Anda di halaman 1dari 3

Daya Pembeda Soal

Daryanto (2010:183) menjelaskan bahwa daya pembeda soal adalah kemampuan sesuatu soal untuk
membedakan antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang bodoh
(berkemampuan rendah). Adapun menurut Sudijono (2009:386), mengetahui daya pembeda item
itu penting sekali, sebab salah satu dasar yang dipegangi untuk menyusun butir-butir item tes hasil
belajar adalah adanya anggapan, bahwa kemampuan antara testee yang satu dengan testee yang
lain itu berbeda-beda, dan bahwa butir-butir item tes hasil belajar itu haruslah mampu memberikan
hasil tes yang mencerminkan adanya perbedaan-perbedaan kemampuan yang terdapat di kalangan
testee tersebut. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa daya pembeda soal
adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan siswa yang memiliki kemampuan tinggi dengan
siswa yang memiliki kemampuan rendah.

Adapun rumus untuk mengetahui daya pembeda adalah : (hoha, 2001: 147) Keterangan : DP =
besarnya daya pembeda yang ingin dicari WL = jumlah peserta didik yang menjawab salah dari
kelompok bawah WH = jumlah peserta didik yang menjawab salah dari kelompok atas n = besarnya
sampel dari salah-satu kelompok. Untuk menginterpretasi hasil analisis dengan ketentuan menurut
Arikunto (2008: 218) sebagai berikut: DP : 0,00 – 0,20 : jelek (poor) DP : 0,20 – 0,40 : cukup
(satisfactory) DP : 0,40 – 0,70 : baik (good) DP : 0,70 – 1,00 : baik sekali (excellent) DP : negatif,
semuanya tidak baik.

Menganalisis tingkat kesukaran soal artinya mengkaji soal- soal tes dari segi kesulitanya sehingga
dapat di peroleh soal-soal mana yang termasuk mudah ,sedang dan sukar. Sedangkan menganalisis
daya pembeda artinya mengkaji soal-soal tes dari segi kesanggupan tes tersebut dalam kategori
lemah atau rendah dan kategori kuat atau tinngi prestasinya (Wayan Nurkancana, 1983; 134).

Terdapat dua konsep “daya beda”, yang pertama adalah kemampuan suatu item soal dalam
membedakan antara siswa yang memiliki kemampuan tinggi / baik / good student dengan siswa
yang memiliki kemampuan rendah / poor student (Fernandes, 1984: 27). Sementara konsep yang
kedua, daya beda item adalah tingkat kesesuaian antara item soal dengan keseluruhan soal dalam
membedakan antara mereka yang tinggi kemampuannya dan mereka yang rendah kemampuannya
dalam hal yang diukur oleh tes yang bersangkutan. (Suryabrata, 1997: 100).

Kedua konsep tersebut didasarkan atas asumsi bahwa dalam suatu kelompok testee terdapat
Kelompok Tinggi dan Kelompok Rendah. Suatu item soal yang baik adalah item soal yang hanya
mampu dijawab benar oleh testee yang memang memiliki kemampuan (Kelompok Tinggi). Kalau
proporsi penjawab benar dari dua kelompok tersebut sama, berarti item soal tersebut tidak mampu
membedakan antara mereka yang berkemampuan tinggi dan mereka yang kemampuan rendah.
Apalagi bila suatu item soal ternyata justru dapat dijawab benar oleh sebagian besar subyek
Kelompok Rendah, sedangkan sebagian besar subyek Kelompok Tinggi tidak banyak yang mampu
menjawab dengan benar, maka hal itu menunjukkan bahwa item soal tersebut menyesatkan karena
daya diskriminasinya terbalik (minus).
Untuk menghitung Daya Beda antara testee Kelompok Tinggi dengan testee Kelompok Rendah, pada
konsep daya beda yang pertama menggunakan formula sebagai berikut:
Keterangan:
D = indeks diskriminasi item
BT = jumlah kelompok tinggi yang menjawab benar
JT = jumlah kelompok tinggi
BR = jumlah kelompok renah yang menjawab benar
JR = jumlah kelompok rendah.
Untuk penghitungan indeks daya beda terlebih dahulu testee dipisahkan ke dalam Kelompok Tinggi
dan Kelompok Rendah. Pembagian kelompok ini didasarkan atas hasil jawaban benar oleh testee
terhadap keseluruhan tes. Testee diurutkan dari yang jumlah jawaban benar tertinggi hingga jumlah
jawaban benar terendah. Apabila jumlah seluruh testee kurang dari 100, pengelompokan dapat
dilakukan dengan membagi seluruh testee menjadi dua (masing-masing kelompok 50 % = 50 testee).
Sedangkan jika testee berjumlah lebih dari 100, untuk memilih Kelompok Atas dapat diambil 27 %
testee teratas (rankingnya), dan untuk Kelompok Bawah diambil 27 % testee terbawah (ranking dari
bawah), masing-masing kelompok tersebut mewakili Kelompok Atas dan Bawah.
Besarnya indeks diskriminasi item soal merentang antara -1,00 hingga 1,00. Klasifikasi tingkat
diskriminasi soal serta interpretasinya, menurut Suharsimi Arikunto (1995: 223) dengan sedikit
modofikasi dari penulis, adalah sebagai berikut:
Tabel.1 Indeks Daya Beda dan Interpretasinya
Indeks Daya Beda
Interpretasi
Negatif
Sangat jelek
0,00 – 0,20
Jelek (poor)
0,21 – 0.40
Cukup (satisfactory)
0,41 – 0,70
Baik (good)
0,71 – 1,00
Baik sekali (excellent)
Sementara itu, untuk menghitung daya beda butir soal pada konsep yang kedua, yakni kesesuaian
item dengan keseluruhan tes dalam membedakan antara mereka yang tinggi kemampuannya dan
mereka yang rendah kemampuannya, teknik yang dipergunakan adalah dengan menggunakan teknik
Korelasi Biserial dan teknik Korelasi Point Biserial. Rumus Korelasi Biserial yang dipergunakan adalah
sebagai berikut:
Keterangan:
Xb : rata-rata skor kriteria subyek yang menjawab benar
Xs : rata-rata skor kriteria subyek yang menjawab salah
St : simpangan baku skor kriteria semua subyek
P : proporsi subyek yang menjawab benar terhadap semua subyek
Y : Ordinat dalam kurve normal yang membagi menjadi P dan 1-P
Bagian esensial dalam rumus di atas adalah perbedaan antara kedua rata-rata dalam perbandingan
dengan simpangan baku. Makin besar perbedaan kedua rata-rata (Xb – Xs) itu akan semakin tinggi
korelasi biserial, dan berarti makin tinggi daya beda soal.
Teknik lain yang biasa digunakan untuk menghitung indeks diskriminasi adalah teknik Korelasi Point-
Biserial (biserial titik), yang formulasinya sebagai berikut:
Keterangan:
Xb = rata-rata skor kriteria yang menjawab benar
Xs = rata-rata skor kriteria yang menjawab salah
St = simpangan baku skor kriteria total
p = proporsi jawaban benar terhadap semua jawaban
q=1–p
Mana di antara kedua teknik tersebut yang hendak dipergunakan, tergantung kepada pertimbangan
yang mendasari pemilihan tersebut. Sementara ahli lebih menyukai r pbis karena koefisen ini
memberikan informasi yang lebih dari pada yang diberikan r bis. Nilai r pbis terpengaruh oleh p yang
harga maksimumnya akan diperoleh kalau p = 0,50. Ini berarti bahwa koefisien ini cenderung
mengutamakan soal-soal yang mempunyai taraf kesukaran rata-rata. Dengan istilah lain korelasi
Point-Biserial merupakan kombinasi antara hubungan soal dengan kriteria serta taraf kesukaran.
Sementara kelompok ahli lain lebih menyukai menggunakan korelasi Biserial karena ingin
memperlakukan korelasi antara soal dengan kriteria bebas dari taraf kesukaran.
Hubungan antara Tingkat Kesukaran dan Daya Beda
Tingkat Daya Beda yang “tinggi” pada umumnya berada pada Tingkat Kesukaran “sedang” ke atas.
Sementara itu Tingkat Kesukaran yang “tinggi” tidak selalu menunjukkan Daya Beda yang tinggi.
Dapat terjadi Tingkat Kesukaran menunjukkan “baik” atau “cukup” sementara Daya bedanya 0 (nol),
jika proporsi jawaban benar Kelompok Atas (tinggi) sama dengan proporsi jawaban benar Kelompok
Rendah (bawah). Bahkan dapat terjadi Tingkat Kesukaran “baik” , sementara Daya Bedanya “negatif”
(minus), jika ternyata proporsi jawaban benar Kelompok Rendah lebih besar dari pada proporsi
jawaban benar Kelompok Tinggi.

1. Bagaimana mekanisme penerapan daya pembeda soal disekolah ini?


2. Mekanisme yang dibuat tersebut apakah sudah diimplementasikan dengan baik atau sering
menghadapi kendala?
3. Jika ada kendala, apa saja yang dihadapi dan bagaimana cara menanggulanginya?
4. Dilihat dari data dilapangan, kelompok siswa manakah yang lebih dominan? Apakah lebih
banyak kelompok bawah atau kelompok atas?
5. Menindaklanjutinya, bagaimana cara penanganan yang tepat dalam menikapi kelompok
dominan tersebut? Apa langkah selanjutnya yang dilakukan
6. Mengingat proses dari penerapan kualitas soal ini memiliki mekanisme yang cukup kompleks
karena melibatkan banyak variabel seperti proporsi soal, daya pembeda soal, dan yang
lainnya karena tujuannya untuk menerapkan soal yang berkualitas dan tepat sasaran untuk
diterapkan pada siswa. Pertanyaan saya apakah ada pelatihan untuk guru dalam
menerapkan sistem kualitas soal?
7. Jika ada, pelatihan dalam bentuk apa dan bisa digambarkan apa saja materi yang termuat
dalam pelatihan tersebut.
8. Sebenarnya siapa yang paling berperan penting dalam menentukan kualitas soal yang
terjamin di sekolah? Apakah bagian kurikulum, keakademikan, atau siapa
9. Dengan sistem penerapan kualitas soal yang diterapkan disekolah saat ini, apakah sudah
cukup efektif?
10. Jika dirasa sudah efektif atau belum, penilaian apakah yang digunakan sehingga bisa menilai
efektifitas dari penerapan kualitas soal tersebut?

Anda mungkin juga menyukai