Mini Project Mahfilza
Mini Project Mahfilza
OLEH:
dr. Mahfilza
PEMBIMBING:
dr. Lydia Paramita
Judul
Hubungan Riwayat Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronis (KEK) dengan
Tingkat Stunting Pada Anak Stunting Usia 1 – 5 Tahun di Wilayah Kerja
Puskesmas Perawatan Kembang Seri
Oleh:
dr. Mahfilza
Pembimbing:
dr. Lydia Paramita
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program
Internsip Dokter Indonesia (PIDI) di Puskesmas Perawatan Kembang Seri Periode
November 2022 – Mei 2023.
Pembimbing
dr. Lydia Paramita
NIP. 198705122015032001
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan mini project yang
berjudul “Hubungan Riwayat Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronis (Kek) Dengan
Tingkat Stunting pada Anak Stunting Usia 1 – 5 Tahun Di Wilayah Kerja
Puskesmas Perawatan Kembang Seri”. Laporan mini project ini disusun untuk
memenuhi tugas dan syarat dalam menempuh Program Internsip Dokter Indonesia
di Puskesmas Perawatan Kembang Seri Periode November 2022 – Mei 2023.
Penulis juga mengucapakan terima kasih kepada dr. Lydia Paramita selaku
pembimbing selama penyusunan laporan kasus ini, pengelola program gizi
Puskesmas Perawatan Kembang Seri yang telah memberikan data serta
memberikan masukan-masukan dalam penyusunan mini project ini, serta teman-
teman yang telah memberikam bantuan baik material maupun spiritual kepada
saya dalam menyusun laporan mini project ini.
Laporan mini project ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis menerima kritik dan saran untuk perbaikan di kemudian hari. Akhir kata,
penulis berharap agar laporan ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Penulis
dr. Mahfilza
3
DAFTAR ISI
4
2.2.8. Pencegahan .......................................................................................... 30
2.2.9. Dampak Stunting ................................................................................. 34
BAB III. METODE PENELITIAN....................................................................... 35
3.1. Rancangan Penelitian ................................................................................. 35
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................... 35
3.2.1. Waktu Penelitian .................................................................................. 35
3.2.2. Tempat Penelitian ................................................................................ 35
3.3. Subjek Penelitian ........................................................................................ 35
3.3.1. Populasi Target .................................................................................... 35
3.3.2. Populasi Terjangkau ............................................................................ 35
3.3.3. Sampel Penelitian dan Besar Sampel................................................... 35
3.3.4. Teknik Pengambilan Sampel ............................................................... 35
3.3.5. Kriteria Inklusi ..................................................................................... 36
3.3.6. Kriteria Eksklusi .................................................................................. 36
3.4. Identifikasi Variabel ................................................................................... 36
3.4.1. Variabel Bebas ..................................................................................... 36
3.4.2. Variabel Terikat ................................................................................... 36
3.5. Definisi Operasional ................................................................................... 36
3.6. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 37
3.7. Pengelolaan dan Analisis Data ................................................................... 38
3.7.1. Pengolahan Data .................................................................................. 38
3.7.2. Analisis Data ........................................................................................ 38
3.7.3. Penyajian Data ..................................................................................... 39
3.8. Alur Penelitian ............................................................................................ 39
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................... 40
4.1. Hasil Penelitian........................................................................................... 40
4.1.1. Seleksi Subjek Penelitian ..................................................................... 40
4.1.2. Frekuensi Riwayat Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronis (KEK) pada
Subjek Penelitian ................................................................................ 40
4.1.3. Frekuensi Berdasarkan Tingkat Stunting pada Subjek Penelitian ....... 41
5
4.1.4. Hubungan Antara Riwayat Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronis
(KEK) dengan Tingkat Stunting pada Subjek Penelitian ................... 41
4.2. Pembahasan ................................................................................................ 42
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 47
5.1. Kesimpulan ................................................................................................. 47
5.2. Saran ........................................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 48
6
DAFTAR GAMBAR
7
DAFTAR TABEL
8
BAB I. PENDAHULUAN
9
27,5%. Pada tahun 2017 dan 2018, prevalensi stunting kembali meningkat
menjadi 29,6% dan 30,8&.4,5
Berdasarkan data Riskesdas Provinsi Bengkulu tahun 2018, terdapat
9,78% balita sangat pendek dan 18,20% balita pendek dari total 1.478 anak yang
diperiksa. Jumlah kasus stunting di Kabupaten Bengkulu Tengah adalah 7,49%
balita sangat pendek dan 15,78 balita pendek dari total 91 anak yang diperiksa.6
Dampak dari stunting salah satunya adalah terganggunya pertumbuhan dan
perkembagan anak. Sedangkan menurut WHO, dampak stunting terdiri dari
dampak jangka pendek dan dampak jangka panjang. Beberapa dampak jangka
pendek dari stunting ialah peningkatan mortalitas dan morbiditas, penurunan
perkembangan kognitif, motorik dan bahasa, sedangkan dampak stunting pada
jangka panjang, yaitu postur tubuh yang pendek, penurunan kesehatan reproduksi,
peningkatan resiko obesitas, menurunnya prestasi serta kapasitas belajar.7
Banyak faktor yang dapat menyebabkan tingginya angka stunting pada
balita. Faktor penyebab langsungnya adalah kurangnya asupan gizi yang diterima
balita. Penyebab lainnya, yaitu sosial ekonomi, penyakit infeksi, pengetahuan ibu
yang kurang, pola asuh yang salah, sanitasi dan hygiene yang buruk dan
pelayanan kesehatan yang rendah.8
Selain faktor-faktor yang disebutkan di atas, berat lahir rendah juga dapat
meningkatkan risiko terjadinya stunting pada balita. Salah satu yang mempengaruhi
berat lahir adalah status gizi ibu saat hamil. Gizi ibu saat hamil sangat memengaruhi
keadaan kesehatan dan perkembangan janin. Ketika ibu hamil mengalami
kekurangan gizi, maka janin yang ada didalam kandungan akan terhambat
pertumbuhan dan perkembangannya. Pertumbuhan dan perkembangan janin yang
terhambat akan beresiko janin bayi lahir dengan berat badan kurang. Berat badan
lahir bayi yang kurang merupakan salah satu faktor resiko terjadinya stunting pada
balita, sehingga secara tidak langsung ibu hamil yang mengalmi kurang gizi dapat
menyebabkan terjadinya stunting pada anak.8
Kurang Energi Kronik (KEK) pada ibu hamil menandakan bahwa ibu
dalam keadaan malnutrisi. Hal ini disebabkan karena kurangnya konsumsi pangan
sumber energi yang berlangsung lama.9 Kekurangan gizi yang lama dan
10
berkelanjutan hingga di masa kehamilan akan berakibat buruk pada janin. Ibu
hamil akan mengalami penurunan volume darah yang akan menyebabkan aliran
darah ke plasenta menurun, sehingga transfer zat-zat gizi dari ibu ke janin melalui
plasenta berkurang dan mengakibatkan terjadinya retardasi pertumbuhan janin. 10
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik meneliti hubungan
hubungan riwayat ibu hamil KEK dengan tingkat stunting pada anak stunting
usia 1 – 5 tahun di wilayah kerja Puskesmas Perawatan Kembang Seri.
11
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Peneliti
Penelitian diharapkan dapat meningkatkan wawasan mengenai hubungan
riwayat ibu hamil kekurangan energi kronis (KEK) dengan tingkat stunting pada
anak stunting usia 1 – 5 tahun.
12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
13
tersebut untuk membeli buah, sayuran, dan beberapa jenis
makanan lainnya.
b. Pendidikan ibu.
Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur
penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan
tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi
tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik.
2. Faktor biologis.
a. Usia ibu hamil.
Melahirkan anak pada usia ibu yang muda atau terlalu tua
mengakibatkan kualitas janin/anak yang rendah dan juga akan
merugikan kesehatan ibu. Karena pada ibu yang terlalu muda
(kurang dari 20 tahun) dapat terjadi kompetisi makanan antara
janin dan ibunya sendiri yang masih dalam masa pertumbuhan dan
adanya perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan,
sehingga usia yang paling baik adalah lebih dari 20 tahun dan
kurang dari 35 tahun. Dengan demikian diharapkan status gizi ibu
hamil akan lebih baik.
b. Jarak kehamilan.
Ibu dikatakan terlalu sering melahirkan bila jaraknya kurang dari 2
tahun. Penelitian menunjukkan bahwa apabila keluarga dapat
mengatur jarak antara kelahiran anaknya lebih dari 2 tahun maka
anak akan memiliki probabilitas hidup lebih tinggi dan kondisi
anaknya lebih sehat dibanding anak dengan jarak kelahiran
dibawah 2 tahun. Jarak melahirkan yang terlalu dekat akan
menyebabkan kualitas janin/anak yang rendah dan juga akan
merugikan kesehatan ibu. Ibu tidak memperoleh kesempatan untuk
memperbaiki tubuhnya sendiri (ibu memerlukan energi yang cukup
untuk memulihkan keadaan setelah melahirkan anaknya). Dengan
14
mengandung kembali maka akan menimbulkan masalah gizi ibu
dan janin/bayi berikut yang dikandung.
3. Paritas
Paritas adalah seorang wanita yang pernah melahirkan bayi yang dapat
hidup (viable). Paritas diklasifikasikan sebagai berikut.
a. Primipara adalah seorang wanita yang telah pernah melahirkan
satu kali dengan janin yang telah mencapai batas viabilitas, tanpa
mengingat janinnya hidup atau mati pada waktu lahir.
b. Multipara adalah seorang wanita yang telah mengalami dua
atau lebih kehamilan yang berakhir pada saat janin telah mencapai
batas viabilitas.
c. Grande multipara adalah seorang wanita yang telah mengalami
lima atau lebih kehamilan yang berakhir pada saat janin telah
mencapai batas viabilitas.
15
2.1.4. Dampak Kekurangan Energi Kronis (KEK) pada Kehamilan
Dampak yang dapat ditimbulkan dari ibu dengan KEK, antara lain: 12
1. Dampak pada ibu.
Gizi kurang pada ibu hamil dapat menyebabkan resiko dan komplikasi pada
ibu, antara lain: anemia, perdarahan, berat badan ibu tidak bertambah
secara normal, dan terkena penyakit infeksi. Sehingga akan meningkatkan
angka kematian ibu.
2. Dampak pada kehamilan.
Pengaruh gizi kurang terhadap proses persalinan dapat mengakibatkan
persalinan sulit dan lama, persalinan premature atau sebelum waktunya,
perdarahan post-partum, serta persalinan dengan tindakan operasi caesar
cenderung meningkat.
3. Dampak pada janin.
Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat mempengaruhi proses
pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan keguguran (abortus), kematian
neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi, asfiksia intra partum (mati
dalam kandungan), lahir dengan BBLR. Kekuragan energi protein (KEP)
akan mengakibatkan ukuran plasenta kecil dan kurangnya suplai zat-zat
makanan ke janin. Bayi BBLR mempunyai resiko kematian lebih tinggi
dari pada bayi cukup bulan. Kekurangan gizi pada ibu yang lama dan
berkelanjutan selama masa kehamilan akan berakibat lebih buruk pada
janin dari pada malnutrisi akut.
Kondisi kesehatan bayi yang dilahirkan sangat dipengaruhi oleh
keadaan gizi ibu selama hamil. KEK pada ibu hamil perlu diwaspadai
kemungkinan ibu melahirkan bayi berat lahir rendah, pertumbuhan dan
perkembangan otak janin terhambat sehingga mempengaruhi kecerdasan
anak dikemudian hari, dan kemungkinan bayi lahir prematur. Ibu hamil
yang berisiko KEK adalah ibu hamil yang mempunyai ukuran LILA
kurang dari 23,5 cm. Penelitian lain menunjukkan bahwa LILA ibu
hamil berkorelasai positif dengan MBI ibu hamil, sehingga
pengukuran BMI ibu hamil sama akuratnya dengan pengukuran LILA ibu
16
hamil.
Gizi buruk karena kesalahan dalam pengaturan makanan membawa
dampak yang tidak menguntungkan bukan hanya bagi ibu tetapi juga bagi
bayi yang akan lahir. Dampak gizi buruk terhadap ibu dapat berupa
hyperemesis, keracunan kehamilan (eklampsi), kesulitan saat kelahiran,
perdarahan, bahkan dapat membawa kematian. Bagi bayi yang ada dalam
kandungan, gizi ibu yang buruk dapat menyebabkan terjadinya keguguran
(abortus), bayi lahir sebelum waktunya (premature), BBLR, kematian
neonatus dan kematian dibawah satu tahun. Selain itu, adanya masalah
gizi timbul karena perilaku gizi yang salah. Perilaku gizi yang salah adalah
ketidakseimbangan antara konsumsi zat gizi dan kecukupan gizi. Jika
seseorang mengkonsumsi zat gizi kurang dari kebutuhan gizinya, maka
orang itu akan menderita gizi kurang. Jika ibu mengalami kekurangan gizi
selama hamil akan menimbulkan masalah baik pada ibu maupun janin,
seperti diuraikan berikut sebelumnya.
2.2. Stunting
2.2.1. Definisi
Stunting merupakan istilah untuk penyebutan anak yang tumbuh tidak
sesuai dengan ukuran yang semestinya (bayi pendek). Stunting (tubuh pendek)
adalah keadaan tubuh yang sangat pendek hingga melampaui defisit 2 SD dibawah
median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi internasional.
Stunting adalah keadaan dimana tinggi badan berdasarkan umur rendah, atau
keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan anak-anak lain
seusianya. Stunting juga diartikan sebagai tinggi badan yang kurang menurut umur
(< -2SD), ditandai dengan terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan
kegagalan dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai usia anak.
Stunting merupakan kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan dimasa
lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk gizi kurang pada
anak. 14
Stunting dapat didiagnosis melalui indeks antropometrik tinggi badan
17
menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan
pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi
yang tidak memadai dan atau kesehatan. Stunting merupakan pertumbuhan linier
yang gagal untuk mencapai potensi genetic sebagai akibat dari pola makan yang
14
buruk dan penyakit.
Stunting didefinisikan sebagai indikator status gizi TB/U sama dengan atau
kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD), dibawah rata-rata standar atau
keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan anak–anak lain
seusianya. Ini adalah indikator kesehatan anak yang kekurangan gizi kronis yang
memberikan gambaran gizi pada masa lalu dan yang dipengaruhi lingkungan dan
keadaan sosial ekonomi.14
2.2.2. Etiologi
Menurut beberapa penelitian, kejadian stunted pada anak merupakan suatu
proses kumulatif yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang
siklus kehidupan. Pada masa ini merupakan proses terjadinya stunting pada anak
dan peluang peningkatan stunted terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan.15
Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidak
langsung yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan
janin. Ibu hamil dengan gizi kurang akan menyebabkan janin mengalami
intrauterine growth retardation (IUGR), sehingga bayi akan lahir dengan kurang
gizi, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan.14
Anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan disebabkan
kurangnya asupan makanan yang memadai dan penyakit infeksi yang berulang, dan
meningkatnya kebutuhan metabolik serta mengurangi nafsu makan, sehingga
meningkatnya kekurangan gizi pada anak. Keadaan ini semakin mempersulit untuk
mengatasi gangguan pertumbuhan yang akhirnya berpeluang terjadinya stunting.14
Gizi buruk kronis (stunting) tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja
seperti yang telah dijelaskan diatas, tetapi disebabkan oleh banyak faktor, dimana
faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu sama lainnnya. Terdapat tiga faktor
utama penyebab stunting yaitu sebagai berikut.15
18
‒
Asupan makanan tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi
dalam makanan yaitu karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, dan air).
‒
Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR), dan
‒
Riwayat penyakit.
buang air besar, sarana pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga.16
Sanitasi yang buruk merupakan penyebab utama terjadinya penyakit di
seluruh dunia, termasuk didalamnya adalah diare, kolera, disentri, tifoid,
dan hepatitis A. Sanitasi yang baik sangat penting terutama dalam
menurunkan risiko kejadian penyakit dan kematian, terutama pada anak-
anak. Sanitasi yang baik dapat terpenuhi jika fasilitas sanitasi yang aman,
memadai dan dekat dengan tempat tinggal tersedia.
3. Air bersih.
Anak-anak yang bertahan hidup dengan sumber air minum yang
terkontaminasi kemungkinan besar akan menderita malnutrisi, stunting, dan
perkembangan otak (intelektual) yang terhambat.
19
4. Berat bayi lahir rendah (BBLR)
Berat bayi lahir rendah (BBLR) diartikan sebagai berat bayi ketika lahir
kurang dari 2500 gram dengan batas atas 2499 gram. Banyak faktor yang
mempengaruhi kejadian BBLR terutama yang berkaitan dengan ibu selama
masa kehamilan. Berat badan ibu kurang dari 50 kg, keluarga yang tidak
harmonis termasuk didalamnya adalah kekerasan dalam rumah tangga dan
tidakadanya dukungan dari keluarga selama masa kehamilan, gizi ibu buruk
terutama selama masa kehamilan, kenaikan berat badan selama kehamilan
kurang dari 7 kg, infeksi kronik, tekanan darah tinggi selama kehamilan,
kadar gula darah ibu tinggi selama kehamilan, merokok, alkohol, dan
genetik merupakan beberapa faktor penyebab bayi yang dilahirkan BBLR.
5. ASI eksklusif.
ASI eksklusif adalah kondisi dimana bayi hanya diberi ASI saja, tanpa
tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih,
dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu,
biskuit, bubur nasi, dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan
untuk jangka waktu setidaknya selama 4 bulan, namun rekomendasi terbaru
UNICEF bersama World Health Asssembly (WHA) dan banyak Negara
lainnya adalah menetapkan jangka waktu pemberian ASI eksklusif selama
6 bulan. Pemberian makanan padat atau tambahan yang terlalu dini dapat
menggangu pemberian ASI eksklusif serta meningkatkan angka kesakitan
pada bayi.
6. Makanan pendamping ASI (MP-ASI).
Pemberian makanan pada bayi dan anak merupakan landasan yang penting
dalam proses pertumbuhan. Di seluruh dunia sekitar 30 % anak dibawah 5
tahun yang mengalami stunting merupakan konsekuensi dari praktek
pemberian makanan yang buruk dan infeksi berulang. Meskipun bayi
mendapatkan ASI dari ibu secara optimal, namun jika setelah berusia 6
bulan tidak mendapatkan makanan pendamping yang cukup baik dari segi
kuantitas maupun kualitas, anak-anak akan tetap mengalami stunting.
Diperkirakan sekitar 6% atau 600.000 kematian anak dibawah 5 tahun dapat
20
dicegah dengan memastikan bahwa anak- anak tersebut diberi makanan
pendamping secara optimal.17
7. Asupan makanan (konsumsi energi dan protein).
Asupan makanan berkaitan dengan kandungan nutrisi (zat gizi) yang
terkandung didalam makanan yang dimakan.Dikenal dua jenis nutrisi yaitu
makronutrisi dan mikronutrisi.Makronutrisi merupakan nutrisi yang
menyediakan kalori atau energi, diperlukan untuk pertumbuhan,
metabolisme, dan fungsi tubuhlainnya. Makronutrisi ini diperlukan tubuh
dalam jumlah yang besar, terdiri dari karbohidrat, protein, dan lemak. Tanpa
nutrisi yang baik akan mempercepat terjadinya stunting selama usia 6-18
bulan, ketika seorang anak berada pada masa pertumbuhan yang cepat dan
perkembangan otak hampir mencapai 90% dari ukuran otak ketika anak
tersebut dewasa (Children at Risk of Stunting and Wasting).
8. Pengeluaran rumah tangga (ekonomi).
Besarnya pendapatan yang diperoleh atau diterima rumah tangga dapat
menggambarkan kesejahteraan suatu masyarakat. Di negara yang sedang
berkembang, pemenuhan kebutuhan makanan masih menjadi merupakan
prioritas utama, dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan gizi. Bahwa
keluarga terutama ibu dengan pendapatan rendah biasanya memiliki rasa
percaya diri yang kurang dan memiliki akses terbatas untuk berpartisipasi
pada pelayanan kesehatan dan gizi seperti Posyandu, Bina Keluarga Balita
dan Puskesmas, oleh karena itu mereka memiliki resiko yang lebih tinggi
untuk memiliki anak yang kurang gizi.10
2.2.4. Epidemiologi
Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang
dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga
tahun terakhir pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah
gizi lainnya seperti gizi kurang kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek
mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun
2017.
21
Gambar 2.1. Masalah Gizi Di Indonesia Tahun 2015 – 2017.5
22
Indonesia adalah29%. Angka ini mengalami penurunan padat ahun 2016 menjadi
27,5%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat menjadi 29,6% pada
tahun 2017.5
Prevalensi balita sangat pendek dan pendek usia 0–59 bulan di Indonesia
tahun 2017 adalah 9,8% dan 19,8%. Kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya
yaitu prevalensi balita sangat pendek sebesar 8,5% dan balita pendek sebesar
19%. Provinsi dengan prevalensi tertinggi balita sangat pendek dan pendek pada
usia 0 – 59 bulan tahun 2017 adalah Nusa Tenggara Timur, sedangkan
provinsi dengan prevalensi terendah adalah Bali.5
23
pendek di Indonesia masih tinggi dan merupakan masalah kesehatan yang harus
ditanggulangi. Dibandingkan beberapa negara tetangga, prevalensi balita pendek
di Indonesia juga tertinggi dibandingkan Myanmar (35%), Vietnam (23%),
Malaysia (17%), Thailand (16%) dan Singapura (4%). Global Nutrition Report
tahun 2014 menunjukkan Indonesia termasuk dalam 17 negara, di antara 117
negara, yang mempunyai tiga masalah gizi yaitu stunting, wasting dan
overweight pada balita.
2.2.5. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya stunting adalah sebagai berikut.15
1. Fisiologi pertumbuhan.
Proses pertumbuhan dan perkembangan manusia, yang memakan waktu
hampir 20 tahun adalah fenomena yang kompleks. Proses pertumbuhan di
bawah kendali genetik dan pengaruh lingkungan yang beroperasi
sedemikian rupa, sehingga pada waktu tertentu selama periode
pertumbuhan, satu atau yang lain mungkin merupakan pengaruh dominan.
Pada masa konsepsi, terdapat blueprint (cetak biru) genetik yang mencakup
potensi untuk mencapai ukuran dan bentuk dewasa tertentu. Lingkungan
mengubah potensi ini. Ketika lingkungan netral, tidak memberikan
pengaruh negatif pada proses pertumbuhan, potensi genetik dapat
sepenuhnya diwujudkan. Meskipun demikian kemampuan pengaruh
lingkungan untuk mengubah potensi genetik tergantung pada banyak faktor,
termasuk waktu di mana mereka terjadi; kekuatan, durasi, frekuensi
kemunculannya; dan usia serta jenis kelamin anak.
Dalam hal pertumbuhan dan perkembangan manusia, kelenjar endokrin
yang berperan penting adalah kelenjar hipofisis. Suplai darah yang kaya
dalam infundibulum, yang menghubungkan dua kelenjar, membawa hormon
pengatur dari hipotalamus ke kelenjar hipofisis. Hipofisis memiliki lobus
anterior dan posterior. Lobus anterior, atau adenohipofisis, melepaskan
hormon utama yang mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan
manusia yaitu hormon pertumbuhan (Growth Hormone/GH), hormon
24
perangsang tiroid (Thyroid Stimulating Hormone/TSH), prolaktin,
gonadotrofin (Luteinizing dan hormon perangsang folikel), dan hormon
adrenocorticotropik (ACTH). Pertumbuhan normal tidak hanya bergantung
pada kecukupan hormon pertumbuhan tetapi merupakan hasil yang
kompleks antara sistem saraf dan sistem endokrin. Hormon jarang bertindak
sendiri tetapi membutuhkan kolaborasi atau intervensi hormon lain untuk
mencapai efek penuh. Hormon pertumbuhan menyebabkan pelepasan faktor
pertumbuhan mirip insulin (Insulin like Growth Factor 1 (IGF-1) dari hati.
IGF-1 secara langsung mempengaruhi serat otot rangka dan sel-sel
tulang rawan di tulang panjang untuk meningkatkan tingkat penyerapan
asam amino dan memasukkannya ke dalam protein baru, sehingga
berkontribusi terhadap pertumbuhan linear selama masa bayi dan masa
kecil. Pada masa remaja, percepatan pertumbuhan remaja terjadi karena
kolaborasi dengan hormon gonad, yaitu testosteron pada anak laki-laki, dan
estrogen pada anak perempuan. Ada banyak bukti dari penelitian tentang
anak-anak dengan perawakan pendek yang tidak normal terjadi akibat
faktor lingkungan yang mengganggu sistem endokrin, menyebabkan
pengurangan dalam pelepasan hormon pertumbuhan. Namun, hormon lain
juga terpengaruh, membuat penyebab gangguan pertumbuhan menjadi
kompleks.
2. Pengaruh faktor genetik terhadap stunting.
Hampir setengah abad yang lalu Neel dan Schull1 berpendapat bahwa,
“konsep genetik harus menjadi bagian integral dari armamentarium dari ahli
epidemiologi modern”. "Genetika epidemiologis" yang dibayangkan Neel
dan Schull telah dikenal sebagai epidemiologi genetik. Pendiri Internasional
Genetic Epidemiology Society (IGES) pada tahun 1992, James V. Neel,
secara ringkas mendefinisikan epidemiologi genetik sebagai, “Studi
komponen genetik dalam fenomena biologis yang kompleks” Dari
perspektif ini, epidemiologi genetik pertumbuhan dan perkembangan dapat
dianggap sebagai studi dasar-dasar genetik dari ukuran, konformasi, dan
status kematangan individu selama masa kanak-kanak. Di sini termasuk
25
mengukur besarnya pengaruh genetik pada pertumbuhan dan perkembangan
fenotip, memeriksa bagaimana pengaruh- pengaruh genetik itu beroperasi
dari waktu ke waktu, mengidentifikasi dan melokalisasi polimorfisme
genetik spesifik yang berkontribusi pada variasi dalam pertumbuhan dan
perkembangan, dan menjelaskan bagaimana faktor genetik dan lingkungan
berinteraksi selama pertumbuhan dan perkembangan. Adanya pengaruh
genetik terhadap kejadian stunting sudah dibuktikan oleh banyak penelitian.
Salah satunya penelitian tahun 2011 menyimpulkan bahwa tinggi badan
anak perempuan dipengaruhi oleh tinggi badan ayah. Heritabilitas adalah
estimasi tingkat populasi, khusus untuk populasi tertentu di lingkungan
tertentu, dan ini kadang-kadang bisa menjadi pertimbangan penting ketika
membandingkan perkiraan heritabilitasdi seluruh populasi. Secara umum
heritabilitas lebih bermanfaat dalam mengkarakterisasi efek genetik dari
sifat- sifat yang terusmenerus didistribusikan, seperti tinggi badan atau berat
badan. Warisan sifat-sifat kuantitatif tersebut kemungkinan akan
dipengaruhi oleh sejumlah gen dengan efek kecil hingga sedang.
3. Stunting familial.
Perawakan pendek yang disebabkan karena genetik dikenal sebagai
familial short stature (perawakan pendek familial). Tinggi badan orang tua
maupun pola pertumbuhan orang tua merupakan kunci untuk mengetahui
pola pertumbuhan anak. Faktor genetik tidak tampak saat lahir namun akan
bermanifestasi setelah usia 2-3 tahun. Korelasi antara tinggi anak dan
midparental high (MPH) 0,5 saat usia 2 tahun dan menjadi 0,7 saat usia
remaja. Perawakan pendek familial ditandai oleh pertumbuhan yang selalu
berada di bawah persentil 3, kecepatan pertumbuhan normal, usia tulang
normal, tinggi badan orang tua atau salah satu orang tua pendek dan tinggi
di bawah persentil 3.
4. Kelainan patologis.
Perawakan pendek patologis dibedakan menjadi proporsional dan tidak
proporsional. Perawakan pendek proporsional meliputi malnutrisi, penyakit
infeksi/kronik dan kelainan endokrin seperti defisiensi hormon
26
pertumbuhan, hipotiroid, sindrom cushing, resistensi hormon pertumbuhan
dan defisiensi IGF-1. Perawakan pendek tidak proporsional disebabkan oleh
kelainan tulang seperti kondrodistrofi, displasia tulang, Turner, sindrom
Prader-Willi, sindrom Down, sindrom Kallman, sindrom Marfan dan
sindrom Klinefelter.
17
Tabel 2.1. Rekomendasi Jadwal Pemantauan Tinggi Badan
Usia Jadwal Pemantauan
0 – 12 bulan Setiap 1 bulan
1 – 3 tahun Setiap 3 bulan
3 – 6 tahun Setiap 6 bulan
6 – 18 tahun Setiap 1 tahun
27
17
Tabel 2.3. Petunjuk Pemeriksaan Klinis pada Perawakan Pendek
28
Pemeriksaan penunjang yang sederhana dan menentukan adalah
menginterpretasikan data-data tinggi badan dengan menggunakan kurva
pertumbuhan yang sesuai. Oleh karena malnutrisi dan penyakit kronik masih
merupakan penyebab utama perawakan pendek di Indonesia, maka pemeriksaan
darah tepi lengkap, urin dan feces rutin, laju endap darah, elektrolit serum, dan
pemeriksaan usia tulang, merupakan langkah pertama dan strategis untuk mencari
etiologi perawakan pendek. Bila tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan
skrining tersebut, maka dilakukan pemeriksaan khusus yaitu kadar hormon
pertumbuhan, IGF-1, analisis kromosom, analisis DNA, dan lain-lain sesuai
indikasi.
Alur pendekatan diagnosis stunting dapat dilihat pada gambar 2.6 berikut.
29
17
memerlukan terapi.
2.2.7. Tatalaksana
Tatalaksana stunting adalah sebagai berikut.
1. Perawakan pendek variasi normal tidak memerlukan pengobatan.
2. Terapi perawakan pendek patologis sesuai dengan etiologi.
3. Terapi hormon pertumbuhan dilakukan atas konsultasi dan pengawasan
ahli endokrinologi anak.
4. Terapi pembedahan diperlukan pada kasus tertentu misalnya tumor
intrakranial.
5. Terapi suportif diperlukan untuk perkembangan psikososial.
2.2.8. Pencegahan
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan
prevalensibalita pendek di Indonesia sebesar 36,8% walau pada tahun 2010, terjadi
sedikit penurunan, namun prevalensi balita pendek kembali meningkat pada tahun
2013 yaitu menjadi 37,2%. Hasil yang tidak jauh berbeda dengan Pemantauan
status gizi, terjadi peningkatan prevalensi balita pendek dari 2016 ke 2017 dengan
hasil akhir 29,7%. Hal ini memperlihatkan bahwa balita pendek kian meningkat
jumlahnya, oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan stunting pada
kelompok umur terutama pada 1000 hari pertama kehidupan anak.4
Untuk mengatasi permasalahan gizi ini,pada tahun 2010 PBB
telah meluncurkan program Scalling Up Nutrition (SUN) yaitu sebuah
upayabersama dari pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan visi bebas
rawan pangan dan kurang gizi (zero hunger and malnutrition), melaluipenguatan
kesadaran dan komitmen untukmenjamin akses masyarakat terhadap
makananyang bergizi. Di Indonesia, Gerakan scalingup nutrition dikenal dengan
Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam rangka Seribu Hari Pertama
Kehidupan (Gerakan 1000 HPK) dengan landasan berupa Peraturan Presiden
(Perpres) nomor 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan
Gizi dengan sasaran masyarakat, khususnya remaja, ibu hamil, ibu menyusui,
30
anak di bawah usia dua tahun, kader-kader masyarakat seperti Posyandu,
Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga, dan/atau kader-kader masyarakat yang
sejenis, perguruan tinggi, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan dan
keagamaan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah, media massa, dunia usaha, dan
31
14
Tabel 2.4. Intervensi Gizi Spesifik Percepatan Pencegahan Stunting
32
Tabel 2.5. Intervensi Gizi Sensitif Percepatan Pencegahan Stunting14
33
2.2.9. Dampak Stunting
Dampak Stunting Menurut laporan UNICEF beberapa fakta terkait
stunting dan pengaruhnya adalah sebagai berikut.10
1. Anak-anak yang mengalami stunting lebih awal yaitu sebelum usia enam
bulan, akan mengalami stunting lebih berat menjelang usia dua tahun.
Stunting yang parah pada anak-anak akan terjadi defisit jangka panjang
dalam perkembangan fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk belajar
secara optimal di sekolah, dibandingkan anak- anak dengan tinggi badan
normal. Anak-anak dengan stunting cenderung lebih lama masuk sekolah
dan lebih sering absen dari sekolah dibandingkan anak-anak dengan status
gizi baik. Hal ini memberikan konsekuensi terhadap kesuksesan anak dalam
kehidupannya dimasa yang akan datang.
2. Stunting akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembanngan
anak. Faktor dasar yang menyebabkan stunting dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Penyebab dari stunting adalah
bayi berat lahir rendah, ASI yang tidak memadai, makanan tambahan yang
tidak sesuai, diare berulang, dan infeksi pernapasan. Berdasarkan penelitian
sebagian besar anak-anak dengan stunting mengkonsumsi makanan yang
berada di bawah ketentuan rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga
miskin dengan jumlah keluarga banyak, bertempat tinggal di wilayah
pinggiran kota dan komunitas pedesaan
34
BAB III. METODE PENELITIAN
35
jumlah sampel yang terbatas. Kriteria pemilihan sampel dipilih oleh peneliti
berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang sudah ditetapkan.
36
dominan menggunakan pita ukur. Pengukuran dilakukan
pada titik tengah antara tulang bahu dan tulang siku.
Mengukur IMT dengan meninmbang berat badan dan
mengukur tinggi badan atau mengukur HB.
c. Alat ukur : Rekapitulasi data stunting di Puskesmas Perawatan
Kembang Seri.
d. Hasil ukur : 0 = Non KEK.
1 = KEK.
e. Skala : Nominal.
2. Stunting
a. Definisi : Anak kerdil (stunting) merupakan kondisi gagal tumbuh
pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) akibat
kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama
pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Anak
tergolong stunting apabila panjang atau tinggi badan
menurut umurnya lebih rendah dari standar nasional
yang terdapat pada buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
dan beberapa dokumen lainnya.14,21
b. Cara ukur : Dengan menggunakan WHO-Antropometri TB/U
dengan memperhatikan umur dan jenis kelamin.
c. Alat ukur : Rekapitulasi data stunting di Puskesmas Perawatan
Kembang Seri.
d. Hasil ukur : 0 = Pendek (Z-Score -3 SD sampai dengan - 2 SD).
1 = Sangat Pendek (Z-Score < - 3SD).
e. Skala : Ordinal.
37
penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi riwayat ibu hamil kekurangan
energi kronis (KEK) dan tingkat stunting.
38
Chi-square. Jika data tidak memenuhi syarat chi-square maka teknis analisis
korelasi akan menggunakan uji Fisher. Analisis data pada penelitian ini akan
menggunakan program SPSS (Statistical Program for Social Science) untuk
Windows version 24 dengan tingkat kepercayaan 95%. Batas kemaknaan yang
digunakan adalah 5% yang artinya bermakna jika nilai p <0.05 dan tidak
bermakna apabila nilai p ≥ 0.05.
Sampel Penelitian
Kesimpulan
39
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1.2. Frekuensi Riwayat Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronis (KEK) pada
Subjek Penelitian
Distribusi frekuensi berdasarkan riwayat ibu hamil dibuat untuk
mengetahui frekuensi dan presentase riwayat ibu hamil Kekurangan Energi Kronis
(KEK) dari masing-masing subjek penelitian. Frekuensi dan persentase riwayat
ibu hamil kekurangan energi kronis (KEK) dapat dilihat pada table 4.1. berikut
ini.
Tabel 4.1. Frekuensi Riwayat Ibu Hamil KEK pada Subjek Penelitian
Frekuensi
Variabel Penelitian
N %
Riwayat ibu hamil KEK
- Non-KEK 24 75
- KEK 8 25
40
4.1.3. Frekuensi Berdasarkan Tingkat Stunting pada Subjek Penelitian
Distribusi frekuensi berdasarkan tingkat stunting dibuat untuk mengetahui
frekuensi dan presentase tingkat stunting dari masing-masing subjek penelitian.
Berikut merupakan hasil dari distribusi tingkat stunting yang tersaji pada tabel
4.2. di bawah ini.
4.1.4. Hubungan Antara Riwayat Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronis (KEK)
dengan Tingkat Stunting pada Subjek Penelitian
Teknik analisis korelasi untuk data nominal–ordinal yang digunakan pada
penelitian ini adalah analisis bivariat, yaitu uji Chi-Square. Hasil uji Chi-Square
pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
Tabel 4.3. Hubungan antara riwayat ibu hamil KEK dengan tingkat stunting pada
Subjek Penelitian
Tingkat Stunting
p
Pendek Sangat Pendek
Riwayat Ibu Non-KEK 18 6
0,186
Hamil KEK KEK 4 4
41
Berdasarkan tabel di atas, diperoleh informasi bahwa pada riwayat ibu
hamil KEK terdapat 8 subjek penelitian dengan rincian 4 subjek penelitian
memiliki tingkat stunting pendek dan 4 sunjek penelitian memiliki tingkat
stunting sangat pendek. Pada riwayat ibu hamil kriteria Non-KEK terdapat 24
subjek penelitian dengan rincian 18 responden memiliki tingkat stunting pendek
dan 6 subjek penelitian memiliki tingkat stunting sangat pendek. Nilai signifikan
menunjukkan angka sebesar 0.186, nilai tersebut >0.05 yang artinya tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara riwayat ibu hamil kekurangan energi kronis
(KEK) dengan tingkat stunting di Puskesmas Perawatan Kembang Seri.
4.2. Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada riwayat ibu hamil dengan
risiko KEK terdapat 8 subjek penelitian dengan rincian 4 subjek penelitian
memiliki tingkat stunting pendek dan 4 sunjek penelitian memiliki tingkat
stunting sangat pendek. Pada riwayat ibu hamil kriteria Non-KEK terdapat 24
subjek penelitian dengan rincian 18 responden memiliki tingkat stunting pendek
dan 6 subjek penelitian memiliki tingkat stunting sangat pendek. Nilai signifikan
menunjukkan angka sebesar 0.186, nilai tersebut >0.05 yang artinya tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara riwayat ibu hamil dengan tingkat stunting di
Puskesmas Perawatan Kembang Seri.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan di
Bulukumba, Indonesia tahun 2022 mengenai hubungan kekurangan energi kronis
selama kehamilan dengan stunting pada balita usia 6–60 bulan. Penelitian tersebut
merupakan penelitian case control dengan meneliti balita usia 6–60 bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas Bontobahari. Hasil dari uji multivariat pada penelitian
tersebut menunjukan ada hubungan bermakna antara kejadian KEK saat hamil
dengan kejadian stunting pada balita. KEK merupakan variabel yang paling
dominan berhubungan dengan stunting. Setelah dikontrol dengan variabel berat
lahir dan pemberian ASI eksklusif, ibu yang menderita KEK berisiko 6,9 kali
memiliki balita stunting dibanding ibu yang tidak menderita KEK saat hamil.27
42
Kekurangan energi secara kronis saat hamil menyebabkan cadangan zat
gizi yang dibutuhkan oleh janin dalam kandungan tidak adekuat. Pada keadaan
KEK terjadi penurunan volume darah, hal ini akan menyebabkan cardiac output
tidak adekuat dan menyebabkan aliran darah ke plasenta menurun, sehingga
plasenta menjadi kecil dan transfer zat-zat makanan dari ibu ke janin berkurang.
Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya retardasi pertumbuhan janin, sehingga
beresiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), yaitu berat
lahir kurang dari 2500 gram. Ibu hamil yang menderita KEK berisiko 3,95 kali
melahirkan bayi dengan BBLR. Riwayat BBLR memiliki peranan penting dalam
kejadian stunting. Anak dengan BBLR memiliki risiko 5,87 kali untuk mengalami
stunting. 27
Kejadian stunting di Wilayah kerja Puskesmas Perawatan Kembang Seri
tidak disebabkan karena ibu hamil dengan risiko KEK, kemungkinan ada faktor
lain yang menyebabkan kejadian stunting di Puskesmas tersebut, seperti asupan
gizi pada anak balita, ASI eksklusif dan MPASI yang diberikan, dan faktor
lainnya seperti ada tidaknya penggunaan JKN/BPJS.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN/BPJS) adalah salah satu dari jaminan
kesehatan sebagai jaminan perlindungan agar peserta memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau
iurannya dibayar oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Penyediaan akses
jaminan kesehatan, seperti JKN/BPJS merupakan intervensi gizi sensitif
percepatan pencegahan stunting dalam upaya peningkatan akses dan kualitas
pelayanan gizi dan kesehatan.14
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kepesertaan jaminan
kesehatan mampu memperbaiki masalah gizi akut, kepemilikan jaminan kesehatan
berpengaruh terhadap BBLR, prematur, dan stunting. Salah satu jaminan
kesehatan yang disediakan pemerintah adalah BPJS yang bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat, sasarannya termasuk ibu hamil dan bayi,
dengan demikian diharapkan ibu hamil dapat rutin melakukan pemeriksaan ANC
saat kehamilannya, sehingga penyakit selama kehamilan dapat dideteksi secara
43
dini dan diharapkan menghasilkan ibu dan anak yang sehat, kemudian diharapkan
juga ibu rutin memeriksakan tumbuh kembang anak ke posyandu atau puskesmas
secara berkala, agar dapat mendeteksi dini gangguan pada tumbuh kembang anak,
termasuk stunting. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kejadian stunting. 14
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa air besih dan jamban sehat
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian stunting. Penggunaan
air yang tidak bersih dan tidak adanya jamban sehat mempengaruhi kesehatan
anak dan dapat meningkatkan kejadian infeksi pada anak. Infeksi berulang
terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan (golden period of growth)
mengakibatkan gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita). 14
Hal inilah yang mendasari pentingnya tersedianya air bersih dan jamban sehat
dalam setiap keluarga, sehingga dapat mencegah terjadinya stunting.
Kecacingan juga menyebabkan anak mengalami stunting. Kecacingan
dapat terjadi pada semua umur, akan tetapi paling sering terjadi pada anak usia
pra-sekolah dan sekolah. Salah satu kecacingan yang sering terjadi adalah infeksi
cacing Ascaris lumbricoides dan Enterobius vermicularis (cacing keremi), yaitu
cacing yang menyerang saluran pencernaan. Cacing dewasa akan menembus
diding usus halus dan hidup di usus halus. Cacing dewasa akan hidup dengan cara
mengambil nutrisi dari makanan yang dimakan host, selain itu jumlah cacing yang
banyak dalam usus halus dapat menyebabkan gagguan absorpsi di usus halus.
Jumlah cacing yang banyak juga dapat menyebabkan anak merasa perutnya
menjadi penuh, sehingga anak tidak nafsu makan. Hal ini lama kelamaan dapat
menyebabkan anak-anak mengalami malnutrisi dan gagal tumbuh, salah satunya
stunting.25
Selain faktor-faktor di atas, pencegahan lain yang dapat dilakukan untuk
mencegah stunting adalah mengurangi angka sakit pada anak dengan cara
dilakukan imunisasi, terutama imunisasi dasar. Sama halnya dengan pengguanaan
air bersih dan jamban sehat, imunisasi juga bertujuan untuk mencegah terjadinya
infeksi berulang pada anak.
Penelitian lain juga menilai keluarga pasien yang merokok mengakibatkan
anak menjadi perokok pasif. Sebuah penelitian yang dilakukan Surakarta tahun
44
2020 meneliti tentang pengaruh paparan asap rokok dan peningkatan risiko terjadi
stunting pada anak usia 5 tahun di Surakarta, Indonesia. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa asap rokok dapat meningkatkan terjadinya stunting pada
anak dibawah 5 tahun. Anak yang mendapatkan paparan asap rokom lebih dari 3
jam per hari memiliki risiko terjadinya stunting sebesar 10,316 kali dibandingkan
dengan anak yang terpapar asap rokok <3 jam per hari. Hasil ini bermakna dengan
nilai p 0,000 (p<0,05). Paparan asap rokok dalam waktu lama menyebabkan
peningkatan kadar nikotin dalam tubuh. Nikotin dapat mengurangi suplai oksigen
30–40% dan mengganggu penyerapan nutrisi seperti kalsium, mineral, dan
vitamin C yang penting untuk pertumbuhan tinggi badan anak.26
Puskesmas sudah memiliki beberapa program untuk menurunkan angka
kejadian stunting. Beberapa program yang terdapat dalam POA (Plan of Action)
2022 adalah sebagai berikut.
1. Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi
(AKB).
- Pemeriksaan kesehatan, pemberian tablet tambah darah, edukasi gizi
seimbang dan pendidikan kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah dan
remaja.
- Pelayanan kesehatan reproduksi bagi calon pengantin, pasangan usia subur
(PUS).
- Pelaksanaan kelas ibu hamil dan ibu balita.
- Pendampingan ibu hamil, ibu nifas, dan bayi (termasuk pemantauan faktor
risiko/komplikasi) oleh kader.
2. Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat.
- Surveilans gizi.
- Pendampingan dan pemantauan pertumbuhan di posyandu.
- Gerakan makan telur bersama saat pelaksaan posyandu.
- Pertemuan advokasi LP/LS terkait kegiatan pemantuan pertumbuhan.
- Peningkatan cakupan pelayanan melalui kunjungan rumah dalam
rangka konfirmasi balita risiko gangguan pertumbuhan maupun status
gizi.
45
- Edukasi/penyuluhan kepada masyarakat pentingnya pemantauan
pertumbuhan dan peningkatan kesehatan gizi (stunting).
- Pendataan dan pemutakhiran sasaran program kesehatan terintegrasi
dalam upaya perbaikan gizi masyarakat.
- Pelacakan dan pendampingan intervensi gizi pada bumil.
- Peningkatan cakupan pelayanan dan sweeping balita.
- Pendidikan gizi melalui peningkatan konsumsi gizi pada ibu hamil dan
balita.
- Edukasi/penyuluhan kepada masyarakat pentingnya.
- Pelacakan dan pendampingan intervensi gizi pada bumil.
- Pemberian vitamin A, pemberian tablet tambahdarah (TTD) dan
sosialisasi TTD pada ibu hamil.
- Konvergensi LP/LS dalam upaya percepatan perbaikan gizi masayarakat
- Refreshing dan pelatihan kader posyandu.
- Pembentukkan kader remaja pengawas minum TTD di sekolah.
- Pematauan tumbuh kembang balita.
- Penimbangan rutin balita dan pemantauan tumbuh kembang.
- Pelaksanaan SDIDTK.
46
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan pada mini project ini adalah sebagai berikut.
1. Jumlah ibu dengan riwayat hamil kekurangan energi kronis (KEK) yang
mempunyai anak stunting di wilayah kerja Puskesmas Perawatan Kembang
Seri adalah 25%.
2. Jumlah anak stunting yang termasuk kategori pendek adalah 68,75%,
sedangkan subjek 31,25% lainnya termasuk kategori sangat pendek.
3. Riwayat ibu hamil dengan risiko KEK tidak berhubungan dengan tingkat
stunting pada anak stunting usia 1–5 tahun di wilayah kerja Puskesmas
Perawatan Kembang Seri dengan nilai p > 0,05 yaitu p = 0,186.
5.2. Saran
Saran pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Perlu dilakukan analisis multivariat terhadap faktor determinan dengan
kejadian stunting.
2. Perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan stunting dengan faktor lain,
seperti berat bayi lahir, tingkat pendidikan orang tua, kejadian anemia pada ibu
hamil, umur ibu saat hamil, tingkat ekonomi keluarga, dan pemberian ASI
eksklusif sebagai faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 1–5 tahun.
3. Melakukan evaluasi program KIA dan gizi, terutama terhadap program-
program mengenai stunting, baik program yang bersifat promotif, preventif,
dan kuratif.
47
DAFTAR PUSTAKA
48
Kinerja Ditjen Kesehatan Masyarakat Tahun 2017. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI. 2018.
13. Purwanto NSF, MAsni M, dan Bustan MN. The Effect ofSocioeconomy on
Chronic Energy Deficiency among Pregnant Woman in the Sudiang Raya
Health Center, 2019. Maced J Med Sci. 2020; 8(T2): pp. 115–118.
14. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Panduan
Pemetaan Program, Kegiatan, dan Sumber Pembiayaan Untuk Mendorong
Konvergensi Percepatan Pencegahan Stunting Kabupaten/Kota dan Desa.
Jakarta: Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia.
15. Chandra A. Epidemiologi Stunting. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. 2020.
16. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2014
tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. 2014.
17. Batubara JRL, Susanto R, dan Cahyono HA. Pertumbuhan dan Gangguan
Pertumbuhan. Dalam: Batubara JRL, Tridjaja B, Pulungan A (Eds.). Buku
Ajar Endokrinologi Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia. 2010: pp.19–42.
18. Nwosu BU dan Lee MM. Evaluation of Short and Tall Stature in Children.
Am Fam Physician. 2008;78(1): pp. 597–604.
19. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2013 tentang Standar Bubuk
Tabur Gizi. Jakarta: Menteri Kesehatan. 2013.
20. Sastroasmoro S dan Ismael S (eds.). Dasar-dasar Metodelogi Penelitian
Klinis. Edisi ke-5. Jakarta: Sagung Seto. 2014. pp. 95–97, 177–179.
21. Kemenkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2020 tentang StandarAntropometri Anak. 2020.
22. Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.416/Menkes/PER/IX/1990 tentang syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas
Air.
23. Kemenkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2017 tentang Penanggulangan Cacingan. 2017.
24. Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2019. Jakarta:
49
Kemenkes RI. 2020.
25. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, dan Sungkar S (eds.). Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Departemen Parasitologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi ke-4. 2021.
26. Astuti DD, Handayani TW, dan Astuti DP. Cifarette smoke exposure and
increased risks of stunting among under-five children. CEGG. 2020; 8(3): pp.
943–948.
27. Sari I, Marwidah, Amin MA, dan Pasau ND. Relationship Of Chronic Energy
Deficiency During Pregnancy With Stunting In Toddlers Aged 6–60 Months.
Jurnal Life Birth. 2022; 6(1): pp. 1–10.
50