Anda di halaman 1dari 35

ANALISIS LAPORAN KASUS

PENUGASAN BLOK 3.6 MASALAH PADA LANSIA

Gout Artritis Akut dan Hipertensi derajat I

Disusun oleh:

1. Fadila Natasya Tahir (18711138)


2. Helvia Nabella (18711072)
3. Siti Nadya Pratiwi (16711137)

Tutor : dr. Novyan Lusiyana, M.Sc

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2021
BAB I
BERKAS KESEHATAN PASIEN

1.1. IDENTITAS PASIEN


Nama :-
Usia : 61 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan :-
Alamat :-
Berat Badan : 90 kg
TinggiBadan : 170 cm
Tanggal kunjungan :-

1.2. ANAMNESIS
A. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki berusia 61 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan
nyeri pada pergelangan jari kaki kanan. Nyeri telah dirasakan sejak 1 bulan
yag lalu. Nyeri bertambah berat 1 minggu terakhir hingga kesulitan
berjalan karena nyeri. Nyeri dirasakan mendadak, terutama pada malam
hari. Nyeri disertai bengkak dan rasa panas. Pasien juga mengeluh
terkadang demam, menggigil dan nyeri sendi lain.

B.Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi sejak 10 tahun terakhir
dengan pengobatan tidak rutin.

C.Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada data.

D.Riwayat kebiasaan dan lingkungan


Tidak ada data.
1.3. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan umum : Baik
B. Kesadaran : Kompos mentis
C. Tanda Vital
- Tekanan darah : 150/90 mmHg
- Suhu : 36,7 C
- Nadi : 88 kali/menit reguler
- Frekuensi napas : 18 kali/menit
D. Antropomentri
- Berat badan : 90 kg
- Tinggi badan : 170 cm
- IMT : 31,1 (sangat gemuk)
E. Status Generalis
- Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
- Leher : JVP normal
- Thorax
Paru : Kedua lapang paru normal,
Jantung : Pembesaran batas-batas jantung (+), suara
jantung ritmis, suara tambahan (-)
- Abdomen : Dalam batas nomal
- Ekstremitas : Pada sendi metatarsophalangeal pertama
kanan terdapat edema, hiperemis, nyeri
tekan, dan gerak terbatas baik aktif maupun
pasif akibat nyeri.

1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Kadar asam urat : 8 mg/dl
- Foto rontgen : Pedis Dextra dan Sinistra tampak
pembengkakan asimetris pada
metatarsophalangeal 1 dan kista subkortikal
tanpa erosi.
BAB II
ANALISIS DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

2.1. ANALISIS DIAGNOSIS


2.1.1 Analisis Anamnesis
Seorang laki-laki berusia 61 tahun mengeluhkan nyeri pada
pergelangan jari kaki kanan sejak 1 bulan lalu dan bertambah berat 1
minggu terakhir hingga kesulitan berjalan karena nyeri. Nyeri dirasakan
mendadak, terutama pada malam hari disertai bengkak dan rasa panas.
Pasien juga mengeluhkan terkadang demam, menggigil dan nyeri sendi
lain. Berdasarkan keluhan pasien, hal tersebut mengarah pada adanya
peradangan akut pada sendi seperti pada penyakit gout artritis, rhematoid
artritis atau osteoartritis (Setiati et al., 2014).. Gout artritis merupakan
penyakit peradangan pada sendi akibat deposisi kristal monosodium urat
pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat di dalam cairan
ekstraseluler. Penyakit ini dominan terjadi pada laki-laki dan jarang pada
wanita sebelum menopause. Kejadian gout artritis akan meningkat sesuai
petambahan usia (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2018). Pada
rheumatoid artritis, peradangan sendi terjadi simetris berkaitan dengan
peristiwa autoimun. Biasanya gejala dominan terjadi pada pagi hari dan
mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Pada osteoartritis, sendi
yang terlibat tidak simetris, gejala memberat pada malam hari, dan
dominan pada sendi-sendi besar seperti coxae, genu, atau vertebra.
Berdasarkan hal penjelasan di atas, diagnosis pada pasien mengarah pada
gout artritis (Setiati et al., 2014).
Serangan gout artritis akut biasanya bersifat monoartikuler dengan
keluhan utama nyeri, bengkak, terasa panas, merah dengan gejala sistemik
berupa demam, menggigil, dan merasa lelah. Lokasi paling sering pada
sendi metatarsophalangeal (MTP-1) sekitar 80-90% kasus, yang biasa
disebut podagra. Pasien tersebut mengeluhkan adanya nyeri pada
pergelangan jari kaki kanan (sendi metatarsophalangeal kanan). Pada onset
akut, nyeri yang dirasakan mendadak, terutama pada malam hari atau pagi
hari pada saat bangun tidur yang disertai kesulitan berjalan. Hal tersebut
terjadi berkaitan dengan penurunan suhu tubuh pada malam hari, dehidrasi
nokturnal relatif, atau penurunan kadar kortisol yang meningkatkan
serangan asam urat terutama di malam hari. Hal ini sesuai dengan keluhan
pasien, pasien merasakan nyeri yang memberat 1 minggu terakhir yang
dirasakan mendadak, terutama pada malam hari disertai bengkak dan rasa
panas hingga kesulitan berjalan karena nyeri. Nyeri Pasien juga
mengeluhkan terkadang demam, menggigil dan nyeri sendi lain (Setiati et
al., 2014; Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2018).
Pasien mengatakan memiliki riwayat hipertensi sejak 10 tahun
yang lalu. Menurut Naga (2012), penyakit gout dibagi menjadi dua, yaitu
gout primer yang disebabkan oleh faktor genetik dan gout sekunder yang
timbul akibat komplikasi penyakit lain (Naga, 2012). Penyakit yang
berhubungan dengan kejadian gout sekunder adalah hipertensi.
Peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol menyebabkan arteri
disekitar ginjal menyempit, melemah, atau mengeras. Kerusakan pada
arteriol glomerulus dan glomerulosklerosis akan mengurangi eksresi urat
ginjal sehingga meningkatkan risiko kejadian gout artritis (Evans et al.,
2018). Kristal monosodium urat mudah mengendap sebagai akibat dari
rangsangan mekanis yang disebabkan oleh tekanan darah (Kuwabara,
2016). Selain itu, pengobatan hipertensi dengan obat anti-hipertensi juga
dapat meningkatkan risiko serangan gout artritis. Penggunaan obat anti-
hipertensi golongan thiazide dan diuretik dapat meningkatkan kadar asam
urat serum (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2018).

2.1.2 Analisis Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan, keadaan umum pasien
tampak baik dan kesadaran kompos mentis. Pada pengukuran tanda vital
didapatkan tekanan darah 150/90 mmHg. Menurut Joint National
committee (JNC) VII, hipertensi terdiagnosis jika tekanan darah sistolik ≥
140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Berdasarkan
JNC VII, pasien ini menderita hipertensi derajat I. Pada pengukuran nadi
didapatkan hasil normal 88 kali permenit (normal 60-100 kali permenit),
suhu normal 36,7 °C (normal 36,5 - 37,5 °C), dan frekuensi pernapasan
dalam batas normal 18 kali permenit (normal 14 – 20 kali permenit)
(Setiati et al., 2014). Saat ini pasien tidak dalam kondisi sedang demam
karena hasil pemeriksaan suhu menunjukan hasil normal. Pada
pemeriksaan antropometri didapatkan berat badan pasien 90 kg dan tinggi
badan 170 cm. Hasil pengukuran indeks massa tubuh (IMT) pada pasien
ini didapatkan hasil 31,1. Menurut Kemenkes RI, IMT >27,0
dikategorikan sebagai kelebihan berat badan tingkat berat (Holil M. et al.,
2017). Obesitas menjadi salah faktor risiko gout artritis karena
meningkatkan kadar asam urat serum. Hiperurisemia dikaitkan dengan
obesitas melalui peningkatan produksi dan penurunan eksresi urat ginjal
(Evans et al., 2018).
Pada pemeriksaan status generalis tidak didapatkan tanda anemis
pada kongjungtiva dan sklera tidak ikterik. Pada pemeriksaan leher tidak
didapatan tanda gagal jantung karena JVP pasien tidak meningkat. Gagal
jantung merupakan salah satu komplikasi pada kasus hipertensi. Selain itu,
pada gout artritis, asam urat yang meningkat dalam jangka waktu lama
dapat memicu terbentuknya batu ginjal. Jika dibiarkan dapat menyebabkan
kerusakan dan kegagalan fungi ginjal. Kerusakan dan kegagalan ginjal
menyebabkan ginjal tidak cukup menghasilkan eritropoietin (EPO) secara
cukup sehingga jumlah sel darah merah akan menurun dan menyebabkan
anemia. Hal ini belum terjadi pada pasien tersebut. Pada pemeriksaan
thoraks didapatkan pembesaran batas-batas jantung dengan suara jantung
ritmis, tidak ditemukan suara jantung tambahan, dan kedua lapang paru
dalam batas normal. Hasil ini menunjukan terdapat kardiomegali pada
pasien tersebut. Kardiomegali merupakan salah-satu komplikasi yang
terjadi pada hipertensi yang kronik. Hipertrofi ventrikel kiri yang terjadi
pada hipertensi disebabkan oleh peningkatan beban jantung dalam
memompa darah melawan gradien tekanan darah perifer yang tinggi. Hasil
pemeriksaan thoraks yang lain dalam batas normal (Setiati et al., 2014,
Ikatan Dokter Indonesia, 2014).
Pada pemeriksaan abdomen pasien, didapatkan hasil dalam batas
normal. Pemeriksaan abdomen yang dilakukan dapat membantu mencari
penyebab dan komplikasi pada kondisi pasien. Adanya gangguan pada
eksresi asam urat akibat kerusakan atau kegagalan ginjal menyebabkan
hiperurisemia yang memicu gout artritis. Hiperurisemia juga merupakan
faktor risiko terbentuknya batu ginjal yang memicu kegagalan ginjal. Jika
ginjal mengalami kelainan, dapat ditemukan keabnormalan pada
pemeriksaan abdomen seperti nyeri ketok ginjal positif. Pemeriksaan
abdomen ini juga dapat mencari kemungkinan komplikasi hipertensi. Pada
pasien ini, tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan abdomen (Setiati
et al., 2014; Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2018).
Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan adanya edema,
hiperemis, nyeri tekan, dan gerak terbatas karena nyeri baik aktif maupun
pasif pada sendi metatarsophalangeal pertama. Adanya edema, hiperemis,
nyeri tekan dan gerak yang terbatas menunjukan adanya inflamasi yang
akut pada sendi metatarsophalangeal pertama. Peradangan ini dapat
disebabkan oleh deposisi kristal monosodium pada sendi. Fase awal
terbentuknya gout dimulai dengan peningkatan kadar asam urat
(hiperurisemia) yang biasanya tidak menimbulkan gejala klinis. Terdapat
faktor yang diduga mendorong terjadinya serangan gout artritis akut pada
penderita hiperurisemia adalah pH, suhu, dan kelarutan urat. Predileksi
pengendapan kristal MSU pada metatarsofalangeal-1 (MTP-1) karena
berhubungan dengan trauma ringan yang sering berulang-ulang pada
daerah tersebut. kristal monosodium urat yang menumpuk akan
berinteraksi dengan sel fagosit menimbulkan pelepasan mediator inflamasi
seperti TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, dan leukotrien yang menimbulkan reaksi
peradangan atau inflamasi akut pada sendi dan gejala sistemik. Gejala akut
pada gout artritis biasanya menyerang satu sendi, namun dapat terjadi pada
beberapa persendian. Temuan pada pemeriksaan fisik ini memperkuat
diagnosis gout artritis akut (Setiati et al., 2014; Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2018).

2.1.3 Analisis Pemeriksaan Penunjang


Pada pemeriksaan penunjang didapatkan kadar asam urat pasien 8
mg/dl dam foto rontgen pedis dextra dan sinistra tampak pembengkakan
asimetris pada metatarsophalangeal 1 dan kista subkortikal tanpa erosi.
Hiperurisemia didefinisikan sebagai peninggian kadar asam urat >7,0
mg/dl pada laki-laki dan > 6,0 mg/dl pada wanita. Hiperurisemia tanpa
gejala klinis biasanya ditandai dengan kadar asam urat serum > 6,8 mg/dl
yang berlangsung cukup lama dan berubah menjadi gout artritis.
Monosodium urat akan membentuk kristal ketika konsentrasinya berlebih,
biasanya > 7,0 mg/dl dan dipengaruhi juga oleh faktor-faktor pendorong
pembentukan kristal seperti suhu, pH, dan kelarutan urat (Setiati et al.,
2014; Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2018). Hasil pemeriksaan
asam urat pasien > 8 mg/dl menunjukan adanya peningkatan kadar asam
urat yang dapat memicu deposisi kristal asam urat pada sendi
metatarsophalangeal 1. Kemudian dikonfirmasi dengan foto rontgen pedis
dextra dan sinistra didapatkan adanya pembengkakan asimetris pada sendi
metatarsophalangeal 1 dan kista subkortikal tanpa erosi menunjukan
adanya gout artritis (Ikatan Dokter Indonesia, 2014). Temuan ini yang
kemudian membedakan gout artritis dan rhematoid artritis (RA). Pada RA
sendi yang terkena simetris kanan dan kiri dan gejala yang dialami
cenderung pada pagi hari, namun pada gout artritis sendi yang terkena
asimetris dan gejala terutama pada malam hari (Setiati et al., 2014).

2.1.4 Kriteria Diagnosis Gout artritis


Kriteria diagnosis gout artritis dapat menggunakan kriteria menurut
American College of Rheumatology (ACR)/European League against
Rheumatism (EULAR) tahun 2015 :
Tabel 1. Kriteria Gout dari ACR/EULAR 2015

Kriteria Kategori Skor


Klinis
Pola keterlibatan sendi/bursa selama episode Pergelangan kaki atau
simptomatik telapak kaki
(monoartikular atau
1
oligoartikular tanpa
keterlibatan sendi MTP-
1)
Sendi MTP-1 terlibat
dalam episode
simptomatik, dapat 2
monoartikular maupun
oligoartikular
Karakteristik episode simptomatik

 Eritema 1 karakteristik 1
 Tidak dapat menahan nyeri akibat
2 karakteristik 2
sentuhan atau penekanan pada sendi
yang terlibat 3 karakteristik 3
 Kesulitan berjalan atau tidak dapat
mempergunakan sendi yang terlibat
Terdapat ≥ 2 tanda episode simptomatik
tipikal dengan atau tanpa terapi
1 Episode tipikal 1
 Nyeri < 24 jam
 Resolusi gejala ≤ 14 hari Episode tipikal rekuren 2
 Resolusi komplit di antara episode
simptomatik
Bukti klinis adanya tofus
Nodul subkutan yang tampak seperti
kapur di bawah kulit yang transparan,
seringkali dilapisi jaringan vaskuler,
Ditemukan tofus 4
lokasi tipikal: sendi, telinga, bursa
olekranon, bantalan jari, tendon
(contohnya achilles)

Laboratoris
Asam urat serum dinilai dengan metode <4 mg/dL (<0.24
-4
urikase Idealnya dilakukan saat pasien tidak mmol/L)
sedang menerima terapi penurun asam urat
6−8 mg/dL (<0.36−
dan sudah 2
<0.48 mmol/L)
> 4 minggu sejak timbul episode
8−<10 mg/dL (0.48−
simptomatik (atau selama fase interkritikal) 3
<0.60 mmol/L)

≥10 mg/dL (≥0.60


4
mmol/L)
Analisis cairan sinovial pada sendi atau MSU negatif -2
bursa yang terlibat

Pencitraan

Bukti pencitraan deposisi urat pada sendi Terdapat tanda deposisi 4


atau bursa simptomatik: ditemukan double- urat
contour sign positif pada ultrasound atau
DECT menunjukkan adanya deposisi urat.
Bukti pencitraan kerusakan sendi akibat Terdapat bukti kerusakan 4
gout: sendi
radiografi konvensional pada tangan
dan/atau kaki menunjukkan minimal 1 erosi.

Diagnosis gout artritis ditegakkan jika didapatkan jumlah skor dari kriteria
pada tabel 1 ≥ 8. Pada pasien ini, didapatkan 13 skor, sehingga diagnosis pada
pasien ini adalah gout artritis akut. Serangan artritis akut ditandai dengan nyeri
hebat, nyeri tekan, onset tiba-tiba, disertai bengkak dengan eritema pada satu
sendi (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2018).

2.1.5 Diagnosis Kerja


Gout artritis akut dan hipertensi derajat I

2.2. DIAGNOSIS BANDING

Osteoartritis Rematoid artritis

Definisi Osteoarthritis (OA) Rheumatoid arthritis (RA) adalah


adalah kondisi penyakit inflamasi progresif tanpa
muskuloskeletal progresif pengobatan yang tepat dapat
yang mempengaruhi menyebabkan kerusakan sendi dan
pinggul dan lutut sebagai kecacatan (Heidari, 2011)
sendi penopang beban
yang dominan (Setiati et
al., 2014).

Etiologi - IDIOPATIK - Faktor Genetik


- Sekunder - autoimun
a. Usia > 50 (Setiati et al., 2014)
b. Metabolik
c. Kelainan
Anatomi/Struktur
sendi
d. Trauma
e. Inflamasi
f. obesitas
(Dragan Primorac et al,
2020)
Predileksi - Sendi-sendi Besar : Sendi-sendi kecil : PIP (Proximal
Vertebra, panggul, Interphakangeal), MCP
lutut dan pergelangan (metacarpophalangeal), MTP
kaki (metatarsophalangeal).
- mengenai sendi
- Simetris
bagian distal
- Menyerang pada membrane synovial
- Simetris
(Setiati et al., 2014)
(Setiati et al., 2014)

Manifesta - Menyerang pada - Menyerang pada pagi hari


si malam hari - Kaku di pagi hari
- Kaku di pagi hari - Berlangsung > 60 menit
berlangsung selama < (Setiati et al., 2014)
30 menit
(Setiati et al., 2014)

Radiologi Terdapat Osteofit Terdapat Periosteal


(Dragan Primorac et al, (Heidari, 2011)
2020)
BAB III
ANALISIS PENATALAKSANAAN

3.1. Allopurinol
Terapi yang dianjurkan dan merupakan terapi baku pada gout selama
periode di antara serangan akut adalah alopurinol, yang mengurangi asam
urat total dalam tubuh dengan menghambat xantin oksidase. Dosis awal
alopurinol adalah 100 mg/hari. Obat ini perlu dititrasi ke atas sampai kadar
asam urat serum di bawah 6 mg/dL; kadar ini sering dicapai dengan 300
mg/hari, tetapi tidak terbatas pada dosis ini; mungkin diperlukan dosis
hingga 800 mg/hari (Katzung et al, 2012).
a. Farmakokinetika
Alopurinol diserap sekitar 80% setelah pemberian oral dan
memiliki waktu-paruh serum terminal 1-2 jam. Seperti asam
urat, alopurinol dimetabolisasi oleh xantin oksidase, tetapi
senyawa yang dihasilkan, aloxantin, mempertahankan
kemampuan untuk menghambat xantin oksidase dan memiliki
masa kerja yang cukup lama sehingga alopurinol dapat
diberikan sekali sehari (Katzung et al, 2012).
b. Farmakodinamika
Purin dalam makanan bukan merupakan sumber penting
asam urat. Jumlah purin yang secara kuantitatif penting
terbentuk dari asam amino, format, dan karbon dioksida di
tubuh. Berbagai ribonukleotida purin yang tidak terserap ke
dalam asam nukleat dan berasal dari penguraian asam nukleat
diubah menjadi xantin atau hipoxantin dan dioksidasi menjadi
asam urat (Gambar 36-7). Alopurinol menghambat langkah
terakhir ini, menyebabkan penurunan kadar urat plasma dan
penurunan beban urat keseluruhan. Xantin dan hipoxantin yang
mudah larut meningkat (Katzung et al, 2012).
c. lndikasi
Alopurinol sering menjadi obat lini pertama untuk
mengobati gout kronik dalam periode di antara serangan dan
obat ini bertujuan untuk memperlama periode antarkritis.
Dalam memulai alopurinol, kolkisin atau OAINS perlu
digunakan sampai asam urat serum steady state menjadi normal
atau berkurang menjadi di bawah 6 mg/dL dan mereka perlu
dilanjutkan selama 3-6 bulan atau bahkan lebih lama jika perlu
(Katzung et al, 2012).
d. Efek Samping
Akibat dari perubahan akut kadar asam urat serum. Efek
samping yang mungkin terjadi yaitu intoleransi pencernaan
termasuk mual, muntah, dan diare, juga dapat terjadi neuritis
perifer dan vaskulitis nekrotikans, supresi sumsum tulang, dan,
meskipun jarang, anemia aplastik. Toksisitas hati dan nefritis
interstisialis pernah dilaporkan. Reaksi kulit alergik yang
ditandai oleh lesi makulopapular gatal terjadi pada 3% pasien.
Pernah dilaporkan kasus-kasus dermatitis eksfoliativa. Pada
kasus yang sangat jarang, alopurinol mengendap di lensa,
menimbulkan katarak (Katzung et al, 2012).
e. Interaksi Antar Obat
Efek Interaksi Allopurinol dengan antar obat ;
1) Captopril : Meningkatkan risiko reaksi hipersensitivitas
2) Amoxicillin : Meningkatkan risiko reaksi
hipersensitivitas
3) Diclofenac Sodium : Menurunkan ekskresi allopurinol
4) Ibuprofen : Menurunkan ekskresi allopurinol
(Drugbank, 2021)

3.2. Captopril
Captopril adalah golongan obat inhibitor angiotensin II yang
berfungsi untuk menurunkan tekanan darah terutama melalui penurunan
resistensi vaskular. Captopril akan menghambat enzim Angiotensin-
converting enzim (kininase II) yang menghidrolisis angiotensin I menjadi
angiotensin II. Dosis awal 12,5 mg 2 kali sehari; jika digunakan bersama
diuretika atau pada usia lanjut; awalnya 6,25 mg 2 kali sehari (dosis
pertama sebelum tidur); dosis penunjang lazim 25 mg 2 kali sehari;
maksimal 50 mg 2 kali sehari (jarang 3 kali sehari pada hipertensi berat)
(Katzung et al, 2012).
a. Farmakokinetika
Farmakokinetik captopril adalah onset kerja cepat dan masa
kerja yang singkat. Captopril diabsorpsi cepat sekitar 60‒75%
pada perut kosong. Makanan akan mengurangi bioavailabilitas
obat sekitar 24% hingga 30% (Drugbank, 2021).
b. Farmakodinamik
Captopril adalah ACE inhibtor, yang efeknya sebagai
antagonis sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS). RAAS
adalah mekanisme homeostatik untuk mengatur hemodinamik,
keseimbangan air dan elektrolit. Selama stimulasi simpatis atau
ketika tekanan darah ginjal atau aliran darah berkurang, renin
dilepaskan dari sel granular aparatus jukstaglomerulus di ginjal.
Dalam aliran darah, renin memotong angiotensinogen yang
bersirkulasi menjadi AT I, yang kemudian dipecah menjadi AT
II oleh ACE. AT II meningkatkan tekanan darah menggunakan
sejumlah mekanisme. ACE inhibitor menghambat konversi
cepat AT I menjadi AT II dan memusuhi peningkatan tekanan
darah yang diinduksi RAAS. ACE (juga dikenal sebagai
kininase II) juga terlibat dalam penonaktifan enzimatik
bradikinin, suatu vasodilator. Menghambat penonaktifan
bradikinin meningkatkan kadar bradikinin dan dapat
mempertahankan efeknya dengan menyebabkan peningkatan
vasodilatasi dan penurunan tekanan darah (Drugbank, 2021).
c. Indikasi
Hipertensi ringan sampai sedang (sendiri atau dengan terapi
tiazid) dan hipertensi berat yang resisten terhadap pengobatan
lain; gagal jantung kongestif (tambahan); setelah infark
miokard; nefropati diabetik (mikroalbuminuri lebih dari 30
mg/hari) pada diabetes tergantung insulin (BPOM, 2021).
d. Efek Samping
Hipotensi; pusing, sakit kepala, letih, astenia, mual
(terkadang muntah), diare, (terkadang konstipasi), kram otot,
batuk kering yang persisten, gangguan kerongkongan,
perubahan suara, perubahan pencecap (mungkin disertai
dengan turunnya berat badan), stomatitis, dispepsia, nyeri
perut; gangguan ginjal; hiperkalemia; angiodema, urtikaria,
ruam kulit (termasuk eritema multiforme dan nekrolisis
epidermal toksik), dan reaksi hipersensitivitas (lihat keterangan
di bawah untuk kompleks gejala), gangguan darah (termasuk
trombositopenia, neutropenia, agranulositosis, dan anemia
aplastik); gejala-gejala saluran nafas atas, hiponatremia,
takikardia, palpitasi, aritmia, infark miokard, dan strok
(mungkin akibat hipotensi yang berat), nyeri punggung, muka
merah, sakit kuning (hepatoseluler atau kolestatik),
pankreatitis, gangguan tidur, gelisah, perubahan suasana hati,
parestesia, impotensi, onikolisis, alopesia (Katzung et al,
2012).
e. Interaksi antar obat
Efek Interaksi Captopril dengan antar obat ;
1) Allopurinol : Meningkatkan risiko reaksi
hipersensitivitas, kombinasi captopril dengan
allopurinol tidak dianjurkan, terutama pada gagal ginjal
kronik
2) Amoxicillin : Menurunkan ekskresi captopril
3) Diclofenac Sodium : Meningkatkan risiko gagal ginjal,
hiperkalemia dan hipertensi
4) Ibuprofen : Meningkatkan risiko gagal ginjal,
hiperkalemia dan hipertensi (Drugbank, 2021).

3.3. Amoxicillin
Amoksisilin diberikan per oral untuk mengobati infeksi saluran
kemih, sinusitis, otitis, dan infeksi saluran napas bawah. Ampisilin dan
amoksisilin adalah antibiotik β-laktam oral yang paling aktif terhadap
pneumokokus dengan peningkatan KHM terhadap penisilin dan adalah
antibiotik β-laktam yang dianjurkan untuk mengobati infeksi yang
dicurigai disebabkan oleh galur ini (Katzung et al, 2012).
a. Farmakokinetika
Dikloksasilin, ampisilin, dan amoksisilin bersifat stabil asam dan
relatif diserap dengan baik, menghasilkan konsentrasi serum dalam
kisaran 4-8 mcg/mL setelah pemberian satu dosis 500 mg. Penyerapan
sebagian besar penisilin oral (kecuali amoksisilin) berkurang oleh
makanan, dan obat-obat ini perlu diberikan paling sedikit 1-2jam
sebelum atau setelah makan (Katzung et al, 2012).
b. Farmakodinamika
Amoksisilin secara kompetitif menghambat protein pengikat
penisilin, menyebabkan peningkatan regulasi enzim autolitik dan
penghambatan sintesis dinding sel (Katzung et al, 2012).
c. Indikasi
Amoksisilin diindikasikan untuk mengobati infeksi bakteri yang
rentan pada telinga, hidung, tenggorokan, saluran genitourinari, kulit,
dan saluran pernapasan bagian bawah. Amoksisilin yang diberikan
dengan asam kalvulanat berfungsi untuk mengobati sinusitis bakteri
akut, pneumonia, infeksi saluran pernapasan bawah, otitis media
bakteri akut, infeksi kulit dan struktur kulit, dan infeksi saluran kemih
(Katzung et al, 2012).
d. Efek Samping
Golongan penisilin biasanya ditoleransi dengan baik, dan
sayangnya, hal ini mendorong penyimpanan pemakaian dan pemakaian
yang tidak tepat. Sebagian besar dari efek samping serius disebabkan
oleh hipersensitivitas. Reaksi alergik mencakup syok anafilaktik
(sangat jarang- 0,05% dari penerima); reaksi tipe serum-sickness (kini
jarang-urtikaria, demam, pembengkakan sendi, edema angioneurotik,
gatal hebat, dan gangguan pernapasan yang terjadi 7-12 hari setelah
pajanan ); dan berbagai ruam kulit (Katzung et al, 2012).
e. Interaksi antar obat
Efek Interaksi Amoxicillin dengan antar obat ;
1) Allopurinol : Meningkatkan risiko reaksi hipersensitivitas
2) Captopril : Menurunkan ekskresi captopril
3) Diclofenac Sodium : Menurunkan tingkat ekskresi Amoksisilin
yang dapat menghasilkan tingkat serum yang lebih tinggi.
4) Ibuprofen : Menurunkan tingkat ekskresi Amoksisilin yang
dapat menghasilkan tingkat serum yang lebih tinggi (Drugbank,
2021).

3.4. Ibuprofen
Ibuprofen, NSAID, memiliki sifat analgesik, anti-inflamasi dan
antipiretik. Ini menghambat siklooksigenase-1 dan 2 dengan demikian,
juga menghambat sintesis prostaglandin. Dosis yang dianjurkan 200-250
mg 3-4 kali sehari (Katzung et al, 2012).
a. Farmakokinetika
Diserap dari saluran pencernaan, sebagian ke dalam kulit,
dan hampir sepenuhnya diserap setelah pemberian rektal.
Asupan makanan menurunkan tingkat penyerapan. Waktu
untuk mencapai konsentrasi plasma puncak: 1-2 jam (oral);
0,75 jam (rektal) (MIMS, 2021)
b. Farmakodinamika
Aktivitas anti-inflamasi OAINS terutama diperantarai oleh
inhibisi biosintesis prostaglandin (Katzung et al, 2012).

c. Indikasi
Nyeri ringan sampai sedang antara lain nyeri pada penyakit
gigi atau pencabutan gigi, nyeri pasca bedah, sakit kepala,
gejala artritis reumatoid, gejala osteoartritis, gejala juvenile
artritis reumatoid, menurunkan demam pada anak (BPOM,
2021).
d. Efek samping
Gejala umum yaitu pusing, sakit kepala, dispepsia, diare,
mual, muntah, nyeri abdomen, konstipasi, hematemesis,
melena, perdarahan lambung, ruam. Gejala tidak umum yaitu
rinitis, ansietas, insomnia, somnolen, paraestesia, gangguan
penglihatan, gangguan pendengaran, tinnitus, vertigo, asma,
dispnea, ulkus mulut, perforasi lambung, ulkus lambung,
gastritis, hepatitis, gangguan fungsi hati, urtikaria, purpura,
angioedema, nefrotoksik, gagal ginjal (BPOM, 2021).
e. Interaksi antar obat
Efek Interaksi Ibuprofen dengan antar obat;
1) Allopurinol : Menurunkan ekskresi allopurinol
2) Captopril : Meningkatkan risiko gagal ginjal,
hiperkalemia dan hipertensi
3) Amoxicillin : Menurunkan tingkat ekskresi
Amoksisilin yang dapat menghasilkan tingkat serum
yang lebih tinggi.
4) Diclofenac Sodium : Risiko atau tingkat keparahan
efek samping dapat meningkat ketika diklofenak
dikombinasikan dengan Ibuprofen (Drugbank, 2021).

3.5. Diclofenac Sodium


Diklofenak adalah suatu turunan asam fenilasetat yang merupakan
inhibitor COX relatif non-selektif. Dosis oral, 75-150 mg/hari dalam 2-3
dosis, sebaiknya setelah makan (Katzung et al, 2012).
a. Farmakodinamik
Natrium diklofenak mengikatkan diri dan berkelat pada kedua
isoform dari enzim siklooksigenase 1 (COX-1) dan 2 (COX-2). Hal ini
akan menghalangi konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin.
Inhibisi natrium diklofenak terhadap COX-2 akan meredakan rasa nyeri
dan inflamasi, dan inhibisi obat terhadap COX-1, dapat menimbulkan efek
buruk terhadap gastrointestinal (Drugbank, 2021).
b. Farmakokinetik
Diserap dari saluran pencernaan, kulit. Penurunan tingkat
penyerapan dengan makanan. Bioavailabilitas: 55%. Waktu untuk
mencapai konsentrasi plasma puncak (dalam kondisi puasa): Kira-kira 1
jam (tablet atau kapsul konvensional, supositoria); kira-kira 4-5 jam (tablet
atau kapsul extended-release); kira-kira 0,25 jam (bubuk untuk larutan
oral); kira-kira 5 menit (IV); kira-kira 20 menit (IM); 10-20 jam
(transdermal) (MIMS, 2021).
c. Indikasi
Sebagai terapi awal dan akut untuk rematik yang disertai inflamasi
dan degeneratif (artritis rematoid, ankylosing spondylitis, osteoartritis dan
spondilartritis), sindroma nyeri dan kolumna vertebralis, rematik non-
artikular, serangan akut dari gout; nyeri pasca bedah. (Katzung et al,
2012).
d. Efek Samping
AINS dapat meningkatkan ririko kejadian efek samping
gastrointestinal serius seperti pendarahan lambung, ulserasi, dan perforasi
usus dan lambung, yang dapat fatal. Kejadian ini tidak dapat diduga
sebelumnya dan tidak pasti kapan terjadinya. Pasien usia lanjut
mempunyai risiko lebih besar untuk efek samping gastrointestinal ini.
Penggunaan topikal mungkin memberikan efek samping sistemik lebih
kecil daripada penggunaan oral, namun demikian penggunaan gel jangka
lama pada daerah kulit yang luas dapat menimbulkan efek samping
sistemik (Katzung et al, 2012).
e. Interaksi antar obat
Efek Interaksi Diklofenak dengan antar obat;
1) Allopurinol : Menurunkan ekskresi allopurinol
2) Captopril : Meningkatkan risiko gagal ginjal, hiperkalemia dan
hipertensi
3) Amoxicillin : Menurunkan tingkat ekskresi Amoksisilin yang
dapat menghasilkan tingkat serum yang lebih tinggi.
4) Ibuprofen : Risiko atau tingkat keparahan efek samping dapat
meningkat ketika diklofenak dikombinasikan dengan Ibuprofen
(Drugbank, 2021).
BAB IV

USULAN PENATALAKSANAAN

4.1. Farmakologi
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, pasien
didiagnosis dengan gout artritis akut dan hipertensi derajat I. Tatalaksana yang
diberikan pada pasien ini adalah terapi farmakologi dan non farmakologi. Pilihan
terapi farmakologi yang diberikan pada gout artritis akut adalah golongan NSAID,
kolkisin dan kortikosteroid. Pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak
terkontrol selama 10 tahun, dan temuan pemeriksaan fisik didapatkan adanya
komplikasi berupa pembesaran batas-batas jantung. Pada kondisi terebut, pasien
dikontraindikasikan untuk diberikan NSAID dan kortikosteroid. Hal tersebut
karena pemakaian NSAID memicu peningkatan tekanan darah dan menurunkan
efektvitas obat anti-hipertensi. Selain itu, penggunaan kortikosteroid
meningkatkan efek samping pada kardiovaskular. Berdasarkan hal tersebut, terapi
yang diberikan pada pasien ini adalah kolkisin dengan dosis awal 1 mg diikuti 0,5
mg setiap 2-3 jam sampai rasa nyeri hilang atau terjadi muntah atau diare, atau
hingga dosis total 10 mg tercapai. Kolkisin aman diberikan pada pasien hipertensi
dan penyakit kardiovaskular. Efek samping kolkisin sering menyebabkan diare
dan kadang mual, muntah, dan nyeri abdomen (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2018, Katzung et al, 2012).

Obat penurun asam urat seperti alopurinol tidak disarankan memulai


terapinya pada saat serangan gout akut. Obat penurun asam urat dimulai setelah
serangan akut reda. Pencegahan serangan selama pengobatan awal dapat
menggunakan obat penurun asam urat golongan xantin oksidase yaitu alopurinol.
Dosis dimulai 100 mg perhari, dosis ditingkatkan sampai kadar asam urat serum
di bawah 6 mg/dL. Kadar ini sering dicapai dengan dosis 300 mg/hari, dan dosis
maksimal 900 mg/hari. Penggunaan obat ini tidak dianjurkan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Efek samping penggunaan alopurinol adalah mual,
muntah, diare, juga dapat terjadi neuritis perifer dan vaskulitis nekrotikans. Untuk
meminimalisir efek samping pada gastrointestinal, dapat diberikan ranitidin
dengan dosis 150 mg sebanyak 2 kali sehari (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2018, Katzung et al, 2012).

Hipertensi pada pasien diatasi dengan menggunakan anti-hipertensi


golongan calsium channel blocker dihidropiridin yaitu amlodipin. Mekanisme
kerja amlodipin menginhibisi influk ion kalsium ke otot polos pembuluh darah
dan otot jantung sehingga menurunkan resistensi vaskular, memperlancar aliran
darah menuju jantung, dan mengurangi aliran darah. Dosis yang digunakan pada
pasien ini adalah 5-10 mg perhari. Tidak ditemukan interaksi amlopidin dengan
alopurinol sehingga aman digunakan untuk pasien ini. Efek samping penggunaan
amlodipin adalah nyeri abdomen, mual, wajah memerah, edema, gangguan tidur,
pusing dan sakit kepala (Katzung et al, 2012).

4.2. Non Farmakologi dan Edukasi


a. Kondisi pasien saat ini menderita gout artritis akut dan hipertensi
derajat I. Terjadinya gout artritis (asam urat) dipicu oleh kadar asam
urat yang tinggi di darah. Hal ini bisa disebabkan oleh diet tinggi
purin, penggunaan obat hipertensi golongan diuretik atau thiazid, berat
badan berlebih, dan hipertensi (Perhimpunan Reumatologi Indonesia,
2018; Ikatan Dokter Indonesia, 2014).
b. Obat yang diberikan untuk mengobati nyeri, menurunkan kadar asam
urat, penurun tekanan darah, dan mencegah gangguan gastrointestinal
karena efek samping obat. Penjelasan mengenai obat, dosis dan efek
samping yang mungkin terjadi. Kolkisin untuk konsumsi awal 2 tablet
atau 1 mg kemudian untuk 2 jam berikutnya 1 tablet 0,5 mg. Obat
diminum setiap 2-3 jam sampai gejala nyeri membaik. Untuk obat
penurun asam urat diminum saat gejala akutnya sudah membaik
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2018; Ikatan Dokter Indonesia,
2014).
c. Minum cukup (8-10 gelas perhari) (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2018; Ikatan Dokter Indonesia, 2014).
d. Menurunkan berat badan (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2018;
Ikatan Dokter Indonesia, 2014).
e. Diet rendah purin. Jangan mengkonsumsi makanan tinggi purin
seperti jeroan, hati, dan ginjal. Kurangi konsumsi daging sapi, domba,
makanan laut (kerang, kepiting, lobster, udang, tiram). Diet yang
dianjurkan adalah sayur-sayuran. Namun hindari sayuran tinggi purin
seperti bayam, asparagus, kacang hijau, dan kembang kol)
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2018; Ikatan Dokter Indonesia,
2014).
f. Hindari minuman bersoda dan tinggi pemanis fruktosa. Kurangi
konsumsi jus dari buah yang manis, gula dapur, minuman berpemanis,
dan garam dapur. Diet yang dianjurkan adalah susu rendah atau tanpa
lemak (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2018; Ikatan Dokter
Indonesia, 2014).
g. Latihan fisik atau olahraga rutin 3-5 kali seminggu selama 30 menit.
Olahraga meliputi latihan kekuatan otot, fleksibilitas otot dan sndi,
dan ketahanan kardiovaskular. Hindari olahraga yang berlebhan dan
bereiko trauma sendi (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2018;
Ikatan Dokter Indonesia, 2014).
BAB V
PENULISAN RESEP OBAT

dr. Helvia Natasya Pratiwi


SIP 1234567890
Alamat : Jl. Kaliurang km 14,5
Telp. 082 223344
Yogyakarta, 30 Juli 2021

R/ Colchicine tab 0,5 mg No X


S q.2.h tab I prn ( jika nyeri )

R/ Allopurinol tab 100 mg No X


S 2 dd tab I p.c

R/ Ranitidine tab 150 mg No X


S 2 dd tab I p.c

R/ Amlodipin tab 10 mg No X
S 1 dd tab I p.c

Pro : Tn X
Umur : 61 Tahun
Alamat : -
BAB VI

FORM PEMERIKSAAN GERIATRI (10 MENIT SKRINING GERIATRIC)

A. IDENTITAS
Nama Pasien : ibu sukati
Jenis Kelamin : perempuan
Umur :-
Agama : Islam
Pendidikan :-
Alamat :-

B. 10 MENIT PEMERIKSAAN PENYARING/SKRINING TERHADAR


KONDISI GERIATRI

No PROBLEM CARA HASIL HASIL


. PEMERIKSAAN POSITIF

1. Penglihatan Ada 2 bagian : Terdapat Ya


1. Pertanyaan : ketidakmampuan
Pasien
“apakah anda melihat dalam
tidak punya
mempunyai jarak > 20/40
kesulitan
kesulitan dalam dengan kartu
dalam
berkendara, snellen.
membaca
menonton TV atau
dengan
membaca atau
kaca mata.
melakukan aktivitas
Namun saat
sehari-hari karena
melepas
penglihatan anda?”
kaca mata
2. Jika ya : Lakukan pasien sulit
tes mata dengan melihat.
kartu snellen saat
pasien memakai
lensa koreksi (bila
memungkinkan)
Atau jika tidak
memungkinkan bisa
juga dilakukan tes
membaca Koran
dan hitung jari.

2. Pendengara Menggunakan Ketidakmampua Tidak


n audioskope pada 40 n untuk
dB, tes pendengaran mendengar Pasien bisa
dengan 1000 dan frekuensi 1000- mendengar
2000 Hz. 2000 Hz atau tes tetapi
Jika tidak bisik pada kedua hanya suara
memungkinkan telinga atau di bisik-bisik
lakukan tes bisik salah satu saja.
pada masing- telinga.
masing telinga
pasien

Cat : melakukan tes


berbisik pada jarak
60 cm dari samping
pasien, dengan cara
menyebutkan tiga
angka atau huruf,
kemudian meminta
responden
menyebutkan apa
yang dibisikkan.
3. Mobilitas - Catat waktu Tidak mampu Ya
Kaki yang melakukan
dipergunakan instruksi dalam Pasien
pasien untuk 15 detik berjalan 5
melakukan langkah
instruksi : maju dan 5
“Berdiri dari langkah
kursi, jalan 10 mundur
langkah (jarak 3 dalam 16
meter), kembali detik.
ke kursi, duduk
kembali” secara
berurutan.
- Cat : jalan
paling cepat
semampunya
4. Inkoninesia Ada 2 bagian : Ya untuk kedua Tidak
urin 1. Pertanyaan : pertanyaan Pasien
“Tahun lalu apakah mengataka
anda pernah n tidak
mengompol?” pernah
2. Jika Ya : mengompol
“Pernahkah anda
mengompol dalam
waktu enam hari
terakhir?”

5. Nutrisi, Ada 2 bagian: Jika terdapat Ya


Penurunan 1. Pertanyaan: “ penurunan berat
berat badan Apakah berat anda badan 5 kg Terdapat
turun 5 kg dalam 6 dalam 6 bulan penurunan
bulan ini tanpa atau berat badan BB pasien.
usaha untuk itu?” yang < 50 kg
2. Timbanglah berat
badan pasien.

6. Memori Menyebutkan Tidak dapat Ya


kembali 3 benda menyebutkan
(pada awal kembali setelah Pasien
pemeriksaan pasien lebih dari 1 hanya
diberi perintah menit mampu
untuk mengingat 3 menyebut 1
benda yang benda saja.
diucapkan
pemeriksa untuk
diingat kembali jika
ditanyakan oleh
pemeriksa)

7. Depresi Pertanyaan : Ya untuk Tidak


“Apakah anda pertanyaan
sering merasa tersebut Pasien
sedih/kesepian/hidu tidak
p terasa menunjuka
hampa/merasa tidak n tanda
puas dengan depresi
kehidupan?”
(Catatan: dengan
menggunakan
bahasa yang mudah
dipahami
responden)

8. Keterbatasa Ada 6 pertanyaan: Tidak salah satu Ya


n Fisik Apakah anda atau lebih
dapat……..” pertanyaan Pasien
1. “melakukan tersebut tidak bisa
aktivitas berat berjalan
seperti jalan cepat cepat atau
atau bersepeda?” bersepeda
2. “pekerjaan berat
di rumah seperti
membersihkan
jendela, pintu,
dinding?”
3. “pergi belanja ke
tempat grosir atau
kain?”
4. “pergi ke suatu
tempat yang agak
jauh dengan
berjalan?”
5. “mandi, baik
dengan spon, bak
mandi, shower?”
6. “berpakaian
seperti memakai
kaos,
mengancingkan dan
menarik ritsleting,
memakai sepatu?”

KESIMPULAN 10 MENIT PEMERIKSAAN SKRINING GERIATRI


Ditemukan adanya keterbatasan dan penurunan pada pasien yaitu keterbatas pada
mobilitas kaki, memori, nutrisi dan penurunan berat badan serta keterbatasan
fisik.

KRITIK 10 MENIT PEMERIKSAAN SKRINING GERIATRI

Sebelum melakukan pemeriksaan skrining geriatri pemeriksa sudah


meminta izin dan kesediaan pasien. Pemeriksa sudah memperkenalkan diri dan
menanyakan identitas nama pasien. Pada identitas, pemeriksa hanya menanyakan
nama. Sebaiknya identitas yang ditayakan kepada pasien meliputi alamat, usia,
dan pendidikan. Selama melakukan pemeriksaan menggunakan bahasa dan sikap
yang sopan, volume suara sedang, tidak terburu-buru, namun terdapat beberapa
kalimat pemeriksa yang masih kurang jelas dipahami oleh pasien, sehingga pasien
harus mengulannya dua kali. Selain itu, terdapat suara-suara bising kendaraan
yang lalu – lalang sehingga suara pemeriksa maupun pasien kadang tidak
terdengar jelas oleh pengamat. Sebaiknya menggunakan perekam suara.

Pemeriksa telah melakukan delapan penilaian pemeriksaan skrining


geriatri. Pada pemeriksaan penglihatan didapatkan adanya keterbatasan, yaitu
pasien tidak dapat membaca jika tidak menggunakan kaca mata. Saat dilakukan
tes baca menggunakan kacamata pasien dapat membaca. Namun, terdapat
kesalahan pada pemeriksa yaitu tidak menanyakan keterbatasan aktivitas sehari-
hari tanpa menggunakan kaca mata seperti menonton TV, berkendara, dan lain-
lain. Pada pemeriksaan pendengaran, pasien dapat mendengarkan suara dibisikan
namun kata yang dibisikan tidak jelas. Pada pemeriksaan pendengaran terdapat
kesalahan yaitu pemeriksa tidak memberikan instruksi untuk menutup salah satu
telinga yang tidak diperiksa, pemeriksa juga tidak mengukur jarak satu lengan,
dan hanya memperkirakan jaraknya saja. Pada pemeriksaan mobilitas kaki
didapatkan pasien mampu berdiri dan berjalan, berjalan sedikit gementar dan
waktu berjalan >15 detik. Pasien berjalan 10 langkah dalam waktu 16 detik. Saran
untuk pemeriksa sebaiknya dipastikan bahwa jarak pemeriksaan sudah tepat yaitu
3 meter, pemeriksa harus memberikan instruksi bahwa jalan secepat yang pasien
bisa, pemeriksa sebaiknya menggunakan stopwacth dalam menghitung, tidak
menggunakan hitungan jari.

Pada pemeriksaan inkontinensia urin, tidak ditemukan riwayat mengompol


yang dialami pasien. Saran untuk pemeriksa sebaiknya menanyakan kaitan
mengompol dengan waktu, seperti “Tahun lalu apakah anda pernah
mengompol?” atau “pernahkah anda mengompol dalam waktu enam hari terakhir.
Pada pemeriksaan nutrisi dan berat badan, ditemukan adanya penurunan berat
badan. Pasien mengatakan “dulu berat berat badan saya 55 kg, sekarang 48 kg,
umur berapa ya mba 29 tahun”. Informasi yang disampaikan kurang jelas,
sehingga perlu ditanya atau dikonfirmasi lagi oleh pemeriksa seperti maksud dari
usia 29 tahun yang disampaikan pasien, apakah penurunan tersebut dalam 6 bulan
ini, dan pemeriksa sebaiknya menanyakan apakah penurunan BB tanpa usaha atau
ada faktor tertentu yang mendasari. Pada pemeriksaan ini tidak dilakukan
penimbangan berat badan atau menanyakan berat badan saat ini. Pada
pemeriksaan depresi, pemeriksa sudah menyakan perasangan pasien saat ini,
apakah merasa sedih, kesepian, dan merasa tidak bersyukur dengan kehidupan ini.
Hasilnya tidak ditemukan adanya tanda-tanda depresi. Pada pemeriksaan
keterbatasan fisik, terdapat adanya keterbatasan fisik pada pasien yaitu pasien
tidak dapat berjlalan cepat atau bersepeda. Pada pemeriksaan ini, terdapat
kesalahan pada pemeriksa yaitu tidak menanyakan 6 pertanyaan yang harus
ditanyakan, pemeriksa hanya menanyakan 5 pertanyaan saja. Sebaiknya
pemeriksa juga menanyakan, mandi yang dilakukan pasien apakah menggunakan
spon, bak mandi, atau shower, tidak hanya menanyakan apakah bisa mandi
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Naga, Sholeh S. (2012). Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit


Dalam.Yogyakarta: Diva Press.

Holil M. Par’i, Sugeng Wiyono, Titus Priyo Harjatmo. (2017). Bahan Ajar
Penilaian Status Gizi. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas


Pelayanan Kesehatan Primer (2014). 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia.

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. (2014) Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I dan II .Edisi VI. Jakarta: InternaPublishing; 1132-53.

Dragan Primorac , Vilim Molnar , Eduard Rod Željko Jeleˇc , Fabijan ˇCukelj ,
Vid Matiši´c , Trpimir Vrdoljak , Damir Hudetz, H. H. and Bori´c, and I. (2020)
‘Knee Osteoarthritis : A Review of Pathogenesis and’, Genes, 11(8), pp. 854–889.

Evans, P. L. et al. (2018) ‘Obesity, hypertension and diuretic use as risk factors
for incident gout: A systematic review and meta-analysis of cohort studies’,
Arthritis Research and Therapy, 20(1), pp. 1–15. doi: 10.1186/s13075-018-1612-
1.

Heidari, B. (2011) ‘Rheumatoid arthritis: Early diagnosis and treatment


outcomes’, Caspian Journal of Internal Medicine, 2(1), pp. 161–170.

Kuwabara, M. (2016) ‘Hyperuricemia, Cardiovascular Disease, and


Hypertension’, Pulse, 3(3–4), pp. 242–252. doi: 10.1159/000443769.

Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2018) Rekomendasi Pedoman Diagnosis


dan Pengelolaan Gout.

Katzung, Bertram G. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. EGC, Jakarta

DrugBank. 2021. The Drug Bank Database IS Unique Bioformatics and


Cheminformatics Resource that Combines Detailed Drug Data with
Comprehensive Drug Target Information
https://go.drugbank.com/drugs/DB00437. Diakses tanggal 29 Juli 2021

DrugBank. 2021. The Drug Bank Database IS Unique Bioformatics and


Cheminformatics Resource that Combines Detailed Drug Data with
Comprehensive Drug Target Information
https://go.drugbank.com/drugs/DB01197. Diakses tanggal 29 Juli 2021

DrugBank. 2021. The Drug Bank Database IS Unique Bioformatics and


Cheminformatics Resource that Combines Detailed Drug Data with
Comprehensive Drug Target Information
https://go.drugbank.com/drugs/DB01060. Diakses tanggal 29 Juli 2021

DrugBank. 2021. The Drug Bank Database IS Unique Bioformatics and


Cheminformatics Resource that Combines Detailed Drug Data with
Comprehensive Drug Target Information
https://go.drugbank.com/drugs/DB01050. Diakses tanggal 29 Juli 2021

BPOM. 2021. Informasi Obat Asli Indonesia. Jakarta: Badan Pengaasan Obat dan
Makanan Republik Indonesia. http://pionas.pom.go.id/monografi/kaptopril.
Diakses tanggal 29 Juli 2021

BPOM. 2021. Informasi Obat Asli Indonesia. Jakarta: Badan Pengaasan Obat dan
Makanan Republik Indonesia. http://pionas.pom.go.id/monografi/ampisilin.
Diakses tanggal 29 Juli 2021

BPOM. 2021. Informasi Obat Asli Indonesia. Jakarta: Badan Pengaasan Obat dan
Makanan Republik Indonesia. http://pionas.pom.go.id/monografi/ibuprofen.
Diakses tanggal 29 Juli 2021

BPOM. 2021. Informasi Obat Asli Indonesia. Jakarta: Badan Pengaasan Obat dan
Makanan Republik Indonesia. http://pionas.pom.go.id/monografi/amlodipin.
Diakses tanggal 29 Juli 2021
BPOM. 2021. Informasi Obat Asli Indonesia. Jakarta: Badan Pengaasan Obat dan
Makanan Republik Indonesia. http://pionas.pom.go.id/monografi/amlodipin.
Diakses tanggal 29 Juli 2021

MIMS. 2021 . The Monthly Index of Medical Specialities.


https://www.mims.com/indonesia/drug/info/ibuprofen?mtype=generic. Diakses
tanggal 29 Juli 2021

MIMS. 2021 . The Monthly Index of Medical Specialities.


https://www.mims.com/indonesia/drug/info/ibuprofen?mtype=generic. Diakses
tanggal 29 Juli 2021

MIMS. 2021 . The Monthly Index of Medical Specialities.


https://www.mims.com/indonesia/drug/info/diclofenac?mtype=generic. Diakses
tanggal 29 Juli 2021

Anda mungkin juga menyukai