Anda di halaman 1dari 10

MODUL ETIKA ADMINISTRASI

“MENGEMBANGKAN PROGRAM ETIKA YANG EFEKTIF”

Dosen Pengampu:

Lusy Deasyana Rahma Devita, S.AB.,M.AB

Disusun Oleh :

Kelompok 8

1. Elly Hariati (225030200111074)


2. Dinda Mentari Putri (225030200111076)
3. Ahmad Mahbub Thoriq (225030201111069)
4. Clara Aurelia Sitepu (225030207111142)

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI BISNIS


DEPARTEMEN ADMINISTRASI BISNIS

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
TAHUN 2022/2023
Judul : Mengembangkan Program Etika yang Efektif

Tujuan :
- Mahasiswa mampu memahami tanggung jawab korporasi sebagai agen moral.
- Mahasiswa mampu memahami program etika yang efektif.
- Mahasiswa mampu memahami program etika perusahaan.
- Mahasiswa mampu memahami alasan perlunya program etika yang efektif.
- Mahasiswa mampu memahami cara meningkatkan etika kerja di perusahaan.
- Mahasiswa mampu memahami kode etik.
- Mahasiswa mampu memahami komisi etika.
- Mahasiswa mampu memahami pelatihan dan komunikasi etika.
- Mahasiswa mampu memahami sistem untuk memantau dan menegakkan standar etika.
- Mahasiswa mampu memahami peningkatan program etika berkelanjutan.
- Mahasiswa mampu memahami kesalahan umum dalam merancang dan
mengimplementasikan program etika.

Isi Modul :

a. Tanggung Jawab Korporasi sebagai Agen Moral


Program CSR adalah salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan,
sering dianggap sebagai inti etika, sering dianggap sebagai inti dari etika, kewajiban bisnis
perusaan di samping tugas hukum dan ekonomi, adalah untuk mencapai tujuan jangka
Panjang untuk kesejahteraan masyarakat. CSR memandang perusahaan sebagai agen moral
dengan parameter keberhasilan perusahaan dan tetap mengutamakan prinsip-prinsip moral
dan etika yang memberikan manfaat paling besar untuk masyarakat.
Tanggung jawab terdiri dari: Filantropis, Etis, dan Ekonomi. Kemampuan perusahaan
untuk memenuhi tanggung jawab sosial adalah untuk mengambil tanggun jawab secara
komprehensif. 1. Berkaitan dengan kemampuan perusahaan untuk memperoleh dukungan
sumber daya manusia, 2. Terkait dengan kepentingan pelanggan, 3. Terkait dengan investor
dan kreditur, 4. Berkaitan dengan lingkunga alam, 5. Untuk mendukung kesejahteraan
masyarakat umum.
Dalam pandangan kant, pelaksanaan CSR yang memenuhi syarat etis adalah
perusahaan yang melaksanakan CSR nya tidak dilandasi oleh tendensi-tendensi tertentu,
mereka hanya bertindak untuk kewajibannya semata. Karena kewajiban inilah yang menurut
kant sebagai imperatif kategoris, atau kehendak hukum adalah satu. Imperatif kategoris
inilah yang dipandang Kant sebagai azas kesusilaan yang transcendental. Keharusan yang
transcendental dan amat kokoh ini mewujudkan inti segala persoalan etis. Keharusan ini
bersifat mutlak, tidak memperhatikan selera suka-tidak suka, menguntungkan atau tidak
menguntungkan.

b. Program Etika yang Efektif


Masalah etika saat ini sedang berada di garis depan keprihatinan organisasi, kelompok
yang terdiri dari sistem nilai yang berbeda, tekanan, persaingan, dan masalah kebijakan yang
meningkatkan potensi cedera, hampir setengah staf survey etika KPMG menyatakan bahwa
mereka telah mengamati pelanggaran yang dapat menyebabkan “kehilangan kepercayaan
public yang signifikan”.
Ketika kesempatan untuk terlibat dalam perilaku tidak etis berlimpah, perusahaan
rentan terhadap “program etika yang efektif”, baik masalah etika maupun pelanggaran
hukum, jika karyawannya tidak tahu cara membuat keputusannya. Perusahaan harus
memiliki program etika yang efektif untuk memastikan semua karyawan memahami nilai-
nilai mereka dan mengikuti prosedur operasi, dan instuksi operasi yang disetujui oleh
budaya etis.
Karena kita berasal dari latar belakang yang berbeda – beda seperti bisnis, Pendidikan,
dan keluarga, maka tidak bisa diasumsikan/disamakan bahwa kita tahu bagaimana
berperilaku yang tepat saat masuk organisasi baru/pekerjaan baru. Seperti contoh farmasi
merck mereka membutuhkan segala karyawan yang bertanggung jawab untuk mematuhi
pedoman perilaku etis, lalu semua karyawan mendapatkan pelatihan etika.

c. Program Etika Perusahaan


Program etika perusahaan sudah dimulai sejak tahun 1980, yang bermula saat
Kementerian Pertahanan Amerika Serikat mengeluarkan Defense Industry Initiative in
Business Ethics and Conduct. Yang berisi tentang aturan tentang cara dan perilaku yang etis
dalam berbisnis, serta pelaporan pelanggaran pada pihak yang berwajib.
Selanjutnya, tahun 1991 dikeluarkan FSGO (Federal Sentencing Guidelines of
Organizations) untuk memberikan panduan pada putusan hukuman yang lebih objektif
terhadap pelanggaran. Dengan memberikan intensif hukuman yang lebih ringan pada
pelanggaran yang ringan dan memberikan pelanggaran yang lebih berat pada pelanggaran
yang berat.
Awal tahun 2000, muncul skandal keuangan Enron dan mengakibatkan dikeluarkannya
Sarbanes-Oxley Act (SOX) pada tahun 2002. Salah satu pasalnya berbunyi agar perusahaan
publik melaporkan adanya penerapan Code of Product. Laporan ini akan mendorong
keterbukaan dan upaya untuk mengurangi kecurangan serta korupsi.
Lalu, pada tahun 2004, FSGO dilakukan perevisian yang isinya lebih menuntut
perusahaan-perusahaan untuk mengembangkan budaya perusahaan yang mendorong
perilaku etis dan kepatuhan terhadap hukum. Revisi ini menyarankan untuk adanya
pengawasan untuk melakukan pemantauan dan agar meningkatkan budaya perusahaan yang
lebih etis.
Ada delapan langkah kerja program etika perusahaan, dengan merujuk pada SOX dan
FSGO yang sudah direvisi oleh Brewer, Chandler, dan Ferrel pada tahun 2006 yang
menyarankan delapan langkah untuk membuat kerangka kerja program etika yang efektif,
yaitu:
1. Direksi hendaknya menciptakan pola kepemimpinan yang etis (Ethical Leadership).
2. Melakukan kajian risiko untuk mengungkapkan hal penting guna membantu pembuatan
Pedoman Perilaku (Code of Conduct).
perusahaan yang efektif menuntut adanya penanggung jawab yang
3. Menerapkan pengawasan operasional. melakukan pengawasan dan pengelolaan pelaksanaan dengan ketat.
4. Mengembangkan dan membuat pedoman etika dan standar perilaku yang komprehensif.
5. Mengkomunikasikan dan mensosialisasikan nilai-nilai, budaya dan standar perusahaan
dan juga menerima masukan tentang harapan karyawan.
6. Membuat suatu sistem untuk memantau dan melaporkan pelanggaran.
7. Menegakkan standar etika melalui mekanisme imbalan dan hukuman.
8. Secara berkelanjutan melakukan perbaikan dan revisi program serta memantau
perkembangan budaya perusahaan dan perilaku karyawan.

d. Alasan Perlunya Program Etika yang Efektif


Etika organisasi menekankan agar perlunya ada serangkaian nilai yang dapat
dilaksanakan dan dipatuhi oleh setiap anggota. Nilai-nilai tersebut berkaitan tentang cara
bersikap dan berperilaku dengan baik serta menjunjung tinggi sikap hormat, kejujuran,
keadilan, dan tanggung jawab. Nilai tersebut bisa dijadikan sebagai acuan dan dianggap
sebagai prinsip-prinsip yang etis dan moral.
Kehidupan organisasi tentunya tak luput dari permasalahan yang pemecahannya
mengandung implikasi moral dan etika. Ada cara pemecahan permasalahan yang secara
moral dan etika dapat diterima tetapi ada juga yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Cara-cara yang dapat diterima adalah cara yang benar dan sebaliknya cara-cara yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan adalah cara yang salah.
Program etika yang efektif dapat membantu mengatasi konflik-konflik dan mencegah
meluasnya tindakan immoran atau tidak bermoral. Hal ini juga dapat memberikan
pemenuhan untuk dapat berperilaku secara kritis dan rasional.
Dibawah ini merupakan beberapa alasan mengapa norma moral dan etika diperlukan
dalam organisasi, yaitu:
1. Etika berkaitan dengan perilaku manusia.
2. Etika memberikan prinsip yang kokoh dalam berperilaku sehingga kehidupan dalam
organisasi lebih bermakna.
3. Etika perlu dianalisis dan dikaji ulang, agar tetap relevan dalam memperkaya makna
kehidupan seseorang, kelompok, organisasi, dan masyarakat luas yang pada gilirannya
memperlancar interaksi antar manusia.
4. Etika berkaitan langsung dengan sistem nilai manusia, mendorong tumbuhnya naluri
moralitas, dan memberi inspirasi.

e. Cara Meningkatkan Etika Kerja di Perusahaan


Secara tak langsung, setiap manusia sebenarnya sudah memiliki etika kerja di dalam
dirinya sendiri. Namun, semangat etika kerja tersebut akan hilang jika diabaikan begitu saja
dan tidak diasah dengan baik. Maka dari itu diperlukannya peningkatan etika kerja dalam
diri manusia. Ada 5 cara yang bisa diterapkan oleh perusahaan dan organisasi untuk
meningkatkan etika kerja pada karyawannya, antara lain yakni 1. Saling menghargai dan
memberi rasa hormat, 2. Berkomunikasi secara terbuka, 3. Saling memberikan contoh yang
baik, 4. Saling memberikan kepercayaan, 5. Memberikan pelatihan berkualitas kepada
karyawan.

f. Kode Etik
Kode etik merupakan sebuah dokumen memuat pernyataan jenis perilaku yang dapat
diterima dan tidak diterima. Kode etik berfungsi sebagai pegangan dalam berperilaku dan
dapat juga dijadikan sebagai acuan dalam tata cara menentukan jenis pelanggaran beserta
konsekuensinya. Adapun beberapa alasan utama kegagalan dalam penerapan kode etik,
yakni kode etik tidak disosialisasikan dengan baik dan karyawan tidak berinisiatif untuk
membaca kode etik, kode etik tidak mudah diakses, kode etik ditulis dengan bahasa yang
cenderung sulit dipahami oleh karyawan, serta penulisan kode etik yang terlalu rancu
sehingga menimbulkan banyak persepsi yang berbeda dan tidak memberikan arahan yang
benar.
Kode etik dapat mengatasi berbagai tantangan dalam situasi tertentu, walaupun begitu,
kode etik juga tidak serta merta dapat menyelesaikan semua masalah etika yang terjadi.
Kode etik hanya sebatas membantu dalam mengatasi keraguan etika dengan menentukan
kegiatan ataupun aktivitas yang sekiranya dapat meminimalisir timbulnya masalah etika.
Maka dari itu, sangat penting untuk mempromosikan kode etik beserta konsekuensi
pelanggaran kepada karyawan agar perilaku-perilaku yang tidak diharapkan dapat
diminimalisir dan dapat terciptanya lingkungan perusahaan yang stabil.

g. Komisi Etika
Komisi etika merupakan orang-orang yang memiliki pangkat serta sangat menghormati
standar hukum dan etika. Etika dan komisi kepatuhan umumnya memiliki latar belakang
hukum, keuangan, dan manajemen sumber daya manusia. Adapun tanggung jawab komisi
etika sebagai berikut:
1. Mengelola program kepatuhan hukum dan etika organisasi.
2. Menilai etika beserta risiko yang ditimbulkan.
3. Selalu merevisi dan mempromosikan kode etik.
4. Menyediakan program pelatihan bagi karyawan.
5. Menyediakan layanan yang dapat menjawab pertanyaan karyawan seputar masalah etika
sekaligus menjaga kerahasiannya.
6. Memastikan perusahaan telah mematuhi peraturan pemerintah.
7. Memantau dan mengaudit perilaku etis.
8. Menindak jika ada yang melanggar kode etik perusahaan.
9. Meninjau dan mengembangkan kode.
10. Mengetahui peraturan-peraturan yang terdapat pada perusahaan, serta
mensosialisasikannya kepada karyawan.

h. Pelatihan dan Komunikasi Etika


Langkah utama untuk mengembangkan program etika yang efektif adalah dengan
menerapkan program pelatihan dan sistem komunikasi untuk mendidik karyawan mengenai
standar etika perusahaan, kebijakan dan harapan perusahaan, undang-undang serta peraturan
yang relevan dengan standar sosial umum. Program pelatihan ini ditujukan agar karyawan
sadar akan sumber daya yang tersedia, sistem pendukung, serta dalam pengambilan
keputusan yang etis.
Keputusan yang etis ini dipengaruhi oleh budaya perusahaan, rekan kerja dan
supervisor, serta peluang yang tersedia untuk terlibat dalam pengambilan keputusan yang
etis. Adanya keberadaan dan penegakan aturan perusahaan dapat mengurangi praktik tidak
etis dalam organisasi apabila dirancang dengan bijaksana. Pelatihan etika ini dapat membuat
karyawan sadar akan masalah etika, meningkatkan pentingnya pelatihan etika, dan dapat
meningkatkan kepercayaan diri karyawan dalam mengambil sebuah keputusan. Fondasi
serta prosedur dalam pelaksanaan program etika sangat mempengaruhi ke-efektifan dalam
pelatihan etika, keterlibatan staf, manajer diperlukan dalam mengembangkan program etika
yang berkarakteristik.
Tujuan dari program pelatihan etika ini sendiri untuk meningkatkan pemahaman
karyawan tentang masalah etika dan kemampuan mereka untuk mengindentifikasi masalah,
menginformasikan karyawan mengenai prosedur dan aturan terkait, dan mengidentifikasi
orang yang dapat dihubungi untuk membantu karyawan menyelesaikan masalah etika.
Bagian penting dalam pengelolaan program etika dan yang efektif adalah dengan
memahami teknik yang memberikan pemahaman karyawan mengenai budaya, kebijakan,
dan prosedur untuk menangani masalah etika. Pengelolaan tersebut dapat membantu
karyawan mendapatkan kesadaran mengenai struktur etika, hukum, dan sosial dari
pengambilan keputusan untuk mengembangkan keterampilan dalam menyelesaikan
masalah etika.

i. Sistem untuk Memantau dan Menegakkan Standar Etika


Pelaksanaan program etika yang efektif menggunakan berbagai sumber daya untuk
membantu memantau perilaku etis dan mengukur efektivitas program. Keberadaan sistem
internal yang dapat melaporkan pelanggaran sangatlah berguna untuk memantau dan
mengevaluasi kinerja etis. Banyak perusahaan membuat saluran bantuan “hotlines”, untuk
memberikan dukungan dan memberi kesempatan kepada karyawan untuk mengajukan
pertanyaan ataupun melaporkan masalah. Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa
karyawan mungkin salah melaporkan situasi atau menyalahgunakan hotlines untuk
membalas rekan kerjanya.
Apabila perusahaan tidak membuat kemajuan dalam menciptakan dan memelihara
budaya etis, perusahaan perlu mengambil tindakan korektif, dengan menegakkan
pelaksanaan standar etika yang ketat dan disiplin. Tindakan korektif dapat dilakukan dengan
memberikan penghargaan kepada karyawan yang memenuhi kebijakan dan standar
perusahaan dan menghukum mereka yang tidak mematuhinya. Karyawan yang mematuhi
standar organisasi, layak untuk diakui secara publik, bonus, kenaikan gaji, atau cara lain.
Jika karyawan melanggar standar organisasi, mereka harus ditegur, posisi yang
ditangguhkan, atau bahkan dipecat. Apabila tindakan korektif ini gagal, maka perilaku yang
tidak pantas kemungkinan akan terus berlanjut.
Diperlukan penegakan etika yang konsisten serta disiplin untuk etika fungsional.
Petugas etika bertanggung jawab untuk menerapkan semua tindakan disipliner atas
pelanggaran standar etika perusahaan. Hal ini dapat dilakukan dengan penandatanganan
pernyataan bahwa mereka telah membaca pedoman etika perusahaan saat ini dan siap untuk
mematuhi segala prosedur yang ada. Perusahaan juga harus segera menyelidiki kesalahan
yang telah terungkap ataupun masih dicurigai.
Upaya pencegahan perilaku tidak etis penting untuk hubungan jangka panjang
perusahaan dengan karyawan, pelanggan, dan komunitas mereka. Kode etik yang diterapkan
secara efektif meningkatkan perilaku etis dalam organisasi.
j. Peningkatan Program Etika Berkelanjutan
Implementasi dari program etika membutuhkan rancangan kegiatan untuk mencapai
tujuan organisasi dengan memaksimalkan sumber daya yang tersedia serta
mempertimbangkan kendala yang ada. Implemnetasi ini dirancang untuk menetapkan
sarana dimana kinerja etis organisasi akan dipantau, dikendalikan, dan ditingkatkan.
Kemampuan perusahaan untuk merencanakan program etika bergantung pada bagaimana
struktur sumber daya dan aktivitasnya dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang etis.
Keselarasan antara pimpinan dan karyawan di dorong dengan keberagaman perspektif,
ketidaksepakatan, dan pemberdayaan. Jika perusahaaan merasa bahwa kinerja etisnya
kurang memuaskan, pimpinan dapat merubah cara dan jenis keputusan tertentu untuk
dirancang kembali.

k. Kesalahan Umum dalam Merancang dan Mengimplementasikan Program Etika


Kesalahan pertama yang dilakukan banyak perusahaan saat merancang program etika
adalah menghubungkan karyawan melalui budaya perusahaan yang menyatukan dan
berbagi kegagalan untuk memahami dan menghargai tujuan tersebut.
Kesalahan kedua adalah tidak menetapkan tujuan program yang realitistis dan terukur.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa karyawan dan manajer senior sering menegtahui
bahwa mereka melakukan sesuatu yang tidak etis tetapi merasionalisasi perilaku mereka
sebagai dalih “Demi kebaikan perusahaan”. Hal itu mengakibatkan tujuan program etika
tidak terlaksana seperti seharusnya.
Kesalahan ketiga adalah kegagalan manajemen senior untuk mengambil alih program
etika. Beberapa tahun terakhir, banyak perusahaan memalsukan laporan pendapatan,
mengirimkan produk sebelum pelanggan menyetujui pengiriman, atau mencatat semua
pendapatan dari kontrak jangka panjang di muka untuk menjaga pendapatan tinggi dan
meningkatkan harga saham mereka. Dalam sejumlah kasus, eksekutif puncak mendorong
penipuan semacam ini karena opsi saham atau paket bonus lainnya yang terkait dengan
kinerja perusahaan.
Kesalahan keempat adalah mengembangkan materi program yang tidak memenuhi
kebutuhan rata-rata karyawan. Program ini biasanya menghasilkan ‘hukum yang kompleks’
yang hanya dapat dipahami oleh sedikit orang di dalam organisasi. Padahal harusnya
program etika harus menyertakan umpan balik bagi karyawan dari seluruh perusahaan.
Kesalahan kelima adalah mentransfer program “Amerika” ke operasi internasional
perusahaan. Di perusahaan multinasional, eksekutif harus melibatkan personel luar negeri
sedini mungkin dalam proses untuk membantu menumbuhkan pemahaman tentang nilai-
nilai perusahaan dan untuk meminimalkan potensi kesalahan yang berasal dari
kesalahpahaman.
Kesalahan umum yang terakhir adalah merancang program etika yang tidak lebih dari
serangkaian kuliah. Sebuah perusahaan tidak dapat berhasil hanya dengan mengambil
pendekatan legalistik terhadap etika dan kepatuhan terhadap pedoman hukuman. Manajer
puncak harus berusaha untuk mengembangkan standar etika yang tinggi yang berfungsi
sebagai penghalang untuk perilaku illegal.
Kesimpulan :
Program etika membantu karyawan peka terhadap potensi masalah hukum dan etika
dalam diri mereka di lingkungan kerja. Program etika juga dapat membantu dalam menegakkan
perilaku etis dan hukum dalam suatu perusahaan melalui pembangunan, pengkomunikasian,
dan juga pemantauan nilai-nilai etika serta persyaratan hukum yang bercirikan sejarah
perusahaan, budaya, industry, dan operasi lingkungan. Dengan adanya program etika, maka
dapat membantu karyawan dalam menentukan perilaku yang diterima dalam perusahaan.

Sebuah perusahaan harus memiliki program etika yang efektif untuk memastikan
bahwa karyawan memahami nilai-nilainya dan mematuhi kebijakan dan kode etiknya. Program
etika dalam perusahaan itu sendiri juga harus dinilai keefektifaannya dalam membantu
mengurangi kemungkinan hukuman yang ditegakkan secara hukum dan negatif reaksi publik
terhadap pelanggaran. Tujuan utama dari program etika adalah mendorong perusahaan untuk
menilai risiko dan memantau sendiri aktivitas pekerja untuk mencegah tindakan tidak etis dan
menghukum karyawan yang tidak etis. Etika program dikembangkan sebagai alat sistem
kontrol organisasi untuk menciptakan prediktabilitas dalam perilaku karyawan.

Sebagian besar perusahaan memulai proses pembentukan program etika organisasi


dengan mengembangkan kode etik, yang memuat dokumen pernyataan yang menjelaskan
perilaku-perilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima dalam sebuah. Kode etik harus
dikembangkan untuk memastikan bahwa perusahaan mematuhi nilai-nilai, aturan, dan
kebijakan yang mendukung budaya etis.

Manajer atau komite tingkat tinggi bertanggung jawab atas etika program kepatuhan
untuk meningkatkan administrasi dan pengawasannya secara signifikan. Mereka bertanggung
jawab untuk menilai kebutuhan dan risiko yang harus ditangani dalam program etika di seluruh
organisasi, merevisi dan mensosialisasikan kode etik, mengadakan program pelatihan bagi
karyawan, menyediakan layanan yang dapat menjawab pertanyaan karyawan seputar masalah
etika sekaligus menjaga kerahasiannya, memastikan perusahaan mematuhi peraturan
pemerintah, memantau dan mengaudit perilaku etis, menindak jika ada yang melanggar kode
etik perusahaan, serta meninjau dan mengembangkan kode.
Pelatihan etika yang sukses penting dalam membantu karyawan mengidentifikasi
masalah etika dan dalam memberi mereka sarana untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah
tersebut. Pelatihan dapat mendidik karyawan tentang kebijakan dan harapan perusahaan,
sumber daya yang tersedia.

Soal Pada Buku :


1. Identifikasi masalah etika dan hukum yang mana Jim perlu waspadai.
2. Diskusikan kelebihan dan kekurangan dari setiap keputusan yang bisa diambil Jim.
3. Identifikasi tekanan yang ditimbulkan masalah etika dan hukum.
4. Apa struktur kekuasaan dan kepemimpinan Jim posisi di pabrik?
Daftar Pustaka :
1. Bob Lewis, “Survival Guide: The Moral Compass—Corporations Aren’t Moral Agents,
Creating Interesting Dilemmas for Business Leaders,” InfoWorld, March 11, 2002, via
http://www.findarticles.com (accessed June 8, 2009).
2. “The 100 Best Corporate Citizens,” March 6, 2009, http://www.
forbes.com/2009/03/05/best-corporate-citizens-leadership- citizenship-ranking.html
(accessed June 8, 2009).
3. Indra Nooyi, “Business Has a Job to Do: Rebuild Trust,” April 22, 2009,
http://www.money.cnn.tv/2009/04/19/news/companies/ nooyi.fortune/index.htm
(accessed June 8, 2009).
4. Linda K. Trevino and Stuart Youngblood, “Bad Apples in Bad Barrels: Causal Analysis of
Ethical Decision Making Behavior,” Journal of Applied Psychology 75 (1990): 378–385.
5. Roger Parloff, “Wall Street: It’s Payback Time,” Fortune, January 19, 2009, 69.
6. Trevino and Youngblood, “Bad Apples in Bad Barrels.”
7. “AmericaEconomia Annual Survey Reveals Ethical Behavior of Businesses and
Executives in Latin America,” AmericaEconomia, December 19, 2002, via
http://www.prnewswire.com.
8. Constance E. Bagley, “The Ethical Leader’s Decision Tree,” Harvard Business Review
(February 2003): 18–19.
9. “Wall Street’s Entitlement Culture Hard to Shake,” January 23, 2009,
http://www.msnbc.msn.com/id/28817800/ (accessed June 8, 2009).
10. “Forensic Leadership Message,” KPMG Forensic Ethics Survey 2008–2009,
http://www.kpmg.com/SiteCollectionDocuments/Integrity-Survey-2008-2009.pdf
(accessed June 17, 2009).
11. “Conducting Ourselves Ethically and Transparently,” http://www. merck.com/corporate-
responsibility/business-ethics-transparency/approach.html (accessed June 8, 2009).
12. “Special Report: The OCEO 2005 Benchmarking Study Key Findings,”
http://www.oceg.org/Details/18594 (accessed June 9, 2009).
13. “How Am I Doing?” Business Ethics (Fall 2005): 11.
14. KPMG Forensic Integrity Survey 2008–2009,
http://www.kpmg.com/SiteCollectionDocuments/Integrity-Survey-2008-2009.pdf
(accessed June 8, 2009).
15. National Business Ethics Survey 2007: An Inside View of Private Sector Ethics, Ethics
Resource Center, 2007, 18.
16. Mark S. Schwartz, “A Code of Ethics for Corporate Code of Ethics,” Journal of Business
Ethics 41 (2002): 37.
17. Ibid.
18. “ASCE: Code of Ethics,” http://www.asce.org/inside/codeofethics. cfm (accessed June 8,
2009); “Engineers Commit to Ending Corruption,”
http://www.asce.org/pressroom/news/display_press.cfm?uid=2789, (accessed June 8,
2009).
19. National Business Ethics Survey 2007, 39.
20. “USSC Commissioner John Steer Joins with Compliance and Ethics Executives from
Leading U.S. Companies to Address Key Compliance, Business Conduct and Governance
Issues,” Society for Corporate Compliance and Ethics, PR Newswire, October 31, 2005.
21. “ECOA Sponsoring Partner Member L’Oreal Sponsors the First Law and Business Ethics
Masters Degree,” October 6, 2008, http:// www.csrwire.com/press/press_release/19336-
ECOA-Sponsoring- Partner-member-L-Oreal-Sponsors-the-first-Law-and-Business-
Ethics-Masters-Degree (accessed June 9, 2009).
22. Jim Nortz “Compliance and Ethics Officers: A Survival Guide for the Economic
Downturn,” March 10, 2009, http://www.
corporatecomplianceinsights.com/2009/compliance-and-ethics- officers-surviving-
economic-downturn (accessed June 9, 2009).
23. Anne M. Simmons “Want to Avoid Unpleasant Compliance Surprises? Embrace a Strong
Whistle-Blowing Policy,” January 8, 2009, http://ethisphere.com/want-to-avoid-
unpleasant- compliance-surprises-embrace-a-strong-whistle-blowing-policy/ (accessed
June 9, 2009).
24. “Combat Fraud of Almost $1 Trillion,” April 17, 2009, http://
ethicaladvocate.blogspot.com/2009_04_01_archive.html (accessed June 9, 2009).
25. Sven Erik Holmes, “The Road to a Model Ethics and Compliance Program,” May 13, 2009,
http://ethisphere.com/the-road-to-a- model-ethics-and-compliance-program (accessed
August 20, 2009).
26. Linda Ferrell and O.C. Ferrell, Ethical Business (DK Essential Managers Series, May 4,
2009), 1–72.
27. “Key TI Ethics Publications,” http://www.ti.com/corp/docs/csr/
corpgov/ethics/publication.shtml (accessed June 10, 2009).
28. Debbie Thorne LeClair and Linda Ferrell, “Innovation in Experiential Business Ethics
Training,” Journal of Business Ethics 23 (2000): 313–322.
29. Press release, “Top Corporate Ethics Officers Tell Conference Board that More Ethics
Scandals are Ahead” The Conference Board, June 17, 2002, via Highbeam,
http://www.highbeam.com/ doc/1G1-87469997.html (accessed August 20, 2009).
30. Ibid.
31. David Slovin, “The Case for Anonymous Hotlines,” Risk & Insurance, April 15, 2007, via
FindArticles, http://findarticles. com/p/articles/mi_m0BJK/is_5_18/ai_n27221119/
(accessed August 20, 2009).
32. Mael Kaptein, “Guidelines for the Development of an Ethics Safety Net,” Journal of
Business Ethics 41 (2002): 217.
33. National Business Ethics Survey 2007, 6.
34. Curt S. Jordan, “Lessons in Organizational Compliance: A Survey of Government-Imposed
Compliance Programs,” Preventive Law Reporter (Winter 1994): 7.
35. Lori T. Martens and Kristen Day, “Five Common Mistakes in Designing and Implementing
a Business Ethics Program,” Business and Society Review 104 (1999): 163–170. Notes 497

Anda mungkin juga menyukai