Anda di halaman 1dari 13

AL ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN (AIK)

Revitalisasi Pendidikan Muhammadiyah


Dosen Pengampuh: Dr. Muhammad Ali Bakri, S.Sos., M.Pd

Disusun oleh:

Kelompok 10
Erdina Melyani Aris (105461159922)
Nur Rezky Ramadani (105461159722)
Azwan Samad (105461160711)

Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan Gelombang 2


Pendidikan Bahasa Inggris
Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan dan Keguruan
Universitas Muhammadiyah Makassar
2023
DAFTAR ISI

Daftar Isi
BAB 1 Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II Pembahasan

A. Definisi Istilah
B. Pendidikan Muhammadiyah
C. Hubungan Revitalisasi dengan Pendidikan Muhammadiyah
D. Problem Pendidikan Muhammadiyah
BAB III Penutup
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Satu hal yang perlu direspons secara positif manakala membincangkan


tentang Muhammadiyah ialah kemampuannya dalam melintasi setiap
pergerakan zaman yang berbeda. Bagi Muhammadiyah, upayanya selama ini
untuk mempertahankan diri dari berbagai macam “godaan” dan “cobaan”
bukanlah suatu hal yang mudah. Dari zaman kolonial, prakemerdekaan,
kemerdekaan, era orde lama, orde baru, hingga orde reformasi saat ini,
Muhammadiyah tetap eksis dalam mewujudkan tatanan masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya.
Telah banyak para pengamat dan pemikir yang memberikan apresiasi
terhadap upaya-upaya yang diselenggarakan Muhammadiyah. Satu sisi, terdapat
cendekiawan muslim yang mengatakan jika eksistensi Muhammadiyah hingga
usianya mencapai satu abad (seratus tahun) ini disebabkan karena
Muhammadiyah cenderung kooperatif terhadap setiap kebijakan yang muncul.
Selama kebijakan tersebut tidak bertentangan dan merugikan umat Islam, maka
Muhammadiyah tetap akan akomodatif.
Di sisi lain, pola gerakan yang dikembangkan Muhammadiyah
cenderung ke arah pemberdayaan masyarakat, dibandingkan ranah politik.
Artinya, Muhammadiyah bu-kanlah organisasi politik layaknya partai politik,
tetapi gerakan sosial keagamaan. Hal inilah yang secara jelas membedakan
Muhammadiyah dengan “Saudara Tuanya” (Syarikat Islam) yang mengambil
ranah politik dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam. Sejak Indonesia
belum mendeklarasikan dirinya sebagai bangsa yang merdeka, Muhammadiyah
telah menyelenggarakan kegiatan pemberantasan buta huruf, pendi-rian
lembaga-lembaga pendidikan, sosial-ekonomi, dan juga menggiatkan kajian
kea-gamaan. Realitas kesejarahan inilah yang telah menjadikan Mitsuo
Nakamura menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi yang memiliki banyak
wajah (dzu wujuh).
Memang, setiap orang yang mengkaji tentang amal usaha
Muhammadiyah, khususnya dalam bidang pendidikan, akan dihadapkan pada
dua hal, yaitu: rasa bangga dan juga miris. Perasaan bangga akan muncul
manakala data-data kuantitatif coba disajikan ke permukaan. Bagaimana
mungkin sebuah organisasi sosial keagamaan layaknya Muhammadiyah mampu
mengelola dan mendirikan ribuan amal usaha pendidikan, mengelola ratusan
ribu guru dan dosen, dan jutaan anak didik. Begitu besarnya jumlah amal usaha
pendidikan yang dikelola Muhammadiyah acapkali menjadikan banyak orang
yang terpukau. Imam Prihadiyoko, dkk misalnya telah menyebut bahwa
Muhammadiyah merupakan “raksasa pendidikan”.
Sementara, perasaan miris justru akan muncul apabila disajikan data-
data yang terkait dengan kondisi dan bahkan kualitas pendidikan
Muhammadiyah. Tidak sedikit amal usaha pendidikan Muhammadiyah yang
belum terkelola dengan baik. Meski ada sebagian di antara institusi pendidikan
Muhammadiyah yang memiliki kualitas yang relatif baik dan mampu bersaing
dengan lembaga pendidikan lainnya. Namun, sebagi-an besar di antaranya
justru masih berjalan di tempat. Bahkan, ada sebagian di antara-nya yang
“mengekor” lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang baru saja tumbuh dan
berkembang pasca reformasi.
Realitas demikian itu tentunya dapat dipahami, karena suatu amal
usaha dengan jumlah yang besar pasti di antaranya terdapat sejumlah “produk
gagal”, sehingga me-nyebabkan mutu produk rata-rata atau secara keseluruhan
menurun. Banyaknya “produk gagal” tentu saja akan berdampak pada keluaran
(out put) pendidikan. Ketika banyak lembaga pendidikan Muhammadiyah yang
belum mampu mem-produk anak didik sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan
masyarakat, maka hal ini secara langsung berdampak pada kurangnya
kepercayaan (trust) publik.
Saat ini, tanda-tanda “bergesernya” kepercayaan masyarakat itu sedikit
banyak sudah mulai nampak. Dari sekian banyak gejala yang telah
menunjukkan tanda-tanda tersebut adalah sikap masyarakat yang telah
menempatkan lembaga pendidikan Mu-hammadiyah berada pada urutan nomor
dua, setelah sekolah negeri ataupun sekolah- sekolah swasta berlabel Islam non
Muhammadiyah. Menghadapi realitas de-mikian, perasaan gusar, galau, dan
bahkan hilangnya rasa percaya diri telah hinggap di sebagian pengelola
pendidikan Muhammadiyah. Ironisnya, hadirnya perasaan se-macam itu juga
melahirkan disorientasi kognisi di antara sebagian pengelola pendidi-kan
Muhammadiyah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari istilah Revitalisasi dan Pendidikan
2. Bagaimana Pendidikan Muhammadiyah?
3. Bagaimana Hubungan Revitalisasi dan Pendidikan Muhammadiyah?
4. Apa Problem Pendidikan Muhammadiyah?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Istilah
1. Revitalisasi
Kata dasar dari revitalisasi yaitu “vital”, artinya penting. Kata “re”
sebelum kata “vital” bisa diartikan sebagai proses pengulangan, dan atau
sikap sadar untuk melakukan upaya atau usaha. Jadi kata “revitalisasi” itu
berarti upaya untuk melakukan perbaikan (pementingan) dari beberapa
kekurangan yang yang ada dan diketahui sebelumnya.
Perbaikan, maksud arti dari kata revitalisasi biasanya lebih sering
digunakan untuk hal-hal yang tidak nampak secara kasat mata. Seperti
paradigma, konsep dan yang lain-lain.
Sementara dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti
proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang
sebelumnya kurang terberdaya.
2. Pendidikan
Pendidikan adalah proses yang secara sengaja direncanakan oleh
pendidik dan dialami oleh peserta didik dalam bentuk interaksi antara
pendidik dan peserta didik di lingkungan pendidikan dan menjadikan
materi pendidikan sebagai sarana pembelajaran menuju perbaikan
tingkah laku, sikap, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan
seperti yang diinginkan pendidik.
Sedangkan Ahmad Marimba mendefinisikan pendidikan
sebagai suatu bimbingan atau pembinaan secara sadar oleh pendidik
terhadap perkembangan jasamani dan rohani peserta didik menuju
kepribadian yang utama.
Prinsip dari rencana pendidikan itu biasanya dilakukan dengan penuh
sadar untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kemampuan dan keterampilan yang diperlukan dirinya untuk terjun di
tengah-tengah masyarakat.

B. Pendidikan Muhammadiyah
Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah
(Dikdasmen) Muhammadiyah Pusat periode 2000-2005, acapkali melontarkan
wacana “Robohnya Sekolah Muhammadiyah” untuk menggambarkan betapa
rendahnya rata-rata kualitas dan mutu sekolah yang diselenggarakan
Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan Muhammadiyah juga muncul
berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-nilai Islam dalam perilaku warga
sekolah, belum berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke batas
termurah, belum sanggup menciptakan kultur islami yang representatif, telah
kehilangan identitasnya, dan lebih kooperatif dengan kelompok penekan.
Berbagai kritik tersebut tidak cukup dijawab hanya dengan perombakan
kurikulum, peningkatan gaji guru, pembangunan gedung sekolah ataupun
pengucuran dana. Untuk menyahuti dan menuntaskan problem-problem itu
harus ada keberanian untuk membongkar akar permasalahan yang
sesungguhnya, yaitu karena belum tersedianya orientasi filosofi pendidikan
Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan modern dan islami. Karena
adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa atau suatu
umat disebabkan tidak terutama oleh keterbelakangan infrastruktur yang
mendukungnya tetapi oleh perangkat konsep yang mendasarinya.
Dalam usia Muhammadiyah menjelang satu abad dengan jumlah
lembaga pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan
Perguruan Tinggi ribuan, adalah suatu yang aneh Muhammadiyah belum
mempunyai filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin kerja hiruk-pikuk
pendidikan tanpa satu panduan cita-cita yang jelas? Apakah lagi bila dikaitkan
dengan upaya mendidik dalam rangka pembentukan generasi ke depan.
Ketiadaan penjabaran filsafat pendidikan ini, menurut Mahsun Suyuthi,
merupakan sumber utama masalah pendidikan di Muhammadiyah. Bahkan
Rusli Karim menengarai bahwa kekosongan orientasi filosofis ini ikut
bertanggung jawab atas penajaman dikotomi antara “ilmu-ilmu keagamaan”
dan “ilmu umum”, yang pada giliran berikutnya akan melahirkan generasi
yang berkepribadian ganda yang tidak menutup kemungkinan justru akan
melahirkan “musuh” dalam selimut. Dengan demikian, sudah tinggi waktunya
untuk bergegas mencoba menjajagi kemungkinan munculnya satu alternatif
rumusan pendidikan Muhammadiyah sebagai ikhtiar meniti jalan baru
pendidikan Muhammadiyah. Menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah
belum memiliki rumusan filosofis bukan berarti tidak ada sama sekali
perbincangan ke arah itu. Laporan seminar nasional filsafat pendidikan
Muhammadiyah Majlis Dikdasmen Muhammadiyah Pusat, telah mulai
menyinggung pembahasan tentang filsafat pendidikan Muhammadiyah,
terutama tulisan A. Syafii Maarif yang berjudul “Pendidikan Muhammadiyah,
aspek normatif dan filosofis”. Sesuai dengan temanya, Maarif hanya
menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah (aspek normatif) dan
orientasi filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan Yunahar
Ilyas dan Muhammad Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-
Qur’an yang ditulis oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, berusaha
mengelaborasi konsep-konsep pendidikan di dalam Al-Qur’an dan
mendialogkan wahyu dengan perkembangan teori-teori pendidikan mutakhir.
Karya terakhir yang patut dipertimbangkan adalah buku Paradigma Intelektual
Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah karya Abdul Munir
Mulkhan, seorang aktifis Muhammadiyah. Menurutnya, kemacetan
intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu pengetahuan dan teknologi di
dunia Muslim akibat berkembangnya semacam “ideologi ilmiah” yang
menolak apapun yang bukan berasal dari Islam.
"Dan Allah mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui dan
adalah karunia Allah yang besar kepadamu" (QS. An-Nisa': 113)
Dari ayat-ayat tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan
dan pembelajaran adalah penting dalam Islam, dan manusia dianjurkan untuk
selalu belajar dan meningkatkan ilmu pengetahuannya. Muhammadiyah
sebagai organisasi Islam juga menekankan pentingnya pendidikan dalam
mewujudkan misi keislaman dan kemanusiaan.

C. Hubungan Revitalisasi dengan Pendidikan Muhammadiyah


Revitalisasi adalah suatu proses untuk menghidupkan kembali atau
memulihkan sesuatu yang telah mengalami kemunduran atau kejatuhan,
termasuk dalam hal ini adalah organisasi. Pendidikan Muhammadiyah
merupakan salah satu bidang kerja utama dari organisasi Muhammadiyah.
Dalam konteks Muhammadiyah, revitalisasi dapat berarti upaya untuk
mengembalikan semangat dan misi awal organisasi Muhammadiyah, yang
bercita-cita untuk memperbaiki umat manusia melalui pendidikan. Sebagai
organisasi yang memiliki latar belakang keagamaan Islam, Muhammadiyah
memiliki tujuan untuk menghasilkan generasi Muslim yang cerdas, berakhlak
mulia, dan dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.
Dalam hal ini, revitalisasi dapat membantu memperkuat dan
memperbaharui pendekatan, strategi, dan metode pendidikan yang digunakan
oleh Muhammadiyah untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan memperbaharui
kurikulum, metode pengajaran, dan penggunaan teknologi pendidikan yang
lebih efektif, Muhammadiyah dapat menghasilkan lulusan yang lebih
berkualitas dan siap menghadapi tantangan zaman.
Selain itu, revitalisasi juga dapat membantu meningkatkan kualitas
manajemen dan organisasi Muhammadiyah di bidang pendidikan. Dengan
mengadopsi praktik manajemen modern dan inovatif, Muhammadiyah dapat
memperkuat struktur organisasi dan memperbaiki pengelolaan sumber daya
manusia, keuangan, dan infrastruktur pendidikan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang erat
antara revitalisasi dengan pendidikan Muhammadiyah. Upaya revitalisasi
dapat membantu memperkuat dan memperbaharui pendekatan pendidikan
Muhammadiyah, serta meningkatkan kualitas manajemen dan organisasi di
bidang pendidikan. Hal ini diharapkan dapat memperkuat posisi
Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi yang berkontribusi dalam
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia
D. Problem Pendidikan Muhammadiyah
Kesenjangan antara cita dan fakta dalam dunia pendidikan
Muhammadiyah inilah yang dengan serta-merta diungkap oleh Farid
Setiawan, Sucipto, dan Desti Liana Kurniati. Melalui buku “Mengokohkan
Spirit Pendidikan Muhammadiyah” ini, ketiga kader Muhammadiyah itu
mencoba melakukan autokritik terhadap pergeseran orientasi dan
penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyah. Analisis demi analisis
diungkapkan secara tajam dari bab ke bab dan halaman ke halaman. Bahkan,
untuk memperkuat argumentasinya, para penulis buku ini juga tidak “segan-
segan” menghadirkan para pakar pendidikan Muhammadiyah sebagai penulis
prolog dan epilog.
Problem pendidikan Muhammadiyah terletak pada empat hal, yakni:
problem ideologis, problem paradigmatik, profesionalisme manajemen, serta
pengembangan pendidikan. 
Pertama, problem ideologis. Salah satu penyebab mendasar mengenai
problem ideologis ini adalah penekanan aspek profesionalitas pada saat
penerimaan tenaga pendidik dan kependidikan Muhammadiyah.
Bagaimanapun, pertimbangan profesionalitas pegawai merupakan aspek yang
penting. Akan tetapi, pertimbangan ideologis juga tak kalah pentingnya
dibandingkan kompetensi profesional seseorang.
Apa jadinya jika lembaga pendidikan Muhammadiyah yang telah
tumbuh besar dan mengurat berakar, namun dikendalikan oleh para pimpinan
yang mengedepankan aspek profesionalitas semata? Bukan tidak mungkin
apabila hal itu dapat menimbulkan perceraian antara pimpinan amal usaha
dengan pimpinan Muhammadiyah. Telah banyak kasus di lapangan yang
sesungguhnya menunjukkan adanya indikasi perceraian kedua pimpinan
tersebut. Meskipun problem perceraian itu di latar belakangi oleh banyak
faktor, namun pada umumnya keadaan tersebut didorong oleh “miskinnya”
pengalaman dan pengetahuan para pimpinan amal usaha pendidikan terhadap
hakikat perjuangan Muhammadiyah.
Kedua, problem paradigmatik. Problem ini sesungguhnya muncul
akibat “kegagalan” para pimpinan amal usaha pendidikan dalam menafsirkan
serta memahami maksud dan tujuan Muhammadiyah. “Kegagalan” yang
dimaksud terletak pada satu bentuk kesalahan dalam memaknai sejarah. Para
pimpinan amal usaha pendidikan tidak lagi melihat sejarah secara kritis,
sehingga seringkali terjebak pada romantisme seja-rah itu sendiri. Dalam hal
ini, kejayaan sejarah Muhammadiyah, terlebih kesuksesan amal usaha
pendidikan yang dikelolanya, bukan lagi ditempatkan sebagai epos masa lalu
yang mengandung hikmah dan ibrah untuk dijadikan bekal dalam menatap
masa depan. Dengan demikian menjadi wajar apabila banyak ditemukan
institusi pendidikan Muhammadiyah yang cenderung bangga dengan
kemapanan, sehingga hal itu ber-dampak pada keringnya inovasi untuk
mengembangkan diri.
Ketiga, problem profesionalisme manajemen. Sebagaimana diketahui
bahwa amal usaha pendidikan Muhammadiyah umumnya lahir, tumbuh, dan
berkembang dari bawah (grass root), seperti tokoh-tokoh Muhammadiyah
yang didukung oleh masyarakat sekitar. Tujuannya pun juga jelas, di mana
para tokoh tersebut ingin menjadikan lembaga pendidikan Muhammadiyah
sebagai sarana dakwah, upaya sosialisasi dan penanaman ajaran Islam di
tengah-tengah masyarakat.
Keempat problem pengembangan pendidikan. Problem ini
sesungguhnya tidak sepenuhnya menjadi tanggungjawab pengelola lembaga
pendidikan, seperti Kepala dan warga sekolah. Dalam hal ini, problem
pengembangan pendidikan Muhammadiyah lebih ditujukan kepada pihak
penyelenggara, yakni persyarikatan dan khususnya Majelis Pendidikan Dasar
dan Menengah (Dikdasmen). Sampai saat ini, Majelis Dikdasmen belum
memiliki blue print yang jelas mengenai pola pengembangan pendidikan
Muhammadiyah. Kerja-kerja praktis (untuk tidak dikatakan pragmatis)
administratif dan birokratis telah menjebak penyelenggara pendidikan
Muhammadiyah dalam menjalankan kegiatan-kegiatan rutinan.
BAB III

PENUTUP

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa materi revitalisasi


pendidikan Muhammadiyah sangat penting untuk memperbaharui dan memperkuat
pendekatan, strategi, dan manajemen organisasi di bidang pendidikan
Muhammadiyah. Revitalisasi dapat membantu Muhammadiyah menghasilkan lulusan
yang lebih berkualitas dan siap menghadapi tantangan zaman, serta memperbaiki
kualitas manajemen dan organisasi pendidikan.

Upaya revitalisasi pendidikan Muhammadiyah juga diharapkan dapat


memperkuat posisi Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi yang berkontribusi
dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, pendekatan
pendidikan Muhammadiyah harus terus diperbaharui dan disesuaikan dengan
perkembangan zaman agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat
dan umat manusia secara umum.

Anda mungkin juga menyukai