Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya Indonesia adalah negara hukum yang senantiasa

mengutamakan hukum sebagai landasan dalam seluruh aktivitas negara dan

masyarakat. Komitmen Indonesia sebagai negara hukum pun selalu dan hanya

dinyatakan secara tertulis dalam pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik

Indonesia tahun 1945 amandemen IV. Dalam kehidupan bernegara Republik

Indonesia yang berdasar atas hukum (rechtstaat) sebagaimana yang telah

dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945, segala tindakan aparat penegak

hukum khususnya hakim dan anggota masyarakat harus berdasarkan pada

hukum di mana pelaksanaan dan penegakan hukum pada hakekatnya

merupakan bagian integral dari keseluruhan hidup masyarakat itu sendiri.1

Dimanapun juga, sebuah negara menginginkan negaranya memiliki

penegak-penegak hukum dan hukum yang adil dan tegas. Karena setiap

ketentuan hukum berfungsi mencapai tata tertib antar hubungan manusia dalam

kehidupan sosial. Hukum menjaga keutuhan hidup agar terwujud suatu

keseimbangan psikis dan fisik dalam kehidupan, terutama kehidupan kelompok

sosial yang merasakan tekanan atau ketidaktepatan ikatan sosial. Berarti hukum

juga menjaga supaya selalu terwujud keadilan dalam kehidupan sosial

(masyarakat).2

1
Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, 1982. hal. 2
R. Adboel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, 2010. hal. 2
2
Dalam suatu negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, sektor

transportasi sangat mempengaruhi laju pembangunan. Transportasi dengan

berbagai macam jenis dan jumlahnya mendukung aspek ekonomi, sosial, dan

politik. Perkembangan pembangunan di segala aspek didukung oleh

perkembangan teknologi modern dewasa ini, yang mengakibatkan pula

meningatkan sarana prasarana khususnya sarana dan prasarana lalu-lintas jalan

sebagai penunjang transportasi di masyarakat. Pembangunan yang pesat

merupakan langkah maju termasuk di dalamnya faktor yang menimbulkan

dampak positif maupun dampak negatif.

Dilihat dari dampak positifnya, pembangunan sarana dan prasana lalu

lintas dapat memudahkan masyarakat dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

Sedangkan dari dampak negatifnya, kurang kehati-hatian masyarakat dan

kesadaran dalam memanfaatkan sarana dan prasarana sehingga dapat

menimbulkan kecelakaan lalu lintas baik itu untuk pejalan kaki dan bagi yang

mengendarai kendaraan bermotor (roda empat atau roda dua) maupun

kendaraan beroda tiga (becak). Sebagaimana diketahui bahwa terjadinya suatu

peristiwa pidana bukan saja disebabkan karena adanya unsur kesengajaan

dalam diri pelaku, tetapi peristiwa pidana dapat juga terjadi sebagai akibat dari

kealpaan seseorang yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan akan terjadi.

Pelanggaran lalu lintas yang berujung kecelakaan, dewasa ini semakin

memprihatinkan, dan terus mengalami peningkatan, sehingga menimbulkan

kerugian dalam bentuk materil dan menimbulkan korban meninggal dunia, luka

berat dan luka ringan.


Ada tiga faktor utama yang menyebabkan terjadi kecelakaan, pertama

adalah faktor manusia, kedua adalah faktor kendaraan dan yang ketiga adalah

faktor jalan.Kombinasi dari ketiga faktor itu bisa saja terjadi antara manusia

dengan kendaraan misalnya berkendara melebihi batas kecepatan yang dapat

mengakibatkan kecelakaan.Disamping itu masih ada faktor lingkungan, cuaca

yang berpotensi terjadinya kecelakaan.3

Kecelakaan lalu lintas yang pelakunya tidak bertanggung jawab, dengan

membiarkan korbannya begitu saja tanpa menghentikan kendaraannya, atau di

sebut dengan tabrak lari.Tabrak lari adalah tindak pidana kejahatan yang tidak

manusiawi terlebih korban meninggal dunia akibat perbuatan pelaku tersebut.

Tabrak lari juga merupakan tindakan yang mengabaikan nilai-nilai

kemanusiaan sebagai makhluk yang bermoral.4

Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka peran hakim dalam

menyelesaikan perkara pidana kealpaan khususnya kasus kecelakaan lalu lintas

yang berakibat kematian, sangat diharapkan untuk menjaga keseimbangan

antara kepentingan korban dan pelaku itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan

suatu sikap yang bijaksana dari hakim dalam menghadapi suatu kasus pidana

kealpaan dengan memperhatikan akibat yang terjadi pada korban maupun

pelaku.5

Memang diakui masalah penghukuman adalah wewenang hakim dan

oleh karena itu hakim dalam menentukan hukuman harus memiliki perasaan

3
Ofyar Z. Tamin, Perencanaan dan Pemodelan Transpostasi, Bandung, 1997, hal. 4
4
Marye Agung Kusmagi, Selamat Berkendara Dijalan Raya, Raih Asa Sukses, Jakarta,
2010, hal. 94
5
Wahyu Affandi, Hakim dan Hukum Dalam Praktek, Bandung, Alumni, 1983, hal. 8
yang peka, dalam arti ia harus mampu menilai yang baik danobjektif sesuai

dengan perasaan keadilan masyarakat dan apabila hakim dalam tindakannya

lebih menunjukan kekuasaan yang mengikuti seleranya sendiri maka

keputusannya tidak akan mencerminkan keinginan untuk menegakan hukum

yang berlandaskan keadilan dan kebenaran.6

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan menurut Rusli

Muhammad dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:7

1. Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang

didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan

oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam

putusan. Hal-hal yang dimaksud tersebut adalah dakwaan jaksa penuntut

umum, keterangan terdakwa, keterangan saksi, dan pasal-pasal dalam

peraturan hukum pidana.

2. Pertimbangan yang bersifat non yuridis yaitu latar belakang terdakwa,

akibat perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa dan agama terdakwa.

Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia

menjadi ciri negara hukum. Sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di

sidang pengadilan yang dipimpin oleh hakim, hakim itu harus aktif bertanya

dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diawali oleh

penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada

Ibid, hal. 9
6

Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung, 2007. hal. 89


7
penuntut umum, semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materil.

Hakimlah yang bertanggungjawab atas segala yang diputuskan.8

Berkaitan dengan itu, terdapat suatu kasus yang menarik tentang

pertimbangan hukum hakim dalam putusan PN Ambon No : 494/Pid.Sus/2018/

PN Amb. Kasus ini bermula dari Terdakwa Alias R pada hari minggu tanggal

23 September 2018 sekitar pukul 19.30 WIT yang bertempat di Jln. Sultan

Babullah Kec. Sirimau Kota Ambon tepatnya didepan Mesjid Raya Al-Fatah,

mengemudikan kendaraan roda tiga yang membawa 2 (dua) penumpang becak

dari silale hendak menuju ke Rumah Sakit Tentara Ambon, dan salah satu

penumpang becak yakni Alm.Ibu Maryam Latanda pada saat itu dalam kondisi

sakit.

Pada saat terdakwa membawa becak, terdakwa mengambil jalur kiri dan

ingin mengambil jalur kanan setelah melewati Jembatan Al-Fatah tepatnya

pada jalan turunan, kecepatan becak yang dibawa terdakwa semakin tinggi dan

pada saat terdakwa tiba di tempat kejadian tepatnya didepan masjid Al-Fatah,

terdakwa hendak mengambil jalur kanan, pada saat terdakwa mau mengambil

jalur sebelah kanan, terdakwa terkejut dengan 1 (satu) mobil yang dengan

kecepatan tinggi berada di sebelah kanan terdakwa sehingga terdakwa

langsung memutar setir becak ke kiri jalan dan mengakibatkan kedua

penumpang dan terdakwa terbalik ke kanan jalan.

Pada saat becak terbalik, salah satu penumpang becak yakni Ibu

Maryam Latanda yang dalam kondisi sakit mengalami luka robek dibagian

8
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Presfektif Hukum Progresif,
Jakarta, 2010, hal. 112
jidat sebelah kanan dan penumpang becak satunya lagi mengalami benturan

dibagian tangan sebelah kiri, dan pada saat itu masyarakat sekitar langsung

membawa kedua penumpang becak ke Rumah Sakit Tentara Ambon dan 1

(satu) jam kemudian penumpang becak yakni Ibu Maryam Latanda meninggal

di Rumah Sakit Tentara Ambon.

Suatu kenyataan yang sering timbul dalam proses peradilan di

Indonesia yaitu tentang putusan pengadilan yang ada kalanya di satu pihak

dirasakan tidak adil dan oleh para hakim dirasakan sudah adil. Pada sisi lain

sering kali tidak dapat disangkal bahwa lembaga peradilan justu

disalahgunakan dalam praktek penyelenggaraan peradilan oleh hakim. Hal ini

bisa saja terjadi oleh karena kebebasan hakim yang dianggap sebagai ketentuan

yang prinsipil, sehingga dapat digunakan sebagai tameng untuk menutup segala

tindakan dalam memberikan suatu keputusan terakhir. Berdasarkan uraian

diatas maka penulis mengangkat penelitian ini dengan judul : Analisa

Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Perkara Tindak PidanaLalu Lintas

(Analisa Putusan PN Ambon No.494/Pid.Sus/2018/PN Amb)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang

diangkat dalam penulisan ini adalah: Bagaimana pertimbangan hukum Hakim

dalam perkara Tindak Pidana Lalu Lintas Pada Putusan No. 494/Pid.Sus/2018/

PN Amb ?
C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisa dan membahas pertimbangan hukum hakim dalam

perkaratindak pidana lalu lintas yang mengakibatkan matinya orang.

2. Sebagai salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam perkara tindak pidana lalu

lintas yang mengakibatkan matinya orang.

2. Sebagai sumbangan pemikiran dalam ilmu hukum pidana guna mengetahui

analisa pertimbangan hakim dalam perkara tindak pidana lalu lintas.

E. Kerangka Teoritis

Hakim sebagai pelaksana tugas di bidang hukum mempunyai posisi

sentral dalam penerapan hukum. Hakim tidak hanya dituntut agar dapat berlaku

adil tetapi ia juga harus mampu menafsirkan undang-undang secara aktual

sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi di tengah-tengah

kehidupan masyarakat pencari keadilan dengan mempertimbangkan aspek

keadilan.9

9
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung,
2009. hal 164
Salah satu bentuk keadilan yang sama di depan hukum adalah

penjatuhan pidana yang berdasarkan pada alat-alat bukti yang sah serta fakta-

fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam

surat dakwaan. Walaupun pembentuk Undang-Undang memberikan kebebasan

menentukan batas maksimal dan minimal pidana yang harus dijalani terdakwa,

hal ini bukan berarti hakim dapat seenaknyaa menjatuhkan pidana tanpa dasar

pertimbangan yang lengkap.10

Melalui putusan-putusannya seorang hakim tidak hanya menerapkan

hukum yang ada dalam teks undang-undang (hakim sebagai corong undang-

undang) tetapi sesungguhnya ia juga melalukan pembaruan-pembaruan hukum

ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang diajukan .kepadanya dan belum

diatur dalam undang-undang ataupun telah ada aturan tetapi dipandang tidak

relevan dengan keadaan dan kondisi yang ada.11

Bila tindakan hakim setiap kali dialihkan karena memiliki kebebasan

dalam menentukan pendiriannya, padahal kita ketahui bahwa kebebasan hakim

bukan merupakan kebebasan tanpa batas melainkan kebebasan yang diikat oleh

tanggung jawab untuk menciptakan hukum yang sesuai dengan pancasila dan

perasaan keadilan masyarakat.12

Untuk hal ini maka, Hari Soeharto mengatakan bahwa seorang hakim

harus memiliki 3 (tiga) syarat yaitu :13

1. Tangguh, berarti tabah menghadapi keadaan dan kuat mentalnya.

10
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia, Bandung, 2014, hal. 141
11
Bagir Manan, Hakim Sebagai Pembaru Hukum, Jakarta, 2007. hal.9
12
Wahyu Affandi, Hakim dan Penegakan Hukum, Alumni, Bandung, 1984. hal.19
13
Ibid, hal.8
2. Harus trampil, artinya mengetahui dan menguasai segala peraturan dan

perundang-undangan yang sudah ada dan masih berlaku.

3. Tanggap, artinya penyelesaian pemeriksaan perkara harus dilakukaan

dengan cepat, benar serta menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat.

Tugas pokok hakim dalam mengadili perkara pidana adalah melakukan

kegiatan yuridis sendiri tidak sekedar melakukan silogisme belaka. Hakim ikut

serta dalam pembentukan hukum, bukan pula secara objektif seperti yang

diciptakan pembentuk undang-undang yang abstrak, tetapi menerapkan teks

Undang-Undang yang abstrak kedalam peristiwa kongkrit. Penafsiran hukum

merupakan kegiatan yang mutlak terbuka untuk dilakukan, sejak

hukumdikonsepkan sebagai teks undang-undang tertulis, sehingga muncul

adagium “membaca hukum adalah menafsirkan hukum”.14

Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek

penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana.Dengan demikian

dapat dikonklusikan lebih jauh bahwasannya putusan hakim di satu pihak

berguna bagi terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya

dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan

tersebut dalam arti dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum

verzet.Banding, atau kasasi, melakukan grasi, dan sebaginnya. Sedangkan

pihak lain, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan

hakim adalah mahkota dan puncak penerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran

hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan,

14
Sadjipto Rahadjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Jakarta, 2006, hal 163
mumpuni, dan factual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari

hakim yang bersangkutan.15

Hal ini lebih ditegaskan lagi dalam Surat Edaran Mahkamah Agung

No.05 Tahun 1973 telah meminta perhatian hakim dalam menjatuhkan

hukuman harus sesuai dengan berat ringannya kejahatan dan jangan sampai

penjatuhan hukuman itu menyinggung perasaan maupun pendapat umum.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka untuk memberikan pidana

kepada pelaku tindak pidana kealpaan yang mengakibatkan matinya orang

yang juga adalah korban dari kecelakaan lalu lintas, perlu diperhatikan

pendapat Leo Polak yang mengatakan bahwa, hukuman harus memenuhi tiga

syarat yaitu:16

1. Perbuatan yang dilakukan sebagai suatu perbuatan yang bertentangan

dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata objektif.

2. Hukuman hanya memperhatikan apa yang sudah terjadi dan tidak boleh

memperhatikan apa yang mungkin dapat terjadi. .Jadi hukuman tidak boleh

dijatuhkan dengan maksud prevensi maka mungkin kepada penjahat atau

pelaku tindak pidana kealpaan diberi suatu penderitaan yang beratnya lebih

dari pada maksimum yang sesuai dengan beratnya delik yang dilakukan

oleh pelaku tindak pidana.

3. Sudah tentu beratnya hukuman harus seimbang dengan delik/tidak kurang

dari beratnya delik, hal ini perlu supaya pelakunya tidak dihukum secara

tidak adil.
15
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Presfektif Hukum Progresif,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal 112
16
Utrech, Hukum Pidana I, Tertib Universitas,Bandung, 1960, hal 168
Dalam beberapa literatur kadang-kadang kealpaan ini juga disebut

sebagai kesalahan dalam arti sempit, sebagai perbandingan dari kesalahan

dalam arti luas. Akan tetapi dirasakan kurang tepat, maka Satochid Kartanegara

menganjurkan lebih baik jangan dipergunakan istilah kesalahan dalam arti

sempit untuk kelalaian atau kealpaan, tetapi lebih baik mempergunakan istilah

kealpaan atau kelalaian saja.17

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian.

Jenis yang digunakan dalam penulisan ini adalah Jenis penelitian yuridis

normatif.Menurut Soejono Soekanto dan Sri Mamuji adalah penelitian

hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (library research).18

2. Tipe Penelitian.

Tipe penelitian ini bersifat deskriptif-analistis, di mana hasil dan

pembahasan akan di-diskripsikan dalam bentuk analisis dan dibahas

berdasarkan teori-teori yang ada pada data pustaka19

3. Sumber Bahan Hukum.

Untuk kepentingan penelitian diatas, maka sumber bahan hukum yang

digunakan yaitu :

17
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, Balai Lektur
Mahasiswa, hal. 342
18
Soejono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 13-14
19
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal.10
- Sumber Bahan Hukum Primer20

Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai

landasan utama yang dipakai dalam penelitian ini adalah :

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

2. Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan

3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman

4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

5. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

6. Surat Edaran Mahkamah Agung No.05 Tahun 1973 Tentang

Pemindahan Agar Sesuai Dengan Berat dan Sifat Kejahatannya.

7. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 Tentang Prasarana dan

Lalu Lintas Jalan.

- Sumber Bahan Hukum Sekunder21

Berupa buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis dan juga disertai hukum

dan jurnal-jurnal hukum.

4. Teknik Pengumpulan dan Analisa Bahan Hukum

- Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan suatu penelitian

kepustakaan (library research). Dalam hal ini peneltian hukum dilakukan

dengan cara penelitian kepustakaan atau disebut dengan penelitian


20
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 53
21
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2009, hal. 155
normatif yaitu penelitian dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

atau data sekunder belaka yang lebih di kenal dengan nama dan bahan

acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.22

- Analisa Bahan Hukum

Metode yang digunakan untuk menganalisis data yang ditemukan adalah

analisis kualitatif. Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan

dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-

milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,

mencaridan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa

yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada

orang lain.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan ini terdiri dari 4 (empat) bab. Bab I

pendahuluan terdiri atas : latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,

kegunaan penelitian, kerangka teoritis, metode penelitian dan sistematika

penulisan. Bab II merupakan tinjauan pustaka meliputi tindak pidana Lalu

Lintas dalam Undang-undang Lalu Lintas, pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan putusan dan jenis-jenis putusan. Bab III merupakan hasil dan

pembahasan yang membahas kasus tindak pidana lalu lintas yang

menyebabkan matinya orang, pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan

Putusan No.494/Pid.Sus/2018/PN Amb, dan analisa pertimbangan hukum

22
Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,
Malang, 2005, hal.64
Hakim dalam perkara tindak pidana Lalu Lintas yang Mengakibatkan Matinya

orang. Bab IV merupakan penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran.

Anda mungkin juga menyukai