Anda di halaman 1dari 16

UJIAN AKHIR SEMESTER PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MITRA INDONESIA

SEMESTER GENAP 2022/2023

MATA KULIAH : Manajemen mutu pelayanan kesehatan

HARI : Sabtu, 15 juli 2023,08.00- 09.30

DOSEN PENGAMPU :

1.Dwi YuliaMelitasari SKM, MKM

2. Dr.dr. Endang Budiati MKes

Nama : Marsyah

NPM : 225130086P

Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan singkat dan jelas.

MATERI :

Mutu pelayanan kesehatan berkaitan dengan derajat kebaikan, kehandalan, keunggulan


sehingga menjadi kepuasan seluruh pemangku kepentingan akibat dari meningkatnya
kualitas hidup masyarakat.Oleh karena itu seluruh usaha institusi pada prinsipnya
diarahkan untuk mewujudkan mutu pelayanan kesehatan di Puskesmas, Dinas Kesehatan
dan Rumah Sakit sesuai dengan kriteria yg sudah ditegakkan
A.MANAJEMEN MUTU DI PUSKESMAS
Indikator manajamen mutu di PUSKESMAS yaitu:
1. Kinerja Penilaian puskesmas
2. Definisi mutu dan dimensi mutu pelayanan kesehatan.
3. Kriteria/Indikator kinerja yang terukur
4. Menghitung hasil kerja dengan SPM
5. Pengukuran standart kepatuhan petugas
B.MANAJEMEN MUTU DI RUMAH SAKIT
Indikator manajamen mutu di RUMAH SAKIT yaitu:
1.Bed Occupancy Rate (BOR)
2.Average Length of Stay (AvLOS)
3. Bed Turn Over (BTO)
4. Turn Over Interval (TOI)
5. Net Death Rate (NDR)
6. Gross Death Rate (GDR)
7. Rata-rata Kunjungan Poliklinik Per Hari
8. Angka kematian di Klinik Unit Darurat/Unit Gawat Darurat
SOAL :

1.Setiap mahasiswa memilih salah satu pelayanan kesehatan :

PUSKESMAS atau RUMAH SAKIT yang ada di Indonesia

2.Jelaskan sesuai dengan pilihan yang saudara pilih diatas tentang :

a.Definisi Indikator manajamen mutu

b.Target Indikator manajamen mutu

c.Pencapaian Indikator manajamen mutu

d.Pembahasan pencapaian Indikator manajamen mutu

e. Kesimpulan Indikator manajamen mutu

f. Rekomendasi Indikator manajamen mutu

SELAMAT BEKERJA

Jawaban :

1.Setiap mahasiswa memilih salah satu pelayanan kesehatan :

PUSKESMAS atau RUMAH SAKIT yang ada di Indonesia

Jawaban :

Rumah Sakit

.Jelaskan sesuai dengan pilihan yang saudara pilih diatas tentang :

a.Definisi Indikator manajamen mutu Rumah Sakit


Menurut Institute of Medicine (1994) mutu layanan kesehatan adalah sebagai derajat layanan bagi individu dan
populasi yang meningkatkan kecenderungan hasil akhir yang diinginkan dan konsisten dengan pengetahuan
profesional terkini (Marquis & Huston, 2010).

Memenuhi mutu pelayanan kesehatan maka dasar yang dipergunakan untuk mengukur mutu pelayanan
kesehatan adalah memenuhi kebutuhan dan tuntutan para pemakai jasa pelayanan kesehatan, yang apabila
berhasil dipenuhi akan dapat menimbulkan rasa puas kepada klien (customer satisfaction) terhadap pelayanan
jasa kesehatan.

Jadi yang dimaksud dengan mutu pelayanan kesehatan adalah menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan
kesehatan dalam menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien. Makin sempurna kepuasan, maka makin baik
mutu pelayanan kesehatan (Herlambang, 2016).
Jadi mutu pelayanan kesehatan adalah memberikan pelayanan sesuai dengan harapan dari klien sehingga
menimbulkan rasa puas terhadap pelayanan yang diberikan, semakin puas klien maka akan berdampak terhadap
mutu pelayanan.

Mutu pelayanan kesehatan menjadi hal yang penting dalam rumah sakit, peningkatan kesadaran masyarakat
tentang kesehatan dan pelayanan kesehatan mendorong setiap rumah sakit untuk sadar mutu dalam
memberikan pelayanan kepada klien.

Setiap permasalahan yang muncul dalam rumah sakit khususnya berkaitan dengan mutu layanan kesehatan,
menurut Herlambang (2016) terdapat tiga konsep utama yang selalu muncul. Konsep tersebut adalah akses,
biaya, dan mutu.

Berdasarkan penelitian Sari & Wulandari (2014) bahwa jumlah pasien di rumah sakit H.S Samsoeri Mertojoso
Surabaya mengalami penurunan lebih dari 10% tahun 2014 menunjukkan bahwa ada masalah dengan kualitas
layanannya. Dimensi kualitas pelayanan kesehatan berkorelasi dengan aspek penghormatan dan kepedulian,
kewajaran pelayanan, informasi, efisiensi, kesan pertama, dan keragaman staf rumah. Kepuasan pada aspek
kewajaran pasien kurang puas untuk 38,1% responden. Itu adalah aspek dengan tingkat kepuasan terendah. Hal
itu menunjukkan hal itu aspek keadilan rumah sakit perlu ditingkatkan.

Indikator mutu klinis adalah pengukuran manajemen klinis dan diwujudkan dalam angka. Di Indonesia,
penetapan indikator mutu dipandu Peraturan Meneteri Kesehatan no 129 tahun 2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit. Dalam lampiran permenkes tersebut, diatur 21 jenis pelayanan dan 107
indikator yang telah ditetapkan standar minimalnya dengan nilai tertentu. Penyusunan indikator mutu yang
tepat bukan hal yang mudah. Indikator mutu rumah sakit adalah ukuran kuantatif yang diukur untuk lebih
memahami mutu pelayanan di rumah sakit. Indikator perlu dirancang dengan seksama dengan
mempertimbangkan dimensi mutu yang ingin diukur, cara pengumpulan data, dan strategi analisisnya. Dengan
hati-hati merancang indikator mutu pelayanan, sumber daya bisa dihemat, hasil lebih akurat, dan pengambilan
keputusan di tingkat sistem mikro maupun sistem makro bisa lebih strategis.

Indikator, standar, dan mutu adalah tiga hal yang berbeda. Suatu pelayanan dikatakan bermutu dalam dimensi
tertentu apabila indikator pelayanan mencapai atau melampaui suatu standar tertentu. Mutu, dengan demikian
tidak akan tercapai tanpa suatu perencanaan dan wawasan yang terkait dengan mutu tersebut. Dengan kata
lain, bila kita menginginkan pelayanan yang bermutu di rumah sakit, maka manajemen rumah sakit perlu
memperluas wawasan mengenai mutu pelayanan tersebut dan merencanakan serangkaian aksi untuk mencapai
suatu tingkat/standar tertentu. Pencapaian atas aksi-aksi tersebut diukur dengan indikator.

Indikator, dengan demikian, perlu dirancang bersama dengan serangkaian proses yang akan diambil dalam
upaya peningkatan mutu. Memimpin serangkaian proses ini, termasuk menyusun indikator, menjadi sangat
penting. Memimpin sistem mikro klinik dalam meningkatkan mutu sudah pernah saya bahas dalam tulisan ini.
Maksud tulisan ini adalah membahas beberapa hal yang sering ditanyakan para pimpinan sistem mikro klinis
dalam menyusun indikator mutu pelayanan. Sebagai tambahan yaitu gagasan untuk melakukan analisis lebih
lanjut dengan bantuan ilmu statistika.

Indikator Mutu
Indikator mutu klinis adalah pengukuran manajemen klinis dan/atau luaran pelayanan (Collopy 2000) dan
diwujudkan dalam angka (Takaki et al. 2013). Indikator mutu, dengan demikian, selalu merupakan pengukuran
kuantitatif atau semi kuantitatif yang memiliki numerator (pembilang) dan denominator (penyebut / pembagi).
Umumnya, denominator adalah populasi tertentu dan numerator adalah kelompok dalam populasi yang
memiliki karakteristik tertentu.

Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) di Amerika Serikat mempublikasikan empat kelompok
indikator mutu, yaitu prevention quality indicator, inpatient quality indicator, patient safety
indicator, dan pediatric quality indicator (dapat diakses di sini). Sementara itu, Joint Commission International
juga menerbitkan International Hospital Inpatient Quality Measures yang terdiri dari sepuluh kelompok indikator
klinis (dapat diunduh di sini). Contoh dari kedua sumber tersebut sering dipakai bergantian dalam ceramah
mengenai akreditasi rumah sakit di Indonesia.

Di Indonesia, penetapan indikator dipandu Peraturan Menteri Kesehatan No. 129 Tahun 2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit. Dalam lampiran Permenkes tersebut, diatur 21 jenis pelayanan dan 107
indikator yang telah ditetapkan standar minimalnya dengan nilai tertentu. Kementrian Kesehatan menetapkan
standar ini menjadi tolak ukur pelayanan rumah sakit badan layanan umum daerah.

Tabel 1. Dimensi mutu (World Health Organization 2006).

Dimensi Mutu Maksud Dimensi Mutu

Efektif / Effective Pelayanan kesehatan yang erat pada basis bukti dan berhasil dalam
meningkatkan luaran kesehatan individu atau komunitas berdasarkan
kebutuhan.

Efisiensi / Efficient Pelayanan kesehatan yang memaksimalkan sumber daya dan


menghindari pemborosan.

Mudah diakses Pelayanan kesehatan yang tepat waktu, wajar secara geografis, dan
/ Accessible disediakan dalam kerangka yang tepat dari sisi keterampilan dan sumber
daya untuk memeuhi kebutuhan.

Diterima / Accepted Pelayanan kesehatan yang mempertimbangkan pilihan dan aspirasi


(Patient-centred) individu pengguna layanan dan budaya komunitasnya.

Tidak berpihak / Equity Pelayanan kesehatan yang tidak berbeda dalam kualitas karena
karakteristik personal seperti gender, ras, etnis, lokasi geografis, dan
status sosio ekonomi.

Aman / Safe Pelayanan kesehatan yang meminimalisasi resiko dan harm.

b.Target Indikator manajamen mutu RS


Pengukuran mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit diawali dengan mengukur dan memecahkan masalah
pada tingkat input dan proses maupun output. Rumah sakit diharuskan melakukan berbagai prosedur dan
standar sehingga dapat menilai diri sendiri (self-assesment). Untuk menilai keberhasilan rumah sakit dalam
menjaga maupun meningkatkan mutu diperlukan indikator-indikator tertentu. Indikator ini telah disusun
dengan WHO untuk menjadi modal bagi rumah sakit untuk melaksanakan self-assesment tersebut.

1. Indikator Pelayanan Non Bedah, terdiri dari:


a. Angka Pasien dengan Dekubitus;
b. Angka Kejadian Infeksi dengan jarum infus.
c. Angka Kejadian penyulit/infeksi karena Transfusi Darah.
d. Angka Ketidak Lengkapan Catatan Medis.
e. Angka Keterlambatan Pelayanan Pertama Gawat Darurat.

2. Indikator Pelayanan, yang terdiri dari


a. Angka Infeksi Luka Operasi.
b. Angka Komplikasi Pasca Bedah.
c. Waktu tunggu sebelum operasi effektif.
d. Angka Appendik normal.

3. Indikator Ibu Bersalin dan Bayi, terdiri dari


a. Angka Kematian Ibu karena Eklampsia Kasus Rujukan dan Bukan Rujukan.
b. Angka Kematian Ibu karena Perdarahan Kasus Rujukan dan Bukan Rujukan.
c. Angka Kematian Ibu karena Sepsis Kasus Rujukan dan bukan Rujukan.
d. Angka Kematian Bayi dengan BB Lahir <= 2000 gram Kasus Rujukan dan Bukan Rujukan.

4. Indikator Mutu Pelayanan Medis


a. Angka infeksi nosokomial
b. Angka kematian kasar (Gross Death Rate)
c. Kematian pasca bedah
d. Kematian ibu melahirkan ( Maternal Death Rate-MDR)
e. Kematian bayi baru lahir (Infant Death Rate-IDR)
f. NDR (Net Death Rate di atas 48 jam)
g. ADR (Anasthesia Death Rate)
h. PODR (Post Operation Death Rate)
i. POIR (Post Operative Infection Rate)

5. Indikator mutu pelayanan untuk mengukur tingkat efisiensi RS

6. Unit cost untuk rawat jalan


a. Indikator mutu yang berkaitan dengan tingkat kepuasan pasien
b. Jumlah keluhan dari pasien/keluarganya
1) Indikator cakupan pelayanan sebuah RS terdiri dari
2) Jumlah dan pesentase kunjungan rawat jalan/inap menurut jarak PS dengan asal pasien
a) Jumlah pelayanan dan tindakan medik
b) Jumlah tindakan pembedahan
c) Jumlah kunjungan SMF spesialis
d) Pemfaatan oleh masyarakat
e) Contact rate
f) Hospitalization rate
g) Out patient rate
h) Emergency out patient rate

7. Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien

8. Indikator tambahan
a. Angka Kematian di IGD (IGD).
b. Angka Perawatan Ulang (Rekam Medis).
c. Angka Infeksi RS.
d. Reject Analisis (Radiologi).
e. Angka Ketidaksesuaian Penulisan Diet (Gizi).
f. Angka Keterlambatan waktu pemberian makan (Gizi).
g. Angka Kesalahan Pembacaan Hasil (laboratorium).
h. Angka Waktu Penyelesain Resep (Farmasi).

9. Angka Kesalahan Pemberian Obat (Farmasi).

10. Angka Banyaknya Resep yang Tidak Terlayani (Farmasi).


a. Jumlah penderita yang mengalami dekubitus
b. Jumlah penderita yang jatuh dari tempat tidur
c. BOR (Bed Occupancy Rate)
d. BTO (Bed Turn Over)
e. TOI (Turn Over Interval)
f. ALOS (Average Length of Stay)
g. Normal Tissue Removal Rate

1. Surat pembaca di koran


2. Surat kaleng
3. Surat masuk dari kotak saran, dan sebagainya
4. Survei tingkat kepuasan pengguna pelayanan kesehatan RS

1. Pasien terjatuh dari tempat tidur/kamar mandi


2. Pasien diberi obat yang salah
3. Tidak ada obat/alat emergensi
4. Tidak ada oksigen
5. Tidak ada alat penyedot lendir
6. Tidak tersedia alat pemadam kebakaran
7. Pemakaian obat tidak sesuai standar
8. Pemakaian air, listrik, gas, dan sebagainya.
Mutu pelayanan medis dan kesehatan di RS sangat erat kaitannya dengan manajemen RS (quality of services)
dan keprofesionalan kinerja SMF dan staf lainnya di RS (quality of care). Keduanya merupakan oucome dari
manajemen manjaga mutu di RS (quality assurance) yang dilaksanakan oleh gugus kendali mutu RS. Dalam hal
ini, gugus kendali mutu dapat ditugaskan kepada komite medik RS karena mereka adalah staf fungsional
(nonstruktural) yang membantu direktur RS dengan melibatkan semua staf SMF RS.

c.Pencapaian Indikator manajamen mutu RS


Hasil (outcome) yang dimaksud di sini adalah hasil akhir dari suatu proses kegiatan dan tindakan tenaga profesi
serta seluruh karyawan terhadap pelanggan. Hasil yang diharapkan dapat berupa perubahan yang terjadi pada
pelanggan, baik secara fisik-fisiologis maupun sosialpsikologis, termasuk kepuasan pelanggan. Hasil merupakan
pendekatan secara tidak langsung, namun sangat bermanfaat untuk mengukur mutu pelayanan di rumah sakit
atau institusi pelayanan kesehatan lainnya. Logika yang dipakai adalah jika masukan atau input telah tersedia
sesuai rencana, maka proses akan bisa terlaksana. Apabila proses dilaksanakan sesuai yang direncanakan
berdasarkan standar yang ada, maka hasil akan tercapai dengan baik dan sesuai harapan pelanggan.
Mengukur Mutu Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Menurut pohan, I (2003) dalam Prastiwi (2010), langkah
pengukuran mutu pelayanan tersebut dapat dipilah-pilah menjadi beberapa langkah sebagai berikut:
a. Pembentukan kelompok jaminan mutu pelayanan kesehatan
b. Penyusunan standar pelayanan kesehatan
c. Pemilihan tehnik pengukuran mutu pelayanan
d. Pengukuran mutu dengan cara membandingkan standar pelayanan kesehatan dengan
kenyataan yang dicapai.

Donabedian, A (1982) dalam Prastiwi (2010), menganjurkan agar standar dan kriteria diklasifikasikan kedalam
tiga kelompok, hal ini pada prinsipnya sama dengan yang dianjurkan oleh World Health Organitation (WHO)
yaitu:
a. Standar masukan atau input
Standar struktur atau masukan menentukan tingkat sumberdaya yang diperlukanagar standar
pelayanan kesehatan dapat dicapai. Contohnya antara lain ialah: tenaga kesehatan yang
kompeten, peralatan, pemeriksaan, obat, kamar pemeriksaan, pasien tenaga profesi, pasien,
peralatan, bahan gedung, pencatatan, keuangan, singkatnya semua sumberdaya yang
digunakan untuk dapat melakukan pelayanan kesehatan seperti yang tersebut dalam standar
pelayanan kesehatan.
b. Standar proses
Standar proses adalah suatu kegiatan yang harus dilakukan agar standar pelayanan kesehatan
dapat dicapai, proses akan menjelaskan apa yang dikerjakan, untuk siapa, siapa yang
mengerjakan, kapan dan bagaimana standar pelayanan kesehatan dapat dicapai. Dalam
contoh standar pelayanan kesehatan sebagai proses adalah petugas kesehatan melakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik serta tindakan lain seperti yang telah ditentukan dalam
standar pelayanan kesehatan tersebut. Semua hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dan
tindakan dicatat dengan lengkap dan akurat dalam rekam medik.
c. Standar keluaran atau output
Standar keluaran atau output atau hasil pelayanan kesehatan ialah hasil pelayanan kesehatan
yang dilaksanakan sesuai standar pelayanan kesehatan dan ini sangat penting. Kriteria
outcome yang umum digunakan antara lain:
1) Kepuasan pasien
2) Pengetahuan pasien
3) Fungsi pasien
4) Kesembuhan, kematian, komplikasi dll.

d.Pembahasan pencapaian Indikator manajamen mutu


Jawaban :
Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (MENPAN) nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik Bab V huruf A, rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan publik dan
dalam rangka menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu, perlu memperhatikan dan menerapkan
beberapa prinsip, yakni:
1. Kesederhanaan. Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah
dilaksanaan.
2. Kejelasan. Kejelasan ini mencakup kejelasan dalam hal:
a. Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik;
b. Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan
dan penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik;
c. Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
3. Kepastian waktu. Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang
ditentukan.
4. Akurasi. Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah.
5. Keamanan. Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum.
6. Tanggung jawab. Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk
bertanggungjawab atas penyelenggaraan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam
pelaksanaan pelayanan publik.
7. Kelengkapan sarana dan prasarana. Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan
pendukung lainnya yang memadai termasuk penyedia sarana teknologi telekomunikasi dan
informatika (telematika).
8. Kemudahan akses. Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau
oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.
9. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan. Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan
santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
10. Kenyamanan. Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman,
bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung
pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain. Selain itu, dalam Keputusan Menteri
Pemberdayaan Aparatur Negara (MENPAN) nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik Bab V huruf B, juga diatur bahwa rumah sakit sebagai
penyelenggara pelayanan publik dan dalam rangka menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang
bermutu harus memiliki standar pelayanan yang sekurang-kurangnya meliputi:
a. Prosedur pelayanan. Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima
pelayanan termasuk pengaduan.
b. Waktu penyelesaian. Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan
permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan.
c. Biaya pelayanan. Biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses
pemberian pelayanan.
d. Produk pelayanan. Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
e. Sarana dan prasarana. Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh
penyelenggara pelayanan publik.
f. Kompetensi petugas pemberi pelayanan. Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus
ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, ketrampilan, sikap, dan
perilaku yang dibutuhkan.

e. Kesimpulan Indikator manajamen mutu


1. Bed Occupancy Rate (BOR)
Bed Occupancy Rate (BOR) yaitu prosentase pemakaian tempat tidur pada satu satuan waktu
tertentu, indikator ini memberikan gambaran tinggi rendahnya pemanfaatan dari tempat tidur
rumah sakit. BOR = Jumlah hari perawatan rumah sakit / (jumlah tempat tidur x jumlah hari dalam
satu periode) x 100%. Angka BOR yang rendah menunjukkan kurangnya pemanfaatan fasilitas
perawatan rumah sakit oleh masyarakat. Angka BOR yang tinggi (lebih dari 85 %) menunjukkan
tingkat pemanfaatan tempat tidur yang tinggi sehingga perlu pengembangan rumah sakit atau
penambahan tempat tidur. Menurut Barber Johnson nilai ideal BOR adalah 75%-85%.

Berdasarkan data yang kami dapatkan dari hasil kunjungan bahwa Bed Occupancy Rate (BOR) di
Rumah Sakit “X” berada di angka 90%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan tempat
tidur yang tinggi, sehingga Rumah sakit “X” perlu melakukan pengembangan rumah sakit atau
penambahan tempat tidur.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nababan (2012) tinggi rendahnya angka pencapaian BOR
satu rumah sakit atau ruang rawat inap sangat dipengerahui oleh banyak faktor baik dari internal
maupun faktor eksternal. faktor-faktor yang mempengaruhi nilai BOR sangatlah banyak dan
komplek, tetapi pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor
eksternal rumah sakit. Didalam faktor internal adalah: budaya rumah sakit, sistem nilai,
kepemimpinan, sistem manajemen, sistem informasi, sarana prasarana, sumber daya manusia,
pemasaran, citra, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah letak geografis,
keadaan sosial ekonomi konsumen, budaya masyarakat, pemasok, pesaing, kebijakan pemerintah
daerah, peraturan, dan lain-lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi BOR meliputi faktor internal
dan faktor eksternal rumah sakit. Namun, faktor yang berperan signifikan terhadap BOR adalah
faktor internal rumah sakit yang meliputi faktor input dan faktor proses pelayanan, sedangkan
faktor eksternal yaitu kondisi pasien.

Faktor input yang mempengaruhi BOR meliputi sarana umum, sarana medis, sarana penunjang
medis, tarif, ketersediaan pelayanan, tenaga medis, para medis perawatan. Faktor proses
pelayanan yang mempengaruhi BOR meliputi sikap dokter dalam memberikan pelayanan, sikap
perawat dalam memberikan pelayanan dan komunikasi pelayanan. Sikap perawat yang
memberikan pelayanan secara umum yaitu terdiri dari keramahan dalam memberikan pelayanan
dan cara memberikan informasi juga komunikasi. Sedangkan dari faktor kondisi pasien meliputi
sosial ekonomi, jarak dan transportasi, motivasi dan prioritas terhadap rumah sakit dan perilaku
terhadap kesehatan.

2. Average Length of Stay (AvLOS)


Average Length of Stay (AvLOS) merupakan rata-rata lama rawatan seorang pasien. Indikator ini
disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi juga dapat memberikan gambaran mutu
pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu yang dijadikan tracer (yang perlu
pengamatan lebih lanjut).

Lamanya dirawat (LOS) digunakan untuk mengukur efisiensi pelayanan rumah sakit yang tidak
dapat dilakukan sendiri tetapi harus bersama dengan interpretasi BTO dan TOI. Disamping
memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan gambaran mutu pelayanan,
apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang memerlukan pengamatan
lebih lanjut. Secara umum nilai LOS yang ideal adalah antara 6-9 hari (DepKes, 2005). Sedangkan
menurut Baber Johnson adalah 3-12 hari.

Berdasarkan data yang kami dapatkan dari hasil kunjungan bahwa Average Length of Stay (AvLOS)
adalah 5 hari, jadi tergantung pedomannya menggunakan standar Depkes atau Baber Johnson.
Nilai AvLOS dikatakan efisien menurut Sudra (2010) menyatakan bahwa standar AvLOS dari
Depkes RI mempunyai nilai ideal yaitu 6-9 hari. Dari aspek medis, semakin panjang nilai AvLOS
maka bisa menunjukkan kinerja kualitas medis yang kurang baik, karena pasien harus dirawat
lebih lama. Sedangkan dari aspek ekonomis, semakin panjang nilai AvLOS berarti semakin tinggi
biaya yang nantinya harus dibayar oleh pasien. Jadi perlu adanya keseimbangan antara sudut
pandang medis dan ekonomis.

Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Rinjani dan Triyanti (2016) yang
menyatakan bahwa rendahnya nilai AvLOS dapat diakibatkan oleh kurang baiknya perencanaan
dalam pemberian pelayanan kepada pasien atau kebijakan dibidang medis dan angka AvLOS
sangat dipengaruhi oleh jenis penyakit yang diderita oleh pasien. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Dewi, dkk (2009) membuktikan bahwa kecenderungan nilai AvLOS mempengaruhi keuangan,
kualitas dan efisiensi RS, diikuti kasus morbiditas, mortalitas, komplikasi serta pengobatan awal
jika pasien terdiagnosa secara awal dari suatu penyakit. Terdapat hubungan yang signifikan antara
mutu rumah sakit dengan nilai AvLOS, hal ini bisa dikarenakan nilai AvLOS tidak ada yang
memenuhi standar Depkes 6-9 hari.

Adapun kemungkinan penyebab AvLOS yang kurang dari 6 hari disebabkan pendeteksian dini dari
suatu penyakit, baik itu karena ketepatan diagnosa ataupun karena alat laboratorium yang
memadai sehingga penatalaksanaan sedini mungkin dan sembuh, atau pasien yang rawat inap
terlalu banyak dan kurang tempat tidurnya sehingga pasien dipulangkan cepat. Hal ini berkaitan
dengan mutu rumah sakit, jika mutu RS bagus maka AvLOS juga mungkin akan mengecil, hanya
saja belum ada penelitian yang mendukung hal tersebut, dan standar AvLOS 6-9 hari. AvLOS yang
<6 hari bisa juga disebabkan jumlah pasien yang keluar karena meninggal akibat penyakit kronis,
atau dirujuk tanpa pencatatan maupun pulang paksa.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mardian, dkk (2015) menyatakan bahwa standar efisiensi
dianjurkan serendah mungkin tanpa mempengaruhi kualitas pelayanan perawatan. Umumnya
nilai AvLOS yang semakin kecil makin baik dengan tetap memperhatikan kualitas pelayanan yang
diberikan, agar memperoleh nilai capaian AvLOS yang ideal sehingga menimbulkan efisiensi
pelayanan dapat dilakukan melalui penetapan standar pelayanan yang disepakati oleh dokter-
dokter yang bekerja di rumah sakit. Standar pelayanan ini mencakup indikasi perawatan rumah
sakit, prosedur dan proses pelayanan yang selayaknya harus dilaksanakan, serta sistem
pembiayaan yang diberlakukan dalam memberikan jasa pelayanan kesehatan. Adanya indikasi
perawatan rumah sakit yang jelas, akan mengurangi jumlah perawatan rumah sakit yang tidak
perlu, sehingga pasien-pasien yang memerlukan perawatan rumah sakit saja yang akan di rawat
di rumah sakit. Hal ini untuk mengurangi kecendurangan yang terjadi selama ini dimana sering
ditemukan perawatan rumah sakit yang tidak perlu (over utilization).
3. Bed Turn Over (BTO)
Bed Turn Over (BTO) diartikan sebagai frekuensi pemakaian tempat tidur, berapa kali dalam satu
satuan waktu tertentu (biasanya 1 tahun) tempat tidur di rumah sakit dipakai. Indikator ini
memberikan gambaran tingkat efisiensi dari pada pemakaian tempat tidur. Berdasarkan data
yang kami dapatkan dari hasil kunjungan bahwa nilai Bed Turn Over (BTO) Bed Turn Over (BTO)
adalah 30 hari.

Standar yang ditetapkan Depkes RI bahwa nilai ideal BTO yaitu 40-50/tahun. Hatta (2013)
menyatakan bahwa indikator BTO berguna untuk melihat berapa kali tempat tidur rumah sakit
digunakan. Beberapa formula menggunakan rate dan tidak ada persetujuan umum yang
mengatakan bahwa indikator ini tepat untuk mengukur utilitas rumah sakit, tetapi bagaimanapun
administrator rumah sakit masih menggunakan karena mereka ingin juga melihat keselarasan dari
indikator lainnya yang terkait seperti length of stay dan bed occupancy rate. Ketika bed occupany
rate bertambah dan length of stay memendek maka akan tampak efek dari perubahan atau bed
turn over rate Nilai BTO yang rendah dapat merugikan bagi pihak rumah sakit karena tidak sering
digunakan dan akan menimbulkan ketidak puasan bagi pasien.

Secara logika, semakin tinggi angka BTO berarti semakin banyak pasien yang menggunakan
tempat tidur yang tersedia secara bergantian. Hal ini tentu merupakan kondisi yang
menguntungkan bagi pihak rumah sakit karena tempat tidur yang tersedia tidak “menganggur”
dan menghasilkan pemasukan untuk pihak rumah sakit. Namun bisa dibayangkan bila dalam satu
bulan tempat tidur digunakan oleh 15 pasien, berarti rata-rata setiap pasien menempati tempat
tidur tersebut selama 2 hari dan tidak ada hari dimana tempat tidur tersebut kosong. Ini berarti
beban kerja tim perawatan sangat tinggi dan tempat tidur tidak sempat dibersihkan karena terus
digunakan pasien secara bergantian, kondisi ini mudah menimbulkan ketidakpuasan pasien, bisa
mengancam keselamatan pasien, bisa menurunkan kinerja kualitas medis dan bisa meningkatkan
kejadian infeksi nosokomial karena tempat tidur tidak sempat dibersihkan atau disterilkan. Jadi
dibutuhkan angka BTO yang ideal dari aspek medis, pasien, dan manajemen rumah sakit.

4. Turn Over Interval (TOI)


Turn Over Interval (TOI) yaitu rata-rata hari, tempat tidur tidak ditempati dari saat terisi ke saat
terisi berikutnya. Indikator ini juga memberikan gambaran tingkat efisiensi dari pada
penggunaan tempat tidur. Berdasarkan data yang kami dapatkan dari hasil kunjungan bahwa
nilai Turn Over Interval (TOI) adalah 1 hari.

Penelitian yang dilakukan oleh Nanang, dkk (2012) yang menyatakan bahwa nilai BOR yang
memenui standar ideal berpengaruh pada TOI, karena semakin besar nilai BOR maka nilai TOI
akan rendah. Indriani dan Sugiarti (2014), menyatakan bahwa idealnya nilai TOI ini juga
dipengaruhi oleh penambahan fasilitas tempat tidur (TT). Nilai TOI dikatakan efisien menurut
Sudra (2010) yang menyatakan bahwa standar TOI dari Depkes RI mempunyai nilai ideal yaitu 1-
3 hari. Semakin besar nilai TOI berarti semakin lama hari dimana tempat tidur kosong yakni tidak
digunakan oleh pasien. Hal ini membuat tempat tidur semakin tidak produktif, kondisi ini tentu
tidak menguntungkan dari segi ekonomi bagi pihak menajemen rumah sakit. Semakin kecil angka
TOI, berarti semakin singkat saat tempat tidur akan digunakan pasien berikutnya. Hal ini
menyebabkan tempat tidur sangat produktif, sehingga bisa menguntungkan dari segi ekonomi
bagi pihak manajemen rumah sakit, akan tetapi bisa merugikan pasien dikarenakan tempat tidur
belum disiapkan secara baik, serta meningkatkan infeksi nosokomial dan perlu diadakannya
sanitasi lingkungan.
5. Net Death Rate (NDR)
Net Death Rate (NDR) diartikan sebagai angka kematian ≥ 48 jam setelah dirawat untuk tiap-tiap
1000 penderita keluar. Indikator ini dapat memberikan gambaran mutu pelayanan di rumah
sakit. Berdasarkan data yang kami dapatkan dari hasil kunjungan bahwa nilai Net Death Rate
(NDR) berada diangka 0,8%. Artinya dari 1000 pasien keluar kurang dari 1 orang pasien keluar
dalam keadaan meninggal. Dapat disimpulkan bahwa setiap bulannya angka kematian bersih
Rumah sakit “X” sudah sangat baik, karena berada dalam standar ideal yaitu ≤ 25%.

Hal yang harus diperhatikan penyebab pasien meninggal selama masa perawatan adalah
diagnosa penyakit terhadap pasien, menentukan tindakan atau pengobatan yang akan
dilakukan, selain itu sarana dan prasarana terutama dalam hal medis sudah ditingkatkan untuk
menunjang pelayanan, serta tenaga kesehatan yang trampil dan cekatan untuk menekankan
angka kematian (Rustiyanto, 2010).

Pasien yang sembuh atau meninggal salah satunya dipengaruhi oleh penyakit yang diderita.
Lestari dan Wulandari (2014) menerangkan bahwa pasien dengan penyakit akut memiliki
presentase sembuh lebih banyak dari pasien dengan penyakit kronik maupun akut-kronik. Pasien
dengan penyakit akut akan lebih banyak sembuh ketika keluar dari rumah sakit. Pasien yang
menderita penyakit akut-kronik mempunyai jumlah yang paling sedikit untuk sembuh. Penyakit
akut dan kronik berhubungan dengan meninggalnya pasien ketika keluar dari rawat inap. Adanya
hasil yang signifikan antara diagnosis pasien terhadap outcome yang didapatkan. Jenis penyakit
pasien didapatkan dari diagnosis yang terdapat dalam rekam medis.

Pasien dengan penyakit kronik dan akut-kronik berhubungan dengan Discharge Status yang
cenderung jelek pada pasien. Pasien yang dibawa ke rumah sakit lebih cepat cenderung memiliki
Discharge Status yang baik. Pasien yang sudah sakit lama di rumah dan baru dibawa ke pelayanan
kesehatan memiliki Discharge Status yang kurang baik. Orang sakit yang telat mendapatkan
penanganan medis dapat memperparah penyakit yang diderita. Kemungkinan muncul keluhan
lain dan mendapatkan komplikasi sangat ada. Pasien yang berasal dari IGD dengan datang sendiri
merupakan asal pasien terbanyak sebelum masuk rawat inap.
6. Gross Death Rate (GDR)
Gross Death Rate (GDR) adalah angka kematian umum untuk tiap-tiap 1000 penderita keluar.
Berdasarkan data yang kami dapatkan dari hasil kunjungan bahwa nilai Gross Death Rate (GDR)
berada di angka 1%, artinya dari 1000 pasien keluar 1 diantaranya pasien keluar dalam keadaan
meninggal dunia. Dapat disimpulkan bahwa setiap bulannya angka kematian kasar di Rumah
Sakit “X” sudah sangat baik karena berada dalam standar ideal yaitu ≤ 45%.

Adapun faktor yang mempengaruhi nilai GDR menurut keterangan kepala rekam medis
disebabkan oleh angka rujukan yang tidak terkendali. Rujukan dari rumah sakit lain biasanya
menelfon terlebih dahulu sebelum mengirim pasiennya. Namun juga ada rumah sakit yang
mengirim tanpa konfirmasi dulu sedangkan keadaan pasien sudah sangat drop akhirnya
meninggal. Hal tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Pratama dan Karunia
(2017) penurunan dan peningkatan angka GDR dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
adalah pelayanan klinis di unit gawat darurat.

7. Rata-rata Kunjungan Poliklinik Per Hari


Indikator ini dipakai untuk menilai tingkat pemanfaatan poliklinik rumah sakit. Angka rata-rata
ini apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk diwilayahnya akan memberikan gambaran
cakupan pelayanan dari suatu rumah sakit. Berdasarkan data yang kami dapatkan dari hasil
kunjungan bahwa rata-rata Kunjungan Poliklinik Per Hari dalam kurun waktu 2 tahun terakhir
adalah sebanyak 354 kunjungan dan mengalami peningkatan sekitar 15 % pertahunnya. Artinya
semakin tinggi rasio kunjungan baru makan semakin baik pelayanan yang diberikan oleh rumah
sakit. Angka kunjungan baru dapat juga menunjukkan mutu pelayanan yang diberikan oleh
poliklinik.

8. Kegiatan Klinik Unit Darurat/Unit Gawat Darurat


Angka kematian di Klinik Unit Darurat/Unit Gawat Darurat ≤25%, dibandingkan dengan jumlah
pasien di Unit Darurat. Berdasarkan data yang kami dapatkan dari hasil kunjungan bahwa
Kegiatan Klinik Unit Darurat/Unit Gawat Darurat Angka kematian di Klinik Unit Darurat/Unit
Gawat Darurat dibandingkan dengan jumlah pasien di Unit Gawat Darurat dalam 1 tahun terakhir
berada di angka 0,5%. Kegiatan klinik unit darurat terdiri dari beberapa indikator, yaitu angka
kematian di klinik unit darurat dan angka rujukan

f. Rekomendasi Indikator manajamen mutu

Jawaban :
Pelayanan Kesehatan Adalah variabel ukuran atau tolak ukur untuk mengetahui adanya perubahan
penyimpangan yang dikaitkan dengan target atau standar yang telah ditentukan, indikator biasanya digunakan
dalam mengukur keberhasilan kinerja seseorang, kelompok atau rumah sakit tertentu, berikut salah satu jenis
pelayanan, indikator, dan standar dalam penilaian standar dalam penilain standar pelayanan minimal (Putra,
2014).

Menurut Woodruff dan Gardial (2002) kepuasan sebagai model kesenjangan antara harapan (standar kinerja
yang seharusnya) dengan kinerja aktual yang diterima klien. Kepuasan klien merupakan perasaan senang atau
puas bahwa pelayanan atau jasa telah sesuai atau melebihi harapan pasien. Kepuasan klien terjadi apabila apa
yang menjadi kebutuhan, keinginan, harapan klien dapat dipenuhi, maka klien akan puas (Nursalam, 2015).

Kepuasan klien merupakan salah satu indikator kualitas pelayanan yang diberikan dan merupakan modal untuk
mendapatkan pasien yang loyal. Pasien yang loyal akan menggunakan kembali pelayanan kesehatan yang sama
bila mereka membutuhkan lagi. Pasien yang loyal adalah sarana promosi yang murah, karena diketahui bahwa
pasien loyal akan mengajak orang lain untuk menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang sama.
Rumah sakit melalui program pembinaan upaya kesehatan diharapkan dapat memenuhi capaian indikator
standard. Pencapaiannya meliputi adanya jumlah kabupaten/kota yang memiliki 1 RSUD bersertifikasi akreditasi
nasional sebanyak 481 kabupaten/kota. Indikator penilaian yang dijadikan standar untuk peningkatan kualitas
mutu kesehatan di rumah sakit secara umum adalah BOR, AvLOS TOI dan BTO yang terumuskan dalam Grafik
Barber Johnson. Indikator lainnya seperti GDR, NDR, Rata-rata kunjungan poliklinik per hari dari UGD juga
merupakan bagian dari penilaian standar indikator mutu pelayanan rumah sakit. Indikator yang paling sering
digunakan sebagai standar peningkatan kualitas mutu kesehatan di rumah sakit adalah sebagai berikut :
1. Bed Occupancy Rate (BOR) Bed Occupancy Rate (BOR) yaitu prosentase pemakaian tempat tidur pada satu
satuan waktu tertentu, indikator ini memberikan gambaran tinggi rendahnya pemanfaatan dari tempat tidur
rumah sakit.
2. Average Length of Stay (AvLOS) Average Length of Stay (AvLOS) merupakan rata-rata lama rawatan seorang
pasien. Indikator ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi juga dapat memberikan gambaran mutu
pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu yang dijadikan tracer (yang perlu pengamatan lebih
lanjut).
3. Bed Turn Over (BTO) Bed Turn Over (BTO) diartikan sebagai frekuensi pemakaian tempat tidur, berapa kali
dalam satu satuan waktu tertentu (biasanya 1 tahun) tempat tidur di rumah sakit dipakai. Indikator ini
memberikan gambaran tingkat efisiensi dari pada pemakaian tempat tidur.
4. Turn Over Interval (TOI) Turn Over Interval (TOI) yaitu rata-rata hari, tempat tidur tidak ditempati dari saat
terisi ke saat terisi berikutnya. Indikator ini juga memberikan gambaran tingkat efisiensi dari pada penggunaan
tempat tidur.
5. Net Death Rate (NDR) Net Death Rate (NDR) diartikan sebagai angka kematian ≥ 48 jam setelah dirawat untuk
tiap-tiap 1000 penderita keluar. Indikator ini dapat memberikan gambaran mutu pelayanan di rumah sakit.
6. Gross Death Rate (GDR) Gross Death Rate (GDR) adalah angka kematian umum untuk tiap-tiap 1000 penderita
keluar.
7. Rata-rata Kunjungan Poliklinik Per Hari Indikator ini dipakai untuk menilai tingkat pemanfaatan poliklinik
rumah sakit. Angka rata-rata ini apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk diwilayahnya akan memberikan
gambaran cakupan pelayanan dari suatu rumah sakit.
8. Kegiatan Klinik Unit Darurat/Unit Gawat Darurat Angka kematian di Klinik Unit Darurat/Unit Gawat Darurat
£25%, dibandingkan dengan jumlah pasien di Unit Darurat.

Anda mungkin juga menyukai