Anda di halaman 1dari 4

Tugas 1 (ISIP4211) Logika

Nama : Lili suryani

NIM : 042750206

Pada Tugas 1 ini buatlah tulisan tentang (1) Ide, Konsep dan Term;
atau (2) Sesat Pikir, pilih salah satu topik tersebut, nomor (1) atau
(2).

“Sesat Pikir”

Sesatpikir adalah kekeliruan dalam penalaran berupa pembuatan


kesimpulan dengan langkah-langkah yang tidak sah karena melanggar
kaidah-kaidah logika maupun berupa perbincangan yang bercorak
menyesatkan karena sengaja atau tidak sengaja memasukkan hal-hal
yang membuat kesimpulannya tidak sah. Sesatpikir ini banyak sekali
macamnya yang dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu
sesatpikir formal (formal fallacies) dan sesatpikir informal (informal
fallacies) (Irving M.Copi, 1978: 87). Sesatpikir informal ada dua macam
kelompok, yaitu sesatpikir pertalian dan sesatpikir kemaknagandaan.
Kemudian, dua macam kelompok terakhir inilah yang diuraikan secara
rinci oleh Irving M.Copi. Sesatpikir dalam modul kedua ini tidak
diuraikan secara rinci hanya diuraikan garis besarnya saja. Menurut
para ahli logika umumnya dibedakan tiga jenis sesatpikir, yaitu
sesatpikir formal (formal fallacies). sesatpikir verbal (verbal fallacies).
dan sesatpikir material (material fallacies Liang Gie, 1998).

Tiap saya bilang matematika seperti bermain puzzle, teman-teman di


kelas selalu memberikan respons yang lucu. Pertama, mereka akan
memasukkan saya dalam kelompok anak culun, atau dua, meminta saya
datang lebih pagi tiap ada pr di jam pertama matematika.

Padahal, saya juga nggak bisa-bisa amat matematika. Menyenangkan


bagaimana kita dapat mengubah variabel-variabel, memindahkan
simbol ke kiri dan kanan, berpikir dan memecahkan masalah, tanpa
benar-benar harus menghafal ini dan itu. Kayak lagi main riddle atau
teka-teki aja gitu… walaupun pas ujian tetap aja dapetnya 6 juga.
Pedih.

Penyesalan itu datang ketika layar komputer menunjukkan hasil ujian


masuk IPB. Saya diterima di Fakultas Kehutanan. Sementara ibu
melonjak kegirangan, saya hanya bergeming dalam kamar. Pikir saya
waktu itu, “Kalau nanti masuk kehutanan, NGAPAIN KEMAREN GUE
BELAJAR MATEMATIKA, WEY!”

Buat apa kita mempelajarin persamaan linier? Kurva? Logaritma dan


trigonometri kalau ujung-ujungnya ke hutan yang identik dengan biologi
dan hafalan?

Hingga rektor menggeser tali toga saya empat setengah tahun


kemudian. Setelah bertemu banyak orang dengan banyak latar
belakang di kampus, saya memasuki kehidupan kantor sebagai seorang
jurnalis.

Jurnalis dan matematika adalah dua kata yang tidak sepatutnya berada
dalam satu kalimat sampai saya sadar pentingnya logika dan nalar.
Dan matematika punya andil di sana. Minus yang menyeberang ke
tanda sama dengan dan berubah menjadi plus, akar, mengintegralkan
persamaan, belajar mendeduksi dan mencari kesimpulan, membuat
saya, mau tidak mau, mengasah logika.

Kenyataannya, logika, di kehidupan yang sebenarnya sering


dimanfaatkan mereka yang nakal. Apalagi di negara demokrasi kayak
kita, di mana suara insinyur, gamers, resepsionis hotel, profesor,
maupun kuli angkut dianggap sama. Artinya, ketika dewasa nanti,
suara dan pola pikir kamu, mau tidak mau, akan menentukan hukum
dan kebijakan-kebijakan di Indonesia. Itulah ironinya demokrasi,
bagaimana hal-hal tadi ditentukan oleh suara mayoritas orang dalam
suatu negara.

Sebagai orang yang semasa sekolah menganggap matematika sebagai


ajang “main teka-teki”, saya merasa cukup beruntung karena
menyadari hal ini. Ketika kamu dewasa nanti, akan ada orang yang
mengandalkan kesesatan berpikir (logical fallacy) untuk mengelabui
orang lain, atau kamu, demi kepentingannya sendiri..

Maka dibutuhkan pikiran yang kritis untuk menangkisnya.

Oleh karena itu, saya rasa, menggunakan logika dengan baik sejak
sekolah adalah hal yang bijak.
Jadi mari kita mulai dari pengertian. What is logical fallacy? Fallacy
berasal dari kata fallacia yang berarti deception atau “menipu”. Kata
Irving M Copi et al (2014), sesat pikir adalah tipe argumen yang
terlihat benar, namun sebenarnya mengandung kesalahan dalam
penalarannya.
Ada tiga karakteristik logical fallacy:

- ada kesalahan logika berpikir

- ada dalam argumen

- ada kesan “menipu”

Sesat pikir yang umum adalah argumentum ad populum (bandwagon).


Ketika suatu argumen/pernyataan dianggap benar karena banyak orang
yang merasa kayak gitu, padahal yha nggak juga.

Misalnya, kamu lupa bawa topi buat upacara. Begitu dikasih tahu guru,
kamu berkilah, “Ya elah. Emang kenapa, sih? Itu banyak juga kok yang
nggak pake topi!”

Padahal, sejak awal kamu udah tahu kalau membawa topi adalah hal
yang wajib ketika upacara. Tapi kamu ngeles dan mencari pembenaran
dengan dalih kalau “nggak bawa topi adalah hal yang benar… karena
banyak orang yang nggak bawa juga”.
Gak gitu dong cara mainnya, Bambang.

Logical fallacy ini juga sering banget dikeluarin sama orang-orang


yang nggak taat peraturan lalu lintas. Ketika pemotor masuk ke jalur
Transjakarta, misalnya, lalu dia kena tilang, dia ngeles: “Itu tuh! Yang
lain juga pada lewat sini kok! Saya kira boleh!” Hadeuh.

Gimana, gimana? Udah mulai paham ya soal sesat pikir ini.

Sekarang kita lanjut ke Hasty Generalization (Overgeneralization).


Kalau ini, sih, harusnya udah jelas ya. Ketika seseorang mengambil
kesimpulan dengan terlalu menggeneralisir sesuatu.

Karena kamu pernah mengalami kisah cinta yang buruk sama tiga
mantanmu, kamu nangis sambil jerit-jerit, “IDIH SEMUA COWOK SAMA
AJA!”

Eits, gak bisa gitu dong.

Walaupun di-ghosting itu menyakitkan (bentar, kenapa mulai tjurhat


yha?), tapi mengambil kesimpulan seluruh cowok itu sama dari TIGA
MANTAN jelas salah. Berdasarkan countrymeters.indo aja, saat ini ada
3.920.450.772 cowok di dunia. Masa, gara-gara tiga fakboy, kamu
langsung nganggep 3.920.450.769 cowok lain sama brengseknya.

Ada juga kok cowok yang lebih sering disakitin. Huhuhuu.

Lanjut. Berikutnya ada sesat pikir Post Hoc Ergo Propter Hoc.

Sesat pikir ini terjadi karena kesalahan dalam pengambilan keputusan


dari hubungan sebab-akibat. Gini, gini. Misal, kamu ngerjain soal
ulangan dengan pulpen merk A. Pas dikasih tahu hasilnya, ternyata
nilaimu bagus. Kamu coba lagi ngerjain ulangan yang lain pakai pulpen
itu, dan nilai kamu bagus lagi. Kamu pun berpikir kalau itu adalah
pulpen sakti yang membawa keberuntungan. Kamu kepikiran, deh, buat
ngisi formulir SNMPTN pake itu biar keterima.

Halo. Biar saya kasih tahu satu rahasia: yang bikin nilai kamu bagus
adalah usahamu sendiri. Gimana cara kamu belajar, pengin tahu,
ngulang materi, latihan-latihan soal, atau diskusi bareng temen-temen
kelas.

Sesat pikir lainnya adalah slippery slope. Ini kesalahan pengambilan


kesimpulan dari argumen yang membutuhkan banyak pernyataan atau
snowball effect gitu. Kayak gini contohnya:

Kamu ngerjain peer, maka kamu bakalan pintar. Kamu pintar, maka
ulangan bakal lancar. Ulangan bakal lancar, nilai bakal bagus. Nilai
bagus, kamu bakal diterima beasiswa kuliah di Inggris. Kuliah di
Inggris, kamu bisa ketemu bule. Ketemu bule, kamu bisa ajak kenalan
lalu pacaran sama si bule.

Kesimpulan dari slippery slope: kalau kamu ngerjain peer, maka kamu
bisa pacaran sama bule.
See? Itu emang keliatannya terlalu dibuat-buat, tapi kurang lebih kayak
gitu. Dan di dunia ini, benaran ada orang-orang yang menggunakan
slippery slope untuk mengecoh logika kita..

Biar nggak terlalu panjang, maka coba pahamin sesat pikir terakhir ini:
false dicotomy (black or white). Ini juga salah satu kecacatan berpikir
yang banyak banget dilakuin secara nggak sadar. False dicotomy
adalah ketika seseorang menganggap dalam satu argumen, hanya
terdapat dua pilihan.

Misal: cewek yang ikut ekstrakulikuler cheerleader cantik-cantik. Maka,


kamu menganggap cewek yang nggak ikut cheerleader memiliki
tampang setara timun.

Kalo anak cheerleader, berarti cakep.

Kalo nggak, berarti jelek.

Padahal nggak gitu, kan? Bisa aja karena si cewek ini simply karena
nggak tertarik ikut ekstrakulikuler itu.

Atau dalam ranah politik, misalnya. Di periode pilpres lalu, ketika kamu
mengkritik Jokowi, maka kamu akan diberikan label sebagai “kampret”.
Sebaliknya, ketika kamu tidak setuju dengan kebijakan/pernyataan
Prabowo, kamu akan dianggap “cebong”.

Padahal, ya, nggak gitu juga.

Belum tentu orang yang nggak suka kampret itu cebong, dan yang
nggak suka cebong itu kampret. False dicotomy yang menyebabkan jadi
gitu, dan malah ngebuat masyarakat seolah hanya punya dua kubu dan
kita dipaksa ditempatkan di salah satunya.

Sebetulnya, masih banyak sesat pikir (logical fallacy) lain yang bisa
kamu pelajarin. Kayak circular reasoning, burden of proof, atau appeal
to fear. Tapi, berhubung artikelnya udah panjang, kita coba buat di
tulisan lainnya ya (kalau kamu setuju ada lanjutannya, tulis di komen!
Komen juga buat kamu yang pernah mengalami logical fallacy di
sekolah ya!).

Semoga tulisan ini sedikit banyak ngebuka mata kamu tentang


pentingnya punya nalar, kritis, dan logika yang baik. Cara paling
gampang saat ini, adalah dengan sadar kalau itu bisa dilatih dari
matematika.

Rujukan :
https://www.ruangguru.com/blog/sesat-pikir

Demikian dan terima kasih Tutor😊

Anda mungkin juga menyukai