Anda di halaman 1dari 5

JARINGAN LINTAS IMAN KOTA SEMARANG DALAM

MEMPENGARUHI KEBIJAKAN PENANGANAN KONFLIK GEREJA


BAPTIS INDONESIA (GBI) TLOGOSARI KOTA SEMARANG
The Semarang Interfaith Social Network as Social Movement in Predisposing Policy of Conflict
of Indonesian Baptist Church Tlogosari (GBI) Semarang Handling
Farizabiyyu Putra Wibowo

Abstrak
Secara garis besar, kelompok gerakan sosial memiliki kekuatan untuk merubah sebuah kebijakan
yang ditetapkan oleh pembuat kebijakan. Fokus riset ataupun fokus penelitian pada artikel kali ini adalah
Jaringan Lintas Iman Kota Semarang yang pada kala itu dapat mempengaruhi kebijakan yang dibuat oleh
pemkot Semarang dalam penyelesaian perkara tentang pembangunan Gereja Baptis Indonesia (GBI) di
Tlogosaro, Semarang. Konflik muncul karena izin mendirikan bangunan (IMB) GBI Tlogosari
dikeluarkan pada tahun 1998, sekelompok orang di sekitar gereja menolak membangun dengan alasan
gereja telah melakukan kecurangan saat mengajukan izin mendirikan bangunan. Yang kemudian menjadi
tuduhan untuk ini tidak dapat dibuktikan. Konflik yang terjadi merupakan konflik asli dan lama kelamaan
menjadi konflik instrumental. Konflik diselesaikan melalui mediasi. Selama proses rekonsiliasi, Jaringan
Lintas Agama Kota Semarang menganjurkan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah di Kota
Semarang. Kebijakan tersebut adalah menerbitkan IMB GBI Tlogosar (baru) pada tahun 2020. Metode
penelitian ini adalah kualitatif dengan model studi kasus. 
Kata Kunci: Konflik; GBI Tlogosari; Advokasi Kebijakan
Abstract
Broadly speaking, social movement groups have the power to change a policy set by policy
makers. The research focus or research focus in this article is the Semarang City Interfaith Network
which at that time was able to influence the policies made by the Semarang city government in settling
cases regarding the construction of the Indonesian Baptist Church (GBI) in Tlogosaro, Semarang. The
conflict arose because the GBI Tlogosari building permit (IMB) was issued in 1998, a group of people
around the church refused to build on the grounds that the church had cheated when applying for a
building permit. Which then becomes an accusation for this can not be proven. The conflict that occurs is
the original conflict and gradually becomes an instrumental conflict. Conflicts are resolved through
mediation. During the reconciliation process, the Semarang City Interfaith Network suggested
influencing government policies in the City of Semarang. The policy is to issue a Tlogosar GBI IMB
(new) in 2020. This research method is qualitative with a case study model.
Keywords: Conflict; GBI Tlogosari; Policy Advocacy

I. Pendahuluan
Jemaat Gereja Baptis Indonesia Tlogosari Kota Semarang atau GBI Tlogosari Semarang
mengalami kendala dalam pendirian gereja tersebut. Sengketa terkait izin mendirikan bangunan
(IMB) Gereja Baptis Indonesia (GBI) Tlogosari Semarang. Kepengurusan IMB sudah ada sejak
tahun 1995 setelah gereja membeli tanah pada tahun 1991, IMB diberikan pada tahun 1998.
Menurut Nur Aziz, salah seorang warga, yang memungkinkan karena adanya kecurangan
terhadap warga sekitar saat pembentukan IMB tahun 1998 lalu(Maula, 2023). 
Penyelesaian konflik pada tahun 2002 diprakarsai oleh Kabupaten bekerja sama dengan
Koramil dan Kelurahan. Mediasi ini tidak menjelaskan apa-apa, sehingga konflik terus
berlanjut(Zafira Mayyasya et al., 2022). Pada Juli 2019, pembangunan gereja kembali
dilanjutkan sehingga menimbulkan konflik pada 1 Agustus 2019, ketika sekitar 12 orang
mendatangi Gereja Baptis Indonesia di Tlogosari, merusak benda-benda di lokasi dan mengunci
pintunya. Pada 6 Agustus 2019, walikota memberikan kemudahan mediasi, sehingga GBI
Tlogosari melanjutkan pembangunan dengan syarat pendaftaran IMB baru. Mediasi berlangsung
beberapa kali selama ini, setelah itu warga mengirimkan surat kepada walikota terkait perubahan
keputusan walikota tentang penerbitan izin mendirikan bangunan. Pada 18 September, Forum
Kerukunan Umat Beragama Koa Semarang (FKUB) mengeluarkan nota yang menyatakan belum
bisa memberikan rekomendasi kepada BI Tlogosari. Pada 6 Maret 2020, warga menggelar unjuk
rasa di balai kota(Wijayanto, 2021). Konflik sengketa IMB Gereja Baptis Indonesia atau GBI
Tlogosari dapat terselesaikan dengan adanya penerbitan IMB baru oleh Wali Kota Semarang.
Tak bisa dipungkiri, sengketa izin IMB GBI Tlogosari seperti fenomena gunung es, yang
terlihat di permukaan hanyalah sebagian kecil saja. Aksi protes yang dilakukan pada tahun 1998,
2002 dan 2019 merupakan konflik yang terlihat. Namun, ada potensi konflik, terutama pada
penolakan pertama. Meski bantahan tersebut diumumkan oleh Lurah setempat, namun tidak ada
solusi yang jelas bagi kedua belah pihak. Hingga konflik yang terjadi pada tahun 2019 dan 2020. 
Konflik horizontal seringkali menjadi penyebab konflik dalam masyarakat dengan
banyak faktor penyebabnya. Konflik seputar pembangunan tempat ibadah adalah salah satunya.
Dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan tempat ibadah telah diperhatikan. Apalagi jika
pembangunan rumah ibadah oleh kelompok minoritas dilakukan di wilayah yang mayoritasnya
berbeda, karena kelompok minoritas cenderung kesulitan membangun atau
merenovasi(Saprillah, 2018). Yang terabaikan adalah reaksi terhadap penataan yang dilakukan
oleh pemerintah, mulai dari tingkat RT, RW, Lurah, maupun pemerintah kota dan juga Forum
Kerukunan Umat Beragama Kota FKUB Semarang. 
Bantahan yang terjadi pada pagi hari tanggal 1 Agustus 2019 itu diambil oleh pengurus
RT setempat bersama warga lainnya. Ke-25 orang yang menolak menyerahkan itu antara lain
Ketu RT 06, Ketua RT 03, Ketua RT 08, Ketua RT 10, Ketua RW 7. Perselisihan tahun 2019
dimediasi oleh Kepala Desa Tlogosari Kulon, Eko Yuniarto. Pada tahun 1998 saat pembangunan
gereja asli, ketika terjadi penolakan, penyelesaiannya dimediasi oleh Lurah Tlogosari, yang aktif
pada tahun 1998, tetapi gereja menyetujui dan tidak melanjutkan pembangunan. Hingga tahun
2002, mereka terus membangun namun masih menemui hambatan. Solusi tak berujung dan
ambigu inilah yang kemudian menjadi potensi konflik yang menumpuk. Tanpa penyelesaian dari
kedua belah pihak, gereja dan kelompok oposisi, serta tidak ada penyelesaian dari pemerintah
setempat, konflik berlangsung lama dan tidak terselesaikan. 
Untuk menyelesaikan konflik IMB yang terjadi di GBI Tlogosari Semarang, ada
beberapa faktor yang terlibat. Pemerintah dan kelompok masyarakat juga terlibat dalam mediasi
yang didukung pemerintah untuk menyelesaikan konflik. Selain pemerintah yang terlibat dalam
penyelesaian konflik IMB GBI Tlogosari, ada juga kelompok Jaringan Lintas Agama Kota
Semarang. Kelompok ini meliputi individu, organisasi masyarakat lintas agama, beberapa tokoh
agama, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Semarang sebagai penasehat hukum, dan media
penyiaran konflik yang dialami GBI Tlogosari. Fokus kajian ini adalah peran Kelompok Jejaring
Lintas Agama dalam upaya penyelesaian konflik IMB GBI Tlogosari. 
Jaringan lintas agama juga mempengaruhi kebijakan yang ada terkait konflik IMB GBI
Tlogosari. Perwakilan jaringan merupakan bagian dari tim koordinasi sekolah yang dibentuk
walikota untuk menangani kasus tersebut. Cara kerja jaringan ini tidak hanya mencari dukungan
massa melalui propaganda di media, tetapi juga melakukan mobilisasi dalam struktur
kepengurusan, agar kebijakan-kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah efektif, dapat
memiliki perspektif yang berbeda. Sebab selama ini kebijakan penanganan kasus tersebut masih
sangat memberatkan salah satu pihak, yakni pihak lawan. Padahal pemerintah memiliki
kewajiban untuk menghormati hak semua warga negara, tanpa memandang mayoritas atau
minoritas. Kegiatan advokasi yang dilakukan oleh Jaringan Lintas Agama akan dijelaskan dalam
penelitian ini. 
II. Kerangka Teori
1. Teori Konflik
Konflik adalah pengejaran tujuan yang saling bertentangan antara kelompok-kelompok
yang ada. Beberapa ahli teori membedakan antara konflik kepentingan yang dapat
dinegosiasikan dan kompromi, dan konflik tingkat tinggi yang terkait dengan kebutuhan manusia
dan hanya dapat diselesaikan dengan menghilangkan penyebab yang mendasarinya(Miall et al.,
2002).
Dalam melihat suatu konflik, dibutuhkan alat analisa konflik dan metodemetode konflik.
Metode tersebut adalah tingkat konflik (stage of conflict, garis waktu (timeline), pemetaan
konflik (conflict mapping), segitiga ABC (the ABC- Attitude, Behaviour Context-triangle),
model bawang atau donat (the Onion or doughnut), pohon konflik (the Conflivt tree), analisis
kekuatan lapangan (force-free analysis), pillars, dan analisis model pyramid (the Pyramid)
(Mukhsin, 2007). Penelitian ini menggunakan analisis timeline.
Menurut Rofiq dalam Wijayanto, terdapat tiga metode di dalam resolusi konflik yang
bisa dipahami yakni metode fasilitas atau perantara, negosiasi, dan mediasi. Pertama, metode
fasilitas atau perantara, dengan cara memberi fasilitas kepada kelompok-kelompok yang
berkonflik untuk kemudian dapat dilakukan dialog dalam suatu forum yang bertujuan agar
konflik dapat diselesaikan. Terdapat fasilitator untuk penghubung komunikasi dengan tidak
mengungkapkan pendapat pribadi terkait isu penyebab konflik. Kedua, negosiasi merupakan
sebuah perundingan guna mendapat kesepakatan dengan sebuah perundingan antar pihak yang
terlibat konflik tanpa ada fasilitas oleh pihak lain yang bertujuan mencari solusi penyelesaian
yang memberi keuntungan pada tiap pihak. Negosiasi (Mukhsin, 2007) bukan tentang menyerah
atau menang dengan mengalahkan pihak lain, tetapi tentang niat baik dan kemauan untuk secara
kreatif mencari opsi lain untuk menemukan solusi. Ketiga, mediasi adalah proses penyelesaian
konflik melalui negosiasi dengan bantuan pihak-pihak yang netral dan tidak mengambil
keputusan, dengan bantuan mediator. 
Konflik Keberagaman
Konflik agama bertujuan untuk melihat seperti apa konflik yang terjadi yang menjadi
fokus penelitian ini Ada tiga kelompok pandangan tentang konflik agama yaitu pandangan
primitif, pandangan instrumental dan pandangan konstruktivis. Koherensi dan kesetaraan
primordial atau primal adalah identitas individu yang diperoleh saat lahir, unsur-unsur yang
dibawa pada kelahiran individu adalah identitas individu. Pandangan instrumentalis berpendapat
bahwa etnisitas, agama, dan identitas yang ada dilihat sebagai alat yang digunakan individu dan
kelompok untuk mencapai tujuan, yang mungkin materialistis, atau tidak material. Pandangan
konstruktivis berpendapat bahwa identitas kelompok tidak sekaku pandangan primitif. Etnisitas
digunakan untuk membentuk suatu jaringan hubungan dalam suatu hubungan sosial, maka dari
perspektif konstruktivis, etnisitas merupakan sumber kekayaan yang banyak dimiliki oleh
manusia untuk saling memahami dan memperkaya budaya, sedangkan pandangan konstruktivis
melihat kesetaraan sebagai anugerah dan anugerah. perbedaan sebagai anugerah. 
2. Gerakan Sosial Baru
Klandersman, mengutip penjelasan Tarrow bahwa gerakan sosial adalah tantangan
kolektif yang dipimpin oleh sekelompok orang dengan tujuan dan solidaritas yang sama dalam
interaksi yang konstan dengan berbagai pihak, seperti elit gender, lawan dan otoritas.
 Gerakan sosial baru juga dikenal sebagai gerakan sosial kontemporer. Tujuan dari
gerakan sosial ini adalah esensi universalitas, tindakannya adalah untuk melindungi dan
mempertahankan kondisi kehidupan manusia dalam keadaan yang lebih baik. Gerakan sosial
baru yang sifatnya beragam, seperti anti rasisme, anti nuklir, perlucutan senjata, feminisme,
environmentalisme, regionalisme dan etnis, hak kebebasan sipil dari kebebasan individu hingga
perdamaian(Shah, 2023).
3. Gerakan Sosial (Baru) dalam Perubahan Kebijakan
Gamson menggambarkan keberhasilan sebuah gerakan sosial dilihat dari kedua sisi, ada
manfaat baru terkait dengan perubahan aktual dalam kebijakan publik dalam menanggapi
tuntutan dan keberatan, dan tingkat penerimaan ketika gerakan tersebut menghasilkan hasil yang
nyata dalam sistem representasi kepentingan(Della Porta & Diani, 1999).  Kriesi (Della Porta &
Diani, 1999) menjelaskan bahwa dampak kepekaan suatu gerakan akan memprovokasi kepekaan
beberapa aktor sosial dala arena politik atau arena publik yang sesuai dengan tujuan-tujuan
gerakan.
Advokasi Kebijakan
Advokasi adalah proses yang terdiri dari serangkaian tindakan politik sipil yang
diorganisir untuk mengubah hubungan kekuasaan yang berbeda. Tujuan advokasi adalah
mengubah kebijakan tertentu untuk menguntungkan warga yang terlibat dalam advokasi(Suharto,
2015). 
Dalam penelitian ini terdapat beberapa kajian teoritis yang penulis gunakan untuk
menganalisis permasalahan dan hasil. Teori konflik, yang meliputi konflik agama.
Konseptualisasi teorinya adalah bagaimana masalah ini dapat dilihat sebagai konflik, konflik
seperti apa dan bagaimana penyelesaiannya. Gerakan sosial baru yang secara khusus mengonsep
teori ini adalah melihat bagaimana Jejaring Antaragama merupakan sebuah gerakan sosial baru
di Kota Semarang. Gerakan sosial baru dalam perubahan kebijakan termasuk advokasi kebijakan
yang konsepnya adalah bagaimana jaringan antaragama sebagai gerakan sosial dapat
mempengaruhi kebijakan sehingga dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah kota Semarang. 

Anda mungkin juga menyukai