Anda di halaman 1dari 12

EKSTRA KURIKULER

Kegiatan ekstrakurikuler atau ekskul adalah kegiatan tambahan yang


dilakukan di luar jam pelajaran yang dilakukan baik di sekolah atau di luar sekolah
dengan tujuan untuk mendapatkan tambahan pengetahuan, keterampilan dan
wawasan serta membantu membentuk karakter peserta didik sesuai dengan minat
dan bakat masing-masing.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.


060/U/1993 dan Nomor 080/U/1993, kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang
diselenggarakan di luar jam pelajaran yang tercantum dalam susunan program
sesuai dengan keadaan dan kebutuhan sekolah, dan dirancang secara khusus agar
sesuai dengan faktor minat dan bakat siswa.

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.


39 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan, kegiatan ekstrakurikuler merupakan
salah satu jalur pembinaan kesiswaan. Kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti dan
dilaksanakan oleh siswa baik di sekolah maupun di luar sekolah, bertujuan agar
siswa dapat memperkaya dan memperluas diri.

Berikut beberapa pengertian kegiatan ekstrakurikuler dari beberapa sumber buku:

 Menurut Lutan (1986:72), ekstrakurikuler merupakan bagian internal dari


proses belajar yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan anak didik.
Antara kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler sesungguhnya tidak dapat
dipisahkan, bahkan kegiatan ekstrakurikuler perpanjangan pelengkap atau
penguat kegiatan intrakurikuler untuk menyalurkan bakat atau pendorong
perkembangan potensi anak didik mencapai taraf maksimum. 
 Menurut Suryosubroto (1997:271), ekstrakurikuler adalah kegiatan belajar
yang dilakukan di luar jam pelajaran tatap muka, dilaksanakan di sekolah atau
di luar sekolah untuk memperluas wawasan atau kemampuan yang telah
dipelajari dari berbagai mata pelajaran.
 Menurut Usman dan Setyowati (1993:22), ekstrakurikuler adalah kegiatan
yang dilakukan di luar jam pelajaran baik dilaksanakan di sekolah maupun di
luar sekolah dengan maksud untuk lebih memperkaya dan memperluas
wawasan pengetahuan dan kemampuan yang telah di miliki siswa dari
berbagai bidang studi.

Fungsi dan Tujuan Ekstrakurikuler 

Fungsi kegiatan ekstrakurikuler adalah untuk mengembangkan kemampuan potensi


dan rasa tanggung jawab memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
memperluas pengalaman sosial dalam kesiapan karir peserta didik melalui
pengembangan kapasitas. Menurut Aqip dan Sujak (2011:68), terdapat empat fungsi
kegiatan ekstrakurikuler pada satuan pendidikan, yaitu: pengembangan, sosial,
rekreatif, dan persiapan karir.

1. Fungsi pengembangan, yakni bahwa kegiatan ekstrakurikuler berfungsi untuk


mendukung perkembangan personal peserta didik melalui perluasan minat,
pengembangan potensi, dan pemberian kesempatan untuk pembentukan
karakter dan pelatihan kepemimpinan. 
2. Fungsi sosial, yakni bahwa kegiatan ekstrakurikuler berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk memperluas pengalaman sosial,
praktik keterampilan sosial, dan internalisasi nilai moral dan nilai sosial.
3. Fungsi rekreatif, yakni bahwa kegiatan ekstrakurikuler dilakukan dalam
suasana rilek, menggembirakan, dan menyenangkan sehingga menunjang
proses perkembangan peserta didik. Kegiatan ekstrakulikuler harus dapat
menjadikan kehidupan atau atmosfer sekolah lebih menantang dan lebih
menarik bagi peserta didik. 
4. Fungsi persiapan karir, yakni bahwa kegiatan ekstrakurikuler berfungsi untuk
mengembangkan kesiapan karir peserta didik melalui pengembangan
kapasitas.

Menurut Nasrudin (2010:12), kegiatan ekstrakurikuler memiliki tujuan berikut.

1. Siswa dapat memperdalam dan memperluas pengetahuan keterampilan


mengenai hubungan antara berbagai mata pelajaran, menyalurkan bakat dan
minat, serta melengkapi upaya pembinaan manusia seutuhnya yang: a)
Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. b) Berbudi pekerti
luhur. c) Memiliki pengetahuan dan keterampilan. d) Sehat rohani dan
jasmani. e) Berkepribadian yang mantap dan mandiri. f) Memiliki rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. 
2. Siswa mampu memanfaatkan pendidikan kepribadian serta mengaitkan
pengetahuan yang diperolehnya dalam program kurikulum dengan kebutuhan
dan keadaan lingkungan. 

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 39


Tahun 2008 tentang pembinaan kesiswaan, kegiatan ekstrakurikuler memiliki tujuan
sebagai berikut.

1. Mengembangkan potensi siswa secara optimal dan terpadu yang meliputi


bakat, minat, dan kreativitas.
2. Memantapkan kepribadian siswa untuk mewujudkan ketahanan sekolah
sebagai lingkungan pendidikan sehingga terhindar dari usaha dari pengaruh
negatif dan bertentangan dengan tujuan pendidikan. 
3. Mengaktualisasi potensi siswa dalam pencapaian potensi unggulan sesuai
bakat dan minat. 
4. Menyiapkan siswa agar menjadi warga masyarakat yang berakhlak mulia,
demokratis, menghormati hak-hak asasi manusia dalam rangka mewujudkan
masyarakat mandiri (civil society).

MODERASI BERAGAMA, PPK dan PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

Secara etimologis, moderasi berasal dari Bahasa Latin moderation, yang berarti ke-
sedang-an atau tidak kelebihan dan tidak kekurangan. Dan kata Moderation yang
diartikan sebagai penguasaan diri dari sikap sangat berlebihan dan sangat
kekurangan. Serta terdapat kata moderator yang berarti pelerai, penengah atau
pendamai.
Beragama sendiri merupakan kata sifat yang mengandung makna
kepercayaan, keyakinan dan sandaran didalamnya. Dan bilamana keduanya
digabungkan antara moderasi beragama maka istilah moderasi beragama dipahami
sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem
dalam beragama. Maksudnya, moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap
beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri dan penghormatan
kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan.

Terlebih dengan moderasi dalam beragama niscaya akan menghindarkan kita


dari sikap ekstrem berlebihan, fanatik dan sikap pemecah belah dalam beragama.
Sebab pemahaman moderasi beragama sesungguhnya juga merupakan kunci
terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional maupun global.
Merujuk dari hasil penelitian Litbang Kementerian Agama tentang, Pengembangan
Moderasi Beragama, di lembaga pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Hindu dan
Buddha, pada tahun 2019 kemarin. Secara signifikan menunjukkan bahwa sikap
moderat dalam beragama belum menjadi kesadaran bersama untuk dijadikan modal
dasar menginisiasi dan membangun relasi sosial keagamaan yang jauh lebih erat
dan produktif, baik untuk tujuan keagamaan itu sendiri maupun tujuan kebangsaan
secara luas.
Berangkat dari hal itu maka moderasi beragama bertujuan sebagai cara menakar
segala tindakan-tindakan negatif secara pemahaman maupun gerakan dalam
konteks kehidupan bermasyarakat dan beragama. Secara umum sebagian orang
menganggap Wacana moderasi beragama memiliki relasi dan posisi yang penting
bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ). Namun, praktik
moderasi beragama belum optimal secara praktikkan secara utuh dalam kehidupan
sosial sehari-hari.
Dengan kata lain, praktek moderasi beragama cenderung diartikulasikan tidak
secara utuh dalam cara beragama kita. Hingga pada akhirnya tidak sedikit
masyarakat yang menilai bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama
berarti tidak teguh pendiriannya, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh dalam
mengamalkan ajaran agamanya. Atau orang yang mempraktikkan paham moderasi
beragama cenderung dilabelkan sebagai kaum yang liberal. Lantas, apa itu moderasi
beragama ? Tentu upaya untuk mendefinisikan dan pemahaman moderasi beragama
menjadi penting , supaya moderasi beragama tidak disalah artikan dan dapat kita
praktikkan dalam hidup beragama, berbangsa dan bernegara, terlebih jika melihat
konteks sosial yang mudah tersinggung dan terprovokasi maka moderasi beragama
sangat penting dalam konteks persatuan di Indonesia. Sebab sikap moderat dan
moderasi adalah suatu sikap dewasa yang baik dan yang sangat diperlukan untuk
menepis radikalisasi dan radikalisme, kekerasan dan kejahatan. Termasuk ujaran
kebencian dan hoaks, terutama atas nama agama tertentu di Indonesia.
Untuk itu, kita perlu membangun semangat sebagai masyarakat Indonesia yang
beragam ( heterogen ), dan dalam rangka membangun semangat kesadaran
heterogenitas masyarakat, kita perlu merefleksi kembali bagaimana dan dengan
cara apa kita memperkuat wacana dan praktik moderasi beragama dalam pergaulan
sosial di arena digital, dan sekaligus, praktiknya di arena sosial kehidupan riil kita
sehari-hari.

PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP

Pendidikan adalah dasar penting buat membentuk karakter generasi


muda. Salah satu pendidikan yang dievaluasi sangat penting bagi generasi
muda merupakan pendidikan anti korupsi.

         Saat ini korupsi telah menjadi kejahatan yang mengkhawatirkan serta


akan berdampak buruk bagi bangsa indonesia. Perkembangan modus korupsi
dari tahun ke tahun semakin dengan cara yang berbeda-beda. Korupsi juga
tidak mengenal batas, bahkan kasus korupsi yang sedang menggemparkan
indonesia saat ini adalah korupsi bantuan sosial COVID-19 yang sangat tidak
baik di lakukan oleh pejabat negara. Korupsi adalah perbuatan melawan
aturan, dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain, baik
perorangan maupun korporasi, yang bisa merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Pendidikan anti korupsi merupakan pendidikan untuk
membangun kepedulian kepada generasi muda terhadap bahaya tindakan
korupsi. Tujuan utama dari pendidikan anti korupsi ialah menunjukkan
fenomena korupsi hingga dengan akibat dari korupsi itu sendiri. oleh sebab
itu, pendidikan anti korupsi adalah pendidikan penanaman nilai-nilai dasar
buat membuat sifat anti korupsi dari setiap siswa

Departemen pendidikan Lithuania semenjak 2005 sudah


mengimplementasikan pendidikan anti korupsi pada negaranya menyatakan
bahwa tugas primer dari pendidikan anti korupsi pada sekolah merupakan
untuk menyampaikan pemahaman pada peserta didik bagaimana peserta
didik mampu membedakan antara kejahatan korupsi dengan bentuk
kejahatan lainnya, memberikan argumen yang logis serta rasional kenapa
korupsi dianggap sebagai suatu kejahatan, dan mengambarkan cara-cara
yang mampu ditempuh pada mengurangi terjadinya tindakan korupsi.
(Ministry of Education Lithuania, 2006). Dharma (2003) menyatakan secara
umum tujuan pendidikan anti korupsi merupakan : (1) pembentukan
pengetahuan serta pemahaman tentang bentuk korupsi serta aspek-
aspeknya,  (2) pengubahan persepsi serta perilaku terhadap korupsi, dan (3)
pembentukan keterampilan dan kecakapan baru yang ditujukan buat melawan
korupsi. Menggunakan ketiga tujuan itu bisa dicermati bahwa pendidikan
antikorupsi meskipun memiliki target utama menjadi pendidikan nilai akan
tetapi tetap mencakup ketiga ranah pendidikan sebagaimana dikemukakan
oleh Bloom yaitu pengembangan ranah kognitif, afektif dan psikomotor
peserta didik. Pengembangan karakter anti korupsi pendidikan anti korupsi
bukanlah seperangkat aturan sikap yang dirancang oleh seseorang serta
harus diikuti oleh orang lain. Sebagaimana halnya dengan kejahatan ainnya,
korupsi juga merupakan sebuah pilihan yang bisa dilakukan atau dihindari.
Sebab itu pendidikan intinya ialah mengkondisikan supaya sikap peserta didik
sinkron dengan tuntutan masyarakat. Supaya sikap tadi bisa sebagai karakter
peserta didik, maka beberapa langkah mampu dilakukan pada pendidikan anti
korupsi.

            Karakteristik dari pendidikan anti korupsi merupakan perlunya sinergi


yang tepat antara pemanfaatan isu serta pengetahuan yang dimiliki
menggunakan kemampuan buat menghasilkan pertimbangan-pertimbangan
moral. Oleh sebab itu pembelajaran antikorupsi tidak bisa dilaksanakan
secara konvensional, melainkan harus didisain sedemikian rupa sehingga
aspek kognisi, afeksi serta konasi peserta didik bisa dikembangkan secara
maksimal dan berkelanjutan.

PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP

Pendidikan kecakapan hidup (life skills) merupakan salah satu


program  pendidikan nonformal yang memiliki peran penting dalam rangka
membekali warga belajar agar dapat hidup secara mandiri. Badan
kesehatan dunia WHO mendefinisikan bahwa kecakapan hidup merupakan
sebuah keterampilan yang memiliki kemampuan untuk dapat beradaptasi
dan berperilaku positif. Dengan demikian memungkinkan seseorang
mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam kehidupan
secara lebih efektif (Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, 2004).
Pada dasarnya pendidikan kecakapan hidup dapat membantu warga
belajar dalam mengembangkan kemampuan belajar, menyadari dan
menggali potensi diri untuk dikembangkan dan diamalkan serta berani
menghadapi permasalahan kehidupan serta memecahkan permasalahan
tersebut dengan kreatif. Ditjen Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas dalam
Pedoman Program Kecakapan Hidup secara khusus bertujuan untuk
memberikan pelayanan kepada wajib belajar (peserta didik) agar :
1. Memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dibutuhkan dalam
memasuki dunia kerja baik bekerja secara mandiri (wirausaha)
dan/atau bekerja pada suatu perusahaan produksi/jasa dengan
penghasilan yang semakin layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
2. Memiliki motivasi dan etos kerja yang tinggi serta dapat menghasilkan
karya-karya yang unggul dan mampu bersaing di pasar global
3. Memiliki kesadaran yang tinggi tentang pentingnya pendidikan untuk
dirinya sendiri maupun untuk anggota keluarganya
4. Memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan dalam
rangka mewujudkan keadilan pendidikan di setiap lapisan masyarakat.

Direktorat Jendral Anak Usia Dini, Nonformal Dan Informal menjelaskan


kompetensi kecakapan hidup sesuai dengan kurikulum pendidikan
kecakapan hidup meliputi

1. Kompetensi personal: Berperilaku sesuai dengan norma agama,


hukum, sosial dan budaya nasional, beriman & bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, bersikap adil, dan jujur,
berkepribadian terpuji, Memiliki etos kerja, tanggung jawab, dan
percaya diri.
2. Kompetensi sosial: bersikap terbuka, obyektif,dan tidak diskriminatif,
berkomunikasi secara efektif, empati, dan santun dengan teman
sejawat, pendidik/instruktur, dan masyarakat sekitar, beradaptasi
dengan kondisi sosial di lingkungan sekitar.
3. Kompetensi Akademik: kemampuan beranalisa sederhana, berfikir
dengan logika, kemampuan pengetahuan dasar,kemampuan
mengambil keputusan; b. Menggali ide-ide, kemauan untuk mencoba,
melakukan uji coba di bidangnya secara ilmiah.
4. Kecakapan hidup bekerja (vocasioanal skill), meliputi: kecakapan
memilih pekerjaan, perencanaan kerja, persiapan keterampilan kerja,
latihan keterampilan, penguasaan kompetensi, menjalankan suatu
profesi, kesadaran untuk menguasai berbagai keterampilan,
keterampilan menguasai dan menerapkan teknologi, merancang dan
melaksanakan proses pekerjaan, dan menghasilkan produk barang
dan jasa.

Dari pengertian kecakapan hidup (life skills) di atas, dapat diartikan


bahwa pendidikan kecakapan hidup merupakan kecakapan- kecakapan
yang secara praktis yang dapat membekali peserta didik dalam mengatasi
berbagai macam persoalan hidup dan kehidupan. Kecakapan itu
menyangkut aspek pengetahuan, sikap yang didalamnya termasuk fisik
dan mental, serta kecakapan Kejuruan yang berkaitan dengan
pengembangan akhlak peserta didik sehingga mampu menghadapi
tuntutan dan tantangan hidup dalam kehidupan.

14.Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global

Bila SK dan KD pada mata pelajaran keterampilan tidak sesuai dengan

kebutuhan siswa dan sekolah, maka sekolah dapat mengembangkan SK, KD dan

silabus keterampilan lain sesuai dengan kebutuhan sekolah. • Pembelajaran mata pelajaran

keterampilan dimaksud dilaksanakan secara komprehensif melalui Intra kurikuler. •

Pengembangan SK,KD, silabus, RPP dan bahan ajar dan penyelenggaraan

pembelajaran keterampilan vokasional dapat dilakukan melalui kerjasama dengan

satuan pendidikan formal

Program pendidikan yang dikembangkan dengan memanfaatkan keunggulan lokal dan

kebutuhan daya saing global. ƒ Substansinya mencakup aspek: Ekonomi, Budaya,

Bahasa,TI K, Ekologi, dan lain-lain, yang semuanya bermanfaat bagi pengembangan

kompetensi peserta didik. ƒ Dapat merupakan bagian dari semua mata pelajaran yang

terintegrasi, atau menjadi mapel Mulok. Penyusunan KTSP merupakan bagian dari

kegiatan perencanaan sekolah madrasah. Kegiatan ini dapat berbentuk rapat kerja dan

atau lokakarya sekolah madrasah dan atau kelompok sekolah madrasah yang

diselenggarakan dalam jangka waktu sebelum tahun pelajaran baru. ƒ Tahap

kegiatan penyusunan KTSP secara garis besar meliputi: penyiapan dan penyusunan draft,

review dan revisi, serta finalisasi. Langkah yg lebih rinci dari masing-masing kegiatan

diatur dan diselenggarakan oleh tim penyusun


15. Implementasi Heutagogy Learning 4.0
Dunia pendidikan sepertinya tidak bisa terlepas dari pengaruh perkembangan

teknologi, jika kita tidak ingin menyebut revolusi industri. Perkembangan informasi

dan komunikasi teknologi yang semakin masif dan cepat dewasa ini harus diakui telah

memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap dunia pendidikan.

Revolusi industri keempat (4.0) atau bisa disebut sebagai revolusi digital memberikan

tawaran yang sangat menarik bagi dunia pendidikan, utamanya berkaitan dengan akses

terhadap beragam informasi dan kemudahan untuk membagikan beragam informasi

tersebut secara cepat hampir dimanapun, kemanapun dan kapanpun.

Kemudahan untuk mengakses dan membagikan beragam informasi tersebut secara tidak

langsung memberikan tawaran segar bagi kemudahan penerapan heutagogy learning (self-

determined learning) yang sebenarnya sudah ditawarkan sejak  lebih dari satu dekade

silam. Heutagogi menawarkan kebebasan kepada pebelajar (learner) untuk

menetukan (determine) sendiri belajarnya.

Meliputi konten yang akan dipelajari, strategi belajar yang akan digunakan dan jenis

asesmen yang akan digunakan, seperti dijelaskan Stewart Hase & Chris Kenyon (2013)

bahwa “… the essence of heutagogy is that in some learning situations, the focus

should be on what and how the learner wants to learn, not on what is to be

taught…”. Dengan kata lain, heutagogi memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk

menentukan pilihan secara bebas tentang apa yang akan dipelajari dan bagaimana

mempelajarinya.

Atau, seperti dianalogikan Waras Kamdi (Kompas, 2018) heutagogi bisa dianalogikan

sebagai suatu cara menghidangkan makanan dengan bentuk prasmanan, di mana  orang yang

akan menikmati hidangan memiliki kebebasan untuk memilih apa yang akan disantap, media

apa saja yang pas untuk digunakan dan bagaimana cara menyantapnya.

Heutagogi menawarkan kolaborasi aktif (double hands) untuk menentukan pembelajaran,

meliputi konten apa yang tepat untuk dipelajari, bagaimana cara mempelajarinya dan
bagaimana bentuk penilaian yang akan digunakan untuk membuktikan bahwa suatu

kompetensi sudah berhasil dikuasai dengan baik.

Learner dan teacher saling bertukar pikir tentang apa yang pas untuk dipelajari oleh pebelajar

dan bagaimana cara membelajarkannya atau langkah-langkah pembelajaran dan sumber-

sumber belajar apa yang digunakan untuk mencapai tujuan belajar yang sudah ditentukan

tersebut. Dengan kata lain posisi pembelajar lebih sebagai fasilitator atau konsultan

pembelajaran.

Heutagogi menjadi sangat menarik untuk diimplementasikan, mengingat cara pandang yang

diajukannya tentang pebelajar sebagai agen pembelajar aktif (active agent) yang memiliki

kebebasan untuk menetukan sendiri belajarnya. Hal ini agak sedikit berbeda dengan konsep

yang ditawarkan pembelajaran konstruktif (Constructive Learning), meskipun sama-sama

memandang bahwa pebelajar adalah individu yang aktif yang mampu merekonstruksi sendiri

pengetahuannya melalui keaktifannya dalam proses pembelajaran.

Dalam pembelajaran konstruktif, meskipun fokus utama sama dengan pembelajaran

heutagogi, yaitu pada belajarnya pebelajar, bukan pada mengajarnya pembelajar, namun

dalam pembelajaran konstruktif pebelajar masih kurang memiliki kebebasan dalam

menetukan apa yang harus dipelajari, bagaimana mempelajari dan bagaimana mengukur dan

menunjukkan bukti bahwa ia sudah menguasai suatu kompetensi tertentu tersebut.

Apa yang harus dipelajari dan bagaimana mengukur dan menilai capaian suatu kompetensi

tertentu masih lebih banyak ditentukan oleh pembelajar atau pada apa yang sudah disediakan

sebagai satu-satunya pilihan. Hanya saja dalam prosesnya pebelajar lebih diberikan kebebasan

untuk aktif merekonstruksi pengetahuannya dengan melakukan beragam aktivitas

pembelajaran, tidak hanya sekedar pasif menunggu dijelaskan oleh pembelajar. Sedangkan

konsep yang ditawarkan heutagogi, pebelajar diberikan kebebasan sejak awal untuk

menentukan tentang apa yang akan dipelajari, bagaimana membelajari dan bagaimana

membuktikan bahwa apa yang dipelajarinya tersebut sudah dikuasainya, meskipun dalam

menetukan tersebut masih ada keterlibatan pembelajar (teacher) sebagai  konsultan

belajarnya. Namun, yang perlu untuk digarisbawahi bahwa dalam praktiknya heutagogi lebih
menekankan pada tingkat kemandirian (higher level of autonomy) dan kematangan pebelajar

dalam belajarnya, sebagaimana dijelaskan Blashcke (2012) bahwa tingkat kematangan belajar

pebelajar (the learners maturity) memberikan pengaruh pada kebutuhan pendampingan

belajarnya, yaitu semakin matang seseorang dalam hal kemandirian belajarnya, maka

persentase kontrol pembelajar  harus semakin dikurangi.

Dalam penerapan pedagogi peran pembelajar masih sangat dominan dibandingkan peran

pebelajar. Selanjutnya, peran pembelajar menjadi semakin berkurang dalam penerapan

andragogi dan menjadi sangat sedikit sekali dalam heutagogi, dimana pembelajar bukan lagi

sebagai pendamping pembelajaran, namun lebih sebagai konsultan pembelajaran.

Dengan kata lain, meskipun sangat menjanjikan, kesuksesan penerapan heutagogi hanya akan

maksimal jika target belajarnya memiliki tingkat kemandirian dan kematangan belajar yang

cukup, yaitu memiliki visi belajar yang jelas, memiliki pemahaman yang baik tentang

kecenderungan belajar dan gaya belajar (metacognitive skill) yang dimiliki. Jika tidak, maka

ia akan kesulitan untuk menentukan (determine) tentang apa yang sebaiknya ia pelajari

dan bagaimana mempelajarinya serta bagaimana harus membuktikan bahwa ia telah

menguasainya.

Heutagogi tidak hanya berorientasi pada usaha penguasaan suatu kompetensi tertentu saja,

melainkan juga pada tingkat peningkatan kapasitas dan kapabilitas kompetensi

tersebut. Output yang ingin dihasilkan dari penerapan heutagogi ini adalah generasi-generasi

yang memiliki kompetensi tertentu dengan kapasitas mengembangkan dan kapabilitas

menerapkannya pada berbagai situasi dan kondisi dilapangan yang selalu berubah dan

berkembang atau dengan istilah lain generasi pebelajar seumur hidup yang selalu berkembang

Oleh karena itu, jika pendidikan 4.0 kita hari ini diarahkan pada penerapan heutagogi, maka

kemampuan metakognitif, kemampuan memahami dan merumuskan visi ke depan harus

mulai diajarkan sejak tingkat pendidikan awal.

Tidak sedikit generasi muda kita hari ini yang masih belum menentukan apa yang ingin

dicapainya di masa depan atau tidak tahu sama sekali apa yang harus dicapai dan

dilakukannya di masa depan.


Kurangnya kemampuan dan kesadaran untuk memahami tujuan hidup, kecenderungan belajar

dan gaya belajar yang dimiliki secara tidak langsung menghambat usaha-usaha dalam

pengembangan diri, baik kepribadian, kompetensi serta kapasitas dan kapabilitas pribadi.

Meskipun memang, heutagogi masih belum cocok untuk diterapkan disemua bidang

keilmuan, karena berpotensi menimbulkan kekacauan dalam hal penguasaan suatu keahlian

tertentu. Heutagogi juga masih belum menemukan formulanya yang tepat untuk diterapkan

pada jenjang pendidikan  awal. Inilah mungkin tantangan dalam penerapan heutagogi ke

depan, yaitu menemukan dan memastikan suatu formula yang tepat untuk diterapkan pada

semua jenjang pendidikan dan semua bidang kajian.

Anda mungkin juga menyukai