Anda di halaman 1dari 6

Sejarah Filsafat Ilmu

Sejarah Lahirnya Filsafat; Aliran dan Mahzab dalam Filsafat

RESUME
MINGGU 3

M ata Kuliah
FILSAFAT ILMU

Dosen :
Prof. Dr. M. Zaim. M.Hum

Oleh:

HERU RIZKI PERDANA


No.NPM : 1910018312056

JURUSAN TEKNIK SIPIL


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS BUNG HATTA
TAHUN 2020
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU

 Perkembangan Awal Pemikiran Filsafat Ilmu

Periode Filsafat Yunani merupakan periode yang sangat penting dalam sejarah
peradaban manusia karena pada waktu ini terjadi perubahan pola fikir manusia dari
mitosentris menjadi logosentris. Pola fikir mitosentris adalah pola fikir masyarakat yang
sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam seperti gempa bumi dan
pelangi. Perubahan pola fikir itu terlihat sederhana tetapi implikasinya tidak sesederhana
yang dibayangkan kerena selama ini alam ditakuti dan dijauhi kemudian di dekati bahkan
dieksploitasi. Manusia yang dulunya pasif dalam menghadapi fenomena alam menjadi
lebih proaktif dan kreatif sehingga alam dijadikan obyek penelitian dan pengkajian. Dari
proses inilah kemudian ilmu berkembang dari rahim Filsafat, yang akhirnya kita nikmati
dalam bentuk teknologi. Karena itu periode perkembangan Filsafat Yunani merupakan
entri poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia.
Terjadinya perubahan yang besar dalam lapangan pengetahuan empiris yang
berdasarkan sikap receptive attitude mind. Bangsa Yunani tak dapat menerima empirirs
tersebut secara pasif-reseptif karena bangsa Yunani memiliki sikap jiwa: “an inguiring
attitude, an inguiring mind”. Dengan demikian lahirlah pengetahuan filsafat yang pada
zaman itu mempunyai arti yang lebih luas dari pada sekarang, yaitu meliputi semua bidang
ilmu sebagai induk ilmu pengetahuan (mater scientarum).
Seperti yang kita ketahui bahwa secara bahasa Filsafat berarti cinta akan
kebijaksanaan/ kebenaran/ pengetahuan. Mencintai pengetahuan adalah awal proses
manusia mau menggunakan daya fikirnya, sehingga dia mampu membedakan mana yang
riil dan mana yang ilusi. Orang Yunani awalnya sangat percaya pada dongeng dan
takhayul, tetapi lama kelamaan, terutama setelah mereka mampu membedakan yang riil
dan yang ilusi, mereka mampu keluar dari kungkungan mitologi dan mendapatkan dasar
pengetahuan ilmiah. Inilah titik awal manusia menggunakan rasio untuk meneliti dan
sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagat raya.
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A mengutip dari buku Sejarah Filsafat Yunani
karangan K. Bertens dikatakan bahwa setelah Thales, muncul Anaximandros (610-
540SM). Anaximandros mencoba menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal,
tidak terbatas, dan meliputi segalanya. Dia tidak setuju unsur utama alam adalah salah satu
dari unsur-unsur yang ada, seperti air atau tanah. Unsur utama alam harus yang mencakup
segalanya di atas segalanya, yang dinamakan apeiron. Jika ia adalah air, maka air harus
meliputi segalanya termasuk api yang merupakan lawannya. Padahal tidak mungkin air
menyingkirkan unsur api. Karena itu Anaximandros tidak puas dengan mnunjukkan salah
satu unsur sebagai prinsip alam, tetapi ia mencari yang lebih dalam yaitu zat yang tidak
dapat diamati oleh panca indra.
Berbeda dengan Thales dan Anaximandros, Heraklitos (540-480SM) melihat alam
semesta ini selalu dalam keadaan berubah; sesuatu yang dingin berubah menjadi panas,
yang panas berubah menjadi dingin. Itu berarti bahwa apa apabila kita hendak memahami
kosmos, kita harus menyadari bahwa kosmos itu dinamis. Segala sesuatu yang saling
bertentangan dan dalam pertentangan itulah kebenaran. Karena itu dia berkesimpulan, tidak
ada satu pun yang benar-benar ada, semuanya menjadi. Ungkapan yang terkenal dari
Heraklitos dalam menggambarkan perubahan ini adalah panta uden menei (semuanya
mengalir dan tidak ada satupun yang tinnggal mantap).
Itulah sebabnya ia mempunyai kesimpulan bahwa yang mendasar dalam alam
semesta ini adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya, yaitu api. Api
adalah unsur yang paling asasi dalam alam karena api dapat mengeraskan adonan roti dan
dari sisi lain dapat melunakkan es. Artinya, api adalah aktor pengubah pada alam ini,
sehingga api pantas dianggap sebagai symbol perubahan itu sendiri.
Filosof alam yang cukup berpengaruh adalah Parmanides (515-440SM) yang lebih
muda umurnya dibandingkan Heraklitos. Pandangannya bertolak belakang dengan
Heraklitos. Menurut Heraklitos, realitas seluruhnya bukanlah sesuatu yang lain dari pada
gerak dan perubahan, sedangkan menurut parmanides, gerak dan perubahan tidak mungkin
terjadi. Menurutnya realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak
berubah. Dia menegaskan bahwa yang ada itu ada. Inilah kebenaran. Coba bayangkan apa
konsekuensi bila ada orang yang memungkiri kebenaran itu. Ada dua pengandaian, yang
pertama adalah orang bisa mengemukakan bahwa yang ada itu tidak ada. Kedua, atau
orang dapat mengemukakan bahwa yang ada itu serentak ada dan serentak tidak ada.
Pengandaian pertama tertolak dengan sendirinya karena yang tidak ada memang tidak ada.
Yang tidak ada tidak dapat dipikirkan dan menjadi obyek pembicaraan. Pengandaian yang
kedua tidak dapat diterima karena antara ada dan tidak ada tidak terdapat jalan tengah,
yang ada akan tetap ada dan yang tidak ada tidak mungkin menjadi ada. Jadi dapat
disimpulkan bahwa yang ada itu ada dan itulah satu-satunya kebenaran.
Phytagoras (580-500SM) mengembalikan segala sesuatu pada bilangan. Baginya
tidak ada satu pun yang di alam ini terlepas dari bilangan. Semua realitas dapat diukur
dengan bilangan (kuantitas). Karena itu ia berpendapat bahawa bilangan adalah unsur
utama dari alam dan sekaligusa menjadi ukuran. Kesimpulan ini ditarik dari kenyataan
bahwa realitas alam adalah harmoni antara bilangan dan gabungan antara dua hal yang
berlawanan. Kalau segala-galanya adalah bilangan, itu berarti bahwa unsur bilangan
merupakan juga unsur yang terdapat dalam segala sesuatu. Unsur-unsur bilangan itu adalah
genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Demikian juga seluruh jagad raya merupakan
suatu harmoni yang mendamaikan hal-hal yang berlawanan. Artinya, segala sesuatu
berdasarkan dan dapat dikembalikan pada bilangan.
Jasa Phytagoras ini sangat besar dalam perkembbangan ilmu, terutama ilmu pasti
dan ilmu alam. Ilmu yang dikembangkan kemudian hari sampai hari ini sangat tergantung
pada pendekatan matematika. Galileo menegaskan bahwa alam ditulis dalam bahasa
matematika. Dalam Filsafat ilmu, matematika merupakan sarana ilmiah yang terpenting
dan akurat karena dengan pendekatan matematikalah ilmu dapat diukur dengan benar dan
akurat. Disamping itu, matematika dapat menyederhanakan uraian yang panjang dalam
bentuk symbol sehingga lebih cepat dipahami.
Sejarah Lahirnya Filsafat
(Aliran dan Mahzab dalam Filsafat)
A. Pengertian Filsafat

Secara etimologis kata filsafat dalam bahasa Yunani adalah philosophia, yaitu
gabungan dari dua kata philia atau philen yang berarti cinta atau mencintai dan sophos
yang berarti kebijaksanaan. Sementara dalam bahasa Inggris,  filsafat berasal dari kata
philosophy yang bisa diartikan sebagai mencintai kebajikan.

Secara terminologis, dalam Kamus Filsafat (Loren Bagus, 1996:42) dijelaskan


beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof, yaitu: Pertama,
filsafat merupakan upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta
lengkap tentang suatu realitas; Kedua, merupakan upaya melukiskan hakikat realitas akhir
dan dasar serta nyata; Ketiga, filsafat merupakan upaya menentukan batas-batas dan
jangkauan dari pengetahuan baik itu tentang sumber, hakikat,, keabsahan, dan nilainya;
Keempat, penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan
yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan; Keenam, filsafat merupakan disiplin
ilmu yang berupaya untuk membantu melihat apa yang dikatakan dan untuk mengatakan
apa yang dilihat.

Endang Saifuddin Anshari (1987: 83) mengutip pernyataan Al Farabi bahwa


pengertian filsafat adalah ilmu tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki
hakikat yang sebenarnya.

Sedangkan Sumarno, Karimah, dan Damayani dalam buku Filsafat dan Etika
Komunikasi (2004: 13-14) pengertian filsafat dapat dibedakan menjadi:

1. Filsafat sebagai suatu sikap. Filsafat merupakan sikap terhadap kehidupan dan alam
semesta. Bagaimana manusia yang berfilsafat dalam menyikapi hidup dan alam
sekitarnya.
2. Filsafat sebagai suatu metoda. Berfilsafat artinya berpikir secara reflektif, yakni
berpikir dengan memerhatikan unsure di belakang objek yang menjadi pusat
pemikirannya.
3. Filsafat sebagai kumpulan persoalan. Befilsafat artinya berusaha untuk
memecahkan persoalan-persoalan hidup.
4. Filsafat merupakan sistem pemikiran. Socrates, Plato, atau Aristoteles merupakan
tokoh filsafat yang menghasilkan sistem pemikiran yang menjadi acuan dalam
menjawab persoalan, sebagai metode, dan cara bersikap kenyataan.
5. Filsafat merupakan analisis logis. Filsafat berarti berbicara tentang bahasa dan
penjelasan makna-makna yang terkandung dalam kata dan pengertian. Hampir setiap
filsuf memakai metode analisis untuk menjelaskan arti istilah dan pemakaian bahasa.
6. Filsafat merupakan suatu usaha memperoleh pandangan secara menyeluruh. Filsafat
mencoba menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai macam ilmu serta
pengalaman manusia menjadi suatu pandangan dunia yang menyeluruh.

Sementara Muntasyir dan Munir (2002: 3) memberikan klasifikasi pengertian


tentang filsafat, sebagai berikut :
1.   Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam
yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal).
2.   Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap
yang sangat kita junjung tinggi (arti formal).
3.   Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat
berusaha untuk mengombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman
kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam (arti
spekulatif).
4.   Filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan
konsep. Corak filsafat yang demikian ini dinamakan juga logosentris.
5.   Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat perhatian
dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.

B. Mazhab Filsafat

Dalam realitasnya, filsafat terbagai ke dalam beberapa mazhab. Kemunculan


mazhab ini terutama berada di abad pertengahan sebagai konsekuensi dari munculnya
golongan-golongan pemikir yang sepaham dengan teori, ajaran, bahkan aliran tertentu
terhadap tokoh-tokoh filsafat atau filsuf. Mazhab-mazhab dalam filsafat terbagai atas
rasionalisme, positivisme, empirisme, idealisme, pragmatisme, fenomenologi, dan
eksistensialisme.

Rasionalisme muncul pada abad ke-17 dan tokoh yang dikenal dalam mazhab ini
adalah Rene Descrates (1596-1650) yang memopulerkan ungkapan cogito ergo sum yang
berarti aku berpikir maka aku ada. Menurut Descrates, manusia memiliki kebebasan dalam
berkehendak oleh karena itu manusia dapat merealisasikan kebebasannya tersebut dan
kebebasanlah yang merupakan cirri khas kesadaran manusia yang berpikir. Mazhab ini
menekankan metode filsafatnya pada rasionalitas dan sumber pengetahuan yang dapat
dipercaya adalah rasio atau akal. Metode deduktif menjadi metode yang popular dalam
mazhab ini. Metode tersebut menggunakan pola penalaran dengan mengambil kesimpulan
dari suatu yang umum untuk diterapkan kepada hal-hal yang khusus. 

Empirisme  merupakan mazhab yang menekankan pada pengalaman nyata atau


empiris yang menjadi sumber dari segala pengetahuan. Bahwa sebuah pengalaman yang
khusus merupakan kesimpulan dari kebenaran-kebenaran yang bersifat umum. Ini
merupakan kebalikan dari mazhab rasionalisme, seiring pula kemunculan mazhab
empirisme pada abad yang sama dengan rasionalisme. Tokoh yang terkenal dalam mazhab
ini adalah Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704). Menurut kedua
tokoh ini, pengalaman adalah awal dari semua pengetahuan dan dapat memberikan
kepastian. Pengalaman ini bisa berupa pengalaman lahiriah maupun batin yang keduanya
saling berhubungan. Pengalaman lahiriah menghasilkan gejala-gejala psikis yang harus
ditanggapi oleh pengalaman batiniah.

Idealisme merupakan istilah yang digunakan oleh Leibniz pada abd ke-18.
Merujuk pada pemikiran Plato bahwa idealisme memfokuskan pemikiran bahwa seluruh
realitas itu bersifat spiritual atau psikis, dan materi yang bersifat fisik sebenarnya tidaklah
nyata. Pemikiran ini didukung oleh George Wilhem Friederch Hegel (1770-1831) di
Jerman yang memiliki pendapat bahwa yang mutlak adalah roh yang mengungkapkan
dirinya di dalam alam dengan maksud agar dapat sadar akan dirinya sendiri dan hakikat
dari roh itu adalah idea tau pikiran. Menurut Hegel, semuanya yang real bersifat rasional
dan semuanya yang rasional bersifat real. Metode dialektik diperkenalkan oleh Hegel
dengan menerapkan tiga proses dialektik, yaitu teas, antitesa, dan sintesa dimana ia
mengusahakan kompromi antara beberapa pendapat yang berlawanan satu sama lainnya.

Positivisme merupakan mazhab yang menekankan pemikiran pada apa yang telah
diketahui, yang faktual, nyata, dan apa adanya. Postivis mengandalkan pada pengalaman
individu yang tampak dan dirasakan dengan pancaindera. Sehingga segala sesuatunya yang
bersifat abstrak atau metafisik tidak diakui. August Comte (1798-1857) merupakan tokoh
mazhab ini yang menyatakan bahwa manusia tidak mencari penyebab yang berada di
belakang fakta dan dengan menggunakan rasionya manusia berusaha menetapkan relasi-
relasi antarfakta.

Pragmatisme muncul pada awal abd ke-20. Mazhab ini menegaskah bahwa segala
sesuatunya haruslah bernilai benar apabila membawa manfaat secara praktis bagi manusia.
Artinya, pengetahuan yang berasal dari pengalaman, rasio, pengamatan, kesadaran lahiriah
maupun batiniah, bahkan yang bersifat abstrak atau mistis pun akan diterima menjadi
sebuah kebenaran apabila membawa manfaat praktis. John Dewey (1859-1852) merupakan
tokoh dalam mazhab ini yang berpendapat bahwa filsafat tidak boleh hanya mengandalkan
pemikiran metafisis yang tidak bermanfaat praktis bagi manusia, melainkan harus berpijak
pada pengalaman yang diolah secafa aktif kritis dan memberikan pengarahan bagi
perbuatan manusia dalam kehidupan nyata.

Fenomenologi  merupakan mazhab yang bersandar pada kemunculan fenomena-


fenomena baik yang nyata maupun semu. Fenomena tidak hanya bisa dirasakan oleh
indera, juga dapat digapai tanpa menggunakan indera. Tokoh dalam mazhab ini adalah
Edmund Husserl (1859-1938) yang menegaskan hukum-hukum logika yang memberi
kepastian sebagai hasil pengalaman bersifat a priori dan bukan bersifat a posteriori.

Eksistensialisme dipelopori oleh Jean Paul Sartre (1905-1980) yang


mengembangkan pemikiran bahwa filsafat berpangkal dari realitas yang ada dan manusia
itu memiliki hubungan dengan keberadaannya dan bertanggung jawab atas keberadaan
tersebut. Mazhab ini menekankan pada bagaimana cara manusia berada di dunia yang
berbeda dengan benda-benda atau objek lainnya. Dengan kata lain, eksistensialisme
menegaskan tentang bagaimana cara manusia bereksistensi dan bukan sekadar hanya
berada sebagai mana benda-benda lainnya.

Anda mungkin juga menyukai