Anda di halaman 1dari 11

KAJIAN TINGKAT AKURASI KOREKSI GEOMETRIK

CITRA SATELIT TEGAK RESOLUSI TINGGI


DENGAN METODE ORTHOREKTIFIKASI SECARA PARSIAL

Danang Setiaji1, Maslahatun Nashiha2


1
Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas. Badan Informasi Geospasial
2
Pusat Penelitian, Promosi dan Kerjasama. Badan Informasi Geospasial

1. PENDAHULUAN
Beberapa tahun terakhir ini, pemerintah sedang melakukan proses penyusunan rencana
tata ruang, baik di level nasional maupun regional. Berdasarkan Undang-Undang No.26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pemerintah (dalam hal ini pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah) berkewajiban untuk membuat peta tata ruang ke dalam beberapa level
penataan ruang dari skala paling kecil sampai yang paling besar. Peta tata ruang tersebut
harus dibuat secara berkesinambungan dan sinkron antara peta yang satu dengan yang lain.
Peta rencana tata ruang yang harus disusun diklasifikasikan ke dalam 2 klasifikasi, yaitu
Peta Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Peta Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR). Peta
RUTR terdiri atas Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRW Nasional), Peta
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW Provinsi), serta Peta Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kabupaten/Kota). Sementara untuk peta RRTR terdiri atas
Peta Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan (RTR Pulau/Kepulauan), Peta Rencana Tata
Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN), Peta Rencana Tata Ruang Kawasan
Strategis Provinsi (RTR KS Provinsi), Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis
Kabupaten/Kota (RTR KS Kabupaten/Kota) dan Peta Rencana Detail Tata Ruang
Kabupaten/Kota (RDTR Kabupaten/Kota).
Saat ini, sebagian peta rencana umum tata ruang telah selesai disusun baik pada level
nasional yang dibuat oleh Kementerian/Lembaga (RTRW Nasional), maupun pada level
Regional (RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten/Kota) dengan menggunakan peta dasar yaitu
Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang dibuat oleh Badan Informasi Geospasial (BIG)
berdasarkan skala yang dibutuhkan dan dimutakhirkan menggunakan citra satelit resolusi
menengah. Pemutakhiran data peta dasar tersebut menyesuaikan dengan tahun pembuatan
peta rencana tata ruang. Pembuatan peta RUTR tersebut memang belum selesai sepenuhnya
untuk wilayah se-Indonesia, tetapi sebagian besar sudah bisa disusun berdasarkan data yang
ada.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan
Ruang, jangka waktu penyusunan dan penetapan rencana rinci tata ruang paling lama adalah
24 bulan terhitung sejak pelaksanaan penyusunan rencana rinci tata ruangnya. Penyusunan
rencana rinci tata ruang disini tidak hanya terbatas pada penyusunan substansinya saja, tetapi
juga penyusunan petanya, hal ini dikarenakan peta merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari substansi.
Di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20/PRT/M/2011 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota, diatur bahwa
peta rencana detail tata ruang disusun dalam tingkat ketelitian skala 1:5.000. Penyusunan peta
dasar yang digunakan harus menggunakan sumber data yang sesuai untuk dapat mencapai
akurasi dalam tingkat ketelitian skala tersebut. Teknologi yang ada saat ini, untuk
menghasilkan peta dasar tersebut dapat menggunakan data baku berupa citra satelit resolusi

 
tinggi ataupun dengan menggunakan foto udara. Namun perlu dilakukan proses koreksi
geometrik (orthorektifikasi) untuk mendapatkan tingkat ketelitian yang di butuhkan.
Proses pengadaan citra satelit resolusi tinggi atau foto udara serta koreksi geometris pada
data tersebut tidak murah maupun tidak mudah. Diperlukan metode tertentu dan waktu untuk
menghasilkan data dengan tingkat ketelitian yang diinginkan. Data tersebut cukup mahal
dikarenakan untuk merekamnya memerlukan wahana satelit untuk mendapatkan data citra,
ataupun wahana pesawat udara untuk mendapatkan data foto udara. Sementara hingga saat
ini, BIG sebagai lembaga yang bertugas dalam penyediaan peta dasar untuk seluruh
Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan pemerintah daerah karena keterbatasan waktu
dan biaya.
Berdasarkan waktu dan jumlah anggaran yang ada, maka untuk penyusunan peta RDTR
tesebut, sebagian besar pemerintah daerah yang memiliki anggaran mengadakan data citra
satelit secara swakelola serta melakukan koreksi geometris dengan dibantu oleh pihak ketiga
atau dengan kerjasama bersama instansi pemerintah lain. Sementara itu, masih banyak
pemerintah daerah yang belum memiliki citra satelit dikarenakan keterbatasan yang ada. Oleh
karena itu pada tahun 2015, BIG bekerja sama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN) melakukan pengadaan berupa pembelian citra satelit resolusi tinggi
dalam format raw data (data mentah) untuk beberapa lokasi di Indonesia. Hal tersebut
dimaksudkan untuk membantu penyediaan data citra satelit yang diperlukan oleh pemerintah
daerah yang belum memiliki. Area of Interest (wilayah cakupan) dari pembelian citra tersebut
dapat dilihat pada Gambar.1.

Wilayah cakupan citra 
Gambar.1. Area of Interest (AOI) pengadaan citra satelit tahun 2015.

Setelah pengadaan citra dilakukan, selama tahun 2015-2016, BIG juga melakukan
pengukuran titik kontrol tanah atau Ground Control Point (GCP) dan orthorektifikasi. Namun
karena keterbatasan waktu, personil serta anggaran, proses tersebut baru dapat dilakukan di
beberapa lokasi. Beberapa wilayah yang sudah dilakukan proses tersebut antara lain adalah
citra yang meliputi seluruh Pulau Bali dan Pulau Lombok, citra yang meliputi seluruh
Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DI. Yogyakarta, serta citra yang meliputi Kota Kupang
dan wilayah sekitar Danau Toba di Provinsi Sumatera Utara.

 
Beberapa pemerintah daerah yang belum memiliki citra satelit berinisiatif untuk
memperoleh raw data citra satelit yang telah disediakan oleh BIG. Pemerintah daerah
tersebut melakukan proses pengukuran GCP dan orthorektifikasi secara swakelola dengan
ketersediaan anggaran yang dimiliki. Akan tetapi, permasalahan lain yang muncul adalah
sebagian besar raw data yang diperoleh merupakan citra satelit dengan cakupan wilayah yang
cukup besar. Dalam 1 (satu) hamparan (scene) citra, luasnya bisa mencakup beberapa
wilayah administrasi. Sementara data yang dibutuhkan oleh salah satu pemerintah daerah
yang akan menyusun rencana detail, untuk kurun waktu 1 tahun sesuai dengan perencanaan,
hanya sekitar 3-5 kecamatan saja. Ilustrasi nya dapat dilihat melalui Gambar.2. Selain itu,
ada beberapa wilayah perencanaan yang berada pada scene yang berbeda.

Batas Wilayah Perencanaan 

Gambar.2. Ilustrasi cakupan wilayah perencanaan dalam 1 scene citra satelit.


Aturan yang berlaku di BIG menjelaskan bahwa orthorektifikasi citra satelit harus
dilakukan pada 1 (satu) scene. Hal tersebut dikarenakan jika pada citra tersebut dilakukan
proses pemotongan (cropping) sebelum dilakukan proses orthorektifikasi, maka akan ada
metadata dan parameter yang hilang, sehingga mengurangi tingkat akurasi citra. Sementara
itu, untuk dapat melakukan orthorektifikasi pada 1 (satu) scene citra satelit, pemerintah
daerah terhambat oleh beberapa kendala. Kendala tersebut antara lain adalah keterbatasan
anggaran serta kesulitan dalam koordinasi dan birokrasi dengan wilayah administrasi lain
yang bersebelahan. Kesulitan dalam koordinasi dan birokrasi tersebut dikarenakan survey
dilakukan pada beberapa wilayah administrasi yang berbatasan, sementara wilayah
administrasi terkait belum tentu membutuhkan data tersebut atau belum melakukan
penganggaran untuk melakukan orthorektifikasi di area tersebut. Oleh karena itu sampai saat
ini, beberapa pemerintah daerah mengalami ketidakpastian, dikarenakan orthorektifikasi tidak
dapat dilakukan hanya pada wilayahnya saja, namun juga tidak diperkenankan membeli citra
satelit sesuai area yang akan dipetakan karena citra satelit pada area tersebut sudah tersedia.
Oleh karena itu diperlukan solusi bagaimana pemerintah daerah dapat memperoleh citra
satelit yang telah terorthorektifikasi sesuai area yang dibutuhkan.

 
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui akurasi dari 1 (satu) scene citra satelit
yang diorthorektifikasi secara parsial sesuai dengan wilayah perencanaan, apakah masih
memenuhi persyaratan akurasi geometris yang sesuai untuk pembuatan peta dasar RDTR
skala 1 : 5.000. Penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan metode alternatif dalam
orthorektifikasi citra satelit kepada pemerintah daerah untuk memperoleh citra satelit yang
terorthorektifikasi dengan akurasi yang sesuai untuk peta dasar RDTR dengan biaya, waktu
dan tenaga yang lebih efisien.

2. METODE PENELITIAN
Peta RDTR yang disusun oleh pemerintah daerah dibuat pada skala 1 : 5.000 sehingga
memerlukan data baku yang sesuai dengan skala tersebut. Data baku dalam pembuatan peta
tersebut adalah citra satelit resolusi tinggi yang telah terorthorektifikasi. Proses tersebut
dilakukan dengan menggunakan data Ground Control Point (GCP) serta data titik cek atau
Independent Check Point (ICP) dari hasil pengukuran di lapangan menggunakan GPS
geodetik dengan jumlah tertentu. Data GCP digunakan sebagai titik ikat posisi citra satelit
resolusi tinggi dalam format raw data ke dalam koordinat sebenarnya, serta dibantu data
DEM untuk proses penegakannya. Setelah proses orthorektifikasi selesai, dilakukan uji
akurasi menggunakan data ICP.

AOI Masking Wilayah Kajian 

Gambar.3. AOI masking wilayah kajian dan citra yang akan diorthorektifikasi.
Lokasi kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kabupaten Mojokerto. Lokasi
ini dipilih karena memiliki karakteristik topografi yang beraneka ragam dari dataran landai
hingga daerah pegunungan. Citra yang akan diuji adalah citra Pleiades yang terdiri atas 1
(satu) scene citra utuh yang akan di lakukan orthorektifikasi secara parsial. Luas wilayah

 
pada 1 (satu) scene utuh adalah 3.658 km2, sedangkan area yang akan diorthorektifikasi
secara parsial adalah 951 km2. Spesifikasi citra dapat dilihat melalui Tabel.1.

Tabel .1. Spesifikasi Citra Satelit


Citra Satelit DS_PHR1A_201509160253189_FR1_PX_E112S08
_0609_16671 (Pleiades)
Tahun Perekaman September 2015
Level Produk RAW (sensor)
Incident Angle 9.48°
Tutupan Awan 4.7%
DEM Terrasar-X

Sebelum dilakukan proses orthorektifikasi, dilakukan proses masking terhadap citra.


Masking dilakukan untuk membatasi suatu wilayah sehingga wilayah tersebut tidak menjadi
error (Trisakti, B., 2010). Masking citra merupakan teknik untuk memisahkan suatu objek
tertentu (yang diinginkan) dengan objek lain (yang tidak diinginkan) dengan berdasarkan
penelompokan nilai spektral pada data digital (Setiawan, F., 2011). Proses masking ini
dilakukan secara otomatis pada perangkat lunak yang digunakan untuk melakukan
orthorektifikasi. Dengan melakukan proses masking ini, maka hasil citra yang telah ter-
othorektifikasi hanya dilakukan pada batasan area masking yang diinginkan dan tidak melalui
proses cropping sebelum diorthorektifikasi, sehingga tidak ada metadata atau parameter yang
hilang serta proses orthorektifikasi menjadi lebih cepat.

AOI Masking Wilayah Kajian 
           Titik GCP 
 
Gambar.4. Sebaran titik GCP pada AOI masking wilayah kajian

 
Titik GCP diambil secara merata pada AOI citra dengan jarak ± 6 km antar titik pada
batasan area di 1 scene citra. Titik GCP yang digunakan pada area tersebut berjumlah 25 titik,
(Gambar.4). Orthorektifikasi citra dilakukan menggunakan perangkat lunak PCI Geomatica
2013 dengan menggunakan metode Toutin. Orthorektifikasi dapat dilakukan dengan beberapa
metode. Terdapat 2 (dua) metode yang umum digunakan yaitu Rational Polynomial Function
(RPF) Mathematical model dan Rigorous Mathematical model, dikenal pula sebagai Toutin
Model atau Metode Toutin. Model ini dipilih berdasarkan hasil penelitian oleh Ok, A.O., dan
M. Turker (2006) dimana hasil yang didapatkan dengan Metode Toutin merupakan hasil
dengan nilai akurasi terbaik dibandingkan model matematika lainnya seperti RPF, PF
(Polynomial Function) dan metode lainnya. Pemilihan model toutin ini dilakukan juga karena
dari hasil pemeriksaan metadata pada scene citra satelit raw yang digunakan, terdapat data
navigasi satelit saat perekaman citra, serta parameter sensor (panjang fokus dan distorsi)
yang diperlukan untuk pengolahan menggunakan model toutin (Soetaat, 2014).

Gambar.5. Diagram alir penelitian


Proses orthorektifikasi secara parsial dimulai dengan mengumpulkan data yang diperlukan
seperti data pengukuran GPS (titik GCP), data DSM (Digital Surface Model) yaitu data DEM
Terrasar-X, raw data citra satelit Pleiades, serta batasan masking AOI yang digunakan.
Masking AOI pada proses orthorektifikasi menggunakan PCI Geomatika 2013 hanya bisa
dilakukan dalam bentuk persegi dengan membatasi koordinat pada 4 sudut batas AOI (tidak
bisa langsung sesuai dengan batas wilayah perencanaan). Setelah dilakukan proses
orthorektifikasi, dilakukan clipping atau pemotongan sesuai dengan area pengukuran yang

 
dilakukan. Tahap terakhir adalah melakukan uji akurasi terhadap citra yang sudah
terorthorektifikasi. Secara lebih terstruktur, diagram alir pelaksanaan kajian ini dapat dilihat
melalui Gambar.5.

3. HASIL PENELITIAN
Orthorektifikasi adalah proses koreksi geometrik citra satelit atau foto udara menggunakan
metode matematik dan data digital elevation model (DEM) untuk memperbaiki kesalahan
geometrik citra yang bersumber dari pengaruh topografi, geometri sensor dan kesalahan
lainnya pada raw image (citra mentah). Metode tersebut dilakukan dengan menghasilkan
metode untuk menghitung posisi dan orientasi sensor satelit pada saat citra satelit tersebut di
rekam datanya (sesuai waktu perekaman pada metadata). Hasil dari orthorektifikasi adalah
citra tegak. Citra tegak adalah citra satelit yang posisi geometris nya telah terkoreksi pada
aspek internal seperti kemiringan sudut perekaman citra akibat kemiringan sensor kamera
yang menyebabkan pergeseran relief sehingga posisi objek pada permukaan bumi bergeser
dari posisi sebenarnya dan aspek eksternal seperti pengaruh topografi permukaan bumi
(Marjuki, B., 2014). Untuk lebih mudahnya, konsep orthorektifikasi tersebut dapat
digambarkan melalui Gambar.6.

Sumber : www.pcigeomatics.com/geomaticahelp/common/concepts/ortho_explainrigorous.html.
Gambar.6. Konsep Orthorektifikasi.

 
       Koordinat hasil interpretasi 
       Koordinat hasil pengukuran 

Gambar.7. Citra satelit yang belum terorthorektifikasi.

       Koordinat hasil interpretasi 
       Koordinat hasil pengukuran 
       Inset   

  
Gambar.8. Citra satelit yang telah terorthorektifikasi.
Pada saat dilakukan pengecekan, citra yang belum dilakukan orthorektifikasi memiliki
akurasi yang kurang baik dan posisi geometris suatu objek pada permukaan tanah bisa
bergeser dengan selisih yang cukup jauh. Perbandingan akurasi citra satelit pada waktu
sebelum dan sesudah orthorektifikasi dapat dilihat pada Gambar.7 dan Gambar.8. Simbol
berwarna kuning menunjukkan titik koordinat objek pada citra yang didapatkan dari hasil
intepretasi sebelum citra diorthorektifikasi, sementara simbol berwarna merah merupakan
koordinat objek dari hasil pengukuran GPS di lapangan (titik GCP). Perbandingan tersebut
dilakukan pada objek yang sama dengan membandingkan koordinat dari hasil pengamatan
GPS dengan perbandingan posisi koordinat dari intepretasi di citra satelit. Pada Gambar.7
terdapat ditunjukkan nilai pergeseran posisi sejauh 892 m pada citra satelit yang belum
dilakukan koreksi geometris, sedangkan pada Gambar 8, pada citra satelit yang telah
terorthorektifikasi, pergeseran yang terjadi hanya sejauh 0.43 m.

 
Tabel .2. Ketelitian peta dasar dalam beberapa tingkatan skala peta.

Peraturan Kepala BIG No. 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar
menjelaskan tentang standar ketelitian untuk peta dasar dalam beberapa tingkatan skala.
Secara lebih terperinci standar tersebut dapat dilihat pada Tabel.2. Berdasarkan standar,
untuk peta dasar skala 1 : 5.000 idealnya memiliki akurasi 1 m dihitung menggunakan rumus
CE90, dan minimal harus memiliki akurasi sebesar 2,5 m.
Uji akurasi dilakukan dengan menggunakan data ICP yang merupakan data titik koordinat
yang didapatkan dari pengukuran menggunakan GPS geodetik dan dilakukan bersamaan pada
saat pengukuran GCP, tetapi tidak digunakan pada saat orthorektifikasi citra satelit.
Pengujian ketelitian posisi mengacu pada perbedaan koordinat (X,Y,Z) antara titik uji pada
gambar atau peta dengan lokasi sesungguhnya dari titik uji pada permukaan tanah.
Pengukuran akurasi menggunakan root mean square error (RMSEr) atau circular error.
Pada pemetaan dua dimensi yang perlu diperhitungkan adalah koordinat (X, Y) titik uji
dan posisi sebenarnya di lapangan. Analisis akurasi posisi menggunakan root mean square
error (RMSE), yang menggambarkan nilai perbedaan antara titik uji dengan titik sebenarnya.
RMSE digunakan untuk menggambarkan akurasi meliputi kesalahan random dan sistematik.
Nilai RMSE pada koordinat 2 (dua) dimensi dirumuskan sebagai berikut:

=     

Keterangan:
n = jumlah total pengecekan pada peta
D = selisih antar koordinat yang diukur di lapagan dengan koordinat pada peta
x = nilai koordinat pada sumbu X
y = nilai koordinat pada sumbu Y

 
      Titik GCP 
      Titik ICP 
       Batas Wilayah Perencanaan  (BWP) 
Gambar.9. Sebaran ICP untuk Uji Akurasi
Setelah dilakukan proses orthorektifikasi dan clipping sesuai batas wilayah perencanaan,
luas area citra yang akan diuji akurasi adalah seluas 951 km2. Jumlah titik ICP yang
digunakan untuk melakukan uji akurasi adalah 34 titik. Sebaran titik ICP yang digunakan
untuk uji akurasi dapat dilihat pada Gambar.9. Hasil pengujian menunjukkan bahwa dari 34
titik cek, dengan nilai D2 adalah 18,112 didapatkan nilai RMSEr sebesar 0,730, nilai akurasi
horizontal CE90 sebesar 1,108 m. Nilai tersebut memenuhi standar ketelitian yang
dipersyaratkan, sehingga citra yang telah terorthorektifikasi tersebut dapat digunakan sebagai
sumber pembuatan peta dasar rencana detail untuk skala 1: 5.000.
Berdasarkan hasil pengujian tersebut, dapat disimpulkan bahwa orthorektifikasi secara
parsial dapat dilakukan pada area wilayah tertentu saja dari citra yang memiliki liputan
wilayah yang cukup besar dengan catatan, diperlukan proses masking citra sebelum citra
tersebut diorthorektifikasi.

4. KESIMPULAN
Pemetaan RDTR memerlukan data dasar yang akurat untuk menghasilkan peta rencana
detil tata ruang yang memiliki tingkat akurasi yang sesuai dengan ketelitian skala yang
berlaku. Data dasar tersebut selain akurat juga diharapkan dapat diperoleh dengan lebih
mudah dan lebih cepat dikarenakan proses penyusunan dan pengesahan Peraturan Daerah
tentang RDTR dibatasi oleh waktu dan peraturan yang berlaku. Semakin lama peraturan
daerah tersebut dibuat, semakin lama juga penerapan rencana tata ruang yang yang
diharapkan sehingga proses pembangunan akan terhambat. Metode yang dilakukan dalam
kajian ini diharapkan dapat menjadi salah satu terobosan dalam percepatan penyusunan peta
RDTR.

 
Berdasarkan hasil penelitian, metode orthorektifikasi secara parsial dapat dilakukan pada
area wilayah tertentu saja dari citra yang memiliki liputan wilayah yang cukup besar dengan
catatan, diperlukan proses masking citra sebelum citra tersebut diorthorektifikasi. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa citra satelit yang dihasilkan cukup akurat dan sesuai dengan
tingkat ketelitian minimal yang disyaratkan untuk pembuatan peta RDTR pada skala 1: 5.000.
Perlu kajian lain yang lebih mendalam, sehingga hasil penelitian ini dapat diterima sebagai
salah satu metode alternatif dalam melakukan proses orthorektfikasi citra secara parsial, baik
dari metode serta proses maupun hasilnya.

DAFTAR PUSTAKA

Geomatics, P. C. I. (1998). About PCI Geomatics. OrthoEngine reference manual, PCI


Geomatics, Ontario.
Indonesia, P. R. (2007). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
Indonesia, P. R. (2010). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010
tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Marjuki, B., 2014. http://pixelcooker.blogspot.co.id/2014/02/tutorial-orthorektifikasi-citra-
satelit.html, diakses pada tanggal 24 oktober 2016.
Ok, A.O., dan Turker, M., 2006. “Comparison of Different Mathematical Models on the
Accuracy of the Orthorectification of Aster Imagery”. International Society for
Photogrammetry and Remote Sensing Archives, Vol. XXXVI-1/W41.
Peraturan Kepala, B. I. G. No. 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar.
Setiawan, F., 2011. https://firmans08.files.wordpress.com/2011/12/modul-pengolahan-
identifikasi-mangrove.pdf, diakses pada tanggal 27 Oktober 2016.
Soetaat, Lisa R. 2014. Orthorectification (3d) of High Resolution Satellite Images, Jakarta:
PT. Waindo SpecTerra Indonesia.
Trisakti, B. (2010). Ekstraksi Otomatis Informasi DEM dari Citra Stereo PRISM-
ALOS. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan data Citra Digital,4(1).
Umum, D. P. (2010). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: No.20/PRT/M/2011
tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi
Kabupaten/Kota.
http://www.pcigeomatics.com/geomatica-help/common/concepts/ortho_explainrigorous.html,
diakses pada tanggal 31 Oktober 2016.

Anda mungkin juga menyukai