34708-Article Text-86304-1-10-20191205.en - Id
34708-Article Text-86304-1-10-20191205.en - Id
com
ARTIKEL PENELITIAN
Dian Latifiani1-
1Jurusan
Hukum Perdata dan Dagang, Fakultas
Hukum, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
-dianlatif@mail.unnes.ac.id
ABSTRAK
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji bagaimana perkawinan anak
terjadi dan implementasi kebijakan untuk mencegah perkawinan anak.
Penelitian ini juga mengkaji beberapa kasus perkawinan anak dan
kondisinya yang kompleks, khususnya di beberapa daerah di Jawa Tengah,
Indonesia. Metode yang digunakan untuk mendapatkan data utama
penelitian adalah dengan wawancara dan observasi ke lokasi utama, di Desa
Munding Kabupaten Semarang. Beberapa dinas terkait juga menjadi salah
satu sumber data. Penelitian tersebut menekankan bahwa perkawinan anak
terjadi karena pendidikan anak mempelai laki-laki, budaya lokal perkawinan
pada usia anak lebih baik daripada perkawinan di SMA, faktor ekonomi
keluarga anak dan faktor sosial atau lingkungan anak. Dampak perkawinan
anak (perempuan): rentan perceraian, masalah psikologis yang belum
mantap dalam pengelolaan rumah tangga, putusnya pendidikan formal,
belum siapnya kesehatan reproduksi. Penelitian tersebut menyoroti bahwa
budaya lokal menjadi tantangan dalam menentang pernikahan di usia anak.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa upaya preventif yang dilakukan oleh
instansi terkait melalui pengaduan pendidikan sesuai dengan tugas pokok
masing-masing instansi terkait.
DAFTAR ISI
CARA MENGUMPULKAN:
PERKENALAN
Indonesia adalah salah satu dari sepuluh negara di dunia dengan jumlah pengantin anak
tertinggi. Ini adalah yang tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Diperkirakan satu
dari lima anak perempuan di Indonesia menikah sebelum mereka mencapai usia 18
tahun. Di dunia, setidaknya ada 142 juta anak perempuan menikah sebelum dewasa
dalam satu dekade ini. Di Indonesia, anak perempuan merupakan korban perkawinan
anak yang paling rentan, dengan prevalensi: 1. Anak perempuan dari pedesaan
daerah mengalami dua kali lebih rentan untuk menikah daripada daerah perkotaan.
Pengantin anak kemungkinan besar berasal dari keluarga miskin. Anak perempuan
yang berpendidikan rendah dan putus sekolah umumnya lebih rentan menjadi
pengantin anak dibandingkan mereka yang bersekolah (Candraningrum, 2016).
Namun, UNICEF saat ini melaporkan bahwa prevalensi ini bergeser terutama di
daerah perkotaan: pada tahun 2014, 25% perempuan usia 20-24 menikah di bawah
usia 18 tahun. Data SUSENAS 2012 menunjukkan bahwa sekitar 11,13% anak
perempuan menikah pada usia 10-15 tahun, dan sekitar 32,10% pada usia 16-18
tahun. Praktik perkawinan anak juga berkontribusi terhadap tingginya angka
kematian ibu (AKI) di Indonesia yang mencapai 359/100.000 kelahiran hidup dan 48
per 1.000 kelahiran untuk jumlah kelahiran usia 15-19 tahun (Candraningrum, 2016).
dan Desa Pagersari, sebelah timur dengan Desa BergasKidul dan sebelah selatan dan
barat berbatasan dengan Kabupaten Bandungan (munding.desa.id).
Tulisan ini membahas pencegahan perkawinan anak di era
disrupsi. Fokusnya pada masalah (1) penyebab perkawinan anak, (2)
pencegahan perkawinan anak. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe sosiologis-
yuridis. Penelitian dilakukan di Dusun Cemanggal, Desa Munding,
Kantor Urusan Agama Bergas (Kantor Urusan Agama,KUA), dan
Kementerian Agama Kabupaten Semarang sesuai dengan
permasalahan yang dikaji.
Tujuan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan langgeng.
Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahteraan lahir
dan batin. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya; dan selain
itu, setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pencatatan setiap perkawinan sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, seperti kelahiran, kematian sebagaimana yang tercantum
dalam Akta, suatu akta resmi yang juga dicantumkan dalam pendaftaran. Undang-
undang ini menganut asas monogami. Hanya bila dikehendaki oleh yang bersangkutan,
karena hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat
beristri lebih dari satu orang. Akan tetapi perkawinan seorang suami dengan lebih dari
seorang istri, sekalipun dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan, hanya dapat
dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu dan diputus oleh Pengadilan.
Undang-undang ini menganut asas, bahwa calon suami istri harus telah matang lahir
dan batinnya untuk dapat menikah, sehingga dapat mewujudkan dengan baik tujuan
perkawinan tanpa berakhir dengan perceraian dan memiliki keturunan yang baik dan
sehat.
Oleh karena itu, perkawinan harus dicegah antara calon pasangan yang menikah di
bawah umur. Apalagi perkawinan berkaitan dengan masalah kependudukan. Jelas bahwa
batas usia yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah menghasilkan tingkat
kelahiran yang lebih tinggi. Oleh karena itu Undang-Undang ini menetapkan batas usia
perkawinan bagi laki-laki dan perempuan, yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Dari
Perkawinan anak adalah perkawinan yang dilakukan di luar ketentuan peraturan perundang-
undangan, atau perkawinan di bawah umur yang dianjurkan oleh peraturan perundang-undangan
(Julijanto, 2015). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menunjukkan
batasan yang tegas tentang “kedewasaan” calon mempelai, bahwa calon mempelai yang belum
“dewasa” dapat melangsungkan perkawinan apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, dan pengadilan dapat memberikan mereka setuju untuk menikah. Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang lahir kemudian sangat
memperhatikan masalah pendewasaan usia perkawinan (Hardani, 2015). Hal ini antara lain dapat
dilihat dari asas yang mendasari pembentukan undang-undang ini, yaitu asas nondiskriminasi; asas
kepentingan terbaik bagi anak, asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang,
dan prinsip menghargai pendapat anak. Undang-undang menyebutkan bahwa ada beberapa hak
anak yang harus dipenuhi, yaitu: (a) Hak atas pendidikan, (b) Hak berpikir dan berekspresi, (c) Hak
mengeluarkan pendapat dan didengar, (d) Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,
bergaul dengan teman sebaya, bermain, berekspresi, dan berkreasi, dan (e) Hak untuk
mendapatkan perlindungan. Terkait perkawinan anak di bawah umur, kelima hak anak di atas
dilanggar. berekspresi, dan berkreasi, dan (e) Hak mendapat perlindungan. Terkait perkawinan
anak di bawah umur, kelima hak anak di atas dilanggar. berekspresi, dan berkreasi, dan (e) Hak
mendapat perlindungan. Terkait perkawinan anak di bawah umur, kelima hak anak di atas
dilanggar.
Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban orang tua untuk
melindungi anak-anaknya, mendidiknya, bahkan menghidupinya sampai
pada tahap menuju kedewasaan. Anak harus dilindungi dari hal-hal yang
berdampak negatif terhadap perkembangannya, baik secara fisik maupun
psikis. Dengan pernikahan di bawah umur, perlindungan orang tua yang
tulus dan sejati berkurang dengan beralih ke suami. Anak harus dilindungi
dari pernikahan dini yang berdampak pada perkembangannya, baik secara
fisik maupun psikis.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sudah
mencantumkan ancaman pidana bagi pelanggarnya. Dalam hal perkawinan di bawah umur,
dalam pasal 82 UU No. 35 Tahun 2014 disebutkan bahwa barangsiapa melakukan rayuan, tipu
muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan
perbuatan cabul, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. 3) sampai
dengan 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah)
dan paling sedikit Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian, UU No.
rahim‖ Dengan demikian, perkawinan yang dilakukan sebelum seseorang mencapai usia 18 tahun
dikategorikan sebagai perkawinan anak.
Apabila anak didefinisikan sebagai individu yang berusia di bawah 18 tahun,
perkawinan pada usia 16 dan 17 tahun dikategorikan sebagai perkawinan usia anak.
Oleh karena itu, kiranya tepat jika ada upaya untuk meningkatkan usia perkawinan
menjadi di atas usia anak agar tidak terjadi perkawinan anak. Padahal ada konsep
lain dalam Islam yaituaqil baligh, di mana seseorang dianggap dewasa setelahnya
aqil baligh, yaitu ia harus bertanggung jawab dan melaksanakan kewajiban-
kewajiban pokok. Konsep dariaqil balighmemungkinkan seseorang untuk menjadi
dewasa sebelum 18 (batas usia anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak).
Secara umum,Balighpada pria dan wanita terjadi pada usia sebelum 16 tahun.
Pernikahan diadakan pada usia 14-15 tahun. Adapun faktor pemicu perkawinan
anak seperti yang ditegaskan oleh Romdotun (2018) seperti: (1) Kebiasaan (budaya) adat
perkawinan di usia muda, (2) Kurangnya wawasan masyarakat tentang perkawinan anak,
(3) Tingkat pendidikan yang rendah karena lokasi perkawinan anak. Dusun Cemanggal
yang terpencil jauh dari sekolah menengah.
Alasan perkawinan anak menurut Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)
Bergas yang digarisbawahi oleh Amiruddin (2018) karena: (1) Tekanan/
dorongan orang tua untuk menikah di usia muda, (2) Kekhawatiran orang
tua terhadap anaknya ketinggalan jaman yang memaksa anaknya untuk
menikah, dan (3) Kebanyakan pelaku mengalami kehamilan di luar nikah.
Sedangkan menurut Kementerian Agama Kabupaten
Semarang, alasan perkawinan anak antara lain (Ahmadi, 2018): (1)
perempuan sudah hamil sebelum waktunya, (2) sudah melakukan
zina, (3) pendidikan rendah tingkat orang tua (lulusan atau bahkan
tidak tamat SD), (4) Pandangan lingkungan sekitar bahwa jika anak
―sudah tua‖ belum menikah dianggap ―tidak laku dijual‖ maka
lebih baik menikah di usia muda.
Tingkat pendidikan mereka yang menikah di bawah umur adalah tamat SD dan
putus sekolah tetapi bekerja sebagai petani, buruh atau tukang bangunan untuk
membantu pendapatan keluarga. Sehingga mempengaruhi kesiapan psikis kedua
mempelai. Korelasi usia dengan tingkat pendidikan kedua mempelai mempengaruhi
kedewasaan mereka dan mereka tidak mengerti apa yang akan mereka hadapi. Hampir
70% di Munding berkomitmen untuk pernikahan anak di usia anak. Dengan demikian,
setiap calon pengantin harus memahami hak dan kewajiban perkawinan. Mereka juga
harus memahami bahwa risiko tersebut dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan
seperti perceraian. Perkawinan anak seperti itu berisiko tinggi terhadap perceraian.
Selain itu, aspek pendidikan agama juga memiliki
berpengaruh di dalamnya. Selain itu, sebelum menikah, Anda harus mempersiapkan terlebih
dahulu apa yang akan mereka hadapi.
Pilihan untuk menikah di usia muda karena anggapan bahwa selagi usia
mereka masih relatif muda maka mereka bisa memiliki cucu (anak). Padahal
perkawinan anak rentan terhadap perceraian dan bayinya lahir dalam kualitas
sumber daya manusia yang kurang (karena pengasuhan orang tua dilakukan
oleh mereka yang tingkat pendidikannya rendah).
Ada korelasi yang kompleks antara perkawinan anak dan pendidikan di Indonesia.
Anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun (perkawinan anak) memiliki tingkat
prestasi pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak perempuan yang belum
menikah, terutama setelah sekolah dasar. Selain itu, anak yang menikah pada usia lebih
muda memiliki prestasi pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang
menikah pada usia yang lebih tua. Anak perempuan cenderung putus sekolah setelah mereka
menikah (BPS, 2016).
Menumbuhkan nilai budaya dan agama juga menjadi faktor pendorong
terjadinya perkawinan anak. Misalnya, wanita yang sudah menikah, meskipun usianya
masih muda, lebih dihargai daripada yang belum menikah. Dampak negatif seperti
perceraian dan status janda tidak pernah menjadi masalah. Pemahaman tekstual ajaran
agama merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya perkawinan di bawah umur.
Orang tua sering khawatir tentang anak-anak yang telah memasuki usia baligh, jika
mereka tidak segera menikah, mereka akan bertindak bertentangan dengan agama
(Ramadhita, 2014). Orang tua menganggap seorang perempuan jika sudah bisa
membaca dan menulis dianggap sudah cukup dewasa, tanpa harus melanjutkan ke
jenjang berikutnya, karena anak perempuan nantinya akan kembali ke dapur rumah.
Kebanyakan orang tua lebih memilih menikahkan anak perempuannya pada usia yang
relatif muda tanpa diimbangi dan memperhatikan kesiapan dan kematangan fisik dan
psikis anak (Rahmi, Saroeng, & Yoesoef, 2013).
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perkawinan di bawah umur tidak
memberikan keuntungan bagi keluarga dan rumah tangga, karena perkawinan tersebut
sebenarnya rentan terhadap perceraian, dan sangat mudah goyah dalam mengarungi rumah
tangga. Karena pasangan tidak siap untuk memahami arti dan hikmah dari sebuah
pernikahan, mereka tidak dapat mencapai pernikahan yang diinginkan. Dengan demikian,
akan timbul berbagai permasalahan, karena pasangan yang menikah di usia muda secara
psikologis dan ekonomi belum siap menghadapi kehidupan baru dalam keluarga dan
masyarakat (Maardi, 2012). Sedangkan pernikahan yang berhasil akan membutuhkan
kedewasaan dan tanggung jawab lahir dan batin untuk mewujudkan harapan ideal dalam
kehidupan berumah tangga (Sulaiman, 2012).
Dalam perspektif tradisi dan budaya, perkawinan di bawah umur seringkali terjadi
karena adanya dorongan budaya masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai kelas
dua dimana masyarakat menghindari stigma disebut “perawan tua” (perempuan yang belum
menikah) dan berusaha mempercepat perkawinan untuk berbagai alasan (Inayati, 2015).
Mereka yang melalui perkawinan, terutama pada usia di bawah umur, maka
keinginannya untuk melanjutkan sekolah atau menempuh pendidikan yang lebih tinggi tidak
akan tercapai atau tidak akan terwujud. Hal ini dapat terjadi karena motivasi belajar mereka
akan mulai berkurang karena banyaknya tugas yang harus mereka kerjakan setelah menikah.
Dengan kata lain, perkawinan di bawah umur merupakan faktor penghambat terjadinya
proses pendidikan dan pembelajaran (Zulfiani, 2017).
International Islamic Center for Population Studies & Research Al-Azhar
menyatakan bahwa pernikahan anak usia dini tidak memiliki dasar dan argumentasi
agama yang kuat dan valid dalam perspektif Islam (Ali, 2015). Ditinjau dari aspek
psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah antara 19 sampai 25 tahun. Ciri-ciri
psikologis yang paling mendasar adalah mengenai pola-pola munculnya perasaan,
pola pikir dan perilaku antara lain: kestabilan mulai timbul dan meningkat; citra diri
dan sikap yang lebih realistis, lebih dewasa dalam menghadapi masalah, dan
perasaan lebih damai (Mapreane, 1982).
Perkawinan anak memiliki dampak sebagai berikut: (1). cenderung sangat
sulit mewujudkan tujuan pernikahan dengan baik. Efeknya, pernikahan hanya
membawa penderitaan. (2).Sulit untuk memiliki keturunan yang baik dan sehat. Itu
dampaknya adalah anak-anak mereka rentan terhadap penyakit.(3). Ini berkaitan dengan masalah
kependudukan. Batasan usia perempuan yang lebih rendah untuk menikah ternyata menghasilkan
laju pertumbuhan penduduk yang sangat pesat.
Terlepas dari pro dan kontra perkawinan anak, tanpa disadari dan
disadari, perkawinan anak dapat menimbulkan dampak negatif, antara lain:(
1). Pendidikan anak terganggu: pernikahan dini menyebabkan anak putus
sekolah sehingga berdampak pada rendahnya tingkat pengetahuan dan
akses informasi pada anak.(2).Kemiskinan: dua anak yang menikah dini
cenderung berpenghasilan kurang atau bahkan menganggur. Hal ini
menyebabkan perkawinan anak rentan terhadap kemiskinan.(3).KDRT:
dominasi pasangan akibat kondisi psikologis yang labil menimbulkan emosi
yang bias berdampak pada KDRT (Nasrullah, Muazzam, Khosa, & Khan, 2017;
Yudhanti, Arifin, & Rismadini, 2017).(4).Kesehatan psikologis anak: ibu yang
hamil di usia dini akan mengalami trauma berkepanjangan, kurangnya
sosialisasi dan krisis percaya diri.(5). Anak yang dilahirkan : Bila anak yang
sedang berkembang mengalami proses kehamilan yang lebih dini, terjadi
pertentangan nutrisi dengan janin yang dikandungnya, sehingga berat
badan ibu hamil seringkali sulit naik, yang dapat disertai dengan anemia
karena kekurangan gizi. , dan risiko melahirkan bayi dengan berat badan
lahir rendah. Ditemukan bahwa sekitar 14% bayi yang lahir dari ibu di bawah
usia 17 tahun kebanyakan prematur (Efevbera, 2017). Anak-anak berisiko
menderita penganiayaan dan atau kelalaian. Berbagai penelitian
menyebutkan bahwa anak yang lahir dari perkawinan anak berisiko
mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, perilaku
Tanggapan tersebut merupakan kesatuan pandangan tentang nilai dan perilaku hukum. Oleh
karena itu, budaya hukum mencerminkan pola tingkah laku individu sebagai anggota masyarakat
yang menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama terhadap kehidupan hukum yang
dipraktikkan oleh masyarakat yang bersangkutan (Hadikusuma, 1986).
2. Perangkat Desa
Petugas Outreach di Kantor Urusan Agama (KUA) Bergas secara rutin melakukan
program penyuluhan hukum perkawinan dan hukum keluarga agar calon pengantin
dapat mempersiapkan diri dengan baik dan membentuk ketahanan keluarga yang kokoh
untuk mencetak generasi yang tangguh. Jika ada calon pengantin yang usia
perkawinannya di bawah aturan UU Perkawinan, maka KUA melakukan pendekatan
secara personal kepada mereka. Selain itu, rencana jangka panjang dalam pencegahan
ini perlu diadakan sebagai akta bagi individu/pasangan sebagai bekal hukum sekaligus
sebagai syarat untuk menikah dan menghindari anak untuk menikah di usia muda.
KUA juga berperan dalam pencabutan izin nikah bagi yang mencatatkan
nikah di KUA Kecamatan Bergas dan tahun lalu ada dua kasus yang ditolak KUA
karena belum cukup umur. KUA sebagai alat pemerintah yang mencatatkan
perkawinan perlu memperkuat fungsi pendidikan dalam rangka pencegahan
perkawinan anak (Pranawati, 2018). Penguatan tersebut dilakukan dengan
mengembangkan pendidikan dan membangun komunikasi agar masyarakat
memiliki pandangan yang baik tentang pernikahan, yaitu pernikahan sebagai
kesepakatan agung (mistaqanghalidza). Sebagai sebuah perjanjian yang sakral,
pernikahan bukan hanya untuk menyatukan dua insan. Namun menjalankan amanat
kemanusiaan, makhluk berperadaban dan melanjutkan kehidupan moral dengan
peradaban.
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Bimbingan Umat Islam salah satunya
memberikan dan membimbing untuk mendirikan ‗sakinah mawaddah warahmah' atau
keluarga dengan ketenangan, cinta dan belas kasihan. Pembinaan dan pendidikan
tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesadaran hukum. Masalah pembinaan
kesadaran hukum erat kaitannya dengan berbagai faktor, terutama sikap para penegak
hukum, artinya penegakan hukum mempunyai peran yang besar dalam membina
tumbuhnya kesadaran masyarakat. Kesadaran hukum dalam konteks ini berarti
kesadaran untuk bertindak sesuai dengan ketentuan hukum dan berfungsi sebagai
jembatan yang menghubungkan peraturan hukum dengan tingkah laku anggota
masyarakat karena mencerminkan perkembangan hukum tentunya dari keberadaan
kehidupan masyarakat dimana hukum itu berlaku dan berlaku. berubah sesuai dengan
dinamika kehidupan masyarakat.
Saat ini, masih ada kesenjangan antara hukum yang seharusnya (das sollen) dan
hukum sebenarnya (das sein). Kesenjangan ini tentunya terjadi karena
ketidakharmonisan antarhukum dalam bukuDanhukum dalam tindakan. Sejalan dengan
itu, diperlukan upaya pembangunan hukum yang sering diartikan sebagai melakukan
perubahan tertentu terhadap masyarakat.hukum adalah alat rekayasa sosial), dan yang
pasti pembangunan yang diharapkan oleh hukum adalah perubahan masyarakat yang
tertib, terkendali, efektif dan efisien (Ancient, 2017).
5. Dewan Pendidikan
6. Dinas Kesehatan
KESIMPULAN
REFERENSI
Amin, S., Saha, JS, & Ahmed, JA (2018). Program Pengembangan Keterampilan untuk
Kurangi Perkawinan Anak di Bangladesh: Uji Coba Terkontrol
Secara Acak.Jurnal Kesehatan Remaja, 63(3), 293–300. DOI:
10.1016/j.jadohealth.2018.05.013
Candraningrum, D. (2016). Pernikahan Anak: Status Anak Perempuan?
Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan, 21(1), 4-8.
https://www.jurnalperempuan.org/uploads/1/2/2/0/12201443/jp_88-
cjp__4_.pdf
Chari, AV, Heath, R., Maertens, A., & Fatima, F. (2017. Efek Kausal
Usia Ibu saat Menikah tentang Kesejahteraan Anak: Bukti dari
India.Jurnal Ekonomi Pembangunan, 127(1), 42-55.
https://doi.org/10.1016/j.jdeveco.2017.02.002
Djamilah, D., & Kartikawati, R. (2014). Dampak Perkawinan Anak di
Indonesia.JurnalStudiPemuda,3(1),1-16.
https://doi.org/10.22146/studipemudaugm.32033
Efevbera, Y., Bhabha, J., Petani, PE, & Fink, G. (2017). Anak perempuan
Perkawinan sebagai Faktor Risiko Terhadap Perkembangan Anak Usia Dini
dan Stunting.Ilmu Sosial & Kedokteran,185 (Juli), 91-101. DOI: 10.1016/
j.socscimed.2017.05.027
Haikal, H. (2015). Analisis Yuridis Normatif Dan Hukum Islam Terhadap
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30-74/PUU-XII/2014 Tentang Batas
Usia Perkawinan Anak (Perempuan).Jurnal Pembaharuan Hukum, 3(3),
348-355. http://dx.doi.org/10.26532/jph.v3i3.1363
Inayati , IN (2015). Perkawinan Anak Di Bawah Umur dalam Perspektif
Hukum, HAM dan Kesehatan.Jurnal Bidan Jurnal Bidan,1(1), 46-53.
http://jurnal.ibijabar.org/wp-
content/uploads/2015/12/PERKAWINAN-ANAK-DI-BAWAH-
UMUR-DALAM-PERSPEKTIF-.pdf
Julijanto, M. (2015). Dampak Pernikahan Dini dan Problematika
Hukumnya.Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial,25(1), 62-72.
DOI: https://doi.org/10.2317/jpis.v25i1.822
Kalamar, AM, Lee-Rife, S., & Hindin, MJ (2016). Intervensi ke
Cegah Perkawinan Anak di Kalangan Muda di Negara Berpenghasilan
Rendah dan Menengah: Tinjauan Sistematis dari Publikasi dan Abu-abu
Literatur.Jurnal Kesehatan Remaja, 59(3), 16-21. DOI: 10.1016/
j.jadohealth.2016.06.015
Kristiana, MD (2019). Politik Hukum Kebijakan Hari Sekolah: Hukum
Reformasi Kebijakan Pendidikan Indonesia.Jurnal Hukum dan Reformasi
Hukum, 1(1), 5-24. https://doi.org/10.15294/hukum & reformasi
hukum.v1i1.35405
Mapreane, A . (1982). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
Mawardi, M. (2012). Masalah Perkawinan di Bawah Umur.Jurnal
Analisa. 19 (2), 201-212.
https://media.neliti.com/media/publications/42020-ID-problems-
ofunder-age-marriage.pdf
Rahmi, Z., Saroeng, AH, & Yoesoef, D. (2013). Tinjauan Yuridis Terhadap
Perkawinan Anak di bawah Umur (Studi Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam).Jurnal
Ilmu Hukum,2(2), 65-73.
Setiawan, S., Saifunuha, MA, Kautsar, JL, & Wulandari, C. (2019).
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembentukan Kampung Ramah
Perempuan dan Anak.Jurnal Advokasi dan Pelayanan Hukum Indonesia,
1(1), 5-22. https://doi.org/10.15294/ijals.v1i1.33756 Yudhanti, R., Arifin,
S., & Rismadini, F. (2017). Perlindungan terhadap Korban
Kekerasan Berbasis Gender Sebagai Pemenuhan Hak Konstitusional
Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Kabupaten Boyolali,
Indonesia.JILS (Jurnal Ilmu Hukum Indonesia),2(1), 15-24. https://
doi.org/10.15294/jils.v2i01.16638
Zulfiani, Z. (2017), Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Anak di bawah
Umur Sesuai UU. No.1 Tahun 1974,Jurnal Hukum Samudera Keadilan, 12
(2), 211-222.
https://ejurnalunsam.id/index.php/jhsk/article/view/136
Warria, A. (2017). Pernikahan anak paksa sebagai bentuk perdagangan anak.
Tinjauan Layanan Anak dan Remaja,79(Agustus), 274-279.
https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2017.06.024