Anda di halaman 1dari 94

Tata Kelola Klinis

Kajian Asuhan Keperawatan


Pasien Dengan Ventilasi
Mekanik di Ruang Intensive
Care Unit RSUD Sumedang

Ns. Nandar Wirawan., M.Kep


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT sehingga laporan Tata

Kelola Klinis kajian asuhan keperawatan pada pasien dengan ventilasi mekanik

ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan

laporan ini tidak lepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu

penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ka. Instalasi dan Ka. Ruangan ICU RSUD Sumedang.

2. Perawat dan petugas di ruang ICU RSUD Sumedang.

3. Ka. Bidang Keperawatan, Ka.Sie Asuhan Keperawatan dan CCM

RSUD Sumedang

4. PPI RSUD Sumedang

Laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis memohon saran dan

masukan sebagai bahan perbaikan di masa yang akan datang.

Sumedang, Oktober 2016

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida

dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen (O2) dan

pembentukan karbondioksida (CO2) dalam sel-sel tubuh. Hal ini mengakibatkan

tekanan oksigen arteri kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan

tekanan karbon dioksida lebih besar dari 45 mmHg (Hiperkapnia). Walaupun

kemajuan teknik diagnosis dan terapi intervensi telah berkembang dengan pesat,

namun gagal nafas masih menjadi penyebab angka kesakitan dan kematian yang

tinggi di ruang perawatan intensif (Brunner and Suddarth, 2002).

Intensive Care Unit (ICU) merupakan ruang rawat rumah sakit dengan staf

dan perlengkapan khusus ditujukan untuk mengelola pasien dengan penyakit,

trauma atau komplikasi yang mengancam jiwa. Peralatan standar di ICU meliputi

ventilasi mekanik untuk membantu usaha bernafas melalui Endotracheal Tube

(ETT) atau trakheostomi. Salah satu indikasi klinik pemasangan alat ventilasi

mekanik adalah gagal nafas (Musliha, 2010).

Laporan ini secara khusus dibuat untuk melihat bagaimana fungsi

manajemen asuhan keperawatan pada klien dengan ventilasi mekanik yang

dilakukan di ruang Intensive Care Unit (ICU) di RSUD Sumedang. Laporan ini

merupakan hasil pengamatan selama kurang lebih 28 hari dalam rangka

mempelajari dan menelaah dalam hal manajemen asuhan keperawatan. Sasaran-


sasaran yang ada dalam laporan ini diantaranya adalah untuk memberikan

pengetahuan praktis yang akan membantu mengidentifikasi pemberian pelayanan

perawatan pasien dan bagaimana tim perawat berkerja dalam rangka mencapai

pelayanan keperawatan yang berkualitas, aman, prima, dan memperhatikan

quality of care terhadap pasien, keluarga, dan masyarakat.

Laporan ini berfokus pada pilar dalam clinical governance yang dapat

menjadi dasar dalam mengembangkan pelayanan kesehatan terhadap pasien

beserta keluarga, termasuk pengelolaan aktivitas keperawatan sehingga perawat

profesional akan mampu mempraktikan fungsi primer dari keperawatan klinis.

Perawat berperan penting dalam menentukan kualitas pelayanan kesehatan. Hal

ini memerlukan suatu system yang dapat menjamin tercapainya pelayanan

keperawatan yang berkualitas. Tata kelola klinik (Clinical Governance) adalah

sebuah sistem untuk meningkatkan standar praktik klinik (Starey, 2001). Dalam

tata kelola klinik dilakukan pendekatan sistematis untuk meningkatkan kualitas

pelayanan pasien dalam suatu sistem kesehatan. Pilar yang disajikan dalam

laporan ini meliputi risk management and patient safety, patient centered care,

collaborative care and clinical based evidence.

Melalui laporan ini ditujukan agar dapat digunakan sebagai alat bantu

dalam mengidentifikasi metode terbaik dalam melakukan asuhan keperawatan

pada klien dengan ventilasi mekanik, memperbaiki manajemen pelayanan

keperawatan, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, dan akhirnya dapat

dikembangkan suatu sistem manajemen keperawatan yang terpadu dan berfokus

pada good clinical governance.


I.2 Tujuan

Tujuan dari pembuatan laporan ini adalah untuk mengidentifikasi

pelaksanaan pelayanan asuhan keperawatan pada klien dengan ventilasi mekanik

di ruang ICU RSUD Sumedang melalui pendekatan pilar dalam clinical

governance, yang meliputi risk management and patient safety, patient centered

care, collaborative care and clinical based evidence.


BAB II

TINJAUAN TEORI

Pernafasan penting untuk mempertahankan hidup, dan perawat berperan

penting dalam membantu pasien kritis untuk bernafas. Perawat harus cakap dan

terampil dalam mengkaji kebutuhan pasien, memberi asuhan yang cepat dan

efisien, mengevaluasi hasil intervensi, juga mendukung, memberi penyuluhan,

serta mempersiapkan pasien dan keluarga. Teknik, peralatan, dan prosedur yang

digunakan bervariasi berdasarkan status pernafasan pasien. Hygiene bronchus,

jalan nafas buatan, slang dada, agens farmakologis, dan berbagai jenis bantuan

nafas ventilator.

2.1 Bantuan Ventilator

Definisi gagal nafas adalah ketidakmampuan pernafasan yang adekuat

dengan parameter hasil pengukuran PH, PaCO2 dan PO2 darah arteri. Adekuat

berarti PH diatas 7,25 PaCO2 kurang dari 50 mmHg dan PO2 lebih dari 50

mmHg (bahkan saat pasien terpasang oksigen). Jika nilai gas darah arteri

(AGD) pasien menyimpang dari parameter tersebut, ventilasi mekanik

seringkali diindikasikan. Tujuan klinis ventilasi mekanismeliputi perbaikan

hipoksemia ; perbaikan asidosis respiratorik akut ;pemulihan gawat nafas ;

pencegahan atau perbaikan atelectasis ; upaya mengistirahatkan otot-otot

pernapasan ; pengurangan konsumsi oksigen sistemik, konsumsi oksigen

miokardium, atau keduanya ; penurunan tekanan intra kranial (TIK) dan


stabilisasi dinding dada. Ventilasi mekanis tidak bersifat kuratif dan pada

kenyataannya dapat menyebabkan komplikasi.

Hubungan antara tekanan intrapulmonal selam inspirasi dan ekspirasi

berbanding terbalik pada pemasangan ventilasi mekanik. Ventilator

menghantarkan udara dengan cara memompanya kedalam tubuh pasien,

karenanya tekanan selama inspirasi adalah positif. Tekanan positif yang

dipompakan kedalam paru tersebut menyebabkan peningkatan tekanan

intratoraks dan penurunan tekanan ekspirasi akhir positif (PEEP), tekanan

yang lebih besar dihasilkan selama inspirasi. Selama ekspirasi, tekanan di

dalam paru menurun hingga nilai dasar PEEP dan terus bernilai positif selama

ekspirasi. Sebagian besar pasien berkompensasi terhadap gangguan pada

aliran balik vena ini dengan meningkatkan tonus pembuluh vena perifer. Jika

terdapat konsidi penurunan respons simpatis (misal hypovolemia, obat-obatan

dan usia lanjut), hipotensi dapat terjadi. Selain itu volume tidal yang besar

(>10-12 ml/Kg) yang menghasilkan tekanan 35 cm H2O atau lebih tidak hanya

menurunkan curah jantung, tetapi juga meningkatkan risiko pneumotoraks.

Tekanan positif dapat menyebabkan barotrauma. Barotrauma terjadi

apabila udara dari alveoli bocor ke dalam ruang pleura (Pneumotoraks).

Bentuk cedera paru yang lain disebut volutrauma, dan ini akibat pemberian

volume tidal yang besar pada pasien dengan kondisi paru yang kaku dan tidak

mengembang dengan baik (nonkomplains). Pada kasus volutrauma, terjadi

fraktur di alveoli yang memungkinkan cairan dan protein merembes kedalam

paru. Fenomena ini adalah bentuk edema paru nonkardiogenik. Kerusakan


paru, baik akibat barotrauma maupun volutrauma, dapat meningkatkan

mortalitas, khususnya pada pasien yang rentan (misal penderita asma atau

ARDS).

2.2 Komplians

Pasien yang terpasang ventilator dengan kondisi paru yang normal

seharusnya memiliki nilai complains mendekati 100 ml/cm H2O yang

mengindikasikan adanya gangguan paru berat. Begitu volume gas dihantarkan

kepada pasien yang terpasang ventilator mekanis, nilai tekanan ventilator

perlahan-lahan naik dari nol hingga tekanan isnpirasi puncak (peak inspiratory

pressure / PIP). Peningkatan tekanan ini disebabkan retensi jalan napas (untuk

mengeluarkan) dan juga oleh komplians paru dan dinding dada. Berikut

adalah beberapa faktor yang menurunkan komplians :

a. Faktor jalan nafas ; aliran puncak, ukuran jalan nafas, obstruksi jalan

nafas, obstruksi eksternal (slang ventilator yang terlipat atau air didalam

slang)

b. Faktor paru ; elastisitas (kekakuan) paru, adanya auto PEEP, pirau

(ARDS)

c. Faktor dinding dada ; deformitas dinding dada, posisi pasien, kompresi

eksternal dinding dada atau diafragma (distensi abdomen, obesitas).

2.3 Tekanan Statis

Nilai complains yang tinggi menandakan bahwa paru lebih mudah

meregang, sedangkan nilai komplians yang lebih rendah menandakan bahwa

paru lebih kaku dan sulit meregang. komplians yang rendah dapat disebabkan
oleh paru yang kaku seperti pada kasus ARDS, dinding dada yang restriktif,

atau ventilasi hanya pada sebagian kecil paru, seperti yang terjadi pada kasus

kolaps paru parsial. Pengukuran berkala komplians menyadarkan perawat

akan adanya penurunan nilai yang tiba-tiba, yang dapat disebabkan oleh

pneumotoraks, sumbatan mucus atau edema paru.

2.4 Ventilasi Mekanis

a. Ventilator tekanan negatif

Ventilasi tekanan negative jangka pendek intermitten terkadang

digunakan pada pasien yang menderita penyakit kronis. Metode ini jarang

dipilih untuk pasien yang bukan merupakan kandidat untuk ventilasi

mekanis progresif seperti yang diberikan melalui ventilasi mekanik. Pasien

tersebut menderita akibat berbagai kondisi seperti PPOK, penyakit pada

dinding dada (kifoskoliosis) dan penyakit neuromuscular (distrofi otot

Duchene, sclerosis lateral amiotrofik). Akan tetapi penggunaan ventilator

tekanan negative pada praktik klinis masih terbatas sebab alat tersebut

membatasi perubahan posisi dan pergerakan.

b. Ventilator tekanan positif

 Ventilator volume

Prinsip dasar pada ventilator ini adalah bahwa volume udara yang

diinginkan diberikan pada setiap pernapasan. Jumlah tekanan yang

dibutuhkan untuk menghantarkan volume yang telah diatur tersebut

bergantung pada faktor komplians paru dan resistensi pasien-

ventilator. Oleh karena itu pada model volume, PIP harus terus
dipantau sebab nilainya akan bervariasi antar pernafasan. Pada model

ventilasi ini, frekuensi pernapasan, waktu inspirasi dan volume tidal

dipilih untuk mengatur pernapasan mekanis.

 Ventilator tekanan

Pada model tekanan seperti ini memberi tekanan gas yang telah

dipilih ke pasien diawal pernafasn dan mempertahankan tekanan

tersebut sepanjang fase inspirasi. Dengan memenuhi kebutuhan aliran

inspirasi pasien sepanjang fase inspirasi, usaha pasien akan berkurang

dan kenyamanan akan meningkat. Meskipun tekanan yang diberikan

dengann model ini tidak tetap, tetapi volumenya tetap. Volume akan

berubah saat terjadi perubahan resistensi atau komplians. Oleh karena

itu, volume tidal ekhalasi merupakan variabel yang harus dipantau

secara ketat. Pada model tekanan, kita memilih besar tekanan yang

diberikan, mengatur frekuensi dan waktu inspirasinya.

 Ventilator frekuensi tinggi

Ventilator frekuensi tinggi melakukan oksigenasi dengan proses

difusi oksigen dan karbon dioksida dari gradient konsentrasi tinggi ke

konsentrasi rendah. Pergerakan difusi ini meningkat apabila energy

kinetic molekul gas difusi ini meningkat. Ventilator frekuensi tinggi

menggunakan volume tidal yang kecil (1-3 ml/kg) pada frekuensi

lebih dari 100 kali/menit (Slutsky, 1994). Secara teoritis, ventilator

frekuensi tinggi digunakan untuk memperoleh tekanan ventilator


puncak yang lebih rendah sehingga menurunkan resiko barotrauma dan

meningkatkan keselarasan ventilasi perfusi karena perbedaan

karakteristik hantaran alirannya. Efek negative yang mungkin timbul

akibat penggunaan ventilator frekuensi tingg antara lain terjebaknya

gas dan trakeobronkhitis nekrotik, jika digunakan tanpa humidifikasi

yang adekuat (Mcintyre, 1994).

2.5 Model Ventilator

a. Model Volume

 Model Assist-Control

Pada model ini kita memilih mandatory atau kontrol, jika pasien

ingin bernafas lebih cepat. Model ini dapat memicu ventilator tersebut

dan menerima pernafasan dengan volume penuh. Model ventilasi ini

kerap digunakan secara keseluruhan untuk mendukung pasien,

misalnya ketika pasien tersebut baru diintubasi atau jika pasien

tersebut terlalu lemah untuk melakukan kerja pernafasan (misal pada

pasien saat baru sadar dari pengaruh anastesia).

 Model Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation

Pada model SIMV ini, kita mengatur frekuensi pernafasan dan

volume tidal. Jika pasien ingin bernafas melebihi frekuensi tersebut, ia

dapat melakukannya. Setiap pernafasan yang diambil melebihi

frekuensi yang telah diatur merupakan pernafasan spontan yang

diambil melalui sirkuit ventilator. Volume tidal pada pernapasan ini

dapat sangat berbeda dari volume tidal yang diatur pada ventilator
sebab volume tidal tersebut hanya ditentukan oleh upaya spontan

pasien. Dengan menambahkan bantuan tekanan selama pernapasan

spotan dapat meminimalkan risiko peningkatan kerja pernapasan.

b. Model Tekanan

 Model pressure support ventilation

Model PSV memperbesar atau membantu upaya pernapasan spotan

dengan menghantarkan aliran gas yang tinggi menuju level tekanan

yang telah dipilih pada awal inspirasi, dan mempertahankan level

tersebut disepanjang fase inspirasi. Upaya pasien ini menentukan

frekuensi pernafasan, aliran inspirasi dan volume tidal. Pada saat

menggunakan PSV sebagai ventilasi tunggal, kita menyesuaikan level

bantuan tekanan yang diberikan untuk memperoleh volume tidal dan

frekuensi pernapasan yang mendekati target.

Penggunaan PSV yang khusus adalah untuk meningkatkan

kenyamanan dan keselarasan pasien dengan ventilator, menurunkan

kerja pernapasan yang diperlukan untuk mengatasi resistensi slang

endotrakhea, dan untuk penyapihan. Sebagai sarana penyapihan, PSV

dianggap mampu meningkatkan stamina otot-otot pernapasan dengan

menurunkan kerja pernapasan dan kebutuhan oksigen selama

pernapasan spontan. Karena level bantuan tekanan dapat diturunkan

secara bertahap, maka upaya mengondisikan stamina dapat meningkat.

Pada model PSV, volume tidal inspirasi dan frekuensi pernapasan

harus dipantau secara ketat untuk mendeteksi adanya perubahan pada


komplians paru. Pada umunya, jika komplians menurun dan resistensi

meningkat, volume tidak akan menurun dan frekuensi pernapasan

meningkat. Model PSV harus digunakan secara hati-hati pada pasien

yang menderita bronkhospasme atau kondisi jalan nafas reaktif

lainnya.

 Model ventilasi kontrol tekanan

Model PVC digunakan untuk mengontrol tekanan plateu pada

beberapa kondisi, seperti ARDS, yakni ketika komplians paru menurun

dan beresiko tinggi terjadi barotrauma. Alat ini digunakan ketika

pasien mengalami masalah oksigenasi yang menetap, kendati nilai

FiO2 dan level PEEP yang diberikan tinggi. Level tekanan isnpirasi,

frekuensi pernapasan, dan rasio inspirasi-ekspirasi (I:E) harus diatur.

Volume tidal bervariasi bergantung pada komplians dan resistansi

jalan napas, dan harus dipantau secara ketat. Sedasi dan penggunaan

agens penyekat neuromuscular kerap kali diindikasikan sebab setiap

kasus ketidakselarasan pasien mesin ventilator biasanya

mengakibatkan penurunan nilai SaO2 secara drastis. Perasaan tidak

nyaman terhadap model ini sering kali mengharuskan penggunaan

relaksan untuk menjamin keselarasan antara pasien dan mesin

ventilator.

Kebanyakan ventilator bekerja dengan waktu inspirasi yang

pendek dan waktu ekspirasi yang panjang (rasio 1:2 atau 1:3). Metode

ini meningkatkan aliran balik vena dan memberikan kesempatan udara


untuk keluar dari paru secara pasif. Model ventilasi rasio terbalik

(IRV) membalik perbandingan tersebut sehingga waktu inspirasi

sebanding, atau lebih lama dari waktu ekspirasi (1:1 hingga 4:1). Rasio

I:E terbalik digunakan bersama kontrol tekanan untuk meningkatkan

oksigenasi pada pasien ARDS dengan cara mengembangkan alveoli

yang kaku menggunakan waktu distensi yang lebih lama. Dengan

demikian, upaya ini dapat memberi peluang yang lebih besar untuk

proses pertukaran gas dan mencegah kolaps alveoli. Overdistensi atau

barotrauma pada alveoli regional dapat terjadi akibat total PEEP yang

berlebihan (Pierce, 1998). Pada saat menggunakan model PCV, jalan

napas pertengahan dan tekanan intrathoraks meningkat, sehingga

berpotensi menurunkan curah jantung dan hantaran oksigen. Oleh

karena itu, status hemodinamik pasien harus dipantau ketat.

 Model pilihan volume guaranteed pressure

Model ini menjamin hantaran volume tidal yang diinstruksikan

pada saat menggunakan pola aliran melambat (decelerating flow

pattern) melalui pernafasan tekanan. Pilihannya meliputi parameter

spontan dan parameter laju kontrol, dan jaminan volume (volume

guarantee) diberikan dengan cara yang berbeda, bergantung pada

pasien penderita penyakit akut maupun pasien yang menjalani

penyapihan dengan kondisi yang lebih stabil. Beberapa contoh alay ini

antara lain model bantuan volume (volume support / VS) dan kontrol

volume pengaturan tekanan (pressure regulated volume control /


PRVC), serta model penambahan tekanan (pressure augmentation /

PA : bear medical system).

Pada pasien penderita penyakit akut yang kondisinya tidak stabil,

pilihan alat ini dapat menghantarkan ventilasi tekanan sekaligus

menjamin volume tidal (VT) dan ventilasi menit (MV) sesuai dengan

laju yang diatur sebelumnya. Pada pasien yang bernapas secara

spontan, pilihan ini digunakan sebagai upaya pengamanan jika

ventilasi tekanan dipilih. Penggunaan jaminan volume pada pasien

yang bernapas secara spontan, pilihan ini digunakan sebagai upaya

pengaman jika ventilasi tekanan dipilih. Penggunaan jaminan volume

pada pasien yang bernapas secara spontan menjadi sangat penting

dimalam hari (saat volume dan frekuensi pernapasan normalnya

mengalami penurunan) dan pada pasien yang memiliki masalah sekret

(karena sekret dapat meningkatkan resistensi dan menyebabkan

penurunan volume sopntan) (Kolef, Levy and Ahrens, 1998).

c. Jalan napas positif kontinu / model tekanan akhir ekspirasi positif

CPAP adalah istilah yang digunakan saat PEEP diberikan pada

pernapasan spontan. PEEP adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan tekanan akhir ekspirasi positif pada pernapasan

bertekanan positif (mesin). CPAP membantu pasien yang bernapas secara

spontan untuk meningkatkan oksigenasi mereka dengan memperbesar

tekanan akhir ekspirasi paru disepanjang siklus pernapasan. CPAP dapat

digunakan pada pasien yang terpasang intubasi atapuntidak. Alat ini dapat
digunakan sebagai model penyapihan dan model ventilasi malam hari

(CPAP nasal atau sungkup) untuk membuka jalan napas atas, sehingga

mencegah obstruksi jalan napas pada pasien yang mengalami apnea tidur

obstruktif.

PEEP adalah tekanan positif yang dihasilkan pada akhir ekspirasi.

Dalam praktik umumnya menggunakan PEEP tingkat rendah (2-5 cmH 2O)

pada pasien yang terpaasang intubasi. PEEP dinaikkan 2 hingga 5 cmH 2O

pada saat nilai FiO2 > 50% untuk mencapai nilai SaO2 (<90%) atau PaO2

(>60-70 mmHg) yang diperbolehkan. PEEP paling sering dibutuhkan pada

pasien yang mengalami hipoksemia refraktori (misal pada pasien ARDS),

ketika nilai PaO2 memburuk secara drastic meski telah diberikan oksigen

konsentrasi tinggi.

PEEP digunakan untuk menjaga agar alveoli tetap terbuka dan

metode ini dapat meliputi unit-unit alveolar yang mengalami kolaps total

atau parsial. Tekanan akhir ekspirasi ini meningkatkan kapasitas residu

fungsional (fungsional residual capacity / FRC) dengan mengembangkan

kembali alveoli yang kolaps, mempertahankan alveoli pada posisi terbuka,

serta meningkatkan komplians paru. Upaya ini mengurangi pintasan dan

memperbaiki oksigenasi, selain itu terdapat sejumlah bukti menyatakan

bahwa dengan menjaga alveoli tetap terbuka akan meningkatkan

regenerasi surfaktan. Pemberian PEEP level tinggi sebaiknya jangan

terlalu sering diganggu karena dibutuhkan waktu beberapa jam untuk

membuka kembali alveoli dan mengembalikan nilai FRC, sebelum kondisi


ini tercapai oksigenasi dapat mengalami hambatan (Kolef, Levy and

Ahrens, 1998).

Pada pasien yang tidak memiliki volume darah sirkulasi yang

adekuat, pemberian PEEP akan menurunkan aliran balik vena menuju

jantung, menurunkan curah jantung, dan meningkatkan hantaran oksigen

menuju jaringan. Jika aplikasi PEEP mengakibatkan hipotensi atau

penurunan curah jantung, upaya memulihkan volume intravaskuer

sirkulasi dapat memperbaiki hipotensi. Komplikasi serius lainnya yang

muncul akibat pemasangan PEEP adalah barotrauma. Komplikasi ini dapat

terjadi pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik, tetapi paling sering

terjadi ketika menggunakan PEEP level tinggi (≥ 10 hingga 20 CmH 2O)

pada paru-paru dengan tekanan ventilasi yang tinggi dan komplians yang

rendah, serta pada pasien yang menderita penyakit onstruksi jalan napas.

Barotrauma terjadi secara tiba-tiba dan biasanya memerlukan tindakan

pemasangan slang dada.

d. Model ventilasi tekanan jalan napas bilateral positif noninvasive

BiPAP (Respironics) adalah suatu bentuk ventilasi mekanis

noninvasive yang terdiri dari sungkup hidung, prong hidung atau sungkup

wajah penuh. Alat ini digunakan pada pengobatan pasien dengan

insufisiensi pernapasan kronis untuk mengatasi gagal napas akut atau

kronis. BiPAP juga digunakan sebagai jembatan penghubung untuk

menyapih pasien yang terpasang ventilasi mekanis, serta sebagai bentuk


ventilasi mekanis konvensional alternative pada pasien yang terpasang

ventilasi dirumah (Elliot, 1994).

BiPAP bermanfaat bagi pasien yang mengalami perburukan

ventilasi, episode apnea obstruktif, atau keduanya. Alat ini juga berguna

untuk mencegah tindakan intubasi pada pasien yang mengalami gagal

nafas atau hiperkarbia, serta untuk mencegah intubasi ulang setelah

tindakan ekstubasi pada kasus yang beresiko tinggi. Penggunaan sungkup

wajah penuh dapat meningkatkan resiko aspirasi dan terhirupnya kembali

karbon dioksida, oleh karenanya ventilasi dengan sungkup wajah penuh

harus dilakukan dengan hati-hati. Sekret yang tebal dan lengket serta

upaya batuk yang kurang merupakan kontraindikasi untuk model ventilasi

BiPAP.

Perbandingan Model Ventilasi


Model Indikasi Kelebihan/ Pemantauan
Ventilasi kekurangan Khusus

A/C Kerap digunakan Kelebihan : Kerja pernapasan


sebagai model  Menjamin dapat menurun
ventilasi awal bantuan apabila sensitivitas
ventilasi pada atau frekuensi
setiap aliran terlalu
pernapasan rendah
 Setiap
pernapasan
memiliki
volume tidal
yang sama

Kekurangan :
Hiperventilasi,
udara terperangkap

SIMV Kerap digunakan Kelebihan :


sebagai model Memungkinkan
ventilasi awal dan pernapasan spontan
untuk penyapihan (volume tidal
ditentukan oleh
pasien) antar
pernapasan
ventilasi ;
penyapihan
dilakukan dengan
menurunkan
frekuensi yang
diatur pada mesin
dan memungkinkan
pasien melakukan
lebih banyak kerja
pernapasan.

Kekurangan :
Kemungkinan
terjadi
ketidakselarasan
pasien ventilator

PSV  Diperlukan Kelebihan :  Sesuaikan level


dorongan Menurunkan kerja PSV untuk
pernapasan pernapasan, mempertahank
penuh pada meningatkan an frekuensi
pasien kenyamanan pasien pernapasan dan
 Digunakan volume tidal
sebagai model Kerugian : yang
penyapihan, dan Tidak boleh diinginkan
pada beberapa digunakan pada  Pantau adanya
kasus pasien dengan perubahan
ketidakselarasan bronkhospasme komplians,
akut yang dapat
menyebabkan
perubahan
volume tidal
 Pantau
frekuensi
pernapasan dan
volume tidal
sedikitnya satu
jam sekali

PCV Digunakan untuk Kekurangan :  Pantau volume


membatasi tekanan Kemungkinan tidal sedikitnya
plateu yang dapat terjadi satu jam sekali
menyebabkan ketidakselarasan  Pantau adanya
baritrauma pasien ventilator, barotrauma,
ARDS berat yang mengharuskan ketidakstabilan
sedasi/paralisis hemodinamik

IRV  Biasanya Kekurangan :  Pantau auto


digunakan Hampir selalu PEEP,
bersama PC mengharuskan barotrauma,
 Meningkatkan tindakan paralisis dan
rasio I:E untuk ketidakstabilan
memungkinkan hemodinamik
pemnfaatan
alveoli dan
meningkatkan
oksigenasi

VGPO Menggabungkan Kelebihan : 


manfaat ventilasi Menjamin hantaran
tekanan dengan volume tidak
volume tidal yang
terjamin Kekurangan :
Membutuhkan
pengetahuan yang
mendalam tentang
model dan analisis
bentuk gelombang

CPAP Tekanan jalan napas Kelebihan : Pantau adanya


positif konstan untuk Digunakan pada peningkatan kerja
pasien yang pasien yang pernapasan
bernapas spontan terpsang intubasi
ataupun tidak

Kekurangan :
Pada beberapa
sistem, tidak ada
alarm jika frekuensi
pernapasan
menurun

Noninvasiv Hipoventilasi Kelebihan : Pantau adanya


e nocturnal pada Penurunan biaya distensi lambung,
(Bi-PAP) pasien dengan apabila pasien dpat kebocoran udara
penyakit dirawat dirumah ; dari mulut
neuromuscular, tidak memerlukan
deformitas dinding jalan napas buatan
dada, apnea tidur
obstruktif dan PPOK Kekurangan :
; untuk mencegah Ketidaknyamanan
intubasi ; untuk pasien atau
mencegah intubasi klaustrofobia
ulang setelah
ekstubasi

2.6 Penggunaan Ventilasi Mekanis

a. Pengaturan kontrol ventilasi

Pengaturan ventilator harus sering dievaluasi berdasarkan respons

pasien. Komplikasi yang disebabkan terapi medis (iatrogenic) antara lain

overventilasi (yang menyebabkan asidosis respiratorik atau hipoksemia).

Pemeriksaan analisa gas darah menentukan keefektifan ventilasi mekanik.

b. Fraksi Oksigen Inspirasi

Perubahan nilai FiO2 diatur berdasarkan nilai analisa gas darah dan

SaO2. Biasanya FiO2 disesuaikan untuk menjaga agar nilai SaO2 lebih besar

dari 90% (ekuivalen kasar hingga PaO2 > 60 mmHg). Toksisitas oksigen

menjadi masalah apabila presentase FiO2 diatas 60% dibutuhkan selama

lebih dari 25 jam.


c. Frekuensi Pernapasan

Pada ventilator tekanan, waktu inspirasi menentukan durasi

pernapasan dengan mengatur laju aliran gas. Semakin tinggi laju lairan,

semakin cepat tekanan jalan napas puncak tercapai dan semakin pendek

inspirasi ; sebaliknya, semakin rendah laju aliran, semakin panjang

inspirasi. Laju aliran yang sangat tinggi dapat menimbulkan turbulensi,

pernapasan dangkal dan distribusi volume yang tidak merata.

Frekuensi pernapasan dikali volume tidal sama dengan ventilasi

per menit (RR x VT = MV). Volume permenit akan menentukan ventilasi

alveolar. Kedua parameter tersebut disesuaikan dengan PaCO2.

Peningkatan volume menit akan menurunkan PaCO2, sebaliknya

penurunan volume menit meningkatkan PaCO2. Pada beberapa kasus

tertentu, kondisi hipoventilasi atau hiperventilasi justru diharapkan.

Sebagai contoh pada kasus cedera kepala, alkalosis respiratorik

dibutuhkan untuk meningatkan vasokontriksi serrebral, dengan hasil akhir

penurunan TIK. Pada kasus inivolume tidal dan frekuensi pernapasan

ditingkatkan untuk mencapai PH alkalosis yang diinginkan dengan

memanipulasi PaCO2. Sebaliknya, pasien PPOK dengan nilai analisa gas

darah yang menggambarkan peningkatan PaCO2 tidak boleh mengalami

hiperventilasi karena tujuannya adalah untuk mengembalikan nilai dasar

PaCO2. Pasien tersebut biasanya memiliki kekuatan karbon dioksida yang

besar, dan menurunkan karbon dioksida yang besar, dan menurunkan

kadar karbon dioksida dapat dengan cepat menyebabkan kejang. Upaya


menyesuaikan frekuensi pernapasan juga diperlukan guna meningkatkan

kenyamanan pasien atau apabila frekuensi pernapasan yang cepat

menyebabkan udara terperangkap yang mengakibatkan auto-PEEP.

d. Volume Tidal

Volume tidal sebesar 10-15 ml/kg tubuh sudah umum digunakan

secara luas, penelitian yang dilakukan mengidentifikasi adanya fenomena

cedera paru iatrogenic (yang sering disebut volutrauma). Dalam hal ini,

gaya yang dihasilkan volume tidal yang besar didalam paru dapat

memperparah kerusakan yang mengenai paru akibat proses patologis yang

mengharuskan dilakukannya ventilasi mekanis (Peruzzi and Smith, 1995).

Karena alasan tersebut, upaya menurunkan target volume tidal (6-8 ml/kg)

saat ini telah dianjurkan.

e. Aliran Puncak

Aliran puncak adalah velositas aliran gas per unit waktu, dan

dinyatakan dalam satuan liter per menit. jika terdapat auto PEEP (akibat

waktu ekspirasi yang tidak adekuat), aliran puncak ditingkatkan guna

memperpendek waktu inspirasi sehingga pasien dapat menghela napas

dengan sempurna. Meski demikian, meningkatkan aliran puncak dapat

meningkatkan turbulensi, yang terlihat dari peningkatan tekanan jalan

napas.

f. Limit Tekanan

Pada ventilator siklus-volume, limit tekanan membatasi tekanan

tertinggi yang diperbolehkan pada sirkuit ventilator. Begitu batas tekanan


tinggi dicapai, inspirasi akan berhenti. Oleh karena itu, jika limit tekanan

dicapai secara konstan, volume tidal yang telah diatur tidak dapat

dihantarkan ke pasien. Penyebab yang mungkin dikarenakan batuk,

penumpukan sekret, slang ventilator terlilit, penurunan komplians paru,

atau pengaturan limit tekanan yang terlalu rendah.

g. Tekanan Akhir Ekspirasi Positif

Kontrol PEEP menyesuaikan tekanan yang dipertahankan didalam

paru pada akhir ekspirasi. PEEP dan CPAP dapat dilihat pada alat ukur

tekanan pernapasan atau display. Pada akhir ekspirasi, nilai tekanan tidak

kembali ke titik nol (tekanan atmosfir), melainkan jatuh hingga level

PEEP/CPAP. Upaya menurunkan nilai PEEP menjadi pertimbangan

apabila nilai PaO2 pasien 80-100 mmHg dengan FiO2 50% atau kurang,

hemodinamiknya stabil, serta penyakit utama yang diderita telah stabil

atau membaik. Untuk mengevaluasi apakah efek PEEP bermanfaat, perlu

dilakukan pemantauan AGD, SaO2, komplians dan tekanan hemodinamik

(termasuk curah jantung dan tekanan darah). Nilai dasar dicapai sebelum

dilakukan beberapa perubahan pada PEEP. Nilai PEEP biasanya

meningkat dengan penambahan 2-5 cm H2O. pasien dipantau untuk

mengetahui adanya efek negative, seperti hipotensi atau disritmia. Jika hal

tersebut terjadi, nilai PEEP yang lebih tinggi, selanjutnya akan distabilkan

pada pengaturan PEEP yang baru selama kurang lebih 15 menit. parameter

yang dipantau kemudian diulang kembali.


Pengukuran hemodinamik (curah jantung, tekanan arteri

pulmonal / PAP), tekanan vena central (CVP) dan tekanan baji arteri

pulmonal (PWAP) dilakukan pada akhir ekspirasi saat pasien terpasang

PEEP. Keakuratan dalam memilih, titik akhir ekspirasi pada perunut

gelombang (waveform tracing) difasilitasi dengan menggunakan alat

pemantau jalan napas kontinu (Pierce, 1998). PEEP tidak perlu dihentikan

sebelum kita memulai pengukuran hemodinamik. Pengukuran

hemodinamik kemungkinan tidak akurat apabila pasien sedang terpasang

PEEP, atau jika posisi tranduser tidak sejajar dengan aksis flebostatik.

Posisi kateter didalam sirkulasi pulmonal juga harus dipastikan dengan

sinar x dada.

Berbagai upaya dilakukan untuk meminimalkan tindakan

pelepasan ventilator dari pasien pada saat menggunakan PEEP level tinggi.

Oksigenasi dapat memburuk dan membaik dengan lambat sebab

dibuthkann waktu yang lama agar efek PEEP terbentuk kembali. Oleh

karena itu, jika pasien sedang menjalani oksigenasi dengan menggunakan

MRB, peralatan tersebut harus dilengkapi dengan katung yang

memungkinkan kita mengatur level PEEP. Perangkat suction yang

terpasang didalamnya (in line) bermanfaat untuk mencegah pelepasan

sirkuit PEEP saat melakukan prosedur suction pasien.

h. Sensitifitas

Fungsi sensitivitas mengontrol besarnya upaya yang dibutuhkan

untuk memulai inspirasi, seperti yang diukur dengan upaya isnpirasi


negative. Meningkatkan sensitivitas (membutuhkan gaya yang kurang

negative) akan mengurangi besarnya usaha yang harus pasien berikan

untuk memulai pernapasan ventilator. Sebaliknya, menurunkan sensitivitas

akan meningkatkan jumlah tekanan negative yang dibutuhkan pasien

untuk memulai inspirasi dan akan meningkatkan kerja pernapasan.

i. Memastikan humidifikasi dan Thermoregulasi

Ventilasi mekanis memintas jalan napas atas, sehingga maniadakan

mekanisme perlindungan tubuh untuk melembabkan dan menghangatkan

udara inspirasi. Kedua proses tersebut harus disertakan ke dalam sirkuit

dalam bentuk humidifier dengan pengontrol temperature. Semua udara

yang dihantarkan oleh ventilator melewati udara dihangatkan dan

disaturasi. Karena proses ini, kehilangan cairan yang tidak disadari

berkurang. Pada banyak kondisi, suhu udara hampir sama dengan suhu

tubuh, pada beberapa kasus yang jarang terjadi (hipotermia berat), suhu

udara dapat meningkat. Kewaspadaan harus diterapkan karena inhalasi gas

temperature tinggi untuk waktu yang lama dapat menyebabkan jalan nafas

kering, yang sering kali disertai sumbatan mucus dan kemampuan

mengisap sekret berkurang.

Begitu udara melewati ventilator menuju pasien, air didalam selang

yang berliku-liku tersebut akan berkondensasi (mengental). Kelembaban

ini dianggap tidak steril dan harus dikeluarkan ke wadah lain dan bukan

dikembalikan ke dalam humidifier steril. Jika air dibiarkan semakin

banyak, akan terjadi resistensi didalam sirkuit dan menghasilkan PEEP.


Selain itu, jika kelembapan terakumulasi didekat slang endotracheal, air

dapat diaspirasi pasien.

2.7 Komplikasi ventilasi mekanik dan perawatannya

Komplikasi dapat terjadi pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik,

akan tetapi insiden komplikasi tersebut dapat diminimalkan dengan asuhan

keperawatan preventif yang baik.

a. Aspirasi

Aspirasi dapat terjadi sebelum, selama atau setelah intubasi.

Kejadian insiden pneumonia nosocomial atau ARDS meningkat jika

terjadi aspirasi. Hal ini dapat diminimalkan dengan mempertahankan

inflasi balon yang sesuai, mengevaluasi distensi lambung dengan suction,

menghisap orofaring (khususnya sebelum mengempiskan balon) dan

meninggikan kepala tempat tidur pasien 30 derajat atau lebih setiap saat

(Haris and Miller, 2000).

b. Barotrauma

Ventilasi mekanik adalah tindakan memompakan udara kedalam

dada, sehingga menghasilkan tekanan positif selama inspirasi. Jika PEEP

ditambahkan, tekanan akan meningkat dan berlanjut sepanjang ekspirasi.

Tekanan positif tersebut dapat merobek alveolus atau gelembung

emfisematosa. Udara kemudian lolos dan terjebak didalam rongga pleura,


terakumulasi sampai menyebabkan paru kolaps. Pada akhirnya, paru yang

kolaps menghimpit struktur mediastinum, menekan trakea dan akhirnya

jantung hal ini disebut dengan pneumothoraks tekanan, dengan disertai

dengan tanda dan gejala dyspnea esktreem, hipoksia (ditandai dengan

penurunan SaO2), bunyi nafas dapat menurun atau hilang diarea yang

mengalami gangguan. Sedangkan tanda pneumothoraks yang nyata adalah

hipotensi dan bradikardi yang dapat memburuk hingga serangan jantung

tanpa disertai intervensi medis yang teratur.

c. Pneumonia Akibat Ventilator

Pneumonia akibat ventilator (ventilated associated pneumonia

[VAP]) merupakan penyebab kedua infeksi didapat dirumah sakit dan

penyebab utama kematian akibat infeksi nosocomial (Kollef, 1999).

Faktor-faktor yang menyebabkan pneumonia nosocomial antara lain

kolonisasi orofaring, kolonisasi lambung, aspirasi dan gangguan sistem

kekebalan paru. Ventilasi mekanis, reintubasi, ekstubasi sendiri, adanya

selang nasogastric dan posisi terlentang adalah beberapa faktor resiko

terkait kasus pneumonia akibat ventilator (Haris and Miller, 2000).

Pemeliharaan kadar asam lambung berperan penting dalam menurunkan

insiden dan kematian akibat pneumonia. Penggunaan antasida atau

penyekat reseptor histamine tipe 2 (H2) secara luas dapat mendorong

terjadinya infeksi nosocomial pada pasien karena tingkat keasaman

lambung akan menurun (tingkat kebebasan meningkat). Setelah digunakan

untuk mencegah perdarahan akibat tekanan, obat-obatan tersebut dapat


meningkatkan kolonisasi bakteri disaluran cerna atas yang berkembang

dengan subur dilingkungan yang lebih basa.

Pasien diduga diagnosis VAP jika hasil sinar x dada menunjukkan

infiltrasi yang baru atau progresif atau infiltrasi menetap. Tanda gejala

lainnya dapat meliputi demam tinggi lebih dari 38 ˚C, leukositosis, awitan

baru sputum purulent dan batuk serta pertukaran gas yang buruk (Centers

for diseases control and prevention : guidelines for prevention of

nosocomial pneumonia, 1997).

Ada beberapa strategi untuk pencegahan VAP. Langkah pertama

dengan mencegah kolonisasi pathogen di orofaring dan saluran cerna.

Prinsip asuhan keperawatan dasar, seperti mencuci tangan pada saat

melakukan prosedur penghisapan oral pada pasien atau selang

endotracheal, penting untuk dilakukan. Sarung tangan juga harus

dikenakan ketika melakukan pengisapan melalui alat suction tertutup

(closed suction). Perawatan mulut untuk pasien yang terpasang ventilasi

mekanik antara lain menyikat gigi pasien (kira-kira setiap 2-4 jam)

menggunakan larutan antiseptic dan obat kumur bebas alkohol untuk

membersihkan mulut, mengoleskan pelembab mulut berbahan dasar air

untuk menjaga integritas mukosa mulut, dan mengisap sekret oral sampai

bersih (Hixson, Sole and King, 1998).

Pada pasien yang mendapatkan makanan secara enteral, kepala

tempat tidur harus ditinggikan 30-45˚ derajat (kecuali ada kontraindikasi)

untuk mengurangi resiko aspirasi (Haris and Miller, 2000). Selang


endotracheal dan selang lambung jangka panjang (yang lebih dari 3 hari)

harus dimasukan melalui oral (kecuali ada kontraindikasi atau tidak dapat

ditoleransi oleh pasien). Penggunaan selang endotrakhea yang menjadi

portal untuk aspirasi sekret subglotis continue (continuous aspiration of

subglottic secretion / CASS) tampaknya mencegah perkembangan VAP

pada pemasangan intubasi minggu pertama, sehingga dapat mengurangi

insiden VAP secara keseluruhan (Grap and Munro, 1997). Penggunaan

selang endotrakea CASS biasanya untuk pasien yang diidentifikasi

berpotensi membutuhkan ventilasi jangka panjang.

Kurang lebih 50% antibiotika yang diberikan di ICU adalah

ditujukan untuk infeksi saluran pernafasan. Luna dkk menyebutkan bahwa

pemberian antibiotik adekuat sejak awal dapat meningkatkan angka

ketahanan hidup penderita VAP pada saat data mikrobiologik belum

tersedia. Penelitian di Perancis oleh Luna et al (2003) menunjukkan bahwa

hasil pemeriksaan rutin biakan kuantitatif melalui aspirasi endotrakeal

dapat mengidentifikasi pemberian antibiotika pada 95% penderita VAP

sambil menunggu hasil biakan BAL.

Penelitian lainnya oleh Fowler dkk memberikan hasil bahwa

penderita yang mendapatkan pengobatan penisilin antipseudomonas

ditambah penghambat laktamase serta aminoglikosida memiliki angka

kematian lebih rendah. Piperasilin-tazobaktam merupakan antibiotik yang

paling banyak digunakan (63%) diikuti golongan fluorokuinolon (57%),

vankomisin (47%), sefalosporin (28%) dan aminoglikosida (25%). Singh


et al (2009) menyatakan bahwa siprofloksasin sangat efektif pada sebagian

besar kuman Enterobacteriaceae, Haemophilus influenza dan

Staphylococcus aureus. Pemberian antibiotika dapat dihentikan setelah 3

hari pada penderita dengan kecenderungan VAP rendah (CPIS < 6).

Pencegahan terhadap VAP dibagi menjadi 2 kategori yakni strategi

farmakologi yang bertujuan untuk menurunkan kolonisasi saluran cerna

terhadap kuman patogen serta strategi non farmakologi yang bertujuan

untuk menurunkan kejadian aspirasi (Mandel et al, 2007). Pencegahan non

farmakologi lebih mudah dan lebih murah untuk dilaksanakan bila

dibandingkan pencegahan VAP secara farmakologi, yang meliputi

menghindari intubasi trakea, penggunaan ventilasi mekanik sesingkat

mungkin, pembagian kerja penyelia kesehatan, subglottic suctioning,

intubasi non nasal, menghindari manipulasi yang tidak perlu pada sirkuit

ventilator, pemakaian heat and moisture exchangers, posisi setengah

duduk, menghindari lambung penuh, pencegahan terbentuknya biofilm,

dan mencuci tangan dan pemakaian desinfektan sebelum dan sesudah

kontak dengan pasien.

Sedangkan pencegahan VAP secara farmakologi meliputi

dekolonisasi traktus aerodigestif, pencegahan pembentukan biofilm

kuman, dan menghindari penggunaan profilaksis stress ulcer yang

berlebihan. Meskipun pencegahan VAP secara non farmakologi sudah

menjadi prosedur baku di ICU namun angka kejadian VAP masih cukup

tinggi, sehingga masih perlu ditambahkan pencegahan VAP secara


farmakologi. Pencegahan VAP secara farmakologi terbukti mampu

menurunkan kejadian VAP bila dibandingkan dengan pencegahan non

farmakologi saja. Beberapa penelitian menyatakan bahwa dekolonisasi

traktus aerodigestif bisa menurunkan kejadian VAP secara bermakna.

Dekolonisasi dapat dilakukan dengan cara selective decontamination of the

digestive (SDD) atau oropharyngeal decontamination (OD). Semula

dekolonisasi dilakukan dengan menggunakan antibiotika, baik topikal

dan/atau antibiotika sistemik. Namun ternyata pemakaian antibiotika

menimbulkan suatu keadaan resistensi bakteri terhadap antibiotika,

sehingga saat ini pemakaian rutin tidak lagi dianjurkan. Dekolonisasi juga

dapat dilakukan dengan OD menggunakan antiseptik. Berdasarkan

penelitian Fourrier dkk didapatkan data bahwa terdapat pengurangan

jumlah kolonisasi bakteri gigi sebesar 37% pada pasien yang mendapatkan

OD memakai gel chlorhexidine 0,12%. Pengurangan jumlah kolonisasi ini

potensial mengurangi insiden infeksi nosokomial di UPI.19 Center for

Disease Control and Prevention (CDC) mempublikasikan bahwa

pemakaian chlorhexidine 0,12% pada perioperatif bedah jantung terbukti

dapat menurunkan risiko terjadinya VAP. Pada penelitian meta analisis

yang dilakukan oleh Chan et al, dari 11 penelitian diperoleh data bahwa

chlorhexidine mampu mengurangi insiden VAP bukan hanya pada pasien

pasca bedah jantung tapi juga pada pasien yang dirawat di ICU.

Chlorhexidine merupakan antimikroba dengan spektrum luas yang sangat

efektif untuk menghambat bakteri Gram (-), Gram (+), ragi, jamur,
protozoa, algae dan virus. Chlorhexidine berbahan dasar gelatin

terhidrolisa, mempunyai muatan positif, setelah berinteraksi dengan

permukaan sel akan menghancurkan membran sel untuk masuk ke dalam

sel. Kemudian chlorhexidine akan mempresipitasi sitoplasma sehingga

terjadi kematian sel. Chlorhexidine akan diserap oleh lapisan hidroksiapatit

permukaan gigi kemudian akan dilepaskan perlahan-lahan dalam bentuk

aktif sampai dengan 7-10 hari berikutnya. Pada penelitiannya, Greenfeld

dkk menyatakan bahwa chlorhexidine mempunyai kemampuan untuk

menghambat pembentukan biofilm, suatu mekanisme kuman untuk

menginvasi tubuh host. Hal ini didukung oleh McGee DC dan Gould MK

yang menyatakan bahwa chlorhexidine lebih efektif mencegah

pembentukan biofilm bila dibandingkan dengan povidone iodine.

Chlorhexidine kurang bersifat toksik terhadap jaringan bila dibandingkan

dengan povidone iodine dan cukup aman digunakan pada ulserasi aptosa,

hal yang sering dijumpai pada pasien sakit kritis.

d. Penurunan Curah Jantung

Penurunan curah jantung, meskipun gejala tersebut seringkali

disebabkan penggunaan obat-obat untuk intubasi, kontribusi paling

penting untuk fenomena ini adalah tidak adanya tonus simpatis dan

penurunan aliran balik vena akibat efek tekanan positif didalam dada.

Selain hipotensi, tanda dan gejala lainnya dapat meliputi kegelisahan yang

tidak jelas penyebabnya, penurunan tingkat kesadaran, penurunan haluaran


urine, denyut nadi perifer melemah, pengisian ulang kapiler lambat, pucat,

keletihan, dan nyeri dada.

e. Ketidakseimbangan Air

Pasien yang terpasang ventilasi mekanik dan mengalami

ketidakstabilan hemodinamik serta membutuhkan resusitasi cairan dalam

jumlah banyak dapat mengalami edema luas. Hypovolemia yang dirasakan

dapat merangsang pelepasan ADH (Antidiuretik Hormon) dari hipofisis

posterior. Penurunan curah jantung yang menyebabkan penurunan

haluaran urine, semakin memperburuk masalah tersebut dengan

menstimulasi respon renin angiotensin aldosterone.

f. Masalah Gastrointestinal

Komplikasi gastrointestinal akibat ventilasi mekanis meliputi

distensi (karena menelan udara), hipomotilitas dan ileus (karena imobilitas

dan penggunaan analgetik narkotik), muntah dan luka pada mukosa usus

akibat kurangnya asupan nutrisi yang normal. Luka tersebut

memungkinkan perpindahan bakteri dari usus menuju aliran darah,

sehingga meningkatkan resiko bacteremia pada pasien yang tidak mampu

makan secara enteral. Upaya mempertahankan pola BAB yang adekuat

penting untuk mencegah distensi abdomen berikut dampak yang

ditimbulkan pada pergeseran diafragma.

Mengatasi Masalah Teknis Pada Ventilator


Masalah Kemungkinan masalah Tindakan
Alarm Volume Terkait pasien :
atau tekanan  Pasien terlepas dari
 Hubungkan kembali STAT
ventilator  Auskultasi leher untuk
mendeteksi kemungkinan
kebocoran di sekutar balon
slang endotrakea (ETT)
 Kehilangan hantaran
 Tinjau kembali film dada untuk
volume tidal menentukan slang endotrakhea,
mungkin terlalu tinggi

 Periksa volume tidal yang


hilang melalui slang dada
 Penurunan pernafasan
pada pasien  Evaluasi pasien untuk
mengetahui penyebabnya, cek
frekuensi pernafasan, AGD dan
sedasi terakhir
 Penurunan komplians
 Mungkin akibat tindakan
membersihkan sekret atau
membaiknya bronkhospasme
 Terkait ventilator ;
kebocoran  Periksa semua selang untuk
melihat sambungan yang lepas,
dimulai dari pasien dan
diteruskan ke humidifier

 Periksa adanya perubahan pada


pengaturan ventilator (catatan :
jika masalah tidak diperbaiki
STAT, pasang kantung
resusitasi manual pada pasien
sampai ventilator diperbaiki).
Alarm tekanan Terkait pasien :
tinggi atau  Penurunan komplians
tekanan  Peningkatan tekanan  Lakukan penghisapan sekret
puncak dinamik  Berikan inhalasi agonis beta
 Jika terjadi mendaadak,
evaluasi untuk menentukan
letak ETT pada batang
utama bronkus
 Sedasi pasien jika ia
melawan ventilator atau
menggigit ETT
 Peningkatan tekanan
 Evaluasi AGD untuk
statis
mengetahui adanya
hipoksia, cairan untuk
mengetahui adanya
kelebihan beban, film dada
untuk mengetahui adanya
atelectasis
 Terkait ventilator  Auskultasi bunyi nafas
 Slang terlilit
 Periksa slang
 Slang terisi air
 Kosongkan air kedalam
wadah, jangan
mengalirkannya kembali
 Ketidaksingkronan kedalam humidifier
pasien-ventilator
 Periksa kembali pengaturan
sensitivitas dan aliran
puncak

 Beri sedasi/paralisis jika


diindikasikan
AGD
Abnormal Terkait pasien
Hipoksia  Sekret  Lakukan penghisapan sekret
 Peningkatan patologi  Evaluasi pasien dan film
penyakit dada
 Keseimbangan cairan  Evaluasi I:O
positif
Hipokapnia  Evaluasi AGD dan pasien
 Hipoksia
 Peningkatan  Evaluasi untuk
Hiperkapnia komplians paru kemungkinan penyapihan
 Sedasi  Tingkatkan frekuensi
 Keletihan pernapasan atau pengaturan
volume tidal
Hipoksia Terkait ventilator
 Penyimpangan FiO2  Periksa ventilator dengan
Hipokapnia penganalisa oksigen
 Pengaturan tidak tepat  Turunkan frekuensi
Hiperkapnia pernafasan V1 atau MV
 Pengaturan tidak tepat  Tingkatkan frekuensi
pernafasan V1 atau MV
Alarm Menambahkan air dingin
pemanas ke dalam humidifier
Mengubah pengaturan
Udara dingin berhembus
dalam humidifier
2.8 Pengkajian Dan Penatalaksanaan

Pasien yang membutuhkan dukungan ventilator juga memerlukan asuhan

keperawatan primer. Salah satu kontribusi utama yang bisa perawat lakukan

untuk mengurangi biaya, lama rawat dan mortalitas pada pasien yang

mengalami masalah pernapasan adalah dengan intervensi yang dapat

mencegah atau meminimalkan komplikasi.oleh karena ventilasi mekanis

sifatnya hanya mendukung (suportif) dan bukan menyembuhkan (kuratif),

focus asuhan untuk pasien yang mendapat ventilasi bersifat holistic.

Panduan perawatan kolaboratif


untuk pasien terpasang ventilasi mekanik
Hasil Intervensi
Oksigenasi / Ventilasi  Auskultasi bunyi napas setiap 2-4 jam
 Jalan nafas tetap paten. atau setiap shift
 Auskultasi paru bersih  Lakukan pepngisapan sesuai kebutuhan
 Pasien tidak pada kasus ronkhi, batuk, atau desaturasi
menunjukkan tanda-tanda oksigen
atelectasis  Beri hiperoksigenasi dan hiperventilasi
 Tekanan puncak, rata- setiap sebelum dan sesudah tindakan
rata, dan plateu berada pengisapan
dalam batas normal  Pantau tekanan jalan napas setiap 1-2
 Nilai AGD dalam batas jam
normal  Pantau tekanan jalan napas setelah
pengisapan
 Beri bronkhodiator dan mukolitik sesuai
intruksi
 Lakukan fisioterapi dada jika ada
indikasi melalui pemeriksaan klinis atau
sinar x dada
 Miringkan tubuh setiap 2 jam
 Pertimbangkan pemberian terapi kinetic
atau pengaturan posisi telungkup sesuai
indikasi scenario klinis
 Pindahkan pasien dari tempat tidur ke
kursi atau ke posisi berdiri apabila
kondisinya stabil
 Pantau oksimetri nadi dan tidal akhir CO
 Pantau AGD seperti yang ditunjukan
oleh perubahan parameter noninvasive,
status pasien atau protocol penyapihan
Sirkulasi / perfusi  Kaji efek hemodinamik pemasangan
Tekanan darah, denyut ventilator tekanan positif (misal ;
jantung, curah jantung, kemungkinan penurunan aliran balik
tekanan vena pusat (CVP), vena dan curah jantung)
dan tekanan arteri  Pantau elektrokardiogram (EKG) untuk
pulmonalis tetap stabil pada melihat adanya disritmia akibat
ventilasi mekanis hipoksemia
 Kaji efek perubahan pengaturan
ventilator (tekanan inspirasi, volume
tidal, tekanan ekspirasi akhir positif /
PEEP, dan fraksi oksigen inspirasi /
FiO2 pada parameter hemodinamik dan
oksigenasi
 Berikan volume intravaskuler sesuai
intruksi untuk mempertahankan preload.
cairan / Elektrolit  Pantau status hidrasi terkait dengan
pengukuran I:O seimbang pemeriksaan klinis, auskultasi, jumlah
nilai elektrolit dalam batas dan viskositas sekret paru
normal  Kaji berat badan pasien, total I:O, berat
jenis urine, atau osmolalitas serum untuk
mengevaluasi keseimbangan cairan
 Beri pengganti elektrolit IV atau enteral
per intruksi dokter
Mobilitas  Kolaborasi dengan dokter/taf ahli terapi
Pasien akan okupasi untuk mendorong
mempertahankan / mencapai upaya/partisipasi pasien guna
status fungsional dasar meningkatkan mobilitas
terkait mobilitas dan  Tingkatkan aktivitas hingga duduk
perawatan diri dikursi, berdiri di samping temapat tidur,
Rentang gerak sendi berpindah dengan bantuan sesegera
dipertahankan mungkin
 Bantu pasien dalam melakukan latihan
rentang gerak sendi untuk seluruh
ekstremitas, setidaknya setiap pergantian
jam kerja
 Letakkan ekstremitas dalam posisi
fisiologis yang netral dengan
menggunakan bantal atau peralatan
bidai/penyokong yang tepat sesuai
indikasi
Keselamatan  Stabilkan posisi slang endotrakhea ;
 Slang endotrakhea tetap gunakan ahli terapi pernafasan untuk
pada posisi yang benar metode terbaik
 Inflasi balon slang  Perhatikan dan catat garis cm pada
endotrakea tetap sesuai posisi slang endotrakea di bibir atau gigi
 Sistem alarm ventilator  Gunakan alat pelindung diri untuk
tetap aktif pasien atau sedasi sesuai protocol rumah
sakit
 Evaluasi posisi slang endotrakhea
dengan sinar x dada (dengan melihat
film atau melalui laporan)
 Pastikan perlengkapan jalan napas
darurat dan kantung resusitasi manual
telah siap sedia, dan diperiksa setiap
pergantian jam kerja
 Kembangkan balon dengan
menggunakan teknik yang
meminimalkan kebocoran, atau tekanan
kurang dari 24 mmHg denngan
menggunakan manometer
 Pantau inflasi/kebocoran balon setiap
pergantian kerja atau shift
 Lindungi balon pilot dari kerusakan
 Lakukan pengaturan ventilator dan
pengecekan alarm setiap 4 jam
(minimal) atau menurut protocol rumah
sakit
Integritas Kulit  Kaji dan catat integritas kulit sedikitnya
Pasien tidak menunjukan setiap pergantian shift
tanda-tanda kerusakan kulit  Miringkan tubuh pasien setiap 2 jam :
kaji kembali area tulang yang menonjol
untuk melihat tanda-tanda cedera akibat
tekanan
 Ketika pasien bangun dari tempat tidur
ke kursi, beri pereda tekanan di
permukaan duduk sedikitnya satu jam
sekali
 Lepaskan alat perlindungan diri dari
pergelangan tangan, dan pantau kulit
berdasarkan kebijakan rumah sakit
Nutrisi  Konsultasi dengan dokter gizi untuk
Asupan nutrisi memenuhi pengkajian dan rekomendasi kebutuhan
perhitungan kebutuhan metabolic
metabolic  Berikan dukungan nutrisi dini melalui
Pola BAB pasien teratur pemberian makan enteral atau parenteral
dimulai 48 jam intubasi
 Pantau pemberian nutrisi harian yang
sesungguhnya dengan perhitungan I:O
 Timbang berat badan setiap hari
 Berikan obat-obatan untuk penanganan
usus, bersama dengan hidrasi yang
adekuat
Kenyamanan / kontrol  Dokumentasikan pengkajian nyeri
nyeri dengan menggunakan urutan nyeri
Pasien akan menunjukan / numeric atau skala serupa apabila
memperlihatkan memungkinkan
berkurangnya  Berikan analgesia jika tepat, catat
ketidaknyamanan / nyeri keefektifan obat setiap sesudah
pada saat menggunakan pemberian dosis
ventilasi mekanis  Cegah pasien menarik dan merusak
slang ventilator dan slang endotracheal
atau trakeostomi
 Berikan perawatan mulut yang seksama
setiap 1-4 jam
 Beri sedasi sesuai indikasi
Psikososial  Dorong pasien untuk bangun dari tempat
 Pasien berpartisipasi tidur dan berupaya memenuhi kebutuhan
dalam perawatan diri dan rasa nyaman/hygiene dasarnya secara
pengambilan keputusan mandiri
yang terkait dengan  Buat jadwal harian untuk mandi, bangun
aktivitas harian pasien tidur, pengobatan dan sebagainya
(misal membalikan dengan masukan dari pasien
badan, mandi )  Sediakan sarana untuk pasien menulis
 Pasien berkomunikasi catatan dan gunakan perangkat visual
dengan penyedia layanan untuk komunikasi
kesehatan dari  Dorong pengunjung untuk
pengunjung berkomunikasi dengan pasien
menggunakan nada suara dan topik
percakapan yang normal
 Ajarkan pengunjung untuk membantu
latihan rentang gerak sendi dan kativitas
perawatan lain yang sederhana untuk
memfasilitasi pola interaksi yang normal
Penyuluhan / Rencana  Beri penjelasan kepada pasien / orang
Pemulangan terdekat pasien tentang : rasional
Pasien mau bekerjasama dan penggunaan ventilasi mekanis
menunjukan pemahaman  Prosedur seperti pengisapan ; perawatan
mengenai kebutuhan akan jalan napas dan paru lainnya
ventilasi mekanis  Rencana dan tindak lanjut perawatan
Pengkajian potensi hingga penyapihan dan ekstubasi
kebutuhan pemulangan  Lakukan kerja social dini untuk
menyaring kebutuhan, sumber-sumber,
dan sistem dukungan yang ada

2.9 Perawatan slang endotrakea

Untuk mencegah pergerakan slang, perpindahan slang, atau ekstubasi tidak

disengaja, slang endotrakea harus di fiksasi dengan kuat. Praktik yang biasa

dilakukan adalah dengan memplester kembali slang endotrakea setiap 1-2 hari

atau jika kotor dan longgar. Pada pasien yang terpasang intubasi oral, posisi

slang endotrakea harus diubah dari sisi ke sisi untuk memudahkan perawatan

mulut dan mencegah nekrosis tekan disejumlah area.

Inspeksi oral dan hygiene oral sangat penting pada saat menggunakan

OPA/Guedel. Batuk yang terus menerus mungkin menunjukkan bahwa slang

endotrakea telah berpindah dan menyentuh karina sehingga slang perlu ditarik

ke level yang tepat. Pilot cuff balon atau balon manset terlindung dari

gangguan yang tidak disengaja ; rupture balon atau oklusi slang disertai

sumbatan mucus biasanya membutuhkan tindakan intubasi ulang. Jika pasien

menjalani ekstubasi dini karena alasan tertentu, jalan nafas harus dijaga tetap

paten. Oksigenasi dan ventilasi dapat diberikan melalui ambu bag atau

sungkup oksigen sampai intubasi ulang dapat dilakukan.

2.10 Evidence based practice

a. Dukungan Nutrisi

Otot pernafasan, seperti halnya otot tubuh yang lain memerlukan

energy untuk bekerja. Jika kebutuhan energy tidak terpenuhi, akan terjadi

keletihan otot yang dapat menyebabkan koordinasi otot pernafasan dan


penurunan volume tidal. Hipomagnesemia dan hipofosfatemia dapat

terjadi pada kondisi keletihan otot akibat penurunan kadar adenosine

trifosfat (ATP). Kebutuhan metabolic pada pasien kritis jauh lebih tinggi

daripada individu normal. Kebutuhan dasar biasanya meningkat 25%

untuk aktivitas rumah sakit dan stress akibat pengobatan. Nutrisi yang

adekuat merupakan syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan

penyapihan dari ventilasi mekanis, dukungan nutrisi harus diberikan sejak

dini. Jika saluran pencernaan baik dan utuh, pemberian nutrisi enteral

dapat diberikan melalui slang makan.

Pada pasien kritis yang dirawat di ICU sering menerima nutrisi

yang tidak adekuat akibat kesalahan dalam memprediksi kebutuhan nutrisi

pasien dan juga keterlambatan dalam memulai pemberian nutrisi (Barret et

al, 2009). Penelitian yang dilakukan Setijanto (2006) mengatakan bahwa

angka malnutrisi di ICU mencapai 40% dari jumlah pasien. Malnutrisi

mencakup kelainan yang disebabkan oleh defisiensi asupan nutrisi,

gangguan metabolic nutrisi atau kelebihan nutrisi. Malnutrisi merupakan

salah satu faktor penyebab ketergantungan pasien dengan ventilator,

sehingga menyebabkan lama hari rawat dan peningkatan biaya perawatan

(Bonger, 2008).

Pemberian makan melalui slang untuk pertama kali dimulai secara

perlahan, disertai pemantauan ketat kadar glukosa darah. Perawat

mengobservasi adanya tanda-tanda intoleransi pada pasien, seperti diare

dan dehidrasi hyperosmolar. Jika pasien mampu mentoleransi pemberian


makan, frekuensinya ditingkatkan sampai frekuensi yang diinginkan

tercapai. Jika pemberian makan melalui slang tidak dapat ditoleransi,

perawat perlu mempertimbangkan pemberian hiperalimentasi parenteral.

Pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis jangka panjang biasanya

membutuhkan 2000-2500 kalori per hari. Beban kalori yang terlampau

besar akan meningkatkan produksi karbondioksida dan dapat mencetuskan

gagal nafas pada pasien yang mengalami gangguan pernapasan.

Pemberian nutrisi dapat dilakukan secara enteral dan parenteral.

Menurut Ziegler (2009) bahwa pemberian nutrisi secara enteral lebih

dianjurkan daripada parenteral karena proses penyerapan di usus lebih

baik, resiko infeksi dan insiden komplikasi metabolic lebih rendah.

Banyak keuntungan yang didapat dari pemberian nutrisi enteral tapi

bukannya tidak ada resiko, ketidaktepatan dalam pemberian nutrisi enteral

bisa mengakibatkan terjadi komplikasi seperti retensi lambung,

peningkatan GRV, aspirasi pneumonal, mual, muntah dan diare.

Komplikasi tersebut dapat dikarenakan penundaan pengosongan lambung

serta posisi pasien selama pemberian nutrisi, peningkatan kecepatan,

volume dan konsentrasi nutrisi yang diberikan (Menerez, Hiitor and Paulo,

2012).

Pemberian nutrisi secara enteral dapat meningkatkan risiko

terjadinya Gastric Residual Volume (GRV) ketika terjadi disfungsi saluran

cerna. GRV merupakan parameter disfungsi dari GI selama pemberian

nutrisi enteral tahap awal pada pasien kritis. Metode pemberian nutrisi
enteral yang biasa yaitu bolus feeding dan intermitten feeding. Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Metheny et al (2012) tentang pemberian

nutrisi dengan metode bolus feeding pada pasien kritis dengan waktu

pemberian yang sangat cepat dengan volume nutrisi 350 ml, pemberian

nutrisi ini boleh dilakukan pada pasien dengan kesadaran normal dan tetap

memperhatikan keadaan umum pasien, dan tidak dianjurkan pada pasien

yang mengalami batuk dan refluks muntah. Sedangkan Morton, Fontaine,

Hudak and Gallo (2011) menambahkan bahwa metode pemberian nutrisi

dengan bolus feeding dianggap metode pemberian nutrisi secara fisiologis

dengan waktu 5-10 menit, akan tetapi dapat meninggalkan residu padat.

Selain itu pemberian secara bolus dengan kecepatan dan jumlah nutrisi

yang diberikan akan sulit ditoleransi, terutama dibagian usus halus,

sehingga beresiko terjadinya refluks dan akibatnya aspirasi paru ataupun

aspirasi pneumonia. Hal ini dihubungkan dengan kapasitas lambung dan

volume residu lambung yang banyak, karena lambatnya pengosongan

lambung dihambat oleh isi yang penuh dan reaksi asam pada awal usus

halus (Cliff et al, 2008).

Issue terkini terkait metode pemberian nutrisi yang

direkomendasikan dapat meminimalkan residu lambung adalah

intermittent feeding dibanding dengan metoda bolus feeding. Pada metode

ini dapat memaksimalkan motilitas lambung sehingga pengosongan

lambung akan lebih cepat, sehingga memungkinkan waktu flat-in-bed.

Nutrisi diberikan secara bertahap sehingga lambung tidak terisi penuh dan
pengosongan lambung akan lebih cepat, meminimalkan GRV sehingga

mengurangi risiko terjadinya aspirasi (Cliff et al, 2008).

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Chen, Tseng,

Gau, Kuo and Chen (2006) bahwa pemberian intermittent feeding pada 56

responden selama 7 hari dengan pemberian volume yang cukup banyak,

didapatkan pengosongan lambung yang baik dan menurunkan risiko

terjadinya aspirasi. Kenny and Goodman (2010) juga menambahkan

bahwa metode intermittent feeding juga bisa menurunkan kejadian aspirasi

pada pasien yang berisiko mengalami peningkatan GRV. Hasil penelitian

Munawaroh, Handoyo dan Diah (2010) juga mendukung bahwa

pernyataan diatas nilai rerata residu lambung yang dihasilkan pada metode

intermittent feeding lebih sedikit dibandingkan dengan metode bolus

feeding. Namun demikian di beberapa rumah sakit di Indonesia metoda

bolus feeding masih direkomendasikan untuk dilakukan dalam pemberian

makanan pada pasien, karena lebih murah dan mudah dalam pemberiannya

dengan waktu singkat 5-10 menit yang kecepatannya disesuaikan dengan

gravitasi (Munawaroh, 2010).

Posisi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

terjadinya GRV, Joint Commision on Accreditation of Healthcare

Organization and Center of Disease Control and Prevention (CDC)

merekomendasikan pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik

diberikan HOB elevation (30˚-45˚). Posisi HOB elevation dapat

meningkatkan oksigenasi dan dapat memaksimalkan upaya ventilasi akibat


dari penurunan tekanan abdomen pada basis paru (Richard et al, 2006

dalam Rose et al, 2010). Dengan oksigenasi yang baik, perfusi saluran

cerna akan baik. Curtis (2013) menambahkan bahwa posisi yang tepat

dalam pemberian nutrisi adalah HOB elevation 30˚-45˚, jika kurang akan

beresiko terjadinya aspirasi dan pneumonia.

Posisi HOB elevation ≥ 45˚ direkomendasikan dalm rangka

mencegah terjadinya VAP (Muscendere et al,2008 dalam Rose, Baldwin

and Crawfonrd, 2010). Selain itu HOB elevation ≥ 45˚ merupakan salah

satu langkah yang paling mudah dalm rangka pencegahan aspirasi karena

peningkatan GRV yang dapat menyebabkan terjadinya VAP. Hasil meta

analisis memberikan bukti bahwa pasien dengan ventilator mekanik tidak

boleh diberikan posisi supine, karena posisi supine merupakan salah satu

faktor yang bisa menyebabkan resiko kematian pada pasien dengan

ventilasi mekanik di ruangan ICU (Rose et al, 2010).

b. Perawatan mata

Banyak pasien ICU yang mengalami koma, kebutuhan akan sedasi

atau paralisis dari pemasangan ventilasi mekanis dan karenanya mereka

kehilangan refleks berkedip dan kemampuan untuk menutup kelopak mata

dengan sempurna. Hal ini dapat menyebabkan kekeringan dan ulserasi

pada kornea. Praktik yang berlaku saat ini antara lain instilasi obat tetes

atau salep lubrikan, menepuk-nepuk mata, memasang penutup mata, atau

memasang tabung pelembap (Cortese, Capp and McKinley, 1995). Edema


sclera umum terjadi pada pasien yang terpasang ventilasi. Meninggikan

bagian kepala tempat tidur dapat mengurangi edema sclera.

Menjadi suatu bagian penting dalam perawatan mata pada pasien

di ICU yang terintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik ataupun yang

mendapatkan terapi sedasi dan muscle relaxan. Penelitian yang dilakukan

oleh Marshall (2007) mengatakan bahwa metode perawatan mata di

beberaapa rumah sakit di ruang ICU bervariasi, perawatan mata sebaiknya

dilakukan setiap 2-4 jam dengan menggunakan air steril atau normal saline

ataupun menggunakan cairan methylcellulose. Salep mata juga cenderung

digunakan pada pasien yang terdapat cedera pada mata atau resiko cedera

mata yang dapat meningkta misalnya hasil pengkajian mata didapatkan

adanya edema pada konjungtiva mata.

Kondisi mata yang tidak menutup merupakan komplikasi utama

terjadinya iatrogenic. Intervensi yang dapat digunakan adalah dengan

menutup mata dan menjaga kelembapan kornea untuk mengurangi

kejadian komplikasi (Long, 2007). Pada pasien yang mendapatkan sedasi

harus mendapatkan perawatan mata setiap dua jam sekali dengan cara

membersihkan mata dengan larutan normal salin kemudian ditutup dengan

kasa lembab dan diberikan pelembab mata sesuai rekomendasi dokter.

Hutton and Sexton pada tahun 1972 melakukan penelitian selama

18 bulan yang menemukan 10 kasus infeksi nosocomial pada mata di ICU.

Infeksi mata paling banyak diakibatkan oleh bakteri gram negative dengan

organisme penyebabnya adalah pseudomonas aeruginosa. Standart


perawatan mata yang disarankan oleh Laight (1996) dan Mallet and Bailey

(1996) yaitu, mata harus selalu menutup untuk mengurangi resiko infeksi,

kering dan terjadinya ulcerasi kornea. Kedua mata diberikan pelembab

yang dapat mengurangi resiko kering dan infeksi, mata harus dibersihkan

untuk memberikan kenyamanan dan menghilangkan kotoran. Cairan yang

dapat digunakan untuk membersihkan mata yaitu air steril atau normal

saline (Lloyd, 1990 ; MacKinnon , 1987). Resiko infeksi silang harus

dihindari dengan cara swab yang digunakan untuk membersihkan setiap

mata harus diganti menggunakan yang baru, mencuci tangan sebelum dan

sesudah membersihkan mata.

c. Perawatan mulut (oral hygiene)

Dalam waktu 48 jam setelah pasien dilakukan perawatan di ruang

ICU terjadi perubahan flora orofaringeal dan mikroorganisme. Slang ETT

kemungkinan besar menjadi saluran untuk kolonisasi mikroorganisme

yang dapat menjadi infeksi pernafasan. Hampir semua pasien yang

diintubasi memiliki potensi pathogen dimulut, Munro et al (2006)

menemukan terjadi peningkatan plak gigi dan organisme dalam mulut dari

waktu ke waktu. Plak gigi berkorelasi dengan resiko yang lebih besar

terhadap terjadinya kejadian VAP, sehingga penilaian kondisi mulut dan

perawatan mulut pada pasien yang terintubasi dapat mencegah VAP.

Perawatan mulut harus dilakukan dengan sering pada semua pasien

yang terpasang ventilasi mekanik. Perawatan mulut tidak hanya

meningkatkan kenyamanan dan mengurangi rasa haus, tetapi juga


memelihara integritas mukosa orofaring. Mukosa yang utuh membantu

mencegah infeksi sistemik dan kolonisasi organisme yang dapat

mengakibatkan infeksi sistemik. Beberapa pedoman perawatan mulut yang

disarankan untuk pasien kritis yang terpasang ventilasi mekanis adalah

sebagai berikut :

1. Pengkajian mukosa mulut yang sistematis dilakukan setiap hari dan

setiap kali membersihkan mulut

2. Program perawatan mulut rutin dan terjadwal harus dilakukan, dengan

menggunakan produk yang dapat menghilangkan plak dan

membersihkan mulut tanpa menimbulkan nyeri atau iritasi. Obat

kumur berbahan dasar non alkohol harus digunakan, dan gigi harus

disikat sedikitnya 8 jam sekali. Sikat gigi harus memiliki bulu yang

lembut dan harus menggunakan pasta gigi. Pada pasien yang

mengalami gangguan perdarahan atau memiliki jumlah trombosit

rendah, kita dapat menggunakan toothette (sikat busa) sebagai

pengganti sikat gigi.

3. Pengisapan oral dan perawatan mulut untuk mengeluarkan sekret

subglotis harus dilakukan setiap 1-2 jam. sebagai alternative, pada

pasien yang akan dipasang ventilasi mekanis jangka panjang dapat

menggunakan slang CASS untuk mengeluarkan sekret subglotis.

Setiap perawatan mulut yang dilakukan harus termasuk pengisapan

ssubglotis untuk mencegah aspirasi.


4. Obat kumur yang digunakan harus sesuai dengan kondisi pasien, dan

tidak boleh menimbulkan nyeri akibat zat penambah aroma, alkohol,

atau penguat. Penggunaan larutan berkekuatan setengah yang

diencerkan dengan air dapat membantu pasien menoleransi perawatan

mulut yang lebih sering.

Beberapa jenis antiseptik telah dipakai namun angka VAP masih tetap

tinggi, sampai akhirnya DeRiso (1996) menyatakan dalam penelitiannya

bahwa chlorhexidine yang digunakan dalam dekontaminasi orofaring

dapat menurunkan kejadian infeksi nosokomial saluran napas di ICU

sampai dengan 69%. Kemudian diikuti oleh Fourrier yang menyatakan

bahwa chlorhexidine dapat menurunkan kolonisasi kuman penyebab VAP

sebesar 53%. Dengan menurunnya kolonisasi kuman di orofaring,

diharapkan bahwa insiden VAP juga menurun.

Tinjauan pustaka yang dilakukan oleh Halm and Armola (2009)

menyatakan bahwa dengan menyikat gigi dapat mengurangi pembentukan

plak gigi, dan perawatan mulut dengan menggunakan chlorexidine dapat

menurunkan bakteri yang berkolonisasi di orofaringeal yang merupakan

resiko terjadinya VAP. Sebuah studi terbaru melaporkan bahwa glutamin

merupakan asam amino esensial yang penting untuk pengaturan sintesis

protein, sebagai energy pada proses pernafasan dan shuttling nitrogen

(Erdem et al, 2002 ; Sarumathy et al, 2012). Ketika glutamin diberikan

secara topical pada pasien yang mengalami stomatoxic kemoterapi,

mocolitis pada mulut sedang dan berat, mengalami penurunan insiden


sebesar 20% (Peterson, 2003). Namun demikian penggunaan Cholrexidine

untuk perawatan mulut harus di barengi dengan menyikat gigi untuk

mendapatkan hasil yang maksimal pada perawatan oral hygiene.

d. Suctioning

Penangan pada obstruksi jalan napas yang diakibatkan karena

akumulasi sekresi pada endotrakeal tube, yaitu dengan melakukan

tindakan penghisapan lendir atau sekret (suction) yaitu dengan cara

memasukan slang kateter suction melalui enotrakeal tube/hidung dan

mulut. Tindakan ini dapat membebaskan jalan napas, mengurangi retensi

sputum dan mencegah infeksi paru. Pada pasien yang terpasang ETT dapat

memiliki respon yang kurang baik untuk mengeluarkan benda asing,

sehingga sangat diperlukan tindakan penghisapan lendir (Nurachman dan

Sudarsono, 2000).

Menurut Wiyoto (2010), jika tindakan suction tidak dilakukan pada

pasien dengan gangguan bersihan jalan nafas dapat berakibat pada pasien

tersebut akan mengalami kekurangan suplai O2(hipoksemia), dan apabila

suplai O2 tidak terpenuhi dalam waktu 4 menit maka dapat menyebabkan

kerusakan otak yang permanen. Salah satu cara yang cukup mudah untuk

mengetahui hipoksemia adalah dengan pemantauan kadar saturasi oksigen

(SpO2) yang dapat mengukur seberapa banyak prosentase O2 yang

mampu dibawa oleh hemoglobin. Pemantauan kadar saturasi oksigen

adalah dengan menggunakan alat oksimetri nadi (pulse oxymetri). Dengan

pemantauan kadar saturasi oksigen yang benar dan tepat saat pelaksanaan
tindakan penghisapan lendir, maka kasus hipoksemia yang dapat

menyebabkan gagal nafas hingga mengancam nyawa bahkan berujung

pada kematian bisa dicegah lebih dini.

Salah satu faktor yang dapat mengakibatkan kejadian VAP pada

pasien yang terintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik adalah

prosedur penghisapan lendir atau endotracheal suction (Topeli, Harmanci,

Cetinkaya, Akdeniz and Unal, 2003). Beberapa penelitian memiliki hasil

yang berbeda pada efek dari sistem suction endotracheal (open and closed

suction). Pada tiga studi mengenai perkembangan VAP bahwa tidak ada

perbedaan antara open and closed suction endotrakeal, namun penelitian

yang dilakukan oleh Combes et al (2000) menemukan bahwa closed

suction dapat menurunkan kejadian VAP hal tersebut didukung penelitian

dengan analisis multivariate yang dilakukan oleh Zeitoun et al (2003).

Closed suction juga telah menunjukan bahwa jika dihubungkan

dengan kondisi hemodinamik pada saat tindakan suction, pada closed

suction kondisi hemodinamik lebih stabil begitupun dengan oksigenasi

jika dibandingkan dengan open suction endotracheal. Penggunaan closed

suction juga dapat mengurangi kontaminasi dari lingkungan, sehingga

penggunaan closed suction menjadi pertimbangan (Cobley, Atkins and

Jones, 1991).

Penelitian yang dilakukan Ricard et al (2011), menunjukan bahwa

suction secara closed suction signifikan mengurangi kontaminasi dari

sarung tangan yang digunakan petugas kesehatan dan peralatan saluran


nafas selama tindakan suction. Perawatan pernapasan adalah perawatan

yang sering dilakukan oleh perawat yang terkait dengan resiko tinggi

kontaminasi. Hal ini menjadi penting, karena kontaminasi silang

merupakan rute utama terjadinya infeksi nosocomial di ICU. Berdasarkan

hasil penelitian, mengurangi kejadian infeksi silang dengan closed suction

pada saat melakukan tindakan suction pada tangan perawat atau petugas

kesehatan lain harus dianggap sebagai bagian penting dari pencegahan

infeksi nosocomial.

2.11 Penyapihan dari ventilasi mekanik

Segera setelah pasien terpasang ventilasi mekanis, rencan dimulai

dengan menyapih pasien dari alat bantu mekanis. Proses untuk mencapai

target tersebut meliputi upaya memperbaiki penyebab gagal napas,

mencegah komplikasi dan mengembalikan atau mempertahankan status

fungsi fisiologis atau psikologis. Penelitian yang dilakukan oleh Burns et

al (1994) mengatakan bahwa pasien dapat dikategorikan kedalam kedua

kelompok, pertama kelompok yang memerlukan ventilasi jangka pendek

(≤ 3 hari) dan kelompok yang memerlukan ventilasi jangka panjang (> 3

hari).

Penting untuk mengevaluasi pasien setiap hari dalam menilai

kesiapan mereka menjalani penyapihan. Beberapa faktor dalam

mempertimbangkan proses penyapihan diantaranya faktor pernafasan

seperti kekuatan dan daya tahan otot (misal tekanan inspirasi negative

/NIP, tekanan ekspirasi positif / PEP, indeks penyapihan, atau rasio


frekuensi pernafasan terhadap volume tidal). Selebihnya adalah gangguan

indeks yang mempertimbangkan pada rentang faktor fisiologis yang luas

yang mempengaruhi kesiapan pasien menjalani penyapihan ; indeks ini

tidak hanya predictor, tetapi juga instrument untuk membantu

mengidentifikasi dan memperbaiki proses penyapihan (Burns, 1994).

Performa diafragma dan juga otot bantu pernafasan, bergantung

pada daya tahan dan kekuatan otot. Keefektifan kontraksi merupakan

fungsi dari panjang serabut otot saat istirahat dan kekuatan serabut otot

saat berkontraksi. Kedua faktor tersebut dipengaruhi oleh perubahan

fisiologis yang mengubah posisi diafragma saat istirahat. Pada kasus

PPOK, panjang serabut otot saat istirahat memendek (melemahkan

kekuatan kontraksi), dan pada kasus distensi diafragma, asites, atau

obesitas yang tidak sehat, diafragma harus mendorong isi abdomen ke

bawah saat berkontraksi. Penyakit jalan nafas reaktif meningkatkan

resistensi terhadap aliran udara, yang disertai peningkatan beban kerja

untuk otot-otot pernapasan. Setiap bentuk abnormalitas diatas dapat

menyebabkan keletihan yang signifikan pada otot-otot tersebut serta

mengakibatkan gawat napas (Blair, 2002).

Keletihan pada otot pernapasan menghambat proses penyapihan.

Dibutuhkan sekitar 25 jam istirahat komplet (ventilator mekanis

menjalankan semua kerja pernapasan pasien) untuk memulihkan otot-otot

pernapasan yang mengalami keletihan. Oleh karena itu dukungan ventilasi

mekanis sering kali ditingkatkan pada malam hari untuk menjamin


istirahat. Upaya ini dapat dilakukan dengan salah satu metode istirahat

selama frekuensi pernapasan pasien kurang dari 20 pernapasan/menit.

Tujuannya adalah untuk meningkatkan dan menstimulasi penurunan

normal frekuensi dan kerja pernapasan yang terjadi selama setiap siklus

tidur/istirahat.

Uji coba penyapihan dihentikan apabila timbul tanda-tanda

keletihan atau gawat napas. Penggunaan sedative dan narkotik selama

penyapihan harus dibatasi hanya pada level medikasi yang benar-benar

dibutuhkan untuk mengontrol nyeri atau ansietas.

a. Penyapihan ventilasi jangka pendek

Pasien yang biasanya mendapat intubasi jangka pendek adalah

mereka yang terpsang intubasi untuk prosedur bedah, untuk kasus

eksaserbasi akut penyakit paru utama yang tidak dapat pulih dengan

mudah, dan untuk memberi perlindungan jalan napas selama peristiwa

neurologis akut (misal overdosis obat). Penyapihan jangka pendek

lebih disukai karena perubahan fisiologis yang ditimbulkan oleh

ventilasi mekanik dimulai dalam 72 jam.

Kriteria yang kerap digunakan untuk memprediksi keberhasilan

penyapihan jangka pendek antara lain tekanan isnpiratori negative

tidak lebih dari -20 cmH2O (lebih negative, misal -30 cmH2O),

tekanan ekspiratori positif sedikitnya +30 cmH2O (lebih positif,

misalnya +45cmH2O) dan volume per menit spontan kurang dari 12


L/menit. Tekanan isnpiratori dan ekspiratori menjadi indikasi untuk

kekuatan otot pernapasan.

1. Kriteria penyapihan

 Hemodinamika stanil, resusitasi adekuat, dan tidak

membutuhkan dukungan vasoaktif

 SaO2 > 92% pada FiO2 < 40%, tekanan ekspirasi-akhir positif

(PEEP) < 5 cmH2O

 Pemeriksaan sinar x dada ditinjau kembali untuk menemukan

faktor yang dapat diperbaiki, ditangani sesuai indikasi

 Indikator metabolic (PH serum, elektrolit utama) dalam rentang

normal

 Hematokrit >25%

 Suhu inti >36˚C dan < 39 ˚C

 Penatalaksanaan nyeri/ansietas/agitasi yang adekuat

 Tidak ada blockade neuromuscular sisa

 Gas darah arteri normal atau nilai dasar pasien

2. Intervensi penyapihan

 Mengurangi laju ventilator, kemudian mengubahnya menjadi

PSV (pressure support ventilation) saja.

 Menyapih PSV sesuai toleransi hingga ≤ 10 cmH2O

 Jika pasien memenuhi kriteria toleransi selama sedikitnya 2

jam pada tingkat bantuan ini dan memenuhi kriteria ekstubasi


 Jika pasien tidak memenuhi kriteria toleransi, tingkatkan PSV

atau tingkatkan laju ventilator sesuai kebutuhan untuk

mencapai pengaturan istirahat (frekuensi pernapasan konsisten

< 20 pernapasan per menit) dan tinjau kembali kriteria

penyapihan untuk menentukan faktor yang dapat diperbaiki.

 Ulangi upaya penyapihan pada PSV 10 cm setelah periode

istirahat (minimum 2 jam). Jika pasien gagal melewati uji coba

penyapihan kedua, kembali ke pengaturan istirahat dan

gunakan pendekatan penyapihan ventilasi jangka panjang.

3. Kriteria toleransi

Jika pasien menunjukan salah satu tanda berikut, uji coba

penyapihan harus dihentikan dan pasien harus kembali ke

pengaturan istirahat

 Frekuensi pernapasan lebih dari 35 pernapasan per menit

 SaO2 < 90%

 Volume tidal ≤ 5 ml/kg

 Ventilasi menit stabil > 200 ml/kg/menit

 Tanda-tanda gawat napas atau hemodinamik (pola pernapasan

berat, peningkatan ansietas, diaphoresis, atau keduanya,

frekuensi pernapasan > 20% lebih tinggi atau lebih rendah dari

nilai dasar, tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau < 90

mmHg.

4. Kriteria ekstubasi
 Status mental : waspada dan mampu berespons terhadap

perintah

 Batuk dan refleks muntah baik, mampu melindungi jalan napas

dan membersihkan sekret

 Mampu mengalirkan udara di sekitar slang endotrakea saat

balon kempis dan ujung slang disumbat

b. Penyapihan jangka panjang

Semakin lama pasien membutuhkan ventilasi mekanis, semakin

besar kemungkinan terjadinya trauma karena volume-tekanan, yang

meliputi faktor alveolus multiple dan kebocoran membrane alveolus-

kapiler (Burns, 1998). Pasien yang gagal melewati proses penyapihan

kerap memperlihatkan pola pernapasan cepat dan dangkal yang

konsisten dengan kelemahan otot pernapasan mereka.

Pasien yang terpasang ventilasi mekanik selama lebih dari 72 jam

atau mereka yang gagal melewati penyapihan jangka pendek kerap

menunjukan dekondisi (penurunan kondisi) yang signifikan akibat

penyakit kompleks kronis atau akut, atau keduanya. Pasien tersebut

biasanya membutuhkan periode latihan fisik untuk otot-otot pernafasan

guna memperoleh kembali kekuatan dan daya tahan yang dibutuhkan

agar berhasil kembali ke pola pernapasan spontan. Target untuk proses

tersebut adalah :
 Membantu pasien menoleransi 2 sampai 3 uji coba penyapihan

reduksi setiap hari pada bantuan ventilator tanpa menguras tenaga

pasien hingga titik kelelahan

 Memberi periode istirahat bagi pasien di sela-sela uji coba

penyapihan dan dimalam hari pada pengaturan ventilator yang

membantu mengistirahatkan diafragma, dengan kerja pernapasan

minimal atau nihil bagi pasien.

1. Kriteria kesiapan

 Sama seperti ventilasi jangka pendek, dengan menekankan

pada stabilitas hemodinamik, analgesia/sedasi yang adekuat

(catat skor pada lembar alir) dan menormalkan status volume.

2. Intervensi penyapihan

 Beralih ke model PSV (Pressure Support Ventilation),

sesuaikan tingkat dukungan untuk mempertahankan frekuensi

pernapasan pasien kurang dari 35 pernapasan per menit

 Amati adanya tanda-tanda awal kegagalan selama 30 menit

(kriteria toleransi) sama seperti ventilasi jangka pendek

 Jika mampu ditoleransi, lanjutkan uji coba selama 2 jam,

kemudian kembalikan pasien ke pengaturan istirahat dengan

menambahkan pernapasan ventilator atau meningkatkan PSV

guna mencapai frekuensi pernapasan total kurang dari 20

pernapasan per menit.


 Setelah beristirahat sedikitnya 2 jam, ulangi uji coba selama 2-

4 jam pada tingkat PSV yang sama seperti uji coba

sebelumnya. Jika pasien melampaui kriteria toleransi hentikan

uji coba dan kembali ke pengaturan istirahat pada kasus ini, uji

coba selanjutnya harus dilakukan pada tingkat dukungan yang

lebih tinggi dibandingkan uji coba yang gagal

 Catat hasil untuk setiap epidsode penyapihan, termasuk

parameter spesifik dan perkiraan waktu jika kegagalan teramati

pada bagian alir di tempat tidur.

 Target tindakan adalah untuk meningkatkan lama uji coba dan

mengurangi tingkat PSV yang dibutuhkan pada penambahan

dasar. Pada setiap uji coba yang berhasil, tingkat PSV dapat

berkurang sebanyak 2-4 cmH2O, interval waktu dapat

ditingkatkan satu sampai dua jam, atau keduanya, sementara

kita mempertahankan pasien dalam parameter toleransi. Tempo

penyapihan bergantung pada pasien dan toleransi dapat

bervariasi dari hari ke hari. Tinjau kembali kriteria kesiapan

untuk menemukan faktor-faktor yang dapat diperbaiki setiap

hari dan setiap kali pasien gagal melewati uji coba penyapihan.

 Pastikan ventilasi noktular pada posisi istirahat (dengan

frekuensi napas < 20 kali per menit) minimal 6 jam setiap

malam hingga percobaan penyapihan pasien menunjukan

kesiapan untuk penghentian dukungan ventilator.


3. Penghentian ventilasi mekanik

Pasien harus menjalni penyapihan sampai pengaturan ventilator

menunjukan FiO2 ≤ 40%, PSV ≤ 10 cmH2O dan tekanan ekspirasi

akhir positif (positive end expiratory pressure, PEEP) ≤ 8 cmH2O.

setelah pengaturan tersebut dapat ditoleransi dengan baik, pasien

harus mendapat ventilasi dengan tekanan jalan napas positif

kontinu (continuous positive airway pressure, CPAP) 5 cmH2O

atau (jika terpasang trakeostomi) pasien harus dipasang kerah

trakeostomi. Jika pasien memenuhi kriteria toleransi selama 5

menit pertama, uji coba harus dilanjutkan selama 1-2 jam. jika

observasi klinis dan analisis gas darah (AGD) menunjukan bahwa

pasien mempertahankan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat

dengan bantuan yang minimal tersebut, langkah pilihan berikut

perlu dipertimbangkan :

 Jika pasien memenuhi kriteria ekstubasi, langkah ini harus

diupayakan

 Jika pasien terpasang kerah trakeostomi, uji coba harus

dilanjutkan 2 sampai 3 kali sehari. Pada titik ini, pasien

mungkin siap untuk terus menggunakan kerah trakeostomi

selama lebih dari 25 jam kecuali kriteria toleransi dilewati

 Penyapihan ventilator dianggap berhasil setelah pasien

mencapai ventilasi spontan (diekstubasi atau terpasang kerah

trakeostomi) selama sedikitnya 25 jam.


2.12 Metode untuk penyapihan ventilator

Beberapa metode penyapihan yang paling sering digunakan adalah

uji coba T-piece atau CPAP dan reduksi bertahap PSV (Pressure

supported Ventilation) (Knebel, 2000). Upaya meningkatkan rencana

penyapihan dengan kontinuitas terbukti memberi hasil positif (Burns,

Dempsey and Leong, 2000).

a. Uji coba T-piece

T-piece dihubungkan ke pasien pada tingkat FiO2 yang diinginkan

(biasanya sedikit lebih tinggi dari pengaturan ventilator sebelumnya).

Respon dan toleransi pasien terhadap uji coba tersebut harus dipantau

secara kontinu. Durasi untuk uji coba T-piece tidak distandardisasi,

dan beberapa dokter melakukan ekstubasi jika uji coba awal selama 30

menit berakhir dengan nilai AGD dan respons pasien yang dapat

diterima. Dapat dilakukan uji coba dengan meningkatkan frekuensi

dan durasi guna mengevaluasi dan membangun daya tahan pasien

dengan periode istirahat pada ventilator di sela-sela uji coba. Bila

menggunakan metode yang terakhir, pasien biasanya dianggap siap

untuk diekstubasi setelah terpasang T-piece selama 25 jam berturut-

turut.

b. Metode Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation (SIMV)

Penyapihan dengan metode ini memerlukan pengurangan jumlah

pernapasan yang dihantarkan secara bertahap sampai frekuensi yang

rendah dicapai (biasanya 4 pernapasan per menit). pasien kemudian di


ekstubasi jika semua kriteria penyapihan telah dipenuhi. Meski

demikian, level SIMV yang rendah (kurang dari 4 pernapasan per

menit) dan menyebabkan beban kerja yang tinggi dan keletihan. SIMV

ditambah PSV dapat digunakan untuk menurunkan kerja pernapasan

terkait dengan pernapasan spontan. Pengunaan metode kombinasi

dapat menyebabkan durasi penyapihan yang lama, sehingga metode

PSV tunggal kerap lebih disukai untuk uji coba penyapihan (Aloi and

Burns, 1995).

c. Metode Continous Positive Airway Pressure (CPAP)

CPAP menghasilkan pernapasan melalui sirkuit ventilator dengan

jumlah tekanan positif dalam jumlah sedikit (atau nol). Penggunaan

CPAP versus penggunaan T-piece untuk penyapihan dinilai

kontroversial. Keputusan untuk menggunakan salah satu metoda

tersebut diambil dengan mengobservasi respons pasien.

d. Metode pressure support ventilation (PSV)

Level PSV yang rendah menurunkan kerja pernapasan yang terpasang

dengan slang endotrakea dan sirkuit ventilator. Penyapihan dengan

menggunakan metode PSV menghasilkan penurunan tekanan yang

progresif yang didasarkan pada upaya pasien mempertahankan volume

tidal yang adekuat (8-12 ml/kg) dan frekuensi pernapasan yang kurang

dari 25 pernapasan per menit. PSV terkait dengan kerja pernapasan

yang lebih sedikit dibandingkan metode volume, dengan demikian uji

coba penyapihan yang lebih lama mungkin dapat ditoleransi.


2.13 Kriteria ekstubasi

Ekstubasi tidak dapat dilakukan sampai beberapa kriteria terpenuhi

berdasarkan ventilasi jangka pendek atau jangka panjang. Sebelum

ekstubasi, pasien harus mempu mempertahankan jalan napasnya sendiri,

yang ditandai dengan tingkat kesadaran yang tepat dan adanya refleks

batuk dan muntah. Pada semua pasien, namun khususnya pada pasien yang

memiliki riwayat intubasi yang sulit atau penyakit jalan nafas reaktif “uji

kebocoran balon” harus dilakukan sebelum ekstubasi. Tindakan ini

termasuk mengempiskan balon slang (setelah penghisapan orofaring) dan

penyumbatan slang endotrakea sesaat untuk menunjukkan kebocoran

udara saat pasien inspirasi. Tidak adanya kebocoran mengindikasikan

edema, dan dapat memprediksi terjadinya stridor laring pascaekstubasi.

Jika uji kebocoran tidak berhasil, pasien dapat diberikan kortikosteroid

untuk mengurangi edema selama 25-48 jam. kemudian kaji kembali

adanya kebocoran balon. Visualisasi langsung pada trakea dengan

menggunakan bronkhoskopi dapat dilakukan sebelum ekstubasi untuk

menentukan apakah edema telah membaik.

Ekstubasi tidak boleh dilakukan kecuali ada individu yang

kompeten untuk melakukan intubasi ulang darurat jika pasien tidak dapat

mentoleransi ekstubasi. Peralatan seperti ambu bag dan masker diletakkan

di sisi tempat tidur. Setelah melonggarkan ikatan atau plester slang

endotrakea, balon kemudian dikempiskan. Slang endotrakea dilepas

dengan cepat sambil meminta pasien batuk. Mulut pasien diisap dan
oksigen lembab diberikan dengan segera. Pasien kemudian di evaluasi

untuk melihat tanda-tanda awal gawat napas ; stridor, dyspnea, dan

penurunan SaO2. Penangann untuk stridor meliputi inhalasi epinefrin

rasemik dan terkadang pemberian steroid intravena (karena steroid tidak

langsung bekerja, obat tersebut diberikan sebelum ekstubasi pada individu

yang beresiko). Jika intervensi tersebut gagal, intubasi ulang mungkin

harus segera dilakukan.

2.14 Pertimbangan untuk pasien pediatric terpasang ventilasi mekanis

Perawat yang merawat pasien pediatric yang mendapat bantuan ventilator

harus melindungi keselamatan fisiologis dan stabilitas pasien sekaligus

menjamin bantuan psikososial dan emosional yang adekuat bagi anak dan

anggota keluarganya. Kebutuhan tersebut membutuhkan serangkaian prioritas

yang kompleks :

a. Pertahankan jalan nafas

 Kaji posisi slang endotrakea setiap pergantian shift, kaji kembali

adanya tanda-tanda gawat napas

 Ganti plester pada jalan napas buatan dua hari sekali, cek integritas

setiap pergantian shift.

 Lindungi anak dari tindakan ekstubasi sendiri sesuai kebutuhan dengan

menggunakan restrain ringan yang sesuai usia anak.

b. Pastikan keselarasan pasien ventilator

 Berkan dukungan dan penjelasan yan sesuai tingkat perkembangan

anak mengenai tujuan pemasangan ventilasi dan manfaat bernapas


dengan mesin

 Sesuaikan dosis sedasi dan paralitik yang diberikan untuk menekan

upaya pasien dan memungkinkan ventilasi mekanis yang maksimal

 Mulai proses penyapihan yang sistemik apabila kondisi pasien

memungkinkan

c. Penuhi kebutuhan rasa nyaman pasien

 Sesuaikan dosis analgesia yang diintruksikan dengan skala nyeri atau

parameter fisiologis

 Gunakan tindakan yang lembut untuk menenangkan, menyamankan

dan menentramkan anak serta keluarga sesuai kebutuhan

 Beri medikasi anksiolitik/amnesik per intruksi untuk membantu

mengurangi stressor fisik dan psikologis akibat pengalaman menderita

penyakit akut dan intervensi terkait.

d. Ciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak dan keluarga

 Fasilitasi komunikasi antara anggota keluarga dan tim kesehatan

 Libatkan keluarga dalam penyusunan rencana perawatan dan

intervensi aktif, jika sesuai

 Dorong dan fasilitasi orang tua serta orang terdekat lainnya untuk

mendampingi anak secara konsisten guna mempertahankan ikatan

emosional dan social anak.


BAB III

KAJIAN SITUASI

3.1 Pengkajian asuhan keperawatan pada klien dengan ventilasi mekanik di

ICU RSUD Sumedang berdasarkan pilar Clinical Governance

a. Manajemen Risiko dan Patient Safety

Data hasil pengkajian aspek manajemen resiko dan patient safety secara

umum di ICU RSUD Sumedang disajikan dalam tabel 3.6

Tabel 3.6 Data hasil kajian aspek manajemen resiko dan patient safety secara
umum di ICU RSUD Sumedang September tahun 2016
No Aspek Deskripsi Situasi
Manajemen Resiko dan patient safety
Proses/prosedur klinis a. Dari hasil kajian didapatkan tujuh pasien
terpasang ventilator (1/9/2016 – 30/9/2016)
dengan rata-rata lama hari perawatan 5-6 hari.
b. Perawatan pasien dengan menggunakan
ventilasi mekanik sudah dilakukan sesuai SPO
dan SAK
c. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan ada
beberapa poin yang kurang dilaksanakan seperti
pada saat dinas siang terkadang pasien dengan
ventilator dilakukan oral hyigine kadang tidak,
begitupun pada dinas malam.
d. Sudah terdapat standar asuhan keperawatan
pada pasien dengan ventilasi mekanik, pasien
tersebut akan mengalami tirah baring lama dan
atau terpasang ventilator dalam waktu yang
cukup lama.
e. Belum ada SPO mengenai weaning ventilator
1 Identify patients correctly a. Pasien di ruang ICU diidentifikasi
(mengenali pasien secara menggunakan gelang pasien. Gelang
tepat) bertuliskan nama pasien, tanggal lahir dan
nomor medrec. Pasien wanita diberikan gelang
identitas warna pink, pasien laki-laki
diidentifikasi dengan menggunakan gelang
identitas warna biru, pasien risiko jatuh
diberikan gelang identitas warna kuning, pasien
yang alergi diberikan gelang identitas warna
merah.
b. Sudah ada SPO mengenai menerima pasien
baru, pada ruang ICU terdapat kriteria pasien
masuk ICU yang terbagi atas tiga prioritas
c. Pasien yang memerlukan terapi intensif atau
bantuan ventilasi merupakan prioritas satu.
2 Improve effective a. Adanya SPO tentang cara menerima perintah
communication (peningkatan dan informasi via telepon, cara
komunikasi efektif) mendokumentasikan, serta perawat di ruang
ICU diberikan pelatihan cara menerima telepon
yang benar, cara memvalidasi isi pesan yang
disampaikan, dan cara mendokumentasikan isi
pesan yang disampaikan secara benar dan tepat.
b. Terdapat lembar transfer pasien yang telah diisi
sesuai kondisi terakhir pasien sebagai data
dasar pemindahan pasien dari ruangan awal ke
ruangan ICU.
c. Pada pasien yang terpasang ventilator dalam
keadaan sadar penuh komunikasi dilakukan
dengan menggunakan tulisan
d. Belum ada alat bantu khusus seperti papan
komunikasi yang dapat digunakan pasien untuk
berkomunikasi
3 Improve the safety or high a. Untuk obat high alert di ruang ICU masih
alert medications ditempatkan pada tempat yang sama dengan
(peningkatan keamanan obat obat lainnya dalam kondisi terbuka. Akan
yang perlu diwaspadai) tetapi, untuk obat high alert diberikan label
high alert.
b. Kebijakan dan atau prosedur yang diterapkan di
ruangan ICU, untuk pemakaian obat dari trolly
emergency harus dituliskan di lembar tagihan
pasien.
c. Di ruang ICU tidak ditemukan adanya obat-
obatan high alert dan jenis elektrolit di meja
pasien.
d. Sebagian besar pasien yang menggunakan
ventilasi mekanik diberikan obat-obatan sedasi
ataupun muscle relaxan, sehingga dapat
memberikan efek samping pada pasien.
e. Perawat pelaksana terkadang belum memahami
apa efek samping pemberian sedasi ataupun
muscle relaxan.
4 Ensure correct-site, correct- a. Hampir seluruh perawat di ICU sudah
patient surgery mengikuti pelatihan ICU dasar
b. Sebagian perawat dapat mengerti dan
menanggulangi jika ada perubahan pada alat
ventilator sesuai dengan advice dari dokter
spesialis anastesi
5 Reduce the risk of health a. Dari data hasil laboratorium mulai tanggal 1
care – associated infections januari 2016 – 20 oktober 2016, 20 sample
(pengurangan resiko infeksi dilakukan pemeriksaan kultur, baik kultur
terkait pelayanan kesehatan) darah, pus dan sputum. Dari 20 sample terdapat
10 sample dinyatakan positif, dan 3 merupakan
sample kultur sputum (Acinetobacter
baumannii, pseudomonas aeruginosa dan
enterobacter sp).
b. Ruang ICU menerapkan SOP mencuci tangan
yang sudah diterapkan rumah sakit (6 langkah).
c. Perawat di ruang ICU diharuskan melakukan
prosedur mencuci tangan sebelum dan setelah
kontak dengan pasien, setelah terkena
cairan/secret dari pasien. Berdasarkan hasil
pengamatan perawat melakukan cuci tangan
sesuai dengan SOP yang ditetapkan rumah
sakit.
d. Di setiap kamar pasien telah disediakan
handschoon disposable dan handschoon steril,
yang harus dikenakan bila akan melakukan
tindakan
e. Di setiap kamar sudah ada tempat sampah yang
memisahkan antara tempat sampah medis dan
non medis
f. Terdapat SPO tindakan intubasi yang
menggunakan ETT steril /single use
g. Terdapat SPO mengenai suctinoning, didalam
SPO tersebut menggunakan kateter suction
steril dan diganti setiap akan melakukan
suctioning
h. Kateter suction digunakan pada bagian
orofaring, nasofaring kemudian digunakan
untuk menghisap sekret pada mulut dan lidah
bagian bawah
i. Belum ada SPO khusus suctioning pada pasien
yang terpasang ETT
j. Hasil observasi didapatkan kateter steril
suctioning setelah digunakan untuk ETT
dibilas dengan aqua atau cairan fisiologi steril
yang kemudian digunakan untuk melakukan
suctioning oro dan nasofaringeal.
k. Beberapa Perawat belum mencantumkan label
waktu pemasangan pada semua alat invasif
yang terpasang
l. Pencatatan lama hari pemasangan alat, tanggal
pemasangan sudah dilakukan
m. Sudah dilakukan penjadwalan untuk dilakukan
oral hygiene, tetapi tindakan oral hygiene
masih menggunakan mouthwash
n. Belum ada jadwal teratur untuk melakukan
vibrasi dan perkusi dada /punggung untuk
membantu melepaskan secret dari jalan nafas
agar tidak terjadi infeksi saluran nafas bawah
selama pemasangan ventilator, serta mencegah
atelektasis
o. Dalam melakukan suctioning secret dari ETT
masih menggunakan open suction
p. Pelaporan kejadian VAP belum maksimal,
karena hasil kultur sputum baru didapatkan
seminggu semenjak dilakukan pemeriksaan.
q. Sirkuit yang digunakan masih Reuse.
6 Reduce the risk of patient a. Rumah sakit menerapkan suatu proses untuk
harm resulting from falls penilaian awal pasien untuk risiko jatuh dan
(pengurangan resiko pasien penilaian ulang pasien ketika ditunjukkan oleh
jatuh) perubahan dalam kondisi atau pengobatan, atau
yang lain. Pasien dengan risiko jatuh diberikan
gelang identitas kuning.
b. Seluruh tempat tidur di ruang ICU telah
memiliki bed plang yang masih dalam kondisi
baik

c. Pendekatan Interdisiplin dan Patient Center Care


Data hasil kajian aspek pendekatan interdisiplin dan patient catered care
secara umum disajikan dalam tabel 3.8
Tabel 3.8 Data hasil kajian aspek pendekatan interdisiplin dan patient centered
care secara umum di ICU RSUD Sumedang tahun 2016
No Aspek Deskripsi kajian
Pendekatan Interdisipliner
1 Penanganan kasus a. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara
yang memerlukan dengan kepala ruangan serta staff perawat ICU,
kerjasama tim bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini,
interdisiplin pembahasan kasus interdisiplin belum
dilakukan secara terjadwal.
b. Khusus untuk pencegahan dan penanganan
kejadian VAP di ICU, selama ini belum pernah
dijadwalkan secara khusus untuk didiskusikan
secara bersama-sama sehingga menghasilkan
kesepakatan atau kebijakan untuk mencapai
indikator keberhasilan pelayanan di ICU.
c. Jika pasien memerlukan ventilasi mekanis maka
DPJP akan mengkonsulkan pada dokter
spesialis anastesi atau KIC
Patient Centre Care
1 Patient Preferences a. Setiap akan dilakukan tindakan baik pasien
maupun keluarga pasien diberikan penjelasan
terlebih dahulu tentang prosedur yang akan
dilakukan serta keuntungan dan kerugiannya
b. semua keluarga pasien sudah diajarkan tentang
cara mencuci tangan 6 langkah oleh perawat di
ICU, namun karena keluarga selalu berganti-
ganti sehingga banyak yang tidak melakukan
tindakan cuci tangan
2 Emotional support a. Terdapat pasien yang terpasang ventilasi
mekanik dalam keadaan composmentis
b. Keluarga diperbolehkan menunggu pasien
didalam pada jam tertentu dan dengan jumlah
tertentu
c. Belum ada alat komunikasi khusus untuk pasien
yang terpasang ventilasi mekanik dalam
keadaan composmentis
d. Pasien dan keluarga dilibatkan dalam
pengambilan keputusan terkait program yang
diberikan
3 Physical comfort a. Pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik,
terkadang menggunakan kasur decubitus, karena
kemungkinan pasien memerlukan perawatan
yang lama
b. Kolaborasi dengan dokter sudah dilakukan
untuk pemberian analgetik dan muscle relaxan
c. Posisi pasien yang terpasang ventilasi mekanik
sebagian besar hanya diposisikan terlentang,
jarang dilakukan miring kiri dan miring kanan
d. Jarang dilakukan perkusi lapang dada untuk
melepas sekret, sehingga dapat menyebabkan
gangguan pertukaran gas dan resti terjadinya
VAP
Information and a. penerimaan pasien baru sudah sesuai dengan
education SPO penerimaan pasien baru di ICU
b. pasien dan keluarga diberikan informasi
mengenai hal-hal yang terkait dengan ruangan,
dokter dan perawat penanggung jawab serta
tindakan yang akan dilakukan
c. informasi terkait kondisi pasien dan
perubahannya diberitahukan setiap saat oleh
DPJP atau dokter jaga ICU
d. Saat ini belum ada dokter jaga ICU
Continuity and a. Perawat membuat discharge planning terutama
transition pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik
b. belum ada SPO tentang weaning ventilation
Coordination of care a. Terdapat form terintegrasi dan form
komunikasi, sebagai alat komunikasi
interdisiplin
Access to care a. Di ICU RSUD Sumedang terdapat 6 unit alat
ventilator mekanik canggih
b. Di ICU RSUD Sumedang belum memiliki
ventilator yang khusus digunakan untuk pasien
dengan infeksi paru (misal : TB paru)
c. Pengaturan operasional alat ventilasi mekanik di
konsulkan pada dokter spesialis anastesi
Familly and friends a. Di ICU sudah menerapkan metode family
centered care, dimana keluarga dapat menemani
pasien untuk memberikan motivasi pada pasien

d. Clinical Evidence Based


No Aspek Deskripsi Situasi
Nursing Intervention
1 Oral hygiene  Setiap perawat primer sudah membuat
jadwal tindakan oral hygiene sesuai
dengan kebutuhan pasien.
 Sudah ada SPO yang terkait dengan
oral hygiene.
 Oral hygiene dilakukan dengan
menggunakan mouthwash
 Belum ada set alat khusus untuk
tindakan oral hygiene
2 Suctioning  Pada pasien yang terpasang ventilator
sudah menggunakan tempat tidur
khusus (kasur decubitus) karena tirah
baring lama, namun belum dibuat
jadwal teratur untuk merubah posisi
tidur pasien
 Sudah dilakukan pengkajian fungsi paru
namun belum ada jadwal teratur untuk
melakukan vibrasi dan perkusi dada
/punggung untuk membantu
melepaskan secret dari jalan nafas agar
tidak terjadi infeksi saluran nafas
bawah selama pemasangan ventilator,
serta mencegah atelectasis
 Dalam melakukan suctioning secret dari
jalan nafas masih menggunakan open
suction sesuai dengan SPO
 Angka kejadian VAP tidak ada karena
tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
apusan sekret dari jalan nafas
3 Intake-Output and Balance  Terdapat beberapa pasien yang
mendapatkan terapi diuretic
 Observasi output dilakukan setiap shift
 Pengukuran output menggunakan urinal
yang sudah diberi label ukuran
sebelumnya, kemungkinan pengukuran
tersebut tidak presisi
 Belum menggunakan urine meter
4 Nutrition  Metode pemberian nutrisi enteral
dilakukan secara bolus
 Cek retensi dilakukan sebelum
pemberian nutrisi secara enteral
 Pada saat pemberian nutrisi enteral
personde belum dilakukan peninggian
posisi kepala (HOB 45˚)
 Terkadang pada pasien yang terpasang
ventilator pada saat pemberian nutrisi
secara enteral dengan metode bolus
pasien muntah
 Test feeding dilakukan dengan
dilakukan secara continuous dengan
menggunakan infus pump
5 Eye care  Berdasarkan hasil observasi pada semua
pasien yang mengalami penurunan
kesadaran belum dilakukan tindakan
perawatan mata
 Belum ada SPO perawatan mata pada
pasien dengan penurunan kesadaran dan
mendapatkan sedasi
BAB IV
ANALISA DATA BERDASARKAN PROBLEM BASED ANALISIS

No Aspek Standar Aktual Masalah


1 Oral hygiene Program perawatan mulut rutin dan terjadwal  Oral hygiene dilakukan dengan Belum optimal
harus dilakukan, dengan menggunakan menggunakan mouthwash pada tindakan
produk yang dapat menghilangkan plak dan  Belum ada set alat khusus untuk keperawatan oral
membersihkan mulut tanpa menimbulkan tindakan oral hygiene hygiene pada
nyeri atau iritasi. Obat kumur berbahan dasar  Dalam melaksanakan asuhan pasien yang
non alkohol harus digunakan, dan gigi harus keperawatan ada beberapa poin terpasang
disikat sedikitnya 8 jam sekali. Sikat gigi yang kurang dilaksanakan ventilasi mekanik
harus memiliki bulu yang lembut dan harus seperti pada saat dinas siang
menggunakan pasta gigi. Pada pasien yang terkadang pasien dengan
mengalami gangguan perdarahan atau ventilator dilakukan oral
memiliki jumlah trombosit rendah, kita dapat hyigine kadang tidak, begitupun
menggunakan toothette (sikat busa) sebagai pada dinas malam.
pengganti sikat gigi.

2 Suctioning Combes et al (2000) menemukan bahwa  Terdapat SPO mengenai Belum


closed suction dapat menurunkan kejadian suctinoning, didalam SPO optimalnya
VAP dengan mencegah dan meminimalkan tersebut menggunakan kateter prosedur
infeksi yang disebabkan dari lingkungan hal suction steril dan diganti setiap suctioning
tersebut didukung penelitian dengan analisis akan melakukan suctioning terutama pada
multivariate yang dilakukan oleh Zeitoun et al  Dalam melakukan suctioning pasien yang
(2003). secret dari jalan nafas masih terpasang
Hess, et al. Care of the ventilator circuit and menggunakan open suction ventilasi mekanik
its relation to ventilator-associated sesuai dengan SPO
pneumonia (2003), bahwa The American  Jarang dilakukan perkusi lapang
Association for respiratory care dada untuk melepas sekret,
merekomendasikan closed suctioning sehingga dapat menyebabkan
merupakan strategi untuk mencegah kejadian gangguan pertukaran gas dan
VAP. resti terjadinya VAP
 Sudah dilakukan pengkajian
Freytag, et al. (2003). Prolonged application fungsi paru namun belum ada
of closed in-line suction catheters increases jadwal teratur untuk melakukan
microbial colonization of the lower vibrasi dan perkusi dada
respiratory tract and bacterial growth on /punggung untuk membantu
catheter surface. Infection, mengatakan melepaskan secret dari jalan
bahwa dalam penelitiannya closed nafas agar tidak terjadi infeksi
endotracheal suctioning catheters dapat saluran nafas bawah selama
digunakan maksimal satu minggu, meskipun pemasangan ventilator, serta
pada penggunaan jangka panjang terdapat mencegah atelectasis
peningkatan jumlah kolonisasi tetapi tidak  Belum ada SPO khusus
meningkatkan kejadian VAP, penggunaan suctioning pada pasien yang
kateter suction ini juga dianggap aman dan terpasang ETT
cost effectiveness

Pada penelitian yang berkaitan dengan End-


Expiratory Lung Volume, penggunaan open
suction mengharuskan disconnecting ETT dari
ventilator sehingga secara signifikan dapat
terjadi hilangnya volume paru sedangkan
dengan menggunakan closed suction dapat
meminimalisasi kejadian tersebut, Cereda et
al (2001) dan Choong et al (2003).
3 Nutrition Kenny and Goodman (2010), metode  Metode pemberian nutrisi Prosedur
intermittent feeding dapat menurunkan enteral dilakukan secara bolus pemberian nutrisi
kejadian aspirasi pada pasien yang berisiko  Cek retensi dilakukan sebelum enteral pada
mengalami peningkatan GRV. Hasil pemberian nutrisi secara enteral pasien yang
penelitian Munawaroh, Handoyo dan Diah  Pada saat pemberian nutrisi terpasang
(2010) juga mendukung bahwa rerata residu enteral personde belum ventilasi mekanik
lambung yang dihasilkan pada metode dilakukan peninggian posisi belum optimal
intermittent feeding lebih sedikit kepala (HOB 45˚)
dibandingkan dengan metode bolus feeding.  Terkadang pada pasien yang
terpasang ventilator pada saat
pemberian nutrisi secara enteral
dengan metode bolus pasien
muntah
 Test feeding dilakukan dengan
dilakukan secara continuous
dengan menggunakan infus
pump
4 Eye care Pada pasien yang mendapatkan sedasi harus  Berdasarkan hasil observasi Prosedur
mendapatkan perawatan mata setiap dua jam pada semua pasien yang perawatan mata
sekali dengan cara membersihkan mata mengalami penurunan pada pasien
dengan larutan normal salin kemudian ditutup kesadaran belum dilakukan dengan
dengan kasa lembab dan diberikan pelembab tindakan perawatan mata penurunan
mata sesuai rekomendasi dokter (Long, 2007).  Belum ada SPO perawatan kesadaran dan
mata pada pasien dengan mendapatkan
penurunan kesadaran dan terapi sedasi
mendapatkan sedasi belum optimal
RENCANA STRATEGIS RUANG ICU RSUD SUMEDANG

Where are We Now Where are We Going How to Go There


(Kondisi Masalah (Indikator Keberhasilan) (Strategi Pencapaian)
Sekarang)
Prosedur perawatan Tujuan: Kegiatan:
pada pasien yang
Mengoptimalkan asuhan keperawatan 1. Mengumpulkan evidence based mengenai asuhan
terpasang ventilator saat
ini belum yang berbasis pada patient centered care keperawatan yang terkait pada pasien yang terpasang
mengoptimalkan
sehingga menciptakan pelayanan ventilasi mekanik
Evidence Based Practice
keperawatan yang berkualitas, aman, 2. Melakukan konsultasi dengan kepala instalasi, kepala
prima, dan memperhatikan quality of care ruangan ICU, Ka.Sie Asuhan Keperawatan, dokter
terhadap pasien, keluarga, dan masyarakat spesialis, nutrition untuk pembuatan panduan dan SAK
berdasarkan evidence based practice 3. Melakukan koordinasi dengan bagian terkait
4. Diskusi dengan Perawat Primer dan Perawat Associate
Sasaran: dalam pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien yang
Perawat, dokter spesialis, nutrition, terpasang ventilasi mekanik berdasarkan evidence based
bagian pengadaan pratice
5. Menyusun pembuatan SAK dan SOP terkait
Indikator: Penanggungjawab: Ns. Nandar Wirawan, M. Kep
1. Terdapat protap
asuhan Waktu: Oktober-November 2016
keperawatan pada pasien yang
terpasang ventilasi mekanik
berdasarkan evidence best practice
2. Terdapat kesepahaman seluruh
PPA (Profesional Pemberi
Asuhan) dalam penanganan pasien
yang terpasang ventilasi mekanik
3. Adanya penyediaan sarana dan
prasarana guna mendukung
asuhan keperawatan pada pasien
yang terpasang ventilasi mekanik
BAB V
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
TERPASANG VENTILASI MEKANIK

Gagal nafas merupakan salah satu indikasi pemasangan ventilasi mekanik,

gagal nafas diindikasikan sebagai pertukaran oksigen terhadap karbondioksida

dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oskigen dan pembentukan

karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen

kurang dari 50 mmHg (hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida

lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia) (Smeltzer, 2002). Penyebab gagal nafas

dapat disebabkan oleh penyebab sentral (kelainan neromuskular, kelainan jalan

nafas, kelainan paru, kelainan tulang iga/thoraks dan kelainan jantung) dan

penyebab perifer (trauma kepala, radang otak, gangguan vaskuler, obat-obatan

anastesi).

Salah satu bentuk gagal nafas adalah Adult Respiratory Distress Syndrome

(ARDS), dimana kondisi tersebut ditandai dengan hipoksemia berat yang resisten

terhadap pengobatan konvensional. Penyakit ini terjadi diakibatkan oleh kondisi

berbagai penyakit (sepsis, aspirasi isi lambung, trauma serius) yang dapat

menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas dan terjadinya edema paru

nonkardiogenik berat (Price, 2006). Manifestasi klinis dari ARDS diantaranya

yaitu adalah hipoksemia, hipoksemia dibagi kedalam dua tipe ; tipe satu

merupakan kegagalan transfer oksigen dalam paru, sedangkan tipe dua merupakan

kegagalan ventilasi untuk mengeluarkan CO2.


Penatalaksanaan pada pasien ARDS ataupun gagal nafas tindakan yang

secara tidak langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas, atasi

hipoksemia dengan terapi oksigen, atasi hiperkarbia dengan memperbaiki

ventilasi (face mask, bag valve mask ataupun ventilasi mekanik). Pada

penatalaksanaan dengan indikasi intubasi dan ventilasi mekanik secara fisiologis

terjadi ; hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen, PaCO2 > 55 mmHg

dengan PH < 7,25, kapasitas vital < 15ml/kgBB dengan penyakit neuromuscular.

Sedangkan secara klinis dapat dilihat ; terdapat perubahan status mental dengan

gangguan potensi jalan napas, gangguan respirasi dengan ketidakstabilan

hemodinamik, obstruksi jalan napas (pertimbangkan trakeostomi), sekret yang

banyak yang tidak dapat dikeluarkan oleh pasien.

Penanganan lebih lanjut terutama pada masalah penggunaan ventilator

akan dilakukan di ICU, hal tersebut berdasarkan guidelines penanganan pasien

gagal nafas di ICU. Pada penanganan pasien dengan ventilator selain

memperbaiki masalah oksigenasi dapat menimbulkan masalah baru sesuai

pengkajian pada pasien setelah terpasang ventilasi mekanik. Beberapa diagnose

keperawatan yang dapat muncul akibat pemasangan ventilator :

 Disfungsi respon penyapihan ventilator berhubungan dengan ketidakmampuan

beradaptasi dengan dukungan ventilator, ketidaktepatan laju penurunan

dukungan ventilator

 Resiko cedera berhubungan dengan penggunaan ventilasi mekanik


 Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan selang endotrakeal dengan

kondisi lemah

 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai

kebutuhan oksigen
Disfungsi respon penyapihan ventilator
Definisi: ketidakmampuan beradaptasi dengan penurunan tingkat dukungan ventilator mekanis yang menghambat dan memperlama proses
penyapihan
Batasan Karakteristik Nursing Out Come (NOC) Mechanical Ventilation

Ringan :  Respon penyapihan ventilator mekanis :  Monitor adanya kelelahan otot pernapasan
 Ketidaknyamanan bernafas dewasa  Monitor adanya kegagalan respirasi
 Keletihan  Status pernapasan : pertukaran gas  Diskusikan bersama dokter pemilihan mode
 Peningkatan konsentrasi pada ventilasi yang digunakan
 Status penapasan :ventilasi
pernapasan  Lakukan pengaturan monitor ventilasi secara rutin
Kriteria hasil :
 Mengkhawatirkan kemungkinan  Monitor adanya penurunan dan peningkatan
malfungsi oksigen Respon penyapihan ventilator mekanis : tekanan inspirasi
 Gelisah dewasa  Monitor hasil pembacaan ventilator dan suara nafas
 Sedikit peningkatan frekuensi  Bernapas spontan, frekuensi pernapasan  Gunakan teknik aseptic
pernapasan dari nilai dasar < 30x/menit  Hentikan selang NGT selama suction dan 30-60
 Hangat  Kapasitas vital > 3 ml/kgBB ideal. menit sebelum fisioterapi dada
 Frekuensi vital > 3ml/kg berat badan  Tingkatkan intake dan cairan adekuat
Sedang :  Monitor efek ventilator terhadap perubahan
ideal
 Peningkatan nilai dasar frekuensi oksigenasi pasien : gas darah arteri, SaO2, SVO2,
pernapasan (< 5 napas/menit)  Denyut jantung apical dalam batas volume tidal dan respon subjektif dari pasien
 Perubahan warna normal Mechanical ventilation weaning
 Penurunan masuknya udara pada  Gas darah arteri dalam batas normal  Pantau tingkat pirau, kapasitas vita, Vd/Vt, MMV,
auskultasi  Menit ventilation <10 L/menit daya inspirasi dan FEV1 untuk kesiapan
 Diaphoresis Status pernapasan : pertukaran gas penyapihan dan ventilator mekanik, sesuai protocol
 Terlalu waspada terhadap aktivitas institusi
 Memelihara kebersihan paru dan bebas
 Ketidakmampuan untuk kooperatif  Pantau tanda keletihan otot pernapasan (misalnya :
dari tanda-tanda distress pernapasan peningkatan PaCO2 secara mendadak, ventilasi
 Ketidakmampuan berespons terhadap
PaO2 (tekanan parsial oksigen alveolar) cepat dan dangkal, dan pergerakan dinding
latihan dalam batas normal 85-100 mmHg abdomen paradox), hipoksemia dan hipoksia
 Penggunaan otot aksesoris pernapasan  PaCO2 (tekanan parsial karbondioksida jaringan saat proses penyapihan berjalan
 Pucat dalam darah arteri dalam batas normal  Monitor status cairan dan elektrolit
 Menyatakan rasa takut 35-45 mmHg), PH arteri dalam batas  Suction jalan nafas
 Sianosis ringan  Konsul ke fisioterapi dada jika dibutuhkan
normal 7,35-7,45
 Sedikit peningkatan tekanan darah dari  Kolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain,
 Saturasi oksigen dalam batas normal untuk mengoptimalkan status nutrisi pasien,
nilai dasar (<20 mmHg)
 Sedikit peningkatan frekuensi nadi 95% atau lebih memastikan 50% sumber kalori selain protein
dari nilai dasar (<20 denyut/menit)  Tanda-tanda vital dalam batas normal dalam diet adalah lemak bukan karbohidrat
 Mata tanpak membelalak (TD, suhu, nadi dan frekuensi  Gunakan teknik relaksasi
pernapasan)  Pastikan pasien bebas dari tanda-tanda infeksi
Berat : Status respirasi : ventilasi sebelum di lepas
 Suara napas tambahan Airway Management
 Tidak ada suara napas tambahan
 Agitasi  Buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift atau jaw
 Tidak ada retraksi dinding dada thrust bila diperlukan
 Ketidakselarasan napas dengan
ventilator  Tidak ditemukan kelainan pada rontgen  Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
 Sekresi jalan napas terdengar dada  Identifikasi perlunya pemasangan alat jalan nafas
 Sianosis  Tidak ditemukan kelainan pada test buatan
 Penurunan tingkat kesadaran fungsi paru (spironometri)  Pasang mayo jika perlu
 Pemburukan nilai gas darah arteri dari  Ventilasi dan oksigenasi yang adekuat  Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
nilai dasar terkini  Berikan bronchodilator jika perlu
 Penggunaan penuh otot aksesorius  Atur intake untuk cairan
pernapasan  Mengoptimalkan keseimbangan
 Napas megap-megap  Monitor respirasi dan status O2.
 Peningkatan tekanan darah dari (≥ 20
mmHg)
 Peningkatan frekuensi nadi dari nilai
dasar
 Pernapasan abdomen paradox
 Diaphoresis pernapasan meningkat
secara signifikan dari nilai dasar
 Pernapasan dangkal

Faktor yang berhubungan :


Fisiologis
 Nutrisi tidak adekuat
 Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
 Gangguan pola tidur
 Nyeri tidak terkontrol

Psikologis :
 Ansietas
 Penurunan motivasi
 Penurunan harga diri
 Kurang pengetahuan tentang proses
penyapihan
 Ketakutan
 Keputusasaan
 Kurang rasa percaya terhadap perawat
 Persepsi pasien tentang
ketidakmampuan menjalani
penyapihan
 Ketidakberdayaan
Situasional :
 Lingkugan tidak kondusif (lingkungan
dengan aktivitas padat dan bising,
peristiwa negative diruangan, rasio
perawat terhadap pasien rendah, staf
keperawatan yang belum dikenal)
 Riwayat kegagalan berulang dalam
upaya penyapihan
 Riwayat ketergantungan ventilator >4
hari
 Ketidakadekuatan dukungan social
 Ketidaktepatan laju penurunan
dukungan ventilator
 Kebutuhan energy episodic dan tidak
terkendali
Risiko Aspirasi
Definisi: resiko masuknya sekresi gastrointestinal, sekresi orofaring, kotoran/debu, atau cairan kedalam saluran trakeobronkial
Batasan Karakteristik Nursing Out Come (NOC) Nursing Intervention Classification (NIC)

Faktor resiko :  Respiratory status : ventilation Aspiration Precaution :


 Penurunan motilitas gastrointestinal  Aspiration control  Monitor tingkat kesadaran, reflek batuk dan
 Pengosongan lambung yang lambat kemampuan menelan
 Swallowing status
 Penurunan reflek muntah  Monitor status paru pelihara jalan nafas
Kriteria hasil :
 Penurunan reflek batuk  Lakukan suction jika diperlukan
 Klien dapat bernafas dengan mudah,  Cek nasogastric sebelum makan
 Slang gastrointestinal
 Sfingter esophagus bawah inkompeten tidak irama, frekuensi pernafasan  Hindari makan kalau residu masih banyak
 Peningkatan residu lambung normal  Potong makanan kecil-kecil
 Peningkatan tekanan intragastrik  Pasien mampu menelan, mengunyah  Haluskan obat sebelum pemberian
 Gangguan menelan tanpa terjadi aspirasi, dan mampu  Posisi tegak 90 derajat atau sejauh mungkin
 Pemberian medikasi melakukan oral hygiene  Jauhkan manset trakea meningkat
 Adanya slang endotrakeal  Jalan nafas paten, mudah bernafas,  Jauhkan pengaturan hisap yang tersedia
 Adanya slang trakeostomi tidak merasa tercekik dan tidak ada  Periksa penempatan tabung NG atau gastrostomy
 Penurunan tingkat kesadaran sebelum menyusui
suara nafas abnormal.
 Situasi yang menghambat elevasi  Periksa tabung NG atau gastrostomy sisa sebelum
tubuh bagian atas makan
 Pemberian makan melalui slang  Hindari makan, jika residu tinggi tempat pewarna
dalam tabung pengisi NG
 Hindari cairan atau menggunakan zat pengental
 Penawaran makanan atau cairan yang dapat
dibentuk menjadi bolus sebelum menelan
 Potong makanan menjadi potongan-potongan kecil
 Istirahat atau menghancurkan pil sebelum
pemberian
 Sarankan konsultasi pada patologi

Resiko cedera
Definisi: Beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi lingkungan yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber defensive
individu
Batasan Karakteristik Nursing Out Come (NOC) Nursing Intervention Classification (NIC)

Faktor resiko : Risk kontrol


Eksternal : Kriteria hasil :
 Manusia : misal agens nosocomial,  Klien terbebas dari cedera
pola ketegangan, atau faktor kognitif,
 Klien mampu menjelaskan cara/metode
afektif dan psikomotor.
 Nutrisi : misal desain, struktur dan untuk mencegah injury/cedera
pengaturan komunitas, bangunan  Klien mampu menjelaskan faktor resiko
dan/atau peralatan. dari lingkungan/perilaku personal
Internal :  Mampu memodifikasi gaya hidup untuk
 Profil darah yang abnormal (misal mencegah injury
leukositosis/leukopenia, gangguan
 Menggunakan fasilitas kesehatan yang
faktor koagulasi, trombositopenia, sel
sabit, talasemia, penurunan ada
hemoglobin)  Mampu mengenali perubahan status
 Disfungsi biokimia kesehatan
 Usia perkembangan (fisiologis,
psikososial)
 Disfungsi efektor
 Disfungsi imun-autoimun
 Disfungsi integrative
 Malnutrisi
 Fisik (misal integritas kulit tidak utuh,
gangguan mobilitas)
 Psikologis (orientasi alektif)
 Disfungsi sensorik
 Hipoksia jaringan
DAFTAR PUSTAKA

Anna, A. (2014). Perbandingan enteral dan parenteral nutrisi pada pasien kritis: a
literature review. In prosiding seminar nasional & internasional.

Austin, CH. 1983. Information System Hospital Administrations. Michigan :


HAP.

Barrett, J. S., Shepherd, S. J., & Gibson, P. R. (2009). Strategies to manage


gastrointestinal symptoms complicating enteral feeding. Journal of
Parenteral and Enteral Nutrition, 33(1), 21-26.Brunner & Suddarth, (2002).
Keperawatan Medikal Bedah. edisi 8. Vol 2. Jakarta: EGC

Bowling, T. E., Cliff, B., Wright, J. W., Blackshaw, P. E., Perkins, A. C., & Lobo,
D. N. (2008). The effects of bolus and continuous nasogastric feeding on
gastro-oesophageal reflux and gastric emptying in healthy volunteers: a
randomised three-way crossover pilot study. Clinical nutrition, 27(4), 608-
613.

Cunningham, C., & Gould, D. (1998). Eyecare for the sedated patient undergoing
mechanical ventilation: the use of evidence-based care.International journal
of nursing studies, 35(1), 32-40.

Depkes. 2006. Standar Pelayanan Keperawatan di ICU. Direktorat Keperawatan


dan Keteknisan Medik.

Frater, J & Leonard, M.P. 2010. Standards of Practice for Case Management.
Case Management Society of America

Gillies, 2000. Nursing Management: A system Approach. Philadelphia, USA.


W.B Saunders Company
Halm, M. A., & Armola, R. (2009). Effect of oral care on bacterial colonization
and ventilator-associated pneumonia. American Journal of critical
care, 18(3), 275-278.
Hudak & Gallo. (2008). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Edisi VI.
Jakarta: EGC

Hyzy, R.C, Flanders, S.A, 2010, Characteristics of intensive care units in


Michigan: Not an open and closed case, Journal of Hospital Medicine, vol.
5, no. 1, pp. 4-9, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2928069/

Joint Commission International. 2012. International Patient Safety Goals.


http://www.jointcommissioninternational.org/Common/PDFs/JCI
%20Accreditation/International_Patient_Safety_Goals_9Feb2012.pdf
Jones, Bartlet. 2004. Implementing Evidence Base Nursing Practice: An
Overview.

Kitong, B. I., Mulyadi, N., & Malara, R. (2014). Pengaruh tindakan penghisapan
lendir endotrakeal tube (ett) terhadap kadar saturasi oksigen pada pasien
yang dirawat di ruang icu rsup prof. Dr. Rd kandou manado. Jurnal
keperawatan, 2(2).
Kementrian Kesehatan RI, 2010, Keputusan Mentri Kesehatan RI Nomor:
834/Menkes/SK/VII/2010, Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan High Care Unit (HCU) di Rumah Sakit.
Kementrian Kesehatan RI, 2010, Keputusan Mentri Kesehatan RI Nomor:
1778/Menkes/SK/XII/2010, Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan Intensive Care Unit (ICU) di Rumah Sakit.
Kementrian Kesehatan RI, 2012. Pedoman Teknis Ruang Perawatan Intensif
Rumah Sakit. Direktoral Jenderal Bina Upaya Kesehatan.Direktorat Bina
Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan.
Kaya, H., Turan, Y., Tunalı, Y., Aydın, G. Ö., Yüce, N., Gürbüz, Ş., & Tosun, K.
(2016). Effects of oral care with glutamine in preventing ventilator-
associated pneumonia in neurosurgical intensive care unit
patients. Applied Nursing Research.
MacIntyre, N. (1994). Demand-flow airway pressure release ventilation as a
partial ventilatory support mode: comparison with synchronized intermittent
mandatory ventilation and pressure support ventilation. Critical care
medicine, 22(9), 1431-1437.

Metheny, N. A., Mills, A. C., & Stewart, B. J. (2012). Monitoring for intolerance
to gastric tube feedings: a national survey. American Journal of Critical
Care,21(2), e33-e40.

Rose, L., Baldwin, I., & Crawford, T. (2010). The use of bed-dials to maintain
recumbent positioning for critically ill mechanically ventilated patients (The
RECUMBENT study): Multicentre before and after observational
study.International journal of nursing studies, 47(11), 1425-1431.

Slutsky, A. S. (1994). Consensus conference on mechanical ventilation—January


28–30, 1993 at Northbrook, Illinois, USA. Intensive care medicine,20(1), 64-
79.

Starey, N. (2001). What Is Clinical Governance? Evidence-Based Medicine.


The State Government of Victoria, 2009, Victoria’s intensive care services Future
directions, www.health.vic.gov.au/criticalcare

Topeli, A., Harmanci, A., Cetinkaya, Y., Akdeniz, S., & Unal, S. (2004).
Comparison of the effect of closed versus open endotracheal suction systems
on the development of ventilator-associated pneumonia. Journal of Hospital
Infection, 58(1), 14-19.

Watson, R., & Hayter, M. (2012). A Review of current nursing practice and
evidence-based guidelines in enteral nutrition in the critically ill
patient. European Scientific Journal, 8(30).

WHO. 2001. Petunjuk Pelaksanaan Indikator Mutu Pelayanan Rumah Sakit.


Dirjen Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Wisnu Munawaroh, S., & Astutiningrum, D. (2012). Efektifitas pemberian nutrisi


enteral metode intermittent feeding dan gravity drip terhadap volume residu
lambung pada pasien kritis di ruang icu rsud kebumen. Jurnal ilmiah
kesehatan keperawatan, 8(3).

Wiryana, M. (2007). Nutrisi Pada Penderita Sakit Kritis. journal of internal


medicine, 8(2).

Wikipedia. 2012. Clinical Governance. Diakses tanggal 17 September 2012.


Tersedia di en.wikipedia.org/wiki/Clinical_governance

Anda mungkin juga menyukai