Laporan Analisis Kasus Gout Atritis Dan HT Derajat 1
Laporan Analisis Kasus Gout Atritis Dan HT Derajat 1
Disusun oleh:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2021
BAB I
BERKAS KESEHATAN PASIEN
1.2. ANAMNESIS
A. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki berusia 61 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan
nyeri pada pergelangan jari kaki kanan. Nyeri telah dirasakan sejak 1 bulan
yag lalu. Nyeri bertambah berat 1 minggu terakhir hingga kesulitan
berjalan karena nyeri. Nyeri dirasakan mendadak, terutama pada malam
hari. Nyeri disertai bengkak dan rasa panas. Pasien juga mengeluh
terkadang demam, menggigil dan nyeri sendi lain.
Eritema 1 karakteristik 1
Tidak dapat menahan nyeri akibat
2 karakteristik 2
sentuhan atau penekanan pada sendi
yang terlibat 3 karakteristik 3
Kesulitan berjalan atau tidak dapat
mempergunakan sendi yang terlibat
Terdapat ≥ 2 tanda episode simptomatik
tipikal dengan atau tanpa terapi
1 Episode tipikal 1
Nyeri < 24 jam
Resolusi gejala ≤ 14 hari Episode tipikal rekuren 2
Resolusi komplit di antara episode
simptomatik
Bukti klinis adanya tofus
Nodul subkutan yang tampak seperti
kapur di bawah kulit yang transparan,
seringkali dilapisi jaringan vaskuler,
Ditemukan tofus 4
lokasi tipikal: sendi, telinga, bursa
olekranon, bantalan jari, tendon
(contohnya achilles)
Laboratoris
Asam urat serum dinilai dengan metode <4 mg/dL (<0.24
-4
urikase Idealnya dilakukan saat pasien tidak mmol/L)
sedang menerima terapi penurun asam urat
6−8 mg/dL (<0.36−
dan sudah 2
<0.48 mmol/L)
> 4 minggu sejak timbul episode
8−<10 mg/dL (0.48−
simptomatik (atau selama fase interkritikal) 3
<0.60 mmol/L)
Pencitraan
Diagnosis gout artritis ditegakkan jika didapatkan jumlah skor dari kriteria
pada tabel 1 ≥ 8. Pada pasien ini, didapatkan 13 skor, sehingga diagnosis pada
pasien ini adalah gout artritis akut. Serangan artritis akut ditandai dengan nyeri
hebat, nyeri tekan, onset tiba-tiba, disertai bengkak dengan eritema pada satu
sendi (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2018).
3.1. Allopurinol
Terapi yang dianjurkan dan merupakan terapi baku pada gout selama
periode di antara serangan akut adalah alopurinol, yang mengurangi asam
urat total dalam tubuh dengan menghambat xantin oksidase. Dosis awal
alopurinol adalah 100 mg/hari. Obat ini perlu dititrasi ke atas sampai kadar
asam urat serum di bawah 6 mg/dL; kadar ini sering dicapai dengan 300
mg/hari, tetapi tidak terbatas pada dosis ini; mungkin diperlukan dosis
hingga 800 mg/hari (Katzung et al, 2012).
a. Farmakokinetika
Alopurinol diserap sekitar 80% setelah pemberian oral dan
memiliki waktu-paruh serum terminal 1-2 jam. Seperti asam
urat, alopurinol dimetabolisasi oleh xantin oksidase, tetapi
senyawa yang dihasilkan, aloxantin, mempertahankan
kemampuan untuk menghambat xantin oksidase dan memiliki
masa kerja yang cukup lama sehingga alopurinol dapat
diberikan sekali sehari (Katzung et al, 2012).
b. Farmakodinamika
Purin dalam makanan bukan merupakan sumber penting
asam urat. Jumlah purin yang secara kuantitatif penting
terbentuk dari asam amino, format, dan karbon dioksida di
tubuh. Berbagai ribonukleotida purin yang tidak terserap ke
dalam asam nukleat dan berasal dari penguraian asam nukleat
diubah menjadi xantin atau hipoxantin dan dioksidasi menjadi
asam urat (Gambar 36-7). Alopurinol menghambat langkah
terakhir ini, menyebabkan penurunan kadar urat plasma dan
penurunan beban urat keseluruhan. Xantin dan hipoxantin yang
mudah larut meningkat (Katzung et al, 2012).
c. lndikasi
Alopurinol sering menjadi obat lini pertama untuk
mengobati gout kronik dalam periode di antara serangan dan
obat ini bertujuan untuk memperlama periode antarkritis.
Dalam memulai alopurinol, kolkisin atau OAINS perlu
digunakan sampai asam urat serum steady state menjadi normal
atau berkurang menjadi di bawah 6 mg/dL dan mereka perlu
dilanjutkan selama 3-6 bulan atau bahkan lebih lama jika perlu
(Katzung et al, 2012).
d. Efek Samping
Akibat dari perubahan akut kadar asam urat serum. Efek
samping yang mungkin terjadi yaitu intoleransi pencernaan
termasuk mual, muntah, dan diare, juga dapat terjadi neuritis
perifer dan vaskulitis nekrotikans, supresi sumsum tulang, dan,
meskipun jarang, anemia aplastik. Toksisitas hati dan nefritis
interstisialis pernah dilaporkan. Reaksi kulit alergik yang
ditandai oleh lesi makulopapular gatal terjadi pada 3% pasien.
Pernah dilaporkan kasus-kasus dermatitis eksfoliativa. Pada
kasus yang sangat jarang, alopurinol mengendap di lensa,
menimbulkan katarak (Katzung et al, 2012).
e. Interaksi Antar Obat
Efek Interaksi Allopurinol dengan antar obat ;
1) Captopril : Meningkatkan risiko reaksi hipersensitivitas
2) Amoxicillin : Meningkatkan risiko reaksi
hipersensitivitas
3) Diclofenac Sodium : Menurunkan ekskresi allopurinol
4) Ibuprofen : Menurunkan ekskresi allopurinol
(Drugbank, 2021)
3.2. Captopril
Captopril adalah golongan obat inhibitor angiotensin II yang
berfungsi untuk menurunkan tekanan darah terutama melalui penurunan
resistensi vaskular. Captopril akan menghambat enzim Angiotensin-
converting enzim (kininase II) yang menghidrolisis angiotensin I menjadi
angiotensin II. Dosis awal 12,5 mg 2 kali sehari; jika digunakan bersama
diuretika atau pada usia lanjut; awalnya 6,25 mg 2 kali sehari (dosis
pertama sebelum tidur); dosis penunjang lazim 25 mg 2 kali sehari;
maksimal 50 mg 2 kali sehari (jarang 3 kali sehari pada hipertensi berat)
(Katzung et al, 2012).
a. Farmakokinetika
Farmakokinetik captopril adalah onset kerja cepat dan masa
kerja yang singkat. Captopril diabsorpsi cepat sekitar 60‒75%
pada perut kosong. Makanan akan mengurangi bioavailabilitas
obat sekitar 24% hingga 30% (Drugbank, 2021).
b. Farmakodinamik
Captopril adalah ACE inhibtor, yang efeknya sebagai
antagonis sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS). RAAS
adalah mekanisme homeostatik untuk mengatur hemodinamik,
keseimbangan air dan elektrolit. Selama stimulasi simpatis atau
ketika tekanan darah ginjal atau aliran darah berkurang, renin
dilepaskan dari sel granular aparatus jukstaglomerulus di ginjal.
Dalam aliran darah, renin memotong angiotensinogen yang
bersirkulasi menjadi AT I, yang kemudian dipecah menjadi AT
II oleh ACE. AT II meningkatkan tekanan darah menggunakan
sejumlah mekanisme. ACE inhibitor menghambat konversi
cepat AT I menjadi AT II dan memusuhi peningkatan tekanan
darah yang diinduksi RAAS. ACE (juga dikenal sebagai
kininase II) juga terlibat dalam penonaktifan enzimatik
bradikinin, suatu vasodilator. Menghambat penonaktifan
bradikinin meningkatkan kadar bradikinin dan dapat
mempertahankan efeknya dengan menyebabkan peningkatan
vasodilatasi dan penurunan tekanan darah (Drugbank, 2021).
c. Indikasi
Hipertensi ringan sampai sedang (sendiri atau dengan terapi
tiazid) dan hipertensi berat yang resisten terhadap pengobatan
lain; gagal jantung kongestif (tambahan); setelah infark
miokard; nefropati diabetik (mikroalbuminuri lebih dari 30
mg/hari) pada diabetes tergantung insulin (BPOM, 2021).
d. Efek Samping
Hipotensi; pusing, sakit kepala, letih, astenia, mual
(terkadang muntah), diare, (terkadang konstipasi), kram otot,
batuk kering yang persisten, gangguan kerongkongan,
perubahan suara, perubahan pencecap (mungkin disertai
dengan turunnya berat badan), stomatitis, dispepsia, nyeri
perut; gangguan ginjal; hiperkalemia; angiodema, urtikaria,
ruam kulit (termasuk eritema multiforme dan nekrolisis
epidermal toksik), dan reaksi hipersensitivitas (lihat keterangan
di bawah untuk kompleks gejala), gangguan darah (termasuk
trombositopenia, neutropenia, agranulositosis, dan anemia
aplastik); gejala-gejala saluran nafas atas, hiponatremia,
takikardia, palpitasi, aritmia, infark miokard, dan strok
(mungkin akibat hipotensi yang berat), nyeri punggung, muka
merah, sakit kuning (hepatoseluler atau kolestatik),
pankreatitis, gangguan tidur, gelisah, perubahan suasana hati,
parestesia, impotensi, onikolisis, alopesia (Katzung et al,
2012).
e. Interaksi antar obat
Efek Interaksi Captopril dengan antar obat ;
1) Allopurinol : Meningkatkan risiko reaksi
hipersensitivitas, kombinasi captopril dengan
allopurinol tidak dianjurkan, terutama pada gagal ginjal
kronik
2) Amoxicillin : Menurunkan ekskresi captopril
3) Diclofenac Sodium : Meningkatkan risiko gagal ginjal,
hiperkalemia dan hipertensi
4) Ibuprofen : Meningkatkan risiko gagal ginjal,
hiperkalemia dan hipertensi (Drugbank, 2021).
3.3. Amoxicillin
Amoksisilin diberikan per oral untuk mengobati infeksi saluran
kemih, sinusitis, otitis, dan infeksi saluran napas bawah. Ampisilin dan
amoksisilin adalah antibiotik β-laktam oral yang paling aktif terhadap
pneumokokus dengan peningkatan KHM terhadap penisilin dan adalah
antibiotik β-laktam yang dianjurkan untuk mengobati infeksi yang
dicurigai disebabkan oleh galur ini (Katzung et al, 2012).
a. Farmakokinetika
Dikloksasilin, ampisilin, dan amoksisilin bersifat stabil asam dan
relatif diserap dengan baik, menghasilkan konsentrasi serum dalam
kisaran 4-8 mcg/mL setelah pemberian satu dosis 500 mg. Penyerapan
sebagian besar penisilin oral (kecuali amoksisilin) berkurang oleh
makanan, dan obat-obat ini perlu diberikan paling sedikit 1-2jam
sebelum atau setelah makan (Katzung et al, 2012).
b. Farmakodinamika
Amoksisilin secara kompetitif menghambat protein pengikat
penisilin, menyebabkan peningkatan regulasi enzim autolitik dan
penghambatan sintesis dinding sel (Katzung et al, 2012).
c. Indikasi
Amoksisilin diindikasikan untuk mengobati infeksi bakteri yang
rentan pada telinga, hidung, tenggorokan, saluran genitourinari, kulit,
dan saluran pernapasan bagian bawah. Amoksisilin yang diberikan
dengan asam kalvulanat berfungsi untuk mengobati sinusitis bakteri
akut, pneumonia, infeksi saluran pernapasan bawah, otitis media
bakteri akut, infeksi kulit dan struktur kulit, dan infeksi saluran kemih
(Katzung et al, 2012).
d. Efek Samping
Golongan penisilin biasanya ditoleransi dengan baik, dan
sayangnya, hal ini mendorong penyimpanan pemakaian dan pemakaian
yang tidak tepat. Sebagian besar dari efek samping serius disebabkan
oleh hipersensitivitas. Reaksi alergik mencakup syok anafilaktik
(sangat jarang- 0,05% dari penerima); reaksi tipe serum-sickness (kini
jarang-urtikaria, demam, pembengkakan sendi, edema angioneurotik,
gatal hebat, dan gangguan pernapasan yang terjadi 7-12 hari setelah
pajanan ); dan berbagai ruam kulit (Katzung et al, 2012).
e. Interaksi antar obat
Efek Interaksi Amoxicillin dengan antar obat ;
1) Allopurinol : Meningkatkan risiko reaksi hipersensitivitas
2) Captopril : Menurunkan ekskresi captopril
3) Diclofenac Sodium : Menurunkan tingkat ekskresi Amoksisilin
yang dapat menghasilkan tingkat serum yang lebih tinggi.
4) Ibuprofen : Menurunkan tingkat ekskresi Amoksisilin yang
dapat menghasilkan tingkat serum yang lebih tinggi (Drugbank,
2021).
3.4. Ibuprofen
Ibuprofen, NSAID, memiliki sifat analgesik, anti-inflamasi dan
antipiretik. Ini menghambat siklooksigenase-1 dan 2 dengan demikian,
juga menghambat sintesis prostaglandin. Dosis yang dianjurkan 200-250
mg 3-4 kali sehari (Katzung et al, 2012).
a. Farmakokinetika
Diserap dari saluran pencernaan, sebagian ke dalam kulit,
dan hampir sepenuhnya diserap setelah pemberian rektal.
Asupan makanan menurunkan tingkat penyerapan. Waktu
untuk mencapai konsentrasi plasma puncak: 1-2 jam (oral);
0,75 jam (rektal) (MIMS, 2021)
b. Farmakodinamika
Aktivitas anti-inflamasi OAINS terutama diperantarai oleh
inhibisi biosintesis prostaglandin (Katzung et al, 2012).
c. Indikasi
Nyeri ringan sampai sedang antara lain nyeri pada penyakit
gigi atau pencabutan gigi, nyeri pasca bedah, sakit kepala,
gejala artritis reumatoid, gejala osteoartritis, gejala juvenile
artritis reumatoid, menurunkan demam pada anak (BPOM,
2021).
d. Efek samping
Gejala umum yaitu pusing, sakit kepala, dispepsia, diare,
mual, muntah, nyeri abdomen, konstipasi, hematemesis,
melena, perdarahan lambung, ruam. Gejala tidak umum yaitu
rinitis, ansietas, insomnia, somnolen, paraestesia, gangguan
penglihatan, gangguan pendengaran, tinnitus, vertigo, asma,
dispnea, ulkus mulut, perforasi lambung, ulkus lambung,
gastritis, hepatitis, gangguan fungsi hati, urtikaria, purpura,
angioedema, nefrotoksik, gagal ginjal (BPOM, 2021).
e. Interaksi antar obat
Efek Interaksi Ibuprofen dengan antar obat;
1) Allopurinol : Menurunkan ekskresi allopurinol
2) Captopril : Meningkatkan risiko gagal ginjal,
hiperkalemia dan hipertensi
3) Amoxicillin : Menurunkan tingkat ekskresi
Amoksisilin yang dapat menghasilkan tingkat serum
yang lebih tinggi.
4) Diclofenac Sodium : Risiko atau tingkat keparahan
efek samping dapat meningkat ketika diklofenak
dikombinasikan dengan Ibuprofen (Drugbank, 2021).
USULAN PENATALAKSANAAN
4.1. Farmakologi
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, pasien
didiagnosis dengan gout artritis akut dan hipertensi derajat I. Tatalaksana yang
diberikan pada pasien ini adalah terapi farmakologi dan non farmakologi. Pilihan
terapi farmakologi yang diberikan pada gout artritis akut adalah golongan NSAID,
kolkisin dan kortikosteroid. Pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak
terkontrol selama 10 tahun, dan temuan pemeriksaan fisik didapatkan adanya
komplikasi berupa pembesaran batas-batas jantung. Pada kondisi terebut, pasien
dikontraindikasikan untuk diberikan NSAID dan kortikosteroid. Hal tersebut
karena pemakaian NSAID memicu peningkatan tekanan darah dan menurunkan
efektvitas obat anti-hipertensi. Selain itu, penggunaan kortikosteroid
meningkatkan efek samping pada kardiovaskular. Berdasarkan hal tersebut, terapi
yang diberikan pada pasien ini adalah kolkisin dengan dosis awal 1 mg diikuti 0,5
mg setiap 2-3 jam sampai rasa nyeri hilang atau terjadi muntah atau diare, atau
hingga dosis total 10 mg tercapai. Kolkisin aman diberikan pada pasien hipertensi
dan penyakit kardiovaskular. Efek samping kolkisin sering menyebabkan diare
dan kadang mual, muntah, dan nyeri abdomen (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2018, Katzung et al, 2012).
R/ Amlodipin tab 10 mg No X
S 1 dd tab I p.c
Pro : Tn X
Umur : 61 Tahun
Alamat : -
BAB VI
A. IDENTITAS
Nama Pasien : ibu sukati
Jenis Kelamin : perempuan
Umur :-
Agama : Islam
Pendidikan :-
Alamat :-
Holil M. Par’i, Sugeng Wiyono, Titus Priyo Harjatmo. (2017). Bahan Ajar
Penilaian Status Gizi. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. (2014) Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I dan II .Edisi VI. Jakarta: InternaPublishing; 1132-53.
Dragan Primorac , Vilim Molnar , Eduard Rod Željko Jeleˇc , Fabijan ˇCukelj ,
Vid Matiši´c , Trpimir Vrdoljak , Damir Hudetz, H. H. and Bori´c, and I. (2020)
‘Knee Osteoarthritis : A Review of Pathogenesis and’, Genes, 11(8), pp. 854–889.
Evans, P. L. et al. (2018) ‘Obesity, hypertension and diuretic use as risk factors
for incident gout: A systematic review and meta-analysis of cohort studies’,
Arthritis Research and Therapy, 20(1), pp. 1–15. doi: 10.1186/s13075-018-1612-
1.
Katzung, Bertram G. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. EGC, Jakarta
BPOM. 2021. Informasi Obat Asli Indonesia. Jakarta: Badan Pengaasan Obat dan
Makanan Republik Indonesia. http://pionas.pom.go.id/monografi/kaptopril.
Diakses tanggal 29 Juli 2021
BPOM. 2021. Informasi Obat Asli Indonesia. Jakarta: Badan Pengaasan Obat dan
Makanan Republik Indonesia. http://pionas.pom.go.id/monografi/ampisilin.
Diakses tanggal 29 Juli 2021
BPOM. 2021. Informasi Obat Asli Indonesia. Jakarta: Badan Pengaasan Obat dan
Makanan Republik Indonesia. http://pionas.pom.go.id/monografi/ibuprofen.
Diakses tanggal 29 Juli 2021
BPOM. 2021. Informasi Obat Asli Indonesia. Jakarta: Badan Pengaasan Obat dan
Makanan Republik Indonesia. http://pionas.pom.go.id/monografi/amlodipin.
Diakses tanggal 29 Juli 2021
BPOM. 2021. Informasi Obat Asli Indonesia. Jakarta: Badan Pengaasan Obat dan
Makanan Republik Indonesia. http://pionas.pom.go.id/monografi/amlodipin.
Diakses tanggal 29 Juli 2021