STRATEGI ALTERNATIF YANG DILAKUKAN DALAM MEMBERANTAS
KEMISKINAN DI INDONESIA Program pemberantasan kemiskinan di Indonesia dapat secara efektif dijalankan melalui berbagai langkah (Mubyarto, 2004:14) 1) Penerbitan undang-undang pemberantasan kemiskinan sehingga program pengurangan kemiskinan lebih diprioritaskan oleh pemerintah dan masyarakat. 2) Program pemberantasan kemiskinan harus bersifat multi-sektoral. 3) Perencanaan dan pelaksanaan dilakukan bersama antara masyarakat dan pemerintah sehingga program sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan potensi aktual masyarakat dapat lebih tergali. program. 4) Masyarakat dijadikan subjek bukan sekadar objek 5) Pertanggungjawaban program tidak saja pada pemerintah tetapi juga pada masyarakat. 6) Program yang berkesinambungan. 7) Ukuran keberhasilan ditentukan berdasarkan kemampuan masyarakat ke luar dari belenggu kemiskinan
2. ALASAN TINGKAT UPAH DI INDONESIA CUKUP RENDAH JIKA
DIBANDINGKAN NEGARA LAIN Rendahnya tingkat upah di Indonesia ternyata tidak hanya terkait dengan banyaknya tenaga kerja yang ada dan besarnya tambahan angkatan kerja baru yang masuk bursa kerja. Faktor lain yang menyebabkan murahnya tingkat upah ini adalah tingkat produktivitas yang rendah. Data menunjukkan secara relatif terhadap tujuh negara Asia lainnya, produktivitas tenaga kerja Indonesia adalah yang paling rendah yang untuk tahun 1990 hanya seperlima dari produktivitas tenaga kerja Singapura Secara relatif dengan basis produktivitas tenaga kerja Singapura telah terjadi pula penurunan produktivitas tenaga kerja Indonesia tersebut. Hal ini memberikan gambaran bahwa daya saing produk industri Indonesia juga makin menurun terhadap Singapura, di samping juga terhadap Korea Selatan. 3.
PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL DALAM PEMBANGUNAN DAERAH
Temuan Wuryanto (1996: 179-180) yang menggunakan pendekatan Keseimbangan Umum Terapan antar-regional, menunjukkan pendelegasian sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan tanpa mengganggu kepentingan ekonomi nasional. Oleh karena itu, ia merekomendasikan reformasi kebijakan fiskal yang berlaku, yang diarahkan pada sistem desentralisasi fiskal, termasuk di dalamnya merestrukturisasi pembagian kewenangan di antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam hal penerimaan dan pengeluarannya. Salah satu kunci untuk itu adalah perlunya suatu reformasi dalam hubungan fiskal antar tingkatan pemerintahan, yang meliputi desentralisasi kewenangan dalam pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Desentralisasi fiskal dinilai dapat memberikan sumbangan dalam penyediaan prasarana publik di daerah melalui pencocokan (matching) yang lebih baik dari pengeluaran daerah dengan prioritas dan preferensi daerah tersebut. Keadaan yang demikian telah mendorong terjadinya perubahan-perubahan yang berkaitan dengan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah, yakni dengan menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang- undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditambah dengan Undang -undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta mengganti Undang- Undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya sendiri dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPPD) dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Adapun UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah digantikan oleh Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang pada tahun yang sama dilakukan perubahan dendan digalirkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam konteks otonomi dan desentralisasi fiskal, Mardiasmo (2001:1) secara spesifik mengemukakan tiga misi utama dari kebijakan tersebut, yaitu: 1) meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat, 2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, dan 3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Sedangkan Oates (World Bank, 2002:1) menyatakan argumen teoretik tentang pentingnya desentralisasi fiskal adalah "each public service should be provided by the jurisdiction having control over the minimum geographic area that would internalize benefits and cost of such provision". Secara umum, menurut Rao (2000: 78), desentralisasi pemerintahan dan fiskal didorong oleh desakan untuk menyediakan pelayanan-pelayanan pemerintah yang lebih efisien dan aspiratif. Namun demikian, dalam sistem perpajakan dan pengelolaan sumber di daerah sebagian masih diatur dan ditangani di pusat, sumber dana dari pusat tetap penting untuk mendukung berbagai kegiatan di daerah. Masalah transfer ini merupakan salah satu isu yang sangat penting dalam pelaksanaan desentralisasi di Asia (Sato dan Shindi Yamashige, 2000: 83). Menurut Sidik (1999:2), ada empat kriteria untuk menjamin sistem hubungan keuangan Pusat-Daerah yang baik. Pertama, harus memberikan pembagian kewenangan yang rasional dari berbagai tingkat pemerintahan mengenai penggalian sumber dana pemerintah dan kewenangan penggunaannya; kedua, menyajikan suatu bagian yang memadai dari sumber- sumber dana masyarakat secara keseluruhan untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi penyediaan pelayanan dan pembangunan yang diselenggarakan pemerintah daerah; ketiga, sejauh mungkin membagi pengeluaran pemerintah secara adil di antara daerah-daerah, atau sekurang-kurangnya memberikan prioritas pada pemerataan pelayanan kebutuhan dasar tertentu; dan keempat, pajak dan retribusi yang dikenakan pemerintah daerah harus sejalan dengan distribusi yang adil atas beban keseluruhan dari pengeluaran pemerintah dalam masyarakat
4. MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI NEGARA INDONESIA DALAM
PEMBANGUNAN MANUSIA Pembangunan manusia Indonesia menghadapi masalah klasik yaitu pendidikan dan kesehatan. Kita harus mengakui bahwa selama ini pemerintah kurang memberi perhatian yang optimal pada kedua bidang tersebut. Terlebih beberapa tahun terakhir ini, pemerintah seperti lepas tangan terhadap dua sektor publik yang mempengaruhi kualitas manusia Indonesia. Seperti yang telah disebutkan pada bagian awal tulisan ini, anggaran yang disediakan pemerintah untuk pendidikan sangat kecil sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Rendahnya kualitas manusia Indonesia dapat dilihat berdasarkan lama bersekolah. Penduduk Indonesia rata-rata hanya bersekolah selama 6-7 tahun berdasarkan perhitungan HDI tahun 1999. Di era Otonomi Daerah seperti sekarang ini, anggaran yang diberikan pemerintah daerah terhadap sektor pendidikan tidak jauh berubah. Di Sumatera Barat, anggaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan hanya 8,2 persen sedangkan di Jawa Timur anggaran untuk sektor yang sama hanya 13,7 persen. Artinya pelaksanaan otonomi daerah ternyata belum membawa banyak manfaat bagi pembangunan manusia Indonesia. Anggaran pendidikan yang rendah tentu saja mempengaruhi kualitas pendidikan. Pendidikan yang rendah tersebut akan berdampak pada kemampuan dan kreativitas peserta didik. Akibatnya angkatan kerja tidak memenuhi kualifikasi yang diinginkan dunia kerja dan tidak memiliki kemampuan membuka peluang usaha. Padahal di sisi lain kurikulum di Indonesia juga mendapat banyak kritik karena tidak sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dan menciptakan pola pikir sebagai pekerja bukan sebagai inisiator. Akibatnya penduduk yang telah mendapatkan pendidikan menengah dan tinggi sekalipun tidak dapat siap bekerja di berbagai sektor pekerjaan. Ketidaksesuaian antara kebutuhan dan kualifikasi angkatan kerja yang ada membuat dunia kerja seringkali mendatangkan tenaga kerja asing yang tentu saja merugikan bangsa Indonesia. Persoalan pendidikan yang buruk di atas mengakibatkan persoalan kependudukan yang baru yaitu pengangguran. Berdasarkan data BPS terdapat 10 persen angkatan kerja di Indonesia menganggur. Dari jumlah itu sebagian besar penganggur lebih dari 75 persennya tinggal di perkotaan. Hal ini terjadi karena sebagian besar orang melihat kota adalah pusat pertumbuhan ekonomi. Artinya ada banyak kesempatan bekerja, padahal industri di perkotaan gagal memperoleh dampak yang diinginkan seperti perluasan lapangan kerja. Akibat pola pikir semacam itu, terjadi urbanisasi besar-besaran yang berakibat meningkatnya pengangguran di kota dan kurangnya tenaga kerja pada sektor pertanian di desa. Angkatan kerja baru seringkali lebih menginginkan pekerjaan di sektor industri perkotaan karena dianggap lebih modern daripada bekerja di sektor pertanian di desa. Persoalan lain yang harus diselesaikan bangsa ini menyangkut pembangunan manusia adalah masalah kesehatan. Setali tiga uang dengan sektor pendidikan, sektor kesehatan juga hanya mendapatkan porsi yang minim dalam anggaran pembangunan pusat dan daerah. Berdasarkan HDI tahun 1999, kondisi kesehatan masyarakat Indonesia sangat buruk. Penduduk Indonesia yang tidak memiliki akses terhadap air bersih mencapai 51,9 persen, sedangkan penduduk Indonesia yang tidak memiliki akses terhadap jasa kesehatan mencapai 21,6 persen. Akses tersebut meliputi ketersediaan dokter, obat-obatan dan sarana kesehatan lain. Fakta yang lebih memilukan adalah sebanyak 30 persen balita berada dalam gizi buruk. Padahal gizi di masa balita sangat penting bagi pertumbuhan di kemudian hari, karena pada masa-masa itu terjadi puncak perkembangan otak dan tubuh yang pesat
5. CARA MENGATASI GLOBALISASI EKONOMI YANG MERUGIKAN NEGARA
MISKIN Globalisasi ekonomi yang dianggap merugikan negara miskin dan berkembang tersebut memicu berbagai gerakan untuk menentangnya. Pada penghujung tahun 1990- an gerakan berlawanan arah dengan kecenderungan globalisasi justru yang menguat Globalisasi digugat banyak negara. Impian untuk percepatan pembangunan ekonomi dan penghapusan kemelaratan ternyata tidak mewujud. Situasi yang ada justru melahirkan keadaan sebaliknya, di mana ketimpangan antara negara kaya- miskin dinila makin membesar. Oleh karenanya berikut langkah- langkah kongkret mengatasi hal tersebut : 1) Meningkatkan partisipasi warga negara melalui perombakan IMF. Rekomendasi ini diberikan karena sistem finansial global hanya dijalankan birokrat, bankir, dan ekonom arus utama, yang keputusannya berpengaruh pada kehidupan masyarakat luas yang tidak pernah diajak berkonsultasi; 2) Mendirikan lembaga keuangan global yang baru. Lembaga seperti Bank Sentral Global dibutuhkan untuk membuat berbagai ketentuan baru yang bisa menghindari gejolak dan ketidakefisienan di pasar lembaga keuangan dunia 3) Menghargai alam (honor the earth). Standar lingkungan global harus ditetapkan oleh lembaga baru dengan mandat PBB. Standar ini harus didasarkan pada keberlanjutan, pemerataan, dan keadilan, dan ini harus diterapkan dalam setiap perjanjian perdagangan dan investasi.
Beberapa rekomendasi di atas menunjukkan bahwa upaya untuk mengendalikan dampak
globalisasi yang kini berjalan tidak sederhana. Hal ini terjadi karena tersebut sama dengan melawan kemapanan negara-negara maju yang sulit untuk mendukung aksi yang dapat mengurangi keuntungannya dari pola hubungan ekonomi dunia yang ada saat ini. Oleh karena itu, diperlukan gerakan membangun kesadaran dunia, seperti yang dilakukan FSD/WSF, yang selama seminggu melakukan pertemuan, dan pada saat yang sama berhenti mengkonsumsi produk globalisasi