Anda di halaman 1dari 14

Ngomong-ngomong soal penjurusan, sebetulnya apa sih tujuan dari

penjurusan? Katanya sih, penjurusan ini punya tujuan untuk bikin siswa jadi
fokus sama salah satu rumpun ilmu pengetahuan tertentu. Berarti idealnya
nih, lo yang belajar IPA akan lebih fokus belajar tentang ilmu-ilmu yang
mempelajari bagaimana alam ini bekerja seperti Fisika, Kimia, dan Biologi.
Sementara lo yang jurusan IPS akan lebih ngulik ilmu tentang interaksi sosial
masyarakat seperti Sejarah, Ekonomi, Geografi, dan Sosiologi. Cuma
masalahnya, apakah betul pemisahan jurusan antar IPA dan IPS betul-betul
merepresentasikan konsep itu?

Sebelum lanjut, gua mau cerita pengalaman kecil gua beberapa waktu yang
lalu dicurhatin sama sepupu yang baru aja memutuskan jurusannya.
Berhubung sepupu gua ini seneng debat ngikutin perkembangan politik dan
ekonomi mancanegara, dia memilih IPS sebagai penjurusan di masa SMA-
nya. Setelah sebulan menjalani kegiatan belajar-mengajar, sepupu gue
mengeluh bahwa dia selalu dibanjiri dengan pertanyaan sama teman-
temannya

Eh kenapa sih masuk IPS? Padahal kan lo pinter!


JREENG....!! Nah lho, pernah gak sih lo yang punya nilai akademis oke di
jurusan IPS ditanyain hal yang sama? Emangnya kalau sepupu gue pinter,
kenapa temen-temennya pada nanyain kenapa dia nggak masuk jurusan IPA?
Emang kalau lo pinter harus masuk jurusan IPA, ya? Emangnya anak-anak di
jurusan IPS itu nggak sepinter mereka yang di IPA yak?
Kalo mau bicara konsep ideal dari tujuan awal pemisahan antara dua rumpun
ilmu tersebut, tentu saja jawabannya : nggak dong, anak IPA dan IPS kan
punya ranahnya masing-masing. Tapi kalo kita balik ke realita, nggak bisa
dipungkiri bahwa emang ada fenomena ganjil dalam dunia pendidikan kita,
dimana jurusan IPS dinilai lebih inferior dibandingkan jurusan IPA. Bahkan
kalo dibedah, jurusan IPA seolah-olah dipandang sebagai jurusan yang berisi
anak-anak yang rajin belajar, suka ngitung, anak baik-baik, pekerja keras,
tapi kurang banyak bergaul karena kebanyakan waktunya dihabisin di tempat
les/bimbel. Sedangkan anak-anak IPS dipandang sebagai kumpulan anak
yang males belajar, tukang main, lebih jago hafalan, punya kemampuan
bergaul yang lebih oke dibandingkan dengan anak-anak IPA.
Pandangan seperti ini emang nggak cuma lo doang yang ngerasain di jaman
sekarang ini. Miskonsepsi ini sebetulnya udah jadi semacam stigma nggak
tertulis selama bertahun-tahun dari generasi ke generasi. So, jangan heran
kalo stereotype semacam ini nggak cuma ada di pikiran pelajar SMA, tapi
juga sampai ke kalangan orangtua bahkan beberapa guru tertentu. Nah, dalam
kesempatan kali ini, gua mau coba ngebahas beberapa miskonsepsi atau
pandangan umum yang keliru antara jurusan IPA dengan jurusan IPS. Okay,
langsung aja yuk kita mulai pembahasannya:

Mitos #1: Jurusan IPA lebih


superior dan bergengsi
daripada jurusan IPS.

Penyebab adanya miskonsepsi seperti ini bisa jadi bermacam-macam, dari


mulai kualitas soal dan tingkat kesulitan yang jomplang antara pelajaran-
pelajaran IPA dengan IPS, kualitas/kemampuan guru IPA dan IPS yang
berbeda, sampai gengsi dari kalangan orangtua murid. Hal-hal seperti inilah
yang justru secara simultan menguatkan miskonsepsi ini dari waktu ke waktu.
Tanpa sadar hal seperti ini yang membentuk stigma terhadap jurusan IPA
maupun IPS. Sehingga siswa yang nilai akademisnya oke dituntut untuk
masuk ke jurusan IPA, padahal mungkin sebetulnya ketertarikan minat dia
adalah topik-topik yang berbau sosial.

Cuma karena gak mau dicap sebagai "anak kurang rajin belajar jadi gak
mampu masuk IPA" jadinya milih jurusan yang sebetulnya bukan minat dia.
Sebaliknya, siswa yang nilai akademisnya kurang oke jadi terpaksa masuk
IPS karena standard nilai untuk masuk penjurusan IPA lebih tinggi daripada
jurusan IPS, padahal mungkin sebetulnya minat anak ini lebih suka topik
yang berkaitan dengan ilmu alam, cuma karena dia males belajar aja jadi
terpaksa masuk IPS.

Nah, menurut gua sih idealnya baik lo yang mau masuk jurusan IPA atau IPS,
dua-duanya harus punya standar sendiri-sendiri. Jadi, konsepnya bukan yang
gak lulus jurusan IPA, langsung dimasukin ke jurusan IPS. Tapi dilihat dulu,
apakah anak tersebut emang layak untuk masuk jurusan IPS atau enggak.
Intinya setiap siswa diberikan kebebasan untuk memilih jurusan-nya sesuai
dengan minat mereka masing-masing, yang tentu cermin yang paling mudah
untuk melihat minat adalah nilai akademis masing-masing pelajaran. Terlepas
dari nilai akademis itu, emang sebaiknya penjurusan itu dikembalikan lagi
pada keputusan masing-masing siswa.

So, dengan ada standardisasi dan konsep seperti itu, sebetulnya nggak perlu
ada tuh jenjang superioritas-inferioritas di antara dua bidang tersebut. Baik
IPA maupun IPS sebetulnya sama-sama membutuhkan kompetensi yang
berbeda-beda dan setiap pelajar bisa jadi bener-bener jago di bidangnya
masing-masing.
Mitos #2 :Anak IPA kuat di
hitungan, IPS lebih kuat di
hafalan
Ini adalah salah satu stereotype yang dari dulu sampe sekarang awet banget
nempelnya di masyarakat. Seolah-olah tingkat kecerdasan siswa itu cuma
dibagi jadi dua tolak ukur doang: hitungan dan hafalan. Kalo lo jago hitungan
ya itu tandanya lo cocok masuk ke jurusan IPA, kalo lo jago ngehafalin,
berarti lo cocoknya masuk jurusan IPS. This is so wrong in so many ways!
Nggak ada satu pun pelajaran hitungan di IPA, baik Fisika, Kimia, dan
Biologi itu sama sekali bukan pelajaran berhitung. Kalau pun ada yang
namanya pelajaran berhitung, yang paling deket itu ya pelajaran
Akuntansi, itu pun malah dia lebih pas masuk ke jurusan IPS.
Nggak ada satu pun pelajaran di IPS yang menuntut hafalan, kalo
sekarang lo yang di jurusan IPS masih banyak ngehafalin materi
pelajaran, berarti cara belajar lo yang keliru. Baik Sejarah, Sosiologi,
Ekonomi, maupun Geografi itu pelajaran yang menuntut pemahaman
konseptual yang komprehensif. Sementara kalo lo udah ngerti
konsepnya, dengan sendirinya juga lo akan hafal sama istilah-istilah
yang digunakan.

Nih ya, gua mau bahas sedikit pembedahan tingkat kecerdasan yang jauh
lebih bener daripada pembagian hafalan-hitungan. Berdasarkan Blooms
Taxonomy, kemampuan manusia dalam domain kognitif terbagi menjadi tiga
aspek, yaitu:

1. Level 1: Knowledge, yang termasuk dalam knowledge adalah


pengetahuan kita mengenai fakta-fakta atau terminologi yang spesifik,
pengetahuan mengenai metode-metode tertentu, dan pengetahuan
mengenai prinsip-prinsip dan teori-teori universal.
2. Level 2: Comprehension, Sedangkan comprehension merupakan
kemampuan kognitif yang melibatkan kemampuan untuk memahami
konsep, membandingkan konsep, menginterpretasikan suatu fenomena
atau abstraksi tertentu, dan dapat menyimpulkan main idea dari
pembahasan-pembahasan tertentu.
3. Level 3: Critical Thinking, terdiri dari beberapa dimensi,
yaitu: analysis, evaluation, synthesis.

Analysis : menguji dan menguraikan informasi dan/atau pengetahuan


dengan cara mengidentifikasi komponen-komponen dari informasi
tersebut (misalnya: penyebab, efek, dan prevalensi)
Evaluation: mengajukan dan mempertahankan opini dengan cara
membuat penilaian mengenai informasi dari gagasan berdasarkan
dengan kriteria-kriteria tertentu.
Synthesis: mengumpulkan informasi-informasi terkait suatu gagasan
tertentu untuk membuat suatu kesimpulan dan menghasilkan gagasan
alternatif

Suatu aktivitas pembelajaran dapat dikatakan efektif dan memberikan


manfaat ketika aktivitas tersebut dapat membawa kita ke level 3:
kognisi critical thinking. Ketika kita cuma itung-itungan dengan ngehafal
rumus, atau tau istilah-istilah dengan cara ngehapal, maka lo hanya sampai ke
level kognitif knowledge doang.

Nah untuk bisa belajar dengan cara yang bener, lo justru jangan cuma sampai
ke level-1 doang, tapi lo juga dituntut untuk mengolah knowledge itu menjadi
level 2: comprehension hingga ke level 3: analysis, evaluation, dan synthesis.
Konsep inilah yang selama ini dibahas sama Glenn di artikel sebelumnya
tentang perbedaan studying dengan learning.

So, menurut gue, baik ketika lo masuk jurusan IPA ataupun jurusan IPS,
hapalan dan itungan itu bukanlah hal yang patut lo pusingin. Justru hal yang
harus lo pastikan adalah apakah lo paham dengan apa yang disampaikan oleh
guru/apa yang sedang lo pelajarin. Ketika lo udah paham sama suatu konsep,
secara otomatis lo akan familiar dengan konsep tersebut, dan tanpa intensi
untuk menghafal, lo akan hafal istilah-istilah dan rumus-rumus itu dengan
sendirinya. Pas SMA, gue punya prinsip Yang penting ngerti dulu, kalau
hafal mah itu bonus buat gue.

Mitos #3: Anak IPA itu


emang udah seharusnya
lebih jago
matematika daripada anak
IPS
Miskonsepsi ini sebetulnya salah satu yang paling parah, bahkan di terjadi di
kalangan guru sekalipun. Lo tau nggak sih kalo sebetulnya matematika ini
bukanlah cabang dari bidang IPA (natural science), dan bukan juga IPS
(social science).

"Lha, bukannya selama ini gua pikir matematika itu


identik dengan jurusan IPA?"
Nope. IPA maupun IPS adalah science. Maksudnya science, itu artinya ilmu
mempelajari hal yang konkrit, sedangkan matematika itu adalah ilmu abstrak,
bukan konkrit. Jadi sekali lagi, matematika itu bukan science.

Istilah science artinya kita mempelajari ilmu yang bisa diamati dan bisa
direpresentasikan dalam dunia nyata, pembuktiannya disebut
dengan evidence. Sedangkan inti dari matematika itu adalah abstract
modeling dari logika dimana pembuktiannya biasa disebut dengan proof. Jadi
matematika merupakan ilmu pengetahuan murni yang bersifat abstrak dan dia
bisa berdiri sendiri tanpa sokongan ilmu-ilmu lain.

So, Matematika itu sama sekali nggak identik sama hitungan apalagi jurusan
IPA. Matematika itu gak nyambung sama sekali sama ilmu alam maupun
hitungan. Jadi sebetulnya baik jurusan IPA maupun IPS harus sama-sama
menguasai pelajaran matematika dengan baik, karena konsep-konsep dasar
dari matematika bisa diterapkan untuk membantu cabang-cabang ilmu
lainnya dalam proses pengembangan ilmu tersebut.
Mitos #4: Anak IPA bisa
masuk semua jurusan
kuliah, anak IPS cuma bisa
soshum
Ketika gue SBMPTN, banyak temen gue yang ngeluh karena anak-anak IPA
dianggap sering mengambil lahan anak-anak IPS ketika memasuki
jurusan-jurusan pas mau kuliah.
Sebetulnya sih, hal ini ada benernya juga, mengingat banyak banget anak-
anak yang dulunya berada di jurusan IPA tapi pas SBMPTN ngambil jurusan
IPC supaya bisa ambil jurusan IPS pas kuliahnya. Termasuk gue juga dari
jurusan IPA emang akhirnya milih ngambil Psikologi di UI, hehe..

Terus biasanya kalo anak-anak IPA yang ngambil IPC ada yang lulus pas
SBMPTN-nya dalam ngambil jurusan seperti Psikologi, Ekonomi, atau
Hubungan Internasional, langsung pada menggerutu seperti ini.

"Halah anak IPA kenapa sih masih


ngerebut aja lahan anak IPS!? Padahal
kan mereka udah punya jurusannya
sendiri, kenapa gak dari awal aja kalo gitu
mereka ambil jurusan IPS? Mereka kan
pinter-pinter jadi gampang aja kalo mau
ngambil soshum, sedangkan kita yang di
IPS kan gak bisa segampang itu ngambil
jurusan IPA."
Nggak sedikit juga lho, lo ngedengerin komentar seperti ini, terutama nanti
begitu lo yang di kelas 12 SMA udah mulai mikirin jurusan kuliah.
Sebenernya sikap seperti ini mungkin lo anggep sebagai celotehan biasa aja,
tapi jangan salah lho. Sikap seperti ini tuh bisa diterjemahkan sebagai sikap
inferior yang juga berperan menambah pupuk paradigma yang salah tentang
pembagian IPA maupun IPS.

Kita semua sebetulnya juga tau kan, kalo jurusan IPA mupun jurusan IPS
sebetulnya bisa aja kok daftar IPC pas SBMPTN. Tinggal seberapa niat aja lo
belajar sebelum SBMPTN dan seberapa siap elo untuk ngehadapin
persaingan untuk mendapatkan jurusan di universitas tersebut.
Jadi seharusnya nih, baik jurusan IPA maupun IPS ya kembali pada
kompetisi yang fair dan sejajar sebagai sesama intelektual muda untuk bisa
mendapatkan jurusan kuliah dan universitas yang diinginkan.

Sekilas info aja, sejauh yang gua tau para pengguna zenius dari bertahun-
tahun belakangan ini udah buanyaak banget kok yang berhasil lolos
SBMPTN lintas jurusan dengan mengambil IPC atau malah langsung
nyebrang (IPA ambil SBMPTN Soshum / IPS ngambil SBMPTN saintek).
Intinya sih emang tinggal seberapa besar lo berusaha dan berjuang, berikut
ini beberapa catatan perjuangan mantan murid zenius dari tahun ke tahun :

So, in the end, gue cuma mau nekenin kalau sebenernya IPA dan IPS itu
bukanlah dua disiplin ilmu yang berlainan satu sama lain, bukan juga dua
disiplin ilmu yang berada di satu kontinum yang sama (maksudnya gak bisa
dibandingin kalo ilmu X lebih baik dari pada ilmu Y). Setiap cabang ilmu
pengetahuan menurut gue memiliki landasan berpikir masing-masing tapi
ilmu-ilmu tersebut juga bisa terintegrasi satu sama lain dalam menjelaskan
segala hal yang terjadi di alam semesta ini. Pemisahan antara "alam" dan
"sosial" sebetulnya hanyalah simplifikasi dan label untuk melihat suatu
fenomena dari satu sudut pandang tertentu.

Misalnya gini deh, ketika kita meninjau kembali tentang fenomena


wabah Black Death yang terjadi di Eropa pada abad 14, kita bisa meninjau
fenomena ekstrim ini dari berbagai sudut pandang disiplin ilmu. Buat lo yang
belum tau, Black Death merupakan pandemi (wabah penyakit) pertama di
dunia, dengan total kematian diperkirakan hingga 200 juta jiwa! (itu hampir
sama banyaknya dengan jumlah populasi penduduk Indonesia sekarang lho).
Penyebabnya cuma bakteri yang namanya Xenopsylla cheopis. Hal ini
mungkin bisa ditinjau dari sudut pandang biologi tentang bagaimana wabah
ini menyebar dengan sistem parasit 2 level. Tikus (Rattus ratus) yg diparasiti
oleh Pinjal (Xenopsylla cheopsis) dan diparasiti lagi oleh bakteri pes
(Yersinia pestis). Tapi, fenomena ini juga bisa ditinjau dari sudut pandang
lain seperti perubahan sosiologi masyarakat Eropa yang berubah drastis.
Sampai dalam sudut pandang politik dengan mulai dari berkurangnya
kepercayaan terhadap otoritas Kerajaan Roma.

Nah, dari contoh fenomena wabah Black Death yang gua sedikit kupas di
atas, kita jadi punya gambaran komprehensif terkait fenomena-fenomena
tertentu di lingkungan kita dengan melihat dari berbagai macam sudut
pandang, baik segi alam maupun sosial. Selain itu, kita juga bisa mengambil
kesimpulan yang tepat terkait suatu fenomena kalau kita bisa
menganalisisnya dari berbagai sudut pandang dan memilih sudut pandang
mana yang paling pas dan bisa menjelaskan fenomena-fenomena yang kita
analisis. Akhir kata pesen gua cuma satu, bahwa sebetulnya yang namanya
ilmu itu gak bisa kita kategoriin sebagai IPA atau IPS, itu sebetulnya cuma
label agar memudahkan untuk dipelajari doang. Karena pada hakikatnya,
alam semesta ini bekerja dan berinteraksi dalam satu kesatuan sebagaimana
adanya kita lihat sekarang ini, dan pembagian ilmu itu hanyalah penalaran
kita untuk memudahkan cara kita memandang suatu fenomena yang terjadi.

Anda mungkin juga menyukai