Anda di halaman 1dari 20

TANTANGAN PEMBELAJARAN PAI DI PERGURUAN

TINGGI
Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pembelajaran PAI di Sekolah

Disusun Oleh:
Kelompok 13

Widya Ayu Lestari 1830202319


Widia Sari 1830202321
Yuni Andriyani 1830202328

Dosen Pengampu:
Irja Putra Pratama, M. Pd. I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2021
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan pilar yang penting dalam menuntut setiap
perubahan. Sebagai pilar atau dasar bagi perubahan maka pendidikan
mempunyai beban berat untuk mengupayakan perubahan tersebut dan telah
terbukti dalam sejarah Indonesia maupun dunia , bahwa pendidikan adalah
agent of change menuju perbaikan taraf berfikir dan perubahan status dalam
hidup masyarakat. Pendidikan juga merupakan proses transformasi budaya
dan nilai-nilai luhur kepribadian yang dilaksanakan secara sistematis dan
terprogram. Masalah pendidikan merupakan masalah dinamika seiring
dengan perkembangan zaman dan budaya manusia. Usaha-usaha perbaikan
dalam pendidikan mulai dari faktor pendidik, sarana pendidikan, lingkungan
pendidikan, sistem pendidikan yang senantiasa dilakukan oleh praktisi
pendidikan. Semua itu adalah termasuk upaya dan usaha manusia dalam
pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia.1
Menghadapi keadaan yang demikian itu dunia pendidikan pada umumnya
dan pendidikan Islam pada khususnya kini berada di persimpangan jalan,
yakni antara jalan untuk mengikuti tarikan eksternal sebagai pengaruh era
globalisasi, atau tarikan internal yang merupakan misi utama pendidikan yaitu
membentuk manusia seutuhnya, yaitu manusia yang terbina seluruh
potensinya secara seimbang.2
Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan oleh
pendidik untuk membentuk kepribadian peserta didik sesuai dengan ajaran
dan nilai-nilai Islami (Islamic values). Didalam rangka untuk
mengimplementasikan pendidikan Islam tersebut diperlukan perangkat-
perangkatnya, seperti: tujuan, lembaga, kurikulum, pendidik, metode dan
evaluasi.3

1
Yahya Aziz, Penguatan Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi
Umum, Jurnal Sosial Humaniora, Vol. 4, No.2, (2011), hlm. 145
2
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2012), hlm. 2.
3
Haidar Putra Daulay dan Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam dalam Lintasan Sejarah,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 195-196

1
Pendidikan Islam diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan yang
terbagi menjadi tiga hal. Pertama, Pendidikan Islam sebagai lembaga
diakuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam secara exsplisit. Kedua,
Pendidikan Islam sebagai Mata Pelajaran diakuinya pendidikan agama
sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan pada tingkat dasar sampai
perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan Islam sebagai nilai (value) yakni
ditemukannya nilai-nilai Islami dalam sistem pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia yang salah satunya
diimplementasikan dalam bentuk mata pelajaran pendidikan agama Islam
(PAI) di semua jenjang pendidikan, mengandung tantangan untuk segera
dijawab dengan perbaikan mutu pendidikan dan usaha-usaha antisipasi
terhadap dampak yang muncul.4

B. Pengertian Tantangan Pembelajaran PAI di Perguruan Tinggi


Tantangan adalah suatu hal atau bentuk usaha yang memiliki tujuan untuk
menggugah kemampuan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tantangan
berasal dari kata dasar yang artinya hal atau obyek yang perlu ditanggulangi.
Tantangan juga dapat diartikan sebagai hal atau obyek yang menggugah tekad
untuk meningkatkan kemampuan mengatasi masalah.5
Mulanya pendidikan Islam disebut dengan kata “ta’dib”. Kata “ta’dib”
mengacu pada pengertian yang lebih tinggi, dan mencakup unsure-unsur
pengetahuan ('ilm) pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah).
Akhirnya dalam perkembangan kata ta’dib sebagai istilah pendidikan telah
hilang peredarannya, dan tidak dikenal lagi, sehingga ahli pendidikan Islam
bertemu dengan istilah At Tarbiyah atau Tarbiyah, sehingga sering disebut
Tarbiyah. Sebenarnya kata ini berasal dari kata “Robba-yurabbi-Tarbiyatan”

4
Imam Mawardi, Pengembangan Model Pembelajaran untuk Meningkatkan Life Skills
Peserta Didik, (2012), Universitas Pendidikan Indonesia, hlm. 2, diakses dari repository.upi.edu
5
https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/skola/read/2020/12/11/153857069/tek
s-tantangan-pengertian-ciri-struktur-kaidah-kebahasaan, diakses pada 24 Januari 2021

2
yang artinya tumbuh dan berkembang. Maka dengan demikian populerlah
istilah “tarbiyah” diseluruh dunia Islam untuk menunjuk pendidikan Islam.6
Pendidikan agama Islam adalah usaha bimbingan dan asuhan terhadap
siswa agar setelah dari pendidikan dapat memahami apa yang terkandung di
dalam Islam secara keseluruhan, menghayati makna dan maksud tertentu
serta tujuannya yang pada akhirnya mereka dapat mengamalkannya. Selain
itu diharapkan bahwa semua ajaran-ajaran agama Islam yang telah dianutnya
itu sebagai pandangan hidupnya, sehingga dapat mendatangkan keselamatan
dunia dan akhirnya.7 Menurut Ahmad Tafsir pendidikan agama Islam adalah
bimbingan yang diberikan seseorang kepada seseorang agar ia berkembang
secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.8
Pendidikan Agama Islam tujuannya haruslah mengacu pada penanaman
nilai-nilai Islam dan tidak dibenarkan melupakan etika sosial atau moralitas
sosial. Penanaman nilai-nilai ini juga dalam rangka menuai keberhasilan
hidup (hasanah) di dunia bagi anak didik yang kemudian akan mampu
membuahkan kebaikan (hasanah) di akhirat kelak.9
Perguruan tinggi adalah tahap akhir opsional pada pendidikan formal.
Biasanya disampaikan dalambentuk universitas, akademi, colleges, seminari,
sekolah, musik, dan institut teknologi. Peserta didik perguruan tinggi disebut
mahasiswa, sedangkan tenaga pendidiknya disebut dosen. Berdasarkan
kepemilikannya, perguruan tinggi dibagi menjadi dua yaitu: perguruan tinggi
dan perguruan tinggi swasta.10
Jadi, tantangan pembelajaran PAI di perguruan tinggi merupakan masalah
yang timbul dari pembelajaran PAI yang dijalankan di tingkat perguruan
tinggi tidak berjalan sesuai dengan tujuan dari PAI itu sendiri, dimana harus
dihadapi dengan kebijakan atau peluang-peluang yang ada dengan baik

6
Abu Ahmadi dkk., Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hlm. 111
7
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 88
8
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1992), hlm. 24
9
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis kompetensi
(Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004), (Bandung: Ramaja Rosdakarya, 2006), hlm. 136
10
https://id.wikipedia.org/wiki/Perguruan_tinggi, diakses pada 24 Januari 2021

3
sehingga masalah tersebut dapat teratasi. Tantangan yang dihadapi
Pendidikan Agama Islam sebagai sebuah mata pelajaran adalah bagaimana
mengimplementasikan pendidikan agama Islam bukan hanya mengajarkan
pengetahuan tentang agama akan tetapi bagaimana mengarahkan peserta
didik agar memiliki kualitas iman, taqwa dan akhlak mulia.

C. Problematika Pembelajaran PAI di Perguruan Tinggi


Penghayatan dan pengamalan masyarakat terhadap ajaran Islam amat
tergantung pada kualitas pendidikan Islam yang diterimanya.11 PAI pada
dasarnya adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim
seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik jasmani maupun
rohani. Asy-Syaibani menyatakan bahwa manusia memiliki potensi yang
meliputi badan, akal dan roh, ketiganya persis seperti segitiga yang sama
panjang sisi-sisinya.12
Akan tetapi dalam perjalanannya PAI mengalami berbagai problema
dalam mengembangkan potensi-potensi tersebut, karena komponen
pendidikan yang meliputi landasan, tujuan, kurikulum, kompetensi dan
profesionalisme guru/dosen, pola hubungannya dengan mahasiswa,
metodologi pembelajaran, sarana, prasarana, evaluasi, pembiayaan dan lain-
lain seringkali berjalan apa adanya, alami, tradisional, dan dilakukan tanpa
perencanaan konsep yang matang. Problema-problema tersebut diantaranya
ialah:
1. Problem Konseptual
Terdapat sejumlah petunjuk tentang kerancuan konseptualisasi
pendidikan Islam dan pendidikan agama Islam, maupun pendidikan bagi
semua bidang studi yang termasuk dalam lingkup keduanya. Hal ini
merupakan akibat pendidikan Islam dan pendidikan Agama Islam
dimaknai secara normatif bagi fungsi yang lebih bersifat ideologis. Tanpa

11
Abuddin Nata, Manajemen Penididikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 1
12
Umar Muhammad At-Toumy Asy-Syaibani, Falsafah at-Tarbiyaah al-Islamiyah,
(Trabulus, Asy-Syirkah al-'Ammah, 1975), hlm. 92.

4
kajian kritis terhadap masalah yang dihadapi oleh pendidikan Islam dan
atau PAI, keduanya senantiasa tidak pernah jelas dan menjadi alat
ideologi bagi penguasa.
Di satu sisi, pendidikan Agama Islam ditempatkan sebagai bagian dari
pendidikan Islam, namun tidak cukup bukti perumusan pengertian dan
tujuan keduanya secara berbeda. Di sisi lain, pendidikan Islam dinyatakan
lebih luas dari pendidikan pada umumnya, namun tidak cukup bukti untuk
menolak kenyataan bahwa pendidikan Islam tidak lebih sebagai
teknikalisasi teori pendidikan pada umumnya bagi berbagai bidang studi
agama Islam. 13
Buku-buku tentang pendidikan Islam hampir mengalami kerancuan
akademik seperti dalam kaitannya dengan pernyataan pendidikan Islam
adalah khas berbeda dari pendidikan pada umumnya. Persoalan ini pun
dihadapi pendidikan agama Islam sebagai bagian dari pendidikan Islam.
Pendidikan Islam atau PAI hampir tidak bisa melepaskan diri dari teori
dan metode pendidikan pada umumnya, kecuali penambahan materi yang
khas tentang ajaran Islam,14 padahal sebagai wahana pembentuk
kepribadian PAI seharusnya memiliki kekhasan metode dan kurikulum.
Kerancuan konseptual tersebut diantaranya disebabkan belum adanya
perumusan tujuan dan visi PAI yang ideaI yang mengakomodir al-Qur'an
dan al-Sunnah sebagai landasan dan dasar PAI. HaI ini karena belum ada
pakar di Indonesia yang secara khusus mendaIami pemahaman al-Qur'an
dan al-Sunnah dalam perspektif pendidikan Islam. Umat Islam belum
banyak mengetahui isi kandungan al-Qur'an dan al-Sunnah yang berkaitan
dengan pendidikan secara baik. Lain halnya dengan pemahaman terhadap
kandungan al-Qur'an dan al-Sunnah yang berkaitan dengan bidang fiqh,
tafsir, ataupun ilmu kalam yang sudah banyak orang mengetahuinya.15
2. Alokasi Waktu yang Minim

13
Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 369-770
14
ibid., hlm. 367
15
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan…, op. cit., hlm. 1

5
Frekuensi perkuliahan agama yang hanya 2 (dua) SKS dirasa kurang
memadai mengingat harapan yang demikian besar kepada pendidikan
agama. Oleh karena itu bobotnya dipandang perlu untuk ditingkatkan
menjadi 4 (empat) SKS. Kecuali tenaga pendidik (dosen) di perguruan
tinggi umum mampu mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan agama
Islam dalam mata kuliah lain. Begitu juga dosen untuk mata kuliah
pendidikan agama Islam. Namun skill ini masih sulit didapat.16
Dalam visi PAI untuk Perguruan Tinggi disebutkan bahwa PAI bervisi
menjadikan ajaran Islam sebagai sumber nilai dan pedoman yang
mengantarkan mahasiswa dalam pengembangan profesi dan kepribadian
Islami. Sedang misinya yaitu terbinanya mahasiswa yang beriman dan
bertakwa, berirmu dan berakhlak mulia serta menjadikan ajaran Islam
sebagai landasan berpikir dan berperilaku dalam pengembangan profesi.17
Namun ironisnya visi dan misi yang sangat ideal tersebut hanya
diberikan aIokasi waktu 2 SKS selama mahasiswa menggeluti bidang
keilmuan dan profesinya. Alih-alih untuk mencetak pribadi muslim yang
utuh, bahkan untuk membahas sedetailnya tentang aspek keimanan saja
sampai taraf membuka kesadaran tentang Tuhan sekaligus menumbuhkan
pengalaman bertuhan pun rasanya masih sangat kekurangan waktu.
3. Orientasi Materi Ajar dan Evaluasi
PAI baru terbatas mempelajari agama tekstual, belum mempelajari
ajaran agama yang diwujudkan dalam langit, bumi dan segala isinya (ilmu
pengetahuan), lebih-lebih ayat-ayat al-Qur'an yang ada pada diri manusia.
Bukan agama yang mewarnai perilaku seseorang, tetapi perilaku
seseorang lebih didominasi egoismenya yang mewarnai perilaku

16
Pasmah Chandra, Problematika, Tantangan dan Peluang Pendidikan Agama Islam di
Sekolah dan Perguruan Tinggi di Era Globalisasi, Jurnal Aghniya STIESNU Bengkulu, Vol. 3,
No. 1, (2020), hlm. 129-130
17
Uswatun Hasanah cet.I., Modul Acuan Proses Pembelajaran Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian (MPK) Pendidiikan Agama Islam, (Jakarta: Departemen Pendidikan
NasionaI DIRJEN DIKTI Direktorat Pembinaan Akademiik dan Kemahasiswaan, 2002), hlm. 8-9.

6
beragama. Hal ini karena ukuran kebenaran beragama (claim of truth)
ditentukan kepuasan masing-masing orang.18
Sikap formalis dan tekstualis tersebut berhubungan dengan
pemahaman dan wawasan keagamaan yang selalu diIetakkan secara
berlawanan dengan kebudayaan di mana ilmu sebagai bentuk tertinggi.
Ilmu keIsIaman kemudian dianggap sebagai wilayah ekskIusif dan yang
secara ideologis berbeda dengan seluruh dimensi dan wawasan keilmuan
lain yang ada. Situasi budaya di atas, berhubungan dengan sentimen
sejarah di mana hampir seluruh negeri muslim mengalami penjajahan
Barat modern kolonial. Apa yang datang dari Barat dianggap sekuler dan
berlawanan dengan Islami dan sebaliknya, sementara tidak ada wilayah
dunia yang bebas dari pengaruh Barat, seperti sebelum renaisance tidak
ada wilayah yang bebas dari pengaruh Islami.19
Sikap ekslusif menyebabkan ilmu keislaman hampir seribu tahun
tersingkir dari dinamika dan hanya berhubungan dengan sumber tekstual
dan skriptual ajaran Islam atau pemikir muslim. Komunitas ilmuwan
muslim, tidak tertarik penelitian kealaman seperti fisika walaupun banyak
firman yang secara jelas menyatakan fenomena alam dan humaniora
sebagai tanda kehadiran Allah.20 Masalah yang muncuI kemudian adalah
dualisme ilmu pengetahuan, ada yang disebut ilmu agama berkaitan
dengan ibadah mahdah dan ilmu profane berkaitan dengan persoalan
keduniaan. Banyak iImuwan muslim memprioritaskan pendalaman ilmu
keagamaan mengabaikan ilmu yang dianggap profane dengan alasan ilmu
keagamaan lebih dekat dengan persiapan hidup setelah mati dan
karenanya lebih banyak mendatangkan pahaIa.21
Problem orientasi materi tersebut diperparah pula dengan problem
dalam evaluasi pendidikannya yang kebanyakan masih menguji wawasan

18
Djohar, Pendidikan Strategik, (Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm. 163.
19
Abdul Munir Mulkhan, op. cit., hlm. 297
20
ibid., hlm. 298
21
Azyumardi Azra, Pendidikan lslam, Tradisi dan Modernitas Menuju Milenium Baru,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 5

7
dan kognisi mahasiswa tentang materi yang telah diajarkan tanpa
menyentuh sedikitpun pengalaman beragamanya.22
4. Tenaga Pendidik/dosen Agama Islam
Faktor inilah yang memegang central core (intinya) pelaksanaan
pelajaran agama Islam di Perguruan Tinggi. Bagaimanapun dosen yang
mengajar di Perguruan Tinggi harus sarjana dari suatu Perguruan Tinggi
Islam. Hal ini menyangkut kewibawaan di mata mahasiswa. Selain dari
itu, kesediaan dari para pengasuh pendidik agama di perguruan tinggi
untuk mengembangkan kemampuan penalaran akademisnya.
Misalnya, untuk mengikuti program S-2 dan S-3 merupakan hal yang
sangat dianjurkan. Karena dengan demikianlah diharapkan munculnya
kemampuan untuk mengembangkan memahami ajaran-ajaran agama
secara komprehensif, dan atas dasar itu tumbuhlah rasa kebanggaan
terhadap ajaran agama yang dianutnya. Karena mengikuti kuliah agama
diharapkan tidak hanya bagi mahasiswa sekedar mengejar target 2 (dua)
SKS, tetapi yang lebih penting lagi semakin meyakini akan kebenaran
ajaran agama yang dianutnya. Namun kebijakan ini terkadang ditanggapi
sebagai suatu pemaksaan. Sehingga tidak jarang, banyak dosen yang
melanjutkan jenjang pendidikannya, tetapi tidak mengikuti proses
pembelajaran yang semestinya. Dosen-dosen seperti ini cenderung
beranggapan ijazah lebih penting daripada proses tersebut. Inilah yang
menyebabkan banyak sarjana-sarjana ‘mandul’ di Indonesia. Sarjana-
sarjana yang motivasi belajarnya telah mati, namun menginginkan ijazah
sebagi bukti telah menyelesaikan pendidikan Tinggi.
Kemudian seiring perkembangan Teknologi Informasi saat ini, maka
tenaga pendidik untuk Pendidikan Agama di perguruan tinggi umum juga
harus berperan aktif. Karena dunia IT telah merambah ke berbagai
disiplin ilmu. Salah satu cara untuk mengantisipasi dampak negatif IT
adalah dengan memperkenalkan IT dari segi positif- nya. Tenaga pendidik

22
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Lintasan Sejarah, op. cit., hlm. 40-41.

8
PAI adalah salah satu personil yang tepat untuk memperkenalkan ini
kepada peserta didik (mahasiswa).23
5. Perilaku Mahasiswa yang Menyimpang dari Nilai-nilai Akademik.
Melalui media cetak atau pun media elektronik kita selalu mendapati
berita yang menunjukkan berbagai perilaku mahasiswa yang jauh dari
nilai-nilai akademik. Misalnya saja banyak mahasiswa yang terlibat
dalam peristiwa- peristiwa amoral, seperti kasus VCD porno, aksi
tawuran, perkelahian, tindak kriminalitas yang tinggi (seperti
pembunuhan yang dilakukan mahasiswa terhadap pacarnya yang sedang
hamil), dan lain-lain.24
Pada umumnya, agama dan kepribadian seseorang amat ditentukan
oleh pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan yang telah dilampauinya
sejak usia dini. Seseorang yang di masa kecilnya tidak pernah
mendapatkan pendidikan agama, maka pada masa dewasanya ia tidak
merasakan pentingnya agama dalam hidupnya. Berbeda dengan mereka
yang sejak kecil mengalami miliu keberagamaan yang kental baik di
rumah, sekolah maupun di masyarakatnya. Orang-orang semacam itu
mempunyai kecenderungan kepada hidup dalam aturan-aturan agama,
takut melanggar larangan-larangan agama dan dapat merasakan betapa
nikmatnya hidup beragama.25 Hal demikian sangat erat kaitannya dengan
fenoma yang terjadi tersebut.
Fenomena di atas menunjukkan betapa pendidikan agama di
perguruan tinggi nyaris ‘tidak tepat sasaran’. Problem pendidikan agama
ini tidak lain cerminan problem hidup keberagamaan di Tanah Air yang
telah terjebak ke dalam formalisme agama. Pemerintah merasa puas sudah
mensyaratkan pendidikan agama sebagai mata kuliah wajib dalam
kurikulum. Guru agama/dosen merasa puas sudah mengajarkan materi
pelajaran sesuai kurikulum. Peserta didik merasa sudah beragama dengan
menghafal materi pelajaran agama. Semua pihak merasa puas dengan

23
Pasmah Chandra, op. cit., hlm. 130-131
24
ibid., hlm. 131
25
Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, cet VII, 2005), hlm. 43

9
obyektifikasi agama dalam bentuk kurikulum dan nilai rapor atau nilai
mata kuliah, namun jauh dari implementasinya. Perlu juga kita cermati,
semata-mata menyalahkan (menganggap gagal) pendidikan agama untuk
kasus seperti ini adalah tidak bijak. Tetapi itulah image yang terkadang
hadir di masyarakat.26
Karenanya peserta didik yang berasaI dari lingkungan keluarga dan
latar belakang pendidikan agama yang beraneka ragam tingkat
pemahaman, pengamalan serta penghayatan agama dan telah
terinternalisasi sedemikian rupa di benak mahasiswa menjadi persoalan
tersendiri bagi pembelajaran PAI di Perguruan Tiggi. Idealnya ada
kategorisasi dan pengelompokan sehingga setiap kelompok mendapat
perlakuan yang sesuai dengan tingkat pemahaman dan kebutuhannya.27
Langkah ideal untuk menjembataninya adalah dengan mengadakan
kegiatan pendampingan keagamaan ataupun membuat sistem ma'had
(pondok) bagi mahasiswa yang dikelola secara sistematis di luar jam
kuliah. Hal ini sekaligus menjembatani persoalan minimnya aIokasi tatap
muka di kelas. Namun tidak semua instansi Perguruan Tinggi dapat
menyelenggarakan program ma'had ataupun pendampingan.28
6. Lingkungan Kampus
Lingkungan perguruan tinggi berada harus juga dijadikan perhatian
pendidik yang bersangkutan dalam arti lingkungan sosio- kulturalnya;
yang menjadi persoalan dalam hubungan ini ialah: apakah dosen dan
mahasiswa harus menyesuaikan diri secara alloplastis atau secara
autoplastis? Juga masih dalam masalah lingkungan yaitu yang langsung
berpengaruh pada mahasiswa dalam kampus, atau bahkan dalam kelas
perlu diciptakan religious environment seperti adanya musholla dalam

26
Pasmah Chandra, op. cit., hlm. 131-132
27
Haidar Putra Daulay, Pendidikan lslam daiam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 19
28
Ajat Sudrajat et.al., Pendidikan Agama lslam di Universitas Umum, (Jakarta:
DEPDIKBUD, 2002)

10
kampus, peringatan- peringatan hari besar Islam, tatasusila dalam
pergaulan, berpakaian, bertingkah laku sopan, dan sebagainya.
Sehubungan dengan hal ini Azyumardi Azra (dalam Pasmah Chandra)
juga mengemukakan bahwa pendidikan memberikan kepada anak didik
dorongan dan rasa berprestasi melalui penguasaan pelajaran dengan
sebaik-baiknya. Prestasi akademis yang mereka capai, pada gilirannya,
juga mendorong munculnya rasa elitisme, yang kemudian memunculkan
sikap dan gaya hidup tersendiri, termasuk dalam kehidupan politik.
Semakin terpisah lingkungan sekolah dari lingkungan masyarakat pada
umumnya, maka semakin tinggi pula sikap elitisme tersebut. Elitisme
yang bersumber dari sekolah ini kemudian memunculkan elitisme
“terpisah” dari masyarakat; tetapi pada saat yang bersamaan, mereka
memegangi pendapat bahwa dengan keunggulan dan priveleges yang
mereka miliki, mereka mempunyai “hak” alamiah untuk memerintah
masyarakat. Mengacu pada beberapa kutipan di atas, lingkungan kampus
juga mendukung keberhasilan pendidikan agama Islam di perguruan
tinggi umum. Lingkungan yang dimaksud bukan hanya dari segi
hardware, tetapi juga software.29
7. Pengaruh Media dan Bidang Eksternal Lainnya
Sebagai pendidikan nilai, PAI tidaklah mungkin efektif dilaksanakan
tanpa dukungan steakholder berupa lingkungan keluarga dan masyarakat
yang sejalan dengan nilai-nilai yang dikembangkannya. Problem yang
sangat mempengaruhi di era cybernetic ini tentu saja adalah pengaruh
media terutama televisi yang seakan menjadi "agama" baru di Indonesia
dan juga internet. Ajaran serta ritualnya dibuka dari pukul 05.00 hingga
pukul 02.00, bahkan ada yang menawarkan program non stop.
Dibandingkan dengan PAI yang hanya 2 sks tentu sangat tidak memadai.
Belum lagi dengan krisis rnultidimensional yang dialami bangsa ini yang
kian hari kian rumit dan tak terpecahkan. Inilah persoalan terbesar PAI
yang seharusnya bersama sistem lainnya di masyarakat dapat menjadi

29
Pasmah Chandra, op. cit., hlm. 132

11
pembetul ketimpangan kebudayaan yang lazimnya menyertai perubahan
sosial yang semakin cepat, termasuk juga menjadi penawar terhadap
kekagetan dan ketersiksaan masyarakat (cultural shock) di dalam
menghadapi arus perubahan sosial.30 Beberapa masalah yang dipaparkan
di atas hanyalah segelintir dari berbagai problem kompleks yang ada.
Jadi, dalam perjalanannya PAI mengalami berbagai problema dalam
mengembangkan potensi-potensi, dimana PAI pada dasarnya adalah
pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya,
mengembangkan seluruh potensi manusia baik jasmani maupun rohani.
Problema-problema tersebut berupa hal-hal yang timbul karena
komponen pendidikan yang meliputi landasan, tujuan, kurikulum,
kompetensi dan profesionalisme guru/dosen, pola hubungannya dengan
mahasiswa, metodologi pembelajaran, sarana, prasarana, evaluasi,
pembiayaan dan lain-lain seringkali berjalan apa adanya, alami,
tradisional, dan dilakukan tanpa perencanaan konsep yang matang dan
saling berkaitan.

D. Peluang dan Tantangan Pembelajaran PAI di Perguruan Tinggi


Tantangan pembelajaran PAI di perguruan tinggi yang harus dihadapi
adalah beberapa problematika yang telah dijelaskan sebelumnya.
sebagaimana juga dikemukakan Buchori (dalam Imam Mawardi), yang
menunjukkan bahwa praktik pembelajaran PAI selama ini hanya
memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai
(agama), dan mengabaikan pembinaan aspek afektif, yakni kemauan dan
tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Ketidakseimbangan itu
mengakibatkan terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan,
antara teori dan praktek dalam kehidupan nilai agama. Atau dalam praktik
pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak mampu

30
Sanapiah Faisal, Sosiologi Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional), hlm. 97

12
membentuk pribadi-pribadi bermoral, padahal intisari dari pendidikan agama
adalah pendidikan moral.31
Terdapat juga kaitannya dengan tantangan PAI di Perguruan Tinggi,
dimana hingga saat ini kita menyadari bahwa secara umum kondisi Lembaga
pendidikan Islam di Indonesia masih ditandai oleh berbagai kelemahan,
yaitu:32
1. Kelemahan Sumber Daya Manusia (SDM), manajemen dan dana
2. Hingga saat ini Lembaga Pendidikan Islam masih belum mampu
mengupayakan secara optimal mewujudkan Islam sesuai dengan cita-cita
idealnya. Sementara masyarakat masih memposisikan Lembaga
Pendidikan Islam sebagai pilar utama yang menyangga kelangsungan
Islam dalam mewujudkan cita-citanya yaitu memberi rahmat bagi seluruh
alam
3. Kita masih melihat Lembaga Pendidikan Islam belum mampu
mewujudkan Islam secara trasnformatif. Kita masih melihat bahwa
masyarakat Islam dalam mengamalkan ajaran agamanya telah berhenti
pada tataran simbol dan formalitas, sedangkan pesan spritualitas dan
filosofis dari ajaran Islam itu sendiri sering terlupakan
4. Lembaga Tinggi Pendidikan Islam belum mampu mewujudkan masyarakat
madani, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
seperti nilai keadilan, kebersamaan, kesederajatan, komitmen, kejujuran
dan sebagainya.
5. Hingga saat ini out put yang dihasilkan oleh Lembaga Pendidikan Islam
tidak sesuai dengan keinginan masyarakat yang menyebabkan terjadinya
kesenjangan antara Lembaga Pendidikan Islam dengan masyarakat.
Berdasarkan pada beberapa permasalahan yang telah dipaparkan di atas
maka mendorong pihak-pihak yang peduli akan pendidikan untuk melakukan
terobosan atau peluang baru yang dapat mencerahkan prospek pendidikan

31
Imam Mawardi, op. cit., hlm. 4-5
32
Akmal Hawi, Tantangan Lembaga Pendidikan Islam, Jurnal Tadrib, Vol. III, No.1,
(2017), hlm. 1551

13
agama di perguruan tinggi umum. Beberapa terobosan atau peluang tersebut
antara lain:33
1. Paradigma baru dalam pembelajaran pendidikan agama
Muhaimin (dalam Pasmah Chandra) dalam Rekonstruksi Pendidikan
Islam memaparkan tentang perbedaan model-model pengembangan PAI
di perguruan tinggi umum. Perbedaan model ini muncul karena adanya
perbedaan pemikiran dalam memahami aspek-aspek kehidupan. Apakah
agama merupakan bagian dari aspek kehidupan, sehingga hidup beragama
berarti menjalankan salah satu aspek dari berbagai aspek kehidupan,
ataukah agama merupakan sumber nilai-nilai dan operasional kehidupan,
sehingga agama akan mewarnai segala aspek kehidupan itu sendiri? Maka
dalam konteks ini muncullah model dikotomis, model mekanisme dan
model organism/sistemik. Pandangan semacam itu menggaris bawahi
pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrine
dan fundamental value yang tertuang dan terkandung dalam Al Qur’an
dan al-sunnah ash-shahihah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai
Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak.
2. Integrasi inklusivitas Islam dalam pendidikan agama Islam
Paradigma yang juga bisa dikembangkan ialah dalam bentuk integrasi
inklusivitas Islam dalam Pendidikan Agama Islam. Pemaparannya dalam
hal ini yaitu: Jika masih ingin eksis dan survive, semangat inklusivitas
ajaran Islam harus benar-benar integral dalam materi ajar dalam
kurikulum Pendidikan Agama Islam. Namun yang perlu menjadi catatan
jangan sampai terjebak oleh inklusivitas menurut retorika Barat dalam
hal- hal teori tentang pluralisme, HAM dan lain-lainnya karena semua itu
harus dikembalikan kepada sumbernya yang asli yaitu al- Qur’an dan as-
Sunnah meskipun tetap dengan semangat yang mengkritisi setiap
interpretasi terhadap kedua sumber tersebut.
Sikap Islam terhadap pluralitas misalnya, merupakan sikap
pertengahan di antara dua kutub ekstrim pandangan manusia terhadap

33
Pasmah Chandra, op. cit., hlm.132-134

14
pluralitas: yang menolak pluralitas mentah-mentah dan yang menerima
pluralitas mentah- mentah. Pandangan manusia yang menolak pluralitas
mentah-mentah adalah pandangan yang menganggap pluralitas sebagai
sebuah bencana yang membawa pada perpecahan sehingga pluralitas
harus dihilangkan dan keseragaman mutlak harus dimunculkan. Hal
tersebut dapat dilihat pada “totaliterisme Barat” yang diwakili oleh Uni
Soviet saat itu. Pandangan manusia yang menerima pluralitas mentah-
mentah adalah pandangan yang menganggap pluralitas sebagai sebuah
bentuk kebebasan individu yang tidak ada keseragaman sedikit pun. Hal
ini terlihat pada model “liberalisme Barat” di banyak negara. Sikap Islam
yang moderat, yang menerima pluralitas sekaligus menerima
keseragaman, dapat dilihat dari penerimaan Islam terhadap beragam
mazhab fikih, tetapi tetap dalam kerangka kesatuan atau keseragaman
syariat Islam.
Pernyataan di atas juga relevan dalam upaya memprotek mahasiswa
yang cenderung ‘darah muda’ yang gampang berapi-api dan labil.
Terutama dalam menerima paham-paham dengan atas nama agama,
seperti paham-paham Negara Islam Indonesia (NII) yang marak akhir-
akhir ini. Disamping itu konsep integrasi inklusivitas ini sangat tepat jika
diterapkan pada Perguruan Tinggi Umum yang masih menyajikan
Pendidikan Agama Islam hanya 2 SKS. Karena ada juga beberapa
perguruan tinggi umum yang menyajikan mata kuliah Pendidikan Agama
lebih dari 2 SKS.
Adapun juga dalam mengantisipasi tantangan sebagaimana dijelaskan di
atas, maka diperlukan upaya fungsionalisasi peran PAI seoptimal mungkin
melalui pembenahan kurikulum dan model pembelajaran yang kredibel bagi
pembentukan peserta didik yang berkualitas. Pembentukan peserta didik yang
berkualitas, menunjukkan karakter yang kuat, ulet, mandiri, kreatif dan
bertanggung jawab, serta tidak hanya terampil kerja tetapi terampil hidup,
tidak sekedar cerdas kerja tetapi juga cerdas hidup. Peserta didik yang
demikian hanya dapat dihasilkan melalui pendidikan yang berkualitas, dalam

15
arti pendidikan yang tidak hanya mengembangkan unsur pengetahuan
(akademik) melainkan juga unsur keterampilan hidup (life skills).34
Jadi dapat disimpulkan bahwa, permasalahan-permasalahan yang ada
dalam pembelajaran PAI di perguruan tinggi setidaknya dapat diatasi dengan
cara-cara yang dapat merubah dan memberi dampak yang signifikan bagi
kondisi pembelajaran PAI di perguruan tinggi.

E. Kesimpulan
Tantangan pembelajaran PAI di perguruan tinggi merupakan masalah yang
timbul dari pembelajaran PAI yang dijalankan tidak sebagaimana mestinya
sesuai tujuan dari PAI itu sendiri, dimana harus dihadapi dengan kebijakan
atau peluang-peluang yang ada dengan baik sehingga masalah tersebut dapat
teratasi.
Tantangan yang dihadapi Pendidikan Agama Islam sebagai sebuah mata
pelajaran adalah bagaimana mengimplementasikan pendidikan agama Islam
bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi bagaimana
mengarahkan peserta didik agar memiliki kualitas iman, taqwa dan akhlak
mulia. Problema-problema tersebut diantaranya ialah:
1. Problem Konseptual
2. Alokasi Waktu yang Minim
3. Orientasi Materi Ajar dan Evaluasi
4. Tenaga Pendidik/dosen Agama Islam
5. Perilaku Mahasiswa yang Menyimpang dari Nilai-nilai Akademik
6. Lingkungan Kampus
7. Pengaruh Media dan Bidang Eksternal Lainnya
Berdasarkan pada beberapa permasalahan yang telah dipaparkan maka
mendorong pihak-pihak yang peduli akan pendidikan untuk melakukan
terobosan atau peluang baru yang dapat mencerahkan prospek pendidikan
agama di perguruan tinggi umum. Beberapa terobosan atau peluang tersebut
antara lain:

34
Imam Mawardi, op. cit., hlm. 7-8

16
1. Paradigma Baru Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama
2. Integrasi Inklusivitas Islam dalam Pendidikan Agama Islam

17
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu, dkk. 2003, Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta

Asy-Syaibani, Umar Muhammad At-Toumy. 1975, Falsafah at-Tarbiyaah al-


Islamiyah, Trabulus, Asy-Syirkah al-'Ammah

Azra, Azyumardi. 1999, Pendidikan lslam, Tradisi dan Modernitas Menuju


Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Daradjat, Zakiyah. 1996, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara

Daradjat, Zakiyah. 2005, cet VII, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang

Daulay, Haidar Putra dan Nurgaya Pasa. 2013, Pendidikan Islam dalam Lintasan
Sejarah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Daulay, Haidar Putra. 2004, Pendidikan lslam daiam Sistem Pendidikan Nasional
di Indonesia, Jakarta: Prenada Media

Djohar. 2003, Pendidikan Strategik, Yogyakarta: LESFI

Faisal, Sanapiah. Sosiologi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional

Hasanah, Uswatun. 2002, cet.I., Modul Acuan Proses Pembelajaran Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian (MPK) Pendidiikan Agama Islam, Jakarta:
Departemen Pendidikan NasionaI DIRJEN DIKTI Direktorat Pembinaan
Akademiik dan Kemahasiswaan

Majid, Abdul dan Dian Andayani. 2006, Pendidikan Agama Islam Berbasis
kompetensi (Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004), Bandung:
Ramaja Rosdakarya

Mulkhan, Abdul Munir. 2002, Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem


Filosofis Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana
Nata, Abuddin. 2003, Manajemen Penididikan, Mengatasi Kelemahan
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media

Nata, Abuddin. 2012, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada

Sudrajat, Ajat, et.al. 2002, Pendidikan Agama lslam di Universitas Umum,


Jakarta: DEPDIKBUD

Tafsir, Ahmad. 1992, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja
Rosda Karya

18
Aziz, Yahya. 2011, Penguatan Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum, Jurnal Sosial Humaniora, Vol. 4, No.2

Chandra, Pasmah. 2020, Problematika, Tantangan dan Peluang Pendidikan


Agama Islam di Sekolah dan Perguruan Tinggi di Era Globalisasi, Jurnal
Aghniya STIESNU Bengkulu, Vol. 3, No. 1

Hawi, Akmal. 2017, Tantangan Lembaga Pendidikan Islam, Jurnal Tadrib, Vol.
III, No.1

Mawardi, Imam. 2012, Pengembangan Model Pembelajaran untuk Meningkatkan


Life Skills Peserta Didik, Universitas Pendidikan Indonesia, diakses dari
repository.upi.edu

https://id.wikipedia.org/wiki/Perguruan_tinggi, diakses pada 24 Januari 2021

https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/skola/read/2020/12/11/1538576
9/teks-tantangan-pengertian-ciri-struktur-kaidah-kebahasaan, diakses pada
24 Januari 2021

19

Anda mungkin juga menyukai