Anda di halaman 1dari 52

Menyusun Indikator Mutu Rumah Sakit

22 JULY 2015

Pendahuluan
Indikator, standar, dan mutu adalah tiga hal yang berbeda. Suatu pelayanan
dikatakan bermutu dalam dimensi tertentu apabila indikator pelayanan mencapai
atau melampaui suatu standar tertentu. Mutu, dengan demikian tidak akan tercapai
tanpa suatu perencanaan dan wawasan yang terkait dengan mutu tersebut. Dengan
kata lain, bila kita menginginkan pelayanan yang bermutu di rumah sakit, maka
manajemen rumah sakit perlu memperluas wawasan mengenai mutu pelayanan
tersebut dan merencanakan serangkaian aksi untuk mencapai suatu
tingkat/standar tertentu. Pencapaian atas aksi-aksi tersebut diukur dengan
indikator.

Indikator, dengan demikian, perlu dirancang bersama dengan serangkaian proses


yang akan diambil dalam upaya peningkatan mutu. Memimpin serangkaian proses
ini, termasuk menyusun indikator, menjadi sangat penting. Memimpin sistem
mikro klinik dalam meningkatkan mutu sudah pernah saya bahas dalam tulisan ini.
Maksud tulisan ini adalah membahas beberapa hal yang sering ditanyakan para
pimpinan sistem mikro klinis dalam menyusun indikator mutu pelayanan. Sebagai
tambahan yaitu gagasan untuk melakukan analisis lebih lanjut dengan bantuan
ilmu statistika.

Indikator Mutu
Indikator mutu klinis adalah pengukuran manajemen klinis dan/atau luaran
pelayanan (Collopy 2000) dan diwujudkan dalam angka (Takaki et al. 2013).
Indikator mutu, dengan demikian, selalu merupakan pengukuran kuantitatif atau
semi kuantitatif yang memiliki numerator (pembilang) dan denominator (penyebut
/ pembagi). Umumnya, denominator adalah populasi tertentu dan numerator
adalah kelompok dalam populasi yang memiliki karakteristik tertentu.

Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) di Amerika Serikat


mempublikasikan empat kelompok indikator mutu, yaitu prevention quality
indicator, inpatient quality indicator, patient safety indicator, dan pediatric quality
indicator (dapat diakses di sini). Sementara itu, Joint Commission International juga
menerbitkan International Hospital Inpatient Quality Measures yang terdiri dari
sepuluh kelompok indikator klinis (dapat diunduh di sini). Contoh dari kedua
sumber tersebut sering dipakai bergantian dalam ceramah mengenai akreditasi
rumah sakit di Indonesia.

Di Indonesia, penetapan indikator dipandu Peraturan Menteri Kesehatan No. 129


Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit. Dalam
lampiran Permenkes tersebut, diatur 21 jenis pelayanan dan 107 indikator yang
telah ditetapkan standar minimalnya dengan nilai tertentu. Kementrian Kesehatan
menetapkan standar ini menjadi tolak ukur pelayanan rumah sakit badan layanan
umum daerah.

Tabel 1. Dimensi mutu (World Health Organization 2006).

Dimensi Mutu Maksud Dimensi Mutu

Efektif / Effective Pelayanan kesehatan yang erat pada basis bukti dan berhasil
dalam meningkatkan luaran kesehatan individu atau
komunitas berdasarkan kebutuhan.

Efisiensi / Efficient Pelayanan kesehatan yang memaksimalkan sumber daya


dan menghindari pemborosan.

Mudah diakses Pelayanan kesehatan yang tepat waktu, wajar secara


/ Accessible geografis, dan disediakan dalam kerangka yang tepat dari
sisi keterampilan dan sumber daya untuk memeuhi
kebutuhan.

Diterima / Accepted Pelayanan kesehatan yang mempertimbangkan pilihan dan


(Patient-centred) aspirasi individu pengguna layanan dan budaya
komunitasnya.

Tidak berpihak Pelayanan kesehatan yang tidak berbeda dalam kualitas


/ Equity karena karakteristik personal seperti gender, ras, etnis,
lokasi geografis, dan status sosio ekonomi.

Aman / Safe Pelayanan kesehatan yang meminimalisasi resiko dan harm.

Terlepas dari beberapa nilai standar dalam SPM tersebut yang tidak dapat
dilampaui, acuan tersebut memberikan sistematika yang baik dalam membuat
indikator. Setiap indikator dijelaskan dengan beberapa aspek seperti judul
indikator, definisi operasional, tujuan, dimensi mutu, numerator, denominator,
frekuensi pengukuran, sumber data, dan penanggung jawab pengumpulan data.
Pengukuran dapat dilakukan bila tahu apa yang diukur. Dengan demikian, judul
dan definisi operasional indikator telah jelas. Definisi operasional yang dimaksud
di sini termasuk definisi operasional numerator dan denominator. Dimensi mutu
sesuai permenkes mengacu pada dimensi mutu World Health Organization (WHO),
yaitu efektif, efisien, mudah diakses, diterima/berpusat pada pasien, tidak
berpihak, dan aman (World Health Organization 2006). Maksud masing-masing
dimensi mutu disajikan dalam tabel 1.

Merancang Pengumpulan Data Indikator


Mengumpulkan data adalah proses yang mungkin paling melelahkan dalam
petualangan menguak mutu pelayanan lewat indikator mutu pelayanan. Salah satu
penyebabnya adalah pengumpulan data kurang dipertimbangkan secara matang
ketika indikator mutu disusun. Cara pengumpulan data berkaitan erat dengan
tujuan indikator dan aspek-aspek lain dalam indikator. Mari kita ambil contoh
indikator kejadian infeksi pascaoperasi pada standar pelayanan minimal rawat inap
dalam permenkes di atas.

Dalam Permenkes disebut bahwa numerator adalah jumlah pasien yang mengalami
infeksi dalam satu bulan. Selanjutnya, denominator dalam lampiran tersebut tidak
jelas disebutkan namun kemungkinan adalah jumlah pasien yang dioperasi dalam
satu bulan. Di sini jelas, bahwa angka yang dimaksud dalam permenkes ini adalah
angka insidensi. Menilik keterangannya, muncul beberapa pertanyaan misalnya:
Apakah ini dihitung untuk seluruh rumah sakit atau untuk satu bangsal tertentu?
Data ini menunjukkan mutu pelayanan rawat inap atau menunjukkan mutu layanan
sterilisasi atau menunjukkan mutu layanan pembedahan?

Infeksi pasca operasi saat ini lebih sering disebut sebagai infeksi daerah operasi
(IDO) atau surgical site infection (SSI). Infeksi ini lebih sering didiagnosis setelah
pasien pulang dan merupakan hasil kontaminasi pada daerah luka operasi pada
akhir pembedahan (National Collaborating Centre for Women's and Children's
Health 2008). Bila mengikuti panduan permenkes tersebut, rumah sakit perlu
menyediakan dua sarana pengumpulan data, satu untuk mengumpulkan IDO yang
baru ditemukan dan satu untuk mengumpulkan jumlah pasien yang menjalani
operasi pada bulan tersebut.
Dalam kerangka berpikir, indikator mutu pelayanan rawat inap, pimpinan ruang
rawat inap bedah dapat memodifikasi indikator ini untuk mendapatkan manfaat
lebih. Mari kita simak tabel berikut.

Tabel 2. Contoh modifikasi indikator SPM.

Sesuai Permenkes Modifikasi

Numerator Jumlah pasien yang mengalami Jumlah hari rawat dengan IDO.
infeksi dalam satu bulan.

Denominator Jumlah pasien yang dioperasi dalam Jumlah hari rawat pasien
satu bulan. pascaoperasi.

Dengan modifikasi ini, pimpinan ruang rawat inap bedah memudahkan tim untuk
mengumpulkan data karena setiap hari cukup mendata ada berapa pasien pasca
operasi yang dirawat dan ada berapa pasien yang mengalami IDO. Jumlah tersebut
ditambahkan mulai tanggal satu sampai akhir bulan dan dimasukkan ke dalam
rumus. Sekarang, rumah sakit tahu prevalensi IDO bulan tersebut dan sebagai
bonus, pimpinan ruang rawat inap bedah bisa menghitung berapa banyak sumber
daya yang dipakai untuk mengurus IDO dan apakah prevalensi ini menurun atau
tidak dari bulan ke bulan (menunjukkan mutu layanan luka pascaoperasi di ruang
rawat inap bedah).

Merancang Analisis Data Indikator


Analisis yang diminta dalam akreditasi versi lama maupun baru seringkali terbatas
pada pembuatan grafik indikator berbanding waktu dan penjelasan mengenai
analisis penyebab. Dengan kerangka berpikir seperti audit medis dan audit klinis,
sebenarnya pimpinan sistem mikro klinis di rumah sakit dapat memanfaatkan uji
beda dalam statistika untuk melihat peningkatan mutu di unitnya.

Statistika dapat membantu pimpinan rumah sakit untuk melihat apakah ada beda
bermakna pada ruang perawatan satu dengan yang lain pada indikator yang sesuai.
Selain itu, pimpinan rumah sakit dapat mengevaluasi juga apakah benar ada
perubahan yang bermakna setelah intervensi perbaikan mutu dilakukan di suatu
unit kerja. Pengujian dengan statistika lebih lanjut dapat juga mengungkap apakah
benar suatu perlakukan meningkatkan mutu pelayanan tertentu.
Namun sebelum melakukan analisis tersebut, perlu dilakukan pemilihan uji
statistik yang sesuai. Untuk itu pada saat merancang indikator mutu perlu
dipikirkan mengenai uji statistik tersebut. Mulai dari apakah data yang
dikumpulkan menggunakan sampel atau populasi. Populasi berarti semua dihitung.
Contoh IDO di atas memanfaatkan data populasi. Semua pasien yang menjalani
operasi dihitung sebagai denominator. Ada keuntungan dan kerugian masing-
masing dalam memakai populasi atau sampel. Bila populasinya tidak banyak,
menggunakan sampel tentu tidak bijaksana.

Persiapan lainnya adalah menentukan tipe data. Apakah data tersebut merupakan
data nominal, ordinal, interval, atau rasio. Tipe data tertentu dapat memerlukan uji
statistik yang berbeda dengan tipe data lainnya untuk melihat hal yang sama.

Dengan penghitungan indikator yang telah dirancang dengan hati-hati ditambah


dengan uji statistik yang sesuai, pimpinan rumah sakit dan pimpinan unit kerja
dapat menarik kesimpulan mengenai mutu pelayanan. Tentu penarikan kesimpulan
ini perlu kehati-hatian. Penurunan secara signifikan waktu respon triase merah di
instalasi gawat darurat tidak lantas disimpulkan bahwa ada perbaikan pelayanan
gawat darurat. Hasil ini dapat saja murni merupakan hasil modifikasi akses masuk
pasien saja dan tidak berhubungan sama sekali dengan mutu pelayanan instalasi
gawat darurat secara umum.

Penutup
Indikator mutu rumah sakit adalah ukuran kuantitatif yang diukur untuk lebih
memahami mutu pelayanan di rumah sakit. Indikator perlu dirancang dengan
seksama dengan mempertimbangkan dimensi mutu yang ingin diukur, cara
pengumpulan data, dan strategi analisisnya. Dengan hati-hati merancang indikator
mutu pelayanan, sumber daya bisa dihemat, hasil lebih akurat, dan pengambilan
keputusan di tingkat sistem mikro maupun sistem makro bisa lebih strategis.

Bahan Bacaan

Collopy, BT 2000, 'Clinical indicators in accreditation: an effective stimulus to


improve patient care', International Journal for Quality in Health Care, vol 12, no. 3,
pp. 211-216.
Takaki, O, Takeuki, I, Takahashi, K, Izumi, N, Murata, K, Ikeda, M & Hasida, K 2013,
'Graphical representation of quality indicators based on medical service ontology',
Springer Plus, vol 2, no. 274, pp. 1-20.
World Health Organization 2006, Quality of care : a process for making strategic
choices in health systems , World Health Organization, Geneve, Switzerland.
National Collaborating Centre for Women's and Children's Health 2008, Surgical
site infection: prevention and treatment of surgical site infection, RCOG Press at
the Royal College of Obstetricians and Gynaecologists, London.

Penulis
Artikel ini ditulis dr. Robertus Arian Datusanantyo, M.P.H., alumni pascasarjana
Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan minat Manajemen Rumah Sakit Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Saat ini penulis sedang melanjutkan
pendidikan dokter spesialis di Universitas Airlangga. Tulisan ini merupakan opini
pribadi.

Menyajikan Indikator Mutu Rumah Sakit


28 SEPTEMBER 2015

Pendahuluan

Dalam tulisan sebelumnya, telah dibahas beberapa pertimbangan dalam menyusun


indikator mutu rumah sakit. Indikator perlu dipresentasikan untuk memberikan
gambaran mutu rumah sakit. Presentasi ini baik berupa presentasi tim mutu rumah
sakit ke kalangan manajemen puncak, presentasi direktur kepada surveyor
akreditasi, maupun advokasi manajemen puncak ke tingkat pemilik rumah sakit
(pemerintah pusat, pemerintah daerah, yayasan, maupun korporasi).

Dalam beberapa kesempatan penulis menyaksikan presentasi tersebut, kerap


terjadi data unggulan menjadi kurang diperhatikan karena disajikan kurang
sempurna. Kerap pula penyaji harus menjelaskan ulang data tersebut dalam sesi
tanya jawab. Akibatnya, waktu yang semestinya bisa digunakan untuk diskusi
peningkatan mutu menjadi terbuang percuma.

Bagaimana menyajikan data indikator mutu dengan efisien? Tulisan ini akan
mencoba mengupas beberapa pertimbangan utama sehingga dapat membantu
pembaca menentukan strategi penyajian data indikator mutu rumah sakit tersebut
dalam sebuah presentasi lisan. Ilustrasi yang digunakan dalam tulisan ini bukan
merupakan data asli salah satu rumah sakit dan hanya digunakan dengan tujuan
mendukung ide-ide dalam tulisan ini. Selamat menikmati.

Tipe Data Indikator Mutu Rumah Sakit

Dalam pembicaraan mengenai pengelolaan indikator mutu rumah sakit, selalu


muncul istilah "data". Dianggap sebagai objek yang sudah dikenal, data jarang
didefinisikan. Untuk menghindari beragam definisi data, mari kita sepakati data
sebagai keterangan yang menggambarkan persoalan atau hasil dari pengamatan
karakteristik tertentu. Indikator mutu merupakan pengukuran yang diwujudkan
dalam angka (Takaki et al., 2013; Collopy, 2000), maka hasil pengamatan indikator
mutu boleh kita sebut sebagai data.

Ada berbagai cara mengklasifikasi data. Untuk tujuan penyajian indikator mutu
rumah sakit ini, kita akan menggolongkan data menjadi dua, yaitu data kategorik
dan data kuantitatif (Bahna & McLarty, 2009). Data kategorik memiliki karakteristik
tertentu yang ditentukan sebelum data diambil. Data kategorik biasa digolongkan
menjadi tiga, yaitu nominal, ordinal, dan interval.

Data nominal adalah data kategori yang hanya bisa dijelaskan dengan nama,
seperti misalnya nama instrumen bedah (bisturi, klem, kocher, pemegang jarum,
dan pinset). Data nominal bisa memiliki banyak atribut seperti contoh sebelumnya,
namun bisa juga berupa data biner yang hanya memiliki dua atribut seperti jenis
kelamin (laki-laki dan perempuan). Walaupun indikator mutu rumah sakit selalu
merupakan pecahan, tidak menutup kemungkinan data primernya berupa data
nominal seperti contoh dalam tabel berikut ini.

Tabel 1 Ilustrasi data nominal infeksi luka operasi sebelum dan setelah intervensi.
Dalam pengumpulan data, setiap pasien yang memenuhi kriteria dicatat apakah
ada infeksi atau tidak: dua pilihan atribut yang ditentukan sebelumnya.

Intervensi
Indikator: Infeksi
Total
Luka Operasi
Sebelum Sesudah

Infeksi 56 21 77

Tidak Infeksi 280 363 643

Total 336 384 720


Data ordinal juga mempunyai atribut yang ditentukan sebelumnya dan setiap
sampel masuk dalam salah satu kategori. Bedanya dengan data nominal adalah
adanya penjejangan (pelapisan) yang tidak pasti jaraknya dalam data ordinal.
Misalnya dalam survei kepuasan pasien instalasi gawat darurat, dibuat lima
kategori kepuasan, yaitu sangat puas, puas, kurang puas, tidak puas, dan sangat
tidak puas. Tidak ada jarak yang pasti antar kategori dalam data ordinal. Contoh
data ordinal yang kerap dibahas dalam persiapan akreditasi rumah sakit adalah
skala nyeri.

Jarak antar kategori membedakan data interval dan data nominal. Data interval
mempunyai jarak antar kategori yang sama. Bulan-bulan dalam satu tahun adalah
contoh data interval karena kurang lebih jaraknya sama, yaitu 30 hari.

Data kuantitatif berbeda dengan data kategori. Data kuantitatif terbagi menjadi
dua, yaitu data kontinyu dan data diskret. Data kontinyu merupakan data hasil
pengukuran yang teliti dan dapat pada angka berapa saja. Data diskret merupakan
data yang merupakan pendekatan satuan terukur misalnya laju nadi (kali per
menit), usia dalam tahun, dan lain-lain. Data diskret mirip sekali dengan data
interval kecuali bahwa data interval biasanya hanya dalam kategori terbatas
sementara data diskret bisa tak terbatas.

Pertimbangan Penyajian Data

Data dapat disajikan dengan teks, tabel, maupun tampilan grafis. Tampilan grafis
lebih disukai daripada tampilan teks dan serba angka karena lebih efektif
meninggalkan pesan walau juga dapat membawa ke arah yang salah (Stengel et al.,
2008). Untuk menggunakannya, panduan dari van Belle, "struktur kalimat untuk
menampilkan 2-5 angka, tabel untuk menampilkan informasi numerik yang lebih
banyak, dan grafik untuk hubungan yang kompleks," masih relevan (Bahna &
McLarty, 2009).

Menampilkan data dengan teks memang merupakan teknik yang paling umum
walaupun jelas bukan pula yang terbaik. Menggunakan kalimat pendek yang tepat
adalah satu-satunya cara optimalisasi penyajian data dengan teks.
Pilihan yang lebih baik dari teks adalah tabel. Tabel dapat menyajikan satu macam
informasi namun juga mampu menampilkan hubungan lebih dari satu informasi.
Kemampuan pemirsa memahami isi tabel bergantung pada desain tabel. Variabel
kuantitatif harus diurutkan (kecil ke besar atau sebaliknya) atau dibuatkan interval.
Penting untuk memastikan tidak ada kelompok variabel yang tumpang tindih.

Bila dalam tabel termuat data frekuensi, pertimbangkan untuk menambahkan


persentase frekuensi tersebut. Penting juga untuk mempertimbangkan untuk
menggabungkan kategori-kategori yang nilainya kecil menjadi satu kategori.
Kategori-kategori tersebut perlu ditulis dengan jelas dan ringkas di bawah judul
tabel yang juga jelas dan ringkas. Ingat bahwa orang cenderung lebih suka melihat
tabel daripada teks, sehingga penting sekali agar tabel mudah ditemukan dan
diingat.

Tabel 2. Contoh tabel interval kelompok umur dan frekuensinya. Tabel di sebelah
kanan disajikan lebih baik.

Kelompok Umur Frekuensi Kelompok Umur Frekuensi

1–5 10 1–4 9 (9%)

5 – 10 34  5–9 34 (34%)

10 – 15 38 9 – 14 38 (38%)

15 - 20 18 15 - 19 19 (19%)

Tampilan grafik memiliki dampak visual yang paling cepat, paling kuat, paling
tahan lama namun kurang presisi (Bahna & McLarty, 2009). Grafik atau diagram
paling mumpuni dalam menampilkan tren atau perbandingan. Bila grafik dibuat
untuk menggantikan data (atau datanya bersumber) dari tabel, tidak perlu untuk
menampilkan tabel asalnya. Dewasa ini, grafik atau diagram sangat mudah dibuat
dengan program spreadsheet atau program pengolah data statistik lain. Walau
demikian, setiap tipe grafik memiliki karakteristik tersendiri yang perlu dipahami
sebelumnya. Pemahaman karakteristik grafik ini penting agar pesan yang
disampaikan tidak "melenceng" dari maksud awal.

Penyajian indikator mutu dalam bentuk grafis sebaiknya mengikuti kebiasaan


dalam penyajian data ilmiah, yaitu tidak mengubah grafis penyajian data menjadi
sebuah karya seni. Penyajian diharapkan tetap efisien, tidak terlalu banyak
pewarnaan yang tidak perlu, tumpang tindih tiga dimensi, dan dilengkapi dengan
keterangan teks yang ringkas dengan ukuran yang seimbang dengan grafis
(Stengel et al., 2008). Apabila diperlukan satuan, cantumkan juga satuan dengan
jelas (Bahna & McLarty, 2009).

Diagram garis dan diagram batang paling sering dipakai dalam penyajian data.
Diagram garis dipakai untuk menggambarkan perubahan nilai suatu variabel
seiring dengan waktu, sementara diagram batang dipakai menggambarkan nilai
beberapa variabel (Sonnad, 2002). Dalam presentasi indikator mutu, kerap
ditemukan presenter yang menggambarkan perubahan indikator mutu seiring
waktu menggunakan diagram batang karena dianggap lebih jelas mencitrakan
perubahannya. Hal ini kurang tepat dan sebaiknya dihindari. Dalam menyajikan
diagram batang dan garis, penting pula untuk memperhatikan skala pengukuran
agar perbedaan nilai antar variabel atau antar periode waktu lebih mudah dilihat.
Gambar berikut ini adalah contoh indikator mutu yang digambarkan dengan
diagram garis dan diagram batang.

Gambar 1. Diagram garis di sebelah kiri menunjukkan penurunan angka kejadian


infeksi luka operasi sementara diagram batang di sebelah kanan menunjukkan
angka kejadian infeksi luka operasi di empat ruang perawatan bedah yang
dibedakan berdasarkan jenis kelamin.

Diagram batang mirip dengan histogram. Dalam beberapa pembahasan bahkan


keduanya dianggap sama. Histogram bentuknya memang hampir sama dengan
diagram batang, namun keduanya melayani fungsi yang berbeda. Histogram
menggambarkan distribusi frekuensi
Gambar 2. Seorang spesialis anestesi mengukur skala nyeri pasien 8 jam setelah
operasi appendiktomi di sebuah rumah sakit selama tiga bulan. Distribusi
frekuensi disajikan dalam histogram ini. Nilai mengukuran dicantumkan pada
puncak batang untuk memudahkan pembacaan, karena ada nilai-nilai dengan
rentang cukup jauh.

Diagram pie juga merupakan pilihan penyajian data yang menarik namun mungkin
kurang bermanfaat dalam penyajian data indikator mutu. Diagram pie memiliki
keunggulan menyajikan distribusi relatif suatu data dibandingkan totalnya (Bahna
& McLarty, 2009). Beberapa diagram pie dapat digunakan untuk membandingkan
data-data yang berbeda.

Gambar 3. Contoh diagram pie yang menunjukkan distribusi frekuensi kepuasan


pasien instalasi gawat darurat di suatu rumah sakit.
Penyajian data indikator mutu rumah sakit dengan teks, tabel, dan grafik pada
presentasi seperti disampaikan di atas merupakan upaya agar audiens
mendapatkan informasi lebih banyak dibandingkan kalau mendengar saja atau
melihat saja (Cipolla, n.d.). Untuk itu, membuat presentasi yang baik secara
keseluruhan juga penting. Tetaplah penting untuk mempersiapkan presentasi,
mempelajari topik, dan mengeksekusi presentasi dengan baik. Buatlah presentasi
dengan pembukaan, topik utama, dan kesimpulan (Cipolla, n.d.). Penyajian data
yang sudah dipersiapkan dengan baik sesuai paparan di atas tetap harus dikuasai
dan dikomunikasikan dengan baik selama presentasi.

Penutup

Penyajian data indikator mutu rumah sakit dapat menjadi penentu masa depan
penting rumah sakit. Paradigma keselamatan dan mutu yang selalu terkait dewasa
ini, menjadikan pengukuran mutu menjadi hal utama dalam persiapan akreditasi
rumah sakit maupun pengembangan rumah sakit. Ide utama dalam penyajian data
indikator mutu rumah sakit semestinya dapat terkomunikasikan dengan baik.
Penyajian data indikator mutu seperti yang diuraikan di atas diharapkan dapat
berkontribusi pada penyajian data indikator mutu yang lebih baik dan bermanfaat
bagi rumah sakit.

Bahan Bacaan

Bahna, S.L. & McLarty, J.W., 2009. Data Presentation. Annals of Asthma, Allergy, &
Immunology, 103, pp.S15-21.
Cipolla, R., n.d. [Online] Available at: HYPERLINK
"http://mi.eng.cam.ac.uk/~cipolla/archive/Presentations/MakingPresentations.pdf"
http://mi.eng.cam.ac.uk/~cipolla/archive/Presentations/MakingPresentations.pdf[
Accessed 2 September 2015].
Collopy, B.T., 2000. Clinical indicators in accreditation: an effective stimulus to
improve patient care. International Journal for Quality in Health Care, 12(3),
pp.211-16.
Sonnad, S.S., 2002. Describing Data: Statistical and Graphical Method. Radiology,
225(3), pp.622-28.
Stengel, D., Calori, G.M. & Giannoudis, P.V., 2008. Graphical Data Presentation.
Injury, Int. J. Care Injured , 39, pp.659-65.
Takaki, O. et al., 2013. Graphical representation of quality indicators based on
medical service ontology. Springer Plus, 2(274), pp.1-20.

Penulis

Artikel ini ditulis dr. Robertus Arian Datusanantyo, M.P.H. dan merupakan opini
pribadi. Data yang dipakai dalam contoh adalah fiktif dan digunakan hanya untuk
memperjelas maksud

Menganalisis Indikator Mutu Rumah Sakit – Bagian 1


Pendahuluan

Pada kesempatan yang lalu, penulis pernah membagikan ide mengenai penyusunan
indikator mutu rumah sakit dan penyajian indikator mutu rumah sakit. Walaupun
keduanya sudah cukup untuk karya sehari-hari, tidak ada salahnya bila para
manajer dan pemimpin sistem mikro di rumah sakit menambahkan analisis secara
statistika terhadap pengukuran indikator mutu tersebut.

Analisis ini diharapkan menjadi insight apakah intervensi yang dilakukan untuk
memperbaiki nilai indikator mutu sudah adekuat. Analisis ini juga akan
merangsang para pemimpin sistem mikro di rumah sakit beserta tim untuk
terbiasa melakukan penelitian. Tim yang terbiasa melakukan penelitian akan
mudah mengembangkan diri karena senantiasa menanyakan kepada dirinya
sendiri, "Apakah usaha ini sudah cukup signifikan?"

Pada tulisan bagian pertama ini, penulis mengajak pembaca untuk menyimak salah
satu contoh analisis data sebelum dan setelah intervensi pada indikator mutu
rumah sakit dengan tipe data kontinyu. Indikator yang digunakan dalam
mengilustrasikan contoh analisis data ini adalah: waktu tunggu masuk ruang
perawatan.

Ilustrasi Kasus

Rumah Sakit "Pantai Bahagia" menetapkan salah satu indikator mutu pelayanan
ruang persiapan rawat inap adalah "waktu tunggu masuk ruang perawatan". Rumah
sakit ini mengukur waktu yang diperlukan sejak bagian admisi (tempat penerimaan
pasien) menentukan ruang perawatan bagi pasien sampai dengan pasien diantar
dari ruang persiapan rawat inap. Semakin besar angka yang diukur dalam menit
ini, semakin lama pula pasien menunggu di ruang persiapan rawat inap dan
meningkatkan potensi penuhnya ruang persiapan rawat inap.

Disepakati pula bahwa tidak semua kasus akan diukur, hanya sepuluh pasien
pertama di ruang persiapan rawat inap setiap tanggal 1 bulan baru saja yang
diukur. Waktu diukur dalam satuan menit dan dicatat untuk disajikan dan
dianalisis. Hasil pengukuran bulan pertama disajikan dalam Tabel 1.

No. Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rerata

Waktu tunggu 75 67 45 46 52 36 92 88 73 65 63,9


(menit)

Tabel 1 Hasil pengukuran waktu tunggu persiapan rawat inap.

Tim ruang persiapan rawat inap mendiskusikan hasil pengukuran ini. Hasilnya,
beberapa proses administrasi bisa dipersingkat. Meski demikian, ada satu kendala
yang tidak dapat diputuskan solusinya. Rumah sakit ini mengatur bahwa ruang
persiapan rawat inap tidak dapat memobilisasi pasien, harus menunggu dijemput
dari ruang perawatan yang dituju. Perawat penjemput ini sering datang lambat
sehingga pasien menumpuk di ruang persiapan rawat inap.

Akhirnya kepala ruang persiapan rawat inap mengusulkan kepada direktur agar
pasien dapat dimobilisasi dari ruang persiapan rawat inap oleh perawat persiapan
rawat inap ditemani satu orang petugas transporter atau petugas keamanan.
Direktur setuju, sehingga ruang persiapan rawat inap secara resmi mengerjakan
dua macam perbaikan, yaitu proses administrasi yang dipersingkat dan perubahan
mobilisasi pasien. Mereka menargetkan rerata waktu tunggu kurang dari 40 menit.
Hasil pengukuran satu bulan setelah intervensi disajikan dalam Tabel 2.

No. Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rerata

Waktu tunggu 54 17 36 34 61 24 53 44 72 25 42
(menit)
Tabel 2 Hasil pengukuran waktu tunggu persiapan rawat inap setelah intervensi.

Sekilas dari perhitungan rerata didapatkan bahwa intervensi tempo hari


membuahkan hasil penurunan rerata waktu tunggu persiapan rawat inap namun
belum mencapai target. Muncul pertanyaan apakah intervensi yang dilakukan
sudah secara signifikan memperbaiki kondisi atau belum. Di sinilah peran analisis
statistik.

Analisis Statistik

Analisis statistika dapat dilakukan dengan penghitungan manual atau dengan


menggunakan perangkat lunak. Berbagai perangkat lunak tersedia baik yang
berbayar maupun yang gratis, karena penulis ingin mendorong pengujian secara
statistik ini dilakukan secara rutin, maka disarankan menggunakan program
analisis statistik yang mudah dan umum digunakan seperti misalnya SPSS. Dalam
tulisan ini tidak akan dijelaskan langkah demi langkah analisis dalam program
analisis statistik. Penjelasan mengenai hal tersebut jamak ditemukan lewat mesin
pencari daring (online). Data mentah yang ada dimasukkan ke dalam program
analisis statistik tersebut.

Langkah pertama dalam analisis data indikator ini adalah menentukan tipe data.
Penjelasan mengenai tipe data dapat dibaca kembali pada tulisan sebelumnya
mengenai penyajian indikator mutu rumah sakit
(http://mutupelayanankesehatan.net/index.php/19-headline/2048-menyajikan-
indikator-mutu-rumah-sakit). Dari keterangan tersebut, kita mengetahui bahwa
data kuantitatif indikator waktu tunggu persiapan rawat inap ini adalah data
kontinyu. Umumnya, data kontinyu dianalisis menggunakan statistik parametrik
apabila datanya terdistribusi normal.

Untuk mengetahui apakah data tersebut terdistribusi normal atau tidak, mari kita
menetapkan hipotesis 0 (H0) dan hipotesis alternatif. Prinsipnya, uji normalitas
membandingkan data yang akan diuji dengan data distribusi normal. Hipotesis
dalam uji ini ditampilkan dalam Tabel 3.

Hipotesis 0 (H0) Tidak ada perbedaan antara data yang akan diuji
dengan data distribusi normal.

Hipotesis Ada perbedaan antara data yang akan diuji dengan


Alternatif (Ha) data distribusi normal.

Tabel 3 Hipotesis dalam uji normalitas.

Dalam program SPSS, lakukan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov yang ada dalam
menu analisis non parametrik. Hasil analisis yang dilakukan program analisis
statistik ditampilkan dalam Tabel 4.

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Waktu
Tunggu

N 20

Normal Parametersa,,b Mean 52.9500

Std. Deviation 21.08997

Most Extreme Absolute .089


Differences
Positive .089

Negative -.067

Kolmogorov-Smirnov Z .399

Asymp. Sig. (2-tailed) .997

Tabel 4 Hasil uji normalitas.

Dalam tabel hasil uji normalitas tersebut, perhatikan nilai yang dicetak tebal
(0,399). Karena nilai tersebut >0,05, maka hipotesis 0 (H0) diterima sehingga tidak
ada beda antara data yang diuji dengan data terdistribusi normal. Dengan kata
lain, data indikator tersebut adalah data terdistribusi normal sehingga analisis
statistik dapat dilanjutkan dengan statistik parametrik.
Langkah kedua dalam analisis statistik adalah menguji beda rerata antara kedua
kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan pertama (sebelum intervensi) dan
kelompok perlakuan kedua (setelah intervensi) dianalisis bedanya
dengan independent sample t-test. Mengapa tidak dianalisis dengan paired
sample t-test? Walaupun analisis ini akan menguji beda sebelum dan setelah
intervensi, tidak ada subjek penelitian yang diukur dua kali. Subjek untuk data
sebelum intervensi berbeda dengan subjek untuk data setelah intervensi.

Sebelum melakukan uji beda, mari kita menetapkan hipotesis 0 (H0) dan hipotesis
alternatif. Prinsipnya, uji normalitas membandingkan data yang akan diuji dengan
data distribusi normal. Hipotesis dalam uji ini ditampilkan dalam Tabel 5. Pada uji
beda, kita akan membandingkan nilai p dengan nilai suatu konstanta. Pada tingkat
kepercayaan 95%, kita akan membandingkan nilai p dengan angka 0,05. Apabila
nilai p>0,05 maka hipotesis nol (H0) diterima. Sebaliknya, apabila nilai p<0,05
maka hipotesis nol (H0) ditolak dan otomatis hipotesis alternatif (Ha) yang
diterima.

Hipotesis 0 (H0) Tidak ada perbedaan antara data sebelum intervensi


dan setelah intervensi.

Hipotesis Ada perbedaan antara data sebelum intervensi dan


Alternatif (Ha) setelah intervensi.

Tabel 5 Hipotesis dalam uji beda.

Setelah menetapkan kedua hipotesis, kita dapat langsung melakukan uji beda
dengan memerintahkan SPSS untuk melakukan uji independent sample t-test. Hasil
uji beda tersebut akan nampak seperti pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil uji independent sample t-test.

Perhatikan angka yang dicetak tebal (0,016). Nilai p tersebut <0,05 sehingga
hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima. Hal tersebut berarti
ada beda secara signifikan pada kedua kelompok. Dengan kata lain, data setelah
intervensi berbeda secara signifikan dengan data sebelum intervensi.

Interpretasi

Proses analisis yang dijelaskan di atas merupakan salah satu contoh penerapan
statistika dalam pengelolaan rumah sakit. Dalam hal ini, secara khusus adalah
pengelolaan mutu pelayanan rumah sakit. Statistika adalah ilmu yang mempelajari
bagaimana merencanakan, mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasi, dan
mempresentasikan data. Walau demikian, karena pengelolaan rumah sakit
bersandar pada sumber-sumber ilmiah tertentu, maka interpretasi atas apa yang
telah diterapkan oleh statistika tidak boleh dilakukan secara sembarangan.

Ketika melakukan analisis terhadap data sebelum intervensi, tim mutu di rumah
sakit dibiasakan untuk memakai metode tertentu seperti metode tulang ikan atau
5-why's. Diagram tulang ikan biasa mengungkap berbagai faktor kontributor
terhadap suatu masalah. Dalam ilustrasi kasus di atas, dijelaskan ada dua faktor
yang menyebabkan waktu tunggu persiapan rawat inap, yaitu panjangnya proses
administrasi dan masalah pengantaran atau penjemputan pasien.
Ketika dua masalah tersebut dipecahkan secara konsisten, pengukuran pada bulan
berikutnya menunjukkan penurunan waktu tunggu persiapan rawat inap yang yang
signifikan secara statistik. Statistika menjelaskan sampai di sini. Apakah penurunan
secara signifikan ini akibat intervensi yang dilakukan? Analisis statistik yang tadi
dilakukan tidak sepenuhnya bisa menjelaskan. Secara akal sehat, penurunan
tersebut sangat mungkin akibat intervensi yang kita lakukan. Mengapa demikian?

Dengan asumsi bahwa penelusuran penyebab lamanya waktu tunggu persiapan


rawat inap dilakukan dengan teliti dan sah (benar), maka penyebab yang
ditemukan (atau faktor kontributornya) pun juga sahih. Apabila faktor penyebab
(atau kontributor) tersebut diatasi, maka secara logis waktu tunggu persiapan
rawat inap akan berkurang. Inilah yang kemungkinan besar terjadi pada kasus ini.
Dalam kerangka pengelolaan mutu di sistem mikro rumah sakit, interpretasi ini
lebih sahih daripada klaim yang hanya berdasarkan naik atau turunnya grafik.

Interpretasi juga dapat dilakukan dengan mencari sumber bukti yang terpercaya
mengenai suatu masalah. Misalnya penurunan kejadian infeksi daerah operasi
setelah intervensi penggunaan desinfektan baru yang berbasis bukti (evidence-
based). Apabila desinfektan yang disarankan suatu penelitian sahih diterapkan,
maka penurunan angka infeksi daerah operasi yang mengikutinya merupakan
dampak langsung dari penerapan tersebut.

Penutup

Analisis statistik seperti yang diuraikan dalam tulisan ini belum jamak diterapkan
dalam pengelolaan mutu di rumah sakit. Bila akan diterapkan pun, seringkali
diperoleh kekeliruan dalam pemilihan uji statistik sehingga hasilnya tidak sahih
digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan oleh manajemen rumah sakit.
Diharapkan setelah membaca tulisan ini, tim pengelola mutu di rumah sakit dapat
secara rutin menerapkan statistika lebih dalam untuk menganalisis indikator mutu
rumah sakit.

Penulis

Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis yaitu dr. Robertus Arian
Datusanantyo, M.P.H. Penulis adalah dokter, pernah memimpin instalasi gawat
darurat rumah sakit swasta di Yogyakarta. Saat ini penulis merupakan peserta
pendidikan dokter spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Surabaya.

Menganalisis Indikator Mutu Rumah Sakit – Bagian 2


Pendahuluan

Pada kesempatan yang lalu, penulis pernah membagikan ide mengenai penyusunan
indikator mutu rumah sakit dan penyajian indikator mutu rumah sakit . Walaupun
keduanya sudah cukup untuk karya sehari-hari, tidak ada salahnya bila para
manajer dan pemimpin sistem mikro di rumah sakit menambahkan analisis secara
statistika terhadap pengukuran indikator mutu tersebut.

Analisis ini diharapkan menjadi insight apakah intervensi yang dilakukan untuk
memperbaiki nilai indikator mutu sudah adekuat. Analisis ini juga akan
merangsang para pemimpin sistem mikro di rumah sakit beserta tim untuk
terbiasa melakukan penelitian. Tim yang terbiasa melakukan penelitian akan
mudah mengembangkan diri karena senantiasa menanyakan kepada dirinya
sendiri, "Apakah usaha ini sudah cukup signifikan?"

Pada tulisan bagian kedua ini, penulis mengajak pembaca untuk menyimak salah
satu contoh analisis data sebelum dan setelah intervensi pada indikator mutu
rumah sakit dengan tipe data ordinal. Indikator yang dipakai dalam
mengilustrasikan contoh analisis data ini adalah: kepuasan pasien instalasi gawat
darurat.

Ilustrasi Kasus

Rumah Sakit "Puri Sejahtera" menetapkan salah satu indikator mutu instalasi gawat
darurat (IGD) adalah "kepuasan pasien instalasi gawat darurat". Rumah sakit ini
membuat kuesioner singkat terkait tingkat kepuasan pasien IGD dengan skala 1-9.
Skala satu artinya sangat tidak puas sementara angka 9 artinya sangat puas.
Kuesioner ini diberikan pada akhir perawatan di IGD. Hasil pengukurannya
disajikan dalam Tabel 1. asd
No. Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tingkat 4 5 7 2 3 9 3 4 3 5
Kepuasan
(1-9)

Tabel 1 Hasil Pengukuran Sebelum Intervensi

Tim instalasi gawat darurat mendiskusikanhasil pengukuran ini. Setelah


menggunakan berbagai alat bantu untuk mengidentifikasi faktor-faktor
kontributor dan faktor penyebab, tim menyimpulkan bahwa tingkat kepuasan yang
belum mencapai target tersebut adalah karena para pasien di IGD tersebut
menunggu terlalu lama untuk diperiksa dokter. Dengan hanya satu dokter yang
melayani 12 tempat tidur, seorang pasien dapat menunggu lebih dari 30 menit
sampai diperiksa oleh dokter.

Untuk itulah tim kemudian mendiskusikan dengan kepala bidang pelayanan untuk
menambah jumlah dokter jaga IGD dan menerapkan sistem triase baru. Dengan
kedua intervensi ini, diharapkan waktu tunggu pasien berkurang dan kepuasan
pasien kembali meningkat. Hasil pengukuran satu bulan setelah intervensi
disajikan dalam Tabel 2.

No. Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tingkat Kepuasan 8 6 9 7 8 8 6 5 9 3
(1-9)

Tabel 2 Hasil Pengukuran Satu Bulan setelah Intervensi

Analisis Statistik

Berbeda dengan statistik parametrik yang dibahas dalam tulisan bagian pertama
mengenai analisis indikator, data indikator mutu ini memiliki tipe data ordinal.
Data ordinal termasuk ke dalam tipe data kategorial, memiliki penjenjangan,
namun jarak antara jenjang satu dan berikutnya tidak dapat diasumsikan sama.
Artinya, seorang yang memilih tingkat kepuasan 8 belum tentu dua kali lebih puas
daripada orang lain yang memilih tingkat kepuasaan 4.
Untuk menguji perbedaan antara kedua kelompok berdata ordinal ini digunakan uji
statistik non parametrik. Nama uji yang sesuai adalah Mann-Whitney. Dalam
statistik parametrik, uji ini setara dengan t-test yang kita pakai dalam ilustrasi
pada tulisan bagian pertama yang lalu.

Sebelum melakukan uji beda, mari kita menetapkan hipotesis 0 (H0) dan hipotesis
alternatif. Prinsipnya, uji normalitas membandingkan data yang akan diuji dengan
data distribusi normal. Pada uji beda, kita akan membandingkan nilai p dengan
nilai suatu konstanta. Pada tingkat kepercayaan 95%, kita akan membandingkan
nilai p dengan angka 0,05. Apabila nilai p>0,05 maka hipotesis nol (H0) diterima.
Sebaliknya, apabila nilai p<0,05 maka hipotesis nol (H0) ditolak dan otomatis
hipotesis alternatif (Ha) yang diterima. Hipotesis ditetapkan seperti yang disajikan
dalam Tabel 3

Hipotesis 0 (H0) Tidak ada perbedaan antara data sebelum intervensi dan
setelah intervensi.

Hipotesis Ada perbedaan antara data sebelum intervensi dan setelah


Alternatif (Ha) intervensi.

Tabel 3 Hipotesis dalam uji beda.

Jalankan uji non parametrik 2 sampel independen. Setelah melengkapi kotak


dialog, maka akan muncul hasil seperti yang disajikan dalam Tabel 4.

Test Statisticsb

Tingkat
Kepuasan

Mann-Whitney U 20.000

Wilcoxon W 75.000

Z -2.289

Asymp. Sig. (2-tailed) .022


Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .023a

Tabel 4 Hasil uji Mann-Whitney.

Perhatikan angka yang dicetak tebal (0,022). Nilai p tersebut <0,05 sehingga
hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima. Hal tersebut berarti
ada beda secara signifikan pada kedua kelompok. Dengan kata lain, data setelah
intervensi berbeda secara signifikan dengan data sebelum intervensi.

Interpretasi

Proses analisis yang dijelaskan di atas merupakan salah satu contoh penerapan
statistika dalam pengelolaan rumah sakit. Meskipun demikian, karena pengelolaan
rumah sakit bersandar pada sumber-sumber ilmiah tertentu, maka interpretasi
atas apa yang telah diterapkan oleh statistika tidak boleh dilakukan secara
serampangan. Sebelum melakukan interpretasi, perlu ditanyakan: apakah
peningkatan kepuasan pasien IGD ini akibat intervensi yang dilakukan? Analisis
statistik yang tadi dilakukan tidak sepenuhnya bisa menjelaskan walau secara logis
bisa diterima.

Seperti juga dalam ilmu kedokteran, pengelola rumah sakit secara langsung
maupun tidak langsung digiring untuk menggunakan bukti-bukti ilmiah yang sahih
untuk mengelola rumah sakit, pun mutunya. Ilustrasi di atas cukup menarik karena
di Indonesia, IGD disalahartikan oleh sebagian masyarakat sebagai pelayanan yang
"ekspres" dibandingkan pelayanan rawat jalan. Instalasi rawat jalan (IRJ) di hampir
semua rumah sakit selalu memiliki kursi tunggu jauh lebih banyak daripada di IGD.
Hal ini membuat IRJ identik dengan menunggu.

Pada kenyataannya, pelayanan di IGD tidaklah selalu cepat karena digunakan suatu
prioritisasi berbasis kebutuhan pasien yang disebut sebagai triase. Pasien yang
lebih gawat dan/atau darurat akan didahulukan, sehingga pasien yang sebenarnya
bisa berobat ke rawat jalan tetap harus menunggu. Di sinilah banyak sumber bukti
mengenai implementasi triase yang dapat digunakan sebagai acuan tim mutu di
IGD untuk memperbaiki mutu.

Kembali kepada ilustrasi kasus di atas, peningkatan kepuasan pasien sangat


mungkin akibat intervensi. Akal sehat pasti mengatakan demikian. Namun bila
menggunakan bukti-bukti ilmiah untuk menelaah masalah dan menyusun
intervensi, bisa jadi kesimpulan akhir interpretasi tidak sepenuhnya demikian.
Misalnya, intervensi memang meningkatkan kepuasan pasien, namun bukan akibat
waktu tunggu yang semakin singkat namun akibat IGD yang lebih teratur pasca
implementasi sistem triase baru.

Penutup

Analisis statistik seperti yang diuraikan dalam tulisan ini belum jamak diterapkan
dalam pengelolaan mutu di rumah sakit. Bila diterapkan pun, seringkali didapatkan
kekeliruan dalam pemilihan uji statistik sehingga hasilnya tidak sahih digunakan
sebagai dasar pengambilan keputusan oleh manajemen rumah sakit. Diharapkan
setelah membaca tulisan ini, tim pengelola mutu di rumah sakit dapat secara rutin
menerapkan statistika lebih dalam untuk menganalisis indikator mutu rumah sakit.

Penulis

Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis: dr. Robertus Arian Datusanantyo,
M.P.H.. Penulis adalah dokter, pernah memimpin instalasi gawat darurat rumah
sakit swasta di Yogyakarta. Saat ini penulis merupakan peserta pendidikan dokter
spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

APORAN INDIKATOR MUTU


RUMAH SAKIT DR. OEN SURAKARTA
INDIKATOR AREA KLINIK
1. Asesment Pasien

2. Pelayanan Laboratorium

3. Pelayanan Radiologi dan Diagnostik Imaging

4. Prosedur Bedah


5. Penggunaan Obat

6. Medication error


7. Penggunaan anastesi dan sedasi

8. Penggunaan darah dan produk darah


9. Ketersediaan, isi dan penggunaan catatan medik

10. Pencegahan dan pengedalian Infeksi , surveilans dan pelaporan :
1. Angka kejadian infeksi saluran kemih

2. Kejadian Infeksi Pasca Operasi


3. Kejadian Infeksi luka infus (phlebitis)

4. Angka infeksi aliran darah primer


5. Kejadian Pneunomia akibat pemasangan ventilator

6. Kejadian luka decubitus


7. Penelitian Klinis : TDD (Tidak dapat diterapkan)
INDIKATOR ARE MANAJEMEN
1. Pengadaan kebutuhan dan obat-obatan esensial : Angka ketidaktersediaan obat sesuai dengan
formularium rumah sakit


2. Pelaporan kegiatan : Angka ketepatan pelaporan ke DKK sebeluym tanggal 10 bulan berikutnya

3. Manajemen Resiko : Angka insiden karyawan tertusuk jarum

4. Manajemen penggunaan sumber daya : Utilisasi MRI

5. Harapan dan kepuasan pasien dan keluarga : Angka kepuasan pasien rawat inap

6. Harapan dan kepuasan staff : Angka kepuasan karyawan

7. Demografi pasien dan diagnosis klinis : Laporan 10 besar penyakit rawat inap

8. Manajemen keuangan : Cost Recdovery Rate

9. Pencegahan dan pengendalian hal-hal yang membahayakan pasien dan keluarga : Kepatuhan
pembuangan sampah medis ditempat sampah medis

INDIKATOR SASARAN KESELAMATAN PASIEN
1. SKP1 : Mengidentifikasi pasien dengan benar : Angka pemasangan gelang identitas yang benar
pada pasien rawat inap.

2. SKP2 : Meningkatkan komunikasi efektif : Angka verifikasi laporan melalui telepon oleh dokter
dalam 24 jam

3. SKP3 : meningkatkan keamanan obat -obatan yang harus diwaspadai : Pemberian label obat high
alert di IGD

4. SKP4 : memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar, pembedahan pada
pasien yang benar : Kepatuhan pelaksanaan penandaan daerah operasi

5. SKP5 : Mengurangi resiko infeksi akibat perawatan kesehatan : Persentase kepatuhan petugas
kesehatan dalam melakukan kebersihan tangan dengan metode enam langkah dan lima momen

6. SKP6 : Mengurangi resiko cidera pasienj akibat jatuh : Insiden pasien jatuh selama perawatan
rawat inap di rumah sakit

INDIKATOR MANAJEMEN MUTU RUMAH SAKIT
7 November 2015 Karya Ilmiah

Indikator adalah petunjuk atau tolak ukur, contoh : petunjuk indikator atau tolok ukur status
kesehatan antara lain adalah angka kematian ibu, angka kematian bayi, status gizi. Petunjuk atau
indikator ini (angka kematian ibu) dapat diukur. Jadi indikator adalah fenomena yang dapat
diukur.

Mutu adalah tingkat kesempurnaan yang berupa sesuatu yang diobservasi atau tingkat
pemenuhan dengan standar yang ditentukan.
Manajemen mutu adalah sebuah upaya yang dilakukan terus menerus, sistematis, objektif dan
terintegrasi dalam identifikasi dan menentukan masalah dan penyebab masalah berdasarkan
standar yang ditetapkan, menetapkan dan mengimplementasikan pemecahan masalah menurut
kapasitas yang tersedia, dan mengkaji hasil dan memberikan tindak lanjut saran untuk lebih
meningkatkan kualitas pelayanan.
Indikator mutu asuhan kesehatan atau pelayanan kesehatan dapat mengacu pada indikator yang
relevan berkaitan dengan struktur, proses, dan outcomes. Sebagai contoh, indikator struktur:
Tenaga kesehatan profesional (dokter, paramedis, dan sebagainya), Anggaran biaya yang
tersedia untuk operasional dan lain-lain, Perlengkapan dan peralatan kedokteran termasuk obat-
obatan, Metode berupa adanya standar operasional prosedur masing-masing unit, dan
sebagainya; indikator proses berupa memberikan petunjuk tentang pelaksanaan kegiatan
pelayanan kesehatan, prosedur asuhan yang ditempuh oleh tenaga kesehatan dalam menjalankan
tugasnya, Apakah telah sebagaimana mestinya sesuai dengan prosedur, diagnosa, pengobatan,
dan penanganan seperti yang seharusnya sesuai standar; indikator outcomes merupakan indikator
hasil daripada keadaan sebelumnya, yaitu Input dan Proses seperti BOR, LOS, TOI, dan
Indikator klinis lain seperti: Angka Kesembuhan Penyakit, Angka Kematian 48 jam, Angka
Infeksi Nosokomial, Komplikasi Perawatan , dan sebagainya.
Selanjutnya Indikator dispesifikasikan dalam berbagai kriteria. Sebagai contoh: Indikator status
gizi dapat lebih dispesifikasikan lagi menjadi kriteria tinggi badan, berat badan anak. Untuk
pelayanan kesehatan, kriteria ini adalah fenomena yang dapat dihitung.
Setelah kriteria ditentukan dibuatlah standar-standar yang eksak dan dapat dihitung kuantitatif,
yang biasanya mencakup hal-hal yang standar baik, misalnya: panjang badan bayi baru lahir
yang sehat rata-rata (standarnya) adalah 50 cm; berat badan bayi baru lahir yang sehat standar
adalah 3 kg.
Mutu asuhan kesehatan suatu organisasi pelayanan kesehatan dapat diukur dengan
memperhatikan atau memantau dan menilai indikator, kriteria, dan standar yang diasumsikan
relevan dan berlaku sesuai dengan aspek-aspek struktur, proses, dan outcome dari organisasi
pelayanan kesehatan tersebut.
Menurut Donabedian, model mutu pelayanan kesehatan yang diberikan sangat dipengaruhi oleh
tiga variabel yaitu:
1) Input (struktur), ialah segala sumber daya yang diperlukan untuk melakukan pelayanan
kesehatan, seperti tenaga, dana, obat, fasilitas, peralatan, bahan, teknologi, organisasi, informasi,
dan lain-lain.
2) Proses, ialah interaksi profesional antara pemberi pelayanan dengan konsumen
(pasien/masyarakat). Proses ini merupakan variable penilaian mutu yang penting
3) Output/outcome, ialah hasil pelayanan kesehatan, merupakan perubahan yang terjadi pada
konsumen.
Pengukuran mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit diawali dengan mengukur dan
memecahkan masalah pada tingkat input dan proses maupun output. Rumah sakit diharuskan
melakukan berbagai prosedur dan standar sehingga dapat menilai diri sendiri (self-assesment).
Untuk menilai keberhasilan rumah sakit dalam menjaga maupun meningkatkan mutu diperlukan
indikator-indikator tertentu. Indikator ini telah disusun dengan WHO untuk menjadi modal bagi
rumah sakit untuk melaksanakan self-assesment tersebut.
1. Indikator Pelayanan Non Bedah, terdiri dari:
a. Angka Pasien dengan Dekubitus;
b. Angka Kejadian Infeksi dengan jarum infus.
c. Angka Kejadian penyulit/infeksi karena Transfusi Darah.
d. Angka Ketidak Lengkapan Catatan Medis.
e. Angka Keterlambatan Pelayanan Pertama Gawat Darurat.
2. Indikator Pelayanan, yang terdiri dari
a. Angka Infeksi Luka Operasi.
b. Angka Komplikasi Pasca Bedah.
c. Waktu tunggu sebelum operasi effektif.
d. Angka Appendik normal.
3. Indikator Ibu Bersalin dan Bayi, terdiri dari
a. Angka Kematian Ibu karena Eklampsia Kasus Rujukan dan Bukan Rujukan.
b. Angka Kematian Ibu karena Perdarahan Kasus Rujukan dan Bukan Rujukan.
c. Angka Kematian Ibu karena Sepsis Kasus Rujukan dan bukan Rujukan.
d. Angka Kematian Bayi dengan BB Lahir <= 2000 gram Kasus Rujukan dan Bukan Rujukan.
4. Indikator Mutu Pelayanan Medis
a. Angka infeksi nosokomial
b. Angka kematian kasar (Gross Death Rate)
c. Kematian pasca bedah
d. Kematian ibu melahirkan ( Maternal Death Rate-MDR)
e. Kematian bayi baru lahir (Infant Death Rate-IDR)
f. NDR (Net Death Rate di atas 48 jam)
g. ADR (Anasthesia Death Rate)
h. PODR (Post Operation Death Rate)
i. POIR (Post Operative Infection Rate)
5. Indikator mutu pelayanan untuk mengukur tingkat efisiensi RS
6. Unit cost untuk rawat jalan
a. Indikator mutu yang berkaitan dengan tingkat kepuasan pasien
b. Jumlah keluhan dari pasien/keluarganya
1) Indikator cakupan pelayanan sebuah RS terdiri dari
2) Jumlah dan pesentase kunjungan rawat jalan/inap menurut jarak PS dengan asal pasien
a) Jumlah pelayanan dan tindakan medik
b) Jumlah tindakan pembedahan
c) Jumlah kunjungan SMF spesialis
d) Pemfaatan oleh masyarakat
e) Contact rate
f) Hospitalization rate
g) Out patient rate
h) Emergency out patient rate
7. Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien
8. Indikator tambahan
a. Angka Kematian di IGD (IGD).
b. Angka Perawatan Ulang (Rekam Medis).
c. Angka Infeksi RS.
d. Reject Analisis (Radiologi).
e. Angka Ketidaksesuaian Penulisan Diet (Gizi).
f. Angka Keterlambatan waktu pemberian makan (Gizi).
g. Angka Kesalahan Pembacaan Hasil (laboratorium).
h. Angka Waktu Penyelesain Resep (Farmasi).
9. Angka Kesalahan Pemberian Obat (Farmasi).
10. Angka Banyaknya Resep yang Tidak Terlayani (Farmasi).
a. Jumlah penderita yang mengalami dekubitus
b. Jumlah penderita yang jatuh dari tempat tidur
c. BOR (Bed Occupancy Rate)
d. BTO (Bed Turn Over)
e. TOI (Turn Over Interval)
f. ALOS (Average Length of Stay)
g. Normal Tissue Removal Rate
1. Surat pembaca di koran
2. Surat kaleng
3. Surat masuk dari kotak saran, dan sebagainya
4. Survei tingkat kepuasan pengguna pelayanan kesehatan RS

1. Pasien terjatuh dari tempat tidur/kamar mandi


2. Pasien diberi obat yang salah
3. Tidak ada obat/alat emergensi
4. Tidak ada oksigen
5. Tidak ada alat penyedot lendir
6. Tidak tersedia alat pemadam kebakaran
7. Pemakaian obat tidak sesuai standar
8. Pemakaian air, listrik, gas, dan sebagainya.

Mutu pelayanan medis dan kesehatan di RS sangat erat kaitannya dengan manajemen RS
(quality of services) dan keprofesionalan kinerja SMF dan staf lainnya di RS (quality of care).
Keduanya merupakan oucome dari manajemen manjaga mutu di RS (quality assurance) yang
dilaksanakan oleh gugus kendali mutu RS. Dalam hal ini, gugus kendali mutu dapat ditugaskan
kepada komite medik RS karena mereka adalah staf fungsional (nonstruktural) yang membantu
direktur RS dengan melibatkan semua staf SMF RS.
Sumber :
https://viesaputri.wordpress.com/2010/07/10/indikator-mutu-rumah-sakit/
http://ppmrs.org/indikator-mutu-rumah-sakit/
http://bp-creator.com/manajemen-mutu-rumah-sakit/
http://klikharry.com/2012/03/30/model-manajemen-mutu-rumah-sakit/
Bagikan

Anda mungkin juga menyukai