Anda di halaman 1dari 16

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Teori Hukum Murni oleh Hans Kelsen

Terori hukum murni menurut Hans Kelsen ialah suatu keinginan yang

digunakan untuk dapat membebaskan ilmu hukum dari beberapa unsur seperti

sosial, ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya sehingga mencetak suatu kata

yaitu keadilan. Jika melihat dari teori yang telah dikembangkan oleh Hans Kelsen

teori ini meliputi 2 ( dua ) aspek penting yang terdiri dari aspek statis yang melihat

perbuatan yang diatur oleh hukum dan juga aspek dinamis yang melihat hukum

mengatur perbuatan tertentu. Beberapa ahli juga mengatakan bahwa pemikiran dari

Hans Kelsen ini dapat menjadi jalan tengah dan beberapa teori yang dikembangkan

oleh Hans Kelsen sendiri dihasilkan dari analisis perbandingan sistem hukum

positif yang berbeda beda.

Tatanan hukum yang paling tertinggi dalam pandangan Hans Kelsen ialah

berpuncak pada norma dasar yang berupa konstitusi materiel bukan konstitusi

formil. Sedangkan menurut Nawiasky yang dimaskud dengan norma dasar ialah

gagasan dari Kelsen yang diartikan sebagai staatsfundementalnorm. Beberapa

14
15

kesamaan dari hirarki norma yang telah digagas oleh Hans Kelsen dan Hans

Nawiasky terletak pada lapisan dan jenjang bertingkat yang menjadi sumber dan

landasan serta terdapat dalam setiap norma hukum. (Muhtadi, 2012)

2.2 Konsep Dasar Lelang

Istilah lelang sendiri sebenarnya berasal dari kata latin yaitu “auctio” yang

artinya peningkatan harta secara bertahap, sehingga Lelang adalah suatu proses

untuk membeli maupun menjual barang dengan cara menawarkan kepada penawar

untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi. Sedangkan berdasarkan Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang

yang dimaksud dengan lelang yaitu penjualan barang yang terbuka untuk umum

dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau

menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman

lelang. Menurut dombeerger dan Jensen mengatakan bahwa teori pelelangan ini

menunjukkan bahwa dalam pelaksaanaan lelang yang kompetitif akan berdampak

pada harga yang efisien.

Pada umumnya lelang ini biasanyan dilakukan dengan datang ke balai

lelang untuk melakukan proses administrasi dan melakukan proses pelelangan

dengan mengacungkan tangan atau menunjukkan nomor peserta lelang. Namum

dikarenakan terdapat pandemi Covid-19 dan juga adanya faktor perkembangan

teknologi membuat pelaksanaan lelang sudah bisa dilakukan dengan cara

digital/online. Meskipun dapat dilaksanakan secara online jual beli lelang hanya

15
16

boleh dilakukan dihadapan pejabat lelang sehingga dapat dikatakan lelang tersebut

sudah memenuhi kaidah legalitas lelang.

Dalam proses pelaksanaan lelang sendiri memiliki 3 tahapan yaitu tahap

administrasi persiapan lelang, administrasi pelaksanaan lelang, dan administrasi

setelah lelang. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020

Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang jenis lelang dibagi menjadi tiga yaitu Lelang

Eksekusi, Lelang Noneksekusi Wajib, dan Lelang Noneksekusi Sukarela. Dalam

proses pelaksanaannya, gambaran umum mengenai proses pelaksanaan lelang dapat

digambarkan seperti berikut

Permohonan Penetapan Pengumuman Pelaksanaan

Lelang Lelang Lelang Lelang

LAKU TAP
Lengkap

Tidak 1. Permintaan Kelengkapan Risalah


Dokumen Lelang
Lengkap
2. Pengembalian Berkas

Sedangkan untuk proses secara detailnya dalam pelaksanaan lelang terdapat

beberapa tahap yang perlu diperhatikan agar pelaksanaaan lelang dapat berjalan

dengan baik, beberapa tahap tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

A. Penerimaan Permohonan

1. Penjual melakukan permohonn melakukan lelang.go.id


17

2. Permohonan diterima oleh admin KPKNL

3. Admin KPKNL melakukan pengecekan status kelengkapan dokumen

digital

B. Cek Kelengkapan Dokumen Digital

1. Admin KPKNL memilih seseorang verifikator untuk mengecek

kelengkapan dokumen digital permohonan

2. Seorang verifikator/ pelelang mendapatkan notif untuk segera memeriksa

kelengkapan dokumen

3. Jika hasil pemeriksaan tidak lengkap maka akan dikembalikan kepada

penjual dan penjual akan segera memperbaiki melengkapinya

4. Jika hasil pemeriksaan sudah lengkap maka akan muncul status veifikasi

dokumen digital bahwa dokumen permohonan sudah lengkap.

C. Penunjukkan Pejabat Lelang

1. Admin KPKNL mengusulkan siapa yang akan menjadi pejabat lelang

2. Kepala KPKNL menunjuk pejabat lelang

3. Pejabat lelalng menerima notifikasi terkait tugasnya yang menjadi pelelang

D. Verifikasi Dokumen Fisik

1. Penjual mengirim tiket, dokumen fisik, bukti setor PNBP permohonan ke

KPKNL

2. Pejabat lelang akan mendapatkan notifikasi verifikasi dokumen fisik

3. Jika dokumen fisik tidak lengkap, maka pejabat lelang akan mengirimkan

surat permintaan untuk melengkapi dokumen


18

4. Penjual telah menerima surat tersebut dan segera mengirimkan kekurangan

kelengkapan dokumen perbaikan

5. Jika hasil verifikasi sesuai maka akan muncul status dokumen fisik sesuai

E. Penetapan Jadwal Lelang

1. Pejabat Lelang menetapkan jadwal lelang dan cara penawarannya

2. Pejabat Lelang mengunggah surat penetapan jadwal

3. Muncul status permohonnan yang ditetapkan ke penjual

F. Penayangan Obyek Lelang

1. Pejabat Lelang memberitahukan tentag data nilai lot lelang dan waktu

pelaksanaan lelang

2. Penayangan obyek lelang di lelang.go.id yang dihadiri oleh penjual agar

lelang sah

Untuk tercapainya pelaksanaan hasil lelang yang optimal, efisien, efektif,

adil, terbuka dan akuntabel maka dalam pelaksanannya lelang harusnya sesuai

dengan beberapa asas yang mendasarinya seperti asas keterukaan, asas keadilan,

asas kepastian hukum, asas efisiensi, dan asas akuntabilitas

2.3 Konsep Kepailitan

Hukum kepailitan tidak bisa lepas dari warisan Belanda, karena Belanda

telah menjajah selama 3,5 abad sehingga meninggalkan cukup banyak warisan

hukum untuk Indonesia. Pada awalnya kepailitan diatur dalam Wetboek Van

Koophandel namun peraturan kepailitan tersebut diganti dengan Failistment


19

Verordenning yang berlaku berdasarkan Staatblaads No. 276 Tahun 1905 dan

Staatsblaad No. 348 Tahun 1906. Dengan menggunakan Failistment

Verordenning,sama seperti dengan Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) bahwa

masa keberlakuannya berlangsung cukup lama sejak tahun 1905 hingga 1998.

Kemudian keberlakuan dari Failistment Verordenning sudah tidka berlaku lagi

dikarenakan terhenti oleh badai yaitu pada saat krisis moneter yang melanda

Indonesia sehingga Presiden Soeharto yang pada saat itu sedang menjabat

menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor 1

Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan. Kemudian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 resmi

ditetapkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 1998.

Hingga pada akhirnya setelah melalui beberapa dinamika peraturan terdapat

regulasi kembali di bidang kepailitan yaitu UU No 37 Tahun 2004 yang membahas

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dengan adanya

Undang-Undang ini memberikan ketegasan terhadap pengertian utang dan jatuh

tempo, dan dengan adanya Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 ini juga menjadi

dasar khusus kepailitan di Indonesia.

Kepailitan sendiri menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang kepailitan yaitu

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan

dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim

Pengawas. Sehingga secara singkatnya pailit adalah kondisi dimana debitor tidak

mampu untuk membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo. Berdasarkan


20

pernyataan tersebut debitor dipaksa untuk memenuhi segala prestasinya kepada

kreditor namun ketika debitor ini wanprestasi maka nantinya seluruh harta

kekayaannya akan dibagi sama rata kepada para kreditornya. Dalam hal

penunjukkan untuk pemberesan hartanya baik kurator maupun hakim pengawas

harus ditunjuk dari hakim pengadilan.

Ketidakmampuan debitor untuk membayar segala hutang nya meskipun

sudah ditagih maka ketidakmampuan tersebut akan segera diproses ke pengadilan,

pengajuan ke pengadilan akan diajukan oleh debitor itu sendiri, kreditor ataupun

pernintaan seseorang yang memiliki kepentingan dengan debitor tersebut. Kemudia

pengadilan nantinya akan memeriksa dan mengeluarkan putusan pailit.

Salah satu syarat dari adanya kepailitan yaitu minimal memiliki 2 atau lebih

kreditor dikarenakan jika hanya memiliki 1 kreditor tidak selaras dengan pengertian

pasa 1 angka 1 Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004. Jika debitor sudah memiliki

minimanl 2 kreditor maka secara prosedur sudah masuk kedalam sita umum.

(Admin, Syarat Kepailitan, 2021)

2.4 Konsep Dasar Hubungan Kepailitan Dan Lelang

Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor

213/PMK.06/2020 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Yang dimaksud dengan

lelang yaitu penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga

secara tertulis dan/ atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk

mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang. Sedangkan

menurut Pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Kepailitan
21

Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang dimaksud dengan kepailitan

adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan

pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.

Sehingga antara lelang dengan kepailitan mempunyai hubungan yang saling

berkaitan satu sama lain. Hubungan antara kepailitan dengan lelang dapat dilihat

pada saat keadaan insolvensi dan pada saat tahap pemberesan harta pailit yag

diajukan oleh kurator.

1. Keadaan Insolvensi

Seperti halnya ketika debitor tidak mampu untuk membayar

hutang hutangnya maka keadaan tersebut terdapat pada keadaan

insolvensi, hal tersebut tertera pada Pasal 57 ayat 1 Undang Undang

Nomor 34 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang. Hubungan yang saling berkaitan antara lelang

dengan kepailitan yaitu ketika dalam keadaan insovensi, yaitu ketika

dalam rencana perdamaian yang ditawarkan tidak dapat diterima atau

pengesahan perdamaian ditolak atas dasar putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap maka berada dalam keadaan

insolvensi. Hal tersebut terdapat pada Pasal 178 (1) UUK dan PKPU.

Selain itu hubungan yang berkaitan dengan keadaan

insolvensi lainnya yaitu ketika kreditor pemegang gadai, jaminan

fidusia, hak tanggungan hipptek atau hak agunan atas kebendaan

lainnya dapat mengeksekusi mengeksekusi haknya seolah olah tidak


22

akan adanya kepailitan dengan jangka waktu paling lama dalam 2

(dua) bulan setelah dimulainya keadaan yang insolvensi.

Jika melihat pada Pasal 56 ayat 1 dengan Pasal 59 ayat 1

UUK dan PKPU, dalam melakukan kewenangannya kreditor separatis

memiliki hak untuk melakukan eksekusi dimulai setelah habisnya dari

jangka waktu penangguhan selama sejak putusan pailit diucapkan

sampai 2 bulan setelah debitor dinyatakan pailit dalam keadaan yang

insolvensi. Kreditor separatis juga dalam melaksanakan eksekusinya

mengganakan cara penjualan dimuka umum atau biasa disebut dengan

lelang. Tetapi jika dalam jangka watu 2 bulan setelah keadaan

insolvensi tidak berhasil maka pengurusannya akan dipindahalihkan

kepada kurator yang nantinya akan melaksanakan penjualan lelang

eksekusi harta pailit.

2. Pemberesan Harta Pailit

Berdasarkan putusan pailit yang telah diputuskan oleh

pengadilan membuat debitor yang pailit demi kekuatan hukum

kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya.

Dalam pengurusan dan pemberesan lelang eksekusi harta pailit

terdapat beberapa subyek yang dapat membantu agar dapat

terlaksananya lelang eksekusi harta pailit, seperti kurator dan hakim

pengawas. Kurator nantinya akan membantu membereskan


23

pengurusan harta debitor tersebut. Seorang kurator diangkat oleh

hakim pengawas bersamaan dengan ditetapkannya putusan pailit.

Seorang kurator harus memulai pemberesan harta dan

menjualnya tanpa perlu memperoleh persetujuan dari debitor

meskipun dalam keadaan diluar kepailitan selain itu kurator juga dapat

melakukan pinjaman dari pihak ketiga tetapi hanya dalam rangka

meningkatkan nilai harta pailit. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 69

ayat 2 UUK dan PKPU.

Proses kepailitan ini merupakan sita umum dari barang

barang milik debitor yang nantinya akan dijual dimuka umum (lelang)

untuk kepentingan para kreditor secara sesama sehingga nanti

kekayaan debitor yang telah dieksekusi akan dibagi bagikan kepada

kreditor dengan mengingat hak hak keistimewaannya yang telah diakui

oleh Undang-Undang.

2.5 Konsep Dasar Lelang Eksekusi Harta Pailit

Lelang merupakan salah satu cara penjualan yang sangat diutamakan dalam

lelang eksekusi harta pailit. Dalam pengaturannya lelang eksekusi tidak hanya

lelang eksekusi harta pailit namun terdapat beberapa lelang seperti Lelang Eksekusi

Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), Lelang Eksekusi Pengadilan, Lelang

Eksekusi pajak, Lelang Eksekusi harta pailit, Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-

Undang Hak Tanggungan (UUHT), Lelang Eksekusi benda sitaan Pasal 45 Kitab

UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lelang Eksekusi benda sitaan


24

Pasal 271 UndangUndang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan, Lelang Eksekusi benda sitaan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1997 tentang Peradilan Militer, Lelang Eksekusi barang rampasan, Lelang Eksekusi

jaminan fidusia, Lelang Eksekusi barang yang dinyatakan tidak dikuasai atau

barang yang dikuasai negara eks kepabeanan dan cukai, Lelang Eksekusi barang

temuan, Lelang Eksekusi gadai, Lelang Eksekusi barang rampasan Lelang Eksekusi

barang bukti tindak pidana kehutanan, Lelang Eksekusi benda sitaan, Lelang

Eksekusi lainnya sesuai peraturan perundang-undangan.

Dalam melakukan lelang, pada masa kini lelang di Indonesia menggunakan

secara elektronik atau E-auction. Dengan adanya lelang ini bertujuan untuk

memudahkan para masyarakat untuk memudahkan proses pelaksanaan lelang dan

masrakat tidak perlu datang ke balai harta hanya dengan melakukan penawaran

secara online dan tidak perlu datang ke tempat pelaksanaan lelangnya.

Dalam hal kepailitan, setelah putusan pailit yang dikeluarkan oleh

pengadilan niaga setempat maka akan masuk kedalam proses penangguhan yang

berakhir dalam kurun waktu setelah 90 ( sembilan puluh ) hari setelah putusan pailit

diputuskan. Kemudian para kreditor akan melakukan eksekusi terkait aset aset yang

dimiliki debitor dalam kurun waktu 2 ( dua ) bulan. Jika dalam kurun waktu 2 ( dua

) bulan tersebut kreditor separatis tidak dapat melakukan eksekusi maka yang akan

mengurus peninggalan harta tersebut yaitu kurator.

Pada tahap permohonan nantinya kurator akan melampirkan berkas berkas

pendukung agar pelaksanaan Lelang Eksekusi Harta Pailit dapat berjalan


25

sebagaimana mestinya. Pemenang dari lelang yang telah ditetapkan oleh pejabat

lelang nantinya wajib melunasi harga pokok lelang dan bea lelang dalam kurun

waktu 5 hari sehingga ketika pemenang tersebut tidak sanggup dan tidak mampu

untuk membayar maka uang jaminan yang digunakan untuk mengikuti proses

pelaksanaan lelang secara otomatis akan hilang.

Begitupun dengan para peserta yang mengikuti lelang namun tidak

ditetapkan sebagai pemenang lelang oleh pejabat lelang akan menerima uang

pengembalian uang jaminan. Pembeli yang menang akan mendpaatkan kuwitansi

dan kutipan risalah lelang yang dapat didapatkan dari Pejabat lelang yang bekerja

pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang.

2.6 Konsep Hukum Disharmonisasi

Indonesia merupakan negara hukum, yang artinya segala sesuatu dilakukan

untuk menegakkan negara dengan supremasi hukum agar tercipta kebenaran dan

keadilan. Hal tersebut sesuai dengan Undang Undang Republik Indonesia Tahun

1945 pada pasal 1 ayat 3. Dengan adanya hukum dapat menetapkan apa yang

seharusnya dilakukan dan larangan untuk melakukannya, sehingga para rakyat

wajib untuk menaati peraturan yang berlaku dalam aspek kehidupan. Dikarenakan

Indonesia sendiri adalah negara hukum pasti memiliki banyak peraturan yang saling

mengatur antar hal satu dengan yang lainnya sehingga menyebkan adanya

kedisharmonisasian dalam peraturan.

Disharmonisasi ini berarti ketidakselarasan peraturan satu dengan yang

lainnya dalam artinya dengan adanya dishramonisasi terdapat peraturan yang saling
26

tumpang tindih sehingga dibutuhkan tujuan sebagai penjelas, berkaca dari sifatnya

yaitu hukum bersifat keadilan, maka hukum dapat menjadi pedoman dalam

kehidupan. Disharmonisasi peraturan sendiri juga mengakibatkan hukum menjadi

tidak berfungsi sebagai kontrol sosial dan terjadinya perbedaan penaafsiran yang

menyebabkan menjadi tidak efektif. Dengan adanya disharmonisasi juga

menyebakan munculnya disfungsi peraturan.

Begitu pula dengan peraturan yang mengatur antara kepailitan dengan

lelang, terdapat beberapa Pasal yang mengalami disharmonisasi seperti pada Pasal:

No. Undang Undang Lelang Undang Undang Kepailitan

Vendu Reglement UU Nomor 37 Tahun 2004

1. Pasal 1B Pasal 184

Cara menyelenggarakan pelelangan Dalam putusan pernyataan pailit,

ditentukan oleh penjual. Mengenai harus diangkat Kurator dan

barang-barang yang sudah dilelang seorang Hakim Pengawas dan

tetapi belum acta penawaran harga Kurator harus memulai

yang disetujui, penjual dapat pemberesan dan menjual semua

meminta agar cara pelelangannya harta pailit tanpa perlu

diubah. memperoleh persetujuan atau

bantuan Debitor.
27

2. Pasal 10 Pasal 186

Untuk penjualan umum, upah lelang Untuk keperluan pemberesan harta

dihitung menurut ketentuan pailit, Kurator dapat menggunakan

peraturan pemerintah. jasa Debitor Pailit dengan

pemberian upah yang ditentukan

oleh Hakim Pengawas.

3. Pasal 15

Tidak diatur
Dari orang-orang miskin hanya

dipungut uang miskin

Table 1. Pasal Disharmonisasi

Dari beberapa Pasal yang telah dijelaskan sebelumnya telah mengalami

disharmonisasi peraturan perundang undangan yang menyebabkan adanya

ketidakjelasan dalam pengertian dan maksud dari beberapa Pasal tersebut.

Beberapa Pasal tersebut yang berada pada Undang Undang Lelang ( Vendu

Reglement ) yaitu pada Pasal 1B, Pasal 10 dan Pasal 15. Sedangkan pada Undang

Undang Kepailitan yang mengalami disharmonisasi dengan Undang Undang

Lelang (Vendu Reglement ) yaitu pada Pasal 184 dan Pasal 186.

Pada Undang Undang Lelang ( Vendu Reglement ) pada Pasal awal yang

dimulai dari Pasal 1, 1A, 1B dan 2 adalah Pasal yang membahas tentang pengertian
28

penjualan di muka umum. Pada Pasal 1B sendiri dikatan bahwa ”Cara

menyelenggarakan pelelangan ditentukan oleh penjual. Mengenai barang-barang

yang sudah dilelang tetapi belum acta penawaran harga yang disetujui, penjual

dapat meminta agar cara pelelangannya diubah.” dengan Pasal 184 pada Undang

Undang Kepailitan yang berbunyi “Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat

Kurator dan seorang Hakim Pengawas dan Kurator harus memulai pemberesan dan

menjual semua harta pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan

Debitor” sehingga dari kedua Pasal tersebut mengalami disharmonisasi yang perlu

diselaraskan agar dalam cara pemnyelenggaraan lelang nya menjadi jelas dan tidak

menimbulkan kebingungan.

Selain itu pada Pasal 10 Undang Undang Lelang ( Vendu Reglement ) yang

berbunyi “Untuk penjualan umum, upah lelang dihitung menurut ketentuan

peraturan pemerintah. Terdapat disharmonisasi Pasal juga dengan Undang Undang

Kepailitan yang terdapat pada Pasal 186. Sehingga dalam pengaturannya khususnya

pada upah lelang tidak dirinci lebih jelas yang menyebabkan kebingungan bagi

publik. Untuk kesedpannya sebaiknya lebih dijelaskan atau ditambahkan pada

peraturan agar lebih jelas mengenai upah dari pelaksanaan penjualan di muka

umum ( lelangnya ).

Sedangkan pada Pasal 15 Undang Undang Lelang ( Vendu Reglement )

diatur untuk uang miskin pada Undang Undang Kepailitan tidak diatur yang

namanya uang miskin. Sehingga berdasarkan kedua Pasal tersebut mengalami

disharmonisasi pula yang menyebabkan ketidak selarasan yang seharusnya pada


29

Pasal 15 di Undang Undang Lelang ( Vendu Reglement ) ini dihapuskan karena

memang undang undang lelang sudah lama sejak jaman Belanda.

Berdasarkan beberapa Pasal yang telah mengalami disharmonisasi antara

Undang Undang Lelang dengan Undang Undang Kepailitan membuat beberapa

pengertian dari beberapa Pasal tersebut khususnya pada cara penyelenggaraan,

upah dalam pelaksanaan lelang khususnya pemberesan hartanya, dan juga uang

miskin yang pada peraturan Undang Undang Lelang diatur dan pada Undang

Undang Kepailitan yang tidak diatur adanya uang miskin dari Harta debitor yang

sudah mengalami kepailitan. Dari beberapa Pasal tersebut yaitu Pasal 1B, 10 dan

15 pada Undang Undang Lelang dan Pasal 184 dan 186 pada Undnag Undang

Kepailitan perlu dilakukan perharmonisasian peraturan.

Anda mungkin juga menyukai