Anda di halaman 1dari 71

1

DETASEMEN KESEHATAN WILAYAH


BANJARMASIN RUMAH SAKIT TINGKAT III
DR R SOEHARSONO

BAB I
PENDAHULUA
N

Pelayanan kesehatan rumah sakit yang bermutu dan aman merupakan kebutuhan
dan tuntutan masyarakat pengguna rumah sakit. Pelayanan kesehatan seperti itu telah
menjadi fokus perhatian pemerintah yang dituangkan dalam kewajiban rumah sakit dan
hak pasien (UU RI No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit). Pada Pasal 29 UU tersebut
disebutkan bahwa rumah sakit berkewajiban memberi pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit dan pada Pasal 32 disebutkan bahwa pasien
berhak memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya
selama dalam perawatan di rumah sakit.
Pelayanan yang berkualitas merupakan cerminan dari sebuah proses yang
berkesinambungan dengan berorientasi pada hasil yang memuaskan. Dalam
perkembangan masyarakat yang semakin kritis, mutu pelayanan rumah sakit tidak hanya
disorot dari aspek klinis medisnya saja namun juga dari aspek keselamatan pasien dan
aspek pemberian pelayanannya , karena muara dari pelayanan rumah sakit adalah
pelayanan jasa.
Menurut Donabedian dalam Utarini 2011, Konsep mutu pelayanan kesehatan telah
lama dipelajari. Sejak tahun 1966 Avedis Donabedian mengembangkan suatu kerangka
evaluasi mutu pelayanan, yang terdiri dari struktur, proses dan outcome. Struktur adalah
kondisi yang harus dipenuhi sebagai prasyarat untuk menyediakan pelayanan. Proses
merupakan berbagai aktivitas dan prosedur yang dilakukan dalam memberikan pelayanan
kesehatan, sedangkan outcome menunjukkan hasil dari suatu upaya, baik di tingkat
individu ataupun populasi. Struktur yang memadai diperlukan untuk melakukan proses
pelayanan yang ideal, agar menghasilkan outcome yang optimal. Dengan pemahaman ini,
mutu bukanlah suatu ketidaksengajaan. Pendekatan lain untuk menunjukkan pentingnya
mutu pelayanan kesehatan adalah dengan mencermati karakteristik pelayanan yang
buruk.
2

Mutu pelayanan kesehatan merupakan kesempurnaan suatu produk dalam


pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa. Pelayanan yang
bermutu merupakan penyelenggaraan pelayanan yang diberikan sesuai dengan prosedur
dan standar pada kode etik profesi yang telah ditetapkan, dengan menyesuaikan potensi
dari sumber daya yang tersedia secara aman dan memuaskan yang dilakukan dengan
wajar, efisien dan efektif dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan
pemerintah dan masyarakat konsumen (Azwar, 2007).
Peningkatan mutu adalah program yang disusun secara objektif dan sistematik
untuk memantau dan menilai mutu serta kewajaran asuhan terhadap pasien,
menggunakan peluang untuk meningkatkan asuhan pasien dan memecahkan masalah-
masalah.
Upaya meningkatkan mutu pelayanan dan upaya keselamatan pasien di rumah
sakit merupakan sebuah gerakan yang universal. Berbagai negara maju bahkan telah
menggeser paradigma kualitas kearah paradigma baru yaitu kualitas keselamatan. Ini
berarti bukan hanya mutu pelayanan yang harus ditingkatkan tetapi yang lebih penting
lagi adalah menjaga keselamatan pasien secara konsisten dan terus menerus.
3

BAB II
LATAR BELAKANG

Rumah Sakit di Indonesia khususnya di Banjarmasin jauh lebih banyak


dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dampak positif dari banyaknya rumah sakit
adalah banyaknya pilihan bagi mereka untuk memilih pelayanan kesehatan yang terbaik.
Selain itu di era JKN ini Rumah Sakit tentunya tertantang untuk memberikan pelayanan
yang terbaik dengan nilai klaim yang tidak sesuai (minimal). Tetapi tentunya hal ini dapat
memberikan dampak yang negatif yaitu munculnya pelayanan yang tidak memenuhi
standar pelayanan minimal untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan semurah
mungkin.
Rumah Sakit adalah suatu institusi pelayanan kesehatan yang kompleks, padat
SDM dan padat modal. Kompleksitas ini muncul karena pelayanan di rumah sakit
menyangkut berbagai fungsi pelayanan, pendidikan dan penelitian, serta mencakup
berbagai tingkatan maupun jenis disiplin. Agar rumah sakit harus memiliki sumber daya
manusia yang profesional baik di bidang teknis medis maupun administrasi kesehatan.
Untuk menjaga dan meningkatkan mutu, rumah sakit harus mempunyai suatu ukuran
yang menjamin peningkatan mutu dan keselamatan pasien di semua tingkatan.
Pengukuran mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit sesuai amanat penilaian
akreditasi rumah sakit yang mengukur dan memecahkan masalah pada tingkat input dan
proses. Pada kegiatan ini rumah sakit harus melakukan berbagai standar dan prosedur
yang telah ditetapkan. Rumah sakit dipicu untuk dapat menilai diri (self assesment) dan
memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Sebagai kelanjutan untuk mengukur hasil kerjanya perlu ada alat ukur yang lain,
yaitu instrumen mutu pelayanan rumah sakit yang menilai dan memecahkan masalah
pada hasil (output). Tanpa mengukur hasil kinerja rumah sakit tidak dapat dikertahui
apakah input dan proses yang baik telah menghasilkan out put yang baik pula. Indikator
rumah sakit disusun bertujuan mengukur kinerja rumah sakit serta nyata sesuai standar
yang ditetapkan.
Rumah Sakit Tingkat III Rs Tk III Dr R soeharsono merupakan rumah sakit kelas C,
Rumah Sakit Tingkat III Rs Tk III Dr R soeharsono merupakan satuan eslon pelaksana
Detasemen Kesehatan Wilayah Banjarmasin Kesdam V/Rs Tk III Dr R soeharsono,
Rumah Sakit Tingkat III Rs Tk III Dr R soeharsono yang berkedudukan di: Jl.Soetoyo S
Banjarmasin. Dalam Perkembangannya Rumah Sakit Tingkat III
4

Rs Tk III Dr R soeharsono mengalami beberapa kali perubahan status dan lokasi.


Rumah Sakit Tingkat III Rs Tk III Dr R soeharsono selalu berusaha mewujudkan
pelayanan kesehatan yang paripurna, bermutu dan berkeadilan untuk seluruh lapisan
masyarakat dengan mengacu pada visi dan misi yang telah ditetapkan organisasi.

1. MAKSUD DAN TUJUAN


Laporan ini merupakan salah satu media informasi pertanggungjawaban untuk
menilai keberhasilan dan kegagalan pencapaian sasaran dan tujuan peningkatan mutu
dan keselamatan pasien yang telah ditetapkan oleh Rumah Sakit Tingkat III Rs Tk III Dr R
soeharsono. Dalam laporan ini diuraikan hasil evaluasi berupa analisis indikator mutu
kunci yang telah ditetapkan yaitu indikator mutu klinik, indikator mutu manajemen dan
indikator sasaran keselamatan pasien dan indikator Mutu Nasional.

2. SASARAN
Sasaran kegiatan yaitu unit pelayanan dan unit penunjang di rumah sakit.

3. KEGIATAN POKOK DAN RINCIAN KEGIATAN


a. Kegiatan Pokok.
1) Umum
Kegiatan Komite Mutu dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit Tingkat III Rs
Tk III Dr R soeharsono dilakukan melalui Pemantauan Indikator Klinis, Pemantauan
Indikator Manajemen, dan pemantauan Indikator Keselamatan pasien dan Indikator
Mutu Nasional yang dilaksanakan pada bulan April s/d Juni 2020.
Mutu pelayanan rumah sakit dapat dipertanggung-jawabkan baik buruknya
dinilai dari kualitas pelayanan pasien, yang biasanya dihubungkan dengan kualitas
pelayanan medis dan atau kualitas pelayanan keperawatan.
Guna Mencapai tujuan dari program ditetapkan target yang spesifik dan
terukur sehingga menunjukkan hasil yang optimal antara yang diperlukan untuk
merealisasikan Upaya Peningkatan Mutu dan Keselamatan Rumah Sakit .
5

b. Langkah-langkah kegiatan pokok yang dilakukan berikut :

1) Menetapkan judul baru indikator mutu kunci


2) Mengadakan sosialisasi secara berkesinambungan profil indikator
mutu kunci baru
3) Mengadakan sosialisasi secara terus menerus dan berkesinambung
program mutu dan keselamatan pasien
4) Melakukan pengumpulan data 9 indikator klinik, 9 indikator
manajemen dan 6 sasaran Keselamatan Pasien (patient safety) dan 12
Indikator Mutu Nasional.
5) Melakukan pencatatan, pelaporan, evaluasi dan tindak lanjut dari 10
indikator klinik, 9 indikator manajemen dan 6 sasaran keselamatan pasien di
rumah sakit dan 12 Indikator Mutu Nasional
6) Melakukan pengumpulan data 10 indikator klinik, 9 indikator
manajemen dan 6 sasaran keselamatan pasien dan 12 Indikator Mutu
Nasional
7) Melaksanakan monitoring/pengawasan secara berkesinambungan
proses upaya pelaksanaan program peningkatan mutu dan keselamatan
pasien
8) Melakukan sistem pencatatan, pelaporan, dan evaluasi hasil secara
berkelanjutan.

c. Rincian Kegiatan
Secara rinci Kegiatan Upaya Peningkatan Mutu dan Keselamatan sebagai
berikut :

1) Sosialisasi dilakukan di setiap unit dengan melakukan survey ke


lapangan guna menyamakan persepsi secara bersama-sama
2) Menunjuk petugas di setiap unit sebagai pengumpul data dan kepala
ruangan sebagai validator.
3) Memastikan tersedianya formulir Insiden,10 Indikator Klinik, 9
Indikator Mutu Manajemen, dan 6 sasaran Keselamatan Pasien dan 12
Indikator Mutu Nasional di setiap unit.
4) Mengadakan pertemuan rutin Komite Mutu dan Keselamatan Pasien
guna melaksanakan analisa evaluasi program.
6

Indikator mutu kunci pelayanan yang telah ditetapkan di Rumah Sakit


Tingkat III Rs Tk III Dr R soeharsono terdiri dari 3 area yaitu :
a) Area Klinis
No Kode Judul Indikator PIC
1 2 3 4
1 IAK 1 Angka ketidaklengkapan pengisian assesmen Kepala Instalasi
awal medis rawat Inap diisi 1 X 24 jam pada Rawat Inap

pasien Diabetes Mellitus


2 IAK 2 Kejadian Kesalahan Penyampaian
hasil Kepala Sub
laboratorium pada pasien Diabetes Mellitus di Instalasi
Laboratorium
Rawat Inap
Patologi Klinik
3 IAK 4 Angka ketidaklengkapan Surgical Checklist pada Kepala Instalasi
pasien Diabetes Mellitus di Ruang Operasi Rawat Inap
4 IAK 5 Kejadian pemberian obat bagi pasien Diabetes Kepala Instalasi
Mellitus diluar Formularium Farmasi
5 IAK 6 Angka Ketidaklengkapan Penulisan Resep bagi Kepala Instalasi
pasien Diabetes Mellitus Farmasi
6 IAK 7 Angka ketidaklengkapan asesmen pra anestesi Kepala Instalasi
pasien Diabetes Mellitus Kamar Bedah
7 IAK 9 Angka ketidaklengkapan Pengisian Rekam Medik Penanggung
24 jam Setelah selesai Pelayanan Rawat Inap Jawab Rekam
pada pasien Diabetes Mellitus Medik
8 IAK 10 Insiden Rate Healthcare Associated Infections Ketua Komite
(HAIs) PPI
7

b) Area Manajemen
No Kode Judul Indikator PIC
1 2 3 4
1 IAM 1 Angka ketidaktersediaan obat Diabetes Mellitus Kepala Instalasi
di rumah sakit Farmasi
2 IAM 2 Angka Ketidaktepatan Waktu Pengiriman Kepala Urusan
Laporan Bulanan ke Dinas Kesehatan dan Informasi
Kesdam Kesehatan (Kaur
Infokes)
3 IAM 3 Pengadaan Barang Beracun Berbahaya (B-3) Kepala Instalasi
yang tidak dilengkapi Material Safety Data Farmasi / Ketua
Sheet (MSDS) Manajemen
Risiko
4 IAM 4 Angka Ketidaksesuaian pemanfatan alat USG Kaur Infokes
dalam penegakan diagnosis pasien yang
dilaksanakan di Poliklinik Kandungan
5 IAM 5 Kepuasan pasien terhadap pelayanan rumah Ketua Komite
Mutu dan
sakit
Keselamatan
Pasien (KMKP)
6 IAM 6 Kepuasan Pegawai Kepala Urusan
Personalia (Kaur
Pers)
7 IAM 7 Tren 10 Besar Diagnose Penyakit Kepala Urusan
Informasi
Kesehatan (Kaur
Infokes)
8 IAM 8 Angka ketidaktepatan waktu penyusunan Kabinayanmasum
laporan keuangan

9 IAM 9 Angka ketidakpatuhan penggunaan alat Komite PPI


pelindung diri
8

c) Area sasaran keselamatan pasien


No Kode Judul Indikator PIC
1 2 3 4
1 SKP 1 Angka ketidakpatuhan perawat melaksanakan Kepala Instalasi
verifikasi identifikasi pasien sebelum melakukan Rawat Inap
tindakan atau prosedur (kepala ruangan
rawat inap)
2 SKP 2 Angka ketidakpatuhan pelaksanaan prosedur Kepala Instalasi
instruksi verbal via telepon di luar jam kerja yang Rawat Inap
di READBACK dan ditandatangani dalam waktu
24 jam
3 SKP 3 Angka Ketidakpatuhan pemberian label obat Kepala Instalasi
Hight Alert oleh farmasi di Gudang Obat Farmasi Rawat Inap
4 SKP 4 Angka ketidakpatuhan pelaksanaan sitemarking Kepala
Departemen
Bedah
5 SKP 5 Angka ketidakpatuhan petugas kesehatan dalam Komite PPI
melakukan kebersihan tangan dengan metode
enam langkah dan lima momen di Rawat Inap
6 SKP 6 Angka ketidakpatuhan perawat melakukan Kepala Instalasi
assesmen ulang pada pasien resiko jatuh Rawat Inap

d) Indikator Mutu Nasional


No Kode Judul Indikator PIC
1 2 3 4
1 IMN 1 Kepatuhan Identifikasi Pasien Kepala Instalasi
Rawat Inap
2 IMN 2 Waktu Tanggap Pelayanan IGD (Emergency Kepala Instalasi
Respon Time) IGD
3 IMN 3 Waktu Tunggu Rawat jalan Kepala Instalasi
Rawat Jalan
9

1 2 3 4
4 IMN 4 Waktu Tunggu Operasi Elektif
5 IMN 5 Kepatuhan Jam Visite Dokter Spesialis
6 IMN 6 Waktu Lapor Hasil Tes Kritis Laboratorium Kepala Unit
Laboratorium
7 IMN 7 Kepatuhan Penggunaan Formularium Nasional Kepala Instalasi
(FORNAS) Farmasi
8 IMN 8 Kepatuhan Cuci Tangan Komite PPI
9 IMN 9 Kepatuhan Upaya Pencegahan Resiko Cedera Kepala Instalasi
Rawat Inap
Akibat Pasien jatuh
10 IMN 10 Kepatuhan Terhadap Clinical Pathway Ketua Komite
Medik

11 IMN 11 Kepuasan Pasien dan Keluarga Ketua Komite


Mutu dan
Keselamatan
Pasien (KMKP)
12 IMN 12 Kecepatan Respon terhadap Komplain Ketua Komite
Mutu dan
Keselamatan
Pasien (KMKP)
10

BAB III
PELAKSANAAN KEGIATAN

4. Pemantauan Indikator Mutu Kunci Area Klinik

Indikator mutu adalah ukuran mutu dan keselamatan rumah sakit yang
digambarkan dari data yang dikumpulkan.

Pemantauan Indikator mutu kunci area klinik, yaitu :


a. Angka ketidaklengkapan pengisian assesmen awal medis rawat Inap
diisi 1 X 24 jam pada pasien Diabetes Mellitus
Ketika pasien diterima di rumah sakit untuk pelayanan/pengobatan rawat
inap atau rawat jalan, perlu dilakukan asesmen lengkap untuk menetapkan alasan
kenapa pasien perlu datang berobat ke rumah sakit. Pada tahap ini, rumah sakit
membutuhkan informasi khusus dan prosedur untuk mendapat informasi,
tergantung pada kebutuhan pasien dan jenis pelayanan yang harus diberikan
(contoh rawat inap atau rawat jalan). Asesmen awal dari seorang pasien, rawat
jalan atau rawat inap, sangat penting untuk mengidentifikasi kebutuhan pasien dan
untuk
memulai proses pelayanan. Asesmen awal memberikan informasi untuk :
1) Memahami pelayanan apa yang dicari pasien
2) Memilih jenis pelayanan yang terbaik bagi pasien
3) Menetapkan diagnosis awal
4) Memahami respon pasien terhadap pengobatan sebelumnya
Diabetes Mellitus (DM) atau penyakit kencing manis merupakan suatu
penyakit menahun yang ditandai dengan kadar glukosa darah (gula darah)
melebihi nilai normal (Pedoman Pengendalian Diabetes Melitus dan Penyakit
Metabolik, 2008).

Dari hasil pengamatan selama 3 bulan kami menemukan data sbb:


11

ANGKA KETIDAK LENGKAPAN PENGISIAN ASESSMEN AWAL


MEDIS RAWAT INAP DIIISI 1 X 24 JAM PADA PASIEN DIABETES
MELLITUS
RUMAH SAKIT TINGKAT III RS TK III DR R SOEHARSONO TW II
TAHUN 2020
16.00%
14.00% 14.33%
12.00% 11.70%
10.00%
9.12%
8.00%
6.00%
4.00%
2.00%
0.00% APRIL JUNI
MEI
CAPAIAN 14.33% 11.70% 9.12%
STANDAR 0% 0% 0%

Analisa :

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa Angka Ketidak Lengkapan Pengisian
Asessmen Awal Medis Rawat Inap Diiisi 1 X 24 Jam Pada Pasien Diabetes Mellitus
Rumah Sakit Tingkat III Rs Tk III Dr R soeharsono Tw II Tahun 2020, masih belum sesuai
dengan standar yang ditetapkan. Untuk itu dilakukan analisa menggunakan fishbone .
Akar masalah yang mempengaruhi Angka Ketidak Lengkapan Pengisian Asessmen Awal
Medis Rawat Inap Diiisi 1 X 24 Jam Pada Pasien Diabetes Mellitus yaitu :

1) Man (SDM)
Waktu untuk melengkapi asessmen tidak cukup (sibuk)
2) Machine (Kebijakan)
Tidak ada sangsi untuk tenaga medis (dokter) yang tidak mengisi lengkap
asessmen awal medis
3) Methode (Pelaksanaan)
a) Kurangnya sosialisasi SPO pengisian lembar asessmen awal medis
(Pengisian Rekam Medis)
b) Pelaksanaan pengisian masih belum sesuai SPO
4) Material (Alat)
Formulir analisis kuantitatif yang digunakan masih belum mencakup
komponen dasar analisis pengisian Asessmen Awal Medis
5) Money (Pendanaan)
Keterbatasan biaya dalam melakukan evaluasi kelengkapan.
12

b. Kejadian Kesalahan Penyampaian hasil laboratorium pada pasien


Diabetes Mellitus di Rawat Inap
Laboratorium klinik adalah laboratorium kesehatan yang melaksanakan
pelayanan pemeriksaan di bidang hematologi, kimia klinik, mikrobiologi klinik,
parasitologi klinik, imunologi klinik, patologi anatomi, atau bidang lain yang
berkaitan dengan kepentingan kesehatanperorangan terutama untukmenunjang
atau menentukan diagnosis, pemantauan perjalanan penyakit dan terapi serta
prognosis (Depkes RI, 2009).
Laboratorium melakukan pemeriksaan laboratorium yang merupakan
kegiatan pelayanan kesehatan dan menjadi dasar pelayanan di laboratorium
kesehatan. Salah satu di antaranya adalah adanya hasil pemeriksaan laboratorium
yang nantinya digunakan untuk penetapan diagnosis, pemberian pengobatan dan
pemantauan hasil pengobatan serta penentuan prognosis (Kemenkes RI, 2010).
Dari hasil pengamatan selama 3 bulan kami menemukan data sbb:

KEJADIAN KESALAHAN PENYAMPAIAN HASIL LABORATORIUM


PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RAWAT INAP
TRIWULAN II TAHUN 2020

100.00%
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
APRIL MEI JUNI
CAPAIAN 0.00% 0.00% 0.00%
STANDAR 0% 0% 0%

Analisa data :
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa kejadian kesalahan penyampaian hasil
laboratorium pada pasien diabetes mellitus di rawat inap Rumah Sakit Tingkat III
Rs Tk III Dr R soeharsono Triwulan II Tahun 2020, sudah sesuai dengan standar
yang ditetapkan yaitu 0%.
13

c. Angka ketidaklengkapan Surgical Checklist pada pasien Diabetes


Mellitus di Ruang Operasi
Salah satu upaya mutu peningkatan di Rumah Sakit adalah menjalankan
program keselamatan pasien (patient safety). Patient safety adalah pasien bebas
dari cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas atas cedera potensial yang
mungkin terjadi terkait dengan pelayanan kesehatan (2008, KKPRS). Patient safety
merupakan suatu system dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman.
Hal ini termasuk: assessment resiko, identifikasi dan pengolahan hal yang
berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan
belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbul resiko (2006, Kemenkes). Di Indonesia, pencatatan angka
KTD dan KNC masih belum terdokumentasikan dengan baik.
Kamar operasi merupakan tempat yang tepat yang paling sering membuat
cedera dibandingkan dengan unit lain disebuah rumah sakit, karena kamar operasi
merupakan tempat yang rumit dan beresiko tinggi (2016, Siti Karlina). Pada April
2009, WHO melalui World Alliance for Patient Safety membuat Surgical Safety
Checklist (SSC) sebagai alat yang digunakan untuk para klinisi di kamar bedah
untuk meningkatkan keamanan operasi, mengurangi kematian dan komplikasi
akibat pembedahan (2009, WHO). Penggunaan SSCL WHO dapat meningkatkan
kerja sama tim di dalam kamar operasi. Surgical safety checklist telah banyak
digunakan di dunia dan dapat dibuktikan mampu menurunkan angka kematian dan
komplikasi akibat pembedahan.
Dari hasil pengamatan selama 3 bulan kami menemukan data sbb:
14

ANGKA KETIDAKLENGKAPAN SURGICAL CHECKLIST PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI


RUANG OPERASI
RUMAH SAKIT TINGKAT III RS TK III DR R SOEHARSONO TRIWULAN II TAHUN 2020
100.00%
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
0.00% 0.00% 0.00%
APRIL MEI JUNI
CAPAIAN 0.00% 0.00% 0.00%
STANDAR 0% 0% 0%

Analisa data :
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa Angka Ketidaklengkapan Surgical
Checklist Pada Pasien Diabetes Mellitus Di Ruang Operasi Rumah Sakit Tingkat III
Rs Tk III Dr R soeharsono Triwulan II Tahun 2020, sudah sesuai dengan standar
yang ditetapkan. Pada bulan Mei tidak muncul dalam grafik dikarenakan pada
bulan Mei tidak terdapat pasien dengan diagnosa DM di Ruang Operasi.

d. Kejadian pemberian obat bagi pasien Diabetes Mellitus diluar


Formularium
Formularium Rumah Sakit (FRS) adalah suatu daftar obat baku beserta
peraturannya yang digunakan sebagai pedoman dalam pemakaian obat di suatu
rumah sakit yang dipilih secara rasional, berdasarkan informasi obat yang sah dan
juga kebutuhan pasien di rumah sakit. Formularium rumah sakit merupakan
landasan kebijakan manajemen rumah sakit dan menjadi prinsip penting yang
harus diperhatikan Panitia Farmasi dan Terapi (PFT), (Aditama,2007).
Formularium Rumah Sakit disusun mengacu kepada Formularium Nasional.
Formularium Rumah Sakit merupakan daftar Obat yang disepakati staf medis,
disusun oleh Tim Farmasi dan Terapi (TFT) yang ditetapkan oleh Pimpinan Rumah
Sakit. Formularium Rumah Sakit harus tersedia untuk semua penulis Resep,
pemberi Obat, dan penyedia Obat di Rumah Sakit. Evaluasi terhadap Formularium
Rumah Sakit harus secara rutin dan dilakukan revisi sesuai kebijakan dan
15

kebutuhan Rumah Sakit. Penyusunan dan revisi Formularium Rumah Sakit


dikembangkan berdasarkan pertimbangan terapetik dan ekonomi dari penggunaan
Obat agar dihasilkan Formularium Rumah Sakit yang selalu mutakhir dan dapat
memenuhi kebutuhan pengobatan yang rasional (Republik Indonesia, 2014).
Dari hasil pengamatan selama 3 bulan kami menemukan data sbb:

KEJADIAN PEMBERIAN OBAT BAGI PASIEN DIABETES MELLITUS


DILUAR FORMULARIUM
TRIWULAN II TAHUN 2020
100.00%

90.00%

80.00%

70.00%

60.00%

50.00%

40.00%

30.00%

20.00%
0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
10.00% APRIL MEI JUNI
CAPAIAN 0.00% 0.00% 0.00%
STANDAR 0% 0% 0%

Analisa data :
Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa tidak ada kejadian pemberian obat
bagi pasien diabetes mellitus diluar formularium pada Triwulan II tahun 2020 di
Rumah Sakit Tingkat III Rs Tk III Dr R soeharsono.

e. Angka Ketidaklengkapan Penulisan Resep bagi pasien Diabetes


Mellitus
Penulisan resep dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan resep
yaitu :
1) Memenuhi persyaratan administrasi resep meliputi :
a) Identitas pasien (nama, nomor rekam medik, umur, jenis
kelamin)
b) Identitas dokter penulis resep (nama dan paraf dokter)
c) Tanggal resep
d) Riwayat alergi
16

2) Memenuhi persyaratan farmasi, meliputi :


a) Simbol R/
b) Nama obat
c) Bentuk
d) Kekuatan sediaan (untuk obat tunggal)
e) Dosis dan jumlah obat
f) Signature yang berisi aturan penggunaan
g) Untuk dosis dituliskan dengan angka arab (1,2,3,dst) dalam
unit yang bisa diukur seperti : mili liter, mili gram, gram (kecuali obat
campuran).
Kesalahan penulisan resep adalah penulisan resep yang tidak mengikuti
semua ketentuan tersebut diatas. Ketidaklengkapan penulisan resep akan
membahayakan pasien dan membuka peluang timbulnya penyalahgunaan resep
serta dapat menimbulkan Kejadian Potensial Cedera (KPC).
Penulisan resep yang tidak lengkap meliputi resep tanpa tanggal, tanpa
paraf dokter, tidak mencantumkan permintaan bentuk sediaan serta penulisan
resep yang tidak jelas maupun sukar dibaca baik menyangkut nama, kekuatan dan
jumlah obat, bentuk, sediaan maupun aturan pakai.
Dari hasil pengamatan selama 3 bulan kami menemukan data sbb:

ANGKA KETIDAKLENGKAPAN PENULISAN RESEP BAGI


PASIEN DIABETES MELLITUS
TRIWULAN II TAHUN 2020
2.50%
2.34%
2.00%

1.50%

1.17%
1.00%
0.78%
0.50%

0.00%
APRIL MEI JUNI
CAPAIAN 0.78% 1.17% 2.34%
STANDAR 0% 0% 0%

Analisa Data :
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa angka ketidaklengkapan penulisan
resep bagi pasien diabetes mellitus di rawat inap, belum sesuai dengan standar
yang ditetapkan. Oleh sebab itu dilakukan analisa dengan menggunakan Fishbone
17

untuk mengetahui penyebab ketidaklengkapan penulisan resep bagi pasien


diabetes mellitus di rawat inap.
Analisa Fishbone :
1) Man (SDM)
Waktu untuk melengkapi resep tidak cukup (sibuk)
2) Machine (Kebijakan)
Tidak ada sangsi untuk tenaga medis (dokter) yang tidak menulis
resep secara lengkap
3) Methode (Pelaksanaan)
a) Kurangnya sosialisasi SPO kelengkapan penulisan resep
b) Pelaksanaan kelengkapan penulisan resep belum sesuai SPO
4) Material (Alat)
Kurangnya ketersediaan SPO kelengkapan penulisan resep di nurse
stasion ataupun di ruang poliklinik

f. Angka ketidaklengkapan asesmen pra anestesi pasien Diabetes


Mellitus
Pelayanan anestesi merupakan suatu tindakan kedokteran yang pada
awalnya dibutuhkan untuk memungkinkan suatu tindakan operasi dapat
dilaksanakan oleh ahli bedah. Oleh karena itu tindakan pemberian anestesi
termasuk sebagai salah satu tindakan kedokteran yang berisiko tinggi, karena
tujuannya adalah pasien dapat bebas dari rasa nyeri dan stres psikis serta pasien
dapat pulih kembali pada masa pasca operasi sesuai dengan derajat berat
ringannya kerusakan yang dialami pasien. Adanya risiko yang tinggi tersebut
menuntut adanya manajemen terhadap risiko tersebut agar pelayanan anestesi
dapat berjalan aman, lancar dan berhasil.
Pelayanan anestesiologi meliputi tindakan untuk mengatasi pasien gawat,
penatalaksanaan nyeri, penilaian pra anestesi, intra anestesi dan pasca anestesi
serta pelayanan lain sesuai bidang anestesiologi
Berhubung anestesi membawa risiko tinggi, maka pemberian layanannya
harus direncanakan dengan seksama. Asesmen pra anestesi pasien merupakan
basis untuk perencanaan tersebut dan untuk penggunaan analgesia pasca operatif.
Asesmen pra anestesi memberikan informasi yang diperlukan bagi :
1) Pemilihan pelayanan anestesi dan merencanakan anestesi;
2) Pemberian layanan anestesi yang aman dan tepat; dan
18

3) Penafsiran temuan pada monitoring pasien.


Seorang spesialis anestesi atau petugas lain berkualifikasi memadai
menjalankan asesmen pra anestesi.
Proses asesmen pra anestesi dijalankan dalam kerangka waktu yang lebih
singkat pada pasien emergensi atau obstetri yang membutuhkan anestesi.
Sebagaimana asesmen pra anestesi dikerjakan sebelum prosedur pembedahan,
pasien dire-evaluasi sesaat sebelum induksi anestesi.
Data yang didapatkan dalam tiga bulan terakhir adalah sebagai

berkut : Analisa Data :

ANGKA KETIDAKLENGKAPAN ASESSMEN PRA ANESTESI PASIEN DIABETES MILLITUS


RUMAH SAKIT TINGKAT III RS TK III DR R SOEHARSONO TRIWULAN II TAHUN 2020
100.00%
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%

0.00% 0.00% 0.00%


APRIL MEI JUNI
CAPAIAN 0.00% 0.00% 0.00%
STANDAR 0.00% 0.00% 0.00%

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa Angka ketidaklengkapan asesmen pra
anestesi pasien Diabetes Mellitus Rumah Sakit Tingkat III Rs Tk III Dr R
soeharsono Triwulan II Tahun 2020, sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Pada bulan Mei tidak muncul dalam grafik dikarenakan pada bulan Mei tidak
terdapat pasien dengan diagnosa DM yang dilakukan tindakan Operasi.

g. Angka ketidaklengkapan Pengisian Rekam Medik 24 jam Setelah


selesai Pelayanan Rawat Inap pada pasien Diabetes Mellitus
Menurut PERMENKES No : 269/MENKES/PER/III/2008 yang dimaksud
Rekam Medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen antara lain identitas
pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan, serta tindakan dan
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Catatan merupakan tulisan
19

tulisan yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi mengenai tindakan tindakan yang
dilakukan kepada pasien dalam rangka pelayanan kesehatan.
Pentingnya pengisian RM maka harus dianalisis dan dicek kembali oleh
petugas Rekam Medis setelah pasien memperoleh pelayanan.
Petugas meneliti kelengkapan isi formulir rekam medis dan bila menemukan
masih ada data yang belum lengkap harus dikembalikan ke unit pencatat data
(ruangan) untuk dilengkapi.
Dari hasil pengamatan selama 3 bulan kami menemukan data sebagai
berikut :

Analisa data :
ANGKA KETIDAKLENGKAPAN PENGISIAN REKAM MEDIK 24 JAM SETELAH SELESAI
PELAYANAN RAWAT INAP PADA PASIEN DIABETES MELLITUS
RUMAH SAKIT TINGKAT III RS TK III DR R SOEHARSONO TW II TAHUN 2020
40.00%
35.00%
30.00%
34.38%
25.00%
20.00%
15.00%

17.24% 10.00%
16.22%
5.00%
0.00%

APRIL MEI JUNI


CAPAIAN 16.22% 17.24% 34.38%
STANDAR 0% 0% 0%

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa Angka ketidaklengkapan Pengisian


Rekam Medik 24 jam Setelah selesai Pelayanan Rawat Inap pada pasien Diabetes
Mellitus, belum sesuai dengan standar yang ditetapkan. Oleh sebab itu dilakukan
analisa dengan menggunakan Fishbone untuk mengetahui penyebab
ketidaklengkapan Pengisian Rekam Medik 24 jam Setelah selesai Pelayanan
Rawat Inap pada pasien Diabetes Mellitus.
Analisa Fishbone :
1) Man (SDM)
Waktu untuk melengkapi berkas Rekam Medis tidak cukup (sibuk)
2) Machine (Kebijakan)
20

Tidak ada sangsi untuk tenaga medis (PPA) yang tidak mengisi
lengkap berkas Rekam Medis
3) Methode (Pelaksanaan)
a) Kurangnya sosialisasi SPO pengisian berkas Rekam Medis
b) Pelaksanaan pengisian masih belum sesuai SPO
4) Material (Alat)
a) Tidak tersedianya buku juknis pengisian rekam medis di
ruangan nurse station dan ruang poliklinik
b) Formulir analisis kuantitatif yang digunakan masih belum
mencakup komponen dasar analisis pengisian berkas Rekam Medis
5) Money (Pendanaan)
Keterbatasan biaya penggandaan buku juknis pengisian rekam medis.

h. Insiden Rate Healthcare Associated Infections (HAIs)


Healthcare Associated Infections (HAIs) adalah adalah infeksi yang terkait
dengan pemberian pelayanan kesehatan di setiap institusi pelayanan kesehatan
(misalnya, rumah sakit, fasilitas pusat kesehatan masyarakat, rawat jalan, dan
perawatan keluarga / komunitas). HAIs didefinisikan sebagai infeksi lokal atau
sistemik yang dihasilkan dari reaksi yang merugikan dengan keberadaan agen
menular atau toksin, yang muncul ≥ 48 jam masa perawatan. HAIs yang di teliti di
RS Tk III Rs Tk III Dr R soeharsono terdiri dari IDO, VAP, ISK, dan Plebitis.
Dari data yang terkumpul selama 3 bulan terlihat sebagai berikut :
21

INSIDEN HEALTHCARE ASSOCIATED INFECTIONS TRIWULAN


II TAHUN 2020
RUMAH SAKIT TK III DR R SOEHARSONO
15 15 15
16
14
12
10
8
6
3.6
4 2.4 2.4
2
0
APRIL MEI JUNI
IDO (INFEKSI DAERAH
0 0 0
OPERASI)
ISK (INFEKSI LUKA OPERASI) 0 0 0
PHLEBITIS 2.4 2.4 3.6
VAP 0 0 0
IAD 0 0 0
STANDAR 15 15 15

Analisi data :
1) Angka kejadian IDO
Pada Triwulan II tahun 2020 di Rumah Sakit Tingkat III Rs Tk III Dr R
soeharsono tidak ada angka kejadian IDO.
Keselamatan pasien merupakan isu yang menjadi perhatian dunia
karena globalisasi teknologi informasi, pengetahuan masyarakat tentang
pelayanan kesehatan dan isu keselamatan pasien yang pesat. Salah satu
indikator keselamatan pasien yang berhubungan dengan tindakan medis
adalah infeksi daerah operasi (IDO) yang merupakan komplikasi utama yang
dialami oleh pasien rawat inap dan menjadi salah satu indikator keselamatan
pasien (Rivai, Koentjoro & Utarini, 2013).
Infeksi daerah Operasi (IDO) merupakan infeksi yang terjadi dalam 30
hari sesudah dilakukan operasi. IDO merupakan salah satu bentuk dari 13
jenis infeksi nosokomial (Horan TC, Andrus M and Dudeck MA, 2008 dalam
Eustachius Hagni Wardoyo dll, 2011). Faktor-faktor risiko IDO terbagi atas
dua faktor utama: Faktor pasien dan Faktor operasi. Faktor pasien meliputi
Status nutrisi, Diabetes tidak terkontrol, Merokok/mengunyah tembakau
(nginang), Obesitas, Infeksi yang terjadi sebelum operasi di tempat selain
lokasi operasi, Kolonisasi mikroorganisme, Imunodefisiensi dan Lama tinggal
22

di RS sebelum operasi. Adapun faktor operasi meliputi Cukur rambut pre-


operatif, Skin preparation pre-operatif, Durasi operasi, Antibiotik profilaksis,
Ventilasi ruang operasi, Pemrosesan instrument, Materi asing di lokasi
operasi, Drain bedah, dan Teknik bedah (hemostasis tidak baik, gagal
menghilangkan dead space, trauma jaringan.
IDO merupakan kejadian luar biasa yang memerlukan intervensi
kebijakan RS. Keputusan investigasi IDO suatu RS perlu
mempertimbangkan beberapa faktor sesuai dengan kondisi lokal RS. Faktor
- faktor yang perlu mendapat perhatian di antaranya adalah: apakah IDO
yang terjadi bersifat endemik/epidemik, morbiditas dan mortalitas, ke
tersediaan SDM dan bidang keahlian yang sesuai. Jika suatu RS
memutuskan investigasi, beberapa bahan yang diperlukan adalah:
penyimpanan koleksi spesimen, analisis sumber patogen penyebab,
kemungkinan cara penularan dan karakteristik host, review serial kasus,
penyusunan line-listing, definisi kasus, penegasan kasus yang masuk (case
ascertainment), pembuatan kurva epidemi/ time line, geographic
assessment, investigasi faktor host, dan analisis penyidikan lebih lanjut.
Semua upaya tersebut dapat dilakukan dengan dukungan data kuat dan
intervensi surveilans pengendalian infeksi rumah sakit (Jarvis WR,2007
dalam Eustachius Hagni Wardoyo dll, 2011).

2) ISK
Pada Triwulan II tahun 2020 di Rumah sakit Tingkat III Rs Tk III Dr R
soeharsono tidak ada angka kejadian Infeksi saluran Kemih.
Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi di sepanjang saluran
kemih, termasuk ginjal itu sendiri, akibat proliferasi suatu mikroorganisme.
Sebagian besar infeksi saluran kemih disebabkan oleh bakteri, tetapi virus
dan jamur juga dapat menjadi penyebabnya. Infeksi bakteri tersering
disebabkan oleh Escherichia coli. Infeksi saluran kemih sering terjadi pada
anak perempuan dan wanita. Salah satu penyebabnya adalah uretra wanita
yang lebih pendek sehingga bakteri kontaminan lebih mudah memperoleh
akses ke kandung kemih (Corwin, 2007).
Angka kejadian infeksi nosokomial yang dilaporkan WHO (2002), pada
empat region yaitu Eropa, Mediterania Timur, Asia Tenggara, dan Pasifi k
Barat berturut-turut adalah 7,7%, 11,8%, 10%, dan 9% dengan rata-rata
kejadian 8,7%. Berdasarkan surveilans yang dilakukan Depkes RI (2004),
23

proporsi kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit pemerintah lebih tinggi


dibandingkan dengan rumah sakit swasta. Penelitian yang dilakukan
Marwoto (2007), menunjukkan bahwa kejadian infeksi nosokomial di lima
rumah sakit pendidikan yaitu di RSUP Dr. Sardjito sebesar 7,94%, RSUD Dr.
Soetomo sebesar 14,6%, RS Bekasi sebesar 5,06%, RS Hasan Sadikin
Bandung sebesar 4,60%, RSCM Jakarta sebesar 4,60%. Angka insiden
infeksi nosokomial di Jawa Timur pada tahun 2011 hingga 2013 mengalami
tren naik yaitu sebanyak 306 pada tahun 2011, 400 pada tahun 2011, dan
526 pada tahun 2013. Infeksi nosokomial saluran kemih merupakan infeksi
nosokomial tersering yang mencapai 30–40% kejadian (WHO, 2002).
Infeksi nosokomial saluran kemih 80% kejadiannya dihubungkan
dengan pemasangan kateter atau yang meliputi: lama pemasangan kateter,
prosedur pemasangan kateter, ukuran dan tipe kateter, serta asupan cairan
(Putri et al, 2011).

3) Angka kejadian Plebhitis


Pada Triwulan II tahun 2020 di Rumah Sakit Tingkat III Rs Tk III
Dr R soeharsono masih ada Angka kejadian Phlebitis.
Oleh sebab itu dilakukan analisa dengan menggunakan Fishbone untuk
mengetahui kejadian Plebhitis.
Analisa Fishbone :
1) Man (SDM)
a) Kurang Observasi pasien yang di pasang infus
b) Perawat Belum paham mengenai tanda dan gejala plebhitis
c) Perawat belum paham tentang penilaian VIP (Visual Infusion
Plebhitis)
d) Perawat mengabaikan SPO pemasangan Infus
e) Perawat tidak patuh cuci tangan
2) Machine (Kebijakan)
a) Sosialisasi SPO kurang bagus
b) Tidak adanya reward dan punishment
c) Tidak adanya supervisi dari kepala ruangan (SPO pemasangan
infus dan cuci tangan)
3) Methode (Pelaksanaan)
a) Kurangnya sosialisasi SPO pemasangan infus
b) Pelaksanaan pemasangan infus masih belum sesuai SPO
c) Kurangnya sosialisasi cuci tangan
4) Material (Alat)
a) Jenis cairan infus yang digunakan
b) Jenis balutan infus yang digunakan
24

c) Ukuran kateter yang digunakan


5) Money (Pendanaan)
a) Keterbatasan biaya dalam melakukan evaluasi kejadian plebhitis
b) Keterbatasan biaya dalam melakukan pelatihan penilaian VIP.

Banyak faktor telah dianggap terlibat dalam patogenesis flebitis, antara


lain: faktor-faktor kimia seperti obat atau cairan yang iritan, faktor-faktor
mekanis seperti bahan, ukuran kateter, lokasi dan lama kanulasi serta agen
infeksius. Faktor pasien yang dapat mempengaruhi angka flebitis mencakup,
usia, jenis kelamin dan kondisi dasar (yakni. diabetes melitus, infeksi, luka
bakar). Suatu penyebab yang sering luput perhatian adalah adanya
mikropartikel dalam larutan infus dan ini bisa dieliminasi dengan
penggunaan filter. (Darmawan,2008)

4) Angka Kejadian VAP


Pada Triwulan II tahun 2020 di Rumah sakit Tk III Dr R soeharsono
tidak ada angka kejadian VAP
5) Angka Kejadian IAD
Pada Triwulan II tahun 2020 di Rumah sakit Tk III Dr R soeharsono
tidak ada angka kejadian IAD

5. Pemantauan Indikator Mutu Area manajemen


Indikator mutu manajemen diambil dengan menggunakan indikator mutu
dari tiap instalasi yang memungkinkan mencerminkan tentang mutu manajemen
dari instalasi tersebut. Berikut merupakan indikator mutu manajemen dan hasil
datanya.

a. Angka ketidaktersediaan obat Diabetes Mellitus di rumah sakit


Dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan No.
1333/Menkes/SK/XII/19991 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit (RS),
menyebutkan bahwa pelayanan farmasi RS adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari sistem pelayanan kesehatan RS yang berorientasi kepada pelayanan pasien,
penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau
bagi semua lapisan masyarakat. Pelayanan farmasi merupakan pelayanan
penunjang dan sekaligus merupakan revenue center utama. Hal tersebut
mengingat bahwa lebih dari 90% pelayanan kesehatan di RS menggunakan
perbekalan farmasi (obat-obatan, bahan kimia, bahan radiologi, bahan alat
25

kesehatan habis, alat kedokteran, dan gas medik), dan 50% dari seluruh
pemasukan RS berasal dari pengelolaan perbekalan farmasi (Yusmainita, 2002).
Dengan meningkatnya pengetahuan dan ekonomi masyarakat
menyebabkan makin meningkat pula kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan
kefarmasian. Aspek terpenting dari pelayanan farmasi adalah mengoptimalkan
penggunaan obat, ini harus termasuk perencanaan untuk menjamin ketersediaan,
keamanan dan keefektifan penggunaan obat (hamid, 2005). Mengingat besarnya
kontribusi instalasi farmasi dalam kelancaran pelayanan dan juga merupakan
instalasi yang memberikan sumber pemasukan terbesar di RS, maka perbekalan
barang farmasi memerlukan suatu pengelolaan secara cermat dan penuh tanggung
jawab. Kekosongan obat tertentu dapat terjadi karena perhitungan kebutuhan obat
yang tidak akurat dan tidak rasional, agar hal-hal tersebut tidak terjadi maka
pengelolaan obat perlu dilakukan sesuai yang ditetapkan dan diharapkan dimana
dalam pengelolaan harus memperhatikan penerimaan, penyimpanan serta
pencatatan dan pelaporan yang baik.
Menurut Permenkes no. 917/Menkes/Per/X/1993, Obat adalah bahan atau
paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi untuk manusia.
Terjaminnya ketersediaan obat di Rumah Sakit Tingkat III Rs Tk III Dr R
soeharsono akan menjaga citra pelayanan kesehatan itu sendiri, sehingga
sangatlah penting menjamin ketersediaan dana yang cukup untuk pengadaan obat.
Ketidaktersediaan obat dapat terjadi karena perhitungan kebutuhan obat yang tidak
akurat dan tidak rasional, guna menghindari hal tersebut tidak terjadi maka
pengelolaan obat perlu dilakukan sesuai yang ditetapkan dan diharapkan dimana
dalam pengelolaan harus memperhatikan penerimaan, penyimpanan serta
pencatatan dan pelaporan yang baik.
Dari data yang terkumpul selama 3 bulan terlihat sebagai berikut :
26

ANGKA KETIDAKTERSEDIAAN OBAT DM DI RUMAH SAKIT


TRIWULAN II TAHUN 2020
100.00%
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%0.00%0.00%
0.00%
APRILMEI JUNI
CAPAIAN0.00%0.00% 0.00%
STANDAR0%0% 0%

Analisa data :
Dari Grafik diatas dapat dilihat bahwa angka ketidaktersediaan obat dm
Rumah Sakit Tingkat III Rs Tk III Dr R soeharsono Triwulan II Tahun 2020, sudah
sesuai dengan standar yang ditetapkan yaitu 0%.

b. Angka Ketidaktepatan Waktu Pengiriman Laporan Bulanan ke Dinas


Kesehatan dan Kesdam V Rs Tk III Dr R soeharsono
Ketepatan waktu pengiriman laporan merupakan kewajiban setiap rumah
sakit untuk memberikan data kepada Kementerian Kesehatan RI dan Dinas
Kesehatan. Sebagai bahan evaluasi penyelenggaraan pelayanan kesehatan pada
unit kerja masing-masing. Tujuan dari ketepatan waktu pengiriman laporan bulanan
ke kementerian kesehatan RI dan dinas kesehatan yaitu agar Tergambarnya
ketepatan waktu pengiriman laporan sesuai dengan standar Kementerian
Kesehatan setiap tanggal 15 pada bulan berikutnya dan untuk mendapatkan feed
back yang lebih cepat. Dari hasil pengamatan selama 3 bulan kami menemukan
data sbb :
27

KETIDAKTEPATAN WAKTU PENGIRIMAN LAPORAN KE DINAS


KESEHATAN TRIWULAN II TAHUN 2020
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%0% 0% 0%
APRIL MEI JUNI
KETEPATAN WAKTU
PENGIRIMAN LAPORAN 0% 0% 0%
BULANAN KE KEMENKES
TARGET 0% 0% 0%

Analisa Data :
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa ketidak tepatan waktu pengiriman laporan ke
dinas kesehatan sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan yaitu 0%.

c. Angka ketidakpatuhan pengadaan barang beracun berbahaya (B-3)


yang dilengkapi MSDS (Material Safety Data Sheet)
Barang Beracun Berbahaya (B3) didefinisikan sebagai bahan yang karena
sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun
tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau
dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia
serta makhluk hidup lainnya (PP Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Bahan Berbahaya dan Beracun).
Untuk pengadaan material yang tergolong B3, maka penyerahan barang
harus disyaratkan bahwa setiap kemasan B3 wajib diberikan simbol dan label serta
dilengkapi dengan Material Safety Data Sheet (MSDS) mengacu pada PP No. 74
Tahun 2001 serta Permen LH No. 03 Tahun 2008.
Setiap bahan kimia berbahaya dan beracun (B3) memiliki beberapa
karakteristik yang spesifik dan rentan terhadap akibat yang ditimbulkan kepada
manusia. Oleh karena itu, diperlukan penangan dan perlakuan tertentu baik dalam
penyimpanannya maupun dalam keadaan darurat. Informasi karakteristik B3 dan
penanganan keselamatannya dimuat dalam Material Safety Data Sheets (MSDS).
Dokumen tersebut dapat digunakan Rumah Sakit untuk mengatahui prosedur
keselamatan penggunaan bahan sehingga meningkatkan standar kesehatan dan
28

keselamatan di tempat kerja. MSDS harus disertakan pada setiap tempat


penyimpanan bahan yang mudah di jangkau oleh siapa saja yang berhubungan
dengan langsung dengan bahan kimia tersebut. Informasi yang ada di dalam
MSDS dapat dijadikan sebagai dasar untuk pembuatan instruksi lisan maupun
tertulis kepada para pekerja agar aman dalam menggunakan bahan.
Material Safety Data Sheet (MSDS) atau di Indonesia disebut dengan
Lembar Data Keselamatan Bahan (LDKB) adalah dokumen yang berisi informasi
mengenai potensi bahaya (kesehatan, kebakaran, reaktifitas, dan lingkungan) dan
cara bekerja yang aman dengan produk kimia. MSDS juga berisi informasi tentang
penggunaan, penyimpanan, penanganan, prosedur darurat semua yang terkait
dengan material B3 guna memberitahukan akan bahaya dari produk, cara
menggunakan produk yang aman, apa yang akan terjadi bila rekomendasi tidak
diikuti, dan apa yang harus dilakukan jika terjadi kecelakaan (Kepmenaker, 1999).
Isi dari MSDS menurut Kepmenaker no. 187/MEN/1999 tentang
pengendalian bahan kimia berbahaya di tempat kerja sebagai berikut :
1) Identitas bahan dan nama perusahaan
2) Komposisi bahan
3) Identifikasi bahaya
4) Tindakan P3K
5) Tindakan penanggulangan kebakaran
6) Tindakan mengatasi tumpahan dan kebocoran
7) Penyimpanan dan penanganan bahan
8) Pengendalian pemajanan dan alat pelindung diri
9) Sifat fisika dan kimia bahan
10) Stabilitas dan reaktifitas bahan
11) Informasi toksikologi
12) Informasi ekologi
13) Pembuangan limbah
14) Pengangkutan bahan
Dari hasil pengamatan selama 3 bulan kami menemukan data sbb :
29

ANGKA KETIDAKLENGKAPAN MSDS (MATERIAL SAFETY DATA SHEET) PADA


PENGADAAN
BARANG BERACUN BERBAHAYA (B3) TRIWULAN II TAHUN 2020
100.00%
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%

0.00% 0.00% 0.00%


APRIL MEI JUNI
CAPAIAN 0.00% 0.00% 0.00%
STANDAR 0% 0% 0%

Analisa Data :
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa angka ketidaklengkapan msds (material
safety data sheet) pada pengadaan barang beracun berbahaya (b3) sudah sesuai
dengan standar yang ditetapkan yaitu 0%.

d. Angka Ketidaksesuaian pemanfatan alat USG dalam penegakan


diagnosis pasien yang dilaksanakan di Poliklinik Kandungan
Pemanfaatan alat USG adalah angka yang menunjukkan jumlah pemakaian
alat USG sesuai dengan indikasi dan urgensi keperluan penggunaan alat USG.
Alat USG yang digunakan memang benar-benar sesuai dengan indikasi perawatan
yang dibutuhkan untuk melihat gambaran yang lebih baik. Dalam pengukuran
indikator ini akan difokuskan untuk USG dalam proses penegakan diagnose pasien
yang dilaksanakan di Poliklinik Kandungan.
Dari hasil pengamatan selama 3 bulan kami menemukan data sbb:
30

ANGKA KETIDAKSESUAIAN PEMANFATAN ALAT USG DI POLIKLINIK KANDUNGAN


TRIWULAN II TAHUN 2020
100.00%
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%

0.00% 0.00% 0.00%


APRIL MEI JUNI
CAPAIAN 0.00% 0.00% 0.00%
STANDAR 0% 0% 0%

Analisa Data :
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa ketidaksesuaian pemanfaatan USG dipoliklinik
kandungan sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan yaitu 0%.

e. Kepuasan Pelanggan (Pasien)


Kepuasan Pasien adalah perasaan senang atau penerimaan dengan baik
dari pasien terhadap semua layanan Rumah Sakit, baik dilakukan sesuai standar
maupun substandar.Kepuasan pelanggan menggambar kan kualitas pelayanan
yang diberikan. Kualitas harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada
presepsi pelanggan (Kotler, 1994). Hal ini berarti bahwa citra kualitas yang baik
bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi pihak penyedia jasa,
melainkan berdasarkan sudut pandang atau presepsi pelanggan. Pelayanan
adalah semua upaya yang dilakukan karyawan untuk memenuhi keinginan
pasiennya dengan jasa yang akan diberikan.
Suatu pelayanan dikatakan baik oleh pasien, ditentukan oleh kenyataan
apakah jasa yang diberikan bisa memenuhi kebutuhan pasien, dengan
menggunakan persepsi pasien tentang pelayanan yang diterima (memuaskan atau
mengecewakan, juga termasuk lamanya waktu pelayanan). Kepuasan dimulai dari
penerimaan terhadap pasien dari pertama kali datang, sampai pasien
meninggalkan rumah sakit.
Indeks kepuasan Pasien : Kepuasan Pasien dinilai dari lembar survei
kepuasan Pasien yang diberikan kepada seluruh pasien rawat inap. Dari hasil
survei tersebut kami mendapatkan data sbb:
31

Dari hasil pengamatan selama 3 bulan kami menemukan data sbb:

KEPUASAN PASIEN
TRIWULAN II TAHUN 2020
81.00%
80.00%
79.00%
78.00%
77.00%
76.00%
75.00%
74.00%
73.00%
72.00% APRIL MEI JUNI
KEPUSAN PASIEN 75.31% 75.76% 77.05%
STANDAR 80.00% 80.00% 80.00%

Analisa data :
Kepuasan pasien pada Triwulan II tahun 2020 masih belum sesuai standar
yang ditetapkan tetapi ada peningkatan perbaikan. Hal ini dapat dilihat pada bulan
April capaian kepuasan pasien sebesar 75,31,65%. Bulan Mei capaian kepuasan
pasien naik menjadi 75,76%, dan pada bulan Juni meningkat menjadi 77,05%.
Kepuasan Pasien berdasarkan Variabel :
1) Kepuasan Pasien Untuk Sarana Dan Prasarana
KEPUASAN PASIEN UNTUK SARANA DAN PRASARANA
TRIWULAN II TAHUN 2020

80.00%
78.00%
76.00%
74.00%
72.00%
70.00%
68.00%

66.00%
BERSIH AMAN ATURA KETERS PEMELI KEAMA
N EDIAAN HARAA NAN
BEBAS LISTRIK N PRASA
ROKOK DAN PRASA RANA
AIR RANA
APRIL 75.46% 75.73% 75.53% 75.20% 71.73% 76.80%
MEI 75.85% 76.17% 72.67% 76.43% 72.67% 77.01%
JUNI 76.06% 77.70% 74.42% 77.98% 74.97% 77.43%
STANDAR 80.00% 80.00% 80.00% 80.00% 80.00% 80.00%
32

2) Kepuasan Pasien Untuk Ketersediaan Alkes

KEPUASAN PASIEN UNTUK KETERSEDIAAN ALKES TRIWULAN


II TAHUN 2020

80.00%
79.00%
78.00%
77.00%
76.00%
75.00%
74.00%
73.00%
72.00%
71.00%
KETERSEDIAAN PEMELIHARAA KEAMANAN
ALKES N ALKES ALKES
APRIL 75.62% 74.25% 74.80%
MEI 75.69% 74.82% 75.11%
JUNI 76.15% 76.42% 76.96%
STANDAR 80.00% 80.00% 80.00%

3) Kepuasan Pasien Untuk Pelayanan Farmasi

KEPUASAN PASIEN UNTUK PELAYANAN FARMASI


TRIWULAN II TAHUN 2020

80.00%

78.00%

76.00%

74.00%

72.00%

70.00%
KECEPATAN PERILAKU PENJELASA
PELAYANA PEGAWAI N OBAT
N (RAMAH,
SOPAN)
APRIL 74.52% 74.80% 75.07%
MEI 75.40% 75.40% 75.40%
JUNI 75.60% 76.15% 76.15%
STANDAR 80.00% 80.00% 80.00%
33

4) Kepuasan Pasien Untuk Pelayanan Pendaftaran

KEPUASAN PASIEN UNTUK PELAYANAN


PENDAFTARAN
TRIWULAN II TAHUN 2020

80.00%
78.00%
76.00%
74.00%
72.00%
70.00%
68.00%
KECEPATAN KEMUDAHAN KENYAMANAN
PENDAFTARAN PENDAFTARAN RUANG
PENDAFTARAN
APRIL 72.87% 76.72% 72.60%
MEI 73.09% 77.41% 73.38%
JUNI 76.13% 78.05% 74.25%
STANDAR 80.00% 80.00% 80.00%

5) Kepuasan Pasien Untuk Pelayanan Dokter

KEPUASAN PASIEN UNTUK PELAYANAN DOKTER


TRIWULAN II TAHUN 2020

80.00%
78.00%
76.00%
74.00%
72.00%
70.00%
68.00%
66.00%
PERILAKU KEHADIRAN KETRAMPILAN
DOKTER TEPAT WAKTU
APRIL 77.27% 70.95% 77.82%
MEI 77.41% 71.37% 78.27%
JUNI 77.78% 73.97% 79.14%
STANDAR 80.00% 80.00% 80.00%
34

6) Kepuasan Pasien Untuk Pelayanan Perawat

KEPUASAN PASIEN UNTUK PELAYANAN PERAWAT


TRIWULAN II TAHUN 2020

80.00%
79.50%
79.00%
78.50%
78.00%
77.50%
77.00%
76.50%
76.00%
PERILAKU KEHADIRAN KETRAMPILAN
PERAWAT TEPAT WAKTU
APRIL 78.10% 77.55% 78.10%
MEI 78.56% 78.27% 78.56%
JUNI 78.87% 78.60% 78.87%
STANDAR 80.00% 80.00% 80.00%

7) Kepuasan Pasien Untuk Pelayanan Petugas Lainnya

KEPUASAN PASIEN UNTUK PELAYANAN PETUGAS LAINNYA TRIWULAN


II TAHUN 2020

80.00%
79.00%
78.00%
77.00%
76.00%
75.00%
74.00%
73.00%
72.00%
PERILAKU PL KEHADIRAN KETRAMPILAN
TEPAT WAKTU
APRIL 75.62% 75.05% 77.55%
MEI 75.97% 75.40% 77.70%
JUNI 77.78% 76.96% 78.60%
STANDAR 80.00% 80.00% 80.00%
35

8) Kepuasan Pasien Untuk Pelayanan Rumah Sakit

KEPUASAN PASIEN UNTUK PELAYANAN RUMAH SAKIT TRIWULAN


II TAHUN 2020

80.00%
78.00%
76.00%
74.00%
72.00%
70.00%
68.00%
66.00%
WAKTU KEMUDA KENYAM KECEPAT KETEPAT KEAMAN
TUNGGU HAN ANAN AN AN AN
PENYAM RUANG PELAYAN PELAYAN PELAYAN
PAIAN TUNGGU AN AN AN
KELUHA
N
APRIL 74.97% 77.19% 73.59% 77.19% 71.38% 76.08%
MEI 75.85% 77.59% 73.83% 77.59% 71.51% 76.43%
JUNI 79.35% 78.80% 77.16% 77.70% 76.34% 77.70%
STANDAR 80.00% 80.00% 80.00% 80.00% 80.00% 80.00%

f. Kepuasan Pegawai
Kepuasan kerja karyawan adalah terpenuhi atau tidaknya keinginan mereka
terhadap pekerjaan. Apabila dalam lingkungan kerja seorang karyawan tidak
mendapatkan apa yang diharapkan diantaranya peluang promosi yang adil,
pendapatan yang baik, rekan kerja dan atasan yang menyenangkan serta
kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri maka dapat dipastikan kinerja karyawan
akan buruk (Timmreck, 2001).
Kepuasan pegawai adalah pernyataan puas oleh pegawai terhadap elemen
“Keseluruhan kondisi lingkungan kerja” yang ditetapkan rumah sakit, sebagai
berikut :
1) Puas : Apabila 60% - 100% responden menyatakan sangat setuju
dan setuju.
2) Tidak Puas : Apabila 60% - 100% responden menyatakan kurang
setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju.
Pegawai yang dimaksud adalah pegawai yang telah bekerja minimal 1
tahun, tidak sedang cuti, dan secara aktif masih bekerja di Rumah Sakit Tk.
III Rs Tk III Dr R soeharsono.
36

Rekapitulasi dan analisis kuesioner kepuasan pegawai dilakukan enam


bulan sekali pada bulan Juni.
Dari Angket yang di sebar diperoleh data yaitu :

KEPUASAN PEGAWAI
RUMAH SAKIT TINGKAT III RS TK III DR R
SOEHARSONO TAHUN 2020

90.00%

90.00%

89.95%

89.90%

89.85% 89.82%

89.80%

89.75%

89.70%
Tahun 2020 STANDAR

Analisa data :
Kepuasan pegawai tahun 2020 masih belum sesuai standar yang
ditetapkan tetapi ada peningkatan perbaikan. Hal ini dapat dilihat pada hasil
capaian yaitu 89,83%.
Kepuasan Pegawai berdasarkan Variabel :
1) Pandangan mengenai pekerjaan sekarang
PANDANGAN MENGENAI PEKERJAAN SEKARANG
95.87%
96.00% 95.10%
95.00%
94.00%
93.00% 92.00% 91.48%
92.00% 91.22%
91.00% 90.00% 90.00% 90.00% 90.00% 90.00%
90.00%
89.00%
88.00%
87.00%
LOYALITAS TUGAS YG TUGAS DISIPILIN KERJA
TERSELESA SESUAI KERJA EFEKTIF
IKAN PENDIDIK EFISIEN
AN
Tahun 2020 95.87% 95.10% 91.22% 92.00% 91.48%
STANDAR 90.00% 90.00% 90.00% 90.00% 90.00%
37

2) Pandangan terhadap proses komunikasi

PANDANGAN TERHADAP PROSES KOMUNIKASI

90.44% 90.70%
91.00% 90.00%90.00%90.00%90.00% 90.00%
89.67%
90.00% 89.15%
89.00%
88.00%86.83%
87.00%
86.00%
85.00%

84.00%
KOMUNI SALING KEWAJIB MASALA LINGKUN
KASI TERBUKA AN LEBIH H GAN
TERBUKA DAN PENTING DIKOMU KERJA
KERJA DARI HAK NIKASIKA HARMON
SAMA N DGN IS DAN
BAIK KONDUSI
F
Tahun 2020 86.83% 89.67% 89.15% 90.44% 90.70%
STANDAR 90.00% 90.00% 90.00% 90.00% 90.00%

3) Pernyataan mengenai atasan langsung

PERNYATAAN MENGENAI ATASAN LANGSUNG

93.00% 92.25%
92.00%
91.00% 90.00% 90.00% 90.00%90.00%90.00%
90.00% 88.89%
89.00% 88.12%
88.00% 87.34%
87.00% 86.05%
86.00%
85.00%
84.00%
83.00%
82.00%
ATASAN MELIBAT TERTARIK PENGHAR BERLAKU
SBG KAN DIRI MEMPER GAAN ADIL
REKAN JK ADA HATIKAN ATASAN
KERJA MASALAH BAWAHA
N
Tahun 2020 92.25% 86.05% 88.12% 87.34% 88.89%
STANDAR 90.00% 90.00% 90.00% 90.00% 90.00%
38

4) Pandangan terhadap pelatihan dan pengembangan

PANDANGAN TERHADAP PELATIHAN DAN


PENGEMBANGAN

90.19%
90.50% 90.00% 89.93% 90.00% 90.00%
90.00% 89.41%
89.50%
89.00%
88.50%
88.00% 87.60%
87.50%
87.00%
86.50%
86.00%
KESEMPATA PENINGKAT DUKUNGAN GILIRAN
N SAMA AN ATASAN YANG SAMA
KEMAMPUA
N
Tahun 2020 90.19% 89.93% 89.41% 87.60%
STANDAR 90.00% 90.00% 90.00% 90.00%

5) Pandangan terhadap penggajian dan insentif

PANDANGAN TERHADAP PENGGAJIAN DAN INSENTIF

92.00% 90.70%
90.00% 90.00% 90.00% 90.00%
90.00% 89.41%

88.00% 86.57%

86.00%

84.00% 82.43%
82.00%

80.00%

78.00%
PENDAPATA TERGOLONG ADA KENAIKAN
N SDH CUKUP KENAIKAN GAJI
SESUAI GAJI KEWAJIBAN
DITEKAN
Tahun 2020 82.43% 89.41% 90.70% 86.57%
STANDAR 90.00% 90.00% 90.00% 90.00%
39

6) Pandangan terhadap keselamatan kerja

PANDANGAN TERHADAP KESELAMATAN KERJA

93.50% 93.12%
92.87%
93.00% 92.61%
92.50%
92.00%
91.50%
91.00%
90.50% 90.00% 90.00% 90.00%
90.00%
89.50%
89.00%
88.50%
88.00%
PUNYA MANAJEMEN BILA TERJADI
PANDUAN BERTANGGU KECELAKAAN
NGJAWAB TAHU YG HRS
DILAKUKAN
Tahun 2020 92.61% 92.87% 93.12%
STANDAR 90.00% 90.00% 90.00%

7) Pandangan terhadap pelayanan administrasi personil

PANDANGAN TERHADAP PELAYANAN


ADMINISTRASI PERSONIL

93.00% 92.25%
92.00%
90.44%90.70%
91.00% 89.93%90.00%90.00%90.00%
90.00%
88.89%
89.00%

88.00%
87.00%
KENAIKA MUDAH MUDAH MUDAH MUDAH
N GAJI URUS MENGUR MENGUR MENGUR
BERKALA KENAIKA US CUTI US IJIN US
OTOMAT N TUNJAN
IS PANGKA GAN
T
Tahun 2020 92.25% 89.93% 90.44% 90.70% 88.89%
STANDAR 90.00% 90.00% 90.00% 90.00% 90.00%
40

8) Pandangan terhadap kondisi ruang kerja

PANDANGAN TERHADAP KONDISI RUANG


90.00% KERJA 90.00%90.00%
90.00%
88.77%
89.00% 88.52%

88.00%

87.00%
85.70%
86.00%

85.00%

84.00%
83.00%
RUANGAN, KEBERSIHA FASILITAS
SUHU, N KERJA
PENERANG KERAPIAHA CUKUP
AN CUKUP N CUKUP
Tahun 2020 88.52% 88.77% 85.70%
STANDAR 90.00% 90.00% 90.00%

g. Angka keterlambatan waktu penyusunan laporan keuangan


Laporan Keuangan rumah sakit adalah catatan informasi keuangan rumah
sakit pada suatu periode akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan
kinerja rumah sakit tersebut. Laporan keuangan meliputi realisasi anggaran dan
arus kas. Laporan keuangan harus diselesaikan sebelum tanggal 10 setiap bulan
berikutnya. Laporan keuangan rumah sakit bertujuan untuk memberikan gambaran
informasi mengenai posisi keuangan dan kinerja keuangan rumah sakit yang dapat
dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan bisnis. Laporan keuangan juga
merupakan laporan aktivitas keuangan dan investasi dari waktu ke waktu, serta
ringkasan dari aktivitas operasional.
Dari hasil pengamatan selama 3 bulan kami menemukan data sbb :
41

ANGKA KETERLAMBATAN WAKTU PENYUSUNAN LAPORAN


KEUANGAN TRIWULAN II TAHUN 2020
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%0% 0% 0%
APRIL MEI JUNI
CAPAIAN0% 0% 0%
STANDAR0% 0% 0%

Analisa data :
Dari data diatas dapat dilihat bahwa angka keterlambatan waktu
penyusunan laporan keuangan Triwulan II tahun 2020 sudah sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan yaitu 0%.

h. Angka ketidakpatuhan penggunaan alat pelindung diri


Salah satu upaya menjamin putusnya rantai penularan infeksi oleh petugas
kesehatan, serta upaya perlindungan terhadap petugas kesehatan dalam
melakukan pelayanan kesehatan adalah penggunaan alat pelindung diri (APD).
Penggunaan alat pelindung diri secara tepat dan benar akan sangat membantu
keberhasilan pencegahan infeksi dan keselamatan kerja petugas kesehatan.
Sebaliknya, penggunaan APD yang keliru, tidak saja berisiko terjadi infeksi pada
pasien, namun juga berisiko terhadap keselamatan petugas itu sendiri,
Penggunaan APD yang tidak tepat juga akan menyebabkan penambahan biaya
operasional di Rumah sakit, dengan demikian, tujuan pencegahan infeksi dan
tujuan keselamatan petugas dapat tercapai (Panduan APD RS Rs Tk III Dr R
soeharsono, 2014).
Alat Pelindung Diri (APD) merupakan suatu alat yang dipakai untuk
melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja, dimana
secara teknis dapat mengurangi tingkat keparahan dari kecelakaan kerja yang
terjadi.Peralatan pelindung diri tidak menghilangkan atau pun mengurangi bahaya
yang ada. Peralatan ini hanya mengurangi jumlah kontak dengan bahaya dengan
cara penempatan penghalang antara tenaga kerja dengan bahaya (Suma'mur,
2009).
42

Untuk menilai ketidakpatuhan petugas tentang penggunaan standar


penggunaan alat pelindung diri dibutuhkan adanya pengawasan dari pihak rumah
sakit sesuai dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 2010 tentang Rumah Sakit
(RS) yang tercantum pada pasal 54 mengenai pembinaan dan pengawasan.
Berdasarkan data menurut Jamsostek (2011) bahwa angka kecelakaan kerja
di Indonesia mencapai 99.491 kasus yang diakibatkan kelalaian penggunaan APD
secara umum pada beberapa unit kerja. Hasil studi pendahuluan yang telah
dilakukan di di Rumah Sakit Sari Asih Serang Provinsi Banten dengan cara
observasi, didapatkan data distibusi frekuensi ketidakpatuhan perawat dalam
penggunaan APD yaitu ruangan ICU (39%), perinatologi (62%), ruang anak (79%),
ruang perawatan umum (76%), instalasi gawat darurat 63%, dan ruang VIP
(45,8%), dengan jumlah rata-rata perawat di tiap ruangan sebanyak 20 orang
perawat. Ketidakpatuhan perawat dalam penggunaan APD ini tidak menggunakan
handscoon atau masker, atau bahkan keduanya saat melakukan tindakan
keperawatan, misalnya pemasangan infus dan pemberian obat suntik dengan
alasan lupa ataupun merasa kesulitan dan tidak nyaman saat melakukannya.
Bahkan akibat dari ketidakpatuhan perawat dalam penggunaan APD telah terjadi
kecelakaan seorang perawat tertusuk jarum suntik bekas pasien dan setelah
dilakukan pemeriksaan laboratorium akhirnya perawat tersebut dinyatakan tertular
penyakit Hepatitis B (Riyanto, 2016).
Dari pengamatan selama 3 bulan didapatkan data sebagai berikut :

ANGKA KETIDAKPATUHAN PETUGAS


MEMAKAI APD TRIWULAN II TAHUN
2020
1.00%
0.90% 0.88%
0.80%
0.70% 0.68%
0.60%
0.56%
0.50%
0.40%
0.30%
0.20%
0.10%
0.00%
APRILMEIJUNI
CAPAIAN 0.88% 0.68% 0.56%
STANDAR 0% 0% 0%
43

Analisa data :
Dari data diatas dapat dilihat bahwa angka ketidakpatuhan petugas rawat
inap memakai APD Triwulan II tahun 2020 masih belum sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan yaitu 0%.
Oleh sebab itu dilakukan analisa dengan menggunakan Fishbone untuk
mengetahui faktor penyebab ketidakpatuhan petugas rawat inap memakai APD.
Analisa Fishbone :
1) Man (SDM)
a) Petugas belum paham tentang pemakaian APD
b) Petugas mengabaikan SPO pemakaian APD
2) Machine (Kebijakan)
a) Sosialisasi SPO pemakaian APD jarang dilakukan
b) Kurangnya motivasi dari kepala ruangan
3) Methode (Pelaksanaan)
a) Kurangnya sosialisasi SPO pemakaian APD
b) Pelaksanaan pemakaian APD masih belum sesuai SPO
4) Material (Alat)
a) Ketersediaan APD tidak lengkap di ruang nurse station
5) Money (Pendanaan)
a) Keterbatasan biaya dalam penyediaan APD
b) Keterbatasan biaya dalam melakukan pelatihan K3RS dan PPI
dasar bagi seluruh staf.

6. Pemantauan Indikator Area Sasaran Keselamatan Pasien


a. Angka ketidakpatuhan perawat melaksanakan verifikasi identifikasi
pasien sebelum melakukan tindakan atau prosedur
Kesalahan karena keliru dalam mengidentifikasi pasien dapat terjadi di
hampir semua aspek atau tahapan diagnosis dan pengobatan. Kesalahan
identifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan terbius, mengalami
disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur/ kamar/ lokasi dirumah sakit, adanya
kelainan sensori, atau akibat situasi lain (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2011). Perawat memiliki peran dalam pemberian asuhan keperawatan
diharapkan mampu mengatasi masalah–masalah yang timbul akibat dari kesalahan
dalam proses identifikasi pasien. Kepatuhan perawat dalam mematuhi prosedur
identifikasi pasien berpengaruh dalam keselamatan pasien. Sasaran keselamatan
pasien (SKP) menjelaskan bahwa proses identifikasi bertujuan untuk melakukan
dua kali pengecekan yaitu untuk mengidentifikasi pasien sebagai individu yang
akan menerima pelayanan atau pengobatan dan penyesuaian antara pelayanan
44

atau pengobatan yang diberikan terhadap individu tersebut (World Health


Organization, 2007). Sebelum melakukan tindakan atau pemberian obat perawat
meminta pasien untuk menyebutkan nama dan tanggal lahir kemudian dicocokan
dengan gelang pasien. Identifikasi pasien wajib dilakukan sebelum pemberian
obat, pemberian darah atau produk darah, pengambilan darah atau specimen lain
untuk pemeriksaan klinis, sebelum memberikan pengobatan dan sebelum
memberikan tindakan.
Dari data yang diperoleh selama tiga bulan adalah sebagai berikut :

ANGKA KETIDAKPATUHAN PERAWAT MELAKSANAKAN


IDENTIFIKASI PASIEN SEBELUM MELAKUKAN TINDAKAN ATAU
PROSEDUR
TRIWULAN II TAHUN 2020
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%0% 0% 0%
APRI MEI JUNI
CAPAIAN0% 0% 0%
STANDAR0% 0% 0%

Analisa data :
Berdasarkan pemantauan indikator ini angka ketidakpatuhan perawat
melaksanakan verifikasi identifikasi pasien sebelum melakukan tindakan atau
prosedur, pada Triwulan II tahun 2020 sudah sesuai standar yang telah ditentukan
yaitu 0%.

b. Angka ketidakpatuhan prosedur intruksi verbal via telepon diluar jam


kerja yang di READBACK dan ditandatangani dalam waktu 24 jam
Readback yaitu penerima informasi membacakan ulang informasi yang telah
ditulisnya untuk memastikan bahwa informasi telah diterima secara benar.
Kepatuhan konfirmasi Merupakan kepatuhan perawat atau dokter jaga untuk
konfirmasi ulang perintah melalui telepon yang diberikan oleh DPJP (Dokter
penanggung jawab pasien) kepada perawat atau dokter jaga. Konfirmasi dilakukan
DPJP maksimal 1x24 jam setelah perintah diberikan. Komunikasi yang efektif,
tepat
45

waktu, akurat, lengkap, jelas, dan dipahami oleh penerima informasi dapat
mengurangi kesalahan dan meningkatkan keselamatan pasien.
Intruksi verbal via telepon diluar jam kerja yang dimaksud disini merupakan
salah satu bentuk komunikasi yang lazim digunakan untuk menyampaikan instruksi
kepada perawat oleh dokter melalui telepon yang dilakukan setelah pukul 14.00
WIB (diluar jam kerja). Komunikasi verbal via telepon diluar jam kerja merupakan
tindakan yang sering dilakukan dalam pelayanan di rumah sakit, kegiatan ini
memiliki risiko tinggi untuk terjadinya kesalahan instruksi yang diterima, sehingga
tindakan dapat membahayakan pasien.
Dari pengumpulan data, kami menemukan sbb :

ANGKA KETIDAKPATUHAN PELAKSANAAN PROSEDUR INTRUKSI VERBAL VIA TELEPON


DILUAR JAM KERJA YANG DIREADBACK DAN DITANDATANGANI DALAM WAKTU 24 JAM
TRIWULAN II TAHUN 2020

100.00%
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
APRIL MEI JUNI
CAPAIAN 0.00% 0.00% 0.00%
STANDAR 0% 0% 0%

Analisa data :
Dari data yang didapatkan pada bulan April s/d Juni, angka ketidakpatuhan
pelaksanaan prosedur instruksi verbal via telepon diluar jam kerja yang di readback
dan ditandatangani dalam waktu 24 jam sudah sesuai dengan standar yang
ditetapkan yaitu 0%.

c. Angka Ketidakpatuhan pemberian label obat Hight Alert oleh farmasi


di Gudang Obat Farmasi
High-alert medication adalah Obat yang harus diwaspadai karena sering
menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event) dan Obat yang
46

berisiko tinggi menyebabkan Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD).


Kelompok Obat high-alert diantaranya:
1) Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa
dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA).
2) Elektrolit konsentrasi tinggi (misalnya kalium klorida 2meq/ml atau
yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0,9%, dan
magnesium sulfat 20%dan 40% atau lebih pekat).
3) Insulin
Dari hasil pengamatan selama 3 bulan kami menemukan data sbb:

ANGKA KETIDAKPATUHAN PEMBERIAN LABEL HIGHT ALERT OLEH


FARMASI DI GUDANG OBAT FARMASI TRIWULAN II TAHUN 2020
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

APRILMEIJUNI
CAPAIAN0%0%0%
STANDAR0%0%0%

Analisa data :
Dari data yang didapatkan pada bulan April s/d Juni, angka ketidakpatuhan
pemberian label obat high alert oleh farmasi di gudang obat farmasi sudah sesuai
dengan standar yang ditetapkan yaitu 0%.

d. Angka ketidakpatuhan pelaksanaan sitemarking


Untuk mengurangi kesalahan salah sisi,salah prosedur dan salah pasien
maka dilakukan tindakan marking. Marking adalah penandaan dengan
menggunakan spidol khusus untuk sayatan yang akan dituju saat pembedahan.
Penandaan lokasi operasi (marking) perlu melibatkan pasien dan dapat dikenali.
Tanda tersebut digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh
operator yakni dokter yang akan melakukan tindakan operasi, dilaksanakan saat
pasien terjaga dan sadar jika memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan
disayat. Penandaan lokasi operasi ditandai dilakukan pada semua kasus termasuk
47

sisi (laterality), multiple struktur (jari tangan, jari kaki, lesi), atau multiple level
(tulang belakang). Istilah no marking, no operation digunakan sebagai pedoman
pelaksanaan pembedahan. Pada pembedahan yang bersifat elektif, site marking
harus dilakukan oleh dokter operator di ruang rawat ataupun poliklinik.
Dari pengambilan data diperoleh hasil sebagai berikut :

ANGKA KETIDAKPATUHAN PELAKSANAAN SITE MARKING


TRIWULAN II TAHUN 2020

100.00%
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00% 0.00% 0.00% 0.00%
0.00% APRIL MEI JUNI
CAPAIAN 0.00% 0.00% 0.00%
STANDAR 0.00% 0.00% 0.00%

Analisa data :
Dari data yang didapatkan pada bulan April s/d Juni, angka ketidakpatuhan
pelaksanaan sitemarking sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan
yaitu 0%.

e. Angka ketidakpatuhan petugas kesehatan dalam melakukan


kebersihan tangan dengan metode 6 langkah dan 5 momen di Rawat Inap
Upaya dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial dengan
menerapkan prinsip asepsis dan menerapkan standar tinggi untuk menghilangkan
sumber potensial penyakit dapat dilakukan dengan cara hand hygiene yang efektif
terutama pada tenaga medis. Hand hygiene termasuk cuci tangan dan disinfeksi
tangan merupakan tindakan pencegahan primer yang dapat dilakukan oleh tenaga
layanan kesehatan. Pencucian tangan menyeluruh dengan jumlah air dan sabun
yang memadai dapat menghilangkan lebih dari 90% flora sementara. Disinfeksi
dengan alkohol digunakan untuk membunuh mikroorganisme beserta kontaminan
yang ada.
48

Pengamatan ini dilakukan pada saat petugas melakukan tindakan medis di


rawat inap oleh dokter, perawat dan tenaga lainya :
Dari pengambilan data diperoleh hasil sebagai berikut :
1) Dokter
ANGKA KETIDAKPATUHAN PELAKSANAAN CUCI TANGAN OLEH DOKTER DI
RUANGAN RAWAT INAP
TRIWULAN II TAHUN 2020

3.50%
3.00%
2.50%
2.00%
1.50%
1.00%
0.50%

0.00%
Sebelum Sebelum Setelah Setelah Setelah
kontak melakukan kontak terpapar kontak
dengan tindakan dengan cairan dengan
pasien aseptis pasien tubuh lingkungan
pasie pasien
APRIL 0.31% 3.13% 0.00% 0.00% 3.13%
MEI 0.31% 3.13% 0.00% 0.00% 3.13%
JUNI 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
STANDAR 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%

2) Perawat / Bidan
ANGKA KETIDAKPATUHAN PELAKSANAAN CUCI TANGAN OLEH PERAWAT/BIDAN DI
RUANGAN RAWAT INAP TRIWULAN II TAHUN 2020

6.00%
5.00%
4.00%
3.00%
2.00%
1.00%

0.00%
Sebelum Sebelum Setelah Setelah Setelah
kontak melakukan kontak terpapar kontak
dengan tindakan dengan cairan dengan
pasien aseptis pasien tubuh lingkungan
pasie pasien
APRIL 3.21% 5.18% 1.79% 0.18% 2.32%
MEI 1.96% 3.75% 0.89% 0.00% 1.61%
JUNI 1.07% 2.68% 1.43% 0.00% 1.07%
STANDAR 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
49

3) Petugas Kesehatan Lainnya


ANGKA KETIDAKPATUHAN PELAKSANAAN CUCI TANGAN OLEH TENAGA
KESEHATAN LAIN DI RUANGAN RAWAT INAP TRIWULAN II TAHUN 2020

0.90%
0.80%
0.70%
0.60%
0.50%
0.40%
0.30%
0.20%
0.10% 0.00%
Sebelum Setelah Setelah Setelah
kontak kontak terpapar kontak
dengan dengan cairan tubuh dengan
pasien pasien pasie lingkungan
pasien
APRIL 0.83% 0.00% 0.00% 0.83%
MEI 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
JUNI 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
STANDAR 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%

Analisa data :
Dari data diatas dapat kita lihat bahwa angka ketidakpatuhan pelaksanaan
cuci tangan oleh Dokter, Perawat/Bidan dan Petugas kesehatan lain di
ruangan rawat inap Triwulan II tahun 2020 belum sesuai dengan standar
yang ditetapkan yaitu 0%.
Oleh sebab itu dilakukan analisa dengan menggunakan Fishbone
untuk mengetahui faktor penyebab ketidakpatuhan pelaksanaan cuci tangan
oleh Dokter, Perawat/Bidan dan Petugas kesehatan lain di ruangan rawat
inap.
Analisa Fishbone :
1) Man (SDM)
a) Petugas belum paham tentang Hand Hygiene
b) Petugas lupa melakukan Hand Hygiene
c) Beban kerja tinggi
d) Tidak ada reward dan punishment
2) Machine (Kebijakan)
a) Ada SPO Hand Hygiene tapi belum di sosialisasikan
b) Ada panduan Hand Hygiene tapi belum disosialisasikan
3) Methode (Pelaksanaan)
a) Kurangnya sosialisasi SPO cuci tangan
b) Pelaksanaan cuci tangan masih belum sesuai SPO
c) Kurangnya motivasi dari IPCLN
50

4) Material (Alat)
a) Ketersediaan fasilitas cuci tangan kurang
b) Tidak ada poster cuci tangan sebagai pengingat
5) Money (Pendanaan)
a) Keterbatasan biaya dalam penyediaan fasilitas cuci tangan
b) Keterbatasan biaya dalam melakukan pelatihan PPI dasar bagi
seluruh staf (cuci tangan).

f. Angka ketidakpatuhan perawat melakukan assesmen ulang pada


pasien resiko jatuh
Keselamatan Pasien merupakan hal utama dalam pelayanan di Rumah
Sakit. Jumlah kasus jatuh menjadi bagian yang bermakna penyebab cedera pasien
rawat inap. Rumah Sakit perlu mengevaluasi resiko pasien jatuh dan mengambil
tindakan untuk mengurangi resiko cedera jika sampai jatuh. Evaluasi resiko jatuh
menggunakan skala resiko jatuh. Pasien yang dirawat di RS akan selalu memiliki
resiko jatuh terkait dengan kondisi dan penyakit yang diderita selain itu juga faktor
lingkungan.
Asessmen dilakukan setiap : adanya perubahan kondisi pasien, adanya
kejadian jatuh pada pasien dan pada saat pasien akan ditransfer ke unit lain.
Penilaian assesmen resiko jatuh dengan menggunakan Morse Fall Scale. Hasil
asessmen harus ditulis di dalam rekam medis.
Pasien jatuh adalah pasien yang mengalami insiden secara cepat dan tiba-
tiba berpindah posisi dari tempat tidur ke lantai sampai setengah atau lebih bagian
tubuh berada di lantai, sehingga memungkinkan pasien mengalami cedera ringan
sampai berat atau tidak menimbulkan cedera.
Dari hasil pengumpulan data selama 3 bulan kami menemukan hasil sbb:
51

ANGKA KETIDAKPATUHAN PERAWAT MELAKUKAN ASESSMEN


ULANG PADA PASIEN RESIKO JATUH
TRIWULAN II TAHUN 2020

100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
APRIL MEI JUNI
ANGKA PENCAPAIAN 0% 0% 0%
STANDAR 0% 0% 0%

Analisa data :
Dari diagram diatas dapat disimpulkan bahwa angka ketidakpatuhan perawat
melakukan assesmen ulang pada pasien resiko jatuh Triwulan II tahun 2020 sudah
sesuai standar yaitu 0%.

7. Pemantauan Indikator Mutu Nasional


a. Kepatuhan Identifikasi Pasien
Kepatuhan identifikasi pasien merupakan penghitungan yang dilakukan oleh
rumah sakit dalam mengidentifikasi dengan benar pasien tertentu yang akan diberi
layanan atau pengobatan tertentu serta mencocokkan layanan atau perawatan
dengan individu tersebut. Sebelum melakukan tindakan atau pemberian obat
tenaga medis meminta pasien untuk menyebutkan nama dan tanggal lahir
kemudian dicocokan dengan gelang pasien. Identifikasi pasien wajib dilakukan
sebelum pemberian obat, pemberian darah atau produk darah, pengambilan darah
atau specimen lain untuk pemeriksaan klinis, sebelum memberikan pengobatan
dan sebelum memberikan tindakan.
Dari data yang diperoleh selama tiga bulan adalah sebagai berikut :
52

ANGKA KEPATUHAN IDENTIFIKASI TRIWULAN II


TAHUN 2020
120%

100%100%100%
100%

80%

60%

40%

20%

0%

APRIL MEI JUNI


CAPAIAN 100% 100% 100%
STANDAR 100% 100% 100%

Analisa data :
Dari diagram diatas dapat disimpulkan bahwa angka kepatuhan identifikasi pasien
Triwulan II tahun 2020 sudah sesuai standar yaitu 100%.

b. Waktu Tanggap Pelayanan IGD (Emergency Respon Time)


Pelayanan kesehatan kegawatdaruratan merupakan hak asasi sekaligus
kewajiban yang harus diberikan perhatian penting oleh setiap orang. Pemerintah
dan segenap masyarakat bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan kegawatdaruratan sebagai bagian
utama dari pembangunan kesehatan sehingga pelaksanaannya tidak sporadik dan
memiliki sistem pelayanan yang terstruktur (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2004).
Instalasi Rawat Darurat sebagai gerbang utama penanganan kasus gawat
darurat dirumah sakit memegang peranan penting dalam upaya penyelamatan
hidup klien. Wilde (2009) telah membuktikan secara jelas tentang pentingnya waktu
tanggap (response time) bahkan pada pasien selain penderita penyakit jantung.
Mekanisme response time, disamping menentukan keluasan rusaknya organ-organ
dalam, juga dapat mengurangi beban pembiayaan. Kecepatan dan ketepatan
pertolongan yang diberikan pada pasien yang datang ke IGD memerlukan standar
sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya sehingga dapat menjaminsuatu
penanganan gawat darurat dengan response time yang cepat dan penanganan
53

yang tepat. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkan sarana, prasarana, sumber
daya manusia dan manajemen IGD rumah sakit sesuai standar (Kepmenkes, 2009)
Dari data yang di dapat selama tiga bulan yaitu :

Waktu Tanggap Pelayanan IGD (Emergency Respon Time)


TRIWULAN II TAHUN 2020
120%

100%

80%

60%

40%

20%

0%
APRIL MEI JUNI
CAPAIAN 100% 100% 100%
STANDAR 100% 100% 100%

Analisa data :
Waktu tanggap pelayanan igd (Emergency Respon Time) Triwulan II tahun
2020 sudah sesuai standar yaitu 100%. Dari hal tersebut dapat di simpulkan
bahwa pelayanan di IGD sudah sesuai dengan standar yaitu ≤5 menit pasien
sudah dilakukan pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu cara yang
memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang
paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau menggolongkan semua pasien
yang memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas penanganannya.

c. Waktu Tunggu Rawat jalan


Waktu tunggu pelayanan merupakan masalah yang masih banyak dijumpai
dalam praktik pelayanan kesehatan, dan salah satu komponen yang potensial
menyebabkan ketidakpuasan, dimana dengan menunggu dalam waktu yang lama
menyebabkan ketidakpuasan terhadap pasien. Menurut Buhang (2007), dikaitkan
dengan manajemen mutu, aspek lamanya waktu tunggu pasien dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan merupakan salah satu hal penting dan sangat
menentukan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh suatu unit
pelayanan kesehatan, sekaligus mencerminkan bagaimana rumah sakit mengelola
komponen pelayanan yang disesuaikan dengan situasi dan harapan pasien. Dalam
segi konteks, waktu tunggu adalah masalah yang selalu menimbulkan keluhan
54

pasien dibeberapa rumah sakit, seringkali masalah waktu menunggu pelayanan ini
kurang mendapatkan perhatian oleh pihak manajemen rumah sakit. Suatu rumah
sakit mengabaikan lama waktu tunggu dalam pelayanan kesehatannya maka
secara totalitas kualitas pelayanan rumah sakit dianggap tidak professional dan
dapat menurunkan kepuasan pasien sekaligus keluarga pasien. Setiap rumah sakit
pada dasarnya dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pasien
sebagai pelanggan .Peningkatan mutu pelayanan merupakan prioritas utama
dalam sebuah manajemen rumah sakit, salah satu dimensi mutu pelayanan
kesehatan adalah akses terhadap pelayanan yang ditandai dengan waktu tunggu
pasien yang cepat (Buhang, 2007). Menurut Tjiptono (2007), mengidentifikasikan
lima dimensi kualitas mutu pelayanan, antara lain tangible (berwujud), reliability
(keandalan), responsiveness (daya tanggap), assurance (jaminan/keyakinan),
emphaty (kesediaan untuk perduli). Waktu tunggu pelayanan adalah waktu yang
digunakan pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mulai tempat
pendaftaran sampai masuk keruang pemeriksaan dokter. Berdasarkan Kepmenkes
RI No.129/Menkes/SK/IV/2008 pada pelayanan rawat jalan untuk indikator waktu
tunggu pelayanan dirawat jalan yaitu ≤60 menit dimulai dari pasien mendaftar
sampai diterima/dilayani oleh dokter spesialis.
Dari data yang di dapat selama tiga bulan yaitu :

Waktu Tunggu Rawat jalan


Triwulan II tahun 2020

100.00%
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
0.00%
10.00% APRIL MEI JUNI
Kategori waktu Tungg ˂
39.17% 40.83% 41.67%
60 menit
Kategori waktu Tungg ˃
60.83% 59.17% 58.33%
60 Menit
STANDAR STANDAR 100% 100% 100%

Analisa Data :
Dari grafik diatas masih terlihat bahwa waktu tunggu rawat jalan di Rumah
Sakit Tingkat III Rs Tk III Dr R soeharsono Triwulan II tahun 2020 masih belum
sesuai standar yang
55

ditetapkan. Pada bulan April Waktu tunggu Rawat Jalan ˂ 60 menit masih 39,17%.
Bulan Mei 40,83% dan bulan Juni 41,67%.
Oleh sebab itu dilakukan analisa dengan menggunakan Fishbone untuk
mengetahui penyebab waktu tunggu rawat jalan yang belum mencapai standar ˂
60 menit.
Analisa Fishbone :
1) Man (SDM)
a) Kedisiplinan jadwal datang dokter
b) Perawat belum konfirmasi
c) Petugas pendaftaran lama input data
d) Kurangnya petugas di loket pendaftaran
e) Petugas distribusi lama mengantar file
2) Machine (Kebijakan)
a) Sosialisasi SPO pendaftaran pasien belum optimal
b) Tidak ada regulasi jadwal datang dokter
3) Methode (Pelaksanaan)
a) Kurangnya sosialisasi SPO pendaftaran pasien
b) Tidak adanya ketetapan jam dokter datang
c) Kurangnya koordinasi antara petugas pendaftaran dengan
perawat poliklinik
4) Material (Alat)
a) Gangguan internet di loket pendaftaran
b) Terjadi komputer hang (kerusakan)
c) Terjadi gangguan pengeras suara
d) Terjadi data pasien ganda
5) Money (Pendanaan)
a) Keterbatasan biaya dalam penyediaan sarana dan prasarana

d. Waktu Tunggu Operasi Elektif


Standar Pelayanan Minimal mendefinisikan waktu tunggu operasi elektif
adalah tenggang waktu mulai dokter memutuskan untuk operasi yang terencana
sampai dengan operasi dilaksanakan. Standar pelayanan minimal yang ditetapkan
waktu tunggu operasi elektif kurang dari dua hari,. Panjangnya waktu tunggu
operasi elektif sangat berpengaruh terhadap kepuasan pasien dan dapat
menurunkan citra rumah sakit.
Dari data yang di dapat selama tiga bulan yaitu
56

WAKTU TUNGGU OPERASI ELEKTIF TRIWULAN II


TAHUN 2020
120%

100%100%100% 100%

80%

60%

40%

20%

0%
APRIL MEI JUNI
CAPAIAN 100% 100% 100%
STANDAR 100% 100% 100%

Analisa Data :
Dari grafik diatas terlihat bahwa waktu tunggu operasi elektif di
Rumah Sakit Tingkat III Rs Tk III Dr R soeharsono sudah sesuai dengan
standar yang di tetapkan yaitu 100%.
Di Ruimah Sakit Tingkat III Rs Tk III Dr R soeharsono, waktu tunggu operasi
elektif ≤ 2 hari sudah sesuai standar dikarenakan operator tidak pernah
terlambat, pemasangan instrumentasi prabedah sudah sesuai SPO, Ruang
perawatan yang selalu siap, dan penanganan konsultasi anestesi yang tepat
dan cepat.

e. Kepatuhan Jam Visite Dokter Spesialis


Visite dokter spesialis adalah : Kegiatan kunjungan oleh dokter kepada
pasien untuk lebih mengetahui kondisi perkembangan dengan cara mendatangi,
memeriksa, dan berkomunikasi secara langsung kepada pasien di ruang
perawatan. Tujuannya adalah untuk Memantau kemajuan perkembangan kondisi
pasien yang dirawat denganbaik, memberikan rasa aman dan rasa diperhatikan
bagi pasien yang dikunjungi dan melaksanakan pelayanan pasien dengan baik.
Dari data yang di dapat selama tiga bulan yaitu
57
KEPATUHAN JAM VISITE DOKTER SPESIALIS TRIWULAN II TAHUN 2020
105.00%

100.00%

95.00%
100% 100% 100%
90.00%

85.00%

80.00%
84.56% 84.42% 84.82%
75.00%

APRIL MEI JUNI


CAPAIAN 84.56% 84.42% 84.82%
STANDAR 100% 100% 100%

Analisa data :
Dari Grafik diatas dapat di simpulkan bahwa kepatuhan jam visite dokter
spesialis Triwulan II tahun 2020 masih jauh dari standar yang ditetapkan.
Oleh sebab itu dilakukan analisa dengan menggunakan Fishbone untuk
mengetahui penyebab ketidakpatuhan jam visite dokter spesialis.
Analisa Fishbone :
1) Man (SDM)
a) Kedisiplinan jadwal datang dokter
b) Perawat tidak konfirmasi
2) Machine (Kebijakan)
a) SPO jadwal jam visite dokter spesialis belum tersosialisasikan
b) Tidak ada regulasi jadwal datang dokter
3) Methode (Pelaksanaan)
a) Kurangnya sosialisasi SPO jam visite dokter
b) Tidak adanya ketetapan jam dokter visite
c) Kurangnya koordinasi antara dokter spesialis dengan perawat
rawat inap
4) Material (Alat)
a) Terjadi gangguan jalur komunikaksi
5) Money (Pendanaan)
a) Keterbatasan biaya dalam penyediaan sarana komunikasi

f. Waktu Lapor Hasil Tes Kritis Laboratorium


Salah satu indikator keselamatan nyawa pasien yang memiliki faktor resiko
besar adalah pelaporan nilai kritis hasil laboratorium yaitu hasil pemeriksaan
laboratorium yang ekstrim yang sifatnya mengancam nyawa apabila tidak ditangani
dengan segera yang mengakibatkan kejadian yang tidak diharapkan (KTD) pada
58

pasien (Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit, 2011). Standar dari Depkes RI
bahwa pelaporan nilai kritis harus segera dilaporkan dan dilaporkannya kurang dari

30 menit sejak dibaca dokter penanggung jawab (DPJP). .


Waktu lapor hasil tes kritis laboratorium adalah waktu yang diperlukan untuk
memberikan jawaban kepada dokter yang mengirim setelah keluar hasil
pemeriksaan dan mulai dibaca oleh Dokter / Analis Laboratorium sampai hasilnya
diterima oleh dokter yang mengirim (lisan atau tulisan). Standar : harus diterima
oleh dokter yang mengirim dalam waktu kurang dari 30 (tiga puluh) menit baik
secara lisan maupun tulisan. Yang dimaksud dengan kritis adalah hasil
pemeriksaan yang termasuk dalam kategori kritis yang ditetapkan dengan
kebijakan RS. Waktu tunggu yang memanjang dapat berakibat : Menurunkan
kepercayaan terhadap layanan laboratorium dan memperpanjang diagnose dan
terapi penderita.

Dari data yang di dapat selama tiga bulan yaitu

Waktu Lapor Hasil Tes Kritis Laboratorium Triwulan II


Tahun 2020
120%

100%100%100% 100%

80%

60%

40%

20%

0%
APRIL MEI JUNI
CAPAIAN
100% 100% 100%
STANDAR
100% 100% 100%

Analisa Data :
Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa waktu lapor hasil tes kritis laboratorium
sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan yaitu 100%, dalam waktu ≤ 30
Menit.
g. Kepatuhan Penggunaan Formularium Nasional (FORNAS)
Formularium Rumah Sakit (FRS) adalah suatu daftar obat baku beserta
peraturannya yang digunakan sebagai pedoman dalam pemakaian obat di suatu
59

rumah sakit yang dipilih secara rasional, berdasarkan informasi obat yang sah dan
juga kebutuhan pasien di rumah sakit. Formularium rumah sakit merupakan
landasan kebijakan manajemen rumah sakit dan menjadi prinsip penting yang
harus diperhatikan Panitia Farmasi dan Terapi (PFT), (Aditama,2007).
Formularium Rumah Sakit disusun mengacu kepada Formularium Nasional.
Formularium Rumah Sakit merupakan daftar Obat yang disepakati staf medis,
disusun oleh Tim Farmasi dan Terapi (TFT) yang ditetapkan oleh Pimpinan Rumah
Sakit. Formularium Rumah Sakit harus tersedia untuk semua penulis Resep,
pemberi Obat, dan penyedia Obat di Rumah Sakit. Evaluasi terhadap Formularium
Rumah Sakit harus secara rutin dan dilakukan revisi sesuai kebijakan dan
kebutuhan Rumah Sakit. Penyusunan dan revisi Formularium Rumah Sakit
dikembangkan berdasarkan pertimbangan terapetik dan ekonomi dari penggunaan
Obat agar dihasilkan Formularium Rumah Sakit yang selalu mutakhir dan dapat
memenuhi kebutuhan pengobatan yang rasional (Republik Indonesia, 2014).
Dari hasil pengambilan data di instalasi farmasi, didapatkan hasil sebagai berikut :

KEPATUHAN PENGGUNAAN
FORMULARIUM
100.00% TRIWULAN II TAHUN 2020

95.00% 94.76%
93.25%
90.00%

85.00%

80.00%

75.00%

70.00%

APRIL MEI JUNI


CAPAIAN 93.25% 94.76%
STANDAR 80% 80% 80%

Analisa data :
Dari Grafik diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan fornas belum konsinten.
Oleh sebab itu dilakukan analisa dengan menggunakan Fishbone untuk
mengetahui penyebab ketidakkonsistennya penggunaan formularium nasional.
Analisa Fishbone :
1) Man (SDM)
a) Komitmen dokter masih kurang
60

2) Machine (Kebijakan)
a) Buku Formularium kurang di sosialisasikan
b) Rumah sakit belum menemukan sistem kontrol yang sesuai
untuk mengawasi jalannya pelaksanaan sistem formularium
c) Rumah sakit belum punya kebijakan yang menjamin
ketersediaan obat yang terdapat di dalam buku formularium rumah
sakit
3) Methode (Pelaksanaan)
a) Kurang efektifnya sistem sosialisasi terkait dengan keberadaan
formularium rumah sakit
b) Kurangnya pelatihan kepada pihak instalasi farmasi RSE terkait
dengan metode pengendalian persediaan farmasi yang sesuai
c) Kurangnya keterlibatan dan juga supervisi direksi serta Komite
Medik sebagai bentuk pengendalian manajemen terhadap
formularium
4) Material (Alat)
a) HIS (Hightech Information System) di instalasi farmasi belum
berjalan dengan baik dan efisien
b) Ada ketidakseragaman antara stok dengan data pada sistem
5) Money (Pendanaan)
a) Keterbatasan biaya dalam mencetak buku formularium seukuran
saku dengan format yang menarik dan mudah dibaca.

h. Kepatuhan Cuci Tangan


Upaya dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial dengan
menerapkan prinsip asepsis dan menerapkan standar tinggi untuk menghilangkan
sumber potensial penyakit dapat dilakukan dengan cara hand hygiene yang efektif
terutama pada tenaga medis. Hand hygiene termasuk cuci tangan dan disinfeksi
tangan merupakan tindakan pencegahan primer yang dapat dilakukan oleh tenaga
layanan kesehatan. Pencucian tangan menyeluruh dengan jumlah air dan sabun
yang memadai dapat menghilangkan lebih dari 90% flora sementara. Disinfeksi
dengan alkohol digunakan untuk membunuh mikroorganisme beserta kontaminan
yang ada.
Pengamatan ini dilakukan pada saat petugas melakukan tindakan medis di rawat
inap oleh dokter, perawat dan tenaga lainya :
Dari pengambilan data diperoleh hasil sebagai berikut :
61

1) Dokter

KEPATUHAN CUCI TANGAN DOKTER


TRIWULAN II TAHUN 2020

100.00%
99.50%
99.00%
98.50%
98.00%
97.50%
97.00%
96.50%
96.00%
95.50%
95.00%
Sebelum Sebelum Setelah Setelah Setelah
kontak melakuka kontak terpapar kontak
dengan n tindakan dengan cairan dengan
pasien aseptis pasien tubuh lingkunga
pasie n pasien
APRIL 99.69% 96.87% 100.00% 100.00% 96.87%
MEI 99.69% 96.87% 100.00% 100.00% 96.87%
JUNI 100.00% 100.00% 100.00% 100.00% 100.00%
STANDAR 100.00% 100.00% 100.00% 100.00% 100.00%

2) Tenaga Medis

KEPATUHAN CUCI TANGAN PERAWAT/BIDAN


TRIWULAN II TAHUN 2020

100.00%
99.00%
98.00%
97.00%
96.00%
95.00%
94.00%
93.00%
92.00%
Sebelum Sebelum Setelah Setelah Setelah
kontak melakuka kontak terpapar kontak
dengan n tindakan dengan cairan dengan
pasien aseptis pasien tubuh lingkunga
pasie n pasien
APRIL 96.79% 94.82% 98.21% 99.82% 97.68%
MEI 98.04% 96.25% 99.11% 100.00% 98.39%
JUNI 98.93% 97.32% 98.57% 100.00% 98.93%
STANDAR 100.00% 100.00% 100.00% 100.00% 100.00%
62

3) Tenaga lainnya
KEPATUHAN CUCI TANGAN TENAGA LAINNYA TRIWULAN II TAHUN 2020

100.00%
99.80%
99.60%
99.40%
99.20%
99.00%
98.80%

98.60%
Sebelum Sebelum Setelah Setelah
kontak melakukan terpapar kontak
dengan tindakan cairan tubuh dengan
pasien aseptis pasie lingkungan
pasien
APRIL 99.17% 100.00% 100.00% 99.17%
MEI 100.00% 100.00% 100.00% 100.00%
JUNI 100.00% 100.00% 100.00% 100.00%
STANDAR 100.00% 100.00% 100.00% 100.00%

i. Kepatuhan Upaya Pencegahan Resiko Cedera Akibat Pasien jatuh


Keselamatan Pasien merupakan hal utama dalam pelayanan di Rumah
Sakit. Jumlah kasus jatuh menjadi bagian yang bermakna penyebab cedera pasien
rawat inap. Rumah Sakit perlu mengevaluasi resiko pasien jatuh dan mengambil
tindakan untuk mengurangi resiko cedera jika sampai jatuh. Evaluasi resiko jatuh
menggunakan skala resiko jatuh. Pasien yang dirawat di RS akan selalu memiliki
resiko jatuh terkait dengan kondisi dan penyakit yang diderita selain itu juga faktor
lingkungan.
Pasien jatuh adalah pasien yang mengalami insiden secara cepat dan tiba-
tiba berpindah posisi dari tempat tidur ke lantai sampai setengah atau lebih bagian
tubuh berada di lantai, sehingga memungkinkan pasien mengalami cedera ringan
sampai berat atau tidak menimbulkan cedera.
Dari hasil pengumpulan data selama 3 bulan kami menemukan hasil sbb:
63
KEPATUHAN UPAYA PENCEGAHAN RESIKO CEDERA AKIBAT PASIEN JATUH
TRIWULAN II TAHUN 2020
120%

100%

80%
100% 100% 100%
60%

40%

20%

0%

APRIL MEI JUNI


ANGKA PENCAPAIAN 100% 100% 100%
STANDAR 100% 100% 100%

Analisa Data :
Dari grafik di atas terlihat bahwa kepatuhan upaya pencegahan resiko
cedera akibat pasien jatuh sudah dilaksanakan dan sudah sesuai dengan standar
yang ditetapkan yaitu 100%.

j. Kepatuhan Terhadap Clinical Pathway


Rumah sakit berkewajiban memberikan pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien
sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit. Tujuan yang paling utama dalam
pelayanan kesehatan ialah menghasilkan outcome yang menguntungkan pasien,
provider, dan masyarakat. Pencapaian outcome yang diinginkan sangat
bergantung dari mutu pelayanan kesehatan/rumah sakit (Hatta Gr, 2010). Salah
satu upaya penting yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan ialah pembuatan
standar pelayanan. Saat ini sektor kesehatan melengkapi peraturan perundang-
undangannya dengan disahkan-nya Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran. Di tingkat nasional diperlukan penyusunan Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang berisi pernyataan yang sistematis, mutakhir,
dan evidence based untuk membantu dokter/pemberi jasa layanan lain dalam
menangani pasien dengan kondisi tertentu. Karena sifatnya yang canggih dan
mutakhir, maka PNPK harus diterjemahkan menjadi Panduan Praktik Klinis (PPK)
oleh masing-masing fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) sesuai dengan
keadaan setempat. PPK dapat disertai perangkat pelaksanaan langkah demi
64

langkah termasuk clinical pathway (Kemenkes RI, 2014). Clinical pathway


merupakan bagian penting dokumen dan alat dalam mewujud-kan good clinical
governance di rumah sakit. Di Indonesia, dokumen ini juga menjadi salah satu
syarat yang harus dipenuhi dalam Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit edisi
pertama.
Dari hasil pengumpulan data selama 3 bulan kami menemukan hasil sbb :

KEPATUHAN TERHADAP CLINICAL PATHWAY


TRIWULAN II TAHUN 2020

100.00%

95.00%

90.00%

85.00%

80.00%

75.00%
LOS ≤ 5 hari Terdapat Pemakaian
pemeriksaan obat sesuai CP
Penunjang
Capaian 97.33% 85.67% 100.00%
Standar 100% 100% 100%

Analis Data :
Dari grafik di atas terlihat bahwa kepatuhan terhadap Clinical pathway masih
belum sesuai dengan standar. Yang masih banyak belum sesuai adalah tentang
pemeriksaan penunjang.
Oleh sebab itu dilakukan analisa dengan menggunakan Fishbone untuk
mengetahui penyebab ketidakpatuhan terhadap Clinical Pathway.
Analisa Fishbone :
1) Man (SDM)
a) PPA tidak disiplin mengikuti CP
2) Machine (Kebijakan)
a) Panduan CP tidak tersosialisasikan
b) Kebutuhan asuransi untuk pemeriksaan penunjang
3) Methode (Pelaksanaan)
a) Kurangnya sosialisasi kepada DPJP agar melakukan perawatan
medis sesuai CP
b) Kurangnya koordinasi antara PPA
4) Material (Alat)
a) Form CP tidak tersedia di BRM
65

k. Kepuasan Pasien dan Keluarga


Kepuasan Pasien adalah perasaan senang atau penerimaan dengan baik
dari pasien terhadap semua layanan Rumah Sakit, baik dilakukan sesuai standar
maupun substandar.Kepuasan pelanggan menggambar kan kualitas pelayanan
yang diberikan. Kualitas harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada
presepsi pelanggan (Kotler, 1994). Hal ini berarti bahwa citra kualitas yang baik
bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi pihak penyedia jasa,
melainkan berdasarkan sudut pandang atau presepsi pelanggan. Pelayanan
adalah semua upaya yang dilakukan karyawan untuk memenuhi keinginan
pasiennya dengan jasa yang akan diberikan.
Suatu pelayanan dikatakan baik oleh pasien, ditentukan oleh kenyataan
apakah jasa yang diberikan bisa memenuhi kebutuhan pasien, dengan
menggunakan persepsi pasien tentang pelayanan yang diterima (memuaskan atau
mengecewakan, juga termasuk lamanya waktu pelayanan). Kepuasan dimulai dari
penerimaan terhadap pasien dari pertama kali datang, sampai pasien
meninggalkan rumah sakit.
Kepuasan Pasien dan Keluarga sudah menjadi salah satu indikator mutu
manajemen.

l. Kecepatan Respon Terhadap Komplain


Semakin meningkatnya tekanan untuk memberikan pelayanan kesehatan di
rumah sakit yang bersifat patient-centered care, maka proses mencari serta
merespon terhadap feedback pelayanan dari pasien menjadi salah satu komponen
penting dalam program manajemen risiko. Pasien memiliki hak untuk menyatakan
keluhan atau mengajukan komplain ketika mereka merasa tidak puas dengan
pelayanan/pengobatan yang diberikan, dan rumah sakit harus memiliki prosedur
yang berlaku untuk menangani keluhan tersebut dalam waktu yang secepatnya.
Selain itu, dengan melihat dan melacak kecenderungan jenis komplain, maka
rumah sakit dapat mengetahui masalah-masalah yang sering terjadi dan dapat
dengan segera melakukan perbaikan untuk peningkatan mutu. Hal ini pada
akhirnya dapat menghindarkan rumah sakit dari tuntutan-tuntutan hukum yang
akan berakibat negatif bagi kinerja rumah sakit.
Kecepatan respon terhadap komplain adalah kecepatan Rumah sakit dalam
menanggapi komplain baik tertulis, lisan atau melalui mass media yang sudah
diidentifikasi tingkat risiko dan dampak risiko dengan penetapan grading/ dampak
66

risiko berupa ekstrim (merah), Tinggi (kuning), Rendah (hijau), dan dibuktikan
dengan data, dan tindak lanjut atas respon time komplain tersebut sesuai dengan
kategorisasi/grading/dampak risiko.
Dari hasil pengumpulan data selama 3 bulan kami menemukan hasil sbb :
KECEPATAN RESPON TERHADAP KOMPLAIN TRIWULAN II TAHUN 2020
120.00%

100.00%

80.00%

60.00%

40.00%

20.00%

0.00%

APRIL MEI JUNI


CAPAIAN 100.00% 100.00% 100.00%
STANDAR 100% 100% 100%

Analisa Data :
Dari grafik di atas terlihat bahwa kecepatan respon terhadap kompalin sudah
sesuai dengan standar. Dikarenakan apabila terjadi komplain di unit atau ruangan,
petugas pengaduan pelayanan langsung memverifikasi dan menyelesaikan
komplain tersebut sesuai dengan grading masalah yang sudah ditetapkan.
67

BAB IV
PELAPORAN DAN EVALUASI

8. Kegiatan Pelaporan.
Pelaksanaan kegiatan yang dilakukan untuk pemantauan indikator tersebut adalah
:
a. Pencatatan setiap indikator klinis, indikator manajemen dan indikator
keselamatan pasien dan indikator mutu nasional dilakukan oleh perawat / petugas
di setiap unit pelayanan yang terkait dengan indikator klinis masing - masing,
(untuk pementauan dan pelaporan insiden keselamatan pasien pelaksanaannya di
tangani khusus oleh tim keselamatan pasien rumah sakit).
b. Indikator – indikator tersebut dicatat setiap harinya, kemudian direkapitulasi
dan divalidasi oleh Kepala Ruangan atau Kepala Unit Pelayanan masing- masing;
c. Ketua sub komite Mutu bertanggungjawab mengkoordinasi pengumpulan
data indikator yang telah dicatat dan direkapitulasi oleh setiap unit pelayanan dan
dilakukan analisa pada awal bulan selanjutnya.
d. Setiap 3 bulan sekali dilakukan analisa menyeluruh untuk dibuat
rekomendasi kepada Kepala Rumah Sakit tingkat III Rs soeharsono, menyangkut
langkah - langkah untuk menjamin mutu pelayanan.

9. Evaluasi
a. Pelaporan dan Evaluasi indikator Mutu Klinis, Manajemen serta keselamatan
pasien adalah untuk menilai mutu pelayanan Rumah Sakit Tk III Rs
soeharsono
b. Dalam pelaksanaannya agar data tercatat dengan baik maka setiap ruang
disediakan formulir yang tersimpan di hard disk.
c. Pelaksanaan kegiatan saat ini sudah di laksanakan oleh pengumpul data
yang ada di masing – masing ruangan dan divalidasi oleh Kepala Ruangan.
d. Pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh :
1) Petugas pencatat adalah penanggung jawab pada unit pelayanan
yang sudah ditunjuk
2) Pada akhir bulan penanggung jawab pada unit rawat inap &
kebidanan menyerahkan hasil Formulir Sensus Harian kepada Kepala
Bagian Unit yang kemudian diteruskan ke sub komite mutu.
3) Data dikumpulkan oleh petugas ruangan yang telah ditunjuk
4) Data direkapitulasi dan divalidasi oleh Kepala Ruangan.
5) Hasil rekapitulasi kemudian dilaporkan kepada sub komite mutu.
68

6) Komite Mutu dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit membuat analisa


memberikan rekomendasi- rekomendasi. Selanjutnya melaporkan hasil
rekapitulasi tersebut berikut analisanya kepada Kepala Rumah Sakit Tingkat
III Dr R soeharsono
7) Agar data pada laporan tersebut dapat lebih mudah dibaca serta
dapat melihat kecenderungannya dari tingkat mutu yang diukur, maka dibuat
dalam grafik
69

BAB V
PENUTUP

Demikian laporan peningkatan mutu dan keselamatan pasien di Rumah Sakit


Tingkat III Dr R soeharsono.
Diharapkan laporan ini, dapat dipakai sebagai pedoman kerja dalam meningkatkan
mutu pelayanan di Rumah Sakit Tingkat III Dr R soeharsono.

Banjarmasin 8 Juli 2020


Kepala RS Tk.III Dr. R. Soeharsono Ka Komite PMKP

dr. Awaluddin TJ., M.M.R.S dr. H. Herry Setiawan,Sp.An


Letkol CKM NRP. 11990010231172 Letkol Ckm NRP.11980013541070
70

DAFTAR PUSTAKA
1. Aditama, Tjandara. 2007. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Jakarta:UIPress
2. Azwar, Azrul. 2007. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Bina Rupa
Aksara.
3. Corwin, E.J. (2009). Patofisiologi: Buku saku (Nike budhi subekti, penerjemah).
Jakarta: EGC
4. Darmawan Iyan. 2008. Penyebab dan Cara Mengatasi Plebitis. Diakses dari
https://yunusstikes.wordpress.com pada tanggal 5 April 2020
5. Guwandi, J. 2006. Informed consent& Informed Refusal. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta
6. Hamid, T.B.J. Elemen Pelayanan Minimum Farmasi di Rumah Sakit, Direktorat
Jendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Depertemen Kesehatan RI, diambil
dari http:// www.yanfar.go.id. Tanggal 10 Juni 2005.
7. Horan TC, Andrus M and Dudeck MA. CDC/NHSN surveillance defi nition of health-
care associated infection and criteria for specifi c types of infection in the acute care
setting. Am. J. Infect. Control. 2008;36:309-32.
8. Jahan, F, 2011, Dengue Fever (DF) in Pakistan, Asia Pacific Family Medicine
Volume 10 no.1, sumber http://www.apfmj.com/info/instructions/
9. Jarvis WR. Investigating Endemic and Epidemic Healthcare-Associated Infections.
In: William R. Javis (Editor). Bennet’s & Brachman’s Hospital Infections 5th edition.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 2007
10. Kepmenkes No. 119/Menkes/SK/II/2008. Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit
11. Konsil Kedokteran Indonesia, Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran, (Jakarta:
Konsil Kedokteran Indonesia, 2006),
12. Kotler, Philip, 1997, Manajemen Pemasaran, Analisis Perencanaan dan
Pengendalian, Jilid 2 Edisi Kedelapan, Penerbit Erlangga,Jakarta.
13. Marwoto, A, Hari Kusnato, danDwi Handono. 2007. Analisis Kinerja Perawat dalam
PengendalianInfeksi Nosokomial di Ruang IRNA 1 RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta. Tesis.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
14. Muhadir, A, 2014, Indonesia Masih Endemis Demam Berdarah, sumber
http://www.tempo.co/read/news/2013/07/26/173500085/ Kemenkes-Indonesia-Masih-
Endemis-Demam-Berdarah
15. Permenkes No : 269/Menkes/Per/III/2008. Rekam Medis
16. Permenkes No. 363/Menkes/Per/IV/1998. Pengujian dan Kalibrasi Alat Kesehatan
pada sarana Pelayanan Kesehatan
71

17. Putri, RA, Yunie Armiyati, dan Mamat Supriyono. 2011. Faktor-faktor yang
Berpengaruh terhadap Kejadian Infeksi Saluran Kemih pada pasien Rawat Inap Usia 20
tahun ke Atas dengan Kateter Menetap di RSUD Tugurejo Semarang. Jurnal
Keperawatan dan Kebidanan, vol. 1, no. 1, hal. 1–2.
18. Rivai, Koentjoro & Utarini, Determinan Infeksi Luka Operasi Pascabedah Sesar,
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 5, Juni 2013.
19. Rijadi, Chanzul. 2002. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Sisa
Makanan Pasien Rawat Inap, http://www.fkm-undip.or.id. Diakses Mei 2014.
20. Rijanto, A. (2009). Definisi Kesehatan dan Keselamatan Kerja . Yogyakarta: Maha
Medika.
21. Riyanto, Dwi Agung. (2016). Faktor – faktor yang mempengaruhi kepatuhan
perawat dalam penggunaan alat pelindung diri di Rumah sakit Sari Asih Serang Propinsi
Banten, diambil dari http://ejournal.stikesborromeus.ac.id/
22. Suma'mur. (2009). Alat Pelindung Diri. Jakarta: Sugeng Seto.
23. Timmreck, Thomas, C. 2001. California State University San Bernardino, California,
Managing, Motivation and Developing Job Satisfaction in The Health Care Work
Environment. The Health Care Manager; Juni 2001
24. World Health Organization. 2002. Prevention of Hospital-Acquired Infections, A
practical guide, 2nd Edition, Department of Communicable Disease Surveillance and
Response.
25. WHO (2008) Manual implementationl surgery safety checklist(first edition) Diakses
pada 27 April 2020 melalui
http://www.who.int/patientsafety/safesurgery/tools_resources/SSSL_Manual_finalJun08.p
df
26. Wijono, D. M. S., 2000. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, Airlangga
University Press, Banjarmasin.
27. Wilson, Rick. Hospital Food as Treatment di dalam Food and Healing Conference,
Queen Elizabeth Centre, Westminster. Tuesday 21st Jan 2003.
28. Yusmainita. Pemberdayaan Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bagian I, diambil dari
http:// www.tempo.co.id/medika/arsip/011002/top- 1.htm. Tanggal 30 Juni 2005.

Anda mungkin juga menyukai