Anda di halaman 1dari 21

PENATALAKSANAAN PADA PASIEN DENGAN 

GANGUAN MULTISISTEM
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH IV
Kelas Reguler A 2019

Anggota kelompok 3 :

1. Inas Nur Insani NIM. I1B019047


2. Maulana Rhaka Rahmansyah NIM. I1B019049
3. Mu'taziatul Adhimah NIM. I1B019051
4. Valerio Basuni Carlo. C NIM. I1B019053
5. Mahda Mar'Atus Sholihah NIM. I1B019055
6. Ardina Mispa Uji M. NIM. I1B019057
7. Rizky Nurhidayah NIM. I1B019059
8. Anzalna Intan Kinantarisa NIM. I1B019060
9. Yuni Sukma Panca Indrawati NIM. I1B019061
10. Margaretha Dea Priscillia NIM. I1B019062
11. Syaima Hanifa Mujahidah NIM. I1B019063

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2022
BAB 1. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG 
Infark miokardium adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh penurunan suplai darah
akibat penyempitan kritis arteri koroner karena aterosklerosis atau penyumbatan total arteri oleh
emboli atau trombus. Penurunan aliran darah koroner juga bisa diakibatkan oleh syok atau
perdarahan sehingga terjadi ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen jantung.
Infark miokard merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena morbiditas dan
mortalitasnya yang tinggi (Astuti & Maulani, 2018). 
Menurut Badan Kesehatan Dunia tercatat lebih dari 7 juta orang meninggal akibat Infark
Miokard di seluruh dunia pada tahun 2002. Angka ini diperkirakan meningkat hingga 11 juta
orang pada tahun 2020. Di Indonesia, kasus Infark Miokard semakin sering ditemukan karena
pesatnya perubahan gaya hidup. Meski belum ada data epidemiologis pasti, angka
kesakitan/kematiannya terlihat cenderung meningkat.
Riskesdas mencatat bahwa prevalensi penyakit infark miokard berdasarkan wawancara yang
didiagnosis dokter serta yang didiagnosis dokter atau gejala meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 65-74 tahun yaitu 2,0 persen dan 3,6 persen,
menurun sedikit pada kelompok umur ≥ 75 tahun. Prevalensi Miokard yang didiagnosis dokter
maupun berdasarkan diagnosis dokter atau gejala lebih tinggi pada perempuan (0,5% dan
1,5%).Prevalensi Infark Miokard lebih tinggi pada masyarakat tidak bersekolah dan tidak
bekerja. Berdasarkan Miokard terdiagnosis dokter prevalensi lebih tinggi di perkotaan, namun
berdasarkan terdiagnosis dokter dan gejala lebih tinggi di perdesaan. 
Kajian epidemiologis menunjukkan bahwa beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan
resiko seseorang untuk mengelami infark miokard diantaranya adalah usia, riwayat keluarga,
obesitas, hiperlipidemia, merokok, diabetes melitus, jenis kelamin, ras, riwayat hipertensi, stress,
dan inaktivitas fisik (Astuti, 2018). Hal tersebut menunjukkan bahwa kejadian Infark Miokard
sering disebabkan oleh gangguan pada sistem lain. Hubungan keterkaitan antar sistem sehingga
gangguan pada suatu sistem dengan sistem kardiovaskular perlu dicari dan di analisis terkait
keluhan yang bisa dirasakan oleh pasien. Pengkajian yang kompleks, kritis, dan mendalam perlu
dilakukan untuk menghasilkan suatu diagnosa keperawatan dan rencana asuhan keperawatan
yang baik. Berdasarkan diagnosa keperawatan tersebut dapat dikaitkan dengan terapi atau
pengobatan melalui kajian evidence based practice guna menentukan intervensi yang sesuai
untuk mendukung rencana intervensi yang telah dibuat.

B. RUMUSAN MASALAH 
1. Apa patofisiologi dan pathways dari pasien dengan gangguan multisistem?
2. Apa analisis data dari Kasus pasien dengan gangguan multisistem?
3. Bagaimana rumusan diagnosis keperawatan berdasarkan NANDA/SDKI pada pasien
dengan gangguan multisistem?
4. Bagaimana rencana asuhan keperawatan yang dapat diberikan berdasarkan diagnosis
yang diambil?
5. Apa saja intervensi keperawatan berdasarkan evidence based practice (EBP) pada kasus
tersebut ? 
C. TUJUAN 
1. Dapat mengetahui patofisiologi dan pathways dari kasus pasien dengan gangguan
multisystem
2. Dapat menyusun analisis data yang sesuai dari kasus pasien dengan gangguan
multisystem
3. Dapat menentukan rumusan diagnosis keperawatan berdasarkan NANDA/SDKI dari
kasus pasien dengan gangguan multisystem
4. Dapat membuat rencana asuhan keperawatan yang sesuai berdasarkan diagnosis yang
diambil pada pasien dengan gangguan multisystem
5. Dapat mengetahui intervensi keperawatan berdasarkan evidence based practice (EBP)
pada kasus tersebut

BAB 2. PEMBAHASAN
A. OVERVIEW KASUS 
Seorang pasien laki – laki berusia 48 tahun mengeluh nyeri dada sebelah kanan setelah
bersepeda, nyeri dada disertai keluhan badan yang basah oleh keringat dingin dan penjalaran
nyeri hingga ke ke leher, rahang bawah, bahu dan lengan kiri, nyeri dirasakan seperti tertimpa
benda berat. Skala nyeri 8 (0-10). Durasi nyeri lebih dari 30 menit dan sedikit berkurang jika
pasien istirahat. Pasien mempunyai kebiasaan merokok sejak berusia 14 tahun. Hasil
pemeriksaan fisik didapatkan TD: 170/100 mmHg, Suhu:36.70C, frekuensi pernafasan:
26x/menit, denyut nadi: 104x/menit, saturasi oksigen 99%. Hasil ECG terdapat ST elevasi di
lead II, III dan AVF. Tidak ditemukan ronkhi maupun bunyi jantung S3. Hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan:

1. Patofisiologi dan Pathways


Infark miokard akut sering terjadi pada orang yang memiliki satu atau lebih faktor resiko
seperti: obesitas, merokok, hipertensi dan lain-lain. Faktor-faktor ini disertai dengan proses
kimiawi terbentuknya lipoprotein di tunika intima yang dapat menyebabkan interaksi fibrin dan
platelet sehingga menimbulkan cedera endotel pembuluh koroner. Interaksi tersebut
menyebabkan invasi dan akumulasi lipid yang akan membentuk plak fibrosa. Timbunan plak
menimbulkan lesi komplikata yang dapat menimbulkan tekanan pada pembuluh darah dan
apabila ruptur dapat terjadi trombus. Thrombus yang menyumbat pembuluh darah menyebabkan
aliran darah berkurang, sehingga suplai O2 yang diangkut darah ke jaringan miokardium
berkurang yang anaerob yang berakibat penumpukan asam laktat. Asam laktat yang meningkat
menyebabkan nyeri dan perubahan pH endokardium yang menyebabkan perubahan perubahan
elektrofisiologi endokardium, yang pada akhirnya menyebabkan perubahan sistem konduksi
jantung sehingga jantung mengalami disritmia. Iskemik yang berlangsung lebih dari 30 menit
menyebabkan kerusakan otot jantung yang ireversibel dan kematian otot jantung (infark)
(Nusantoro,2018).
Miokardium yang mengalami kerusakan otot jantung atau nekrosis tidak lagi dapat
memenuhi fungsi kontraksi dan menyebabkan keluarnya enzim dari intrasel ke pembuluh darah
yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium. Otot jantung yang infark mengalami
perubahan selama penyembuhan. Mula-mula otot jantung yang mengalami infark tampak memar
dan sianotik karena darah didaerah sel tersebut berhenti. Dalam jangka waktu 24 jam timbul
oedem sel-sel dan terjadi respon peradangan yang disertai infiltrasi leukosit. Infark miokardium
akan menyebabkan fungsi ventrikel terganggu karena otot kehilangan daya kontraksi. Sedang
otot yang iskemik disekitarnya juga mengalami gangguan dalam daya kontraksi secara
fungsional infark miokardium akan mengakibatkan perubahan-perubahan pada daya kontraksi,
gerakan dinding abnormal, penurunan stroke volume, pengurangan ejeksi peningkatan volume
akhir sistolik dan penurunan volume akhir diastolik ventrikel. Keadaan tersebut diatas
menyebabkan kegagalan jantung dalam memompa darah (jatuh dalam dekompensasi kordis) dan
efek jantung ke belakang adalah terjadinya akumulasi cairan yang menyebabkan terjadinya
edema paru—paru dengan manifestasi sesak nafas. Sedangkan efek ke depan terjadinya
penurunan COP sehingga suplai darah dan oksigen sistemik tidak adekuat sehingga
menyebabkan kelelahan (Nusantoro, 2018).

2. Pengkajian, Analisis Data dan Dx


A. Pengkajian
1. Identitas
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 48 tahun
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama : Nyeri dada kanan menjalar hingga ke leher,
rahang bawah, bahu, dan lengan kiri. 
b. Riwayat penyakit sekarang : Pasien mengalami keluhan nyeri dada
sebelah kanan setelah bersepeda, nyeri dada disertai keluhan badan
yang basah oleh keringat dingin dan penjalaran nyeri hingga ke
leher, rahang bawah, bahu dan lengan kiri, nyeri dirasakan seperti
tertimpa benda berat. Skala nyeri 8 (0-10). Durasi nyeri lebih dari
30 menit dan sedikit berkurang jika pasien istirahat.
c. Riwayat penyakit terdahulu : -
3. Pola Kesehatan Fungsional 
- Pola Aktivitas/Istirahat 
Pasien merasakan nyeri dada yang disertai keluhan badan yang basah
oleh keringat dingin dan nyeri menjalari hingga ke leher, rahang bawah,
bahu dan lengan kiri, nyeri dirasakan seperti tertimpa benda berat. Nyeri
dirasakan setelah bersepeda dengan skala nyeri 8 (0-10). Durasi nyeri
lebih dari 30 menit dan sedikit berkurang jika pasien istirahat. 
- Kenyamanan
Keluhan badan yang basah oleh keringat dingin dan penjalaran nyeri
hingga ke leher, rahang bawah, bahu dan lengan kiri, nyeri dirasakan
seperti tertimpa benda berat.
- Pola Nilai Kepercayaan/Kebiasaan
Pasien mempunyai kebiasaan merokok sejak berusia 14 tahun.
4. Pemeriksaan Fisik
- TD: 170/100 mmHg
- Suhu:36.70C
- frekuensi pernafasan: 26x/menit
- denyut nadi: 104x/menit 
- saturasi oksigen 99%
- Tidak ditemukan ronkhi maupun bunyi jantung S3

5. Pemeriksaan Penunjang
- Hasil ECG terdapat ST elevasi di lead II, III dan AVF
- Hemoglobin 13.4 gr/dL
- Leukosit 5.7. 103µL
- Trombosit 270 103µL
- Gula darah sewaktu (GDS) 324 mg/dL
- Ureum 40 mg/dL
- Kreatinin 1 mg/dL
- SGOT 24 mg/dL
- SGPT 26 mg/dL
- Kolesterol total 430 mg/dL
- HDL 35 mg/dL
- LDL 160 mg/dL
- Troponin T 1.1 ng/mL
- Troponin I 0.52 ng/mL
- creatinin kinase-myocardial band (CK-MB)145 u/L
6. Terapi (Tidak Ada)

B. Analisis Data

Data Subjektif Data Objektif

 Klien mengeluh nyeri dada sebelah kanan setelah  Klien laki-laki


bersepeda  Usia 48 tahun
 Nyeri dada klien disertai keluhan badan yang  TD: 170/100 mmHg
basah oleh keringat dingin dan penjalaran nyeri  Suhu:36.70C
hingga ke leher, rahang bawah, bahu dan lengan  frekuensi pernafasan:
kiri, nyeri dirasakan seperti tertimpa benda berat. 26x/menit
 Skala nyeri 8 (0-10).  denyut nadi: 104x/menit
 Durasi nyeri lebih dari 30 menit dan sedikit  saturasi oksigen 99%.
berkurang jika pasien istirahat  Hasil ECG terdapat ST
 Klien mempunyai kebiasaan merokok sejak elevasi di lead II, III dan
berusia 14 tahun. AVF.
 Tidak ditemukan ronkhi
maupun bunyi jantung S3.
 Hemoglobin 13.4 gr/dL
 Leukosit 5.7. 103µL
 Trombosit 270 103µL
 Gula darah sewaktu (GDS)
324 mg/dL
 Ureum 40 mg/dL
 Kreatinin 1 mg/dL
 SGOT 24 mg/dL
 SGPT 26 mg/dL
 Kolesterol total 430 mg/dL
 HDL 35 mg/dL
 LDL 160 mg/dL
 Troponin T 1.1 ng/mL
 Troponin I 0.52 ng/mL
 creatinin kinase-
myocardial band (CK-
MB)145 u/L

Data Etiologi Masalah


Keperawatan

DS : Agen pencedera fisiologis Nyeri Akut


Pengkajian nyeri (D.0077)
 P : Nyeri dirasakan setelah
bersepeda
 Q : Nyeri seperti tertimpa benda
berat
 R : Klien mengeluh nyeri dada
sebelah kanan, Nyeri menjalar ke
hingga leher, rahang bawah, bahu,
dan lengan kiri
 S : Skala nyeri 8 (0-10)
 T : durasi nyeri lebih dari 30 menit
 Nyeri sedikit berkurang jika pasien
beristirahat
DO :

DO : Perubahan Frekuensi Penurunan


 Hasil ECG TD: 170/100 mmHg Jantung Curah Jantung
 terdapat ST elevasi di lead II, III (D.0008)
dan AVF.
 LDL 160 mg/dL
DS :
 Klien mempunyai kebiasaan
merokok sejak berusia 14

DO : Ketidakseimbangan antara Intoleransi


 Gula darah sewaktu (GDS) 324 suplai dan kebutuhan Aktivitas
mg/dL oksigen (D.0056)
 Suhu:36.7°C
 frekuensi pernafasan: 26x/menit
 denyut nadi: 104x/menit
 saturasi oksigen 99%
DS :
 Nyeri menjalar ke hingga leher,
rahang bawah, bahu, dan lengan
kiri

C. Diagnosis Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis ditandai dengan klien
mengeluh nyeri dada menjalar, skala 8, nyeri seperti tertimpa benda berat. 
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi jantung ditandai
dengan Hasil ECG terdapat ST elevasi di lead II, III dan AVF.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen

D. NCP

Diagnosis Keperawatan Luaran ( SLKI ) Intervensi ( SIKI )


(SDKI)

Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri
pencedera fisiologis 3x24 jam, diharapkan tingkat nyeri (I.08238)
(D.0077) pasien menurun dan kontrol nyeri
meningkat, dengan kriteria hasil: Observasi
 Identifikasi lokasi,
Tingkat Nyeri (L.08066) karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri.
Kriteria Hasil Skala Skala
 Identifikasi skala
awal akhir
nyeri.
Keluhan 1 3  Identifikasi respon
nyeri nonverbal.
Keterangan :  Identifikasi
1 : meningkat pengaruh nyeri pada
2 : cukup meningkat kualitas hidup.
3 : sedang  Monitor efek
4 : cukup menurun samping
5 : menurun penggunaan
analgesik.
Kontrol Nyeri (L.08063) Terapeutik
 Teknik non
farmakologi.
Kriteria hasil Skala Skala
 Kontrol lingkungan.
awal akhir
 Fasilitasi istirahat.
Kemampuan 1 3 Edukasi
menggunakan teknik  Jelaskan strategi
non-farmakologi meredakan nyeri.
 Anjurkan
Kemampuan 2 4
memonitor nyeri
mengenali penyebab
secara mandiri.
nyeri
 Anjurkan
Penggunaan 2 4 menggunakan
analgesik analgesik dengan

Keterangan : tepat.

1 : menurun  Ajarkan teknik non

2 : cukup menurun farmakologi.

3 : sedang Kolaborasi

4 : cukup meningkat  Pemberian

5 : meningkat analgesik.

1 : meningkat
2 : cukup meningkat
3 : sedang
4 : cukup menurun
5 : menurun

Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan Jantung (I.


jantung b.d perubahan 3x24 jam, diharapkan curah jantung 02075)
frekuensi jantung pasien meningkat, dengan kriteria hasil :
(D.0008) Curah Jantung ( L. 02008) Observasi
 Identifikasi tanda
gejala primer
Kriteria hasil Skala Skala
penurunan curah
awal akhir
jantung
Takikardia 1 3  Identifikasi tanda
gejala sekunder
Gambaran EKG 1 3
penurunan curah
aritmia
jantung
Lelah 2 4  Monitor TD
 Monitor keluhan
Tekanan darah 2 4
nyeri dada
Keterangan :
(PQRST)
1 : meningkat
 Monitor EKG 12
2 : cukup meningkat
sadapan
3 : sedang
 Monitor aritmia dan
4 : cukup menurun
nilai laboratorium
5 : menurun
jantung
Terapeutik
1 : memburuk
 Lakukan
2 : cukup memburuk
positioning pada
3 : sedang
pasien dengan tepat
4 : cukup membaik
 Berikan diet jantung
5 : membaik
yang sesuai
 Fasilitasi pasien dan
keluarga untuk
modifikasi gaya
hidup sehat
 Berikan terapi
relaksasi untuk
mengurangi stres,
jika perlu
 Berikan dukungan
emosional dan
spiritual
Edukasi
 Anjurkan
beraktivitas fisik
sesuai toleransi
 Anjurkan
beraktivitas fisik
secara bertahap
 Anjurkan pasien
untuk berhenti
merokok
Kolaborasi
 Berkolaborasi
dengan dokter
untuk pemberian
antiaritmia
 Rujuk ke program
rehabilitasi jantung

Intoleransi aktivitas b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Energi


ketidakseimbangan 3x24 jam, diharapkan toleransi aktivitas ( I. 05178)
antara suplai dan pasien meningkat, dengan kriteria hasil:
kebutuhan oksigen Toleransi Aktivitas (L.05047) Observasi
(D.0056)  Identifikasi
gangguan fungsi
Kriteria hasil Skala Skala
tubuh yang
awal akhir
mengakibatkan
Frekuensi napas 2 4 kelelahan
 Monitor kelelahan
Kemudahan dalam 2 4
fisik dan emosional
beraktivitas
 Monitor lokasi dan
Keterangan :
ketidaknyamanan
1 : memburuk
selama melakukan
2 : cukup memburuk
aktivitas
3 : sedang
Terapeutik
4 : cukup membaik
 Lakukan latihan
5 : membaik
rentang gerak pasif
dan/atau aktif
1 : menurun
 Berikan aktivitas
2 : cukup menurun
distraksi yang
3 : sedang
menyenangkan
4 : cukup meningkat
Edukasi
5 : meningkat
 Anjurkan tirah
baring
 Anjurkan
melakukan aktivitas
secara bertahap
 Ajarkan strategi
koping untuk
mengurangi
kelelahan
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan
ahli gizi tentang
cara meningkatkan
asupan makanan

4. Evidence Based Practice 


a) Terapi Non Farmakologi
Pengendalian nyeri dapat dilakukan dengan melakukan terapi nonfarmakologi. Salah satu
terapi nonfarmakologi untuk pengendalian nyeri adalah akupressur. Akupressur merupakan salah
satu terapi komplementer yang mampu meningkatkan kadar endorfin untuk merangsang
penurunan nyeri. Penekanan pada titik L14 dapat meningkatkan kadar endorfin dalam darah
maupun sistemik. Endorfin merupakan dihasilkan oleh kelenjar pituitary yang berguna untuk
mengurangi nyeri, mempengaruhi memori dan mood sehingga dapat memberikan perasaan
relaks.(Kambu, Krisnawati, dan shahilien, 2020).
b) Terapi Analgesik
Analgesik didefinisikan sebagai pengendalian nyeri berupa pengurangan atau
menghilangkan rasa nyeri (Millizia, 2018). Pada pasien dengan nyeri akut infark miokard
analgesik yang dapat diberikan berupa meperidine, pentazocine, dan morfin. Morfin menjadi
pilihan yang paling sering digunakan untuk mengatasi nyeri akut yang dialami pasien dengan
infark miokard kecuali jika pasien mengalami hipersensitivitas morfin. Morfin ini dapat
diberikan dengan dosis 4-8 mg intravena, dosis 2-8 mg diulang pada interval 5-15 menit hingga
rasa sakit dapat mereda. Pemberian obat morfin ini dapat dihentikan apabila terdapat toksisitas,
hipotensi, depresi pernapasan, atau muntah yang parah pada pasien. Adapun manfaat dari
penggunaan obat morfin pada pasien adalah pelebaran arteri perifer dan vena (terutama di antara
pasien dengan aktivitas simpatom adrenal berlebihan), penurunan kerja pernapasan, serta
memperlambat denyut jantung (Thygesen et al (2012) dalam Salean, 2015). Selain itu, morfin ini
memiliki kekurangan berupa efek samping yang perlu diwaspadai yaitu konstriksi vena arteriolar
melalui penurunan simpatis sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung
dan tekanan arteri. Efek samping hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada
kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dan NaCl 0,9%. Efek samping morfin yang
lain juga dapat berupa vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi,
terutama pada pasien dengan infark posterior dimana efek samping ini biasanya dapat diatasi
dengan pemberian atropine 0,5 mg (Saragih, 2018).
c) Terapi Fibrinolitik untuk Pasien St-Segment Elevation Myocardium Infarction.
Terapi fibrinolitik merupakan terapi yang digunakan untuk mengatasi masalah yang
timbul dikarenakan adanya bekuan darah atau thrombus seperti thrombosis vena, emboli paru,
infark miokard (STEMI), stroke iskemik, dan tromboemboli arteri (Ali et al. 2014). Terapi
fibrinolitik menjadi strategi reperfusi penting dalam terapi STEMI ketika PCI primer tidak dapat
dilakukan dengan tepat. Tujuan utama dari terapi ini adalah pemulihan cepat dari patensi penuh
arteri koroner (Newby et al., 2010). Pemberian terapi fibrinolitik memberikan keuntungan yang
baik dengan level evidence A jika onset gejala <30 menit. Fibrinolitik dapat memberikan
manfaat sebesar 5% pada pasien dengan elevasi ST yang dirawat antara 7 dan 12 jam setelah
timbulnya gejala. Terapi fibrinolitik dapat memberikan banyak manfaat pada pasien dengan
perawatan selama 2 jam. Berdasarkan Myocardial Infarction Triage and Intervention (MITI)
Randomized trial, pemberian fibrinolitik pada pasien infark miokard dengan 70 menit pertama
mampu menurunkan angka kematian sebesar 1,2% dari 8,7% dan mengurangi ukuran infark dari
11,2% menjadi 4,9% dibandingkan jika pemberian terapi fibrinolitik dilakukan lebih lama yaitu
180 menit (Fox et al., 2013). Selain itu, menurut penelitian meta-analisis menyebutkan
penggunaan fibrinolitik dapat mengurangi angka mortalitas (Jinatongthai et al., 2017). Efektifitas
fibrinolitik pada infark miokard dapat terlihat dari keberhasilan reperfusi yang terjadi,
keberhasilan ini ditandai dengan hilangnya nyeri dada pasien, terjadi resolusi EKG ≥ 50%,
adanya aritmia reperfusi. Efektivitas pemberian fibrinolitik menurut Global Utilisation of
Streptokinase and T-PA for Occluded coronary arteries-1 menunjukkan efektivitas dalam
reperfusi sekitar 50-60% (The GUSTO, 1993), sedangkan menurut penelitian Ghaffari, Kazemi
and Golzari (Ghaffari et al., 2013) menunjukkan keberhasilan reperfusi fibrinolitik sebesar 59%.
Penelitian lain dari Bendary (Bendary et al., 2017) menunjukkan keberhasilan penggunaan
fibrinolitik adalah sebesar 62%. Dari beberapa penelitian inilah dapat disimpulkan bahwa terapi
fibrinolitik efektif dalam mengembalikan jaringan.
Adapun selain efektivitas, terapi fibrinolitik ini juga memiliki beberapa efek samping
diantaranya (Novrianti et al., 2021):
1. Pendarahan
Risiko perdarahan terjadi berkisar antara 0,5% dan 1%, oleh karena itu perawatan
harus dihentikan apabila terdapat perdarahan yang signifikan. Perdarahan itu seperti
perdarahan serius, perdarahan internal aktif, riwayat pasien mengalami perdarahan
subarachnoid atau intraserebral, hipertensi yang tidak terkontrol, melakukan operasi dalam 1
bulan sebelumnya, trauma terbaru (termasuk resusitasi traumatis), tukak lambung aktif serta
kehamilan.
2. Allergic and immunological reactions
Reaksi alergi berhubungan dengan pemberian jenis terapi fibrinolitik yaitu
streptokinase dikarenakan merupakan satu-satunya agen protein asing. Beberapa reaksi yang
dilaporkan sebagai reaksi alergi meliputi respons demam. Reaksi alergi jenis ini jarang
ditemukan oleh penggunaan streptokinase namun, berpotensi mengalami reaksi anafilaksis.
Skin test dengan pemberian dosis kecil streptokinase intradermal merupakan prediktor yang
baik untuk respons alergi langsung dari jenis anafilaksis, walaupun tidak dapat memprediksi
reaksi yang tertunda.
3. Hipotensi
Hipotensi merupakan efek samping paling sering ditemukan pada penggunaan jenis
terapi fibrinolitik yaitu penggunaan terapi streptokinase. Namun, hipotensi ini berbeda
dengan akibat reperfusi. Gejala terjadi segera setelah pemberian infus, disertai dengan
flushing dan anxiety, serta dapat diatasi dengan pemberian cairan dan penghentian infus
sementara waktu. Hipotensi pada penggunaan fibrinolitik dapat disebabkan oleh aktivasi
sistem bradikinin-kalikrein, vasodilasi langsung serta penurunan viskositas darah.
4. Aritmia reperfusi
Aritmia terjadi pada 70 hingga 100% pasien dengan rekanalisasi. Selain
idioventricular rhythm dan ventricular tachycardia, fibrilasi ventrikel juga telah dilaporkan
meskipun sulit untuk membedakan antara kejadiannya disebabkan oleh infark miokard atau
komplikasi dari reperfusi. Telah dilaporkan kejadian fibrilasi ventrikel ini sangat bervariasi
pada 0 hingga 17% kasus.
5. Guillain-Barre Syndrome
Terdapat beberapa kasus yang menggambarkan hubungan antara sindrom Gillain-
Barre dan salah satu jenis terapi fibrinolitik yaitu terapi streptokinase. Meskipun hubungan
kausal belum ditetapkan, insidennya lebih tinggi dari yang telah ditentukan oleh coincidental
association. Terapi streptokinase ini dapat mnginduksi respons imunologis yang dapat
memicu sindrom Guillain-Barre.
d) Terapi Aktivitas
Terapi aktivitas merupakan intervensi utama yang dapat dilakukan dalam upaya
penatalaksanaan terhadap diagnosis intoleransi aktivitas. Terapi aktivitas melakukan aktivitas
fisik, kognitif, sosial dan spiritual tertentu untuk memulihkan frekuensi atau durasi aktivitas
individu. Salah satu terapi yang dapat diterapkan adalah terapi aktivitas fisik seperti pengaturan
posisi, ambulasi dini, latihan isometrik dan perawatan diri (Warijan et al, 2018). Kegiatan fisik
tersebut menyebabkan perubahan misalnya jantung akan bertambah kuat pada otot polosnya
sehingga daya tampung besar serta denyutannya kuat dan teratur, selain itu elastisitas pembuluh
darah akan bertambah karena adanya relaksasi dan vasodilatasi sehingga timbunan lemak akan
berkurang dan meningkatkan kontraksi otot dinding pembuluh darah (Anies, 2007 dalam Jurnal
Hasanudin, Ardiyani & Perwiraningtyas 2018).

BAB 3. PENUTUP
A. Kesimpulan 
Infark miokardium adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh penurunan suplai darah
akibat penyempitan kritis arteri koroner karena aterosklerosis atau penyumbatan total arteri oleh
emboli atau trombus. Penurunan aliran darah koroner juga bisa diakibatkan oleh syok atau
perdarahan sehingga terjadi ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen jantung.
Infark miokard merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena morbiditas dan
mortalitasnya yang tinggi (Astuti & Maulani, 2018). Infark miokard akut sering terjadi pada
orang yang memiliki satu atau lebih faktor resiko seperti: obesitas, merokok, hipertensi dan lain-
lain. 
Kemudian diagnosis yang diambil dari kasua tersebut adalah Nyeri akut berhubungan
dengan agen pencedera fisiologis ditandai dengan klien mengeluh nyeri dada menjalar, skala 8,
nyeri seperti tertimpa benda berat. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
frekuensi jantung ditandai dengan Hasil ECG terdapat ST elevasi di lead II, III dan AVF. Dan
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen. Kemudian intervensi keperawatan yang digunakan adalah manajemen nyeri, perawatan
jantung , dan manajemen energi. 

Referensi
Ali, M.R. et al., (2014). Aspect of thrombolytic therapy: A review. Scientific World Journal

Astuti, A., & Maulani, M. (2018). Faktor Resiko Infark Miokard Di Kota Jambi. Jurnal
Endurance, 3(1), 82.
Bendary, A., Tawfik, W., Mahrous, M. & Salem, M., (2017). Fibrinolytic therapy in patients
with ST-segment elevation myocardial infarction: Accelerated versus standard
Streptokinase infusion regimen. Journal of Cardiovascular and Thoracic Research, 9(4).
Fox, K., White, H.D., Gersh, B. & Opie, L.H., (2013). Antithrombotic Agents: Platelet
Inhibitors, Acute Anticoagulants, Fibrinolytics, and Chronic Anticoagulants. In Drugs For
The Heart. Eighth Edition ed. Philadelphia: Saunders Elsevier Inc. pp.378-87.
Ghaffari, S., Kazemi, B. & Golzari, I.G., (2013). Efficacy of a New Accelerated Streptokinase
Regime in Acute Myocardial Infarction: A Double Blind Randomized Clinical Trial.
Cardiovascular Therapeutics, 31(1)
Hasanudin, Ardiyani, V.M & Perwiraningtyas, P. (2018). Hubungan Aktivitas Fisik dengan
Tekanan Darah Pada Masyarakat Penderita Hipertensi di Wilayah Tlogosuryo Kelurahan
Tlogomas Kecamtaan Lowokwaru Kota Malang, Nursing News (online), Vol. 3 No. 1, hlm
788-799.
Jinatongthai, P. et al., (2017). Comparative efficacy and safety of reperfusion therapy with
fibrinolytic agents in patients with ST-segment elevation myocardial infarction: a
systematic review and network meta-analysis. Lancet, 390(10096).
Kambu, I. S. W., Krisnawati, B., dan Shalihien, S. 2020. Terapi akupresur sebagai evidence
based nursing untuk mengurangi nyeri dada pada pasien sindrom koroner akut. Journal of
Health, Education, and Literacy. Vol 2, No 2, hlm 69-73
Millizia, A. (2018). Sedasi dan Analgesia di Ruang Perawatan Intensif. Jurnal Kedokteran
Nanggroe Medika, 1(2), 89–99.
Newby, D.E., Grubb, N.R. & Bradbury, A., (2010). Cardiovascular Disease. In N.R. Colledge,
B.R. Walker & B.H. Ralston, eds. Davidson's Principle and Practice of Medicine. 21st ed.
Edinburgh: Elsevier. Pp.577-98.
Novrianti, I., . H., & F, M. (2021). Terapi Fibrinolitik Pada Pasien St-Segment Elevation
Myocardial Infarction (Stemi) : Review Artikel. Jurnal Farmasi Udayana, 10(1), 55.
https://doi.org/10.24843/jfu.2021.v10.i01.p07
Nusantoro, A.P. (2018). Modul Ajar Patofisiologi. Surakarta : Prodi D3 Keperawatan STIKes
Kusuma Husada Surakarta
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik (1st
ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018a). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan
(1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018b). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Salean, E. Y. C. (2015). Studi Penggunaan Antikoagulan Pada Pasien Infark Miokard Akut Di
Rsud Dr. Soetomo. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Saragih. (2018). Fakultas kedokteran universitas lampung 2018. Medula, 1(5), 51–57.
The GUSTO, I., (1993). An international randomized trial comparing four thrombolytic
strategies for acute myocardial infarction. N Eng J Med, 329(10), pp.673– 682.
Warijan, dkk. 2021. Nursing Care of Hypertension in the Elderly with a Focus on Study of
Activity Intolerance in Dr. R. Soetijono Blora Hospital. Jurnal Studi Keperawatan Volume
2 Nomor 1 pp : 1-10

Anda mungkin juga menyukai