEMENT ON THE PRIVILEGES AND IMMUNITIES OF THE INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE LAW OF THE SEA SEA Bukan Peserta -
422 PROTOCOL ON THE PRIVILEGES AND IMMUNITIES OF THE INTERNATIONAL SEABED AUTHORITY SEA Bukan Peserta -

70
Total Perjanjian Internasional &
Recap Bidang Peserta Bukan Peserta
Instrumen Lainnya
Safety 146 106 40
Enviromental 110 93 17
Security/ Security & Safety 87 74 13
Navigation 16 7 9
Sea 10 4 6
Naval Warfare 19 0 19
Documentary Requirement 36 33 3
Total 424 317 107

71
Tabel 6: Status Partisipasi Indonesia dalam Berbagai Konvensi Maritim Dunia
(secara umum)

IMO Convention 48 x London Convention 72


SOLAS Convention 74 x London Convention Protocol 96
SOLAS Protocol 78 x INTERVENTION Convention 69
SOLAS Protocol 88 INTERVENTION Protocol 73
SOLAS Agreement 96 CLC Convention 69 x

LOAD LINES Convention 66 x CLC Protocol 76


LOAD LINES Protocol 88 CLC Protocol 92 x

TONNAGE Convention 69 x FUND Protocol 76


COLREG Convention 72 x FUND Protocol 92
CSC Convention 72 x FUND Protocol 2003
CSC amendments 93 NUCLEAR Convention 71
SFV Protocol 93 PAL Convention 74
Cape Town Agreement 2012 PAL Protocol 76
STCW Convention 78 x PAL Protocol 90
STCW-F Convention 95 PAL Protocol 02
SAR Convention 79 x LLMC Convention 76
STP Agreement 71 x LLMC Protocol 96
Space STP Protocol 73 x SUA Convention 88
IMSO Convention 76 x SUA Protocol 88
INMARSAT OA 76 x SUA Convention 2005
IMSO amendments 2006 SUA Protocol 2005
IMSO amendments 2008 SALVAGE Convention 89
FACILITATION Convention 65 x OPRC Convention 90
MARPOL 73/78 (Annex I/II) x HNS Convention 96
MARPOL 73/78 (Annex III) x HNS PROT 2010
MARPOL 73/78 (Annex IV) x OPRC/HNS 2000
MARPOL 73/78 (Annex V) x BUNKERS CONVENTION 01 x

MARPOL Protocol 97 (Annex VI) x ANTI FOULING 01 x

BALLASTWATER 2004 x

NAIROBI WRC 2007


HONG KONG CONVENTION
Total 24/59

72
References

Alles, Delphine. 2015. Transnational Islamic Actors and Indonesia’s Foreign Policy:
Transcending the State. Routledge.

Baldino, Daniel and Andrew Carr. 2016. “Defence Diplomacy and the Australian
Defence Force: Smokescreen or Strategy?” Australian Journal of International
Affairs 70(2):139–158.

BNPP. 2011. “Rencana Induk: Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan
Perbatasan di Indonesia [Blueprint of Indonesia’s Border Management]”.

Cheyre, Juan Emilio. 2013. The Oxford Handbook of Modern Diplomacy. Oxford
University Press chapter Defence Diplomacy.

Connelly, Aaron L. 2015. “Sovereignty and the sea: President Joko Widodo’s foreign
policy challenges.” Contemporary Southeast Asia: A Journal of International
and Strategic Affairs 37(1):1–28.

Cottey, Andrew. 2004. Reshaping Defence Diplomacy: New roles for military
cooperation and assistance. Number 365 in “Adelphi Paper” Routledge.

Gindarsah, Iis. 2015. “Indonesia’s Defence Diplomacy: Harnessing the Hedging


Strategy against Regional Uncertainties.” RSIS Working Paper 293.

Glaser, Charles L. 2004. “When Are Arms Races Dangerous? Rational versus
Suboptimal Arming.” International Security 28 (4): 44–84.

Haftel, Yoram Z. 2010. “Conflict, regional cooperation, and foreign capital: Indonesian
foreign policy and the formation of ASEAN.” Foreign Policy Analysis 6(2):87–
106.

Hatta, Mohammad. 1988. Mendayung Antara Dua Karang. PT Bulan Bintang.

Kraska, James. 2011. Contemporary Maritime Piracy: International Law, Strategy,


and Diplomacy at Sea. ABC-CLIO.

Kraska, James and Raul Pedrozo. 2013. International maritime security law.
Martinus Nijhoff Publishers.

73
Laksmana, Evan A. 2011. “The enduring strategic trinity: explaining Indonesia’s geopo-
litical architecture.” Journal of the Indian Ocean Region 7(1):95–116.

Laksmana, Evan A. 2012. “Regional Order by Other Means? Examining the Rise of
Defense Diplomacy in Southeast Asia.” Asian Security 8(3):251–270.

Laksmana, Evan A. 2014. CSCAP Regional Security Outlook 2015. Council for Security
Cooperation in the Asia Pacific (CSCAP) chapter Indonesia’s Strategic Thinking:
Breaking Out of Its Shell?, pp. 35–38.

Le Mière, Christian. 2014. Maritime diplomacy in the 21st century: Drivers and
challenges. Routledge.

Marsudi, Retno L.P. 2015. “Annual Press Statement of the Minister for Foreign Affairs
of the Republic of Indonesia”.

Mohan, C Raja. 2010. “India and the changing geopolitics of the Indian Ocean.”
Maritime Affairs 6 (2): 1–12.

Muthanna, KA. 2011. “Military diplomacy.” Journal of Defence Studies 5(1):15.

Norton, Simon. 2015. China’s grand strategy. Technical report University fo Sydney
China Studies Centre.

Shekhar, Vibhanshu and Joseph Chinyong Liow. 2014. “Indonesia as a Maritime


Power: Jokowi’s Vision, Strategies, and Obstacles Ahead.” Brookings 14.

Slater, Dan, Benjamin Smith and Gautam Nair. 2014. “Economic origins of democratic
breakdown? The redistributive model and the postcolonial state.” Perspectives
on Politics 12(02):353–374.

The Military Balance. 2015. International Institute for Strategic Studies.

Weinstein, Franklin B. 1972. “The Uses of Foreign Policy in Indonesia: An Approach to


the Analysis of Foreign Policy in the Less Developed Countries.” World Politics
24(03):356–381.

Young, Adam J and Mark J Valencia. 2003. “Conflation of Piracy and Terrorism in
Southeast Asia: Rectitude and Utility.” Contemporary Southeast Asia pp. 269–
283.

74
RINGKASAN EKSEKUTIF

Diplomasi Pertahanan Maritim:


Strategi, Tantangan, dan Prospek
Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta

Di tengah memanasnya sengketa kawasan Laut Tiongkok Selatan dan mengganasnya


kembali berbagai perompakan laut di Asia Tenggara, doktrin Poros Maritim Dunia (PMD)
yang dikumandangkan Presiden Joko Widodo (lebih dikenal dengan Jokowi) nampak semakin
relevan. Konsep diplomasi maritim sebagai salah satu pilar PMD (dan belakangan menjadi
salah satu komponen utama Kebijakan Kelautan Nasional) juga nampaknya dapat menjadi
ujung tombak kebijakan luar negeri Indonesia dalam meredakan ketegangan kawasan dan
memimpin pembangunan tatanan kawasan berbasis prinsip dan aturan hukum internasional
(rules-based order). Potensi strategis doktrin Jokowi ini juga disadari oleh komunitas
internasional yang berharap Indonesia meneruskan peran aktifnya sebagai salah satu pemimpin
kawasan Asia Tenggara dan bahkan Indo-Pasifik. Perubahan lingkungan strategis maritim
kawasan terutama kebangkitan militer Tiongkok dan memanasnya berbagai sengketa wilayah
maritime serta komitmen dari pemerintah untuk menjalankan PMD mendorong perlunya kajian
sistematis dan menyeluruh mengenai diplomasi pertahanan maritim Indonesia. Berangkat dari
latar belakang ini, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta bekerjasama
dengan Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri (BPPK
Kemlu) Republik Indonesia meluncurkan laporan penelitian ini.
Penelitian yang dimaksud memiliki sejumlah tujuan, yakni (1) mengulas perubahan
lingkungan strategis maritim Indonesia, (2) mengkaji secara empiris pola-pola diplomasi
maritim Indonesia sejak 1999, (3) menawarkan kerangka evaluasi kebijakan diplomasi dan
pertahanan maritim, dan (4) memberikan rekomendasi kebijakan diplomasi pertahanan
maritim. Untuk mengidentifikasi lingkungan strategis, penelitian ini telah berupaya
menguraikan berbagai tantangan strategis Indonesia di ranah maritim yang perlu dihadapi
dalam waktu dekat dan dalam jangka panjang sehingga membutuhkan strategi diplomasi
pertahanan maritim yang komprehensif, terintegrasi dan melibatkan berbagai instansi
pemerintahan yang terkait. Setelah itu, penelitian ini juga berupaya untuk meletakkan visi
maritim pemerintahan Presiden Joko Widodo ke dalam kerangka berpikir strategy raya (grand
strategy) dan mengidentifikasikan dimensi-dimensi eksternal yang relevan dari inisiatif,
wacana dan dokumen-dokumen yang terkait dengan visi tersebut. Setelah mempertimbangkan
aspek strategis dan dimensi eksternal yang terkait – atau dapat terkait – dengan visi maritim
Presiden Joko Widodo, penelitian ini berupaya untuk mengklarifikasi konsepsi diplomasi
pertahanan maritim secara konseptual dengan mempertimbangkan keterkaitan antara konsep
diplomasi pertahanan dan diplomasi maritim serta kombinasi yang sesuai di antara keduanya
yang dapat dijadikan kerangka berpikir serta acuan bagi penjabaran kebijakan. Setelah
meninjau data empiris mengenai diplomasi pertahanan Indonesia yang telah dilakukan sejauh
ini, penelitian ini berupaya untuk menawarkan beberapa rekomendasi yang dapat
diimplementasikan Indonesia untuk memperkuat pilar diplomasi pertahanan maritim sebagai
bagian dari visi maritime Presiden Joko Widodo.
Data-data yang digunakan oleh penelitian ini dikumpulan dari berbagai dokumen resmi
kementerian terkait, beberapa lembaga dan organisasi internasional, keterangan dari portal
resmi badan-badan pemerintahan yang terkait. Data-data ini kemudian dikombinasikan dengan
beberapa temuan sekunder yang didapatkan dari jurnal ilmiah, buku, surat kabar dan media
massa. Guna menjamin validitas dan akurasi data, maka tidak semua sumber data sekunder
yang dikumpulkan kemudian diolah dan dijadikan dataset. Data sekunder yang dikumpulkan
kemudian diseleksi berdasarkan kriteria tingkat waktu keberlakuan data, kesesuaian data dan
ketepatan data dengan penelitian yang sedang dijalankan. Berbagai dokumen tersebut di atas
kami kaji dan olah lebih lanjut dalam upaya menampilkan pola-pola empirik pelaksanaan
diplomasi pertahanan maritim Indonesia sejauh ini (1998 hingga 2016). Pola-pola ini
diharapkan dapat membantu rekomendasi kebijakan terkait kekuatan dan kelemahan praktek
diplomasi pertahanan maritim Indonesia sejauh ini.
Dengan mempelajari informasi serta data-data yang tersedia, penelitian ini menemukan
bahwa meski lingkungan keamanan di Asia Tenggara diperkirakan masih relatif stabil,
integritas terrtorial tetap menjadi tujuan utama bagi kebijakan luar negeri di Indonesia. Dalam
hal ini, masalah perbatasan dengan negara-negara tetangga yang belum terselesaikan dapat
terus menjadi perhatian bagi kebijakan Indonesia di kawasan. Sementara itu, meski Indonesia
bukan merupakan negara penggugat (non-claimant state), sengketa di Laut Tiongkok Selatan
berpotensi menghadirkan tantangan terhadap hak berdaulat Indonesia (sovereign rights)
sebagai negara kepulauan menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut
(UNCLOS) serta terhadap kepentingan ekonomi nasional, terutama terkait dengan sumber
daya alam serta kelestarian lingkungan hidup yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi di
wilayan tersebut. Termasuk di antara isu-isu ekonomi yang penting untuk diperhatikan adalah
eksplorasi energi dan perikanan, yang beberapa waktu belakangan ini menjadi isu yang
semakin menarik perhatian publik di Indonesia, yakni dengan ditangkapnya kapal-kapal ikan
yang beroperasi secara ilegal di wilayah Indonesia. Di samping permasalahan kedaulatan dan
kepentingan ekonomi, masalah keselamatan pelayaran juga menjadi isu yang semakin
mengemuka, terutama yang berkaitan dengan ancaman pembajakan dan perampokan di
wilayah laut Indonesia. Sementara itu, kondisi yang berkembang saat ini membutuhkan
perhatian Indonesia untuk mengantisipasi persaingan geopolitik di kawasan. Terkait dengan
aspirasi Indonesia untuk senantiasa memelihara stabilitas strategis di kawasan Asia Timur,
sengketa Laut Tiongkok Selatan serta perluasan pengaruh negara-negara besar berpotensi
mengubah perimbangan kekuatan militer di kawasan. Lebih jauh, dinamika sengketa maritim
di Asia Timur telah menjadi pendorong utama kompetisi persenjataan angkatan laut antar
negara-negara kawasan.
Memperhatikan kondisi-kondisi ini, lingkungan strategis maritim Indonesia semakin
menunjukkan gejala persinggungan tantangan strategis tradisional|termasuk rivalitas antara
negara-negara besar di kawasan, kemungkinan intervensi eksternal terhadap kepentingan
maritim domestik serta militerisasi kawasan|dengan tantangan non-tradisional. Dengan
demikian strategi politik luar negeri Indonesia terkait dengan ranah maritim tidak bisa lagi
dihadapi oleh satu kementerian, tapi membutuhkan kerjasama lintas departemen dan dibimbing
satu strategi terpadu. Perhatian ini kemudian menuntun penelitian ini untuk
mempertimbangkan pola yang telah berkembang dalam kebijakan luar negeri Indonesia secara
umum serta aspirasi serta inisiatif-inisiatif yang telah muncul terkait dengan visi maritim
pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Mengingat asal-muasal doktrin PMD, Presiden perlu memiliki pengejawantahan yang
lebih baik akan asumsi geopolitik yang dulu pernah menjadi latar belakang pemikiran konsep
yang begulir sejak diutarakannya pertama kali dalam sesi debat publik calon presiden di bulan
Juli tahun 2014. Pada mulanya, konsep ini mecerminkan suatu asumsi bahwa kekuatan
geopolitik ekonomi tengah bergeser dari Dunia Barat ke Asia. Asumsi ini berkaitan juga
dengan mental map elit politik Indonesia yang senantiasa memandang keberadaan sejumlah
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) serta letak strategis Indonesia di antara dua benua dan
dua samudera sebagai sumber tantangan yang dapat memunculkan muncul urgensi untuk
menerapkan kontrol dan patroli terhadap perairan Indonesia. Berangkat dari asumsi ini,
Presiden Joko Widodo membayangkan Indonesia akan berada dalam konstelasi global yang
menuntut keseluruhan bangsa untuk menegaskan diri dalam sebuah negara kepulauan untuk
menjadi “pemenang". Ini adalah pertama kalinya Indonesia mengakui keadaan alamiahnya
sebagai bangsa maritim. Dalam gagasan beliau, pembangunan maritim akan menempatkan
Indonesia sebagai titik sentral dinamika hubungan internasional di Asia. Namun demikian,
sampai dengan dua tahun berjalannya pemerintahan Jokowi, belum ada perhatian yang cukup
berarti untuk dimensi eksternal kebijakan luar negeri dan pertahanan PMD.
Memperhatikan perbandingan retorika PMD dengan retorika kebijakan-kebijakan luar
negeri Indonesia sebelumnya, sebetulnya doktrin PMD memiliki konsepsi yang lebih jelas
mengenai sistem internasional dan tidak terjebak dalam sindrom inferioritas yang tertanam
dalam sejarah elemen “bebas” dalam politik luar negeri bebas aktif. Penggunaan kata “poros"
dalam PMD diharapkan dapat mengganti kekhawatiran “ke dalam" secara geopolitik dengan
upaya mendorong Indonesia “ke luar" melalui identifikasi peluang dari sistem internasional.
PMD cukup cermat menggunakan kepercayaan mendalam tentang nasionalisme dan hakikat
geografis dan menghubungkannya dengan prinsip “aktif" untuk membuka peluang bagi
Indonesia suatu saat sebagai “pemenang" dalam konstelasi global. PMD juga berpotensi
meramu pembangunan dengan penguatan negara yang semakin penting bagi keberlangsungan
demokrasi di Indonesia. Dengan kata lain, PMD dapat dikatakan memiliki keunggulan untuk
membelokkan rubrik utama “bebas dan aktif" dalam politik luar negeri Indonesia agar
mengakomodasi gagasan penguatan negara sesuai dengan arsitektur geopolitik wilayahnya.
Untuk menetralisir kecenderungan inward looking dalam implementasi PMD sejauh
ini, pengembangan visi maritim pemerintahan Presiden Joko Widodo sebaiknya diletakkan
dalam kerangka berpikir pengembangan strategi raya di Indonesia yang sampai saat ini nampak
belum matang dan terlembaga dengan baik. Dalam hal ini, Presiden dan pemerintah perlu
merealisasikan potensi doktrin PMD dengan membangun sistem formulasi kebijakan luar
negeri yang lebih konsisten, sistematis, koheren, dan lebih pro-aktif mengambil peluang
strategis di kawasan. Untuk mewujudkan hal tersebut, Presiden perlu memiliki suatu kumpulan
rencana dan kebijakan yang meliputi upaya negara untuk merangkai sarana-sarana politik,
militer, diplomasi dan ekonominya untuk mencapai tujuan negara dengan cara memetakannya
ke dalam hubungan antara tujuan dan alat mencapai tujuan tersebut. Setelah rencana tersebut
dicapai. Tujuan jangka pendek dan panjang harus diseleraskan dengan baik dalam suatu hirarki
tujuan dan rencana mobilisasi sumber daya.
Rencana kebijakan kelautan Indonesia yang akan bergulir dapat menjadi test-case
dalam pengembangan kerangka ini. Terdapat empat pilar penerjemahan PMD dalam rancangan
dokumen kebijakan tersebut yang nampaknya relevan untuk politik luar negeri karena memiliki
dimensi eksternal yang cukup eksplisit, yakni (1) pertahanan, keamanan, penegakan hukum
dan keselamatan laut, (2) pilar tata kelola dan kelembagaan laut, (3), pilar pengelolaan ruang
laut dan pelindungan lingkungan laut, dan (4) pilar diplomasi maritim. Terdapat dua alasan
bahwa pilar-pilar strategi ini harus dirumuskan dalam gaya berpikir pengembangan strategi
raya. Alasan pertama berkaitan dengan prioritas tujuan yang harus disusun dengan baik antara
aspek kedaulatan, pembangunan ekonomi, keselamatan di laut serta gagasan-gagasan lain yang
terkait seperti pelestarian lingkungan hidup. Sementara itu, alasan kedua berkaitan dengan
potensi mengakar masalah koordinasi dan tata kelola kelembagaan. Dengan demikian,
pemerintahan Presiden Joko Widodo dapat mempertimbangkan dengan serius untuk meng-
upgrade visi maritim, khususnya gagasan PMD, dari sekedar visi maritim menjadi visi
kebijakan luar negeri. Untuk itu, Presiden perlu dengan segera memastikan setiap kementerian
terkait kebijakan luar negeri merumuskan buku putih yang kira-kira memuat penjabaran
kepentingan nasional di bidang maritime yang kemudian harus diselaraskan dengan tujuan
perlindungan WNI, dan percepatan pembangunan nasional. Kedua, mengingat adanya kondisi
tumpang-tindih wewenang, pelaksanaan program-program yang menjadi strategi kebijakan
kelautan nasional membutuhkan adanya “single-hub" bagi keseluruhan kebijakan maritim.
Penyelarasan dimensi kebijakan luar negeri, kebijakan pertahanan dan kebijakan
maritime lebih lanjut ini membuat alasan bagi signifikansi diplomasi pertahanan maritime yang
dapat dipandang sebagai turunan (atau subset) dari diplomasi pertahanan dan/atau diplomasi
maritime. Diplomasi pertahanan sendiri dipahami sebagai penggunaan sumber daya pertahanan
yang meliputi angkatan bersenjata dan infrastruktur pertahanan di masa damai dan tanpa
tekanan eksternal dalam rangka pencapaian tujuan nasional. diplomasi pertahanan juga dapat
diartikan sebagai upaya-upaya diplomasi untuk menangani atau memecahkan berbagai
persoalan pertahanan. Pengadopsian visi maritim sebagai strategi raya mengharuskan
dilihatnya pertahanan sebagai instrumen kebijakan luar negeri dan sekaligus sebagai tujuan
kebijakan luar negeri. Dengan demikian, konsepsi diplomasi pertahanan ke ranah maritim
harus dilihat sebagai karakter geopolitik Indonesia. Sementara itu, diplomasi maritime juga
harus dimaknai sebagai digunakannya instrument kebijakan maritime untuk mencapai tujuan
kebijakan luar negeri sekaligus digunakannya instrument diplomasi untuk persoalan maritim.
Dengan diadopsinya atribut “maritim,” aktor-aktor yang berperan tidak lagi hanya angkatan
laut.
Dengan berangkat dari dua landasan definisi diplomasi pertahanan dan diplomasi
maritim di atas, berbagai instrumen kebijakan yang relevan untuk mengukur efektifitas
diplomasi pertahanan maritim Indonesia dapat dipilah. Instrument diplomasi pertahanan yang
telah digunakan oleh Indonesia sejak era reformasi mencakup kerjasama bilateral dengan
negara-negara tetangga dan mitra strategis, kerjasama multilateral (ASEAN dan Non-
ASEAN), hukum internasional dan konvensi regional tentang keamanan maritime, dan operasi
keamanan laut bersama. Instrumen-instrumen kebijakan diplomasi pertahanan maritim yang
ada kemudian harus disesuaikan dengan tingkat urgensi, yakni situasi yang ada, dengan kriteria
situasi normal, krisis dan perang. Penggunanan secara seksama instrumen-instrumen ini
nantinya harus memperhatikan beberapa prakondisi, yaitu (1) dipahaminya signifikansi
berpikir dalam kerangka strategi raya, (2) keterlibatan seluruh instansi pemerintah yang relevan
tidak hanya Kementerian Luar Negeri, namun Angkatan Laut, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, kementerian Perhubungan serta Bakamla, (3) kepemimpinan presiden, dan (4)
alokasi strategis dan terkoodinir sumber daya maritim tergantung pada tujuan yang ingin
dicapai.
Berdasarkan pola yang sudah berjalan selama ini, fokus diplomasi pertahanan maritim
cenderung pada instrumen-instrumen di masa damai dan hampir tidak ada instrumen kebijakan
pertahanan maritim di masa krisis atau bahkan perang. Hal ini dapat menghambat Indonesia
untuk memiliki strategi atau kebijakan yang inovatif dalam persoalan-persoalan seperti Laut
Tiongkok Selatan. Kedua, tidak seluruh instrumen hukum internasional maritim yang ada
ditandatangani atau diratifikasi oleh Indonesia. Hal ini sebetulnya dapat dipahami, namun
paling tidak kita perlu mempertimbangkan berbagai instrument terkait peperangan di laut
(naval warfare), navigasi, dan keselamatan di laut di mana kita belum menjadi peserta (lebih
dari 100). Kemampuan Indonesia untuk menjadi “pemenang" dalam konstelasi politik global
yang bergeser ke Asia akan bergantung pada kemampuan Indonesia untuk menjadi “suara dan
juara" hukum laut internasional yang tidak hanya terdiri dari UNCLOS 1982. Sebagai contoh,
pengadopsian San Remo Manual on International Law Applicable to Armed Conflicts at Sea
dapat membantu menajamkan berbagai ketetapan dalam negeri soal prosedur penindakan
dalam operasi keamanan laut dan dapat kita tawarkan sebagai pelengkap CUES dalam
kerangka mekanisme manajemen ketegangan di Laut Tiongkok Selatan. Selain itu, dalam
konteks kerjasama maritime bilateral maupun multilateral, terdapat beberapa masalah yang
bekaitan dengan integrasi dan perpaduan lintas sectoral, tidak meratanya intensitas dan
cakupan kerjasama bilateral maritime karena Indonesia hany berfokus pada negara tertentu,
serta kerjasama yang diikuti yang cenderung lebih bersifat sukarela dan informal serta
mencakup isu-isu yang cenderung butuh waktu lama untuk mempunya dampak strategis.
Memperhatikan asumsi, kerangka berpikir dan pola empiris yang ada, terdapat
beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan oleh laporan ini. Pertama, kami mengusulkan
dimulainya proses formulasi strategi raya Diplomasi Pertahanan Maritim sebagai
pengejawantahan dimensi eksternal dari doktrin PMD. Strategi ini akan mengintegrasikan
berbagai kelebihan dan kekurangan dari instrument diplomasi pertahanan yang ada dan
menjabarkan kebijakan-kebijakan yang dapat mengintegrasikan berbagai instrumen dan aktor
diplomasi pertahanan. Secara ideal, dibentuknya strategi raya akan membutuhkan sebuah
kantor khusus yang berfungsi merumuskan evaluasi dan penjabaran kebijakan. Kedua, kami
mengusulkan agar Presiden merumuskan kembali dan mendorong proses penataan hukum dan
kelembagaan untuk mempertegas wewenang penegakan keamanan di wilayah perairan
Indonesia. Bagi Kementerian Luar Negeri, kami merekomendasikan dijalinnkan konsultasi dan
koordinasi yang sifatnya lebih reguler dengan para pemangku kebijakan pertahanan maritime
lainnya. Secara spesifik, Kementerian Luar Negeri dapat mempertimbangkan untuk
mengadakan forum Diplomasi Pertahanan Maritim secara reguler. Kementerian Luar Negeri
juga perlu memikirkan formulasi sistem manahemen krisis yang dapat sewaktu-waktu
diaktifkan bila terjadi insiden-insiden di laut yang dapat meningkatkan ketegangan. Terkait
hukum internasional, Kementerian Luar negeri perlu mengkaji berbagai instrumen hukum
internasional dan konvensi regional terutama terkait dengan naval warfare yang belum diadopsi
oleh Indonesia. Selain itu, forum-forum yang telah ada selama ini perlu dicermati
efekstifitasnya karena belum tentu mind-set multilateralisme sesuai dengan kebutuhan
Indonesia. Terakhir, Kementerian Luar Negeri perlu memperdalam kerangka-kerangka
perjanjian bilateral dengan kegiatan-kebiatan baru, seperti joint counter-piracy atau counter-
IUU fishing operations yang lebih sesuai dengan perubahan lingkungan maritim Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai