Setiap manusia mempunyai hasrat yang kuat untuk hidup teratur. Akan tetapi,
teratur, sehingga diperlukan suatu pedoman. Pedoman atau patokan tersebut adalah
norma atau kaidah, yang merupakan suatu pandangan menilai mengenai perilaku
manusia. Kalau sudah terdapat norma-norma atau kaidah-kaidah, maka diperlukan suatu
orang banyak. Salah satu mekanismenya adalah, apa yang dinamakan system
pengendalian sosial.1
direncanakan maupun yang tidak direncanakan, untuk mendidik, mengajak atau bahkan
memaksa warga masyarakat, agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat. Walaupun demikian hal itu tidaklah berarti bahwa pengendalian
bertujuan agar perilaku warga masyarakat tidak terlalu menyimpang, sehingga mungkin
utamanya adalah, menjaga keserasian antara stabilitas dengan perubahan yang terjadi.2
berikut:
1
Soerjono Soekanto, 2015, Hukum Adat Indonesia, Ed. 1 Cet. 14, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hlm. 76
2
Ibid, halaman. 76-78
1
Sumber: Soerjono Soekanto: 2015
System pengendalian social dapat menurut Roucek dan Warren dapat dibedakan ke
1. Formal social control dan informal social control. Yang pertama menunjuk pada tata
cara yang dibentuk oleh badan-badan resmi, tata cara mana dapat dipaksa akan
atau tidak).
2. Primary group control dan secondary group control. Primary group control
3
Ibid, halaman. 78-79
2
primary group) yang anggota-anggotanya saling kenal mengenal. Kelompok tersebut
formal.
3. Regulative social control dan suggestive social control. Regulative social control
4. External control dan internal dari luar diri manusia sebagai pribadi, misalnya, yang
dating dari masyarakat atau kelompok. Internal control datangnya dari diri pribadi,
5. Passive social control dan active social control. Yang dapat dijelaskan sebagai
berikut:
The distinction, a pivotal for our purpose, makes passive control an aspect of
conformity to traditional norms; active social control, on the other hand, is a process
for the implementation of goals and values. The former has to do with the
maintenance of social order, the latter with emergent social integrations. More
precisely stated, active social control is a continuous process by which values are
consciously examined, decisions made as to those values which should be dominant,
and collective action taken to that end. While it has individual aspects it is more
typically a function of group interaction. (Perbedaan ini, yang sangat penting bagi
tujuan kita, menjadikan kontrol pasif sebagai aspek kesesuaian dengan norma-norma
tradisional; kontrol sosial aktif, di sisi lain, adalah proses untuk implementasi tujuan
dan nilai-nilai. Yang pertama berkaitan dengan pemeliharaan tatanan sosial, yang
terakhir dengan integrasi sosial yang muncul. Lebih tepatnya dinyatakan, kontrol
sosial aktif adalah proses yang berkesinambungan dimana nilai-nilai secara sadar
diperiksa, keputusan dibuat untuk nilai-nilai yang harus dominan, dan tindakan
kolektif diambil untuk itu. Walaupun memiliki aspek-aspek individual, ia lebih
merupakan fungsi dari interaksi kelompok.)
Hukum merupakan salah satu alat control social/pengendalian social yang dewasa
ini paling banyak digunakan untuk mengatur tata perilaku dan tata kehidupan
social dianggap paling efektiv dikarenakan hukum selalu diikuti dengan sanksi terhadap
setiap pelanggaran.
3
Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum mempunyai
tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum
kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya hukum itu bertugas
membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenag
dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.4
ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya
itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak boleh menyimpang; fiat justitia et pereat
mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). 5 Itulah yang diinginkan
kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.
yang diharapkan, secara teknis hukum dapat memberikan hal-hal sebagai berikut:7
4
Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Edisi Ketiga, Liberty,
Yogyakarta, halaman. 58
5
Dalam istilah lain disebutkan Fiat Justitia Ruat Caelum (meskipun langit akan runtuh keadilan harus
ditegakkan)
6
Ibid, halaman. 134
7
Mardjono Reksodiputro, 1994, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan
Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi), Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, halaman 76
4
3. Hukum sering dipakai oleh pemerintah sebagai sarana untuk melindungi, melawan
kritik;
daya.
Hukum sebagai alat control social memberikan arti bahwa ia merupakan sesuatu
yang dapat menetapkan tingkah laku manusia. Tingkah laku ini dapat didefenisikan
sebagai sesuatu yang menyimpang terhadap aturan hukum. Sebagai akibatnya, hukum
dapat memberikan sanksi atau tindakan terhadap si pelanggar. Karena itu, hukum pun
menetapkan sanksi yang harus diterima oleh pelakunya. Hal ini berarti bahwa hukum
ketentraman terwujud.8
Sosial kontrol (social control) biasanya diartikan sebagai suatu proses baik yang
direncanakan maupun tidak yang bersifat mendidik mengajak atau bahkan memaksa
warga masyarakat agar mematuhi system kaidah dan nilai yang berlaku. Perwujudan
konsiliasi. Standar atau patokan dari pemidanaan adalah suatu larangan yang apabila
hal ini bila kepentingan-kepentingan dari suatu kelompok dilanggar, inisiatif datang dari
untuk memprosesnya ada pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan akan
meminta ganti rugi. Oleh karena pihak lawan yang melakukan wanprestasi. Di sini ada
8
Satjipto Rahardjo, Op. Cit.
9
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2016, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum: Pemikiran
Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Ed 1. Cet. 4, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
halaman 364
5
pihak yang kalah dan pihak yang menang, seperti halnya dengan pemidanaan yang
sifatnya akusator.
kearah penympangan, guna menjamin agar kelompok dimaksud tetap utuh, atau
kemungkinan lain hukum gagal dalam melaksanakan tugasnya sehingga kelompok itu
hancur, atau cerai berai, atau punah. Karena itu, fungsi rangkap. Di satu pihak dapat
merupakan tindakan yang mungkin terjadi demikian melembaga, yaitu menjadi mantap
mencapai tujuan-tujuan kelompok dan kelompok itu menanggapi tindakan itu sebagai
suatu kewajiban. Di lain pihak mungkin merupakan tindakan yang berwujud reaksi
kelompok itu terhadap tingkah laku yang menympang, dan yang diadakan untuk
mengendalikan tingkah laku yang menyimpang itu. Hukum dalam pengertian yang
disebutkan terakhir itu terdiri dari pola-pola tingkah laku yang dimanfaatkan oleh
untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok dan yang menyimpang dari cara-cara yang
metodologi ilmu-ilmu social yang mencetus teori hukum sebagai alat control social dan
alat perubahan social (law as a tool of social control and social engineering).
control social. Hukum secara bertahap telah menggantikan fungsi agama dan moralitas
10
Ibid, hlm. 365-366
6
sebagai instrument penting untuk mencapai ketertiban social. Menurutnya, control social
“aspek internal atau sifat manusia”, yang dianggapnya sangat diperlukan untuk
fungsi utama dari Negara dan bekerja melalui penerapan kekuatan yang dilaksanakan
secara sistematis dan teratur oleh agen yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi itu.
Akan tetapi, Pound menambahkan bahwa hukum saja tidak cukup, ia membutuhkan
dukungan dari institusi keluarga, pendidikan, moral, dan agama. Hukum adalah system
ajaran dengan unsur ideal dan empiris, yang menggabungkan teori hukum kodrat dan
positivistik.12
Ia juga mengatakan bahwa hukum kodrati dari setiap masa pada dasarnya berupa
sebuah kodrati yang bersifat “positif”, versi ideal dari hukum positif pada masa dan
tempat tertentu, “naturalisasi” untuk kepentingan control social manakala kekuatan yang
ditetapkan oleh masyarakat yang terorganisasi tidak lagi dianggap sebagai alat pembenar
yang memadai. Ia mengakui kekaburan dari pengertian istilah hukum: hukum sebagai
kaidah social, badan hukum sebagai badan yang otoritatif, serta hukum sebagai proses
peradilan. Sehubungan dengan itu, Pound menyatukan ketiga pengertian tadi ke dalam
control social; Hukum adalah suatu bentuk khusus dari control social, dilaksanakan
11
Nazaruddin Lathif, 2017, Teori Hukum Sebagai Sarana/Alat Untuk Memperbaharui Atau
Merekayasa Masayrakat, Pakuan Law Review, Jurnal, Volume 3, Nomor 1, Januari – Juni 2017, halaman 76
12
Ibid, halaman 77
7
melalui badan khusus berdasarkan ajaran yang otoritatif, serta diterapkan dalam konteks
tindih dari berbagai kelompok kepentingan, yaitu antara kepentingan individual atau
personal dengan kepentingan public atau social. Semua itu diamankan melalui dan
Dalam perspektif hukum sebagai alat control social, fungsi utama suatu system
regulasi social dalam suatu system social. Oleh sebab itu dikatakan Bergers, bahwa tidak
ada masyarakat yang bisa hidup langgeng tanpa control social dari hukum sebagai
sarananya. Selanjutnya menurut Parsons agar hukum dapat megemban fungsi kontro
tersebut, ada 4 (empat) prasyarat fungsional dari suatu sisttem hukum, yaitu masalah
dasar legitimasi, yakni menyangkut ideology yang menjadi dasar penataan aturan
hukum; masalah hak dan kewajiban masyarakat yang menjadi sasaran regulasi proses
hukumnya; masalah sanksi dan lembaga yang menerapkan sanksi tersebut; dan masalah
13
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, halaman 77
14
Martha Eri Safira, 2017, Law is a Tool of Social Engineering Dalam Penanganan Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia Ditinjau Dari Hukum Islam dan PerUndang-undangan di Indonesia, Jurnal Kodifikasi,
Jurnal, Volume 11 No. 1, halaman 186-187
15
Ibid, halaman 191
8
Donald Black sebagai salah satu penganut teori hukum sebagai alat control social
membedakan antara perilaku yang dikendalikan oleh bentuk bentuk pengendalian social
Black menganggap hukum sebagai suatu variabel kuantitatif dapat diukur atas
peraturan tertentu, pengaduan penuntutan terhadap kejahatan, ganti rugi, dan hukuman di
dalam situasi social tertentu. Dengan demikian kuantitas itu berlaku dan sesuai dengan
Fungsi hukum sebagai alat control social dapat berjalan dengan baik bila terdapat
hal-hal yang mendukungnya. Pelaksanaan fungsi ini sangat berkaitan dengan materi
hukum yang baik dan jelas. Selain itu, pihak pelaksana sangat menentukan. Orang yang
akan melaksanakan hukum ini tidak kalah peranannya. Suatu aturan atau hukum yang
sudah memenuhi harapan suatu masyarakat serta mendapat dukungan, belum tentu dapat
berjalan dengan baik bila tidak didukung oleh aparat pelaksana yang kimit terhadap
pelaksanaan hukum. Hal yang terakhir inilah yang sering dikeluhkan oleh masyarakat
Indonesia. Aparat sepertinya dapat dipengaruhi oleh unsure-unsur lain yang sepatutnya
16
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit. halaman 171
17
Ibid
9
tidak menjadi faktor penentu, seperti kekuasaan, materi dan pamrih serta kolusi. 18 Citra
18
Dalam teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman, hal ini dikelompokkan
sebagai “budaya hukum” (Legal Culture). Budaya hukum merupakan kebiasaan dalam berhukum. Kebiasaan
terkait dengan kebiasaan segenap warga Negara untuk mentaati dan menegakkan hukum. Budaya hukum adalah
adalah elemen sikap dan nilai social. Kultur hukum merupakan penggambaran dari kekuatan-kekuatan social
yang terus-menerus menggerakkan hukum, merusak hukum, memperbaharui, menghidupkan, mematikan,
memilih bagian mana dari “hukum”yang akan beroperasi, bagian mana yang tidak; mengganti, memintas dan
melewati apa yang muncul; perubahan-perubahan apa yang akan terjadi secara terbuka atau diam. Lawrence M.
Friedman, 2011, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Penerjemah M. Khiszin, Nusa Media, Bandung, halaman
14-18.
Budaya hukum merupakan faktor terbesar dalam menegakkan hukum. Buruknya budaya hukum suatu
masyarakat akan berimbas pada penegakan hukum yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Karenanya
Satjipto Rahardjo juga menyebutkan “Undang-undang yang buruk sekalipun akan menghasilkan keadilan bagi
seluruh masyarakat jika ditegakkan oleh penegak hukum yang berintegritas, sebaliknya, betapapun bagusnya
suatu peraturan perUndang-undangan tidak akan memberikan keadilan jika ditegakkan oleh penegak hukum
yang tidak berintegritas.
19
Ashandi L. Diab, 2015, Peranan Hukum Sebagai Social Control, Social Engineering dan Social
Welfare, Jurnal Al-‘Adl, Vol. 7 No. 2, Juli, halaman 59
10