Anda di halaman 1dari 6

Pengertian Validasi

Istilah Validasi pertama kali dicetuskan oleh Dr. Bernard T. Loftus, Direktur Food and Drug
Administration (FDA) Amerika Serikat pada akhir tahun 1970-an, sebagai bagian penting
dari upaya untuk meningkatkan mutu produk industri farmasi. Hal ini dilatar belakangi
adanya berbagai masalah mutu yang timbul pada saat itu yang mana masalah-masalah
tersebut tidak terdeteksi dari pengujian rutin yang dilaksanakan oleh industri farmasi yang
bersangkutan. Selanjutnya, Validasi juga diadopsi oleh negara-negara yang tergabung dalam
Pharmaceutical Inspection Co-operation/Scheme (PIC/S), Uni Eropa (EU) dan World Health
Organization (WHO). Bahkan, Validasi merupakan aspek kritis (substantial aspect) dalam
penilaian kualitas industri farmasi yang bersangkutan.

 Validasi diartikan sebagai suatu tindakan pembuktian dengan cara yang sesuai bahwa tiap
bahan, proses, prosedur, kegiatan, sistem, perlengkapan atau mekanisme yang digunakan
dalam produksi dan pengawasan akan senantiasa mencapai hasil yang diinginkan.

Dari definisi-definisi tersebut tersebut di atas membawa pengertian, bahwa :

 Validasi adalah suatu tindakan pembuktian, artinya validasi merupakan suatu


pekerjaan “dokumentasi”.
 Tata cara atau metode pembuktian tersebut harus dengan “cara yang sesuai”, artinya
proses pembuktian tersebut ada tata cara atau metodenya, sesuai dengan prosedur
yang tercantum dalam CPOB.
 “Obyek” pembuktian adalah tiap-tiap bahan, proses, prosedur, kegiatan, sistem,
perlengkapan atau mekanisme yang digunakan dalam produksi dan pengawasan mutu
(ruang lingkup).
 Sasaran/target dari pelaksanaan validasi ini adalah bahwa seluruh obyek pengujian
tersebut akan senantiasa mencapai hasil yang diinginkan secara terus menerus
(konsisten).

Jenis-jenis Validasi

1. Kualifikasi Mesin, Peralatan dan Sarana Penunjang, terdiri dari :

 Design Qualification (DQ)/Kualifikasi Disain (KD)


 Installation Qualification (IQ)/Kualifikasi Instalasi (KI)
 Operational Qualification (OQ)/Kualifikasi Operasional (KO)
 Performance Qualification (PQ)/Kualifikasi Kinerja (KK)

2. Validasi Metode Analisa

3. Validasi Proses Produksi,

4. Validasi Proses Pengemasan

5. Validasi Pembersihan (Cleaning Validation)

 
Langkah-langkah Pelaksanaan Validasi

Begitu luasnya cakupan validasi, terkadang membingungkan kalangan praktisi di industri


farmasi untuk melaksanakan validasi. FDA dalam “Guideline on General Principles of
Process Validation”, memberikan panduan langkah-langkah dalam pelaksanaan validasi,
yang tertuang dalam “validation life cycle” berikut ini, yaitu :

1. Membentuk Validation Comitee (Komite Validasi), yang bertanggung jawab terhadap


pelaksanaan validasi di industri farmasi yang bersangkutan.
2. Menyusun Validation Master Plan (Rencana Induk Validasi), yaitu dokumen yang
menguraikan (secara garis besar) pedoman pelaksanaan validasi di industri farmasi
yang bersangkutan.
3. Membuat Dokumen Validasi, yaitu protap (prosedur tetap), protokol serta laporan
validasi.
4. Pelaksanaan validasi.
5. Melaksanakan Peninjauan Periodik, Change Control dan Validasi ulang
(revalidation).

Validation Master Plan (VMP) merupakan dokumen yang menyajikan informasi mengenai
program kerja/kegiatan validasi pada industri farmasi yang bersangkutan secara keseluruhan,
termasuk jadwal pelaksanaannya.

Dokumen RIV memuat antara lain :

1. Kebijakan validasi.
2. Struktur organisasi kegiatan validasi (komite validasi).
3. Ringkasan fasilitas, sistem, peralatan, dan proses yang akan divalidasi.
4. Format dokumen: format protokol dan laporan validasi, perencanaan dan jadwal
pelaksanaan validasi.
5. Pengendalian perubahan.
6. Acuan dokumen yang digunakan.
Pendahuluan
Indikator, standar, dan mutu adalah tiga hal yang berbeda. Suatu pelayanan dikatakan
bermutu dalam dimensi tertentu apabila indikator pelayanan mencapai atau melampaui suatu
standar tertentu. Mutu, dengan demikian tidak akan tercapai tanpa suatu perencanaan dan
wawasan yang terkait dengan mutu tersebut. Dengan kata lain, bila kita menginginkan
pelayanan yang bermutu di rumah sakit, maka manajemen rumah sakit perlu memperluas
wawasan mengenai mutu pelayanan tersebut dan merencanakan serangkaian aksi untuk
mencapai suatu tingkat/standar tertentu. Pencapaian atas aksi-aksi tersebut diukur dengan
indikator.

Indikator, dengan demikian, perlu dirancang bersama dengan serangkaian proses yang akan
diambil dalam upaya peningkatan mutu. Memimpin serangkaian proses ini, termasuk
menyusun indikator, menjadi sangat penting. Maksud tulisan ini adalah membahas beberapa
hal yang sering ditanyakan para pimpinan sistem mikro klinis dalam menyusun indikator
mutu pelayanan. Sebagai tambahan yaitu gagasan untuk melakukan analisis lebih lanjut
dengan bantuan ilmu statistika.

IndikatorMutu
Indikator mutu klinis adalah pengukuran manajemen klinis dan/atau luaran pelayanan
(Collopy 2000) dan diwujudkan dalam angka (Takaki et al. 2013). Indikator mutu, dengan
demikian, selalu merupakan pengukuran kuantitatif atau semi kuantitatif yang memiliki
numerator (pembilang) dan denominator (penyebut / pembagi). Umumnya, denominator
adalah populasi tertentu dan numerator adalah kelompok dalam populasi yang memiliki
karakteristik tertentu.

Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) di Amerika Serikat mempublikasikan
empat kelompok indikator mutu, yaitu prevention quality indicator, inpatient quality
indicator, patient safety indicator, dan pediatric quality indicator (dapat diakses di sini).
Sementara itu, Joint Commission International juga menerbitkan International Hospital
Inpatient Quality Measures yang terdiri dari sepuluh kelompok indikator klinis (dapat
diunduh di sini). Contoh dari kedua sumber tersebut sering dipakai bergantian dalam ceramah
mengenai akreditasi rumah sakit di Indonesia.

Di Indonesia, penetapan indikator dipandu Peraturan Menteri Kesehatan No. 129 Tahun 2008
tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit. Dalam lampiran Permenkes
tersebut, diatur 21 jenis pelayanan dan 107 indikator yang telah ditetapkan standar
minimalnya dengan nilai tertentu. Kementrian Kesehatan menetapkan standar ini menjadi
tolak ukur pelayanan rumah sakit badan layanan umum daerah.

Tabel 1. Dimensi mutu (World Health Organization 2006).

Dimensi Mutu Maksud Dimensi Mutu


Efektif / Effective Pelayanan kesehatan yang erat pada basis bukti dan berhasil
dalam meningkatkan luaran kesehatan individu atau
komunitas berdasarkan kebutuhan.
Efisiensi / Efficient Pelayanan kesehatan yang memaksimalkan sumber daya
dan menghindari pemborosan.
Mudah diakses / Pelayanan kesehatan yang tepat waktu, wajar secara
Accessible geografis, dan disediakan dalam kerangka yang tepat dari
sisi keterampilan dan sumber daya untuk memeuhi
kebutuhan.
Diterima / Accepted Pelayanan kesehatan yang mempertimbangkan pilihan dan
(Patient-centred) aspirasi individu pengguna layanan dan budaya
komunitasnya.
Tidak berpihak / Pelayanan kesehatan yang tidak berbeda dalam kualitas
Equity karena karakteristik personal seperti gender, ras, etnis,
lokasi geografis, dan status sosio ekonomi.
Aman / Safe Pelayanan kesehatan yang meminimalisasi resiko dan harm.

Terlepas dari beberapa nilai standar dalam SPM tersebut yang tidak dapat dilampaui, acuan
tersebut memberikan sistematika yang baik dalam membuat indikator. Setiap indikator
dijelaskan dengan beberapa aspek seperti judul indikator, definisi operasional, tujuan,
dimensi mutu, numerator, denominator, frekuensi pengukuran, sumber data, dan penanggung
jawab pengumpulan data.

Pengukuran dapat dilakukan bila tahu apa yang diukur. Dengan demikian, judul dan definisi
operasional indikator telah jelas. Definisi operasional yang dimaksud di sini termasuk definisi
operasional numerator dan denominator. Dimensi mutu sesuai permenkes mengacu pada
dimensi mutu World Health Organization (WHO), yaitu efektif, efisien, mudah diakses,
diterima/berpusat pada pasien, tidak berpihak, dan aman (World Health Organization 2006).
Maksud masing-masing dimensi mutu disajikan dalam tabel 1.

Merancang Pengumpulan Data Indikator


Mengumpulkan data adalah proses yang mungkin paling melelahkan dalam petualangan
menguak mutu pelayanan lewat indikator mutu pelayanan. Salah satu penyebabnya adalah
pengumpulan data kurang dipertimbangkan secara matang ketika indikator mutu disusun.
Cara pengumpulan data berkaitan erat dengan tujuan indikator dan aspek-aspek lain dalam
indikator. Mari kita ambil contoh indikator kejadian infeksi pascaoperasi pada standar
pelayanan minimal rawat inap dalam permenkes di atas.

Dalam Permenkes disebut bahwa numerator adalah jumlah pasien yang mengalami infeksi
dalam satu bulan. Selanjutnya, denominator dalam lampiran tersebut tidak jelas disebutkan
namun kemungkinan adalah jumlah pasien yang dioperasi dalam satu bulan. Di sini jelas,
bahwa angka yang dimaksud dalam permenkes ini adalah angka insidensi. Menilik
keterangannya, muncul beberapa pertanyaan misalnya: Apakah ini dihitung untuk seluruh
rumah sakit atau untuk satu bangsal tertentu? Data ini menunjukkan mutu pelayanan rawat
inap atau menunjukkan mutu layanan sterilisasi atau menunjukkan mutu layanan
pembedahan?

Infeksi pasca operasi saat ini lebih sering disebut sebagai infeksi daerah operasi (IDO) atau
surgical site infection (SSI). Infeksi ini lebih sering didiagnosis setelah pasien pulang dan
merupakan hasil kontaminasi pada daerah luka operasi pada akhir pembedahan (National
Collaborating Centre for Women's and Children's Health 2008). Bila mengikuti panduan
permenkes tersebut, rumah sakit perlu menyediakan dua sarana pengumpulan data, satu untuk
mengumpulkan IDO yang baru ditemukan dan satu untuk mengumpulkan jumlah pasien yang
menjalani operasi pada bulan tersebut.
Dalam kerangka berpikir, indikator mutu pelayanan rawat inap, pimpinan ruang rawat inap
bedah dapat memodifikasi indikator ini untuk mendapatkan manfaat lebih. Mari kita simak
tabel berikut.

Tabel 2. Contoh modifikasi indikator SPM.

  Sesuai Permenkes Modifikasi


Numerator Jumlah pasien yang mengalami Jumlah hari rawat dengan IDO.
infeksi dalam satu bulan.
Denominator Jumlah pasien yang dioperasi dalam Jumlah hari rawat pasien
satu bulan. pascaoperasi.

Dengan modifikasi ini, pimpinan ruang rawat inap bedah memudahkan tim untuk
mengumpulkan data karena setiap hari cukup mendata ada berapa pasien pasca operasi yang
dirawat dan ada berapa pasien yang mengalami IDO. Jumlah tersebut ditambahkan mulai
tanggal satu sampai akhir bulan dan dimasukkan ke dalam rumus. Sekarang, rumah sakit tahu
prevalensi IDO bulan tersebut dan sebagai bonus, pimpinan ruang rawat inap bedah bisa
menghitung berapa banyak sumber daya yang dipakai untuk mengurus IDO dan apakah
prevalensi ini menurun atau tidak dari bulan ke bulan (menunjukkan mutu layanan luka
pascaoperasi di ruang rawat inap bedah).

Merancang Analisis Data Indikator


Analisis yang diminta dalam akreditasi versi lama maupun baru seringkali terbatas pada
pembuatan grafik indikator berbanding waktu dan penjelasan mengenai analisis penyebab.
Dengan kerangka berpikir seperti audit medis dan audit klinis, sebenarnya pimpinan sistem
mikro klinis di rumah sakit dapat memanfaatkan uji beda dalam statistika untuk melihat
peningkatan mutu di unitnya.

Statistika dapat membantu pimpinan rumah sakit untuk melihat apakah ada beda bermakna
pada ruang perawatan satu dengan yang lain pada indikator yang sesuai. Selain itu, pimpinan
rumah sakit dapat mengevaluasi juga apakah benar ada perubahan yang bermakna setelah
intervensi perbaikan mutu dilakukan di suatu unit kerja. Pengujian dengan statistika lebih
lanjut dapat juga mengungkap apakah benar suatu perlakukan meningkatkan mutu pelayanan
tertentu.

Namun sebelum melakukan analisis tersebut, perlu dilakukan pemilihan uji statistik yang
sesuai. Untuk itu pada saat merancang indikator mutu perlu dipikirkan mengenai uji statistik
tersebut. Mulai dari apakah data yang dikumpulkan menggunakan sampel atau populasi.
Populasi berarti semua dihitung. Contoh IDO di atas memanfaatkan data populasi. Semua
pasien yang menjalani operasi dihitung sebagai denominator. Ada keuntungan dan kerugian
masing-masing dalam memakai populasi atau sampel. Bila populasinya tidak banyak,
menggunakan sampel tentu tidak bijaksana.

Persiapan lainnya adalah menentukan tipe data. Apakah data tersebut merupakan data
nominal, ordinal, interval, atau rasio. Tipe data tertentu dapat memerlukan uji statistik yang
berbeda dengan tipe data lainnya untuk melihat hal yang sama.
Dengan penghitungan indikator yang telah dirancang dengan hati-hati ditambah dengan uji
statistik yang sesuai, pimpinan rumah sakit dan pimpinan unit kerja dapat menarik
kesimpulan mengenai mutu pelayanan. Tentu penarikan kesimpulan ini perlu kehati-hatian.
Penurunan secara signifikan waktu respon triase merah di instalasi gawat darurat tidak lantas
disimpulkan bahwa ada perbaikan pelayanan gawat darurat. Hasil ini dapat saja murni
merupakan hasil modifikasi akses masuk pasien saja dan tidak berhubungan sama sekali
dengan mutu pelayanan instalasi gawat darurat secara umum.

Penutup
Indikator mutu rumah sakit adalah ukuran kuantitatif yang diukur untuk lebih memahami
mutu pelayanan di rumah sakit. Indikator perlu dirancang dengan seksama dengan
mempertimbangkan dimensi mutu yang ingin diukur, cara pengumpulan data, dan strategi
analisisnya. Dengan hati-hati merancang indikator mutu pelayanan, sumber daya bisa
dihemat, hasil lebih akurat, dan pengambilan keputusan di tingkat sistem mikro maupun
sistem makro bisa lebih strategis.

Anda mungkin juga menyukai