Anda di halaman 1dari 5

Artikel ini membahas tentang berbagai jenis sesat pikir (logical fallacy) yang banyak

terjadi di lingkungan masyarakat. Mengetahui ini dapat membantu kita berpikir kritis
dan terhindar dari tipuan oknum.

--

Tiap saya bilang matematika seperti bermain puzzle, teman-teman di kelas selalu


memberikan respons yang lucu. Pertama, mereka akan memasukkan saya dalam
kelompok anak culun, atau dua, meminta saya datang lebih pagi tiap ada pr di jam
pertama matematika.

Padahal, saya juga nggak bisa-bisa amat matematika. Menyenangkan bagaimana


kita dapat mengubah variabel-variabel, memindahkan simbol ke kiri dan kanan,
berpikir dan memecahkan masalah, tanpa benar-benar harus menghafal ini dan itu.
Kayak lagi main riddle atau teka-teki aja gitu… walaupun pas ujian tetap aja dapetnya
6 juga. Pedih.

Penyesalan itu datang ketika layar komputer menunjukkan hasil ujian masuk IPB.
Saya diterima di Fakultas Kehutanan. Sementara ibu melonjak kegirangan, saya
hanya bergeming dalam kamar. Pikir saya waktu itu, “Kalau nanti masuk kehutanan,
NGAPAIN KEMAREN GUE BELAJAR MATEMATIKA, WEY!”

Buat apa kita mempelajarin persamaan linier? Kurva? Logaritma dan trigonometri
kalau ujung-ujungnya ke hutan yang identik dengan biologi dan hafalan?

Hingga rektor menggeser tali toga saya empat setengah tahun kemudian. Setelah
bertemu banyak orang dengan banyak latar belakang di kampus, saya memasuki
kehidupan kantor sebagai seorang jurnalis.

Jurnalis dan matematika adalah dua kata yang tidak sepatutnya berada dalam satu
kalimat sampai saya sadar pentingnya logika dan nalar. Dan matematika punya
andil di sana. Minus yang menyeberang ke tanda sama dengan dan berubah menjadi
plus, akar, mengintegralkan persamaan, belajar mendeduksi dan mencari kesimpulan,
membuat saya, mau tidak mau, mengasah logika.

Kenyataannya, logika, di kehidupan yang sebenarnya sering dimanfaatkan mereka


yang nakal. Apalagi di negara demokrasi kayak kita, di mana suara
insinyur, gamers,  resepsionis hotel, profesor, maupun kuli angkut dianggap sama.
Artinya, ketika dewasa nanti, suara dan pola pikir kamu, mau tidak mau, akan
menentukan hukum dan kebijakan-kebijakan di Indonesia. Itulah ironinya demokrasi,
bagaimana hal-hal tadi ditentukan oleh suara mayoritas orang dalam suatu negara.

Sebagai orang yang semasa sekolah menganggap matematika sebagai ajang “main
teka-teki”, saya merasa cukup beruntung karena menyadari hal ini. Ketika kamu
dewasa nanti, akan ada orang yang mengandalkan kesesatan berpikir (logical fallacy)
untuk mengelabui orang lain, atau kamu, demi kepentingannya sendiri..

Maka dibutuhkan pikiran yang kritis untuk menangkisnya.

Oleh karena itu, saya rasa, menggunakan logika dengan baik sejak sekolah adalah hal
yang bijak..

Baca juga: Bagaimana Sistem Pendidikan Indonesia Dibanding Negara Lain?

Jadi mari kita mulai dari pengertian. What is logical fallacy?  Fallacy berasal dari kata
fallacia yang berarti deception atau “menipu”. Kata Irving M Copi et al (2014), sesat
pikir adalah tipe argumen yang terlihat benar, namun sebenarnya mengandung
kesalahan dalam penalarannya.
Ada tiga karakteristik logical fallacy:

- ada kesalahan logika berpikir

- ada dalam argumen

- ada kesan “menipu”

Tahu nggak apa yang aneh dengan percakapan pada gambar di atas? Ya, ketika
“seseorang menjadi tidak boleh ngomongin diet hanya karena dia gendut.” Ini lah
kesalahan berpikir yang dinamakan ad hominem. Ketika omongan si perempuan
masalah cara diet, justru dibalas dengan argumen yang mengarah ke pribadi.

Padahal, seharusnya, si laki-laki membahas tentang kebenaran mengurangi nasi


sebagai cara diet yang efektif aja, tanpa perlu mengurus pribadi lawan bicaranya.

Hayo, di sekolah kamu ada yang suka begini nggak? Ketika kamu ngomong sesuatu,
eh bukannya bales omonganmu, malah menyerang fisik/karakter kamunya.

Sesat pikir berikutnya yang umum adalah argumentum ad populum


(bandwagon). Ketika suatu argumen/pernyataan dianggap benar karena banyak
orang yang merasa kayak gitu, padahal yha nggak juga.

Misalnya, kamu lupa bawa topi buat upacara. Begitu dikasih tahu guru, kamu
berkilah, “Ya elah. Emang kenapa, sih? Itu banyak juga kok yang nggak pake topi!”

Padahal, sejak awal kamu udah tahu kalau membawa topi adalah hal yang wajib
ketika upacara. Tapi kamu ngeles dan mencari pembenaran dengan dalih kalau
“nggak bawa topi adalah hal yang benar… karena banyak orang yang nggak bawa
juga”.

Gak gitu dong cara mainnya, Bambang.

Logical fallacy ini juga sering banget dikeluarin sama orang-orang yang nggak taat
peraturan lalu lintas. Ketika pemotor masuk ke jalur Transjakarta, misalnya, lalu dia
kena tilang, dia ngeles: “Itu tuh! Yang lain juga pada lewat sini kok! Saya kira boleh!”
Hadeuh.

Gimana, gimana? Udah mulai paham ya soal sesat pikir ini.

Sekarang kita lanjut ke Hasty Generalization (Overgeneralization). Kalau ini, sih,


harusnya udah jelas ya. Ketika seseorang mengambil kesimpulan dengan terlalu
menggeneralisir sesuatu.
Karena kamu pernah mengalami kisah cinta yang buruk sama tiga mantanmu, kamu
nangis sambil jerit-jerit, “IDIH SEMUA COWOK SAMA AJA!”

Eits, gak bisa gitu dong.

Walaupun di-ghosting itu menyakitkan (bentar, kenapa mulai tjurhat yha?), tapi
mengambil kesimpulan seluruh cowok itu sama dari TIGA MANTAN jelas salah.
Berdasarkan countrymeters.indo aja, saat ini ada 3.920.450.772 cowok di dunia. Masa,
gara-gara tiga fakboy, kamu langsung nganggep 3.920.450.769 cowok lain sama
brengseknya.

Ada juga kok cowok yang lebih sering disakitin. Huhuhuu.

Lanjut. Berikutnya ada sesat pikir Post Hoc Ergo Propter Hoc.

Sesat pikir ini terjadi karena kesalahan dalam pengambilan keputusan dari hubungan
sebab-akibat. Gini, gini. Misal, kamu ngerjain soal ulangan dengan pulpen merk A.
Pas dikasih tahu hasilnya, ternyata nilaimu bagus. Kamu coba lagi ngerjain ulangan
yang lain pakai pulpen itu, dan nilai kamu bagus lagi. Kamu pun berpikir kalau itu
adalah pulpen sakti yang membawa keberuntungan. Kamu kepikiran, deh, buat ngisi
formulir SNMPTN pake itu biar keterima.

Halo. Biar saya kasih tahu satu rahasia: yang bikin nilai kamu bagus adalah usahamu
sendiri. Gimana cara kamu belajar, pengin tahu, ngulang materi, latihan-latihan soal,
atau diskusi bareng temen-temen kelas.

Sesat pikir lainnya adalah slippery slope. Ini kesalahan pengambilan kesimpulan dari


argumen yang membutuhkan banyak pernyataan atau snowball effect gitu. Kayak
gini contohnya:

Kamu ngerjain peer, maka kamu bakalan pintar. Kamu pintar, maka ulangan bakal
lancar. Ulangan bakal lancar, nilai bakal bagus. Nilai bagus, kamu bakal diterima
beasiswa kuliah di Inggris. Kuliah di Inggris, kamu bisa ketemu bule. Ketemu bule,
kamu bisa ajak kenalan lalu pacaran sama si bule.

Kesimpulan dari slippery slope: kalau kamu ngerjain peer, maka kamu bisa pacaran
sama bule.

See?  Itu emang keliatannya terlalu dibuat-buat, tapi kurang lebih kayak gitu. Dan di
dunia ini, benaran ada orang-orang yang menggunakan slippery slope untuk
mengecoh logika kita..

Biar nggak terlalu panjang, maka coba pahamin sesat pikir terakhir ini: false
dicotomy (black or white). Ini juga salah satu kecacatan berpikir yang banyak
banget dilakuin secara nggak sadar. False dicotomy adalah ketika seseorang
menganggap dalam satu argumen, hanya terdapat dua pilihan.

Misal: cewek yang ikut ekstrakulikuler cheerleader cantik-cantik. Maka, kamu


menganggap cewek yang nggak ikut cheerleader memiliki tampang setara timun.

Kalo anak cheerleader, berarti cakep.

Kalo nggak, berarti jelek.

Padahal nggak gitu, kan? Bisa aja karena si cewek ini simply  karena nggak tertarik
ikut ekstrakulikuler itu.

Atau dalam ranah politik, misalnya. Di periode pilpres lalu, ketika kamu mengkritik
Jokowi, maka kamu akan diberikan label sebagai “kampret”. Sebaliknya, ketika kamu
tidak setuju dengan kebijakan/pernyataan Prabowo, kamu akan dianggap “cebong”.

Padahal, ya, nggak gitu juga.

Belum tentu orang yang nggak suka kampret itu cebong, dan yang nggak suka
cebong itu kampret. False dicotomy yang menyebabkan jadi gitu, dan malah
ngebuat masyarakat seolah hanya punya dua kubu dan kita dipaksa ditempatkan di
salah satunya.

Sebetulnya, masih banyak sesat pikir (logical fallacy) lain yang bisa kamu pelajarin.
Kayak circular reasoning, burden of proof, atau appeal to fear. Tapi, berhubung
artikelnya udah panjang, kita coba buat di tulisan lainnya ya (kalau kamu setuju ada
lanjutannya, tulis di komen! Komen juga buat kamu yang pernah mengalami logical
fallacy  di sekolah ya!).

Semoga tulisan ini sedikit banyak ngebuka mata kamu tentang pentingnya punya
nalar, kritis, dan logika yang baik. Cara paling gampang saat ini, adalah dengan sadar
kalau itu bisa dilatih dari matematika. Kalau kamu merasa belajar matematika
membosankan, coba deh belajar lewat ruangbelajar! Kamu pasti mendapat
pengalaman yang berbeda!

[UPDATE]

Anda mungkin juga menyukai