Anda di halaman 1dari 213

Teori-teori Analisis Implementasi Kebijakan Publik

TEORI-TEORI ANALISIS
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
Disertai contoh aplikasinya dalam analisis Implementasi
Kebijakan Publik Bidang Pendidikan Karakter
Seberapa unggul (excellent) pun kebijakan publik diformulasikan, apabila implementasinya tidak
efektif maka intervensi yang dilakukan pemerintah tidak akan menghasilkan output dan outcome
sebagaimana yang diharapkan. Di sisi lain, literatur yang secara spesifik menghimpun dan membahas
TEORI-TEORI
ANALISIS
teori-teori analisis implementasi kebijakan publik, baik dalam bahasa asing (Inggris) maupun dalam
bahasa Indonesia dapat dikategorikan masih langka. Inilah salah satu urgensi disusunnya buku ini, yaitu
untuk menambah khasanah (perspektif) referensi teori-teori Analisis Impelementasi Kebijakan Publik
yang dapat diaplikasikan dalam Kebijakan Publik berbagai Bidang Pembangunan Nasional, termasuk
Bidang Pendidikan Karakter. Implikasinya, buku ini diharapkan dapat digunakan khususnya oleh para
akademisi, policy makers/policy framers, program implementor, dan para pemerhati kebijakan publik.
Model penyusunan buku seperti ini penulis pilih terinspirasi dari Model Penulisan Buku “Seven
Theories of Human Society” yang ditulis Tom Compbell (1981), Buku “Social Theory: A Guide to Central
Thinkers”, tulisan Peter Beilharz (2002), Buku “Grote Filosofen Over De Means” (Filsuf-filsuf Besar

Prof. Dr. H. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si.


tentang Manusia) yang ditulis oleh P.A Van Weij yang diterjemahkan oleh K. Bertens (1988), dan Buku
Theories of Education Studies of Significant Innovation in Western Education, Thought, Second Edition,
tulisan James Bowen & Peter R. Hobson (1987). Para penulis beserta judul-judul buku ilmiah tersebut
penulis cantumkan dalam Kata Pengantar ini sebagai bentuk penghormatan dan ucapan terima kasih
kepada mereka atas model sistematika karya (buku) ilmiah mereka yang telah menginspirasi penulis
dalam menentukan model sistematika buku penulis ini. Keempat buku tersebut sangat ilmiah (scientific),
dan menjadi paradigma berpikir dalam menentukan model penyusunan buku Teori-teori Analisis Disertai Contoh Aplikasinya dalam Analisis Implementasi
Impelementasi Kebijakan Publik yang penulis susun ini. Sebagai penjelasan, mengingat penulis tidak Kebijakan Publik Bidang Pendidikan Karakter
mengutip dari keempat buku tersebut, maka baik pengarang maupun judul bukunya tidak dicantumkan
dalam daftar pustaka buku ini.
Sebenarnya, penulis mengidealisasikan dapat menyusun materi dalam buku ini secara lebih luas Prof. Dr. H. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si.
dan lebih mendalam disertai contoh-contoh aplikasinya dalam berbagai bidang kebijakan
pembangunan Nasional. Namun, karena berbagai keterbatasan penulis terutama dalam aspek waktu
maka cita-cita tersebut belum dapat diwujudkan dalam edisi ini.
ISBN 979933073-4
ISBN 978-979-9330-73-4

9 789799 330734
TEORI-TEORI ANALISIS
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
(Disertai Contoh Aplikasinya
dalam Analisis Implementasi Kebijakan Publik
Bidang Pendidikan Karakter)

Prof. Dr. H. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si.

Maulana Media Grafika

i
TEORI-TEORI ANALISIS IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PUBLIK
Disertai Contoh Aplikasinya dalam Analisis Implementasi
Kebijakan Publik Bidang Pendidikan Karakter
Oleh : Prof. Dr. H. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si.

Copy Right © 2019 CV. Maulana Media Grafika


Hak cipta dilindungi Undang-Undang
tidak diperkenankan memperbanyak isi buku ini
dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Penerbit

Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)


ISBN : 978-979-9330-73-4
Lay Out : Angga Haryanto
Desain Cover : Tim Kreatif Maulana Media Grafika
Diterbitkan Oleh : CV. Maulana Media Grafika
Jalan Yupiter VII 53 C Bandung
(022) 7564428
Undang-undang No. 12 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 1.000.000.00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Ro. 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau
Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah)

ii
iii
iv
KATA PENGANTAR

Sebagaimana dikemukakan Edwards III (1980:1) bahwa


“The study of policy implementation is crucial for the study of
public administration and public policy”. Implikasinya seberapa
unggul (excellent) pun kebijakan publik diformulasikan, apabila
implementasinya tidak efektif maka intervensi yang dilakukan
pemerintah tidak akan menghasilkan output dan outcome
sebagaimana yang diharapkan. Di sisi lain, literatur yang
secara spesifik menghimpun dan membahas teori-teori analisis
implementasi kebijakan publik, baik dalam bahasa asing (Inggris)
maupun dalam bahasa Indonesia dapat dikategorikan masih
langka. Inilah salah satu urgensi disusunnya buku ini, yaitu untuk
menambah khasanah (perspektif) referensi teori-teori Analisis
Impelementasi Kebijakan Publik yang dapat diaplikasikan dalam
Kebijakan Publik berbagai Bidang Pembangunan Nasional,
termasuk Bidang Pendidikan Karakter. Implikasinya, buku ini
diharapkan dapat digunakan khususnya oleh para akademisi,
policy makers/policy framers, program implementor, dan para
pemerhati kebijakan publik.
Model penyusunan buku seperti ini penulis pilih terinspirasi
dari Model Penulisan Buku “Seven Theories of Human Society”
yang ditulis Tom Compbell (1981), Buku “Social Theory: A Guide
to Central Thinkers”, tulisan Peter Beilharz (2002), Buku “Grote
Filosofen Over De Means” (Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia)
yang ditulis oleh P.A Van Weij yang diterjemahkan oleh K. Bertens
(1988), dan Buku Theories of Education Studies of Significant
Innovation in Western Education, Thought, Second Edition,
tulisan James Bowen & Peter R. Hobson (1987). Para penulis
beserta judul-judul buku ilmiah tersebut penulis cantumkan

v
dalam Kata Pengantar ini sebagai bentuk penghormatan dan
ucapan terima kasih kepada mereka atas model sistematika karya
(buku) ilmiah mereka yang telah menginspirasi penulis dalam
menentukan model sistematika buku penulis ini. Keempat buku
tersebut sangat ilmiah (scientific), dan menjadi paradigma berpikir
dalam menentukan model penyusunan buku Teori-teori Analisis
Impelementasi Kebijakan Publik yang penulis susun ini. Sebagai
penjelasan, mengingat penulis tidak mengutip dari keempat buku
tersebut, maka baik pengarang maupun judul bukunya tidak
dicantumkan dalam daftar pustaka buku ini.
Sebenarnya, penulis mengidealisasikan dapat menyusun
materi dalam buku ini secara lebih luas dan lebih mendalam
disertai contoh-contoh aplikasinya dalam berbagai bidang
kebijakan pembangunan Nasional. Namun, karena berbagai
keterbatasan penulis terutama dalam aspek waktu maka cita-cita
tersebut belum dapat diwujudkan dalam edisi ini. Sejalan dengan
itu, penulis berharap dapat masukan yang konstruktif dari para
pembaca guna penyempurnaan buku ini pada edisi berikutnya.
Apapun adanya kualitas buku ini, bagi penulis, terbitnya buku
ini secara metafisis sungguh merupakan anugrah dan pertolongan
dari Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang tidak
ternilai harganya yang harus disyukuri. Di sisi lain secara empiris,
buku ini dapat diselesaikan atas input dan bantuan dari berbagai
pihak, yaitu diantaranya dari Solihin Niar Ramadhan, S.H. dan
putriku Maharanny Permatha, S.H. yang telah dengan setulus
hati membantu menghimpun bahan-bahan dalam penyusunan
buku ini. Lebih dari itu penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada putraku Agung Sanggabuana, S.T yang telah memberikan
dorongan moril kepada penulis untuk menyelesaikan penyusunan
buku ini. Sudah barang tentu penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada isteriku Dra. Hj. Nurmala Dewi atas pengabdiannya

vi
yang tulus sehingga menghadirkan kondisi yang menunjang untuk
diselesaikannya buku ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada ayahanda H.M. Djajamihardja, S.Pd.I yang tidak henti-
hentinya mendoakan penulis sehingga secara langsung maupun
tidak langsung penulis dapat menyelesaikan buku ini. Tidak lupa
juga penulis mengucapkan terima kasih kepada para guru penulis
baik yang di Universitas Pendidikan Indonesia maupun yang di
Universitas Padjadjaran yang telah memberikan curahan ilmunya
kepada penulis sehingga penulis merasa memiliki otoritas
akademik untuk menulis materi-materi yang dituangkan dalam
buku ini. Semoga Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang
membalas amal kebajikan tersebut dengan pahala yang berlipat
ganda, aamiin YRA.

Bandung, Maret 2019



Penulis

vii
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar v
Daftar Isi viii
BAB I
PENDAHULUAN : URGENSI STUDI IMPLEMENTASI 1

BAB II
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
DALAM PROSES ANALISIS KEBIJAKAN 5

BAB III
PELOPOR PENELITIAN IMPLEMENTASI
JEFFREY L. PRESSMAN DAN AARON WILDAVSKY (1973) 23

BAB IV
MODEL PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
THOMAS B. SMITH (1973) 28

BAB V MODEL PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN


DONALD VAN METER & CARL VAN HORN (1975) 41

BAB VI
IMPLEMENTASI SEBAGAI SEBUAH PROSES POLITIK
DAN ADMINISTRASI MERILEE S. GRINDLE (1980) 62

BAB VII
INTERAKSI FAKTOR-FAKTOR IMPLEMENTASI
GEORGE C. EDWARD III (1980) 77

viii
BAB VIII KERANGKA PROSES IMPLEMENTASI
DANIEL MAZMANIAN & PAUL SABATIER (1983) 91

BAB IX TIGA KEGIATAN IMPLEMENTASI


CHARLES O. JONES (1984) 115

BAB X KESEMPURNAAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN


BRIAN W. HOGWOOD & LEWIS A. GUNN (1984) 122

BAB XI MODEL IMPLEMENTASI TERINTEGRASI


WINTER C. SOREN (1990) 133

BAB XII APLIKASI TEORI IMPLEMENTASI


KEBIJAKAN PUBLIK PADA ANALISIS IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN BIDANG PENDIDIKAN KARAKTER 140

DAFTAR PUSTAKA 186


INDEX 189
PROFIL PENULIS 199

ix
x
TEORI-TEORI ANALISIS IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PUBLIK
Disertai Contoh Aplikasinya
dalam Analisis Implementasi Kebijakan Publik
Bidang Pendidikan Karakter

xi
xii
BAB I
Pendahuluan:
Urgensi Studi Implementasi Kebijakan Publik

A ktivitas-aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak


akan bisa terlepas dari pengaruh kebijakan publik. Di mana
pun bentuk kehidupannya, baik di pedesaan yang berada jauh
di dalam hutan dekat perbatasan negara maupun di perkotaan yang
selalu menjadi tempat idaman untuk mencari “kehidupan” bagi kaum
urban, kebijakan publik selalu memberi dampak yang signifikan. Tidak
tanggung-tanggung, seluruh lapisan warga negara mulai dari anak-anak
hingga orang dewasa merasakan dampak positif maupun negatif dari
suatu kebijakan yang dirumuskan oleh para pembuat kebijakan (policy
makers atau policy framers).
Banyak sekali contoh kebijakan publik yang dirumuskan telah
memberikan pengaruh, baik secara positif maupun secara negatif
kepada masyarakat Indonesia. Dalam bidang pendidikan, kita
mengenal program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program
ini diformulasikan tentunya disertai dengan maksud dan tujuan, yaitu
untuk membantu membuka akses bagi masyarakat kurang mampu
untuk melaksanakan kewajiban belajar 12 tahun yang dirumuskan
oleh Pemerintah Pusat. Dalam bidang kesejahteraan sosial, kita juga
mengenal program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dirumuskan
oleh Pemerintah Pusat dengan tujuan untuk mengurangi beban finansial
masyarakat kurang mampu yang teridentifikasi. Contoh terakhir dalam
bidang perpajakan, tentu kita mengenal program Amnesti Pajak

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 1


yang bertujuan untuk meningkatkan likuiditas domestik dengan cara
memberikan pengampunan pajak kepada para wajib pajak yang tidak
menunaikan kewajibannya terhadap negara.
Seluruh contoh tersebut merupakan sebagian kecil dari
bentuk-bentuk kebijakan publik yang telah dirumuskan. Kemudian
pertanyaannya, apakah seluruh contoh kebijakan di atas telah
dilaksanakan sesuai dengan apa yang dirumuskan? Apakah tujuan-
tujuan kebijakan tersebut telah berhasil dicapai? Apa saja variabel-
variabel yang mempengaruhi keberhasilan maupun kegagalan
pelaksanaan program tersebut? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini
penting untuk dijawab guna menemukan keterpaduan antara maksud
dan tujuan pembentukan suatu kebijakan dengan dampak yang dirasakan
oleh masyarakat. Selain itu, jawaban mengenai pertanyaan-pertanyaan
tersebut tidak akan ditemukan dalam analisa formulasi kebijakan.
Dengan demikian, pada keadaan seperti inilah studi implementasi
kebijakan memainkan perannya.
Di kalangan akademisi kebijakan publik, khususnya yang
berkonsentrasi pada analisis implementasi kebijakan tentu mengenal
sosok Jeffrey L. Pressman dan Aaron Wildavsky. Seperti yang dinyatakan
oleh Wahab (2016:159), kita sepatutnya mengucapkan terima kasih
kepada mereka atas jasanya yang telah menjadi pelopor studi mengenai
implementasi kebijakan yang pada hakikatnya “telat disadari” oleh
para pakar kebijakan publik pada tahun 1960-an. Selain itu, penelitian
Pressman dan Wildavsky telah menginspirasi banyak peneliti lainnya
dalam lapangan ilmu politik dan studi analisis kebijakan.
Dengan adanya studi kasus yang dilakukan Jeffrey L. Pressman
dan Aaron Wildavsky, kini kita telah menyadari bahwa analisis
implementasi kebijakan juga memiliki peran yang sama pentingnya
dengan analisis formulasi kebijakan. Bahkan George C. Edwards III
(1980:1) menyatakan bahwa “The study of policy implementation
is crucial for the study of public administration and public policy”.
Pernyataan Edwards tersebut bermakna bahwa studi mengenai
implementasi kebijakan dinilai penting sekali untuk kajian administrasi
publik dan kebijakan publik. Tanpa disertai proses implementasi yang

2 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


efektif, keputusan-keputusan para pembuat kebijakan tidak akan
berhasil mencapai tujuan.
Implementasi kebijakan juga tidak boleh dipandang sebelah
mata. Seperti yang dikatakan oleh Riant Nugroho (2014:656), kita
harus memberikan perhatian kepada implementasi kebijakan karena
administrasi publik kita sering mengalami implementation myopia,
yaitu ketidakmampuan mengidentifikasi dan menganalisa kesalahan-
kesalahan dalam implementasi yang terjadi tepat di hadapannya.
Terdapat tiga miopia implementasi kebijakan, yaitu: pertama, kita
terlalu fokus ke tahap formulasi tanpa memperhatikan bagaimana cara
implementasinya. Kedua, kita beranggapan bahwa rakyat dianggap tahu
semua kebijakan yang sudah diputuskan dan diundangkan sehingga jika
mereka salah akan langsung dihukum. Dalam ilmu hukum, anggapan ini
dikenal dengan teori fiksi hukum/recht fictie yang menganggap bahwa
setiap orang dianggap tahu hukum. Ketiga, kita juga beranggapan bahwa
jika suatu kebijakan sudah diformulasikan, maka proses implementasi
akan “berjalan dengan sendirinya” (Nugroho, 2014:656). Padahal kita
harus memahami bahwa kebijakan publik pada hakekatnya jarang
berjalan dengan sendirinya (Edwards III, 1980:1).
Setelah mengungkapkan betapa pentingnya proses implementasi
kebijakan, kini Penulis akan mengungkapkan alasan-alasan dan harapan-
harapan Penulis dalam menyusun buku ini. Terdapat dua alasan penting
yang menggerakkan akal dan hati penulis dalam menyusun buku ini.
Pertama, alasan akademik, yaitu berkaitan dengan literatur mengenai
analisis implementasi kebijakan. Kedua, alasan praktik, yaitu berkaitan
dengan pedoman implementasi kebijakan.
Dari segi akademis, literatur yang secara spesifik menghimpun
dan membahas teori-teori implementasi kebijakan publik dalam bahasa
asing secara relatif masih kurang, lebih-lebih berbahasa Indonesia.
Beberapa literatur berbahasa Indonesia yang dapat menjadi rujukan
dalam mempelajari implementasi kebijakan, diantaranya: buku karya
Tachjan (2006) yang berjudul Implementasi Kebijakan Publik; buku
karya Dr. Riant Nugroho (2014) yang berjudul Public Policy – Teori,
Manajemen, Dinamika, Analisis, Konvergensi, dan Kimia Kebijakan;

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 3


dan buku karya Prof. Dr. H. Solichin Abdul Wahab, M.A (2016) yang
berjudul Analisis Kebijakan – dari Formulasi ke Penyususnan Model-
Model Implementasi Kebijakan Publik. Meskipun beberapa pakar
kebijakan publik telah menyusun literatur akademik dan membahas
mengenai analisa implementasi kebijakan dalam bukunya maupun
pada salah satu bab dalam bukunya, Penulis berpendapat bahwa jumlah
literatur mengenai analisa implementasi kebijakan tersebut dinilai
masih kurang.
Kurangnya bahan kepustakaan mengenai analisis implementasi
kebijakan tentu akan menimbulkan hambatan dalam proses
belajar maupun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tentang
implementasi kebijakan oleh para akademisi, para policy maker/policy
framer, para program implementer, dan para pengamat kebijakan publik.
Bercermin dari upaya Jeffrey L. Pressman dan Aaron Wildavsky,
Penulis berharap agar buku ini dapat menambah bahan kepustakaan
mengenai analisa implementasi kebijakan, melengkapi khazanah ilmu
administrasi publik, dan meningkatkan hasrat para pihak yang telah
disebutkan di atas, khususnya para akademisi untuk terus melakukan
kajian implementasi kebijakan publik secara komprehensif.
Dari segi praktis, penulis berpandangan bahwa pada dasarnya
kebijakan-kebijakan yang telah diformulasikan oleh para perumus
kebijakan (policy makers atau policy framers) di Indonesia saat ini
dinilai sangat potensial dalam mengembangkan dan memajukan
struktur sosial dan kemasyarakatan. Namun, sangat disayangkan
kebijakan tersebut tidak berjalan sebagaimana harapan para perumus
kebijakan. Berdasarkan fenomena tersebut, Penulis menyadari ternyata
apa yang dikatakan oleh Eugene Bardach (1977:3) adalah benar, bahwa
melaksanakan program yang telah dirumuskan dalam bentuk dan cara
yang memuaskan semua orang merupakan proses yang paling sulit. Atas
dasar pandangan tersebut, Penulis berharap buku ini dapat bermanfaat
dan dapat dijadikan panduan praktis dalam proses-proses kebijakan,
khususnya pada tahap implementasi. Secara praktis, buku ini disusun
bukan hanya untuk para perumus kebijakan saja, melainkan juga untuk
para implementor, birokrat, politisi, maupun masyarakat umum yang
peduli dengan isu-isu dalam implementasi kebijakan.

4 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


BAB II
Implementasi Kebijakan Publik
dalam Konteks Analisis Kebijakan

S
A. Analisis Kebijakan
etiap organisasi selalu memiliki tujuan dan sasaran tertentu
yang hendak dicapai. Negara sebagai suatu organisasi publik
selain mempunyai tujuan (goals) yang harus direalisasikan, juga
mempunyai pelbagai permasalahan yang harus diatasi, dikurangi,
atau dicegah (Tachjan, 2006:13). Masalah tersebut adalah masalah
publik yang pada umumnya bersifat sektoral, seperti: Masalah sistem
pertahanan, ketahanan energi, swasembada pangan, kelestarian
lingkungan, pemerataan pendidikan, peningkatan kesejahteraan,
perbaikan jalan umum, perpajakan, pembangunan perumahan, jaminan
keamanan sosial, kesehatan masyarakat, pertumbuhan ekonomi,
perkembangan perkotaan, bahkan masalah yang berkaitan dengan
urusan luar negeri. Ditinjau dari tingkat kesulitannya, masalah tersebut
dapat berupa masalah yang sederhana (well-structured), masalah yang
agak sederhana (moderately-structured), maupun masalah yang rumit
(ill-structured) (Mitroff & Sagasti dalam Dunn, 2000:221).
Dalam rangka memecahkan permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan kepentingan publik seperti yang telah diuraikan, maka
perlu dibuat kebijakan publik untuk menentukan apa yang seharusnya
dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah. Seperti yang dikatakan
oleh Thomas R. Dye (1984:1), “Public policy is whatever governments
choose to do or not to do”. Definisi singkat tersebut pada hakikatnya

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 5


memiliki makna yang luas, yakni bahwa kebijakan publik itu merupakan
perwujudan sikap atau tindakan-tindakan pemerintah untuk memilih
apa yang harus dilakukan atau apa yang seharusnya tidak dilakukan
dalam menyikapi permasalahan yang dihadapi. Tentu, sikap atau
tindakan-tindakan tersebut juga harus merupakan tindakan-tindakan
terpola (patterns of actions), yang mengarah pada tujuan tertentu yang
disepakati dan bukan sekedar keputusan acak (at random decision)
untuk melakukan sesuatu (Wahab, 2016:8). Sehingga, pada akhirnya
perwujudan sikap pemerintah dalam marespon masalah-masalah
tersebut dapat dilihat secara jelas apa maksud dan tujuannya, target apa
yang hendak dicapai dan masalah apa yang hendak diselesaikan.
Banyak peristiwa-peristiwa yang dapat dijadikan contoh berkaitan
dengan keputusan-keputusan kebijakan publik (public policy decisions).
Dalam sektor pertahanan negara misalnya, alokasi anggaran alat utama
sistem persenjataan (alutsista) ditingkatkan untuk tujuan modernisasi;
dalam sektor pendidikan, guru dan dosen wajib berpartisipasi dalam
sertifikasi guna meningkatkan kualitas pendidik dan pengajar yang
profesional; dalam sektor perekonomian, program amnesti pajak
diberlakukan guna meningkatkan likuiditas domestik; dalam sektor
penegakkan hukum, konstruksi lembaga pemasyarakatan (lapas) baru
dilaksanakan dengan tujuan mengurangi kapasitas berlebih (over-
capacity) para warga binaan dari lapas-lapas yang tersedia; dan masih
banyak contoh pada sektor-sektor lainnya.
Analisis kebijakan terdiri atas: analisis terhadap formulasi
kebijakan dan analisis terhadap implementasi kebijakan. Hal ini sejalan
dengan pandangan Carl V. Patton dan David S. Sawicki (1986:18)
bahwa “Policy analysis can be done before or after the policy has been
implemented”, maknanya bahwa analisis kebijakan dapat diselesaikan
sebelum atau setelah kebijakan diimplementasikan. Oleh karena itu,
sebelum membahas mengenai analisis implementasi kebijakan dan
model-model implementasi kebijakan, dipandang perlu secara sekilas
membahas tentang analisis formulasi kebijakan.
Pembahasan secara singkat mengenai formulasi kebijakan tentu
pada dasarnya akan mempermudah memahami proses selanjutnya secara

6 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


sistematis, yaitu proses implementasi kebijakan. Sangat penting untuk
dicatat bahwa pada praktiknya, ditinjau dari segi formulasi, kebijakan
publik bukanlah sesuatu yang mudah untuk dibuat dan ditetapkan.
Selain itu, dari segi implementasinya pun dapat dikatakan bahwa
suatu kebijakan publik sulit untuk dilaksanakan dan dikendalikan.
Hal tersebut disebabkan oleh, salah satunya adalah faktor politik yang
memberikan pengaruh besar dalam kebijakan publik.
Faktor politik memberikan dampak yang besar terhadap kebijakan
publik, baik pada proses formulasi maupun pada proses implementasi.
Thomas R. Dye (1984:24) mengatakan bahwa “In short, ... the policy
process as a series of political activities”. Pernyataan Dye tersebut
mengandung makna bahwa proses kebijakan tidak dapat dilepaskan
dari serangkaian aktivitas-aktivitas yang bernuansa politis. Selain itu,
William N. Dunn (2000:22-23) juga menyatakan pendapat yang sama
bahwa proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual
yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat
politis.
Dalam ruang lingkup analisa kebijakan, Thomas R. Dye (1984:6)
berpendapat bahwa “Policy analysis as a series of questions about the
relationships, or “linkages” between social and economic conditions,
characteristics of political systems, and the content of public policy.”
Berdasarkan perspektif penulis, pendapat Dye tersebut memiliki makna
bahwa analisis kebijakan tidak lain merupakan serangkaian pertanyaan-
pertanyaan tentang hubungan-hubungan antara kondisi-kondisi ekonomi
dan sosial, karakteristik sistem politik, dan konten kebijakan publik.
Serangkaian pertanyaan mendasar dalam analisa kebijakan tersebut
membentuk suatu model yang dinamakan model sistem kebijakan (the
policy system model). Model tersebut dapat dilihat pada bagan di bawah
ini:

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 7


Society Political System Public Policy

Institutions,
Processes,
A Behaviors
B

E F

Social and C Public


Economic Policies
Conditions D

Includings: Includings: Includings:


Wealth Constitutional Civil Rights Policies
Urbanization Bureaucracy Educational Policies
Economic System Party System Welfare P olicies
Education Levels Power Structure Health P olicies
Class Structure Patterns of Participation Foreign and Defense
Racial Composition Interest Group System Policies
Religious Make-Up Characteristics of Elites Taxing and Spending

Gambar 2-1 Sistem Kebijakan


Sumber: Tho mas R. Dye (1984), Understanding Public Policy – Fifth
Edition, New Jersey: Prentice Hall, hlm.6.

Model sistem kebijakan yang dirumuskan oleh Thomas R. Dye


tersebut apabila diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia,
maka dapat diilustrasikan sebagaimana tercantum pada gambar di
bawah ini.

8 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Masyarakat Sistem Politik Kebijakan Publik

Institusi,
Proses,
A Perilaku
B

E F

Keadaan C Kebijakan
sosial dan Publik
ekonomi D

Mencakup: Mencakup: Mencakup:


Kesejahteraan Konstitusi Kebijakan hak-hak sipil
Urbanisasi Birokrasi Kebijakan pendidikan
Sistem ekonomi Sistem kepartaian Kebijakan kesejahtera an
Tingkat pendidikan Struktur kekuasaan Kebijakan kesehatan
Struktur kelas Pola partisipasi Kebijakan pertahanan dan
Komposisi ras Sistem kelompok luar negeri
Keagamaan kepentingan Pajak dan pengeluaran
Karakteristik
penguasa

Melalui model sistem kebijakan ini, kemudian Dye (1984:6-


7) memberikan penjelasan secara rinci bahwa terdapat serangkaian
pertanyaan-pertanyaan mendasar yang membentuk suatu sistem
kebijakan dalam analisa kebijakan tersebut. Pertanyaan tersebut antara
lain:
Garis A: What are the effects of environmental forces and conditions
on political and governmental institutions, processes, and
behaviors? (Apa dampak kekuatan-kekuatan dan keadaan-

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 9


keadaan lingkungan terhadap lembaga-lembaga, proses-
proses, dan perilaku-perilaku politik dan pemerintahan?)
Garis B: What are the effects of political and governmental institutions,
processes, and behaviors on public policies? (Apa dampak
lembaga-lembaga, proses-proses, dan perilaku-perilaku
politik dan pemerintahan terhadap kebijakan publik?)
Garis C: What are the effects of environmental forces and conditions
on public policies? (Apa dampak kekuatan-kekuatan dan
keadaan-keadaan lingkungan terhadap kebijakan publik?)
Garis D: What are the effects (feedback) of public policies on
environmental forces and conditions? (Apa dampak “umpan
balik” kebijakan publik terhadap kekuatan-kekuatan dan
kondisi-kondisi lingkungan?)
Garis E: What are the effects (feedback) of political and governmental
institutions, processes, and behaviors on environmental
forces and conditions? (Apa dampak “umpan balik” lembaga-
lembaga, proses-proses, dan perilaku-perilaku politik dan
pemerintahan terhadap kekuatan-kekuatan dan kondisi-
kondisi lingkungan?)
Garis F: What are the effects (feedback) of public policies on political
and governmental institutions, processes, and behaviors?
(Apa dampak “umpan balik” kebijakan publik terhadap
lembaga-lembaga, proses-proses, dan perilaku-perilaku
politik dan pemerintahan?)

Model di atas telah menunjukkan bahwa kebijakan publik


menempati posisi yang strategis dalam suatu sistem yang komprehensif.
Dalam hubungannya dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi
oleh masyarakat, kegagalan dan keberhasilan suatu negara dalam
merespon permasalahan tersebut ditentukan oleh kebijakan publik yang
diformulasikan dan diimplementasikan. Tentu saja, keberhasilan dalam
memecahkan suatu masalah memerlukan penemuan solusi yang tepat
terhadap masalah yang juga tepat (Ackoff dalam Dunn, 2000:209).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa suatu analisis kebijakan
merupakan kunci yang tepat dalam merumuskan masalah tersebut guna
mencari pilihan-pilihan solusi terbaik.

10 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Berbeda dengan Dye, William N. Dunn (2000:44) mendefinisikan
analisis kebijakan (policy analysis) sebagai suatu aktivitas intelektual
dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai,
dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses
kebijakan. Aktivitas-aktivitas tersebut berurutan sesuai waktunya dan
melekat dalam proses kebijakan yang bersifat kompleks, tidak linear,
dan pada dasarnya bersifat politis.
Analisis kebijakan berperan penting dalam meneliti sebab, akibat,
dan kinerja kebijakan dan program publik. Dengan menggunakan
metodologi multiple (perpaduan metodologi dari berbagai disiplin
seperti: ilmu politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, filsafat) dalam
konteks argumentasi dan debat politik, analisis kebijakan bertujuan
menciptakan, menilai secara kritis, dan mengkomunikasikan pengetahuan
yang relevan dengan kebijakan (Dunn, 2000:44). Kemudian Dunn
(2000:45) lebih spesifik lagi mendefinisikan pengetahuan yang relevan
dengan kebijakan (policy-relevant knowledge) sebagai informasi yang
telah secara kritis dinilai dan ditransformasikan ke dalam kepercayaan
tentang kebenaran yang masuk akal mengenai proses dan hasil
kebijakan. Singkatnya, makna dari pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan seperti yang diungkapkan oleh Dunn yakni pengetahuan
yang membantu dalam merumuskan dan memecahkan masalah, sesuai
dengan bagaimana masalah tersebut dialami oleh pengambil kebijakan
dan kepada siapa kebijakan tersebut berdampak, termasuk warganegara
yang hak konstitusionalnya tidak terpenuhi atau dilanggar.
Dunn (2000:17) menggunakan metodologi analisis kebijakan yang
mencakup lima informasi yang berguna untuk menjawab permasalahan
yang relevan dengan kebijakan. Lima informasi tersebut yaitu: masalah
kebijakan (policy problems), masa depan kebijakan (policy futures),
aksi kebijakan (policy actions), hasil kebijakan (policy outcomes) dan
kinerja kebijakan (policy performance). Lima tipe informasi tersebut
pada hakikatnya saling berhubungan dan saling ketergantungan satu
dengan lainnya. Satu tipe informasi dipindahkan ke bentuk informasi
lainnya melalui lima prosedur analisis secara dinamis. Prosedur-
prosedur tersebut antara lain: perumusan masalah (problem structuring),

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 11


peramalan (forecasting), rekomendasi (recommendation), pemantauan
(monitoring), dan penilaian (evaluation). Proses transformasi
informasi kebijakan melalui prosedur analisis kebijakan secara dinamis
membentuk suatu model analisis kebijakan yang berorientasi pada
masalah. Model tersebut dapat dilihat pada diagram berikut.

Gambar 2-2 Model analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah


Sumber: Dunn, William N., (1994), Public Policy Analysis: An
Introduction Second Edition, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia (2000), Pengantar
Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, hlm.21.

Dalam rangka memperjelas informasi yang terkandung dalam


model analisis kebijakan William N. Dunn di atas, maka jika
diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia akan tampak
seperti gambar di bawah ini.

12 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Dye dan Dunn memandang bahwa analisis kebijakan (policy
analysis) pada hakikatnya tidak akan terlepas dari aktivitas-aktivitas
yang bersifat politis. Menurut Dunn (2000:22), aktivitas-aktivitas
politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan (policy-
making process) dan divisualisasikan menjadi tahapan-tahapan yang
saling bergantung, yang diatur menurut urutan waktu, bersifat tidak
linear, dan bersifat kompleks antara lain: Penyusunan agenda (agenda
setting), formulasi kebijakan (policy formulation), adopsi kebijakan
(policy adoption), implementasi kebijakan (policy implementation),
dan penilaian kebijakan (policy assessment). Untuk mempermudah
gambaran mengenai hubungan kedekatan prosedur analisis kebijakan
dengan proses pembuatan kebijakan, disertai dengan karakteristiknya
masing-masing, berikut bagan ilustrasi yang menggambarkan ketiganya.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 13


Tabel 2-1
Kedekatan prosedur analisis kebijakan dengan tipe-tipe pembuatan kebijakan

Sumber: Dunn, William N., (1994), Public Policy Analysis: An


Introduction Second Edition, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Diterjemahkan
dalam edisi bahasa Indonesia (2000), Pengantar Analisis Kebijakan Publik
Edisi Kedua, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm.24-25.

14 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Bagan prosedur analisa kebijakan tersebut jika diterjemahkan
secara bebas ke dalam bahasa Indonesia maka akan diperoleh informasi
seperti yang disajikan dalam bagan di bawah.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 15


Prosedur perumusan masalah (problem structuring) dilaksanakan
melalui penyusunan agenda (agenda setting). Pada tahap ini, para pelaku
kebijakan mengidentifikasi masalah yang dihadapi dengan disertai
oleh analisa yang komprehensif, berisi asumsi, faktor-faktor penyebab
masalah, peta tujuan yang hendak dicapai, perbedaan pandangan, dan
peluang-peluang yang tersedia. Karakteristik penyusunan agenda dapat
dilihat dari aktivitas ketika para pejabat atau pihak yang berkepentingan
(stakeholder) yang telah dipilih dan diangkat, menempatkan masalah
dalam agenda publik.
Prosedur peramalan (forecasting) dilaksanakan dalam tahap
formulasi kebijakan (policy formulation). Prosedur ini menyediakan
pengetahuan yang relevan mengenai masalah-masalah kebijakan, yaitu
semua informasi yang telah dinilai secara kritis akan dirumuskan dalam
tahap formulasi kebijakan. Para pejabat atau pihak yang berkepentingan
(stakeholder) merumuskan alternatif-alternatif kebijakan dalam rangka
mengatasi masalah yang dihadapi. Tentu, dalam prosedur peramalan,
para pemangku kepentingan dapat menganalisa bahkan menguji keadaan
kebijakan di masa depan (policy future) disertai dengan memperkirakan
akibat yang akan terjadi apabila kebijakan tersebut diimplementasikan,
dan mengidentifikasi hambatan-hambatan apa yang pada umumnya
akan muncul sebelum tujuan yang telah dirumuskan tercapai.
Prosedur rekomendasi (recommendation) akan menghasilkan
informasi-informasi komprehensif mengenai manfaat dan biaya serta
akibat-akibatnya di masa mendatang yang telah diestimasikan melalui
prosedur sebelumnya, yaitu peramalan (forecasting). Prosedur ini akan
sangat membantu para pejabat atau pihak pengambil kebijakan pada
tahap adopsi kebijakan (policy adoption) dalam memperkirakan tingkat
risiko dan ketidakpastian, mengenali faktor-faktor eksternal yang
berpengaruh, menentukan kriteria-kriteria pilihan, dan menentukan
pertanggungjawaban administratif. Sehingga, segala perkiraan yang
telah dihasilkan akan direkomendasikan untuk dianalisa menjadi
informasi-informasi untuk prosedur aksi kebijakan (policy action).
Prosedur pemantauan (monitoring) akan membantu para pejabat
atau para pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan

16 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


(policy implementation). Prosedur ini menyediakan segala informasi
mengenai akibat dari kebijakan yang diambil pada aksi kebijakan
(policy action). Selain itu, informasi mengenai tingkat kepatuhan,
akibat, hambatan, dan rintangan yang tidak diinginkan dalam proses
implementasi, serta beban pertanggungjawaban para pihak dalam
implementasi kebijakan akan dipaparkan dan dinilai pada prosedur
pemantauan. Karakter dari implementasi kebijakan yaitu bahwa
kebijakan yang telah dirumuskan dan diambil akan dilaksanakan oleh
unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan
manusia sehingga pada akhirnya akan diperoleh hasil kebijakan (policy
outcomes).
Prosedur penilaian (evaluation) pada akhirnya akan menghasilkan
segala informasi mengenai ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan
(policy performance) yang diharapkan dengan yang benar-benar
dihasilkan. Bukan hanya berisi pencapaian dari kebijakan yang
dipilih saja, pada prosedur ini seluruh pemegang kepentingan akan
memberikan klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai kebijakan yang
telah diimplementasikan. Sehingga semua masukan tersebut dapat
digunakan untuk proses perumusan kembali masalah yang dihadapi
agar dapat ditangani lebih baik.

B. Implementasi Kebijakan dalam Konteks Dimensi Ilmu


Administrasi Publik dan Hukum
Implementasi kebijakan merupakan salah satu tahapan penting
yang harus dilalui dalam proses analisis kebijakan publik. Lebih luas
lagi, implementasi kebijakan pada hakekatnya merupakan bagian
dari administrasi publik. Menurut Yeremias T. Keban (2008:10-12),
administrasi publik harus dilihat setidak-tidaknya dari enam dimensi
strategis, yaitu:
1. Dimensi kebijakan, berkaitan dengan proses pembuatan keputusan
untuk menentukan tujuan dan cara atau alternatif terbaik untuk
mencapai tujuan tersebut.
2. Dimensi struktur organisasi, berkaitan dengan pengaturan struktur

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 17


yang meliputi pembentukan unit, pembagian tugas antar unit
(lembaga-lembaga publik) untuk mencapai tujuan dan target,
termasuk wewenang dan tanggungjawabnya.
3. Dimensi manajemen, berkaitan dengan proses bagaimana
kegiatan-kegiatan yang telah dirancang dapat diimplementasikan
(digerakkan, diorganisir, dan dikontrol) untuk mencapai tujuan
organisasi melalui prinsip-prinsip manajemen.
4. Dimensi etika, berkaitan dengan pemberian tuntunan moral
terhadap administrator tentang apa yang salah dan apa yang benar,
atau apa yang baik dan yang buruk.
5. Dimensi lingkungan, berkaitan dengan suasana dan kondisi sekitar
yang mempengaruhi seluruh dimensi yang ada.
6. Dimensi akuntabilitas kinerja, berkaitan dengan pemberian suatu
bukti nyata tentang kehadiran dan kegunaan riil pemerintah yang
menjalankan fungsi-fungsi administrasi publik di dalam suatu
negara.

Implementasi termasuk dalam dimensi kebijakan, karena dimensi


kebijakan berkaitan dengan proses pembuatan keputusan untuk
penentuan tujuan dan cara atau alternatif terbaik untuk mencapai tujuan
tersebut.
Berbeda dengan Keban di atas, bandingkan dengan pendapat Riant
Nugroho (2014:98) yang lebih khusus lagi memandang bahwa kebijakan
publik merupakan bentuk dinamika dari tiga dimensi kehidupan setiap
negara bangsa, yaitu:
1. Dimensi politik, karena kebijakan publik merupakan bentuk paling
nyata dari sistem politik yang dipilih.
2. Dimensi hukum, karena kebijakan publik merupakan fakta hukum
dari negara, sehingga kebijakan publik mengikat seluruh rakyat
dan juga seluruh penyelenggara negara, terutama penyelenggara
pemerintahan.

18 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


3. Dimensi manajemen, karena kebijakan publik perlu dirancang
atau direncanakan, dilaksanakan melalui berbagai organisasi
dan kelembagaan, dipimpin oleh Pemerintah beserta organisasi
eksekutif yang dipimpinnya, yaitu birokrasi, bersama-sama dengan
rakyat, dan untuk mencapai hasil yang optimal, maka implementasi
kebijakan publik harus dikendalikan.
Pandangan mengenai dimensi administrasi publik (secara umum)
dan dimensi kebijakan publik (secara khusus) pada hakikatnya
akan berhubungan dengan proses implementasi. Dalam rangka
memperjelas makna implementasi, Gordon (dalam Keban, 2008:76)
berpendapat bahwa implementasi berkenaan dengan berbagai kegiatan
yang diarahkan pada realisasi tujuan-tujuan program, dengan cara
mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang
telah diseleksi. Sama halnya dengan Riant Nugroho (2014:657) yang
berpendapat bahwa implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah
cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Berdasarkan
pendapat dari kedua pakar tersebut, jelas bahwa esensi dari implementasi
adalah untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dalam tahap
sebelumnya, yaitu formulasi kebijakan.
Suatu kebijakan dengan tujuan yang telah berhasil diformulasikan
tanpa diikuti dengan proses implementasi adalah angan-angan belaka.
Maknanya, tanpa proses implementasi, sebuah kebijakan yang
dirumuskan dalam dokumen tertulis secara lengkap dan sistematis tidak
akan berarti apa-apa. Sebaliknya, impementasi kebijakan tanpa didasari
oleh formulasi tujuan yang jelas adalah ketidakteraturan. Terdapat dua
makna dari formulasi tujuan yang jelas, yaitu: (1) tujuan tersebut tidak
memiliki makna ganda atau ambigu; dan (2) tujuan suatu kebijakan
dirumuskan untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh
masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Edwards (1980:1), “If it
cannot alleviate the problem for which it was designed, it will probably
be a failure no matter how well it is implemented.” Sebuah kebijakan
meskipun diimplementasikn dengan baik, akan tetap menjadi sebuah
kesalahan jika kebijakan tersebut tidak dapat mengurangi permasalahan
yang menjadi latar belakang dibentuknya kebijakan tersebut.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 19


Kebijakan publik adalah kebijakan yang sangat kompleks,
menimbulkan dampak yang sangat luas terhadap masyarakat.
Berdasarkan perspektif siklus kebijakan (policy cycle), implementasi
kebijakan publik sejak awal melibatkan sebuah proses rasional dan
emosional yang teramat kompleks (Wahab, 2016:125). Sebagai
gambaran mengenai kompleksitas implementasi kebijakan publik,
George C. Edwards III (1980:2) berpendapat bahwa:
“Implementing a public policy may include a wide variety of actions:
issuing and enforcing directives, disbursing funds, making loans,
awarding grants, signing contracts, collecting data, disseminating
information, analyzing problems, assigning and hiring personnel,
creating organizational units, proposing alternatives, planning for
the future, and negotiating with private citizens businesses, interest
groups, legislative committees, bureaucratic units, and even other
countries.”

Berdasarkan pemikiran tersebut, implementasi kebijakan publik


melibatkan berbagai sumber yang diperlukan, baik dalam konteks
sumber daya maupun sumber aktor (Nugroho, 2014:668). Dalam
aspek sumber aktor, benar apa yang dikatakan oleh Keban (2008:77),
bahwa implementasi membutuhkan para pelaksana yang benar-
benar jujur, memiliki kompetensi yang sesuai, komitmen yang tinggi
untuk menghasilkan apa yang menjadi tujuannya, dan benar-benar
memperhatikan rambu-rambu peraturan pemerintah yang berlaku.
Namun, menurut pandangan Penulis pernyataan tersebut perlu
disempurnakan, yaitu dengan cara ditinjau dari segi ilmu hukum.
Para implementor jangan pernah dituntut hanya untuk
memperhatikan rambu-rambu peraturan pemerintah semata, melainkan
harus mentaati seluruh jenis peraturan perundang-undangan secara
hierarkis dan harus mentaati hukum yang hidup di dalam masyarakat
(living law). Jika hanya dituntut untuk memperhatikan peraturan
pemerintah saja, maka pandangan Keban tersebut dinilai sebagai
pandangan yang sempit. Argumen kritis Penulis didasarkan kepada Pasal
7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

20 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Peraturan Perundang-undangan yang menyebutkan bahwa jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan terdiri dari: (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat; (3) Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (4) Peraturan Pemerintah; (5)
Peraturan Presiden; (6) Peraturan Daerah Provinsi; dan (7) Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota. Jelas bahwa para implementor harus taat
(bukan hanya patuh) terhadap peraturan perundang-undangan secara
hierarkis. Selain itu, mereka juga harus taat pada hukum yang hidup
di dalam masyarakat (living law), bukan hanya patuh kepada peraturan
pemerintah saja sebagaimana yang dinyatakan oleh Keban.
Dalam implementasi kebijakan, penulis memiliki pandangan
bahwa para implementor seharusnya memiliki tingkat ketaatan yang
tinggi, bukan tingkat kepatuhan yang tinggi. Istilah taat dan patuh
memiliki makna yang berbeda. Para implementor yang taat hukum
artinya mereka memiliki rasa kesadaran hukum yang tinggi, yaitu
kesadaran hukum yang bersumber dari hati nurani (internal) untuk
dapat mengikuti seluruh kaidah-kaidah yang berisi perintah maupun
larangan peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan
tugasnya. Sebaliknya, para implementor yang patuh terhadap hukum
artinya mereka harus menjalankan tugasnya karena adanya paksaan
dari luar (eksternal) yang membuat mereka – mau tidak mau – harus
mengikuti perintah dan larangan yang mengatur mereka. Sehingga, hal
ini perlu diperjelas karena kesuksesan maupun kegagalan implementasi
suatu kebijakan dipengaruhi, salah satunya oleh perilaku para aktor
pelaksana.
Implementasi kebijakan itu tidak sederhana, melainkan sesuatu hal
yang sangat kompleks. Dengan mengingat kompleksitas ilmu kebijakan
publik, Edwards III (1980:3) mengatakan bahwa “Since policy
implementation is so complex, we should not expect it to be accomplished
in a routine fashion.” Kita tidak seharusnya mengharapkan implementasi
kebijakan dapat diselesaikan melalui kebiasaan sehari-hari. Banyak
orang yang menganggap bahwa implementasi kebijakan merupakan
bagian yang mudah dari proses kebijakan karena para implementor

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 21


hanya tinggal “melaksanakan” setiap keputusan hasil dari formulasi
kebijakan. Praktiknya, tahap implementasi kebijakan bukan merupakan
tahapan yang sebagaimana dibayangkan. Implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh berbagai variabel yang dapat “mengarahkan” suatu
kebijakan ke arah keberhasilan atau kegagalan.

22 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


BAB III
Pelopor Penelitian Implementasi
Jeffrey L. Pressman dan Aaron Wildavsky (1973)

J effrey L. Pressman dan Aaron Wildavsky melakukan studi kasus


(case study) berjudul How Great Expectations in Washington are
Dashed in Oakland yang kemudian dipublikasikan menjadi buku
dengan judul Implementation pada tahun 1973 (Wahab, 2016:160).
Studi kasus ini merupakan penelitian pertama di bidang analisis
implementasi kebijakan (policy implementation). Penelitian Pressman
dan Wildavsky telah menginspirasi banyak peneliti lainnya dalam
lapangan ilmu politik dan studi analisis kebijakan. Kemudian, penelitian
dalam lapangan ilmu ini meningkat pesat dengan dibuktikan dari mulai
banyaknya publikasi-publikasi ilmiah seperti buku dan jurnal pada
pertengahan tahun 1980an.
Studi kasus tersebut membahas mengenai program pengembangan
ekonomi di kota Oakland, Amerika serikat dan kegagalan pemerintah
federal Amerika Serikat pada masa itu yang ambisius dalam
merencanakan dan menciptakan 3000 lapangan pekerjaan baru
(Mazmanian & Sabatier, 1983:5). Mereka melakukan penelitian terhadap
program pemerintah Federal Amarika Serikat yang diperuntukan bagi
penduduk kota Oakland, California. Program-program tersebut pada
kenyataannya tidak diimplementasikan sesuai dengan rencana yang
telah ditetapkan sebelumnya oleh para pengambil kebijakan (policy
maker) karena disebabkan oleh kompleksitas dari banyaknya aktor yang
mengambil peran di dalamnya (Winter, 1990:255). Rumusan masalah

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 23


yang diidentifikasikan oleh Pressman dan Wildavsky sebagai panduan
studi kasus tersebut adalah: “How well was this authoritative mandate
(law, regulation, program, official pronouncement) implemented?” dan
“How might it have been better implemented?” Pertanyaan tersebut
bermakna: “Seberapa baik mandat kekuasaan ini (hukum, peraturan,
program, pernyataan resmi) dilaksanakan?” dan “Bagaimana mungkin
hal tersebut telah dilaksanakan dengan baik?” (Winter, 1990:255).
Menurut Wahab (2016:160), hasil dari penelitian mereka
memberikan kontribusi besar dalam perkembangan pemikiran yang
mengacu kepada dua hal. Pertama, makna implementasi dan proses
perubahan implementasi dari waktu ke waktu mulai dipahami dengan
baik. Kedua, hubungan antara karakteristik tertentu dari desain kebijakan
dengan pola pengaturan kebijakan; dan hubungan antara karakteristik
tertentu dari desain kebijakan dengan kinerja implementasi mulai
dipahami dengan baik. Selain itu, pencapaian tujuan telah ditetapkan
menjadi ukuran yang mendominasi dan variabel terikat dari penelitian
implementasi sejak tahun 1970an di Amerika.
Penelitian ini merupakan pelopor studi mengenai implementasi
kebijakan yang pada hakikatnya “telat disadari” oleh para pakar
kebijakan publik pada tahun 1960-an. Sebelumnya, peneliti dalam
bidang kajian ilmu politik dan analisa kebijakan kurang perhatian untuk
meneliti lebih jauh mengenai bidang implementasi kebijakan. Hal ini
didukung oleh pernyataan Pressman dan Wildavsky (dalam Van Meter
& Van Horn, 1975: 452):
“There is (or there must be) a large literature about implementation
in the social sciences – or so we have been told by numerous
people . . . It must be there; it should be there; but in fact it is not.
There is a kind of semantic illusion at work here because virtually
everything ever done in public administration must, in the nature
of things, have some bearing on implementation . . . Nevertheless,
except for the few pieces mentioned in the body of this book, we
have been unable to find any significant analytic work dealing with
implementation.”

24 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Pernyataan tersebut bermakna bahwa seharusnya terdapat bahan
kepustakaan yang banyak mengenai implementasi dalam ilmu sosial.
Mereka merasa seperti bekerja dalam khayalan belaka karena mereka
pikir bahwa semuanya telah dikerjakan dalam administrasi publik,
berwujud barang-barang, memiliki beberapa hubungan yang saling
bersangkutan dalam implementasi. Kecuali untuk beberapa bagian
kecil yang disebutkan pada isi buku mereka dimana mereka tidak
dapat menemukan hasil analisa yang signifikan yang berkenaan dengan
implementasi.
Dalam kajiannya mengenai implementasi kebijakan, Pressman
dan Wildavsky (dalam Jones, 1984:165) mendefinisikan implementasi
sebagai berikut:
“Implementation may be viewed as a process of interaction between
setting of goals and the actions geared to achieving them ...”
“Program implementation thus becomes a seamless web ...”
“Implementation, then, is the ability to forge subsequent links in
the causal chain connecting actions to objectives ...”

Menurut kedua pakar di atas, implementasi mungkin dapat


dipandang sebagai sebuah proses interaksi antara suatu perangkat tujuan
dan tindakan yang mampu untuk meraihnya. Selain itu, implementasi
atau penerapan program dengan demikian telah menjadi suatu jaringan
yang tak nampak. Dan terakhir, mereka berpendapat bahwa implementasi
adalah kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih
lanjut dalam rangkaian sebab-akibat yang menghubungkan tindakan
dengan tujuan. Dalam rangka merespon definisi implementasi yang
dikemukakan oleh Pressman dan Wildavsky di atas, Charles O. Jones
(1984:165) berpendapat bahwa “These interactive elements are vital
to the whole concept of implementation” (unsur-unsur ini penting bagi
konsep implementasi secara menyeluruh).
Program Great Society di bawah administrasi pemerintahan Lyndon
B. Johnson (1964-1965) adalah salah satu contoh kasus yang berkaitan
dengan masalah implementasi kebijakan yang menjadi kajian Pressman

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 25


dan Wildavsky. Program ini tujuan utamanya sangatlah sederhana,
yaitu: memberantas kemiskinan (war on poverty) dan ketidakadilan
rasial (racial injustice). Implementasi program ini tidak berjalan
sesuai dengan tujuan yang diharapkan karena pada kenyataannya dana
yang dia harapkan untuk implementasi program ini, mengalir untuk
dana perang di Vietnam. Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan
keterlibatan Amerika Serikat pada perang Vietnam yang dibuktikan
dengan implementasi kebijakan penambahan personil militer Amerika
di Vietnam yang semula berjumlah 16.000 personil pada tahun 1963,
meningkat drastis menjadi 550.000 personil pada tahun 1968.
Padahal sebelumnya, pada tanggal 1 Juli 1965, George W. Ball
yang merupakan seorang pejabat pada kementrian luar negeri Amerika
Serikat memberikan surat rekomendasi kepada Lyndon B. Johnson
mengenai masalah yang terjadi di Vietnam Selatan sebelum pemerintah
Amerika Serikat memerintahkan penerjunan tentaranya dalam jumlah
yang sangat besar ke medan tempur yang paling ganas di Asia Tenggara
tersebut. Dalam surat rekomendasinya, Ball (dalam Jones, 1984:1)
memberi penegasan bahwa:
“The decision you face now ... is crucial. Once large number of
US troops are committed to direct combat they will begin to take
heavy causalties in a war they are ill-equipped to fight in a non-
cooperative if not downright hostile countryside.”
(Keputusan yang tengah anda hadapi sekarang ini ... bersifat
menentukan. Sejumlah pasukan AS diperintahkan untuk bertemput
langsung dalam rimba raya pedalaman ganas dan bermusuhan,
di mana mereka hanya akan menjadi korban karena miskinnya
pengalaman bertempur dalam medan seperti itu.)
“Once we suffer larger causalties we will have started a well-
high irreversible process. Our involvement will be so great that
we cannot – without national humiliation – stop short of achieving
our complete objectives. Of the two possibilities I think humiliation
would be more likely than the achievement of our objectives – even
after we had paid terrible cost.”

26 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


(Jika sekali kita mengalami kerugian yang besar maka kita akan
memulai suatu proses yang hampir tidak dapat diubah lagi. Keterlibatan
kita akan sedemikian jauh sehingga kita tidak dapat berhenti selekasnya
– tanpa mendapat yang bersifat nasional – sebelum mencapai sasaran-
sasaran kita secara menyeluruh. Tetapi dari dua kemungkinan tersebut,
saya pikir suatu penghinaan akan lebih baik daripada pencapaian
sasaran-sasaran tersebut – bahkan setelah kita menghabiskan banyak
biaya dan mengalami kerugian yang tidak sedikit.)

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 27


BAB IV
Model Proses Implementasi
Kebijakan Thomas B. Smith (1973)

A sumsi umum yang sering dibuat oleh para pakar yang menganalisa
kebijakan dan membangun model-model proses kebijakan yaitu
bahwa saat sebuah kebijakan telah dibuat, kebijakan tersebut
akan terlaksana dengan sendirinya dan hasil yang didapat pasti akan
sesuai dengan hasil yang diharapkan oleh para pembuat kebijakan.
Atas dasar asumsi ini, Thomas B. Smith merumuskan suatu pandangan
dan model ilmiah yang dituangkan dalam karyanya yang berjudul The
Policy Implementation Process (1973). Smith mengevaluasi asumsi
tersebut dalam rangka membuat sebuah model proses implementasi
kebijakan, khususnya di negara-negara dunia ketiga.
Kondisi-kondisi politik dan organisasi turut mempengaruhi
pembentukan asumsi tersebut. Sebagai contohnya, keadaan-keadaan
politik pada negara-negara di benua Asia dan Afrika berbeda dengan
kebanyakan negara-negara Barat. Kebijakan pemerintah pada negara-
negara di benua Asia dan Afrika sering ditafsirkan sebagai hasil dari
permintaan-permintaan (demands) dan tekanan-tekanan (pressures)
dari pihak-pihak yang berkepentingan (Smith, 1973:198). Smith
berpendapat bahwa pengaruh partai-partai politik dan kelompok-
kelompok kepentingan tersebut mungkin masih belum berkembang
atau mungkin karena adanya tekanan dari tindakan pemerintah. Jika
dibandingkan dengan negara-negara barat, kepentingan dan tantangan di
masyarakat barat tertuju pada para pembuat kebijakan (policy makers).

28 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Jika sebuah kebijakan dibuat (atau tidak dibuat), maka berbagai macam
kepentingan mengetahui bahwa keputusan ini akan diimplementasikan.
Oleh karena itu, peran nyata dari kelompok-kelompok kepentingan dan
kelompok lainnya (termasuk partai politik) akan terlihat jelas pada saat
kebijakan-kebijakan tersebut diimplementasikan oleh pemerintah.
Kelemahan implementasi kebijakan pada negara-negara dunia
ketiga yakni kapasitas atau kemampuan untuk mengeksekusi
kebijakan tersebut. Jika pemerintah pada sebuah negara dunia ketiga
mengimplementasikan sebuah kebijakan, birokrasi yang seharusnya
mengimplementasikan kebijakan tersebut sering mengalami
hambatan karena kurangnya kapasitas atau kemampuan untuk
mengimplementasikan kebijakan tersebut (Smith, 1973:198). Manurut
Smith, kondisi demikian tidak pernah ditemukan pada masyarakat
barat. Mengapa demikian ? Hal ini disebabkan oleh sifat birokrasi
negara barat yang relatif bersifat lebih berdayaguna (efficient) dan
berhasilguna (effective) pada tahap implementasi kebijakan. Smith
(1973:199) menegaskan bahwa pada negara-negara dunia ketiga, banyak
sekali faktor yang berperan dalam upaya pelemahan setiap kebijakan
pemerintah, antara lain: kurangnya anggota yang berkualifikasi (lack of
qualified personnel), adanya ketidaksesuaian arahan dan pengawasan
dari pemimpin politik (insufficient direction and control from political
leaders), adanya pertentangan atau perlawanan terhadap kebijakan itu
sendiri (opposition to the policy itself), korupsi (corruption), dan lain
sebagainya.
Dalam rangka mengembangkan model proses implementasi
kebijakan, Smith mendasarkan pola pikir dan pandangannya pada
perubahan sosial dan politik (social and political change). Perubahan
sosial dan politik menjadi dasar pandangan Smith karena kebijakan
pemerintah pada dasarnya dibentuk untuk menimbulkan perubahan
dalam masyarakat. Artinya, implementasi kebijakan pemerintah,
dalam hal ini pola interaksi dan institusi yang lama akan terhapus atau
termodifikasi dan pola tindakan dan institusi yang baru akan terbentuk.
Pandangan ini menjadi dasar Smith dalam menganalisa model mengenai
proses implementasi kebijakan.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 29


Dalam analisanya, Smith menggunakan pandangan Walter Buckley
mengenai model akar penyebab perubahan-perubahan di masyarakat
(model the root cause of changes in society) dalam karya ilmiahnya
berjudul Sociology and Modern Systems Analysis. Walter (dalam Smith,
1973:200) berpendapat bahwa:
“The internal source of dynamics for the ongoing process is the
continuous generation of varying degrees of tension, “stress” or
“strain” within and between the interacting components; such
tension is now being recognized as an inherent and essential
characteristic of such systems.”
Pendapat Walter tersebut bermakna bahwa perubahan ketegangan-
ketegangan (tensions) dalam dan di antara komponen-komponen yang
saling berinteraksi merupakan sumber utama dari proses yang sedang
berjalan. Ketegangan tersebut diakui sebagai sifat yang melekat dan
penting dari sistem tersebut. Untuk memperjelas apa yang dikatakan
oleh Walter, Smith mengutip pernyataan Robert Chin mengenai sumber-
sumber ketegangan dalam masyarakat. Chin (dalam Smith, 1973:200-
201) berpendapat bahwa:
“We find built-in differences, gaps of ignorance, misperceptions, or
differential perspectives, internal changes in a component, reactive
adjustments and defenses, and the requirement of system survival
generating tensions. ... The identification of and analysis of how
tensions operate in a system are by all odds the major utility of
systems analysis for practitioners of change. The dynamics of a
living system are exposed for observation through utilizing the
concept of tension, stress, and strain, and conflict.”

Berdasarkan pendapat Chin tersebut, hal yang menimbulkan


ketegangan-ketegangan dapat berupa perbedaan-perbedaan yang
nyatanya telah ada dalam masyarakat, adanya ruang pemisah tentang
ketidaktahuan, kesalahpahaman atau pandangan-pandangan yang
berbeda, perubahan-perubahan internal dalam komponen tersebut,
penyesuaian diri dan perlawanan yang reaktif, dan keperluan sistem
untuk tetap bertahan hidup.

30 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Pandangan Smith mengenai ketegangan-ketegangan yang terjadi
di masyarakat dilengkapi oleh pandangan George K. Zollschan yang
menyediakan model yang lebih komprehensif tentang bagaimana
ketegangan-ketegangan masyarakat menghasilkan perubahan dalam
masyarakat. George K. Zollschan dalam karya ilmiahnya berjudul
Working Papers in the Theory of Institutionalization menggunakan
istilah “exigency” atau “keadaan darurat” sebagai pengganti istilah
“tensions” atau “ketegangan” dalam masalah ini. Zollschan (dalam
Smith, 1973:201) mengidentifikasi tiga tipe utama dari ketidaksesuaian
yang mungkin secara mandiri maupun kombinasi, menimbulkan
“keadaan darurat”. Tipe-tipe tersebut antara lain:
1. A discrepancy between a legitimate pattern or arrangement and
an actual situation. (Ketidaksesuaian antara pola yang sah atau
perencanaan dengan situasi yang sebenarnya);
2. A discrepancy between a prediction (or explanation or expectation)
and an observation. (Ketidaksesuaian antara apa yang diramalkan
atau direncanakan atau diharapkan dengan apa yang diamati);
3. A discrepancy between a desired objective and what is actually
achieved. (Ketidaksesuaian antara tujuan yang diinginkan dengan
apa yang sebenarnya didapatkan).
Pandangan mengenai ketegangan-ketegangan (tensions) dari
Robert Chin dan keadaan darurat (exigency) dari George K. Zollschan
meyakinkan Smith (1973:202) bahwa:
“Policy formulated by a government, then, serves as a tension
generating force in society. While policies are implemented,
tensions, strains, and conflicts are experienced by those who are
implementing the policy and by those affected by the policy.”
Menurut pandangan penulis, keyakinan Smith tersebut bermakna
bahwa kebijakan yang diformulasikan oleh pemerintah, kemudian,
melayani sebagai “kekuatan yang memicu ketegangan” dalam
masyarakat. Ketika kebijakan diimplementasikan, berbagai ketegangan,
tekanan, dan bahkan konflik akan dialami oleh mereka yang sedang
mengimplementasikan kebijakan tersebut – dan – oleh mereka yang

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 31


terkena dampak kebijakan itu. Ketegangan-ketegangan yang dihasilkan
oleh kebijakan tersebut mungkin akan menyebabkan pola-pola transaksi
dan, dalam beberapa contoh, akan menimbulkan pembentukan lembaga-
lembaga guna mewujudkan tujuan kebijakan tersebut.
Smith (1973:202) memandang bahwa proses implementasi
kebijakan melibatkan 4 (empat) komponen yang saling mempengaruhi
dan berinteraksi secara timbal balik. Keempat variabel tersebut
memegang peranan penting dan perlu diperhatikan. Smith merumuskan
suatu model implementasi kebijakan yang lebih menekankan
kepada interaksi timbal-balik dari komponen-komponen yang
mempengaruhinya. Model tersebut dapat dilihat pada bagan di bawah
ini.

Gambar 4.1 Model proses implementasi kebijakan Smith (1973)


Sumber: Smith., Thomas, B., The Policy Implementation
Process, Policy Sciences 4, Amsterdam: Elsevier Scientific Publishing
Company, 1973, hlm.203

Implementasi kebijakan, menurut Smith, terjadi ketika sebuah


kebijakan (policy) yang telah melalui proses pembuatan kebijakan
(policy-making process) masuk pada tahap implementasi. Pada tahap

32 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


implementasi, terdapat empat komponen yang saling mempengaruhi
dan merupakan suatu kesatuan. Ke empat komponen tersebut antara
lain: kebijakan yang diidealkan (the idealized policy), kelompok sasaran
(the target groups), badan pelaksana (the implementing organization),
dan Faktor-faktor lingkungan (environment factors).
Jika diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia, maka
interaksi komponen-komponen dalam proses implementasi kebijakan
tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.

Berdasarkan bagan model proses implementasi di atas, keempat


komponen tersebut antara lain (Smith, 1973:203):
1. Kebijakan yang diidealkan (idealized policy)
Kebijakan yang diidealkan didefinisikan sebagai pola-pola
interaksi ideal yang telah definisikan dalam kebijakan oleh para
perumus kebijakan (policy-maker) dengan tujuan untuk diperkenalkan.
Dalam hal ini, Smith (1973:203-204) mengklasifikasikan kebijakan
yang diidealkan menjadi empat kategori variabel yang relevan, yaitu:
a. Kebijakan formal (the formal policy), yaitu pernyataan suatu
keputusan yang bersifat formal, hukum, atau program yang
pemerintah coba implementasikan;

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 33


b. Jenis kebijakan (the type of policy), yaitu jenis-jenis kebijakan
yang dalam hal ini diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu:
kebijakan yang pada hakikatnya bersifat rumit atau bahkan
sederhana; kebijakan yang dikategorikan berhubungan dengan
organisasi atau tidak berhubungan sama sekali; dan Kebijakan yang
bersifat distributive, re-distributive, regulatory, self-regulatory,
atau emotive-symbolic.
c. Program (the program), yaitu program kebijakan yang mengandung
tiga aspek, antara lain: Intensitas dukungan (intensity of support),
sumber kebijakan (the source of the policy), dan ruang lingkup
(scope).
d. Gambaran mengenai kebijakan (images of the policy), yaitu
gambaran-gambaran umum secara lengkap mengenai kebijakan
yang akan diimplementasikan.
2. Kelompok sasaran (target groups)
Kelompok sasaran (target groups) yaitu individu maupun
sekelompok orang yang secara langsung mendapat pengaruh dari
kebijakan dan mereka harus mengadopsi pola-pola interaksi (kebijakan)
tersebut sebagaimana diharapkan oleh perumus kebijakan. Dalam hal
ini, menurut Smith (1973:204) terdapat tiga faktor yang berpengaruh,
yaitu:
a. Derajat kelembagaan atau antar-kelembagaan dari kelompok
sasaran (the degree of organization or institutionalization of the
target group);
b. Kepemimpinan kelompok sasaran (the leadership of the target
group); dan
c. Pengalaman kebijakan sebelumnya dari kelompok target (the prior
policy experience of the target group).
3. Badan pelaksana (implementing organization)
Badan pelaksana (implementing organization) yaitu organisasi-
organisasi pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang diberikan
tugas dan tanggungjawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

34 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Terdapat tiga variabel kunci untuk mempertimbangkan hal ini dalam
implementasi kebijakan, yaitu:
a. Struktur organisasi dan personil (the structure and personeel).
Menurut Smith (1973:205), variabel ini berkaitan dengan
stabilitas struktur dan kualifikasi anggota yang ditugaskan untuk
mengimplementasikan kebijakan;
b. Kepemimpinan lembaga administratif (the leadership of the
administrative organization). Dalam hal ini, gaya dan sifat
kepemimpinan badan pelaksana akan menentukan proses
implementasi kebijakan; dan
c. Kemampuan dan program yang diimplementasikan (the
implementing program and capacity. Variabel terakhir ini
berkaitan dengan intensitas dan kepedulian organisasi untuk
mengorganisasikan guna mencapai tujuan dari program yang
diimplementasikan.
4. Faktor-faktor lingkungan (environment factors)
Faktor-faktor lingkungan (environment factors) yaitu unsur-
unsur dalam lingkungan yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh
implementasi kebijakan, seperti aspek budaya, sosial, ekonomi,
dan politik. Smith (1973:205) memperjelas bagaimana komponen
lingkungan mempengaruhi proses implementasi kebijakan dengan
memberikan contoh kebijakan yang diimplementasikan pemerintah
daerah pada negara-negara di Dunia Ketiga. Ia menyatakan bahwa
“In policies related to local self-government in Third World nations,
the basic cultural and social life-styles at the village level may be
an environmental constraint of great magnitude.” Gaya hidup sosial
dan kebudayaan dasar pada tingkat desa mungkin akan menjadi
sebuah hambatan lingkungan skala besar. Dari contoh tersebut, Smith
memandang bahwa begitu pentingnya komponen lingkungan yang
harus dipertimbangkan dalam proses implementasi kebijakan.
Setelah menguraikan empat komponen utama dalam implementasi
kebijakan, Smith kemudian menjelaskan bahwa terdapat aspek
ketegangan (tensions), pola-pola transaksi (transaction patterns),

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 35


lembaga-lembaga (institutions), dan umpan-balik (feedback) dalam
modelnya yang kemudian berperan penting dalam kelanjutan proses
implementasi kebijakan.
5. Ketegangan-ketegangan (tensions)
Ketegangan-ketegangan mungkin terjadi baik di dalam dan di
antara empat komponen utama yang telah dijelaskan sebelumnya.
Contoh dari ketegangan yang berada di dalam komponen adalah
seperti ketidaksesuaian dalam organisasi pelaksana, yaitu ketika salah
satu unit administrasi yang diperintahkan untuk mengimplementasikan
kebijakan, memiliki jumlah anggota yang tidak sebanding atau bahkan
tidak memiliki kemampuan dalam mengeksekusi kebijakan tersebut.
Contoh dari ketegangan yang berada di antara komponen adalah
seperti yang terjadi di antara kelompok sasaran dengan komponen
kebijakan ideal, yaitu ketika perumus kebijakan berekspektasi bahwa
kebijakan yang dibuatnya akan diterima oleh kelompok sasaran namun
pada kenyataannya, hasil yang diterima ternyata bertentangan dengan
apa yang telah diekspektasikan (Smith, 1973:205).
Variabel ketegangan Smith dipengaruhi oleh klasifikasi ketegangan
dari Zollschan. Jika Zollschan mengklasifikasikan ketegangan menjadi
3 (tiga) jenis, maka Smith mengembangkan konsep Zollschan dengan
cara mengembangkannya menjadi 10 (sepuluh) jenis ketegangan.
Kesepuluh jenis ketidaksesuaian (discrepancies) dapat dilihat dari tabel
di bawah ini:
TABEL 4.1
Matriks Ketegangan-Ketegangan Implementasi Kebijakan
Ideal Sebenarnya Dirasakan Diharapkan
(ideal) (actual) (perceived) (expected)
Ideal
7 1 2 3
(ideal)
Sebenarnya
8 4 5
(actual)
Dirasakan
9 6
(perceived)
Diharapkan
10
(expected)

36 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Sumber: Smith., Thomas, B., The Policy Implementation Process, Policy Sciences 4,
Amsterdam: Elsevier Scientific Publishing Company, 1973, hlm.206

Tipe 1. Ketidaksesuaian antara pernyataan ideal dan keadaan


sebenarnya. (a discrepancy between what is an ideal state and
an actual situation).
Tipe 2. Ketidaksesuaian antara pernyataan ideal dan keadaan yang
dirasakan. (a discrepancy between an ideal state and a
perceived situation).
Tipe 3. Ketidaksesuaian antara keadaan yang ideal dan keadaan yang
diharapkan. (a discrepancy between an ideal situation and an
expected situation).
Tipe 4. Ketidaksesuaian antara keadaan yang sebenarnya dan yang
dirasakan. (a discrepancy between actual and perceived
situations).
Tipe 5. Ketidaksesuaian antara keadaan yang sebenarnya dan keadaan
yang diharapkan. (a discrepancy between an actual situation
and an expected situation).
Tipe 6. Ketidaksesuaian antara keadaan yang diharapkan dan keadaan
yang yang dirasakan. (a discrepancy between an expected
situation and a perceived situation).
Tipe 7 – Tipe 10 Ketidaksesuaian yang terjadi jika individu, kelompok
atau struktur dalam sistem memiliki gambaran yang selalu
berubah sesuai dengan variabel-variabel dalam kategori ini.

Menurut Smith (1973:207), “...the discrepancies may occur within


each of the four implementation contextual component or between
the components”. Sehingga, jelas apa yang dinyatakan oleh Smith
tersebut bahwa kesepuluh ketidaksesuaian yang telah diuraikan di atas
mungkin akan terjadi di dalam komponen implementasi atau di antara
komponen-komponen tersebut. Selain itu Smith juga menekankan
bahwa meskipun ketegangan-ketegangan ini pada hakikatnya bersifat
kompleks dan selalu berubah-ubah, hal itu dapat diidentifikasi dan
diukur intensitasnya.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 37


6. Pola-pola transaksi (transaction patterns)
Menurut Smith (1973:207), pola-pola transaksi merupakan
pola-pola interaksi yang tidak terealisasikan. Dalam model proses
implementasi Smith, pola-pola ini merupakan tanggapan terhadap
ketegangan-ketegangan yang terjadi baik di dalam maupun di antara
bagian-bagian komponen dalam proses implementasi kebijakan.
Seperti yang dikatakan Smith bahwa “These patterns are responses to
the tensions, stresses and strains within and between the component
parts of the policy implementation context.”
Transaksi ini merupakan tahapan penting dalam model proses
implementasi kebijakan Smith karena proses ini memungkinkan dua
pilihan berbeda yang menentukan keberlangsungan implementasi.
Pertama, ketegangan atau tekanan (tensions) tersebut secara langsung
memberikan umpan balik (feedback) baik kepada proses pembuatan
kebijakan (policy-making process) selanjutnya atau untuk proses
implementasi kebijakan (policy implementation) selanjutnya. Kedua,
ketegangan atau tekanan tersebut secara “tidak langsung” memberikan
umpan balik baik kepada proses pembuatan kebijakan selanjutnya atau
untuk proses implementasi kebijakan selanjutnya melalui lembaga atau
institusi.
7. Institusi-institusi (institutions)
Smith (1973:208) mengakui bahwa tingkatan pasti mengenai proses
pelembagaan sangatlah sukar untuk ditentukan. Maksud dari proses
pelembagaan disini merupakan suatu proses dimana pola-pola interaksi
yang terjadi pada tahap transaksi telah direalisasikan ke dalam lembaga-
lembaga tertentu. Di sisi lain, ini adalah proses yang sederhana bagi
pemerintah untuk mendirikan organisasi-organisasi baik yang bersifat
administratif maupun politis untuk tujuan implementasi kebijakan.
Seperti yang dikatakan Smith (1973:208), “It should be stressed that
it is a simple process for governments to establish administrative or
political organizations for the purpose of policy implementation.”
Mengenai apakah organisasi yang dibentuk itu pada akhirnya beralih
menjadi sebuah institusi, itu merupakan urusan lain.

38 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Dalam kajiannya, meskipun sulit untuk menentukan derajat
pelembagaan (degree of institutionalization), Smith merumuskan 3
(tiga) ukuran-ukuran yang dapat dijadikan sebagai panduan, yaitu:
a. Kemampuan institusi untuk tetap bertahan di lingkungannya (the
institution’s ability to survive in its environment);
b. Sejauh mana institusi ditinjau dengan mengelilingi komponen-
komponen kemasyarakatan untuk memiliki nilai otonomi
dan pengaruh (the extent to which the institution is viewed by
surrounding societal components to have value both autonomy and
influence);
c. Apakah pola-pola hubungan menjadi bersifat normatif untuk
komponen sosial lainnya (whether the relationship patterns
become normative for other social components).
Dengan mengingat sulitnya menentukan derajat pelembagaan,
Smith menekankan bahwa faktor waktu memainkan peran yang penting
dan harus dipertimbangkan. Bahkan, berkaitan dengan masalah waktu,
Smith (1973:208) mengatakan:
“Although it may be impossible to predict how long it takes for
certain processes to become institutionalized, enough time should be
allowed for definite patterns to emerge before conclusions are made
regarding the institutional outcomes of policy implementation.”
Meskipun mustahil untuk diprediksi seberapa lama proses
pelembagaan terjadi, waktu yang cukup harus tersedia guna
memunculkan pola-pola yang pasti sebelum kesimpulan yang berkenaan
dengan hasil luaran implementasi kebijakan dibuat.
8. Timbal-balik (feedback)
Ketika pola-pola transaksi terbentuk – atau – proses pelembagaan
terjadi, maka ketegangan-ketegangan (tensions) yang terjadi sebagai
akibat dari interaksi intensif antara komponen-komponen dalam
implementasi kebijakan dapat (meskipun tidak selalu) berhubungan
kembali kepada kebijakan yang diidealkan, kelompok sasaran,
organisasi pelaksana, dan faktor-faktor lingkungan (Smith, 1973:208-
209).

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 39


Proses timbal-balik dinilai penting karena dapat dengan jelas
mengindikasikan proses kebijakan yang sedang berlangsung yang
mungkin tidak akan pernah berakhir dengan pasti. Seperti yang
dikatakan Smith, “The feedback phase is an im- portant part of the
model because it clearly indicates that the policy process is an ongoing,
continuous process that may never have a final and definite end.”
Meskipun sulit menentukan produk akhir dari proses implementasi
kebijakan, proses timbal-balik tetap dinilai sebagai salah satu tahapan
penting dalam implementasi.

40 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


BAB V
Model Proses Implementasi Kebijakan
Donald Van Meter & Carl Van Horn (1975)

D onald Van Meter & Carl Van Horn (1975:447) merumuskan


proses implementasi sebagai “...actions by public or private
individuals (or groups) that are directed at the achievement of
objective set fort in prior policy decision”. Rumusan tersebut memiliki
makna secara eksplisit bahwa proses implementasi merupakan tindakan-
tindakan yang dilakukan baik oleh perorangan (atau kelompok) swasta
maupun publik yang diarahkan pada pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya.
Dalam penelitiannya, Van Meter dan Van Horn membentuk sebuah
mengenai korelasi kebijakan (policy) dan kinerja (performance). Model
yang disebut dengan istilah A Model of the Policy Implementation
Process berawal dari argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam
proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang
akan dilaksanakan. Dari argumen tersebut, Van Meter dan Van Horn
menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan
antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual
yang mempertalikan kebijakan (policy) dengan kinerja (performance).
Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa perubahan, kontrol, dan
kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam proses
implementasi (Wahab, 2016:164).
Van Meter dan Van Horn (1975:450) berpendapat bahwa kajian
implementasi menambah suatu dimensi baru terhadap analisa kebijakan.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 41


Hal tersebut memberikan pemahaman baru kepada para mahasiswa
ilmu politik (the student of politics) dan para pembuat kebijakan (policy-
makers) tentang bagaimana keberhasilan atau kegagalan sebuah sistem
dalam memaknai tujuan-tujuan kebijakan secara umum ke dalam
layanan publik yang kongkrit dan bermakna.
Pandangan Van Meter dan Van Horn dalam menanggapi masalah
dalam implementasi kebijakan tersebut didasarkan pada asumsi yang
secara implisit dianut pada beberapa kajian, seperti pendapat Thomas
B. Smith (dalam Van Meter & Van Horn, 1975:450) yang menyatakan
bahwa “Once a policy has been ‘made’ by a government, the policy
will be implemented and the desired results of the policy will be near
those expected by the policy-makers.” (Sekalinya suatu kebijakan telah
‘dibuat’ oleh pemerintah, kebijakan tersebut akan diimplementasikan
dan hasil-hasil yang diinginkan dari kebijakan tersebut akan dekat
mereka seperti yang diharapkan oleh para perumus kebijakan)
Di antara banyaknya kajian-kajian penting mengenai implementasi
kebijakan yang dipublikasikan, Van Meter dan Van Horn menilai
bahwa hanya beberapa kajian yang ‘menurutnya’ telah banyak
membantu mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
sebuah pemahaman mengenai proses dalam implementasi kebijakan.
Penelitian-penelitian tersebut antara lain:
a. Penelitian H.Kaufman (1960) yang mengkaji tentang layanan
kehutanan Amerika Serikat (the Study of the U.S Forest Service)
dalam karya ilmiahnya yang berjudul The Forest Ranger;
b. Penelitian S.K.Bailey dan E.K.Mosher (1968) yang memeriksa
dan mengkaji sistem administrasi dari Undang-Undang tentang
Sekolah Dasar dan Sekolah Tingkat Kedua Tahun 1965 dalam
karya ilmiahnya yang berjudul ESEA: The Office of Education
Administers a Law;
c. Penelitian M.Derthick (1970) yang menganalisis program bantuan
dana hibah dari pemerintah Federal dalam karya ilmiahnya yang
berjudul The Influence of Federal Grants: Public Assistance in
Massachusetts;

42 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


d. Penelitian N.Gross, V.Giacquinta, dan M.Bernstein (1971) yang
memeriksa inovasi organisasi terencana (Planned Organizational
Innovation) dalam karya ilmiahnya yang berjudul Implementing
Organizational Innovations;
e. Penelitian J.S.Berke dan M.W.Kirst (1972) yang mengkaji mengenai
bantuan pemerintah Federal terhadap program pendidikan dalam
karya ilmiahnya yang berjudul Federal Aid to Education: Who
Benefits? Who Governs?;
f. Penelitian M.Derthick (1972) yang menganalisa mengenai kinerja
administrasi presiden Johnson dalam membuat masyarakat baru
yang memiliki lahan di area perkotaan besar dalam karya ilmiahnya
yang berjudul New Towns In-Town; dan
g. Penelitian J.L.Pressman dan A.Wildavsky (1973) yang mengkaji
mengenai program pengembangan masyarakat di kota Oakland
dalam karya ilmiahnya yang berjudul Implementation.
Meskipun penelitian-penelitian tersebut di atas dinilai sangat
informatif, sayangnya, menurut Van Meter dan Van Horn, bahwa
kontribusi penelitian-penelitian tersebut telah dibatasi oleh apa yang
mereka namakan sebagai “ketiadaan pandangan teoretik” (Van Meter
& Van Horn, 1975:451). Tanpa disertai kerangka teoretik, sangatlah
mustahil untuk memahami proses implementasi kebijakan lebih
jauh. Sebagai contoh, Smith (1973:198) pernah berpendapat dalam
penelitiannya bahwa:
“Even if a government of a Third World nation is committed
to the implementation of a particular policy, the bureaucracy
that must implement the policy often is lacking in the capacity
to implement. This situation usually is not found in Western
societies.” (Jika pemerintah pada sebuah negara dunia ketiga
mengimplementasikan sebuah kebijakan tertentu, birokrasi yang
seharusnya mengimplementasikan kebijakan tersebut sering
mengalami hambatan karena kurangnya kemampuan untuk
mengimplementasikan kebijakan tersebut. Kondisi demikian tidak
pernah ditemukan pada masyarakat barat.)

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 43


Menanggapi hal tersebut, Van Meter dan Van Horn (1975:452)
menilai bahwa pendapat Smith tersebut tidak dapat dipertahankan.
Kemudian mereka mengutarakan pendapatnya bahwa “As we have
already observed, this position is difficult to defend. The problems
of implementation are profound in Western and non-Western nations
alike: they are generic to complex organizations.” (Seperti yang telah
kami amati, pendirian tersebut sangatlah sukar untuk dipertahankan.
Masalah-masalah mengenai implementasi secara mendalam pada
negara barat dan bukan negara barat adalah serupa: Hal tersebut
adalah umum terjadi pada organisasi yang kompleks). Oleh sebab
itu, Van Meter dan Van Horn dalam penelitiannya berupaya menutupi
kelemahan-kelemahan dari penelitian-penelitian sebelumnya dengan
menambahkan analisis mengenai dasar-dasar pandangan teoretik (the
foundations of a theoretical perspective).
Kelebihan yang ditonjolkan oleh Van Meter dan Van Horn
dalam karya ilmiahnya berjudul The Policy Implementation Process:
A Conceptual Framework (1975) adalah adanya pembahasan yang
mendalam mengenai dasar-dasar dari sebuah pandangan teoretik atau
yang mereka sebut sebagai the foundations of a theoretical perspective.
Dalam upaya mengembangkan kerangka teoretiknya, Van Meter dan
Van Horn (1975:453) telah mempersiapkan ‘tiga panduan kepustakaan’
yang diantaranya yaitu: (1) Teori organisasi, lebih spesifiknya yaitu
mengenai tata kerja organisasi secara umum mengenai perubahan
organisasi (inovasi) serta pengawasannya; (2) Dampak kebijakan
publik, khususnya dalam hal ini adalah keputusan pengadilan, dan (3)
Kajian yang dipilih mengenai hubungan antar-pemerintahan. Ketiga
kepustakaan tersebut dijadikan bahan rujukan oleh Van Meter dan
Van Horn dalam rangka membuat suatu model proses implementasi
kebijakan. Untuk lebih mudah memahami latar belakang teoretik dari
model Van Meter dan Van Horn, ketiga panduan akademik tersebut
akan dijelaskan lebih rinci.
1. Teori organisasi (organization theory)
Teori organisasi yang menjadi rujukan Van Meter dan Van Horn
adalah mengenai perubahan organisasi yang ditulis oleh Kaufman

44 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


dalam karya ilmiahnya The Limits of Organizational Change (1971).
Kaufman (1971:39 dalam Van Meter & Van Horn, 1975:453)
menganalisa berbagai hambatan terhadap inovasi dalam struktur
dan tindakan organisasi, berupa faktor-faktor seperti keterbatasan
sumberdaya, pengeluaran-pengeluaran yang hilang, akumulasi kendala-
kendala mengenai tingkah laku baik yang resmi maupun tidak resmi.
Kaufmann mengakui bahwa banyak stabilitas keuntungan yang akan
didapat. Selain itu, dia membuat usaha serius untuk mengidentifikasi
kekuatan-kekuatan tersebut terhadap perubahan-perubahan organisasi
yang terjadi.
Selain hambatan-hambatan dalam perkembangan organisasi,
pengawasan organisasi (organizational control) juga memiliki peran
yang sama pentingnya dalam konteks implementasi kebijakan.
Mengenai hal ini, Van Meter dan Van Horn banyak menggunakan
teori-teori dari pakar organisasi. Salah satunya, mereka menggunakan
studi kepustakaan dari Etzioni dalam karya ilmiahnya berjudul Modern
Organization (1964:68 dikutip oleh Van Meter & Van Horn, 1975:454)
yang mendefinisikan pengawasan organisasi sebagai suatu “Process
intended to ensure the rules are obeyed and orders followed”. Etzioni
memandang pengawasan organisasi sebagai suatu proses dengan tujuan
untuk menjamin bahwa peraturan-peraturan dipatuhi dan perintah-
perintah diikuti.
Selain itu, Van Meter dan Van Horn juga mengutip teori dari
Wilensky dalam karya ilmiahnya berjudul Organizational Intelligence
(1967). Sedikit berbeda dari pandangan Etzioni, menurut pandangan
Wilensky (1967:3 dikutip oleh Van Meter & Van Horn, 1975:454),
pengawasan didefinisikan sebagai “The problem of getting work
done and securing compliance with organizational rules”. Wilensky
memandang pengawasan organisasi sebagai masalah, bukan hanya
mengenai bagaimana suatu pekerjaan itu harus diselesaikan tetapi juga
mengenai bagaimana menjamin adanya kepatuhan terhadap aturan-
aturan organisasi. Perbedaan diantara keduanya yaitu bahwa Etzioni
memandang pengawasan organisasi sebagai suatu proses, sedangkan
Wilensky memandang pengawasan organisasi sebagai masalah.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 45


2. Dampak kebijakan publik (the impact of public policy)
Bahan kepustakaan mengenai dampak kebijakan, khususnya
putusan pengadilan juga telah banyak berkontribusi kepada teori
implementasi kebijakan. Van Meter dan Van Horn (1975:457) dalam
hal ini menyandarkan teori mengenai dampak kebijakan publik pada
“utility theory” yang ditulis S.Kirslov dalam karya ilmiahnya berjudul
The Supreme Court in the Political Process (1965). Kirslov menekankan
teorinya pada hubungan antara pihak yang lebih tinggi atau superiors
(dalam hal ini Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi Tingkat
Banding) dan pihak yang lebih rendah atau subordinates (dalam hal ini
Pengadilan Tingkat Pertama dan Badan Administrasi).
Kajian lainnya yang dijadikan referensi oleh Van Meter dan Van
Horn adalah penelitian Dolbeare dan Hammond dalam karya ilmiahnya
berjudul The School Prayer Decisions: From Court Policy to Local
Practice (1971) yang membahas dan menganalisa dampak putusan
Mahkamah Agung Amerika Serikat. Dalam kajiannya, Dolbeare dan
Hammond (dalam Van Meter & Van Horn, 1975:457) mengidentifikasi
4 kategori faktor-faktor yang membentuk respon terhadap keputusan
pengadilan, yaitu: substansi putusan (the substance of the decision);
prosedur dan mekanisme lembaga (institutional mechanism and
procedures); konteks politis-budaya (the politico-cultural context);
preferensi prioritas, dan kepentingan (the interests, priorities,
preferences); dan perilaku para pelaku politik (behavior of political
actors).
3. Hubungan antar-pemerintahan (the selected studies of
intergovernmental relations)
Terdapat beberapa kajian mengenai hubungan antar-pemerintah
yang memiliki hubungan secara langsung dengan permasalahan dalam
implementasi kebijakan. Van Meter dan Van Horn (1975:457-458)
mengutip beberapa teori dari S.K.Bailey dan E.K.Mosher (1968),
J.L.Sundquist (1969), M.Derthick (1970,1972), dan J.L.Pressman dan
A.Wildavsky (1973). Literatur-literatur tersebut menyediakan beberapa
wawasan mengenai konflik yang terjadi pada pejabat publik di berbagai
tingkat pemerintahan, baik pada tingkat nasional maupun tingkat lokal.

46 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Dalam pembahasannya, Van Meter dan Van Horn mengklasifikasikan
kebijakan sesuai dengan dua karakteristik yang berbeda, yaitu:
1) Jumlah perubahan yang dilibatkan (the amount of change involved),
dan
2) Sejauh mana ada tujuan yang disepakati di antara para peserta
dalam kebijakan implementasi (the extent to which there is goal
consensus among the participants in the implementation process).
Selain dua karakteristik ini, Van Meter dan Van Horn (1975:458) juga
menegaskan bahwa elemen perubahan dinilai penting setidaknya dalam
dua hal. Pertama, implementasi akan dipengaruhi oleh sejauh mana
kebijakan menyimpang dari kebijakan sebelumnya (implementation
will be affected by the extent to which the policy deviates from
previous policies). Kedua, implementasi akan dipengaruhi oleh jumlah
perubahan-perubahan organisasi yang diperlukan (the implementation
process will be influenced by the amount of organizational change that
is required). Dari klasifikasi kebijakan yang telah dirumuskan Van
Meter dan Van Horn, corak penting lainnya dari suatu kebijakan yaitu:
“The degree of conflict or consensus over its goals and objectives”.
Tingkatan konflik yang terjadi atau permufakatan yang diambil terhadap
tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dirumuskan merupakan ciri
lainnya dari kebijakan selain dari yang telah diklasifikasikan oleh Van
Meter dan Van Horn.
Pada BAB I, disinggung bahwa proses kebijakan tidak dapat
dilepaskan dari serangkaian aktivitas-aktivitas yang bernuansa
politis. Dalam kajian Van Meter dan Van Horn (1975:459), argumen
tersebut diuji melalui sebuah pertanyaan singkat: “To what extent do
implementing officials agree on the goals of the program?”. Van Meter
dan Van Horn mempertanyakan, sejauh mana para pelaku implementasi
atau pelaksana kebijakan menyetujui terhadap tujuan-tujuan dari
program yang telah direncanakan.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Van Meter dan Van Horn
meninjau kepustakaan mengenai planned organizational change,
menurut pandangan N.Gross, V.Giacquinta, dan M.Bernstein

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 47


(1971) yang mengidentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi
kesepakatan mengenai tujuan dan implementasi. Gross menekankan
bahwa salah satu faktor yang berpengaruh kesepakatan mengenai
tujuan dan implementasi suatu kebijakan adalah sejauh mana para
implementor (sebagai pihak bawahan) diikutsertakan dalam proses
pembuatan kebijakan. Mengapa hal ini dianggap penting oleh Gross?
Dalam kajian literatur, Gross dan rekan-rekannya (dalam Van Meter &
Van Horn, 1975:459) mengemukakan bahwa:
1) Participation leads to higher staff morale, and high staff morale is
necessary for successful implementation; (Partisipasi meningkatkan
nilai moral para pegawai, dan tentu saja nilai moral pegawai
sangatlah penting dalam menentukan kesuksesan implementasi
kebijakan);
2) Participation leads to greater commitment, and a high degree
of commitment is required for effecting change; (Partisipasi
membangkitkan komitmen yang lebih besar, dan komitmen tingkat
tinggi sangat diperlukan untuk mempengaruhi perubahan);
3) Participation leads to greater clarity about an innovation, and
clarity is necessary for implementation; (Partisipasi membentuk
kejelasan yang lebih besar mengenai pembaruan, dan kejelasan
tersebut teramat penting dalam implementasi;
4) Beginning with the postulate of basic resistance to change, the
argument is that participation will reduce initial resistance
and thereby facilitate successful implementation; (Partisipasi
akan mengurangi perlawanan awal dan dengan cara demikian
mempermudah pencapaian keberhasilan implementasi);
5) Subordinates will tend to resist any innovation that they are
expected to implement if it is initiated solely by their superordinates.
(Bawahan akan cenderung menolak segala pembaruan yang
mereka harapkan untuk dilaksanakan jika hal tersebut diprakarsai
hanya oleh bawahannya.
Meskipun demikian, Van Meter dan Van Horn tidak dapat menjamin
bahwa partisipasi bawahan dalam proses perumusan kebijakan akan

48 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


menghasilkan kesepakatan mengenai tujuan yg akan dicapai. Selain itu,
meskipun kesepakatan mengenai tujuan kebijakan telah tercapai belum
tentu permasalahan lain dalam implementasinya akan secara otomatis
dapat diselesaikan. Dalam rangka memperjelas hubungan antara
kesepakatan mengenai tujuan dan besarnya perubahan yang diperlukan,
Van Meter dan Van Horn (1975:460) membuat suatu bagan dimensi
kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi. Model tersebut
dapat dilihat seperti gambar berikut.

Gambar 5.1 Dimensi-dimensi kebijakan yang mempengaruhi


implementasi
Sumber: Van Meter, Donald S. & van Horn, Carl E., 1975:462.

Van Meter dan Van Horn menyatakan bahwa tingkat kemungkinan


implementasi kebijakan yang efektif akan bergantung pada tipe
kebijakan yang sedang dipertimbangkan. Selain itu, faktor-faktor
khusus yang memicu dalam perwujudan tujuan-tujuan program yang
dibentuk tentunya akan berubah berdasarkan satu bentuk kebijakan
ke bentuk kebijakan yang lain. Untuk memperjelas hal tersebut, Van

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 49


Meter dan Van Horn (1975:461) membuat suatu hipotesis bahwa:
“Implementation will be most successful where only marginal change is
required and goal consensus is high”. Maknanya bahwa implementasi
akan berhasil ketika hanya dalam kondisi perubahan yang dibutuhkan
kecil dan kesepakatan mengenai tujuan tinggi.
Sebaliknya, ketika perubahan besar diamanatkan dan kesepakatan
mengenai tujuan rendah, maka kesempatan untuk memperoleh
implementasi yang berhasil guna akan sangat meragukan. Bagaimana
dengan kebijakan yang didasarkan pada perubahan yang besar dan
kesepakatan yang tinggi? Van Meter dan Van Horn (1975:461-462)
mengantisipasi bahwa pemilihan hal tersebut akan diimplementasikan
lebih efektif daripada kebijakan yang melibatkan perubahan yang kecil
dan persetujuan yang rendah. Sayangnya, jika kita analisa lebih jauh,
Van Meter dan Van Horn tidak menjelaskan akibat-akibat dari setiap
kebijakan yang diambil berdasarkan pilihan-pilihan tersebut dalam
analisa teoretisnya.
Menurut Van Meter dan Van Horn (1975:449), sebuah
kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, namun gagal
untuk memberikan dampak yang kuat, bisa jadi karena kurangnya
perencanaan – atau – karena keadaan-keadaan lainnya. Namun
demikian, keberhasilan kinerja program mungkin merupakan sebuah
hal yang dinilai perlu, meskipun tidak sesuai dengan keadaan hasil
yang dicapai, yakni luaran yang positif. Pandangan terhadap argumen,
konsep-konsep, dan teori-teori dari kepustakaan yang dikutip di atas
tersebut menjadi dasar bagi Van Meter Dan Van Hord untuk membuat
model implementasi kebijakan berdasarkan jumlah perubahan yang
akan dihasilkan dan ruang lingkup komitmen dalam rangka mencapai
tujuan di antara para implementor dan pihak yang berkepentingan
(stakeholder). Model proses implementasi kebijakan tersebut dapat
dilihat pada bagan berikut.

50 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Gambar 5.2 Model proses implementasi kebijakan
van Meter & van Horn
Sumber: Van Meter, Donald S. & van Horn, Carl E., The Policy
Implementation Process: A Conceptual Framework, Administration &
Society Journal, 1975 6:463.

Jika diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia, maka


model proses implementasi kebijakan tersebut dapat dilihat seperti pada
ilustrasi berikut.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 51


Menurut Donald Van Meter & Carl Van Horn, implementasi
kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementator,
dan kinerja kebijakan publik. Terdapat enam variabel yang membentuk
jaringan antara kebijakan dan kinerja. Beberapa variabel yang
dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik
adalah variabel berikut:
1. Ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan (policy standard
and objectives)
Van Meter Dan Van Horn berargumen bahwa pengidentifikasian
indikator-indikator kinerja suatu kebijakan merupakan tahapan yang
penting dalam sebuah analisa kebijakan. Indikator-indikator kinerja
tersebut merupakan sebuah sarana untuk menilai sejauh mana ukuran-
ukuran dan tujuan-tujuan dari sebuah kebijakan dapat diwujudkan,
tentunya dalam tahap implementasi.
Ukuran-ukuran standar dan tujuan-tujuan suatu kebijakan dalam
beberapa kasus cukup mudah untuk diidentifikasi. Van Meter Dan
Van Horn mengambil contoh pada Program Pengembangan Ekonomi
kota Oakland (The Economic Development Administration’s Oakland

52 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Project) yang merupakan objek penelitian Jeffrey L. Pressman dan
Aaron Wildavsky tahun 1973. Dari kasus tersebut, Van Meter Dan Van
Horn mengemukakan pendapatnya bahwa ukuran-ukuran standar dan
tujuan-tujuan kebijakan dapat dengan mudah terukur dan jelas terlihat,
seperti: pembangunan bandara, pelabuhan, kawasan industri, dan akses
jalan raya yang mengarah ke kota. Kemudian, dalam rangka memastikan
bahwa implementasi kebijakan tersebut benar-benar berhasil, maka
tentu harus pula ditentukan dan diukur berapa jumlah lapangan kerja
yang tersedia, berapa tenaga kerja yang dibutuhkan, siapa saja yang
harus dipekerjakan, dan bagaimana kemajuan pembangunan yang
berhubungan dengan proyek pekerjaan umum tersebut (Van Meter &
Van Horn, 1975:464).
Di sisi lain, Van Meter Dan Van Horn juga berpendapat bahwa lebih
sulit lagi mengidentifikasi dan mengukur kinerja dari suatu kebijakan
publik. Mengenai alasannya, mereka mengatakan bahwa:
“This may be due to the program’s breadth or the complex and
far-reaching nature of its goals. It may also be a consequence of
ambiguities and contradictions in the statement of standards and
objectives.”
(Hal ini mungkin disebabkan oleh luasnya atau rumitnya program
tersebut dan sasaran-sasaran yang sifatnya sulit untuk diraih. Hal
ini mungkin juga merupakan suatu akibat dari ketidakjelasan
makna dan pertentangan mengenai pernyataan tentang ukuran-
ukuran standar dan tujuan-tujuan)
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa bagaimanapun proses
implementasi kebijakan memerlukan ukuran atau standar tertentu dan
tujuan yang hendak dicapai. Hal ini dianggap penting karena pada
dasarnya, seperti yang dikatakan Pressman dan Wildavsky (dalam Van
Meter & Van Horn, 1975:464) bahwa “Implementation cannot succeed
or fail without a goal against which to judge it”.
2. Sumber-sumber daya kebijakan (resources)
Menurut Van Meter & Van Horn (1975:465), sumber-sumber
kebijakan atau policy resources dapat dinilai dalam bentuk sumber

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 53


dana maupun sumber lainnya yang sekiranya dapat mewujudkan
suatu program melalui sarana implementasi yang memiliki hasil guna
(effectiveness) dan daya guna (efficiency). Dalam hal sumber daya
kebijakan, kedua pakar itu bercermin dari kajian Derthick (1972) yang
membahas mengenai “New-Town in-Town”, mengungkapkan bahwa
keterbatasan persediaan insentif adalah sebuah kontribusi yang besar
terhadap kegagalan sebuah program. Atas dasar pertimbangan tersebut,
Van Meter & Van Horn memandang bahwa sumber daya kebijakan
memainkan peran yang sangat penting serta mempengaruhi setiap
variabel dalam proses implementasi kebijakan (lihat bagan model
implementasi).
3. Aktivitas-aktivitas pelaksanaan dan komunikasi antar
organisasi (Interorganizational communication and enforcement
activities)
Meskipun ukuran dan tujuan kebijakan dirumuskan dengan sangat
jelas, tanpa adanya ketepatan (accuracy) dan ketetapan (consistency)
dalam berkomunikasi maka proses implementasi akan berjalan sia-sia.
Ukuran dan tujuan kebijakan tidak akan bisa tercapai kecuali kalau hal
tersebut dikomunikasian dengan jelas, sehingga implementor dapat
memahami apa yang diharapkan dari sebuah kebijakan yang akan
mereka laksanakan.
Komunikasi memegang peranan penting dalam suatu proses
implementasi kebijakan. Dalam hal ini, Van Meter & Van Horn
(1975:466) memandang komunikasi baik secara internal maupun
eksternal sebagai proses yang rumit dan sukar. Mereka pun memberikan
gambaran jelas bahwa dalam menyebarkan pesan atau informasi dalam
suatu organisasi, maupun antar organisasi, juru komunikasi bisa saja
mengubah makna baik secara disengaja maupun tidak disengaja. Jika
informasi mengenai ukuran dan tujuan kebijakan yang disampaikan
berbeda dengan informasi yang sebenarnya, maka hal tersebut tentu
akan menimbulkan kesalahpahaman. Sehingga, para implementor tentu
akan kesulitan dalam mencari makna dari kebijakan yang akan mereka
implementasikan. Oleh karena itu, implementasi yang efektif akan
tercapai melalui kejelasan mengenai rumusan standar dan tujuan serta

54 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


ketepatan dan kekonsistensian dengan siapa mereka berkomunikasi
(Van Meter & Van Horn, 1975:466).
Selain komunikasi, Van Meter & Van Horn juga berpendapat
bahwa mekanisme kerja dan prosedur yang terdapat dalam organisasi
atau lembaga juga memainkan peran penting dalam mewujudkan
kesuksesan implementasi. Mereka berpendapat bahwa :
“Successful implementation often requires institutional mechanisms
and procedures whereby higher authorities (superiors) may
increase the likelihood that implementors (subordinates) will act
in a manner consistent with a policy’s standards and objectives”
Pendapat Van Meter & Van Horn di atas bermakna bahwa
implementasi yang sukses selalu membutuhkan mekanisme dan
prosedur kelembagaan dimana pihak berwenang yang lebih tinggi
sebagai atasan mungkin meningkatkan kemungkinan bahwa para
implementor sebagai bawahan akan bertindak secara konsisten dengan
standar-standar dan tujuan-tujuan kebijakan.
Dalam konteks hubungan antar-organisasi, Van Meter & Van Horn
(1975:467) mengklasifikasikannya menjadi dua jenis pelaksanaan.
Pertama, penyediaan petunjuk dan bantuan teknis. Kedua, para atasan
dapat mengandalkan berbagai jenis sanksi, baik yang positif maupun
yang negatif.
4. Karakteristik atau ciri-ciri badan pelaksana (Characteristics of
the implementating agencies)
Van Meter dan Van Horn memandang variabel ini sebagai
komponen yang terdiri dari karakteristik formal dari struktur organisasi
dan karakteristik informal dari setiap anggotanya. Kemudian Van Meter
dan Van Horn (1975:471) merumuskan beberapa karakteristik mengenai
kemampuan organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan, seperti:
a. The competence and size of an agency’s staff; (Kompetensi dan
ukuran staff badan pelaksana);
b. The degree of hierarchical control of subunit decisions and
processes within the implementing agencies; (Derajat pengawasan

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 55


hierarkis terhadap keputusan-keputusan sub-unit dan proses-proses
dalam badan pelaksana tersebut);
c. An agency’s political resources, e.g., support among legislators and
executives; (Sumber-sumber politik badan pelaksana (contohnya
dukungan dari para pembuat undang-undang dan pihak eksekutif);
d. The vitality of an organization; (Daya tahan organisasi);
e. The degree of “open” communications (i.e., networks of
communication with free horizontal and vertical communication,
and a relatively high degree of freedom in communications with
persons outside the organization) within an organization; (Derajat
keterbukaan komunikasi (seperti jaringan komunikasi baik secara
horizontal maupun vertikal, kebebasan berkomunikasi dengan
orang-orang di luar maupun di dalam organisasi);
f. The agency’s formal and informal linkages with the “policymaking”
or ”policy-enforcing” body; (Hubungan formal maupun informal
badan dengan badan perumus kebijakan atau badan penegak
kebijakan).

5. Keadaan ekonomi, sosial, dan politik (Economic, social, and


political conditions);
Van Meter & Van Horn mengakui bahwa dampak dari keadaan
ekonomi, sosial dan politik terhadap implementasi kebijakan hanya
mendapatkan sedikit perhatian khusus. Meskipun demikian, faktor-
faktor tersebut memiliki dampak yang sangat dalam terhadap kinerja
badan pelaksana. Dalam rangka membuktikan hal tersebut, Van Meter
& Van Horn (1975:472) kemudian menyusun beberapa pertanyaan
mengenai dampak keadaan lingkungan terhadap yurisdiksi organisasi
dimana implementasi dilakukan. Pertanyaan tersebut antara lain:
a. Are the economic resources available within the implementing
jurisdiction (or organization) sufficient to support successful
implementation? (Apakah sumber daya ekonomi yang tersedia
dalam yurisdiksi atau organisasi pelaksana cukup untuk mendukung
kesuksesan implementasi?)

56 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


b. To what extent (and how) will prevailing economic and social
conditions be affected by the implementation of the policy in
question? (Sejauh mana dan bagaimanakah jadinya jika kondisi
ekonomi dan sosial yang berlaku dipengaruhi oleh implementasi
kebijakan?)
c. What is the nature of public opinion; how salient is the related
policy issue? (Apa sifat dari opini publik; bagaimana masalah-
masalah kebijakan yang berhubungan bisa menonjol?)
d. Do elites favor or oppose implementation of the policy? (Apakah
golongan-golongan atas mendukung implementasi kebijakan atau
bahkan menentangnya?)
e. What is the partisan character of the implementing jurisdiction
(or organization); is there partisan opposition or support for
the policy? (Apa karakter pengikut yurisdiksi (atau organisasi)
pelaksana; apakah di sana merupakan pengikut yang menentang
atau pengikut yang mendukung kebijakan tersebut?)
f. To what extent are private interest groups mobilized in support or
opposition to the policy? (Sejauh mana kelompok-kelompok yang
mementingkan kepentingan pribadi, menggerakkan dukungan atau
perlawanan terhadap kebijakan?)

6. Watak pelaksana (The disposition of implementers).


Van Meter & Van Horn (1975:472) menjelaskan bahwa dalam
modelnya terdapat tiga elemen respon para implementor yang mungkin
mempengaruhi kemampuan (ability) dan kemauan (willingness) mereka
untuk melaksanakan kebijakan yang telah dirumuskan. Ketiga unsur
tersebut antara lain: Pemahaman mengenai kebijakan, arah respon
mereka terhadap kebijakan (penerimaan, bersikap netral, penolakan),
dan intensitas respon mereka terhadap kebijakan tersebut.
a. Pemahaman kebijakan (the cognition of the policy)
Tingkat pemahaman para pelaksana kebijakan (implementor) sama
pentingnya seperti kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan (standards
and objectives of the policy). Kesuksesan implementasi mungkin

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 57


tidak akan tercapai jika para pejabat pemangku kepentingan tidak
peduli terhadap kebijakan yang mereka putuskan. Lalu bagaimana
jika kebijakan yang harus diimplementasikan tersebut bertentangan
dengan hati nurani para implementor? Van Meter & Van Horn
(1975:473) menekankan bahwa di bawah situasi seperti ini
(situasi yang mereka sebut sebagai the cognitive dissonance atau
ketidaksesuaian pemahaman), orang tersebut mungkin mencoba
untuk membawa pesan yang tidak menyenangkan ke dalam
keseimbangan dalam persepsi seperti apa seharusnya keputusan
tersebut dilaksanakan. Singkatnya, individu tersebut harus bersikap
profesional.
b. Arah respon (the direction of their response)
Selain pemahaman mengenai kebijakan, arah respon atau tanggapan
para implementor juga memainkan peranan yang penting. Menurut
Van Meter & Van Horn (1975:472), arah respon para implementor
dapat berupa penerimaan (acceptance), ketidakberpihakan
(neutrality), dan penolakan (rejection). Kemudian dalam
penjelasannya, mereka menganggap bahwa para implementor
mungkin gagal untuk mengeksekusi kebijakan dengan penuh
keyakinan karena mereka menolak tujuan-tujuan yang terkandung
dalam kebijakan tersebut. Selanjutnya, Van Meter & Van Horn
(1975:473) berpendapat bahwa “The goals of a policy may be
rejected for a variety of reasons: they may offend implementors’
personal value systems, extraorganizational loyalties, sense of
self-interest, or existing and preferred relationships.” Pendapat
tersebut bermakna bahwa tujuan-tujuan kebijakan tersebut ditolak
berdasarkan beberapa alasan. Bisa jadi tujuan-tujuan tersebut
mungkin menyinggung perasaan dalam sistem nilai pribadi si
implementor, memiliki sifat ketundukan yang berlebih terhadap
organisasi, adanya rasa kepentingan tertentu, atau bahkan karena
adanya hubungan-huubungan yang disukai.
c. Intensitas respon (the intensity of that response)
Van Meter & Van Horn berpandangan bahwa intensitas sikap
para implementor mungkin mempengaruhi kinerja kebijakan.

58 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Kurangnya intensitas sikap mungkin akan menyebabkan timbulnya
sikap pengalihan dan penghindaran secara sembunyi-sembunyi.

Itulah penjelasan mengenai 6 (enam) variabel yang membentuk


jaringan antara kebijakan (policy) dan kinerja (performance) pada
model proses implementasi kebijakan yang dirumuskan oleh Van Meter
& Van Horn.
Selain membahas mengenai 6 (enam) variabel yang membentuk
model proses implementasi kebijakan, Van Meter & Van Horn
meringkas hubungan antara model yang mereka bentuk dengan tiga
penjelasan umum tentang kegagalan implementasi yang dirumuskan
oleh Kaufman dalam karyanya yang berjudul Administrative Feedback
(1973). Ringkasan mengenai tiga penjelasan umum itu, mencakup:
proses komunikasi (the communication process); masalah kecakapan
(the capability problem); dan perselisihan watak (dispositional
conflicts).
1. Proses komunikasi
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa komunikasi memegang
peranan penting dalam suatu proses implementasi kebijakan. Bahkan
Van Meter & Van Horn (1975:466) memandang komunikasi sebagai
proses yang rumit dan sukar. Namun dalam hal ini, Van Meter & Van
Horn (1975:479) berpendapat bahwa 4 (empat) komponen dalam
modelnya, yaitu: tujuan dan ukuran kebijakan; aktivitas penegakkan
dan komunikasi antar organisasi; karakteristik badan pelaksana;
dan watak para implementor mampu menyelesaikan permasalahan
mengenai komunikasi.
Salah satu indikator tercapainya implementasi yang efektif yaitu
keadaan dimana para implementor mengetahui apa yang seharusnya
mereka lakukan. Meskipun demikian, proses komunikasi harus tetap
diperhatikan agar risiko penyimpangan informasi dapat dihindari. Jika
proses komunikasi kurang diperhatikan, maka risiko ini bisa saja terjadi
kapan saja. Penyimpangan informasi dipandang berisiko karena pasti
selalu bertentangan dengan apa yang seharusnya disampaikan.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 59


Van Meter & Van Horn (1975:479) menyebutkan bahwa risiko
yang timbul dari penyimpangan komunikasi dapat berupa perintah yang
bertentangan (contradictory directives), bermakna-ganda (ambiguities),
instruksi yang tidak konsisten (inconsistencies in instructions), dan
keperluan-keperluan yang tidak sesuai (incompatible requirements).
Sehingga, pada rangkuman akhir, Van Meter & Van Horn memfokuskan
pembahasannya mengenai bagaimana caranya agar tujuan dan standar
kebijakan disalurkan kepada para implementor dengan jelas, akurat,
konsisten, dan tentunya dengan cara yang baik.
2. Masalah kecakapan
Selain proses komunikasi, ternyata masalah kecakapan juga
memainkan peran dalam kesuksesan implementasi. Implementasi
yang sukses timbul dari kapasitas badan pelaksana untuk melakukan
apa yang seharusnya dilakukan. Van Meter & Van Horn (1975:480)
mengungkapkan bahwa kemampuan untuk mengimplementasikan
suatu kebijakan mungkin akan terhalangi oleh beberapa faktor seperti
beban kerja yang berlebih dan kurang terlatihnya staf, sumber daya
keuangan dan informasi yang tidak memadai atau mungkin karena
halangan-halangan lain seperti waktu pelaksanaan yang tidak cukup.
Dalam hal ini, Van Meter & Van Horn (1975:480-481) berpendapat
bahwa masalah kecakapan disoroti oleh 4 (empat) komponen dalam
modelnya, yaitu: Sumber daya kebijakan (antara lain: karakter dan
jumlah sumber daya), aktivitas penegakkan dan komunikasi antar
organisasi (antara lain: ketersediaan dukungan politik dan sarana
pendukung teknis); karakteristik badan pelaksana (kompetensi pegawai,
kepemimpinan, daya tahan, hubungan formal maupun informal terhadap
pembuat kebijakan); dan lingkungan ekonomi, sosial, dan politik (opini
publik, kelompok kepentingan terorganisir, kondisi ekonomi).
3. Perselisihan watak
Dalam pandangan Van Meter & Van Horn, perselisihan watak
terjadi karena para implementor menolak sasaran-sasaran yang dibentuk
dan diperintahkan oleh para atasan mereka. Seperti yang dikatakan oleh
Kaufman (1971) dalam bukunya berjudul The Limits of Organizational

60 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Change (dikutip oleh Van Meter & Van Horn, 1975:482), bahwa:
“Goals and objectives may be rejected for numerous reasons:
they offend implementors’ personal values or extraorganizational
loyalties; they violate implementors’ sense of self-interest; or
they alter features of the organization and its procedures that
implementors desire to maintain.”

Kaufman beranggapan bahwa penolakan terhadap sasaran maupun


tujuan yang dirumuskan oleh para perumus kebijakan (policymaker)
mungkin dapat didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, bisa saja
tujuan atau sasaran tersebut bertentangan dengan nilai-nilai pribadi para
implementor atau kesetiaan mereka yang berlebih terhadap organisasi.
Kedua, bisa saja tujuan atau sasaran tersebut menyakiti perasaan
kepentingan pribadi para implementor. Terakhir, bisa saja tujuan atau
sasaran tersebut merubah ciri-ciri organisasi serta prosedurnya yang
mana para implementor berkeinginan untuk tetap menjaganya. Semua
alasan-alasan menurut Kaufman tersebut kemungkinan bisa terjadi
dalam proses implementasi.
Dengan mempertimbangkan alasan-alasan penolakan implementasi
kebijakan yang diuraikan oleh Kaufman di atas, Van Meter & Van Horn
(1975:482) dalam rangkuman akhir berpendapat bahwa terdapat 4
(empat) komponen lainnya dalam model mereka yang secara langsung
mempengaruhi faktor mengenai perselisihan watak para implementor.
Komponen-komponen tersebut antara lain: sumber daya kebijakan;
aktivitas penegakkan dan komunikasi antar organisasi; karakteristik
badan pelaksana; dan lingkungan ekonomi, sosial, dan politik.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 61


BAB VI
Implementasi sebagai Sebuah Proses Politik dan
Administrasi Merilee S. Grindle (1980)

M erilee S. Grindle dalam buku yang dieditnya berjudul Politics


and Policy Implementation in the Third World (1980)
mengungkapkan bahwa karakteristik umum implementasi
kebijakan pada dunia ketiga kurang banyak diperhatikan. Hanya
sedikit perhatian yang membahas mengenai karakteristik kebijakan dan
program yang saling berhubungan terhadap permasalahan yang muncul
dalam proses implementasi. Hal tersebut dijadikan dasar oleh Grindle
untuk mengkaji dan menganalisa hal tersebut lebih jauh.
Buku tersebut berisi tulisan-tulisan ilmiah dari para pakar kebijakan
yang melaksanakan penelitiannya pada bidang proses implementasi di
negara-negara berkembang, khususnya negara-negara di Afrika, Asia,
dan Amerika Latin seperti Zambia, Peru, India, Kolumbia, Rajasthan,
Meksiko, Nairobi, dan Brazil. Setiap bagian disusun dengan tujuan
untuk menganalisa, mengkaji, dan memecahkan dua masalah utama
tentang implementasi kebijakan yang berkaitan dengan content dan
context pada kondisi-kondisi tertentu dalam pelaksanaan program-
program kebijakan tersebut di negara-negara ketiga. Dua masalah
utama tersebut yaitu (Grindle, 1980:5):
1. What effect does the content of public policy have on its
implementation? (apa akibat dari isi kebijakan publik dalam
implementasinya?)

62 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


2. How does the political context of administrative action affect
policy implementation? (bagaimana konteks politik dari tindakan
administratif mempengaruhi implementasi publik?)
Kedua pertanyaan tersebut kemudian menjadi dasar bagi Grindle
untuk membuat suatu model proses implementasi kebijakan yang
keberhasilannya diukur dan dipengaruhi oleh dua elemen, yaitu: isi
kebijakan (the content of policy) dan konteks kebijakan (the context of
policy).
Dalam salah satu karyanya berjudul Policy Content and
Context in Implementation (1980), Grindle mengembangkan sebuah
kerangka pemikiran mengenai proses implementasi kebijakan.
Grendle membentuk konsep atau model tersebut dengan tujuan untuk
mengembangkan proses generalisasi terhadap dasar dari bahan studi
kasus tentang bagaimana dan mengapa variabel konten (the content of
policy) dan konteks (the context of policy) turut campur dalam proses
implementasi di dunia ketiga. Seperti yang dia katakan (1980:6), bahwa:
“The task the authors have set for themselves is to develop
generalizations on the basis of case study material about how
content and contextual variables intervene in the implementation
process in the Third World.”
Sehingga, untuk memahami model proses implementasi yang
dirancang oleh Grindle, alangkah lebih baiknya jika kita memahami
pandangan Grindle mengenai implementasi, konten, dan konteks
tersebut.
Grindle (1980:6) meninjau proses implementasi kebijakan
secara umum, yaitu sebagai proses yang bertujuan untuk mendirikan
sebuah jaringan yang memungkinkan tujuan-tujuan dari kebijakan
publik terlaksana sebagai suatu hasil luaran dari kegiatan-kegiatan
pemerintahan. Menurutnya, kebijakan publik diterjemahkan ke dalam
program-program yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu yang dinyatakan dalam kebijakan (Grindle, 1980:6). Pandangan
tersebut didasarkan pada perbedaan antara kebijakan (policy) dan
program (program) yang dianalisa oleh Grindle. Selain itu, Grindle
(1980:6) berpendapat bahwa:

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 63


“... the study of the process of policy implementation almost
necessarily involves investigation and analysis of concrete action
programs that have been designed as a means of achieving broader
policy goals.?
Maknanya yaitu bahwa kajian (investigation) dan analisa (analysis)
mengenai program-program aksi nyata yang telah dibentuk dilibatkan
sebagai sarana untuk mencapai tujuan atau sasaran kebijakan secara
luas dalam suatu proses implementasi kebijakan. Sayangnya, terdapat
kelemahan dari analisa Grindle tersebut, yaitu bahwa perbedaan
antara kebijakan dan program dalam praktiknya sangatlah sulit untuk
dipertahankan, dan Grindle mengakui hal tersebut dalam ungkapannya
bahwa “Such a clear distinction between policy and program is difficult
to maintain in practice”.
Grindle (1980:7) berupaya untuk menyelesaikan
berbagai permasalahan terkait implementasi kebijakan dengan
mempertimbangkan implementasi sebagai sebuah proses umum dalam
tindakan administratif yang dapat dikaji pada setiap tahap program
tertentu. Dia menjelaskan bahwa keberhasilan maupun kegagalan
implementasi kebijakan dapat dievaluasi dalam hal kemampuan
untuk menjalankan program yang telah dibentuk tersebut atau disebut
implementability. Sebagai gantinya, seluruh implementasi kebijakan
dinilai dengan cara mengukur sejauh mana hasil luaran program
tersebut memiliki kesesuaian dengan tujuan-tujuan kebijakan yang
ditetapkan. Model proses implementasi yang dirumuskan oleh
Grindle dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

64 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Gambar 6.1 Implementasi sebagai sebuah Proses Politik dan
Administratif
Sumber: Merilee S. Grindle, Politics and Policy Implementation in the
Third World, New Jersey: Princetown University Press, 1980, hlm.11.
Untuk dapat memahami model implementasi yang dirumuskan
oleh Grindle, maka dengan ini Penulis terjemahkan secara bebas ke
dalam bahasa Indonesia seperti pada gambar di bawah ini.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 65


Berdasarkan model implementasi kebijakan di atas, kebijakan
publik diterjemahkan ke dalam program aksi (action programs)
dengan maksud untuk mencapai tujuan kebijakan yang diharapkan.
Grindle menjelaskan lebih lanjut bahwa “... that a variety of programs
may be developed in response to the same policy goals.” Maknanya,
mungkin saja berbagai macam program dibentuk dan dikembangkan
sebagai suatu tanggapan untuk mencapai tujuan kebijakan yang
sama. Program kerja itu sendiri mungkin dipilah ke dalam beberapa
proyek perorangan yang bersifat lebih khusus lagi untuk selanjutnya
dilaksanakan. Perlu dicatat bahwa maksud dibentuknya program aksi
dan proyek perorangan tersebut adalah untuk menimbulkan perubahan
pada lingkungan dimana kebijakan tersebut akan diimplementasikan.
Perubahan tersebut ditafsirkan sebagai hasil luaran dari program yang
dijalankan (Grindle, 1980:6).
Pada tahap implementasi, Grindle memandang dan
mempertimbangkan implementasi sebagai sebuah proses umum dari
tindakan administratif. Artinya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa keberhasilan maupun kegagalan implementasi kebijakan dapat
dievaluasi dari kapasitas implementor untuk menjalankan program
tersebut. Dalam proses implementasi, Grindle (1980:8) berargumen
bahwa “... the process of implementation is greatly affected by the kinds
of objectives that have been specified for it and by the manner in which
the goals have been stated.” Maknanya, proses implementasi sangat
dipengaruhi oleh jenis-jenis tujuan yang telah dispesifikasikan untuk itu
dan oleh cara di mana sasaran-sasaran telah dinyatakan. Sehingga pada
akhirnya setiap keputusan tentang jenis kebijakan yang akan dicapai
dan bentuk program yang akan dilaksanakan dianggap sebagai faktor
integral dalam menentukan kesuksesan pelaksanaan program tersebut.
Keberhasilan kegiatan-kegiatan implementasi kebijakan ditentukan dan
dipengaruhi oleh dua hal, yaitu: materi muatan kebijakan (the content
of policy) dan konteks kebijakan (the context of policy).
1. Materi Muatan Kebijakan (the Content of Policy)
Dalam hal materi muatan kebijakan, Grindle (1980:8) merujuk
pendapat Theodore Lowi dalam karya ilmiahnya berjudul American

66 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Business, Public Policy, Case Studies, and Political Theory (1964).
Lowi telah menunjukkan bahwa jenis kebijakan yang sedang dibuat
akan memiliki dampak yang nyata terhadap jenis aktivitas kebijakan
yang ditentukan oleh proses pembuatan kebijakan tersebut.
Kemudian, Grindle merespon pendapat Lowi tersebut dengan
menyatakan bahwa “This observation can be applied with equal validity
to the implementation process, encouraging consideration of the
‘implementability’ of various programs.” Dalam pandangan Grindle,
pengamatan mengenai dampak nyata yang terjadi dapat diberlakukan
melalui keabsahan yang sama dengan proses implementasi, tentunya
dengan mendorong pertimbangan mengenai kemampuan keterlaksanaan
dari setiap program yang akan dilaksanakan tersebut.
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi
pertimbangan keberhasilan kebijakan yaitu derajat keterlaksanaan atau
implementability dari materi muatan kebijakan itu sendiri. Sebagaimana
telah disebutkan oleh Grindle (1980:7) lebih awal bahwa “Its success
or failure can be evaluated in terms of the capacity actually to deliver
programs as designed” (keberhasilan maupun kegagalan implementasi
kebijakan dapat dievaluasi dalam hal kecakapan untuk menjalankan
program sebagaimana yang telah dibentuk).
Variabel materi muatan kebijakan mencakup beberapa subvariabel
yang secara langsung mempengaruhi proses implementasi kebijakan.
subvariabel-subvariabel yang mempengaruhi kesuksesan implementasi
kebijakan antara lain: kepentingan yang terpengaruhi (Interest
affected); macam-macam manfaat (type of benefits); sejauh mana
perubahan yang dibayangkan (extended of change envisioned); tempat
pembuatan keputusan (site of decision making); para pelaksana program
(program implementors); dan sumber daya yang disepakati (resources
committed). Berikut uraian lengkap mengenai subvariabel-subvariabel
materi muatan kebijakan.
a. Kepentingan yang terpengaruhi (Interest affected)
Terdapat hubungan langsung antara jenis kebijakan dengan
aktivitas politik. Grindle (1980:8) memberikan contoh bahwa setiap

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 67


tindakan publik yang menimbulkan perubahan-perubahan dalam
hubungan sosial, politik, dan ekonomi, pada kenyataannya akan
memicu perlawanan atau penentangan dari masyarakat yang merasa
kepentingannya terancam. Indikator ini menunjukkan bahwa suatu
kebijakan dalam proses pelaksanaannya pasti melibatkan banyak
kepentingan dan sejauh mana kepentingan tersebut mempengaruhi
proses implementasi suatu kebijakan.
Dalam implementasi kebijakan pertanahan atau agraria misalnya.
Menurut Sintaningrum (2009:144), pihak-pihak yang kepentingannya
terpengaruhi oleh implementasi kebijakan landreform melalui
redistribusi tanah antara lain: Para petani penggarap penerima tanah
redistribusi; pemilik tanah asal; kelompok kepentingan; dan pemerintah.
Para petani merupakan pihak yang paling terpengaruh oleh kebijakan
pertanahan karena para petanilah yang menjadi objek utama sekaligus
subjek yang berperan menjadikan kebijakan redistribusi ini berhasil
atau tidak.
b. Ragam manfaat (type of benefits)
Selain masalah kepentingan, isi kebijakan yang menawarkan
keuntungan atau manfaat bersama (collective benefits) juga menjadi
bahan pertimbangan. Program yang memberikan ragam manfaat
terhadap masyarakat luas cenderung akan terhindar dari konflik atau
perselisihan di kemudian hari dibandingkan dengan program yang tidak
bermanfaat, yang tentunya akan memperburuk keadaan masyarakat
sekitar yang terkena dampaknya. Tentu, dalam keadaan yang demikian
eksekusi program akan menjadi sulit.
Implementasi program pembagian pupuk bersubsidi dan alat-alat
pertanian pada para petani di suatu desa misalnya, tentu dirasakan
akan membawa manfaat bersama bagi para petani. Lalu bagaimana
jika program pembagian pupuk bersubsidi tersebut diimplementasikan
pada para penghuni pemukiman kumuh di sudut kota? Bayangkan jika
program tersebut diganti dengan program relokasi dan pembangunan
infrastruktur lingkungan yang sehat dan baik seperti perbaikan sistem
sanitasi dan pendistribusian listrik dan air bersih. Tentu program

68 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


pembangunan infrastruktur lingkungan yang sehat dan baik akan
memberikan ragam manfaat bagi masyarakat luas di pemukiman
kumuh daripada program pembagian pupuk bersubsidi. Dari contoh
tersebut, jelas bahwa program yang memberikan ragam manfaat yang
dibutuhkan oleh masyarakat luas dinilai perlu untuk diperhatikan.
c. Sejauh mana perubahan yang dibayangkan (extended of change
envisioned)
Menurut Grindle (1980:9), hal lain yang mempengaruhi kesuksesan
implementasi kebijakan adalah sejauh mana perubahan-perubahan
yang diharapkan dari sebuah kebijakan. Grindle juga menekankan
bahwa program yang memiliki tujuan jangka panjang mungkin lebih
sulit untuk diimplementasikan daripada program yang secara nyata
memberikan manfaat langsung kepada penerimanya. Seperti yang ia
katakan, “...programs that are designed to achieve long-range objectives
may be more difficult to implement than those whose advantages are
immediately apparent to the beneficiaries.”
Kebijakan modernisasi alat-alat pertanian misalnya. Jika dahulu
para petani menggarap sawah menggunakan kerbau dan memanen
padi di sawah seluas puluhan hektar secara manual, maka tentu akan
membutuhkan waktu berminggu-minggu. Dengan adanya implementasi
kebijakan tentang pengenalan teknologi traktor penggarap lahan dan
traktor pemanen padi, diharapkan membawa dampak positif kepada
para petani, yaitu merubah pola perilaku dan kebiasannya dalam bertani
menjadi lebih efektif dan efisien. Selain itu, pengenalan teknologi baru
dalam pertanian juga diharapkan dapat meningkatkan status sosial dan
ekonomi petani.
d. Tempat pembuatan keputusan (site of decision making)
Tempat implementasi (the site of implementation) juga memegang
peranan penting dalam menentukan isi kebijakan. Dimana letak
pengambilan keputusan suatu kebijakan akan mempengaruhi
keberhasilan implementasi kebijakan tersebut dalam mencapai
tujuannya. Berkaitan dengan letak pengambilan keputusan, Grindle
(1980:10) menekankan “As the site of implementation becomes

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 69


more dispersed, both geographically and organizationally, the task
of executing a particular program becomes more difficult, given the
increase in decisional units involved”. Penekanan tersebut bermakna
bahwa implementasi suatu program akan menjadi lebih sulit jika letak
implementasi program atau kebijakan itu berada jauh dan tersebar, baik
secara georgafis maupun secara organisasi.
Dalam rangka memperjelas subvariabel ini, Grindle (1980:9)
memberikan 3 (tiga) contoh kongkrit, yaitu mengenai kebijakan pada
bidang moneter, pendidikan, dan perumahan. Dalam kebijakan moneter,
segala keputusan mengenai keuangan suatu negara dan moneter pasti
akan terpusat kepada kementerian keuangan dan bank sentral. Di
Indonesia, misalnya kebijakan Amnesti Pajak yang diimplementasikan
berdasarkan keputusan dari Menteri Keuangan, kemudian dieksekusi
oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dalam bidang pendidikan, meskipun
dilaksanakan oleh sejumlah besar implementor yang berada di daerah
yang berbeda-beda, tentu seluruhnya akan mengacu kepada satu
instansi saja. Di Indonesia, misalnya pelaksanaan Ujian Nasional yang
mengacu kepada keputusan yang ditetapkan di Kementrian Pendidikan
Nasional dan Kebudayaan. Menurut Grindle, kebijakan yang lebih
rumit yaitu kebijakan dalam bidang pengembangan perumahan atau
pertanian yang bergantung pada jaringan keputusan yang melewati
batas geografis dan kewenangan organisasi. Di Indonesia, contohnya
kebijakan pencegahan dan peningkatan kualitas kawasan pemukiman
kumuh. Jaringan dalam formulasi dan implementasi kebijakan tersebut
dinilai sangat luas dan mencakup berbagai aktor, seperti Kementerian
Koordinator Ekonomi, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Badan Usaha Milik
Negara, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan
Badan Pembangunan Nasional.
Contoh kongkrit lainnya, misalnya pada implementasi kebijakan
pertanahan. Sintaningrum (2009:157) menjelaskan bahwa dalam
implementasi pertanahan, pengambilan keputusan dilakukan
berjenjang mengikuti level pemerintahan. Keputusan yang bersifat
strategis diambil oleh Pemerintah Pusat yang dimotori oleh Kementrian

70 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Pertanahan / Badan Pertanahan Nasional, arahan dibuat oleh Pemerintah
Provinsi dan operasional oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Tingkat
Pemerintahan Kecamatan dan Desa tidak berwenang mengambil
keputusan, melainkan hanya dapat mengusulkan.
e. Para pelaksana program (program implementors)
Penentuan siapa yang ditunjuk dan diberikan tanggung jawab untuk
melaksanakan program, dalam hal ini disebut sebagai implementor turut
menyumbang kesuksesan implementasi kebijakan. Grindle (1980:10)
menyatakan bahwa “Decisions made during policy formulation may
also indicate who is to be charged with executing various programs,
and such decisions can affect how the policy is pursued.” Keputusan
yang menentukan siapa yang berwenang dan bertanggungjawab untuk
melaksanakan berbagai program yang telah dirumuskan selama tahap
formulasi kebijakan, akan mempengaruhi bagaimana kebijakan tersebut
diimplementasikan.
Implementasi kebijakan di bidang pertanahan menjadi contoh
kembali dalam subvariabel ini. Menurut Sintaningrum (2009:163),
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1980, pertanahan
menjadi salah satu bagian dari agraria dan diatur oleh satu instansi,
dalam hal ini bernaung di bawah kewenangan Departemen Dalam
Negeri. Dalam implementasi kebijakan pertanahan, Menteri Dalam
Negeri dibantu oleh Direktur Jenderal Agraria, Gubernur sebagai
Kepala Daerah Provinsi dibantu langsung oleh Kepala Direktorat
Agraria Provinsi, Bupati/Walikota dibantu langsung oleh Kepala Kantor
Agraria Kabupaten/Kota, dan begitu juga Camat dan Kepala Desa
yang dibantu langsung oleh Petugas Kantor Agraria. Tugas pelaksana
landreform dilakukan dalam satu garis komando dengan harapan agar
koordinasi dalam implementasi lebih mudah dan cepat dilakukan.
f. Sumber daya yang disepakati (resources committed)
Bentuk dan jenis sumber daya yang dikerahkan untuk mencapai
tujuan kebijakan juga berdampak pada aktivitas implementasi.
Sayangnya, Grindle tidak menjelaskan secara lengkap mengenai apa
yang dimaksud dengan sumber daya ini. Berbeda dengan model yang

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 71


dikembangkan oleh Edwards III (1980:53) yang mengklasifikasikan
sumber daya ke dalam beberapa kelompok, seperti pegawai (staff),
informasi (information), wewenang (authority), dan fasilitas (facilities);
dan Mazmanian & Sabatier (1983:33) yang menjelaskan mengenai
pentingnya sumber daya keuangan (financial resources) dalam proses
implementasi kebijakan.
2. Konteks Kebijakan (the Context of Policy)
Meskipun isi kebijakan dianggap sebagai variabel penting yang
mempengaruhi hasil luaran dari suatu implementasi kebijakan, perlu
dicatat bahwa mempertimbangkan konteks suatu kebijakan juga
dianggap sebagai hal yang sama pentingnya. Menurut Grindle Variabel
(1980:10), konteks kebijakan mencakup beberapa subvariabel yang
secara langsung mempengaruhi proses implementasi kebijakan.
Subvariabel yang mempengaruhi kesuksesan implementasi
kebijakan antara lain: kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor
yang terlibat (power, interests, amd strategies of actors involved);
karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa (institution and regime
characteristics); dan tingkat kepatuhan dan daya tanggap (compliance
and responsiveness).
a. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat (power,
interests, amd strategies of actors involved)
Hal pertama yang harus dipertimbangkan adalah mengenai
implementor yang terlibat. Dalam proses implementasi, banyak
aktor yang berupaya untuk mempengaruhi para pihak dalam proses
pengambilan keputusan. Tidak dapat dipungkiri bahwa kekuasaan
(power) implementor, baik pada tingkat atasan maupun bawahan,
nasional, regional, maupun lokal dalam hal ini memegang peranan
yang cukup signifikan. Masing-masing implementor memiliki
kepentingannya masing-masing terhadap program yang dijalankan.
Tidak menutup kemungkinan bahwa tujuan pribadi para aktor tersebut
memicu konflik. Grindle (1980:12) menekankan bahwa “The goals of
the actors will be in direct conflict with each other and the outcome of
this conflict and consequently, of who gets what, will be determined

72 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


by the strategies, resources, and power positions of each of the actors
involved.” Pada tahap ini, hasil luaran yang berasal dari konflik
kepentingan para pihak tersebut akan ditentukan oleh strategi, sumber
daya, dan besarnya pengaruh kekuasaan dari setiap aktor yang terlibat.
Analisis implementasi program mungkin dapat menilai kapabilitas
kekuasaan (power of capabilities) para aktor, kepentingan mereka,
termasuk strategi yang mereka gunakan untuk memperoleh apa yang
mereka inginkan, dan rezim yang berkuasa (Grindle, 1980:12).
Dalam implementasi kebijakan landreform, Sintaningrum
(2009:175) memberikan contoh bahwa para aktor yang terlibat
dalam implementasi kebijakan pertanahan bisa jadi meliputi: Petani
penggarap, pemilik tanah, birokrat/aparatur pemerintahan yang
mencakup Pemda, Perhutani, dan BPN, para legislator, bank penyalur
kredit, organisasi himpunan kerukunan tani Indonesia, lembaga
swadaya masyarakat (LSM), bahkan makelar sekalipun turut serta
sebagai pihak berkepentingan yang terlibat di dalamnya. Oleh karena
itu, dalam variabel konteks kebijakan, seluruh aspek yang berkaitan
dengan kekuasaan, kepentingan dan strategi yang mempengaruhi
proses implementasi tidak akan bisa dilepaskan dari peran serta para
aktor yang terlibat seperti di atas.
b. Karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa (institution and
regime characteristics)
Selain analisis implementasi program mengenai kekuatan jabatan,
kepentingan dan strategi para aktor, karakteristik lembaga dan rezim
dimana mereka berinteraksi juga menentukan nasib implementasi
kebijakan. Bagaimanapun, rezim yang berkuasa akan memiliki
kekuasaan yang besar dalam menentukan implementasi suatu program
yang masuk dalam agenda pemerintahannya. Sehingga, dalam
keadaan seperti ini rezim yang berkuasa akan menentukan hasil luaran
implementasi kebijakan (Grindle, 1980:12).
Misalnya, rezim yang membidani lahirnya kebijakan landreform
pada hukum agraria nasional. Hukum agraria nasional serta kebijakan-
kebijakan di bidang agraria telah melewati tiga rezim yang berbeda,

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 73


yaitu: periode demokrasi liberal, periode demokrasi terpimpin, dan
periode orde baru (Mahfud, 2012:33). Jika ditinjau dari aspek sejarah,
kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada hukum agraria zaman
kolonial (Agrarische Wet 1870) bersifat sangat eksploitatif dan selalu
bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia (contoh:
tanam paksa).
Pada rezim demokrasi liberal, pemerintah dituntut untuk
merumuskan peraturan perundang-undangan baru mengenai sistem
hukum agraria nasional yang berlandaskan Pancasila. Pada tahun 1948,
dibentuklah Panitia Agraria Yogya yang menghasilkan 12 butir saran
yang disampaikan kepada DPR, salah satunya adalah penyatuan UU
Agraria untuk menghapus dualisme. Kemudian, pada tahun 1951 Panitia
Agraria Yogyakarta dibubarkan dan digantikan oleh Panitia Agraria
Jakarta yang menyusun dan menyelesaikan naskah Rancangan UU
Pokok Agraria pada tahun 1957 (Sintaningrum, 2009: 177-179). Selama
rezim demokrasi liberal, terdapat beberapa kebijakan-kebijakan bidang
agraria yang dihasilkan, antara lain: Kebijakan berupa penghapusan hak
konversi (1948); kebijakan mengenai persewaan tanah rakyat (1951);
kebijakan mengenai pengawasan pemindahan hak atas tanah (1952);
kebijakan mengenai larangan dan penyesuaian pemakaian tanah tanpa
izin (1954); kebijakan mengenai kenaikan besarnya uang wajib tahunan
canon dan cijns (1957); kebijakan penghapusan tanah partikelir (1958);
dan kebijakan tentang perjanjian bagi hasil (1960).
Pada rezim pemerintahan demokrasi terpimpin, gagasan dan dasar-
dasar hukum agraria nasional telah bulat. Dengan diundangkannya UU
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, maka peraturan
perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan agraria dihapuskan.
Pada rezim orde baru, pelaksanaan UU Agraria menghadapi beberapa
permasalahan, yaitu: pembuatan peraturan pelaksana, penyesuaian
peraturan yang sudah ada, dan masalah pembebasan tanah khususnya
untuk kepentingan umum (Mahfud, 2012:279-291). Khusus mengenai
kebijakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sampai saat
ini selalu menjadi permasalahan krusial yang terjadi di masyarakat,
walaupun telah diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2012.

74 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


c. Tingkat kepatuhan dan daya tanggap (compliance and
responsiveness)
Menurut Grindle, dalam rangka mencapai tujuan suatu kebijakan,
pejabat publik menghadapi dua masalah yang berkaitan dengan interaksi
mereka terhadap lingkungan dan tahapan administrasi, yaitu: tingkat
kepatuhan (compliance) dan tingkat ketanggapan (responsiveness).
Mengenai permasalahan yang pertama, para aktor harus bisa
menyikapi permasalahan mengenai bagaimana memperoleh kepatuhan
(compliance). Seperti yang dikatakan Grindle (1980:12), “...officials
must address the problem of how to achieve compliance with the ends
enunciated in the policy.” Terdapat beberapa cara yang dianjurkan
Grindle terhadap para aktor untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut. Misalnya para aktor dapat melakukan cara-cara seperti
meminta dukungan dari para elit politik, badan-badan pelaksana, para
birokat terkait program yang akan dilaksanakan, maupun dukungan
masyarakat yang akan merasakan dampaknya (Grindle, 1980:12).
Lalu, bagaimana dengan para pihak yang mungkin ‘dirugikan’ akibat
pelaksanaan program ini? Untuk menjawab hal ini, Grindle kemudian
menjelaskan:
“They must turn the opposition of those who may be harmed by the
programs into acceptance of them, and they must keep those who
are excluded, but who wish to acquire benefits, from subverting
them. Eliciting this kind of compliance may mean much bergaining,
much accomodation, and again considerable conflict.”
Para aktor harus merubah pemikiran orang-orang yang semula
menentang kebijakan tersebut menjadi menerima. Selain itu, para aktor
juga harus mempertahankan orang-orang yang berharap mendapatkan
manfaat dari pelaksanaan program tersebut. Sebagai konsekuensinya,
untuk memperoleh beragam kepatuhan tersebut mungkin menimbulkan
kegiatan tawar-menawar, penyesuaian diri, dan tidak menutup
kemungkinan akan menyebabkan konflik yang nyata.
Selain kepatuhan (compliance), sisi lain permasalahan dalam
mencapai tujuan dan sasaran suatu kebijakan yaitu ketanggapan

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 75


(responsiveness). Semua tingkatan birokrasi pada setiap institusi
negara idealnya harus cepat tanggap dalam menjalankan tugasnya guna
memberikan pelayanan publik yang optimal dan memenuhi kebutuhan
masyarakat secara maksimal. Tanpa disertai dengan ketanggapan, sulit
rasanya untuk mengatakan bahwa suatu implementasi kebijakan akan
berhasil dilaksanakan dan tujuan-tujuannya akan tercapai. Artinya,
tanpa adanya sikap cepat-tanggap pejabat publik akan kehilangan
kesempatannya untuk mencapai kesuksesan implementasi program
yang direncanakan. Tentu, hal ini akan berdampak secara langsung
kepada proses pencapaian tujuan. Grindle (1980:13) menyatakan
bahwa:
“The problem for public administrators is to ensure an adequate
amount of responsiveness to provide flexibility, support, and
feedback, while at the same time maintaining enough control over
the distribution of resources to achieve the stated goals.”

Dari pernyataan tersebut, terdapat masalah yang harus diselesaikan


secara bersamaan oleh pejabat publik, antara lain bagaimana mereka
menyediakan dan memberikan pelayanan yang optimal (responsiveness)
disaat mereka harus mempertahankan pengawasan terhadap penyaluran
sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (compliance).

76 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


BAB VII
Interaksi Faktor-Faktor Implementasi
George C. Edward III (1980)

G eorge C. Edwards III dalam bukunya berjudul Implementing Public


Policy (1980) berpendapat bahwa kajian mengenai implementasi
kebijakan dipandang sangat penting bagi kajian administrasi
publik dan kebijakan publik. Menurut Edwards (1980:1), implementasi
kebijakan adalah salah satu tahapan pada proses pembuatan kebijakan
antara pembentukan satu kebijakan dan akibat yang timbul dari
kebijakan tersebut terhadap orang-orang yang terkena dampaknya.
Tanpa adanya implementasi yang efektif, keputusan-keputusan dari
para pembuat kebijakan tidak akan terlaksana dengan sukses. Selain
itu, terkait dengan keberhasilan suatu implementasi kebijakan, Edwards
mengatakan bahwa“If a policy is inappropriate, if it cannot alleviate
the problem for which it was designed, it will probably be a failure no
matter how well it is implemented.” Dari pernyataan tersebut, Edwards
memandang bahwa jika suatu kebijakan tidak dapat meredakan
permasalahan yang menjadi latar belakang pembentukan kebijakan
tersebut, maka itu merupakan sebuah kesalahan terlepas dari seberapa
sempurna kebijakan itu dilaksanakan.
Pemikiran Edwards mengenai implementasi kebijakan banyak
didasarkan kepada isu-isu pokok yang membuat suatu implementasi
berjalan tidak efektif. Permasalahan dalam implementasi kebijakan
yang disorot oleh Edwards yaitu mengenai kurangnya perhatian pejabat
terpilih terhadap implementasi (lack of attention to implementation). Hal

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 77


ini diperburuk oleh kurangnya kemampuan dalam bidang administrasi.
Hal ini dapat dibuktikan dari pendapatnya yang mengatakan :
“Member of congress and state legislators, whose responsibility
it is to oversee the bureaucracy, often lack of the expertise in
administration to do so effectively ... Often even the president and
governors lack of experience in administration.”
Dalam rangka memecahkan isu-isu yang berkaitan dengan
implementasi kebijakan, Edwards mulai merumuskan pendekatannya
melalui dua pertanyaan dasar, yaitu:
1. What are the preconditions for successful policy implementation?
(Apa saja prasyarat untuk keberhasilan implementasi kebijakan?)
2. What are the primary obstacles to successful policy implementation?
(Apa saja hambatan-hambatan utama terhadap keberhasilan
implementasi kebijakan?)
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kemudian Edwards (1980:9-
10) mempertimbangkan 4 (empat) faktor atau variabel penting dalam
implementasi kebijakan publik, yaitu: komunikasi (communication),
sumber daya (resources), watak atau sikap (dispositions or attitudes),
dan struktur birokrasi (bureaucratic structure).

A. Komunikasi (communication)
Dalam pandangan Edwards (1980:17), komunikasi merupakan
prasyarat utama untuk mengefektifkan implementasi kebijakan.
Sebelum kebijakan diimplementasikan, setiap personil (implementor)
harus terlebih dahulu menerima setiap keputusan kebijakan serta perintah
pelaksanaannya secara jelas (clear), akurat (accurate), dan konsisten
(consistent). Jika informasi yang diterima oleh para personil pelaksana
tidak memenuhi aspek-aspek transmisi informasi tersebut, maka tidak
perlu diperdebatkan apabila mereka melakukan banyak perubahan
pada proses implementasi yang tidak sesuai dengan kehendak pembuat
kebijakan. Dengan demikian, ketidakjelasan informasi (ambiguity)
merupakan hambatan sekaligus tantangan dalam aspek komunikasi,
khususnya komunikasi dalam rangka implementasi kebijakan.

78 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Kesalahpahaman merupakan hal yang wajar terjadi dalam proses
komunikasi. Hal tersebut bukan merupakan tantangan yang terberat
dalam proses implementasi kebijakan. Menurut Edwards (1980:
18), satu dari sekian banyak tantangan yang harus dihadapi dalam
menyebarkan informasi mengenai instruksi implementasi kebijakan
adalah ketiaksepakatan para pelaksana terhadap isi kebijakan tersebut.
Lebih lanjut, Edwards menegaskan bahwa “Disagreement over policies
can lead either to outright blockage or distortion of communications
as implementors exercise their inevitable discretion in handling
general decisions and orders.” Penegasan Edwards tersebut memiliki
makna bahwa ketidaksetujuan yang diberikan oleh para implementor
terhadap suatu kebijakan secara langsung akan menimbulkan rintangan
atau penyimpangan komunikasi. Sehingga kebebasan bertindak para
implementor tidak akan mungkin dihindari dalam upaya melaksanakan
keputusan dan perintah tersebut.
Aspek komunikasi mempengaruhi proses implementasi. Semakin
akurat penyampaian informasi mengenai keputusan kebijakan dan
perintah implementasinya kepada mereka yang bertugas untuk
melaksanakannya, semakin tinggi tingkat kemungkinan kebijakan
tersebut diimplementasikan (Edwards, 1980). Lalu, bagaimana
informasi tersebut dapat disampaikan secara akurat? Untuk menjawab
hal tersebut, Edwards (1980:43) meninjau transmisi informasi yang
akurat dilihat dari berbagai sudut pandang, antara lain: Jumlah aktor
(small and cohesive group), susunan birokrasi (layers of bureaucracy),
cara penyampaian (direct or indirect communication), jaringan
komunikasi (the channels of communication), dan cara pandang aktor
(selective perception and a disinclination).
Ditinjau dari sudut pandang jumlah aktor yang terlibat, Edwards
menyatakan bahwa “Implementation instructions are more likely to be
transmitted accurately if a relatively small and cohesive group of people
is responsible for implementation.” Edwards berpandangan bahwa
kelompok kecil yang anggotanya saling bersatu merupakan prasyarat
untuk penyampaian informasi yang akurat. Semakin banyak orang yang
terlibat dalam komunikasi, semakin terbuka kesempatan kehilangan

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 79


mereka. Jika ditinjau dari sudut pandang birokrasi, semakin banyak
lapisan birokrasi yang harus dilalui, semakin besar kemungkinan
terjadinya penyimpangan informasi (Edwards, 1980).
Penyampaian informasi yang akurat juga ditentukan oleh cara
bagaimana informasi tersebut disampaikan. Penyampaian informasi
secara langsung (direct communication) akan mempertajam keakuratan
informasi. Di sisi lain, jika penyampaian informasi dilakukan secara
tidak langsung (indirect communication), akan meningkatkan
risiko penyimpangan informasi. Ditinjau dari sarana dan prasarana
komunikasi, semakin baik perkembangan jaringan komunikasi untuk
instruksi implementasi, maka semakin besar kemungkinan informasi
tersebut disebarkan dengan benar. Kemudian yang terakhir, penekanan
Edwards terhadap keakuratan informasi yaitu ditinjau dari cara
pandang aktor yang dilibatkan. Semakin besar tanggapan yang selektif
dan keseganan untuk mengetahui tentang kebijakan dan implikasinya,
semakin besar kemungkinan informasi tersebut tidak akurat.

B. Sumber daya (resources)


Sumber daya mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan.
Sebaik apapun konsep kebijakan yang dirumuskan dan seakurat apapun
informasi kebijakan yang dikomunikasikan, jika tanpa adanya dukungan
sumber daya yang relevan, maka implementasi kebijakan tersebut tidak
akan memiliki hasil guna. Lalu apa yang dimaksud dengan sumber daya
dalam pandangan Edwards? Menurut Edwards (1980:53), sumber daya
yang mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan antara lain,
yaitu: Pegawai (staff), informasi (information), wewenang (authority),
dan fasilitas (facilities).
Pegawai (staff) yang memiliki kapasitas (size) dan kemampuan
(skills) yang sesuai untuk menjalankan tugas-tugas yang diberikan
kepada mereka adalah sumber daya yang paling penting dalam proses
implementasi kebijakan (Edwards, 1980:54). Dalam hal kapasitas,
Edwards tidak hanya melakukan evaluasi birokrasi pada banyaknya
jumlah pegawai, namun juga melaksanakan evaluasi dari segi

80 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


kecakapannya dalam melaksanakan tugas yang diemban. Jumlah staf
yang terbatas menimbulkan dampak buruk pada proses implementasi.
Edwards (1980:56) kemudian memberikan contoh dalam beberapa
pelaksanaan kebijakan di beberapa bidang. Dalam kebijakan bidang
pendidikan, di kota Michigan contohnya hanya memiliki 10 staf bidang
pendidikan yang harus mempertimbangkan permohonan bantuan
dana dari 462 sekolah negeri. Dalam kebijakan bidang perlindungan
lingkungan, Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat
hanya memiliki 15 sampai 200 orang pengawas yang harus bertugas
mengawasi lebih dari 62.000 sumber polusi air di Amerika Serikat.
Dalam kebijakan bidang energi, sebanyak 175.000 stasiun pelayanan
harus diawasi oleh Departemen Energi Amerika Serikat yang hanya
memiliki 50 orang auditor. Terakhir, dalam kebijakan bidang makanan
dan obat-obatan, sebanyak 1.000 staf pengawas dari Badan Administrasi
Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat harus mengawasi 50.000
industri pengolahan makanan dan 2.500 perusahaan obat-obatan.
Selain kapasitas atau jumlah staf, kemampuan staf juga perlu
dipertimbangkan. Jumlah staf yang banyak dinilai tidak cukup untuk
mengeksekusi suatu kebijakan tanpa dukungan dari kemampuan yang
sesuai dengan tugas yang diemban. Para implementor harus memiliki
kemampuan-kemampuan yang menunjang pekerjaannya. Jika tidak,
staf tersebut dapat membahayakan implementasi kebijakan. Edwards
(1980:61) memberikan contoh, yaitu terkait dengan kebijakan listrik
nasional di Amerika Serikat tahun 1978. Sebanyak 7 (tujuh) dari 10
(sepuluh) orang pelamar sebagai operator pada Pembangkit Listrik
Tenaga Nuklir di Michigan gagal dalam pemeriksaan kemampuan
mengenai komponen keamanan radiasi, namun mereka tetap diberikan
lisensi sebagai operator. Hal itu diperburuk oleh fakta bahwa mereka
tidak pernah dilatih untuk menghadapi kondisi terburuk yang akan
tejadi. Pada kondisi seperti inilah Edwards memandang bahwa
pengetahuan dan kemampuan (khususnya kemampuan manajemen)
yang relevan dengan bidang pekerjaan sangat penting untuk dimiliki
oleh para staf dalam proses implementasi kebijakan.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 81


Edwards (1980:63) memandang informasi (information) sebagai
sumber daya kedua yang dinilai sama pentingnya terhadap kesuksesan
implementasi. Menurutnya, informasi hadir dalam dua bentuk.
Pertama, bentuk informasi yang berkaitan dengan kemampuan para
implementor untuk memahami mengenai apa yang seharusnya mereka
lakukan dan bagaimana mereka melaksanakan suatu kebijakan. Kedua,
bentuk informasi yang berupa data mengenai kepatuhan seseorang
maupun sekelompok orang terhadap hukum atau peraturan perundang-
undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Wewenang (authority) diklasifikasikan oleh Edwards (1980:66)
sebagai sumber daya yang penting pada proses implementasi kebijakan.
Dalam model yang dirumuskan Edwards, wewenang dipandang sebagai
sumber daya yang selalu berubah dan memiliki banyak bentuknya.
Selain itu, wewenang juga dinilai sebagai sumber daya yang sangat
luas. Sebagai contohnya, Edwards (1980:66) menyatakan:
“Authority varies from program to program and comes in many
different forms: the right to issue subpoenas; take cases to court;
issue orders to other officials; withdraw funds from a program;
provide funds, staff, and technical assistance to lower level
government jurisdictions; issue checks to citizens; purchase
goods and services; or levy taxes.” (Kewenangan berubah dari
satu program ke program lainnya dan hadir dalam banyak bentuk
yang berbeda: hak untuk mengeluarkan surat panggilan untuk
menghadap ke persidangan; melimpahkan kasus ke pengadilan;
mengeluarkan perintah ke pejabat lain; menarik dana dari sebuah
program; menyediakan dana, staf, dan bantuan teknis kepada
lingkungan pemerintahan yang lebih rendah; mengeluarkan cek
untuk warga negara; membayar barang dan jasa; atau memungut
pajak.)

Oleh karena itu, Edwards dalam bukunya mencoba untuk


memeriksa batasan-batasan wewenang yang sering dihadapi oleh para
implementor disertai dengan akibat-akibat yang timbul.

82 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Sumber daya terakhir yang menjadi pertimbangan Edwards adalah
fasilitas (facility). Fasilitas yang dimaksud adalah fasilitas fisik, seperti
bangunan, peralatan, pasokan barang, dan lain sebagainya. Sebagai
gambaran, bayangkan saja contoh yang diberikan oleh Edwards
mengenai pentingnya fasilitas fisik dalam implementasi kebijakan
publik. Apakah mungkin tujuan kebijakan di bidang pendidikan seperti
peningkatan kualitas peserta didik akan tercapai jika sekolah kekurangan
bahan ajar? Apakah mungkin program reorientasi masyarakat binaan
dapat berjalan jika lembaga pemasyarakatan kekurangan sarana
pendukung seperti sarana ibadah dan kamar sel? Hal ini menjadi dasar
pertimbangan bahwa fasilitas merupakan sumber daya yang penting
dalam proses implementasi kebijakan.

C. Watak (disposition)
Telah dijelaskan dalam variabel komunikasi bahwa ketidaksetujuan
yang diberikan oleh para implementor terhadap suatu kebijakan secara
langsung akan menimbulkan rintangan atau penyimpangan komunikasi
sehingga kebebasan bertindak para implementor tidak akan mungkin
dihindari. Eksistensi diskresi menjadi dasar pandangan bahwa watak,
sikap atau sifat dasar para implementor terhadap suatu kebijakan
dapat menjadi rintangan untuk mewujudkan implementasi kebijakan
(Edwards, 1980:89). Sehingga, watak dasar dari implementor turut
menyumbang kesuksesan dalam rantai implementasi kebijakan.
Edwards (1980:90) mengatakan bahwa banyak kebijakan masuk
dalam “zona ketidakacuhan” atau zone of indifference. Pandangan
tersebut terbentuk karena watak dari para implementor itu sendiri.
Kebijakan yang seharusnya dilaksanakan secara optimal, pada
kenyataannya dilaksanakan tidak dengan sepenuh hati. Menurut
Edwards, hal tersebut terjadi karena tidak adanya ikatan batin yang kuat
antara para pelaksana dan kebijakan tersebut. Begitu juga dengan Smith
(1973:207) yang menyatakan bahwa “Programs supported in a half-
hearted way often are never implemented with vigor”.
Watak akan menghalangi implementasi kebijakan ketika para
implementor menyatakan ketidaksetujuannya dengan materi muatan

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 83


suatu kebijakan. Ketidaksetujuan itu telah membuat mereka tidak
melaksanakan apa yang harus dilaksanakan. Untuk menyikapi hal
tersebut, beberapa pilihan dibuat. Salah satunya adalah saran bahwa
pemerintah memberikan insentif guna mendorong hasil guna dan
ketaatan para implementor. Teknik ini dirumuskan Edwards sebagai
bentuk tanggapan atas sulitnya merubah susunan keanggotaan dalam
birokrasi pemerintahan. Edwards (1980:107) mengatakan bahwa
“Changing the personnel in government bureaucracies is difficult ...
Another potential technique to deal with the problem of implementors’
dispositions is to alter the dispositions of existing implementors through
the manipulation of incentives.” Sehingga, menurut Edwards, jika
merubah komposisi birokrat adalah sulit, maka teknik yang digunakan
bisa melalui cara merubah watak para implementor yang ada melalui
manipulasi insentif. Insentif yang diberikan dapat berupa insentif pajak
atau kontrak yang menghasilkan keuntungan. Sayangnya, Edwards
meragukan usulan tersebut karena usulan tersebut dianggap belum jelas
apakah akan mempengaruhi kebutuhan pengawasan implementasi atau
pengaruh implementasi terhadap kepentingan organisasi si pembuat
kebijakan.
Penghargaan merupakan salah satu bentuk insentif. Penghargaan
dapat diberikan baik pada sektor publik maupun swasta. Pada sektor
publik, bagi cabang kekuasaan eksekutif, pemberian penghargaan
dinilai sulit daripada pemberian hukuman (Edwards, 1980:109). Selain
itu, pada semua tingkatan birokrasi pada pemerintahan, baik dalam
cabang kekuasaan eksekutif maupun yudisial, pemberian penghargaan
berupa kenaikan gaji sangatlah sulit untuk diberikan. Menurut Edwards
(1980:109-110), pemberian penghargaan pada sebuah unit secara
keseluruhan karena kinerjanya yang membanggakan tidak mungkin
dilakukan. Setiap orang tidak mungkin dipromosikan jabatannya dan
juga tidak mungkin menerima bonus. Sehingga Edwards berpendapat
bahwa untuk menghindari masalah, mereka tidak menerima keuntungan
apapun dari kinerja mereka. Pendapatnya ini didasarkan pada penelitian
Martha Derthick dalam karya ilmiahnya berjudul New Towns In-Town
(1972) yang membahas mengenai batasan-batasan dalam pemberian
penghargaan terhadap aparatur pemerintahan tingkat bawah.

84 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Selain sektor publik, sektor swasta juga berperanan penting dalam
mendukung implementasi kebijakan. Pihak swasta juga memiliki
tanggung jawab dalam proses pelaksanaan implementasi kebijakan
dan berhak menerima penghargaan. Mengenai hubungan antara
sektor publik dan sektor swasta, Edwards (1980:110) berpendapat
bahwa “... governments make more use of positive incentives to foster
private activity consistent with public goals.” Kemudian ia (1980:118)
mengatakan “... governments make greater use of positive incentives
to foster efficiency and compliance among implementors in the private
sector.” Maknanya, pemerintah memberikan insentif dengan tujuan
untuk mendukung efisiensi dan kepatuhan para implementor swasta
dari setiap aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan agar sesuai dan
berkesinambungan dengan tujuan kebijakan publik yang dirumuskan
oleh pemerintah. Sebagai contohnya, Edwards memberikan ilustrasi
mengenai kebijakan perlindungan lingkungan, yaitu dengan pemotongan
pajak para pengusaha yang membatasi produksi limbah dan mengolah
limbah hasil industri.
Masalah penting lainnya dari pemberian insentif yaitu mengenai
pengukuran kinerja. Edwards (1980:119) mengatakan bahwa jika hal ini
dinilai berhasil tanpa adanya rasa kepekaan terhadap penggantian tujuan
kebijakan dan tingkat kesulitan tugas yang dikerjakan, maka perubahan
tujuan kebijakan mungkin bisa terjadi. Pengukuran kriteria kesuksesan
sukar dilakukan karena tujuan-tujuan yang berbeda dan samar. Selain
itu lemahnya pengukuran hasil luaran dan arah implementasi yang
kurang jelas juga menyumbang kesukaran dalam menyusunan kriteria
kesuksesan implementasi kebijakan.

D. Struktur birokrasi (bureaucratic structure)


Menurut Edwards (1980:125), terdapat dua karakteristik penting
dalam birokrasi, yaitu: prosedur pelaksanaan baku atau standard
operating procedures (SOPs) dan fragmentasi atau fragmentation.
Dalam struktur birokrasi, SOP merupakan salah satu karakter yang
penting karena menurut Edwards, SOP berperan mengefisienkan waktu.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 85


SOP adalah kebiasaan sehari-hari atau biasa disebut sebagai rutinitas
yang memungkinkan para pejabat publik untuk membuat keputusan-
keputusan harian (Edwards, 1980:125). SOP diperlukan oleh setiap
lembaga, khususnya oleh para pelaksana kebijakan karena dengan
adanya SOP maka akan tercipta suatu keseragaman (uniformity) dalam
bertindak.
Di sisi lain, terdapat beberapa permasalahan mengenai SOP.
Edwards (1980:127) mengatakan bahwa “Although designed to make
implementing policies easier – at least in theory – SOPs can function
as obstacles to action.” Meskipun SOP dibentuk untuk mengefektifkan
waktu dan membuat kebijakan yang diimplementasikan menjadi lebih
mudah, pada praktiknya SOP dapat juga berperan sebagai hambatan
dalam pelaksanaannya. Hambatan-hambatan tersebut antara lain
(Edwards, 1980:125):
“They often inhibit changes in policy, waste resources, generate
undesired actions, impede coordination, confuse officials at lower
level jurisdictions, result in policies working at cross-purposes, and
cause some policies to fall between the cracks of organizational
boundaries.”

Dalam pandangan Edwards, SOP dan fragmentasi sering


menghalangi perubahan-perubahan dalam suatu kebijakan,
menghamburkan sumber daya, menghasilkan tindakan-tindakan yang
tidak diinginkan, menunda koordinasi, membingungkan para pejabar di
tingkat bawah, menghasilkan kebijakan yang berjalan pada tujuan yang
berbeda, dan menyebabkan beberapa kebijakan masuk ke antara celah-
celah dari batas-batas organisasi.
Selain SOP, karakteristik struktur birokrasi lainnya yaitu
fragmentation atau fragmentasi. Menurut Edwards (1980:134),
fragmentasi adalah “the dispersion of responsibility for a policy area
among several organizational units.” (pemecahan atau penyebaran
tanggung jawab untuk sebuah sektor kebijakan tertentu di antara
beberapa unit organisasi. Fragmentasi tanggung jawab memberikan

86 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


konsekuensi dalam implementasi kebijakan. Konsekuensi tersebut antara
lain menimbulkan penyebaran tanggung jawab yang pada akhirnya
akan mempersulit proses koordinasi (Edwards, 1980: 137). Selain itu,
penyebaran tanggung jawab juga mungkin akan menyebabkan dua atau
lebih lembaga pelaksana bekerja dengan tujuan yang saling bersilangan
(cross-purposes). Sehingga pada akhirnya, dibutuhkan waktu yang
relatif lama dan energi yang relatif besar bagi para pejabat publik untuk
bernegosiasi, melakukan tawar-menawar antara yang satu dengan yang
lainnya demi mencapai tujuan-tujuan kebijakan yang telah dirumuskan
(Edwards, 1980:140).
Menurut Edwards (1980:147), faktor-faktor yang mempengaruhi
kesuksesan implementasi kebijakan seperti yang telah diuraikan di atas,
saling berhubungan secara langsung secara timbal balik. Hubungan
timbal balik dari keempat variabel tersebut dapat dilihat pada bagan di
bawah ini.

Gambar 7.1 Dampak langsung dan tidak langsung terhadap


implementasi
Sumber: Edwards, George C., Implementing Public Policy, Washington D.C:
Congressional Quarterly Press, 1980, hlm.148.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 87


Jika diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia, model
yang dirumuskan oleh Edwards dapat dilihat seperti pada gambar
berikut ini.

Dalam implementasi kebijakan, komunikasi adalah faktor pertama


yang memegang peranan penting. Dalam komunikasi, segala perintah
atau instruksi yang disampaikan secara tidak jelas, tidak akurat, dan tidak
konsisten tentu akan direspon oleh diskresi atau kebijaksanaan dari para
implementor. Eksistensi diskresi yang terjadi akibat komunikasi yang
kurang baik akan memberikan peluang bagi faktor watak (dispositions)
dalam komunikasi. Faktor watak ini akan mempengaruhi dan
menentukan bagaimana mereka akan menggunakan diskresi tersebut.
Di sisi lain, menurut Edwards (1980:148), komunikasi yang terlalu
rinci kemungkinan akan mengurangi moral dan kemandirian para
implementor dalam struktur birokrasi. Hal itu mengakibatkan perubahan
tujuan dan penghamburan sumber daya seperti kemampuan para staf,
kreatifitas, dan daya adaptasi. Sehingga, Edwards menyimpulkan
bahwa hubungan antara komunikasi dan implementasi berlangsung
secara tidak langsung, yaitu melalui jaringan sumber daya, watak, dan
struktur birokrasi.
Sama halnya dengan komunikasi, sumber daya juga memainkan
perannya secara tidak langsung. Sumber daya mempengaruhi

88 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


komunikasi melalui beberapa cara. Selain itu, sumber daya juga
mempengaruhi watak dalam implementasi. Edwards (1980:149)
berpendapat, “If resources are plentiful, individuals and organizations
involved in implementation will have less need to compete among
themeselves to maintain their personal and organizational interests.”
Pendapat Edwards tersebut bermakna bahwa keadaan sumber daya yang
melimpah tentu membawa dampak negatif baik bagi para implementor
maupun untuk organisasinya. Mereka menjadi tidak bergairah untuk
saling berkompetisi guna mempertahankan kepentingan-kepentingan
mereka pribadi maupun kepentingan-kepentingan organisasi.
Dalam model di atas, watak para implementor juga mempengaruhi
bagaimana mereka menafsirkan informasi mengenai kebijakan yang
mereka terima dan bagaimana mereka memadukan informasi tersebut
untuk selanjutnya disebarkan sesuai dengan jaringan komunikasi.
Selain itu, watak juga mempengaruhi kehendak para pejabat dalam
menggunakan kewenangan yang mereka miliki mewakili implementasi
sebuah kebijakan. Dalam hubungannya dengan struktur birokrasi, watak
dianggap sebagai penyebab utama terjadinya fragmentasi birokrasi
karena unit-unit yang ada saling bahu-membahu memperebutkan
sumber daya yang tersedia dan otonomi. Watak para implementor juga
mempengaruhi struktur birokrasi dengan cara mendukung upaya adopsi
dan pemeliharaan SOP yang sesuai bagi para implementor namun tidak
produktif bagi implementasi (Edwards, 1980).
Telah diuraikan oleh Edwards (1980:137) pada bagian sebelumnya
bahwa fragmentasi dalam struktur birokrasi akan menimbulkan
penyebaran tanggung jawab yang pada akhirnya akan mempersulit
proses koordinasi. Seperti yang ia katakan, “fragmentation implies
diffusion of responsibility, and this makes coordination of policies
difficult”. Pertanyaannya, apakah korelasi antara fragmentasi dan
koordinasi? Ternyata, jawaban dari pertanyaan tersebut terletak
pada aspek komunikasi. Edwards (1980:149) mengatakan bahwa
“The fragmented bureaucratic structure of government increases
the probability of communication failures.” (struktur birokrasi
pemerintahan yang terfragmentasi atau terpecah-pecah meningkatkan

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 89


kemungkinan terjadinya kesalahan dalam komunikasi). Kemudian
Edwards berpendapat bahwa semakin banyak instruksi implementasi
yang diterima oleh orang-orang, semakin terbuka kesempatan
penyimpangan informasi. Oleh karena itu, pemecahan atau penyebaran
tanggung jawab akan membatasi kemampuan koordinasi pejabat tinggi
terhadap seluruh sumber daya yang berada dalam kewenangannya.
Keadaan seperti inilah yang dimaksud oleh Edwards sebagai upaya
menghamburkan sumber daya yang ada (waste resources). Selain itu,
fragmentasi dalam struktur birokrasi juga mempengaruhi watak para
pejabat yang bersangkutan. Edwards (1980:149) berpendapat bahwa
semakin banyak pendirian badan baru yang disertai dengan tanggung
jawab yang terbatas akan mendorong perkembangan sikap picik di
antara para birokrat. Pada akhirnya, hal ini akan menimbulkan konflik
dan kurangnya koordinasi.

90 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


BAB VIII
Kerangka Proses Implementasi
Daniel Mazmanian & Paul Sabatier (1983)
Daniel Mazmanian & Paul A. Sabatier dalam bukunya berjudul
Implementation and Public Policy (1983:4) menyatakan bahwa :
“..what actually happens after a program is enacted or formulated
is the subject of policy implementation: those events and activities
that occur after the issuing of authoritative public policy directives,
which include both the effort to administer and the substantive
impacts on people and events.”

M enurut Mazmanian & Sabatier, makna implementasi dapat


diinterpretasikan dengan cara memahami apa yang sebenarnya
terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau
dirumuskan. Singkatnya, fokus perhatian implementasi kebijakan
adalah kejadian-kejadian yang timbul sesudah disahkannya pedoman-
pedoman kebijakan publik yang mencakup usaha-usaha untuk
melaksanakan dan dampak yang nyata, baik terhadap masyarakat
maupun kejadian-kejadian.
Mazmanian & Sabatier (1983:20) membentuk sebuah kerangka kerja
konseptual dari proses implementasi kebijakan. Model Mazmanian dan
Sabatier disebut Model Kerangka Analisis Implementasi (a framework
for implementation analysis). Variabel krusial yang mempengaruhi
proses implementasi kebijakan dimulai dengan sebuah definisi formal:

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 91


“Implementation is the carrying out of a basic policy decision,
usually incorporated in a statute but which can also take the form
of important executive orders or court decisions. Ideally, that
decision identifies the problem(s) to be addressed, stipulates the
objective(s) to be pursued, and in a variety of ways, “structures”
the implementation process. The process normally runs through
a number of stages beginning with passage of the basic statute,
followed by the policy outputs (decisions) of the implementing
agencies, the compliance of target groups with those decisions, the
actual impacts – both intended and unintended – of those outputs,
the perceived impacts of agency decisions, and, finally, important
revisions (or attempted revisions) in the basic statute.”

Dalam pandangan mereka, keputusan kebijakan dasar mencakup


keputusan-keputusan yang mewakili dari tiga cabang kekuasaan,
yaitu: undang-undang (statute) yang mewakili lembaga legislatif,
keputusan-keputusan pemerintah (executive orders) yang mewakili
lembaga eksekutif, dan putusan-putusan pengadilan (court decisions)
yang dibentuk oleh lembaga yudikatif. Hal ini dapat dilihat dari
pendapat Mazmanian & Sabatier di atas yang memandang bahwa
implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya
dalam bentuk undang-undang. Namun, dapat pula berbentuk perintah
atau keputusan eksekutif penting atau putusan pengadilan. Lazimnya
keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi,
menyebutkan secara tegas tujuan yang ingin dicapai dan berbagai
cara untuk mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung
setelah sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawalin dengan tahapan
pengesahan undang-undang, kemudian diikuti oleh luaran kebijakan
dalam bentuk keputusan oleh badan (instansi) pelaksana, kepatuhan
kelompok sasaran terhadap keputusan-keputusan tersebut, dampak
nyata – baik yang dikehendaki atau yang tidak – dari luaran tersebut,
dampak yang dirasakan dari keputusan instansi tersebut, dan akhirnya
perbaikan-perbaikan penting (atau upaya untuk melakukan perbaikan-
perbaikan) terhadap undang-undang/peraturan yang bersangkutan.

92 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Mazmanian & Sabatier (1983:21) memandang bahwa pengenalan
variabel-variabel yang mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan suatu
kebijakan adalah hal yang sangat penting dalam analisis implementasi.
Variabel-variabel tersebut mencakup tiga kategori, yaitu: Tingkat
kemudahan pengerjaan suatu masalah yang sedang diselesaikan (the
tractability of the problems being addressed); kemampuan undang-
undang untuk menyusun secara baik proses implementasi (the ability of
the statute to structure favorably the implementation process); dan efek
jaringan dari jenis-jenis variabel politis pada keseimbangan dukungan
untuk tujuan berdasarkan undang-undang (the net effect of a variety of
political variables on the balance of support for statutory objectives).
Tiga kategori variabel tersebut dipandang sebagai variabel bebas
(independent variables). Sedangkan, tahapan-tahapan implementasi
dipandang sebagai variabel terikat (dependent variables).
1. Tingkat kemudahan suatu masalah
Variabel pertama yang terlibat dalam proses implementasi adalah
kemampuan pengerjaan suatu masalah. Variabel ini mencakup beberapa
aspek, seperti: aspek teknis dari suatu masalah (technical diffivulties);
aspek tingkah laku kelompok sasaran (diversity of target group
behavior); aspek jumlah populasi (target group as a percentage of the
population); dan aspek perubahan tingkah laku (extent of behavioral
change required).
Pertama, tingkat kesulitan teknis (technical aspect) mempengaruhi
tingkat kemudahan atau kesulitan suatu masalah untuk diselesaikan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa apapun jenis kebijakan yang
diformulasikan, dalam tahap implementasinya tentu akan melibatkan
hal-hal bersifat teknis yang berbeda-beda tingkat kesulitannya.
Banyak kebijakan yang dapat dijadikan contoh aspek ini. Contoh
pertama yaitu dalam kebijakan pelayanan pendaftaran badan hukum
secara daring melalui sistem administrasi badan hukum (sisminbakum)
pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tingkat kesulitan
utama dalam kebijakan ini yaitu berkaitan dengan aspek teknologi,
seperti pembangunan sistem elektronik yang aman dan andal,

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 93


pemeliharaan server dan database system, penyediaan jaringan internet
cepat (high-speed broadband network), dan lain sebagainya. Seperti
yang dijelaskan oleh Wahab (2016:180) bahwa tingkat keberhasilan
dari kebanyakan program akan dipengaruhi pula oleh tersedianya atau
telah dilembagakannya teknologi tertentu.
Bandingkan kesulitan-kesulitan teknis yang dihadapi dalam
implementasi kebijakan tersebut dengan kesulitan-kesulitan teknis
yang dihadapi oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat dalam implementasi kebijakan pengembangan daerah tertinggal
dan kawasan perbatasan. Bukan hanya kesulitan-kesulitan teknis yang
berkaitan dengan teknologi saja yang dihadapi oleh kebijakan ini,
melainkan juga kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan kondisi
geografis dan infrastruktur transportasi. Mari kita bayangkan kesulitan-
kesulitan seperti apa yang dihadapi para implementor untuk dapat
menyalurkan aliran listrik ke sebuah desa dekat perbatasan Indonesia-
Malaysia, tepatnya di Kecamatan Entikong, Kalimantan Barat.
Kedua, perbedaan tingkah laku kelompok sasaran (diversity of
target group behavior) turut menyumbang tingkat kemudahan atau
kesulitan dari suatu permasalahan. Semakin beragam perilaku yang
diatur atau semakin beragam pelayanan yang diberikan, semakin
sulit upaya untuk membuat peraturan yang tegas dan jelas (Wahab,
2016:181).
Aspek tingkah laku yang dirumuskan oleh Mazmanian dan Sabatier
ini berkaitan juga dengan gagasan mengenai watak (dispositions)
yang dinyatakan oleh George C. Edwards III dalam bukunya berjudul
Implementing Public Policy (1980). Edwards (1980:18) mengatakan
bahwa “Disagreement over policies can lead either to outright
blockage or distortion of communications as implementors exercise
their inevitable discretion in handling general decisions and orders.”
Maknanya, ketidaksetujuan yang diberikan oleh para implementor
terhadap suatu kebijakan secara langsung akan menimbulkan rintangan
atau penyimpangan komunikasi. Sehingga kebebasan bertindak para
implementor tidak akan mungkin dihindari dalam upaya melaksanakan

94 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


keputusan dan perintah tersebut. Lebih jauh lagi, Edwards (1980:89)
juga menekankan bahwa ketika perilaku atau pandangan para
implementor berbeda dengan perilaku atau pandangan para perumus
kebijakan, proses implementasi sebuah kebijakan menjadi lebih rumit.
Ketiga, jumlah kelompok sasaran sebagai bagian dari populasi
(target group as a percentage of the population) juga tidak dapat
dipandang sepele. Semakin kecil dan semakin jelas kelompok sasaran,
maka semakin besar juga peluang untuk memobilisasikan dukungan
politik terhadap suatu program. Semakin besar dukungan politik terhadap
suatu program, maka semakin terbuka peluang kesuksesan suatu
kebijakan (Wahab, 2016:181-182). Menurut pandangan Mazmanian
dan Sabatier, hubungan antara kelompok sasaran sebagai bagian dari
populasi dengan tingkat kemudahan atau kesulitan suatu masalah
yaitu berkaitan dengan proses komunikasi. Pendapat Mazmanian dan
Sabatier sejalan dengan gagasan Van Meter & Van Horn (1975:481)
yang menyoroti ketersediaan dukungan politik (the provision of political
support) dalam aktivitas penegakkan dan komunikasi antar organisasi
(interorganizational communication and enforcement activities).
Contohnya, kebijakan pemeliharaan lingkungan hidup yang
dilakukan melalui upaya pencadangan sumber daya alam. Untuk
melaksanakan pencadangan sumber daya alam, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup memberikan kesempatan kepada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi, maupun Pemerintah Kabupaten/Kota untuk
membangun Ruang Terbuka Hijau (RTH) paling sedikit 30% dari luas
pulau. Namun pengaruh kenaikan populasi perkotaan di Indonesia
sebanyak 6 kali lipat dari tahun 1970 sampai dengan tahun 2010 juga
harus dijadikan pertimbangan mudah atau tidaknya kebijakan tesebut
diimplementasikan (Kementerian PUPR, 2015:18).
Keempat, tingkat perubahan tingkah laku yang dikehendaki
(extent of behavioral change required) merupakan aspek terakhir yang
mempengaruhi tingkat kemudahan atau kesulitan suatu permasalahan
untuk diselesaikan. Menurut Wahab (2016:182), semakin besar jumlah

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 95


perubahan perilaku yang dikehendaki, semakin sukar memperoleh
implementasi yang berhasil. Bagaimanapun, perubahan-perubahan
tingkah laku seperti apa yang dikehendaki oleh para perumus
kebijakan akan membentuk persepsi mengenai mudah atau tidaknya
suatu kebijakan dilaksanakan. Selain itu, tidak dapat dipungkiri lagi
bahwa kesuksesan maupun kegagalan implementasi suatu kebijakan
dipengaruhi, salah satunya oleh perilaku para aktor pelaksana.
2. Kemampuan undang-undang untuk menyusun proses
implementasi dengan baik
Mazmanian & Sabatier (1983:25) berpendapat bahwa setiap
undang-undang, keputusan pengadilan, atau keputusan eksekutif dapat
menyusun proses implementasi melalui berbagai cara. Hal tersebut
dapat melalui gambaran mengenai tujuan hukum yang hendak dicapai,
pemilihan institusi pelaksana, penyediaan sumber daya (berkaitan
dengan hukum dan keuangan) untuk instansi yang bersangkutan,
memprediksi orientasi kebijakan para pejabat pada instansi tersebut,
dan melalui peraturan-peraturan yang memberikan kesempatan
kepada aktor-aktor di luar pemerintah untuk berpartisipasi dalam
proses implementasi. Variabel ini mencakup 7 (tujuh) hal yang harus
dipertimbangkan.
Pertama, tujuan hukum harus jelas dan konsisten. Tujuan yang
jelas dapat membantu aktor pelaksana baik di dalam maupun di luar
institusi pelaksana untuk mengidentifikasi ketidaksesuaian antara
luaran yang dihasilkan oleh institusi dan tujuan yang hendak dicapai.
Menurut Mazmanian & Sabatier (1983:25), kejelasan dan konsistensi
tujuan amat diperlukan dalam proses penilaian suatu program karena hal
tersebut selain berperan sebagai perintah yang jelas bagi para pejabat
pelaksana, juga sebagai pedoman bagi para pendukung tujuan tersebut.
Kedua, keabsahan teori sebab-akibat berperan dalam variabel ini.
Mazmanian & Sabatier berpendapat bahwa setiap perubahan-perubahan
besar pasti terdapat sebuah teori kausalitas yang melatarbelakangi
pencapaian tujuan-tujuan perubahan tersebut. Dalam hal ini, sebuah teori
kausalitas memerlukan pemahaman dasar mengenai hubungan antara

96 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


campur-tangan pemerintah dan pencapaian tujuan suatu program. Selain
itu, dalam teori kausalitas, pejabat-pejabat yang bertanggungjawab
dalam mengimplementasikan program harus memiliki kewenangan
terhadap hubungan-hubungan tersebut guna mencapai tujuan yang
dimaksud (Mazmanian & Sabatier, 1983).
Ketiga, alokasi sumber daya yang berhubungan dengan keuangan
dipandang sebagai hal yang tentu sangat penting. Menurut Mazmanian
& Sabatier, setiap program pelayanan untuk masyarakat memerlukan
alokasi sumber daya yang sesuai. Untuk menunjang pengalokasian
sumber daya keuangan yang baik, maka diperlukan tata cara dalam
mempekerjakan staf dan melakukan analisa teknis. Kedua hal tersebut
tentunya harus dilibatkan pada setiap tahap perkembangan peraturan
perundang-undangan, tahap administrasi perizinan suatu program, dan
tahap pengawasan terhadap kepatuhan (Mazmanian & Sabatier, 1983).
Keempat, keterpaduan hierarki di dalam dan di antara institusi
pelaksana adalah salah satu aspek yang harus diperhatikan. Mazmanian
& Sabatier (1983:27) mengungkapkan bahwa kesulitan dalam
koordinasi pada setiap lembaga dan di antara banyaknya lembaga
semi-otonom yang dilibatkan dalam proses implementasi merupakan
salah satu masalah penting yang perlu disikapi dengan bijak. Tingkat
keterpaduan hierarki di antara lembaga pelaksana ditentukan oleh dua
hal, yaitu : jumlah veto atau hal-hal perizinan (veto/clearance points)
yang dilibatkan dalam pencapaian tujuan-tujuan kebijakan dan sejauh
mana para pendukung tujuan-tujuan tersebut diberikan dorongan
dan sanksi yang sesuai guna memastikan persetujuan mereka yang
memiliki hak veto (Mazmanian & Sabatier, 1983). Yang dimaksud veto
dalam pandangan Mazmanian & Sabatier yaitu mencakup keadaan
atau kesempatan dimana seorang aktor memiliki kewenangan untuk
menghalangi pencapaian tujuan-tujuan kebijakan. Dalam menanggapi
hal tersebut, perlawanan dari para pihak yang memegang veto dapat
ditanggulangi jika undang-undang atau kebijakan dasar lainnya
menetapkan sanksi yang sesuai guna meyakinkan para aktor untuk
merubah perilaku mereka. Seperti yang dikatakan oleh Mazmanian &
Sabatier (1983:27):

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 97


“Resistance from specific veto points can, however be overcome
if the statute (or other basic policy decision) provides sufficient
sanctions and inducements to convince the actors (whether
implementing officials or target groups) to alter their behavior.”
Kelima, Undang-undang dapat mempengaruhi proses implementasi
kebijakan dengan cara menetapkan aturan-aturan formal yang berkaitan
dengan putusan badan pelaksana. Aturan-aturan tersebut berperan dalam
upaya menetapkan tujuan-tujuan kebijakan secara jelas dan konsisten.
Selain itu, aturan-aturan formal tersebut juga memiliki peran dalam
mengurangi penggunaan veto oleh para pihak dan insentif ketaatan
untuk para pihak. Dalam hal ini, Mazmanian & Sabatier (1983:27)
memberikan contoh, tanggung jawab untuk memberikan bukti yang
memuaskan dalam kasus perizinan dibebankan kepada para pihak yang
mengajukan dan para pejabat di lingkungan badan yang bersangkutan.
Hal itu diperlukan untuk membuat keputusan yang kiranya sesuai dengan
tujuan-tujuan kebijakan yang dirumuskan dalam keputusan-keputusan
badan pelaksana. Selain itu, Mazmanian & Sabatier menambahkan
bahwa ketika komisi yang beranggotakan banyak pihak dilibatkan,
maka undang-undang dapat menetapkan kelebihan-kelebihan yang
diperlukan untuk melaksanakan tindakan yang spesifik.
Keenam, komitmen para pejabat terhadap tujuan-tujuan yang
dirumuskan dalam undang-undang. Komitmen yang tinggi dari para
pejabat badan pelaksana untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan yang
telah ditetapkan akan membuka peluang kesuksesan dalam pencapaian
tujuan-tujuan tersebut, terlepas dari seberapa baik sebuah undang-
undang atau bentuk putusan kebijakan lainnya menyusun proses
keputusan formal. Seperti yang dikatakan Mazmanian & Sabatier
(1983:28), bahwa:
“No matter how well a statute of other basic policy decision
structures the formal decision process, the attainment of legal
objectives which seek to significantly modify target group
behavior is unlikely unless officials in the implementing agencies
are strongly committed to the achievement of those objectives.”

98 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Berkaitan dengan komitmen yang telah diuraikan seperti di atas,
maka proses pemilihan pejabat pelaksana dinilai menjadi proses yang
sangat penting. Namun, pada praktiknya bahwa pemilihan pejabat
pelaksana sering dipaksakan. Mazmanian & Sabatier (1983:28)
memberikan contoh misalnya pada dunia pendidikan, implementasi
sering diberlakukan untuk lembaga-lembaga yang nyatanya mungkin
bertentangan atau bahkan bermusuhan. Hal ini diperburuk oleh fakta
bahwa di setiap badan tersebut, jabatan penting paling banyak dipegang
oleh orang-orang yang memiliki perlindungan dalam pelayanan publik.
Sehingga, sulit rasanya bagi pembuat program untuk memberlakukan
implementasi ke lembaga dimana para pejabatnya berkomitmen terhadap
tujuan program yang pada kenyataannya dirumuskan berdasarkan
kasus-kasus yang terjadi mengenai kesalahan dalam mencapai tujuan
kebijakan.
Terakhir, akses formal untuk pihak-pihak luar. Yang dimaksud
dengan pihak-pihak luar (outsiders) dalam hal ini adalah pihak-pihak
di luar badan pelaksana. Mazmanian & Sabatier (1983:28) menyatakan
bahwa partisipasi aktif dari pihak-pihak di luar badan pelaksana adalah
salah satu faktor penting yang mempengaruhi implementasi. Sejauh
mana partisipasi tersebut dilaksanakan? Partisipasi tersebut ditafsirkan
sejauh mempengaruhi atau condong terhadap para pendukung tujuan-
tujuan kebijakan. Seperti yang dikatakan Mazmanian & Sabatier:
“Another factor affecting implementation is the extent to which
opportunities for participation by actors outside the implementing
agencies are biased toward supporters of legal objectives.”
Selain dapat mempengaruhi proses implementasi melalui
karakteristik badan-badan pelaksana, Undang-undang juga dapat
mempengaruhi partisipasi dua kelompok eksternal. Dua kelompok
tersebut yaitu: (a) kelompok sasaran dan/atau pihak-pihak lain yang
berpotensi menerima manfaat dari program yang dilaksanakan, dan (b)
lembaga-lembaga yang mewakili kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Mengenai hal ini, Mazmanian & Sabatier memberikan contoh
dalam bidang hukum. Kelompok sasaran tidak memiliki permasalahan
mengenai kedudukan hukum maupun kekurangan sumber daya

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 99


keuangan untuk membahas kasus mereka di pengadilan jika mereka
merasa tidak senang terhadap keputusan-keputusan badan pelaksana.
Sebaliknya, para pihak yang diuntungkan oleh peraturan perundang-
undangan tentang perlindungan konsumen maupun lingkungan secara
personal tidak memiliki kepentingan langsung untuk memperoleh
kedudukan hukum dan untuk menanggung beban biaya pengajuan
petisi melawan keputusan lembaga yang bersangkutan ke lembaga
peradilan maupun lembaga legislatif. Dengan demikian, dari contoh
tersebut kemudian Mazmanian & Sabatier menyimpulkan bahwa:
“... statutes which permit citizens to participate as formal
intervenors in agency proceedings and as petitioners in judicial
review (in mandamus actions requiring agency officials to comply
with statutory provisions) are more likely to have their objectives
atteined.”
Peraturan perundang-undangan yang memperbolehkan warga
negara untuk berpartisipasi aktif sebagai pihak yang turut campur-
tangan dalam cara kerja lembaga dan sebagai pemohon uji materiil
peraturan perundang-undangan memungkinkan memiliki tujuan-tujuan
yang tercapai.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat dirangkum secara
singkat bahwa kebijakan yang dirumuskan secara teliti dapat
mempengaruhi sejauh mana tujuan-tujuannya tercapai. Kesuksesan
dalam mencapai tujuan tersebut akan dipengaruhi oleh beberapa
kondisi, yaitu jika: (a) tujuan hukum jelas dan pasti; (b) peraturan
perundang-undangan berisi teori kausalitas; (c) peraturan perundang-
undangan mengatur mengenai pendanaan untuk lembaga pelaksana;
(d) terdapat sedikit poin veto dalam proses implementasi dan sanksi
atau dorongan diatur untuk menanggulangi perlawanan; (e) aturan
mengenai keputusan badan pelaksana ditujukan untuk pencapaian
tujuan berdasarkan peraturan perundang-undangan; (f) implementasi
disahkan untuk badan-badan yang mendukung tujuan-tujuan undang-
undang dan akan diberikan status sebagai program prioritas tinggi;
dan (g) partisipasi pihak luar didorong melalui kedudukan hukum dan
ketentuan-ketentuan untuk kajian evaluasi yang independen.

100 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


3. Variabel selain undang-undang yang mempengaruhi
implementasi
Menurut Mazmanian & Sabatier (1983:30), selain daripada
variabel undang-undang, implementasi memiliki dinamika yang
diarahkan oleh dua proses penting, yaitu: (1) kebutuhan bagi setiap
program yang mencoba untuk merubah perilaku guna menerima
masukan seperti dukungan politis berkala, jika hal tersebut ditujukan
untuk menanggulangi penundaan yang terlibat dalam melihat
kerjasama di antara banyak orang, banyak diantaranya merasa bahwa
kepentingannya dipengaruhi oleh keberhasilan implementasi tujuan
berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan (2) dampak dari
perubahan-perubahan pada keadaan-keadaan sosial, ekonomi, dan
teknologi mengenai dukungan terhadap tujuan-tujuan tersebut di antara
masyarakat umum, kelompok-kelompok kepentingan, dan pihak-pihak
yang memiliki wewenang.
Terdapat beberapa bagian besar variabel non-hukum yang
mempengaruhi luaran kebijakan dari badan pelaksana, kepatuhan
kelompok sasaran terhadap keputusan, dan tentunya pencapaian
tujuan-tujuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
(Mazmanian & Sabatier, 1983).
Pertama, kondisi sosial, ekonomi, dan teknologi. Keadaan-
keadaan sosial, ekonomi dan teknologi yang selalu berubah tentunya
akan mempengaruhi pencapaian tujuan suatu kebijakan. Mazmanian
& Sabatier mengklasifikasikan empat cara dimana perbedaan keadaan-
keadaan tersebut akan mempengaruhi dukungan politik dalam
pelaksanaan implementasi. Cara pertama, perbedaan keadaan sosial
dan ekonomi dapat mempengaruhi tanggapan mengenai kepentingan
relatif tentang masalah yang diselesaikan oleh undang-undang atau
bentuk keputusan dasar lainnya. Cara kedua, keberhasilan implementasi
dibuat lebih sulit oleh perbedaan-perbedaan lokal pada keadaan
sosial ekonomi dan sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya, pada
tingkat keseriusan masalah yang sedang diselesaikan. Cara ketiga,
dukungan untuk peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk
perlindungan lingkungan atau konsumen atau keselamatan pekerja

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 101


terlihat saling berhubungan dengan sumber daya keuangan kelompok
sasaran dan kepentingan-kepentingan relatif kelompok pada sistem
ekonomi keseluruhan. Cara terakhir, dalam masalah kebijakan yanga
secara langsung berhubungan dengan teknologi, perubahan-perubahan
atau kurangnya perubahan-perubahan pada keadaan teknologi yang
terjadi setiap waktu yang tentunya penting sekali.
Kedua, dukungan masyarakat. Mazmanian & Sabatier
berpandangan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi setiap waktu
dan yurisdiksi dalam dukungan masyarakat terhadap tujuan-tujuan
kebijakan adalah variabel kedua yang mempengaruhi implementasi.
Dalam hal ini, kedua ahli itu mengutip pemikiran Anthony Downs yang
mengatakan bahwa perhatian masyarakat terhadap sekian banyaknya
masalah kebijakan cenderung mengikuti pola dimana kesadaran
awal dari perhatian publik diikuti oleh sebuah penurunan dukungan
secara luas karena orang-orang menjadi peduli terhadap biaya dalam
memecahkan permasalahan. Selain itu, masyarakat umum dapat
mempengaruhi proses implementasi melalui tiga cara, yakni:
a. Opini publik (dan interaksinya dengan media massa) dapat
mempengaruhi agenda politik, contohnya permasalahan-
permasalahan yang didiskusikan oleh para legislator.
b. Terdapat bukti yang substansial bahwa para legislator dipengaruhi
oleh para pemilihnya pada permasalahan yang menonjol dari para
pemilih tersebut, khususnya ketika opini dalam kota yang relatif
seragam.
c. Proses pemungutan opini publik sering digunakan oleh para
administrator dan pihak yang berwenang untuk mendukung
kebijakan tertentu.
Ketiga, sikap dan sumber daya dari kelompok-kelompok pemilih.
Variabel ini mempengaruhi proses implementasi. Dukungan masyarakat
terhadap suatu program akan selalu menurun setiap waktunya. Ini
merupakan hal dilematis yang dihadapi oleh para pendukung setiap
program yang mencoba untuk merubah perilaku suatu kelompok. Tugas
penting dan sangat bermasalah yang dihadapi oleh para pendukung

102 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


adalah menerjemahkan dukungan luas yang dibantu melewati proses
pembentukan peraturan perundang-undangan ke dalam organisasi
melalui keanggotaan, kepaduan, dan keahlian penting untuk selanjutnya
diterima sebagai peserta yang sah dan penting dalam keputusan
kebijakan, baik oleh pejabat pelaksana, pejabat legislatif maupun
pejabat eksekutif yang berwenang.
Dalam konteks sikap dan sumber daya dari kelompok-kelompok
pemilih. Mazmanian & Sabatier memandang bahwa kelompok-
kelompok pemilih tersebut berinteraksi dengan variabel-variabel lain
dalam berbagai cara.
Cara yang pertama, keanggotaan dan sumber daya mereka
kemungkinan selalu berubah sesuai dengan dukungan publik terhadap
kedudukan mereka dan jumlah perubahan perilaku yang diamanatkan
oleh tujuan dari undang-undang. Sebagaimana yang dinyatakan oleh
mereka bahwa “...their membership and financial resources are likely
to vary according to public support for their position and the amount of
behavioral change mandated by statutory objectives.”
Cara yang kedua, kelompok-kelompok pemilih tersebut dapat
ikut campur tangan secara langsung terhadap keputusan-keputusan
yang dikeluarkan oleh badan pelaksana melalui cara mengomentari
keputusan-keputusan yang diajukan dan melalui menambah sumber
daya badan pelaksana tersebut. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan
oleh mereka bahwa “...constituency groups can intervene directly in
the decisions of the implementing agencies by commenting on proposed
decisions and by supplementing the agency’s resources.”
Cara yang terakhir, kelompok-kelompok pemilih memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan dari badan pelaksana
secara tidak langsung melalui penerbitan kajian kritis mengenai kinerja
badan tersebut, melalui kegiatan kampanye opini publik, dan juga
dapat melalui proses banding yang diajukan kepada lembaga legislatif
maupun lembaga kehakiman. Sebagaimana dikatakan oleh mereka
bahwa:

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 103


“...such groups have the capacity to affect agency policy indirectly
through publishing studies critical of the agency’s performance,
throught public opinion campaigns, and through appeals to the
agency’s legislative and judicial sovereigns.”
Keempat, dukungan dari pihak yang berkuasa. Penguasa
menyediakan dukungan terhadap badan pelaksana kebijakan dengan
maksud untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan yang telah ditetapkan
menurut undang-undang. Menurut Mazmanian & Sabatier (1983:33),
bentuk dukungan tersebut dapat disalurkan melalui: (a) jumlah dan arah
keberlangsungan interaksi; (b) penyediaan sumber daya keuangan; dan
(c) tingkatan amanat hukum yang baru maupun yang bertentangan.
Yang dimaksud penguasa dalam hal ini adalah institusi-institusi yang
mengontrol sumber daya keuangan dan hukumnya. Untuk lebih jelas
lagi, Mazmanian & Sabatier mengelompokkan penguasa tersebut ke
dalam beberapa bentuk, seperti: pembuat undang-undang (secara khusus
dalam hal kebijakan yang relevan dan komite fiskal), kepala eksekutif,
pengadilan, dan badan-badan lainnya yang superior berdasarkan tingkat
hierarkinya.
Sistem pertanggungjawaban merupakan salah satu kesulitan
terbesar yang dihadapi oleh badan pelaksana dalam proses implementasi
program-program antar pemerintahan. Badan-badan pelaksana sering
dihadapkan dengan sistem pertanggungjawaban dimana mereka harus
bertanggungjawab terhadap penguasa berbeda yang berkeinginan
mencapai kebijakan yang berbeda pula. Di sisi lain, pihak yang berkuasa
dapat mempengaruhi kebijakan yang hendak dicapai oleh badan
pelaksana melalui interaksi berkelanjutan nonformal dan perubahan-
perubahan formal pada sumber daya keuangan dan hukum dari badan
tersebut (Mazmanian & Sabatier, 1983).
Kelima, komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat
pelaksana. Variabel ini merupakan variabel terakhir dari variabel
di luar undang-undang yang mempengaruhi proses implementasi
menurut Mazmanian & Sabatier. Menurut mereka, variabel ini terdiri
dari dua komponen: arahan (direction) dan peringkat (ranking) tujuan-
tujuan tersebut dalam agenda prioritas para pejabat pelaksana, dan

104 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


kemampuan para pejabat itu untuk mewujudkan prioritas-prioritas
tersebut. Pentingnya sikap dan kemampuan akan berubah dengan
jumlah diskresi yang dihasilkan oleh para administrator (Mazmanian
& Sabatier, 1983).
Komitmen terhadap tujuan undang-undang akan menghasilkan
sedikit pencapaian, kecuali kalau para pejabat pelaksana menunjukkan
kemampuan dalam menggunakan sumber daya yang tersedia hingga
akhir proses. Mazmanian & Sabatier (1983:35) menyatakan bahwa
kemampuan “kepemimpinan” mencakup baik unsur politis dan
manajerial. Sehingga, hal ini ditujukan kepada mereka yang memiliki
kemampuan mengembangkan hubungan kerja yang baik dengan para
penguasa di sub sistem badan, meyakinkan pihak lawan dan kelompok
sasaran bahwa mereka sedang diperlakukan adil, mengerahkan dukungan
terpendam di antara jumlah para pemilih, menyajikan secara efektif
kasus-kasus yang dimiliki oleh badan pelaksana melalui media masa.
Dengan demikian, pada akhir bagian Mazmanian & Sabatier (1983:35)
menyatakan bahwa kemampuan kepemimpinan tetap menjadi konsep
yang sukar dipahami. Ketika semua orang menganggap bahwa hal
tersebut penting, sifatnya selalu berubah dari satu keadaan ke keadaan
lain. Oleh karena itu, kedua ahli itu menganggap bahwa sangat sukar
sekali memprediksi apakah individu-individu tertentu akan melebihi
apa yang dapat diharapkan secara logis dalam memanfaatkan sumber
daya yang tersedia untuk mencapai tujuan-tujuan program.
4. Tahapan-tahapan dalam proses implementasi
Mazmanian & Sabatier menempatkan tahapan-tahapan (stages)
dalam proses implementasi sebagai variabel terikat. (dependent
variables). Dalam proses implementasi, tahapan-tahapan ini terdiri dari
beberapa tingkat, yaitu: (1) hasil luaran kebijakan (keputusan-keputusan)
badan pelaksana; (2) kepatuhan kelompok sasaran terhadap keputusan-
keputusan tersebut; (3) dampak-dampak yang sebenarnya terjadi dari
keputusan-keputusan lembaga tersebut; (4) dampak-dampak yang
dirasakan dari keputusan-keputusan tersebut; dan (5) penilaian sistem
politik dari suatu undang-undang dalam hal perubahan-perubahan
utama pada materi muatannya (Mazmanian & Sabatier, 1983).

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 105


Masing-masing variabel bersifat saling mempengaruhi dan saling
berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk suatu sistem yang
berkelanjutan. Hasil luaran kebijakan (keputusan-keputusan) badan
pelaksana akan mempengaruhi bagaimana tingkat kepatuhan kelompok
sasaran terhadap keputusan-keputusan tersebut. Tingkat kepatuhan dari
kelompok sasaran juga pada tahap selanjutnya akan mempengaruhi
dampak-dampak yang terjadi jika keputusan-keputusan lembaga
tersebut diimplementasikan, dan begitu seterusnya.
Pada tahap pertama, tujuan yang dirumuskan dalam undang-
undang harus ditafsirkan ke dalam materi muatan undang-undang itu
sendiri. Proses ini memerlukan usaha nyata dari pada pejabat pada
salah satu atau lebih badan pelaksana untuk menyediakan analisa
teknis mengenai cara dimana aturan-aturan umum diberlakukan
terhadap keadaan sebenarnya secara berturut-turut. Tahap ini akan
mempengaruhi tahap selanjutnya, yaitu kepatuhan kelompok sasaran
terhadap hasil luaran kebijakan. Hasil studi Mazmanian & Sabatier
menunjukkan bahwa pada praktiknya, kepatuhan perilaku secara umum
berkaitan dengan penilaian individu mengenai biaya dan manfaat
relatif mengikuti perintah hukum. Kemudian, menurut pandangan
mereka bahwa kemungkinan mengenai sanksi-sanksi substansial akan
mengikuti ketidakpatuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
jenis-jenis dan ukuran sanksi yang diatur oleh undang-undang; sumber
daya yang tersedia untuk badan-badan pelaksana guna mengawasi
ketidakpatuhan itu; kemampuan kelompok-kelompok pemilih dalam
menambah sumber daya lembaga untuk mengawasi kepatuhan dan
melaksanakan tindakan penegakkan; komitmen para pejabat lembaga
yang bersangkutan dalam menuntut ketidakpatuhan; dan banyaknya
poin veto yang diajukan dalam tindakan penegakkan (Mazmanian &
Sabatier, 1983).
Tahapan mengenai kepatuhan kelompok target akan mempengaruhi
dampak nyata dari hasil luaran kebijakan. Menurut Mazmanian
& Sabatier (1983:37), jelas bahwa sebuah undang-undang akan
memperoleh dampak-dampak yang diharapkan jika memenuhi beberapa
kondisi, antara lain:

106 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


(a) The policy outputs of the implementing agencies are consistent with
statutory objectives; (hasil luaran kebijakan yang dikeluarkan oleh
badan pelaksana bersifat konsisten dengan tujuan undang-undang);
(b) The ultimate target groups comply with those outputs; (kelompok
target utama mengikuti hasil luaran tersebut);
(c) There is no serious “subversion” of policy outputs or impacts by
conflicting statutes; (tidak terdapat “subversi” serius terhadap hasil
luaran kebijakan atau dampak-dampak dengan undang-undang
yang saling bertentangan); dan
(d) The statute incorporates and adequate causal theory linking
behavioral change in target groups to the achievement of mandated
goals. (Undang-undang menggabungkan teori-teori kausalitas
yang berhubungan dengan perubahan perilaku dalam kelompok-
kelompok target dengan pencapaian tujuan-tujuan yang telah
diamanatkan.
Dampak nyata dari hasil luaran kebijakan akan mempengaruhi
tahapan selanjutnya, yaitu dampak-dampak yang dirasakan dari
hasil luaran kebijakan yang diimplementasikan. Pada waktu analisis
kebijakan dan para administrator mungkin merasa tertarik pada dampak
nyata dari hasil luaran kebijakan yang dikeluarkan oleh badan pelaksana,
Mazmanian & Sabatier justru menganggap bahwa hal tersebut sangat
sulit untuk diukur melalui cara yang komprehensif dan sistematis.
Sebagai respon, mereka menyatakan bahwa “...what may be of most
concern in the evaluation of the program by the political system are the
impacts perceived by constituency groups and sovereigns in the policy
subsystem.” Maknanya, mereka berpendapat bahwa apa yang mungkin
menjadi perhatian utama dalam masalah penilaian suatu program oleh
sistem politik adalah dampak-dampak yang dirasakan oleh kelompok-
kelompok pemilih dan para penguasa pada sub sistem politik. Selain
itu, mereka berpendirian bahwa dampak-dampak yang dirasakan akan
menjadi sebuah fungsi dari dampak-dampak nyata selama dipisahkan
oleh nilai-nilai dari orang-orang yang merasakannya dampak tersebut.
Dengan demikian, dalam rangka menjaga teori ketidaksesuaian
kognitif (cognitive dissonance theory), menurut Mazmanian & Sabatier

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 107


(1983:38), seorang aktor yang tidak menerima dampak-dampak ini
akan melihat dampak-dampak tersebut sebagai sebuah ketidaksesuaian
dengan tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam undang-undang. Selain
itu, mereka juga akan memandang undang-undang sebagai sesuatu
yang tidak sah. Terakhir, mereka juga akan mempertanyakan keabsahan
data mengenai dampak-dampak ini.
Terakhir, dampak-dampak yang dirasakan akan mempengaruhi
perubahan-perubahan mendasar dalam undang-undang. Pada tahap
akhir, Mazmanian & Sabatier (1983:38) berpandangan bahwa isi suatu
undang-undang atau bentuk kebijakan dasar lainnya harus ditinjau
sebagai titik awal untuk sebuah analisis implementasi, sehingga
agenda perubahan atau perumusan kembali undang-undang tersebut
harus dilihat sebagai tahapan puncak dari proses ini meskipun proses
tersebut mungkin terus terjadi berulang kali. Selain itu, jumlah dan
arah perubahan akan menjadi sebuah fungsi dari dampak-dampak yang
dirasakan terhadap aktivitas-aktivitas terdahulu badan-badan tersebut.
Selain menjadi sebuah fungsi, jumlah dan arah perubahan tersebut juga
akan menjadi: sebuah perubahan-perubahan pada prioritas kebijakan di
antara masyarakat umum dan para elit politik sebagai sebuah hasil dari
perubahan keadaan-keadaan sosial dan ekonomi; sumber daya politik
dari kelompok-kelompok yang berkompetensi; dan menjadi kedudukan
yang strategis bagi para penguasa yang mendukung maupun yang
menentang (Mazmanian & Sabatier, 1983).
Seluruh variabel-variabel yang mempengaruhi proses kebijakan
menurut Mazmanian & Sabatier telah diuraikan. Selain mengenai
variabel, kedua ahli tersebut juga menegaskan bahwa implementasi
merupakan sebuah proses yang dinamis, yang selalu bergerak,
berkesinambungan, dan saling mempengaruhi. Seluruh variabel beserta
dengan hubungannya satu dengan yang lainnya dapat dilihat pada
bagan berikut.

108 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Gambar 8.1 Variabel-variabel yang terlibat dalam proses implementasi
Sumber: Mazmanian, Daniel & Sabatier, Paul., Implementation and
Public Policy, Glenview: Scott, Foresmann and Company, 1983,
hlm.22.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 109


Dalam rangka memperjelas makna dari model Variabel-variabel
yang terlibat dalam proses implementasi yang dirumuskan oleh
Mazmanian dan Sabatier, maka dengan ini Penulis merumuskan
kembali model tersebut secara bebas ke dalam bahasa Indonesia seperti
yang terdapat pada bagan di bawah ini.

110 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Gambar 8.2 Proses dinamis variabel-variabel yang mempengaruhi
implementasi
Sumber: Mazmanian, Daniel & Sabatier, Paul., Implementation and
Public Policy, Glenview: Scott, Foresmann and Company, 1983,
hlm.40.

Proses dinamis variabel-variabel yang mempengaruhi implementasi


jika diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia, maka akan
terlihat jelas seperti pada gambar di bawah ini.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 111


Selain menguraikan mengenai variabel-variabel yang terlibat
dalam proses implementasi, Mazmanian & Sabatier juga memberikan
pendapatnya mengenai enam keadaan dalam implementasi yang
efektif. Mereka mengidentifikasi daftar faktor-faktor yang harus
dipertimbangkan. Menurut Mazmanian & Sabatier (1983:41), variabel
undang-undang dan politik dapat dikenali ke dalam 6 keadaan-keadaan

112 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


implementasi yang berhasil guna. Singkatnya, undang-undang atau
bentuk kebijakan dasar lainnya (seperti perintah eksekutif dan putusan
pengadilan) akan mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan, jika:
1. The enabling legislation or other legal directive mandates policy
objectives which are clear and consistent or at least provides
substantive criteria for resolving goal conflicts. (Peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau perintah hukum lainnya
mengamanatkan tujuan kebijakan yang jelas dan konsisten atau
paling tidak mengatur kriteria yang kokoh guna menyelesaikan
konflik-konflik tujuan.);
2. The enabling legislation incorporates a sound theory identifying
the principal factors and causal linkages affecting policy objectives
and gives implementing officials sufficient jurisdiction over target
groups and other points of leverage to attain, at least potentially,
the desired goals. (Peraturan perundang-undangan yang berlaku
menggabungkan teori suara yang mengidentifikasi faktor-faktor
dasar dan hubungan sebab-akibat yang mempengaruhi tujuan-
tujuan kebijakan, dan memberikan kewenangan yang sesuai
kepada para pejabat pelaksana terhadap kelompok target dan poin-
poin pengaruh lainnya guna mencapai, paling tidak tujuan-tujuan
yang diinginkan.);
3. The enabling legislation structures the implementation process
so as to maximize the probability that implementing officials and
target groups will perform as desired. This involves assignment
to sympathetic agencies with adequate hierarchical integration,
supportive decision rules, sufficient financial resources, and
adequate access to supporters. (Peraturan perundang-undangan
yang berlaku menyusun proses implementasi sedemikian rupa
guna memaksimalkan kemungkinan para pejabar pelaksana dan
kelompok-kelompok sasaran akan melakukan sebagaimana yang
diinginkan. Hal ini mencakup tugas untuk badan-badan yang
bersimpati dengan keterpaduan hierarki yang memadai, aturan-
aturan keputusan yang mendukung, sumber daya keuangan yang
cukup, dan akses yang memadai untuk para pendukung.);

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 113


4. The leaders of the implementing agency possess substantial
managerial and political skill and are committed to statutory goals.
(Para pemimpin dari badan-badan pelaksana memiliki kemampuan
manajerial dan politik yang kuat dan ditujukan untuk tujuan-tujuan
yang dirumuskan dalam undang-undang.);
5. The program is actively supported by organized constituency
groups and by a few key legislators (or a chief executive) throughout
the implementation process, with the courts being neutral or
supportive. (Program secara aktif didukung oleh kelompok-
kelompok pemilih yang terorganisir dan oleh sedikitnya para
perumus undang-undang (atau seorang ketua eksekutif) sepanjang
proses implementasi, dengan kedudukan pengadilan-pengadilan
yang netral atau mendukung.);
6. The relative priority of statutory objectives is not undermined over
time by the emergence of conflicting public policies or by changes
in relevant socioeconomic conditions which weaken the statute’s
causal theory or political support. (Prioritas relatif dari tujuan-
tujuan undang-undang tidak dikurangi sepanjang waktu oleh
kepentingan kebijakan publik yang saling bertentangan atau oleh
perubahan-perubahan pada keadaan-keadaan sosial ekonomi yang
melemahkan teori sebab-akibat dari undang-undang tersbeut atau
dukungan politik.).

Menurut Mazmanian & Sabatier (1983:42), pada praktiknya


keenam keadaan tersebut sangat tidak mungkin untuk dicapai selama
periode implementasi awal untuk semua program yang mencoba untuk
merubah perilaku yang kuat. Para perumus kebijakan terkadang hanya
memiliki pemahaman yang sedikit mengenai faktor-faktor sebab-
akibat yang mempengaruhi tujuan-tujuan program. Tujuan yang saling
bertentangan dan banyaknya veto pada badan pembuat undang-undang
sering menghasilkan tujuan-tujuan kebijakan yang bermakna ganda
(ambiguous objectives), sumber daya yang tidak memadai, atau tugas
terhadap satu atau lebih badan pelaksana yang tidak peduli terhadap
tujuan-tujuan program (Mazmanian & Sabatier, 1983).

114 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


BAB IX
Tiga Kegiatan Implementasi
Charles O. Jones (1984)

C harles O. Jones dalam bukunya berjudul An Introduction to the


Study of Public Policy mengkaji mengenai implementasi program.
Pandangan pertama Jones mengenai implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh Eugene Bardach dalam bukunya yang berjudul The
Implementation Game: What Happens after a Bill becomes a Law
(1977:3) yang menyatakan bahwa :
“It is hard enough to design public policies and programs that
look good on paper. It is harder still to formulate them in words
and slogans that resonate pleasingly in the ears of political leaders
and the constituencies to which they are responsive. And it is
excruciatingly hard to implement them in a way that pleases anyone
at all, including the supposed beneficiaries or clients.”

Makna eksplisit dalam pernyataan Bardach di atas yakni bahwa


membuat sebuah program dan kebijakan umum yang terlihat bagus
di atas kertas merupakan hal yang sulit. Merumuskannya dalam kata-
kata dan slogan-slogan yang enak didengar oleh para pemimpin dan
para pemilih yang mendengarkannya merupakan proses yang lebih
sulit. Proses yang paling sulit adalah melaksanakan program yang telah
dirumuskan tersebut dalam bentuk dan cara yang memuaskan semua
orang, termasuk mereka, para pihak yang menerima dampaknya atau
klien.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 115


Melaksanakan suatu program atau kebijakan bukan merupakan hal
yang sederhana. Menurut Jones (1984:165), implementasi merupakan
sebuah proses dalam mendapatkan sumber daya tambahan sehingga
dapat mengukur hal apa saja yang harusnya dikerjakan. Lebih jauh
lagi, Jones berpendapat bahwa implementasi bersifat sangat interaktif
dengan aktivitas-aktivitas yang terjadi sebelumnya. Sifat interaktif ini
dinilai penting bagi konsep implementasi secara keseluruhan. Dengan
mengutip pernyataan Walter Williams dalam bukunya yang berjudul
Special Issue on Implementation : Editor’s Comment, Policy Analysis
tahun 1975 (dalam Jones, 1984:165) yang menyatakan bahwa:
“The most pressing implementation problem is that of moving from
a decision to operations in such a way that what is put into place
bears a reasonable resemblance to the decision one’s functioning
well in its institutional environment. The past contains few clearer
message than that of the difficulty of bridging the gap between
policy decisions and workable field operations.”
(Permasalahan yang paling penting dalam implementasi adalah
hal memindahkan suatu keputusan ke dalam kegiatan atau
pengoperasian dengan cara tertentu. Dan cara tersebut adalah
bahwa apa yang dilakukan memiliki kemiripan nalar dengan
keputusan tersebut, serta berfungsi dengan baik di dalam lingkup
lembaganya. Hal terakhir mengandung pesan yang lebih jelas jika
dibandingkan dengan kesulitan dalam menjebatani jurang pemisah
antara keputusan kebijakan dan bidang kegiatan yang dapat
dikerjakan.),
Jones kemudian mempertanyakan hakikat sebenarnya mengenai
program atau keputusan.
Berdasarkan analisa yang dilakukan Jones terhadap pemikiran
Williams dan pemikiran Pressman dan Wildavsky, Jones kemudian
menawarkan suatu definisi kongkrit tentang implementasi. Menurut
Jones (1984:166), implementasi adalah seperangkat aktivitas yang
ditujukan untuk menempatkan sebuah program menjadi pengaruh (set
of activities directed toward putting a program into effect). Kegiatan-

116 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


kegiatan tersebut diklasifikasikan menjadi tiga pilar aktivitas, yaitu:
Organisasi (organization), penafsiran (interpretation), dan penerapan
(application).
1. Organisasi
Meskipun Brian Chapman dalam essainya berjudul Facts of
Organized Life (1961) menyatakan bahwa organisasi di dalam
pemerintahan identik dengan birokrasi, dan birokrasi identik dengan
kejahatan dan dosa, Jones memiliki pendapat lain. Jones (1984:166)
berpendapat bahwa pilar organisasi merupakah pilar pembentukan dan
penataan kembali sumber daya, unit-unit dan metode untuk menjadikan
program berjalan. Selain itu, organisasi diperlukan agar pekerjaan dapat
dilaksanakan dan masalah dapat segera diselesaikan. Perkembangan
masalah yang semakin hari semakin rumit, membuat pemerintah
menjadi semakin rumit dalam hal mengatasinya. Sehingga, Jones
menyarankan untuk berusaha lebih memahami bagaimana cara-cara
pemerintah dalam mengorganisasi untuk memecahkan permasalahan
yang dihadapi oleh masyarakat.
Pandangan Jones terhadap birokrasi dipengaruhi oleh pandangan
Max Weber dalam tulisan ilmiahnya berjudul Essays in Sociology
(1948). Weber (dalam Jones, 1984:170) memandang bahwa birokrasi
sebagai alat untuk mengatasi kesulitan dan tuntutan tugas pemerintahan
modern (bureaucracy as the means for accomplishing the difficult and
demanding tasks of modern government). Untuk lebih jelas mengenai
birokrasi, Weber (dalam Jones, 1984:171) kemudian memaparkan tiga
peran birokrasi yang pada umumnya ditata oleh aturan-aturan hukum
dan administratif, antara lain seperti:
a. The regular activities required for the purposes of the
bureaucratically governed structure are distributed in a fixed way
as official duties. (Kegiatan-kegiatan biasa yang diperlukan untuk
mencapai tujuan struktur yang diatur secara birokratis disalurkan
dalam sebuah cara yang telah ditetapkan sebagai kewajiban-
kewajiban resmi);

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 117


b. The authority to give the commands required for the discharge of
these duties is distributed in a stable way and is strictly delimited
by rules concerning the coercive means, physical, sacerdotal,
or otherwise which may be placed at the disposal of officials.
(kewenangan untuk memberikan perintah-perintah yang diperlukan
guna pelaksanaan kewajiban-kewajiban tersebut, disalurkan
melalui cara yang seimbang dan secara tegas dibatasi oleh aturan-
aturan mengenai cara-cara yang bersifat memaksa, secara fisik,
atau lain sebagainya yang mungkin diterapkan pada pemecatan
para pegawai negeri);
c. Methodical provision is made for the regular and continuous
fulfillment of these duties and for the execution of the corresponding
rights; only persons who have the generally regulated qualifications
to serve are employed. (Ketentuan yang secara metodis dibuat
untuk pemenuhan kewajiban-kewajiban tersebut secara biasa dan
berkelanjutan dan untuk pelaksanaan berbagai hak-hak dalam
hal surat-menyurat; hanya orang-orang yang memiliki kualifikasi
melayani yang diatur secara umumlah yang pantas dipekerjakan).
Terdapat peran politik dalam birokrasi. Hal ini ditekankan oleh
Weber (dalam Jones,1984:171), bahwa hubungan kekuasaan birokrasi
telah menjadi alat kekuasaan utama bagi seseorang untuk mengontrol
aparat-aparatnya. Pernyataan ini pun diakui dan didukung oleh Jones.
Jones (1984:171) merespon bahwa “The role of bureaucracy then is
much more politically dynamic than is that conjured up by Weber’s
machine imagery.” (peran birokrasi lebih banyak bersifat dinamis-
politis daripada apa yang digambarkan oleh Weber).
Organisasi memiliki dampak pada proses implementasi kebijakan.
Penjelasan mengenai organisasi ini berubah menjadi bahasan mengenai
birokrasi. Hal ini menunjukkan bahwa birokrasi memiliki keuntungan
yang besar dalam proses kebijakan karena melalui birokrasi, informasi
menjadi terkendali dan pengetahuan tentang ideologi departemen
dikuasai (Jones,1984:177). Pada akhir bagian ini, Jones menekankan
bahwa “It would be wrong, however, to portray the bureaucracy as
a monolith or to suggest that it is somehow impervious to outside

118 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


pressures”. Pernyataan penutup yang ditekankan oleh Jones tersebut
bermakna bahwa akan sangat salah apabila menganggap birokrasi
sebagai suatu tembok yang tidak dapat ditembus oleh tekanan yang
datang dari luar.
2. Interpretasi
“Apa yang akan saya lakukan sekarang?” Menurut Jones, pertanyaan
tersebut merupakan pertanyaan yang mengindikasikan bahwa para
implementor memiliki masalah dalam melaksanakan tugasnya. George
C. Edwards III dalam bukunya berjudul Implementing Public Policy
(1980:17) berpendapat bahwa:
“The first requirement for effective policy implementation is that
those who are to implement a decision must know what they are
supposed to do.”
“If policies are to be implemented properly, Implementation
directives must not only be received , but they must also be clear.
If they are not, implementors will be confused about what they
should do, and they will have discretion to impose their own views
in the implementation of policies, views that may be different from
those of their superiors.”
Pernyataan tersebut bermakna bahwa implementasi kebijakan
yang efektif adalah kebijakan yang dilaksanakan oleh mereka yang
memahami apa yang seharusnya mereka lakukan. Selain itu, kejelasan
perintah implementasi mempengaruhi makna yang akan ditafsirkan
oleh para implementor. Jika kebijakan ingin diimplementasikan dengan
benar, perintah implementasi tidak hanya harus diterima saja, melainkan
juga harus jelas. Jika tidak, maka kemunculan pandangan berbeda
antara hasil penafsiran para implementor dengan pandangan atasan
mereka yang merumuskan kebijakan tersebut tidak akan bisa dihindari.
Pandangan Edwards inilah yang menjadi dasar Jones membentuk pilar
interpretasi pada proses implementasi kebijakan publik.
Selain mengutarakan pendapatnya pada pilar interpretasi,
Jones (1984:179) juga menekankan pentingnya komunikasi dalam
proses implementasi kebijakan. Menurutnya, proses kebijakan

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 119


sangat bergantung pada komunikasi antara kata serta maknanya.
Lalu, “apa yang akan saya lakukan sekarang?” Para implementor
tetap harus menjawab pertanyaan ini. Tentunya, kemampuan untuk
menjawab pertanyaan tersebut dikembalikan kepada kemampuan para
implementor dalam menafsirkan komunikasi dan kejelasan perintah
implementasi (implementation directives) yang diinformasikan kepada
mereka. Dengan demikian, pilar interpretasi memiliki peran dalam
menafsirkan agar program (sering kali dalam bentuk undang-undang)
menjadi rencana dan arahan yang dapat diterima dan dilaksanakan oleh
para implementor.
3. Penerapan
Pilar penerapan dipandang sebagai ketentuan rutin dari pelayanan,
pembayaran, atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau
perlengkapan program (Jones, 1984). Selain itu, Jones (1984:180)
mengutip pernyataan Ripley dan Franklin yang mengatakan bahwa
“Application simply refers to doing the job, includes providing goods
and services.” Penerapan mengacu kepada pelaksanaan pekerjaan yang
meliputi “penyediaan barang dan jasa”. Jones juga menekankan bahwa
menurutnya, pilar pelaksanaan sangat erat kaitannya dengan kegiatan-
kegiatan lain seperti sebuah proses dinamis karena berhubungan dengan
kegiatan kebijakan lainnya dalam kemanusiaan yang mana seseorang
mencoba melakukan pekerjaannya.
Penyesuaian-penyesuaian, baik yang terjadi pada elemen organisasi
atau elemen interpretasi selama pelaksanaan program merupakan hal
yang biasa. Jones (1984:180) berpendapat bahwa suatu penafsiran
yang bersifat politis dari pihak yang berwenang mungkin tidak dapat
diterapkan di lapangan. Penerapan sering menjadi proses yang dinamis
di mana para pelaksananya atau para penegak secara umum dipandu
oleh perintah atau arahan program atau ukuran-ukuran dan secara
khusus dipandu oleh keadaan-keadaan sebenarnya.
Selain membahas mengenai konsep implementasi kebijakan yang
diklasifikasin menjadi tiga pilar seperti yang telah diuraikan di atas,
Jones (1984:182) juga memandang bahwa hubungan kerjasama antar

120 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


pemerintah juga memberikan kontribusi dalam implementasi kebijakan.
Jones mengutip pernyataan dari Donald F. Kettle dalam bukunya
yang berjudul Regulating the Cities (1981:111) yang mengatakan
bahwa bila pemerintah federal memiliki kebijakan domestik yang
perlu dilaksanakan, maka ia akan semakin tergantung pada kemitraan
antar-lembaga pemerintahan (intergovernmental partnership) dalam
melaksanakan hal tersebut. Dengan demikian, pada akhir bagian
ini Jones mengungkapkan bahwa memahami lingkup dan bentuk
implementasi program domestik adalah sebuah hal yang teramat
sulit. Perkembangan kerumitan hubungan kerjasama antar lembaga
pemerintahan menambah kesulitan tersebut (Jones, 1984).

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 121


BAB X
Kesempurnaan Implementasi Kebijakan
Brian W. Hogwood & Lewis A. Gunn (1984)

B rian W. Hogwood & Lewis A. Gunn dalam karya ilmiahnya


berjudul Policy Analysis for the Real World (1984) menyatakan
bahwa implementasi yang sempurna (perfect implementation)
hakekatnya tidak mungkin dapat dicapai dalam praktek. Selain itu,
Gunn memberikan penekanan terhadap implementasi kebijakan bahwa
kesempuraan itu hanya merupakan suatu konsep analitis atau idea.
Menurut Hood dan Gun (dalam Tachjan, 2006:41), kebijakan publik
dapat diimplementasikan secara sempurna (perfect implementation)
jika memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
1. The circumtances external to the implementing agency do not
impose cripling constraints. (Keadaan-keadaan eksternal
yang dihadapi oleh badan pelaksana tidak membebankan
hambatan-hambatan yang melumpuhkan)
Masalah dapat terjadi kapan saja dan dalam bentuk apa saja.
Keadaan-keadaan tertentu, khususnya keadaan eksternal bisa menjadi
hambatan dalam implementasi kebijakan publik dan hal tersebut
sering kali di luar kehendak para implementor. Kebijakan publik
dapat diimplementasikan secara sempurna jika keadaan eksternal
yang dihadapi oleh instansi pelaksana tidak membebankan batasan-
batasan yang melumpuhkan instansi tersebut dalam menjalalankan
kewajibannya. Lalu apakah yang dimaksud dengan hambatan-

122 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


hambatan atau batasan-batasan yang melumpuhkan itu? Solichin Abdul
Wahab (2016:167-168) dalam hal ini menggunakan istilah “gangguan
yang serius”, bukan “hambatan-hambatan yang melumpuhkan”. Tanpa
mengurangi esensi dari penjelasan ini, Wahab mengklasifikasikan
masalah serius ini menjadi dua bagian, yaitu: hambatan yang bersifat
fisik dan hambatan yang bersifat politis.
Hambatan fisik dapat berupa keadaan alam seperti musim,
penyebaran hama penyakit tanaman, bencana alam dan lain sebagainya.
Contohnya kebijakan Pemerintah dalam membagikan pupuk bersubsidi
kepada para petani cabai di salah satu daerah di Provinsi Jawa Tengah.
Guna mendongkrak pendapatan dan persaingan komoditas cabai
nasional, para petani didorong untuk menanam cabai dengan diberikan
bantuan berupa pupuk bersubsidi. Namun sayangnya, penyebaran hama
penyakit pada tanaman cabai tidak dapat dicegah sehingga membuat
tanaman menjadi mati dan buahnya menjadi busuk. Kondisi eksternal
tersebut menjadi salah satu contoh hambatan yang melumpuhkan
pencapaian kebijakan yang telah dirumuskan oleh Pemerintah.
Hambatan politis pada umumnya berupa penolakan pelaksanaan
kebijakan dari para pemangku kepentingan (stakeholder) baik yang
disebabkan oleh perbedaan pandangan ideologi, adanya kekuasaan lain
yang mempengaruhi para pemangku kepentingan, dan lain sebagainya.
Jika para pemangku kepentingan (stakeholder) hanya mementingkan
tujuannya masing-masing tanpa mempedulikan sarana untuk
mencapai tujuan kebijakan itu sendiri, maka tentu hal tersebut dapat
“membahayakan” implementasi kebijakan (Wahab, 2016:168).
2. That adequate time and sufficient resources rare made available
to the programme. (Terdapat waktu dan sumber daya yang
cukup memadai untuk program)
Syarat yang kedua adalah adanya waktu dan sumber daya yang
cukup memadai untuk mengimplementasikan program tersebut. Waktu
yang terlalu pendek untuk melaksanakan implementasi juga menjadi
hambatan. Dalam hal waktu, banyak contoh yang dapat dijadikan
sebagai gambaran pentingnya waktu dalam proses implementasi.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 123


Misalnya, dalam bidang pembangunan infrastruktur publik (public
infrastructure development) seperti jalan layang.
Seluruh warga Bandung, khususnya yang tinggal di daerah Antapani
dan Kiaracondong tentu mengetahui bahwa persimpangan Terusan
Jalan Jakarta merupakan daerah yang selalu dilanda kemacetan. Dalam
rangka mengurai kemacetan yang terjadi, Pemerintah Pusat (dalam hal
ini diwakili oleh Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
bersama-sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah
Provinsi Kota Bandung) merumuskan kebijakan pembangunan jalan
layang Pelangi yang menghubungkan Terusan Jalan Jakarta.
Dalam perjanjian kerjasama antara Pemerintah dan Kontraktor
terpilih ditetapkan jangka waktu pengerjaan konstruksi yang disesuaikan
dengan beban kerja, alokasi dana, dan faktor lain yang mendukung agar
konstuksi tersebut selesai pada waktu yang ditetapkan. Pengerjaan
konstruksi jalan layang tersebut dilaksanakan secara progresif selama
akhir tahun 2016. Sehingga pada awal tahun 2017, sarana publik tersebut
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Tidak hanya pada contoh di atas,
waktu pengerjaan sebuah proyek atau program juga pasti pada dasarnya
akan selalu ditetapkan untuk jenis proyek dan program lainnya.
Selain waktu yang memadai, sumber daya seperti dana juga
memegang peranan yang sangat penting dan krusial dalam implementasi
kebijakan. Tidak sedikit proyek atau program kebijakan yang proses
implementasinya terganggu karena sumber dana yang bermasalah.
Namun, Wahab (2016:169) menegaskan bahwa dana itu pada dasarnya
bukanlah sumber itu sendiri, sebab ia tidak lebih dari sekedar “tiket”
di mana akan dapat memperoleh sumber-sumber yang sebenarnya.
Dari penekanan tersebut, dapat dikatakan bahwa proses konversi
dana menjadi sumber-sumber lain yang memadai juga dapat menjadi
hambatan. Misalnya, keterlambatan pencairan dana dapat menyebabkan
keterlambatan pelaksanaan program dari jadwal yang telah ditetapkan.
Selain itu, keterlambatan ini membuat dana tidak terserap secara
efektif. Hal-hal tersebut tentu memunculkan kekhawatiran para pelaku
kebijakan untuk mengembalikan dana yang tidak diserap di setiap
akhir tahun anggaran. Sehingga, untuk mencegah hal tersebut, para

124 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


implementor memanfaatkan dana suatu proyek atau program untuk
memberi barang atau jasa yang pada hakikatnya tidak bermanfaat, tidak
berhubungan dengan proyek atau bahkan tidak perlu (Wahab, 2016:
169).
3. That the required combination of resources is actually available.
(Perpaduan antar sumber daya yang diperlukan benar-benar
tersedia)
Persyaratan ini pada hakekatnya berhubungan langsung dengan
persyaratan sebelumnya. Sumber-sumber yang digunakan sebagai
“bahan” untuk implementasi kebijakan harus saling menyatu dan
harus dipastikan bahwa sumber-sumber tersebut relevan dan tersedia.
Keterbatasan bahan-bahan tersebut tentu akan menghambat pelaksanaan
implementasi. Sebagai contohnya, jika Pemerintah merencanakan
program pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) untuk
masyarakat, maka sumber-sumber yang diperlukan bukan hanya dana,
tanah, instrumen perijinan dalam mendirikan sarana umum, pekerja
bangunan, peralatan dan material bangunan saja, melainkan juga “isi”
dari sarana kesehatan tersebut yang harus ada dan relevan dengan
tujuan kebijakan, yaitu agar pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan
secara optimal. Sumber-sumber lainnya yang diperlukan seperti jumlah
tenaga kesehatan (sumber aktor), struktur manajemen rumah sakit
(pembagian tugas dan tanggungjawab para aktor), alat-alat kesehatan,
obat-obatan, mobil ambulance dan sarana-prasarana lain yang
menunjang pelayanan kesehatan juga harus dipastikan tersedia dan
saling bersatupadu. Bayangkan jika kebijakan pembangunan RSUD
tersebut tidak menganggarkan pengadaan sarana-prasarana pelayanan
kesehatan. Apakah pelayanan kesehatan akan berjalan optimal? Tentu
tidak. Dengan demikian, keterpaduan sumber daya yang diperlukan
harus benar-benar tersedia.
4. That the policy to be implemented is based upon a valid theory
of cause and effect. (kebijakan yang akan diimplementasikan
didasarkan kepada teori sebab-akibat yang absah)
Teori hubungan kausalitas (theory of cause and effect) memainkan
peran yang penting dalam implementasi kebijakan. Kebijakan

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 125


yang akan diimplementasikan harus didasarkan pada sebuah teori
hubungan kausalitas yang andal. Ketidaksesuaian hasil suatu kebijakan
dengan tujuan yang diharapkan bukan hanya disebabkan oleh proses
implementasi saja, melainkan karena perumusan kebijakan itu sendiri
yang tidak baik atau tidak dirumuskan sesuai teori sebab-akibat.
Analisa SWOT, yaitu analisa mengenai kekuatan (Strength), kelemahan
(Weakness), peluang (Opportunity), dan ancaman (Threat) tentu pada
dasarnya dapat digunakan oleh para perumus kebijakan (policymakers)
untuk merumuskan sebab-akibat dari suatu kebijakan. Hubungannya
dengan implementasi, analisa ini berguna sebagai panduan dalam
mengendalikan kebijakan agar berjalan sesuai dengan perencanaan.
Pressman dan Wildavsky (dalam Wahab, 2016:171) menyatakan
bahwa setiap kebijakan pemerintah pada hakikatnya memuat hipotesis
mengenai kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang diramalkan
terjadi jika kebijakan tersebut diimplementasikan. Dari pernyataan
tersebut, kita dapat menafsirkan bahwa hipotesis sebab-akibat
diperlukan pada setiap kebijakan pemerintah guna mencapai tujuan
yang diharapkan. Oleh karena itu, terdapat pernyataan khusus yang
digunakan oleh perumus kebijakan mengenai sebab-akibat ini, yakni:
“Jika X dilakukan pada waktu tertentu (W1), maka Y akan terjadi pada
waktu tertentu (W2).
Dalam hal persyaratan ini, kebijakan pembinaan dan pengembangan
infrastruktur pemukiman dapat dijadikan contoh kongkrit. Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional mengamanatkan terpenuhinya kebutuhan dasar
masyarakat melalui konsep kota tanpa pemukiman kumuh. Kemudian,
Rencana Strategis Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat (PUPR) Tahun 2015-2019 menetapkan kebijakan pengentasan
pemukiman kumuh perkotaan. Salah satunya dengan menyusun
program peningkatan kualitas pemukiman kumuh seluas 38.431
Ha (PUPR, 2015:64). Jika konsep kota tanpa pemukiman kumuh
harus dilaksanakan dalam periode 5 tahun, maka akan terjadi proses
relokasi penduduk besar-besaran karena banyaknya jumlah penduduk
yang menempati pemukiman kumuh seluas 38.431 Ha. Jika relokasi

126 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


penduduk dilakukan tanpa ada jaminan penyediaan lingkungan yang
baik dan sehat sesuai dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, maka
kemungkinan terjadinya konflik vertikal adalah besar. Jika terjadi
konflik vertikal secara berkelanjutan, maka kesuksesan implementasi
program peningkatan kualitas pemukiman kumuh seluas 38.431 Ha
dalam kurun waktu 5 tahun adalah kecil. Dan seterusnya. Sehingga,
pada dasarnya suatu kebijakan memuat suatu teori mengenai hubungan
sebab-akibat (kausalitas) seperti itu.
5. That the relationship between cause and effect is direct and that
there are few if any, intervenning link. (Hubungan antara sebab
dan akibat adalah langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubungnya)
Syarat ini merupakan penjelasan lebih detail dari syarat sebelumnya.
Semakin sedikit mata rantai sebab-akibat dari suatu implementasi,
maka akan semakin besar peluang keberhasilan implementasi tersebut.
Pressman dan Wildavsky (dalam Wahab, 2016:171) memperingatkan
bahwa kebijakan-kebijakan yang hubungan sebab-akibatnya tergantung
pada mata rantai yang amat panjang, maka ia akan mudah sekali
mengalami keretakan. Semakin panjang mata rantai kausalitas, tidak
hanya semakin besar hubungan timbal-balik, namun juga semakin
kompleks implementasinya.
Semakin banyak hubungan sebab akibat, maka semakin tinggi
risiko kegagalan yang terjadi. Bandingkan contoh sebelumnya dengan
contoh pelaksanaan pembangunan infrastruktur publik seperti proses
pengadaan tanah untuk pelebaran jalan umum berikut. Jika pelebaran
jalan umum dilaksanakan, maka dibutuhkan ruang milik jalan (the
right of way). Jika ruang milik jalan tidak tersedia, maka pemerintah
perlu melaksanakan program pengadaan tanah untuk pembangunan
jalan. Jika program pengadaan tanah untuk pembangunan jalan
dilakukan, maka pemegang hak atas tanah, atau pemakai tanah negara,
atau masyarakat ulayat hukum adat, yang tanahnya diperlukan untuk
pembangunan jalan, berhak mendapat ganti kerugian. Hubungan sebab
akibat dalam kasus ini bersifat langsung karena prosedur penyelesaian
masalah pengadaan tanah untuk pembangunan jalan memang diatur

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 127


secara jelas dalam Pasal 58 dan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 38
Tahun 2004 tentang Jalan. Uraian di atas hanya merupakan contoh
yang diambil secara praktis. Tentu, proses implementasinya tidak akan
semudah gambaran dalam teori.
6. That dependency relationships are minimal. (Hubungan saling
ketergantungan harus kecil)
Dalam implementasi kebijakan yang sempurna, hubungan
saling ketergantungan harus kecil dan ditekan seminimal mungkin.
Demi mencapai keberhasilan dari misi yang ditugaskan, maka untuk
mengurangi ketergantungan diperlukan badan pelaksana tunggal
(single agency) dan tidak perlu menggantungkan diri kepada lembaga
lain. Semakin besar rangkaian tahapan dan aktor yang terlibat, maka
akan semakin kecil peluang keberhasilan implementasi program. Pun
kesempatan untuk memperoleh hasil yang diharapkan sesuai dengan
tujuan yang dirumuskan akan semakin berkurang (Wahab, 2016:172).
Sebagai contohnya, kita dapat mengutip hasil studi kasus Pressman
dan Wildavsky di kota Oakland. Studi kasus tersebut membahas
mengenai program pengembangan ekonomi di kota Oakland, Amerika
serikat. Program-program yang ditujukan untuk menciptakan lapangan
kerja tersebut pada kenyataannya tidak diimplementasikan sesuai
dengan rencana karena disebabkan, salah satunya oleh kompleksitas
dan banyaknya aktor yang mengambil peran di dalamnya (Winter,
1990:255).
Contoh lainnya yaitu implementasi kebijakan pada bidang
pengelolaan sumber daya air, khususnya mengenai eksploitasi,
pemeliharaan sumber daya air dan bangunan pengairan di Indonesia.
Pelaksanaan kebijakan tersebut dinilai kompleks karena melibatkan
hubungan dan serangkaian tahapan yang membutuhkan sejumlah besar
sumber daya aktor. Bahkan, proses implementasinya melibatkan lima
kementrian, yaitu Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, dan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan tanggungjawab
berada pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Bahkan terkait dengan kebijakan pembangunan waduk dan embung

128 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas bangunan pengairan, masih
menghadapi banyak hambatan, terutama hambatan dalam anggaran
yang terkait dengan dampak sosial dan pengadaan tanah (Kementerian
PUPR, 2015:20). Pengambilan contoh tersebut bukan untuk menilai
bahwa implementasi kebijakan eksploitasi, pemeliharaan sumber daya
air dan bangunan pengairan di Indonesia akan mengalami kegagalan.
Namun, sebagai gambaran bahwa implementasi kebijakan tersebut
memiliki hubungan dan tahapan yang kompleks dan keterlibatan
sumber daya aktor yang cukup besar.
7. That there is understanding of, and agreement on objectives.
(Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan mengenai
tujuan)
Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan
dinilai sangat penting untuk dipertahankan selama proses implementasi
kebijakan. Dalam rangka melahirkan pemahaman yang menyeluruh
terhadap implementasi kebijakan, Wahab (2016:172) berpendapat
bahwa tujuan tersebut harus dirumuskan dengan jelas, spesifik, dan
dikuantifikasikan, dipahami serta disepakati oleh seluruh pihak.
Pendapat Wahab tersebut sudah mewakili syarat ini, yaitu adanya
pemahaman yang mendalam dan kesepakatan mengenai tujuan. Namun,
penulis bermaksud untuk menyempurnakan pendapatnya bahwa untuk
mempermudah pemahaman dan mempercepat kesepakatan, maka tujuan
kebijakan harus dirumuskan dengan jelas, lengkap, cermat, dan spesifik.
Sehingga tidak ada kesalahan penafsiran di antara implementator, para
implementor mudah memahami tujuan kebijakan, dan mereka sepakat
untuk menjalankannya.
Jelas mengandung arti bahwa tujuan yang dirumuskan dalam
kebijakan harus mudah ditafsirkan dan mudah dimengerti dengan
cara menyusun redaksi yang tidak mengandung makna/arti ganda
(ambigu). Lengkap mengandung arti bahwa rumusan tujuan harus
dicantumkan menggunakan uraian yang utuh dan menyeluruh serta
mampu menggambarkan hasil konkrit yang hendak dicapai. Cermat
mengandung arti bahwa suatu tujuan kebijakan yang dirumuskan
harus sesuai dengan masalah yang dihadapi dan ditujukan untuk

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 129


menanggulangi masalah tersebut. Spesifik mengandung arti bahwa
tujuan yang dirumuskan tersebut harus konkrit mengenai hal tertentu
dan nyata bisa dilaksanakan (possible).
Jika tujuan implementasi tidak jelas, tidak lengkap, tidak cermat,
dan tidak spesifik, maka bagaimana bisa hal tersebut dapat dipahami
dan disetujui oleh para pelaku kebijakan? Lebih jauh lagi, bagaimana
mungkin kebijakan dapat dilaksanakan dengan sempurna. Melainkan,
hal tersebut dapat menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest),
karena setiap orang lebih mementingkan tujuan masing-masing. Hal
ini dapat diperburuk jika komunikasi antar pemangku kepentingan
(stakeholder) tidak memadai. Seandainya tujuan-tujuan tersebut pada
mulainya dipahami dan disepakati, tidak ada jaminan bahwa keadaan
tersebut akan terus terpelihara selama proses implementasi. Hal ini
terjadi karena tujuan-tujuan itu cenderung mudah berubah seperti
diperluas, dipersempit atau bahkan disalahgunakan untuk tujuan lain
(Wahab, 2016:173).
8. That tasks are fully specified in correct sequence. (Tugas-tugas
diperinci pada urutan yang tepat)
Dalam kehidupan organisasi, pasti terdapat proses pembagian
tugas masing-masing aktor disertai dengan tanggungjawabnya. Dalam
konteks implementasi, perincian tugas mengandung makna bahwa setiap
pihak yang terlibat diharapkan dapat memahami perannya masing-
masing selama proses implementasi berlangsung. Bayangkan jika
tugas-tugas tersebut dinyatakan dalam redaksional yang lebih umum,
maka kemungkinan besar yang akan terjadi adalah ketidakteraturan.
Lebih buruk lagi akan menyebabkan tumpang-tindih kewenangan
yang kemudian akan memicu konflik kepentingan (conflict of interest).
Meskipun tugas-tugas harus dinyatakan secara terperinci dan
ditempatkan pada urutan yang tepat, disamping itu, ruang terbuka untuk
mengekspresikan kebebasan bertindak dan melakukan improvisasi
diperlukan sepanjang tidak bertentangan dengan kewenangan yang
diberikan (Wahab, 2016:174).

130 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


9. That there is perfect communication and coordination. (Terdapat
komunikasi dan koordinasi yang sempurna)
Guna mencapai implementasi yang sempurna, maka diperlukan
kemampuan komunikasi dan kelancaran koordinasi yang sempurna
pula. Dalam hal ini, komunikasi memainkan peran penting, khususnya
bagi berlangsungnya koordinasi dan umumnya dalam proses
implementasi. Artinya, kemampuan komunikasi para implementor
akan meningkatkan kelancaran koordinasi dan membuka peluang untuk
mencapai kesuksesan implementasi. Namun, apa yang dikatakan oleh
Wahab (2016:175) adalah benar bahwa pada praktiknya, komunikasi
yang benar-benar sempurna sulit untuk diwujudkan. Jika kedua hal ini
berjalan secara konsisten dan berkelanjutan, maka peluang tercapainya
efektivitas implementasi kebijakan akan meningkat.
Berkaitan dengan syarat ini, Penulis ambil contoh kasus Presiden
John Kennedy dengan Pasukan Amerika Serikat pada tahun 1962.
Presiden Amerika Serikat, John Kennedy memerintahkan para prajurit
U.S. Army yang sedang berada di Memphis untuk bergerak ke Oxford,
tepatnya ke Universitas Mississippi dengan tujuan untuk mengendalikan
kerusuhan. Setelah beberapa jam dari pemberian perintah, Kennedy
melihat tidak ada satupun kemajuan di Oxford. Lalu kemudian
ia bertanya kepada Sekretaris U.S. Army, Cyrus Vance, “Dimana
keberadaan para prajurit?” Tidak ada yang terlihat mengetahuinya.
Ketika berbicara dengan seorang Jenderal yang memimpin pasukan itu
melalui saluran telepon, sang Jenderal justru sedang menunggu perintah
dari Pentagon (Edwards, 1980:3). Kejadian ini merupakan salah satu
contoh masalah dalam implementasi kebijakan, yaitu berkaitan dengan
komunikasi dan koordinasi yang sempurna. Mengenai hal ini, Edwards
III pun berpendapat, bahwa seorang presiden pun tidak dapat berasumsi
bahwa keputusan-keputusan dan perintah-perintah yang dibuatnya akan
dilaksanakan.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 131


10. That those in authority can demand and obtain perfect
compliance. (Pihak-Pihak berkuasa dapat menuntut dan
memperoleh kepatuhan yang sempurna)
Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut
dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna. Persyaratan terakhir ini
memiliki makna bahwa ketundukan penuh dan tidak ada penolakan
sama sekali terhadap perintah dari siapapun dalam sistem administrasi
merupakan jaminan demi keberhasilan implementasi kebijakan. Orang-
orang yang memiliki wewenang seharusnya juga mereka yang memiliki
kekuasaan menuntut kepatuhan yang menyeluruh dari berbagai pihak
yang memiliki kesepakatan dalam menjalin hubungan kerja sama dalam
implementasi kebijakan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan
(Wahab, 2016:176). Tentu, proses penuntutan kepatuhan terhadap para
pihak-pihak tertentu harus menyesuaikan dengan besarnya kewajiban
serta pemenuhan-pemenuhan hak-haknya secara komprehensif.

132 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


BAB XI
Model Implementasi Terintegrasi
Winter C. Soren (1990)

W inter (1990) dalam karya ilmiahnya berjudul Implementation


mencoba untuk mempersatukan dan mengintegrasikan beberapa
variabel dari variabel-variabel yang paling penting pada
penelitian implementasi yang dilakukan oleh para pakar sebelumnya
dalam sebuah kerangka umum. Kemudian, dia merumuskan dan
membuat model implementasi yang diberi nama Integrated
Implementation Model.
Winter termotivasi oleh karya-karya ilmiah para pakar
implementasi kebijakan khususnya Pressman dan Wildavsky, untuk
membuat dan merumuskan model implementasi terintegrasi. Luasnya
sektor kebijakan yang diimplementasikan, menarik perhatian Winter
untuk menggabungkan variabel-variabel penting dari berbagai model
implementasi kebijakan menjadi satu kesatuan kerangka yang utuh.
Sebagai pondasi, Winter (1990:256) mendasarkan kerangka modelnya
kepada dua pertanyaan dasar dalam mengkaji kebijakan. Pertama,
pertanyaan dasar dalam penelitian tentang kebijakan publik yang
ia kutip dari Thomas R. Dye, yaitu: “What are the content, causes,
and consequences of public policies?” (Apa materi muatan, sebab-
sebab, serta akibat-akibat dari kebijakan publik?). Kedua, pertanyaan
dasar dalam penelitian tentang administrasi publik, yaitu: “How is
legislation executed?” (Bagaimana peraturan perundang-undangan
dilaksanakan?).

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 133


Latar belakang Winter dalam menyusun konsep ini didasarkan
pada dualisme pemahaman dalam implementasi kebijakan. Winter
(1990:256) memandang bahwa penelitian implementasi menawarkan
pandangan empiris yang baru tentang pelaksanaan undang-undang yang
cukup sesuai dengan ilmu yang lebih berorientasi perilaku dan politik
dalam penelitian administrasi publik. Hal menarik dari penelitian Winter
adalah bahwa ia berusaha untuk menilai, lebih tepatnya “menguji”.
Apakah analisis implementasi sepatutnya dipelajari dari atas ke bawah
(top-down) – atau – dari bawah ke atas (bottom-up). Mengapa ini dinilai
penting ? Sekali lagi, menurut Winter, beberapa sarjana bottom-up telah
menyarankan bahwa fokus implementasi harus terpusat kepada proses
penyelesaian masalah (problem solving) daripada pencapaian tujuan
(goals achievement).
Di sisi lain, jika ditinjau dalam hal metodologi, sarjana lainnya
berpendapat bahwa penggunaan metode kualitatif atau kuantitatif
terkadang dilakukan untuk memperjelas fenomena-fenomena yang
kompleks yang menjadi bahan kajian (Winter, 1990:257). Oleh karena
itu, Winter mencoba menyatukan beberapa variabel-variabel penting
yang dikutip dari berbagai model implementasi kebijakan menjadi satu
kesatuan model yang terintegrasi. Model tersebut dapat dilihat pada
gambar 11.1.

134 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Gambar 11.1 Model implementasi terintegrasi
Sumber: Soren, Winter, Implementation dalam The Sage Handbook of
Public Administration, 1990, hlm.258.

Jika diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia, maka


akan diperoleh bagan Model Implementasi Terintegrasi seperti pada
gambar berikut.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 135


Model ini fokus pada hasil-hasil implementasi (implementation
results) berupa tingkah laku atau hasil (behavior/outputs) dan
luaran (outcomes). Faktor-faktor yang mempengaruhi luaran-luaran
implementasi antara lain yaitu perumusan kebijakan (policy formulation)
dan bentuk kebijakan (policy design). Sayangnya, konsep atau model
ini banyak diperdebatkan oleh peneliti-peneliti implementasi kebijakan
yang mempermasalahkan penempatan bentuk kebijakan (policy design).
Di sisi lain, banyak sarjana yang memiliki latar belakang
pengetahuan implementasi kebijakan publik telah menolak dan
bahkan gagal dalam upaya mengkonsepkan hubungan antara formulasi
kebijakan (policy formulation), bentuk kebijakan (policy design), dan
implementasi itu sendiri.
Winter menyatakan bahwa akar dari permasalahan implementasi
yang terjadi sering ditemukan pada proses perumusan kebijakan (policy
formulation). Kemudian dia menjelaskan bahwa konflik (conflict) yang

136 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


terjadi pada proses kebijakan sering membuat sebuah kebijakan yang
dipilih dengan tujuan yang tidak jelas seperti sebuah teori kausalitas
(chausal theory) karena kurangnya hubungan antara tujuan yang
ditetapkan (dalam proses formulasi) dengan sarana-sarana yang dipilih
dalam bentuk-bentuk kebijakan. Bahkan, kebijakan-kebijakan yang
bersifat simbolis (symbolic policies) diadopsi untuk memecahkan
permasalahan yang muncul meskipun tanpa menawarkan sarana-sarana
penunjang untuk mencapai tujuan.
Pada tahap selanjutnya, sebuah bentuk kebijakan (policy design)
pada dasarnya berisi sekumpulan tujuan atau sasaran yang hendak
dicapai. Guna memperoleh hasil yang maksimal dari tujuan atau
sasaran tersebut, maka lembaga-lembaga pemerintahan atau bukan
pemerintahan yang telah dibentuk sedemikian rupa diberikan tugas
untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut dan alokasi sumber daya
untuk menunjang tugas dan fungsinya tersebut. Dengan demikian,
maka tidaklah salah jika bentuk kebijakan (policy design) yang dipilih
akan menentukan dan mempengaruhi proses implementasi dan hasil
yang hendak dicapai (Winter, 1990:259).
Perlu dicatat bahwa proses implementasi (implementation process)
yang didasarkan pada bentuk-bentuk kebijakan yang tidak efektif
(ineffective policy design) tidak selalu disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan dari si pembentuk kebijakan (policy-makers). Untuk
memperjelas statement ini, telah dijelaskan di atas bahwa “akar dari
permasalahan implementasi yang terjadi sering ditemukan pada
proses perumusan kebijakan”. Sehingga, Winter mengutip apa yang
dikatakan oleh Peter May bahwa perumusan kebijakan yang baik
tidaklah sesederhana seperti memilih jenis-jenis bahan yang cocok
untuk membuat jembatan, tetapi lebih kompleks daripada itu karena
melibatkan berbagai konteks, termasuk konteks politik.
Masuk ke dalam tahap selanjutnya: proses implementasi. Dalam
model yang dirumuskan dan dikembangkan oleh Winter, proses
implementasi digambarkan sebagai seperangkat faktor-faktor yang
kemudian akan mempengaruhi hasil atau luaran yang hendak dicapai.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 137


Winter (1990:259) menyatakan bahwa “Implementation processes are
characterized by organizational and interorganizational behaviors that
represent different degrees of commitment and coordination.” Dari
pernyataannya, dapat dianalisa bahwa kebiasaan-kebiasaan organisasi
dan antar-organisasi pada hakekatnya mewakili derajat komitmen dan
koordinasi yang berbeda. Apakah maksud dari pernyataan tersebut?
Winter menjelaskan dengan menggunakan konsep Pressman &
Wildavsky (1973) yang fokus terhadap “Complexity Of Joint Action”.
Keberhasilan implementasi kebijakan berhubungan juga dengan jumlah
aktor (the number of actors), perbedaan kepentingan dan pandangan
(the diversity of interests and perspectives), dan jumlah keputusan (the
number of decision).
Winter juga mengutip analisa dan diskusi antara Laurence O’Toole
dan Peter May mengenai masalah yang terjadi dalam hubungan antar-
organisasi pada proses implementasi. Berdasarkan analisa yang lebih
dalam, permasalahan implementasi tersebut dapat dikurangi (bukan
dapat dihindari) dengan memanfaatkan bentuk kebijakan yang dipilih
guna meningkatkan komitmen, membangun dan menggunakan
kepentingan umum, dan memfasilitasi kerjasama dengan menggunakan
sistem pertukaran (exchange).
Selain daripada tingkah laku organisasi dan antar-organisasi,
implementasi kebijakan mencakup juga peran dari kemampuan (skills),
kehendak (will), dan kepentingan (interest) birokrat-birokrat tingkat
bawah (street-level bureaucrats). Winter (1990:260) menggarisbawahi
bahwa kebiasaan para birokrat tingkat bawah bersifat krusial hampir
pada seluruh proses pelaksanaan kebijakan. Birokrat tingkat bawah
merupakan pembuat keputusan diskresi yang amat penting karena
mereka berhubungan langsung dengan masyarakat. Sayangnya, para
birokrat tersebut bekerja pada berbagai situasi yang dapat dikatakan
“banyak permintaan” namun “kurangnya sumber daya”. Situasi inilah
yang menyebabkan Winter mengindikasikan bahwa management
memiliki peran penting dalam implementasi kebijakan, namun hal
tersebut bukanlah tugas yang mudah.

138 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Mengutip pernyataan George Boyne (2004) bahwa sedikit literatur
penelitian yang menunjukkan dampak dari manajemen terhadap
kinerja atau hasil. Selain itu, Winter juga berpandangan bahwa sangat
sedikit sekali penelitian-penelitian yang telah menganalisa dampak
manajemen terhadap kebiasaan birokrat tingkat bawah. Namun, dia
menemukan beberapa bukti bahwa manajemen berperan penting karena
ada hubungan langsung antara manajemen dan hasil, sayangnya hal ini
sulit untuk diketahui karena kita harus menentukan terlebih dahulu
kriteria birokrat seperti apa yang dapat membawa hasil yang baik. Pada
akhir analisa, Winter menyatakan bahwa:
“...management is relational. This implies that the effect of
management practices on street-level bureaucratic behaviors
may be contingent on the characteristics of individual street-level
bureaucrats, including their expertise, motivation and perceptions
of the applied management tools.”

Dari pernyataan tersebut dapat ditarik sebuah pandangan bahwa


karakteristik individu yang menjadi birokrat tingkat bawah (seperti
keahlian, motivasi dan pemahaman mengenai sarana manajemen
yang diberlakukan) mempengaruhi praktik manejerial dalam proses
implementasi. Di samping birokrat tingkat bawah, target group kebijakan
publik, yaitu masyarakat dan lembaga memainkan peran penting.
Tindakan masyarakat atau lembaga tidak hanya mempengaruhi proses
dan hasil implementasi kebijakan saja, melainkan juga mempengaruhi
kinerja birokrat tingkat bawah.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 139


BAB XII
Aplikasi Teori Implementasi Kebijakan Publik
pada Analisis Implementasi
Kebijakan Bidang Pendidikan Karakter
A. Pendidikan Karakter: Pondasi Penting Pembangunan Sumber

R
Daya Manusia Indonesia yang Berkualitas
evolusi karakter bangsa merupakan salah satu agenda dari
sembilan agenda prioritas (Nawa Cita) yang dirumuskan oleh
Pemerintah Republik Indonesia di bawah sistem administrasi
Presiden Joko Widodo. Agenda tersebut dirumuskan dalam rangka
mewujudkan visi Indonesia untuk menjadi negara yang berdaulat secara
politik, mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam
kebudayaan. Agenda ini dinilai penting dan strategis karena berkaitan
langsung dengan aspek peningkatan kualitas sumber daya manusia
(SDM) Indonesia. Selain itu, pelaksanaan agenda ini juga tidak dapat
dilepaskan dari peran serta pendidikan, khususnya pendidikan karakter.
Pendidikan karakter memegang peranan penting dalam implementasi
agenda ini karena pada hakikatnya bahwa pendidikan memiliki fungsi
yang hakiki dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang akan
menjadi aktor-aktor dalam menjalankan fungsi dari berbagai bidang
kehidupan yang bersangkutan (Suryadi dan Tilaar, 1993:3).
1. Urgensi implementasi pendidikan karakter
Menurunnya kegiatan-kegiatan pengamalan nilai-nilai etika
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kehidupan sosial
menunjukkan fenomena bahwa telah terjadi penurunan karakter bangsa.
Hal ini diperburuk oleh hilangnya semangat gotong royong, nilai-nilai

140 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


toleransi, dan nilai-nilai persaudaraan yang mencerminkan semboyan
Bhineka Tunggal Ika. Bahkan, Presiden Joko Widodo mengungkapkan
keprihatinannya terhadap degradasi moral dan karakter manusia
Indonesia yang merosot, khususnya pada zaman teknologi dan informasi
digital seperti saat ini.
Perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi di era
globalisasi ini turut menyumbang berbagai dampak, baik dampak
negatif maupun dampak positif terhadap aspek perkembangan karakter
manusia di Indonesia. Jika kita membuka sosial media seperti Facebook,
Twitter, Instagram, Line atau bahkan Website, kita akan menemukan
begitu banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan media-media
sosial tersebut untuk menebarkan ujaran kebencian, saling menghujat
antara mereka yang berbeda pandangan politik dan saling memaki
antara mereka yang berbeda agama dan kepercayaan. Padahal di sisi
lain, media sosial merupakan sarana strategis yang dapat dimanfaatkan
sebagai sarana perekat persaudaraan sebangsa dan setanah air.
Fenomena-fenomena yang berkaitan dengan degradasi moral dan
karakter bangsa, khususnya pada dunia pendidikan kini sering terjadi
di Bumi Pertiwi dan cukup mudah ditemui karena adanya bantuan dari
teknologi. Contohnya, pada pertengahan tahun 2013, publik dikejutkan
oleh penyebaran sebuah video berdurasi 5 menit 33 detik yang
memperlihatkan adegan para siswi salah satu Sekolah Menengah Atas di
Kabupaten Toli-Toli yang melakukan tindakan pelecehan agama dengan
cara mempermainkan gerakan shalat. Akibat dari perbuatannya, mereka
dikeluarkan oleh pihak sekolah dan beberapa dari mereka menjadi korban
bullying oleh masyarakat sekitar sehingga mengalami tekanan batin dan
harus dirawat di rumah sakit. Kemudian, pada pertengahan tahun 2016,
publik juga dikejutkan oleh beredarnya sebuah video berdurasi 37 detik
yang berisi tindakan bullying yang dilakukan oleh sejumlah siswi senior
salah satu Sekolah Menengah Atas di Jakarta terhadap juniornya. Yang
paling mengejutkan, banyak tindakan-tindakan kekerasan dan ucapan-
ucapan makian yang dilontarkan terhadap siswi korban penindasan
tersebut. Terakhir, pada awal tahun 2017, tawuran antar remaja yang
“rutin terjadi” di Jakarta menambah deretan panjang permasalahan pada

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 141


dunia pendidikan Indonesia. Berdasarkan hasil penyidikan Polres Metro
Jakarta Selatan, tawuran antar pelajar yang sering terjadi di Jakarta dan
daerah sekitarnya ternyata secara sengaja memang “diagendakan”
dan “dikoordinasikan” oleh para pelajar tertentu melalui media sosial.
Hasil penyidikan tersebut tentu memberikan “tamparan keras” terhadap
dunia pendidikan.
Tiga contoh di atas merupakan sebagian kecil permasalahan
mengenai penyimpangan karakter remaja yang terjadi di Indonesia.
Sebelumnya, pada tahun 2015 Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) mencatat ribuan data perilaku menyimpang di kalangan pelajar
selama 5 (lima) tahun berturut-turut dari tahun 2011 sampai dengan
2015. Data tersebut dapat dilihat pada tabel 12.1 berikut.
Tahun
s/d
No. Bidang 2011 2012 2013 2014 Juli Jumlah
2015

Pornografi dan
a. 188 175 247 322 179 1.111
cybercrime

Anak korban
b. 17 11 23 53 66 170
kejahatan seksual

Anak pelaku
c. 8 7 16 42 28 101
kejahatan seksual

Anak korban
d. pornografi dari 107 110 147 163 49 576
sosial media

Anak pelaku
kepemilikan
e. 56 47 61 64 36 264
pornografi (HP,
Video, dsb)

Anak Berhadapan
f. 695 1.413 1.428 2.208 403 6.147
Hukum (ABH)

Sumber Data : KPAI 2015 berdasarkan 1)Pengaduan Langsung, Surat, Telp,


Email; 2) Pemantauan Media (Cetak, Online, Elektronik); 3) Hasil Investigasi Kasus;
4) Data Lembaga Mitra KPAI Se-Indonesia.

142 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Fenomena-fenomena penyimpangan perilaku yang terjadi pada
kalangan remaja Indonesia seperti yang diuraikan di atas merupakan
contoh kecil dari tindakan-tindakan yang telah memberikan “tamparan
keras” kepada institusi pendidikan, yang seolah-olah gagal membentuk
kaum muda yang “layak” menjadi penerus bangsa. Fenomena-fenomena
yang terjadi pada dunia pendidikan seperti yang telah diuraikan telah
mengingatkan Penulis kepada pernyataan Thomas Lickona dalam
bukunya berjudul Educating for Character : How Our School can Teach
Respect and Responsibility (1991) yang membahas mengenai dua tujuan
utama pendidikan. Menurut Lickona, cerdas saja tidak cukup menjadi
indikator kesuksesan suatu pendidikan karena disamping tingkat
intelektual, diperlukan juga tingkat perkembangan moral. Berdasarkan
penelitiannya, Lickona (1991:6) menjelaskan bahwa “Education had
had two great goals: to help young people become smart and to help
them become good”. Pada dasarnya, pendidikan memiliki dua tujuan,
yaitu membimbing para generasi muda untuk menjadi cerdas dan
memiliki perilaku berbudi.
Jika dihubungkan dengan tiga contoh kasus yang telah diuraikan,
maka jelas bahwa tujuan pendidikan seperti yang dirumuskan oleh
Lickona belum tercapai. Meskipun secara akademik, mereka mungkin
saja cerdas dan memiliki kemampuan akademik di atas rata-rata
para siswa atau siswi lainnya di Indonesia, namun dalam hal ini
kecerdasan saja tidak cukup melainkan sikap dan perilaku positif juga
mutlak diperlukan. Permasalahan seperti inilah yang pada hakekatnya
harus diperhatikan secara seksama karena “membahayakan” dan
“menentukan” masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti
apa yang dikatakan oleh Theodore Roosevelt (dalam Lickona, 1991:3)
bahwa “To educate a person in mind and not in morals is to educate a
menace to society.” Ungkapan Roosevelt ini bermakna sangat dalam,
yaitu bahwa mendidik seseorang hanya untuk berpikir dengan akal
tanpa disertai pendidikan moral berarti membangun suatu ancaman
dalam kehidupan masyarakat.
Tingkat kecerdasan akal juga harus diseimbangkan oleh tingkat
moralitas, sikap, perilaku yang positif. Di sinilah pendidikan karakter

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 143


memainkan peran yang sangat penting, yaitu untuk meningkatkan
moralitas, menumbuhkan sikap dan menciptakan perilaku positif
guna membentuk manusia ideal (utuh), manusia yang menggunakan
indera, akal, dan hatinya secara seimbang, sekaligus, dan menyeluruh
(Tafsir, 1990:6). Lalu pertanyaannya, apakah yang dimaksud dengan
pendidikan karakter?
2. Pendidikan karakter : tinjauan teoretis, filosofis, dan yuridis
Dalam konsep pembangunan sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas, pendidikan karakter memainkan peran yang sangat
strategis. Pendidikan karakter dinilai penting karena dipandang sebagai
pondasi dalam membangun suatu bangsa yang beradab. Pembangunan
karakter dan bangsa (character and nation building) merupakan dua
hal utama yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia agar dapat
mempertahankan eksistensinya (Budimansyah, 2010:1). Lalu, apa
hubungannya antara pendidikan karakter dengan upaya membangun
peradaban bangsa?
Dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut, mari kita kembali
sejenak ke sejarah perkembangan pendidikan karakter dan peradaban
negara-negara kota (polis) di Yunani. Negara kota Sparta, warga
negaranya diajarkan patriotisme sebagai nilai dimana mereka harus
mengabdikan diri, diikuti keberanian untuk berkorban pada negaranya.
Selain itu, negara kota Athena yang mengajarkan nilai-nilai demokratis
kepada warga negaranya disertai dengan pemikiran filsafat dan
keindahan (Mu’in, 2013:301). Jika ditinjau secara historis, masyarakat
Yunani di negara-negara kota (polis) tersebut tergolong sebagai
masyarakat yang bijaksana. Mereka telah membuat suatu kebijakan
mengenai pendidikan moral yang secara sengaja dibuat sebagai bagian
utama dari pendidikan sekolah. Mereka telah mendidik karakter
masyarakat setara dengan pendidikan intelijensi, mendidik kesopanan
setara dengan pendidikan literasi, dan mendidik kebajikan setara
dengan pendidikan ilmu pengetahuan. Mereka pun telah mencoba
untuk membentuk masyarakat yang dapat menggunakan intelijensi
untuk memberikan manfaat baik bagi masyarakat maupun bagi dirinya
sendiri sebagai bagian dari masyarakat guna membangun kehidupan

144 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


yang lebih baik (Lickona, 1991:6).
Dari uraian di atas, jelas menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang
kuat antara pendidikan karakter dan aspek pembangunan peradaban
di sebuah negara. Pertanyaannya, apakah yang dimaksud dengan
pendidikan karakter itu? Ditinjau dari aspek teoretis, Anna Lockwood
dalam bukunya berjudul Character Education: Controversy and
Consensus (1997:179) yang dikutip oleh Nucci & Narvaez (2008:91)
mendefinisikan pendidikan karakter secara singkat sebagai kegiatan
berbasis pada lembaga sekolah yang bertujuan untuk membentuk
perilaku siswa secara sistematis. Secara lengkap ia menyatakan bahwa:
“Character education is defined as any school-instituted program,
designed in cooperation with other community institutions, to
shape directly and systematically the behaviour of young people by
influencing explicitly the non-relativistic value believed directly to
bring about that behaviour.”
Dalam pandangan Anna Lockwood, pendidikan karakter tidak
akan bisa dilepaskan dari aspek program pada lembaga pendidikan
seperti sekolah, yang dirancang atas dasar kerjasama dengan lembaga-
lembaga kemasyarakatan dengan tujuan untuk membentuk perilaku
para remaja secara langsung dan sistematis dengan cara mempengaruhi
nilai-nilai non-relativistik secara eksplisit yang diyakini menghasilkan
perilaku tersebut secara langsung. Dari definisinya tersebut, kemudian
ia merinci tiga proposisi utama dalam pendidikan karakter (dalam
Nucci & Narvaez, 2008:91), yaitu:
a. Tujuan pendidikan moral dapat dikejar, bukan hanya diserahkan
kepada kurikulum tersembunyi yang tidak terkendali dan bahwa
tujuan tersebut harus memiliki dukungan dan persetujuan dari
masyarakat secara wajar (The goals of moral education can be
pursued, not simply left to an uncontrolled hidden curriculum and
that these goals should have a fair degree of public support and
consensus);
b. Tujuan-tujuan perilaku adalah bagian dari pendidikan karakter
(Behavioral goals are part of character education);

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 145


c. Perilaku antisosial pada bagian anak-anak merupakan akibat dari
tidak adanya nilai-nilai (Antisocial behavior on the part of children
is a result of an absence of values.).
Definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Anna
Lockwood tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya,
bahwa pendidikan karakter menurut Anna Lockwood melibatkan
kerjasama (cooperation) dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan,
tujuannya jelas disertai dengan dukungan dan persetujuan masyarakat.
Kelemahannya, bahwa definisi tersebut tidak mencakup klasifikasi-
klasifikasi perilaku dan nilai-nilai seperti apa yang hendak
diimplementasikan secara langsung, sistematis, dan jelas terhadap
kaum muda.
Sebagai tanggapan terhadap definisi pendidikan karakter yang
diungkapkan oleh Lockwood, Larry P. Nucci dan Darcia Narvaez
dalam bukunya berjudul Handbook of Moral and Character Education
(2008:91) berpendapat bahwa:
“Character education is not the same as behavioral control,
discipline, training, or indoctrination; it is much broader in scope
and has much more ambitious goals. ... Character education has
much more to do with the formation and transformation of a
person and includes education in schools, families, and through the
individual’s participation in society’s social networks.”
Menurut pandangan Nucci dan Narvaez, pendidikan karakter
tidak sama dengan pengendalian perilaku, disiplin, pelatihan, atau
indoktrinasi, melainkan jauh lebih luas lingkupnya dan memiliki tujuan
yang jauh lebih ambisius. Selain itu, pendidikan karakter memiliki
lebih banyak hubungan dengan pembentukan dan perubahan seseorang
dan mencakup di dalamnya pendidikan yang dilaksanakan di sekolah,
keluarga, maupun melalui partisipasi perorangan pada jaringan sosial
kemasyarakatan. Jelas bahwa pandangan Nucci dan Narvaez mengenai
pendidikan karakter terasa lebih luas karena melibatkan berbagai aktor
seperti sekolah, keluarga dan jaringan sosial kemasyarakatan.
Dalam rangka melengkapi makna tentang pendidikan karakter,

146 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Muchlas Samani dan Hariyanto (2013:45-46) mendefinisikan
pendidikan karakter sebagai suatu proses tuntunan kepada peserta didik
untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi
hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Menurut mereka, terdapat 3
makna tentang pendidikan karakter. Pertama, pendidikan karakter
dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, budi pekerti, moral, watak
yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan
mewujudkannya dalam kehidupan dengan sepenuh hati. Kedua,
pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai upaya terencana untuk
menjadikan peserta didik mengenal, peduli, dan menginternalisasi
nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil.
Ketiga, pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
diri sendiri, sesama, lingkungan maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia insan kamil.
Jika pendidikan karakter dipandang sebagai suatu program, sarana,
dan proses yang bertujuan untuk membentuk perilaku seseorang, maka
nilai-nilai seperti apa yang akan diimplementasikan dalam pendidikan
karakter itu? Dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut, penulis
mengutip beberapa komponen nilai-nilai karakter yang baik yang
dirumuskan oleh Thomas Lickona. Lickona (1991:51) berpendapat
bahwa:
“Character so conceived has three interrelated parts: moral
knowing, moral feeling, and moral behavior. Good character
consists of knowing the good, desiring the good, and doing the
good – habits of the mind, habits of the heart, and habits of action.”
Maknanya, karakter yang dirasakan memiliki tiga bagian yang
saling berhubungan, antara lain: pengetahuan moral, perasaan moral,
dan perilaku moral. Dalam pandangan Lickona, karakter yang baik
tercermin dari kebiasaan dalam cara berpikir, kebiasaan dalam hati, dan
kebiasaan dalam tindakan. Hubungan antara ketiganya dapat dilihat

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 147


secara jelas dalam gambar berikut.

Gambar 12.1 Komponen karakter yang baik


Sumber: Lickona, Thomas., Educating for Character: How Our Schools
can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam Books, 1991.
hlm.53.

Jika diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia, maka


konsep hubungan antar komponen karakter yang baik di atas dapat
dilihat seperti pada gambar berikut.

148 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Berbeda dengan pandangan Lickona yang memandang karakter
menjadi tiga komponen dasar, Larry P. Nucci dan Darcia Narvaez
(2008:373) memandang bahwa konsepsi karakter manusia memiliki
dua bagian utama, yaitu: karakter kinerja (performance character) dan
karakter moral (moral character).
Karakter kinerja digambarkan sebagai orientasi penguasaan
(mastery orientation) yang mencakup ketekunan, keuletan, etika
kerja yang kuat, sikap positif, kecerdikan, dan disiplin diri yang
secara keseluruhan dibutuhkan untuk mewujudkan potensi seseorang
pada keunggulan dalam setiap lingkup kebijakan seperti kegiatan
akademik, kegiatan ekstrakurikuler, tempat kerja, dan sepanjang hidup.
Sedangkan, karakter moral adalah orientasi hubungan (relational
orientation) yang terdiri dari sifat-sifat yang mencakup intergritas,

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 149


keadilan, kepedulian, menghormati, dan kerjasama yang diperlukan
bagi hubungan interpersonal yang berhasil dan perilaku etis. Karakter
moral bertugas untuk menengahi tujuan keunggulan kita dengan
menghormati kepentingan orang lain, memastikan bahwa kita tidak
melanggar nilai-nilai moral seperti keadilan, kejujuran, dan kepedulian
dalam mengejar kinerja yang tinggi. Hubungan antara karakter kinerja
(performance character) dan karakter moral (moral character) dapat
dilihat seperti gambar di bawah ini.

Gambar 12.2 Karakter kinerja dan karakter moral


Sumber: Nucci, Larry P., Narvaez, Darcia., Handbook of Moral and
Character Education, New York: Taylor & Francis, 2008, hlm.373.

Selain ditinjau dari aspek teoretis, pendidikan karakter juga


memiliki makna dalam aspek filosofis dan aspek yuridis. Secara
filosofis, implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan nasional
di Indonesia pada hakikatnya ditempatkan untuk menanamkan dan
mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
sebagai ideologi negara dan sebagai paradigma pembangunan ke dalam

150 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


kehidupan bermasyarakat. Ditinjau dari paradigma pembangunan,
Kaelan (2004:227) menyatakan bahwa hakikat kedudukan Pancasila
sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung suatu
konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembangunan nasional kita
harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai yang tercantum dalam
setiap sila pada Pancasila. Sehingga, penanaman nilai-nilai pancasila
dalam pendidikan karakter tentu akan mendukung proses pembangunan
itu sendiri.
Jika ditinjau secara yuridis, makna pendidikan karakter bersifat
implisit yang artinya tidak dinyatakan secara jelas (tersirat). Meskipun
demikian, kedudukan pendidikan karakter dinilai sangat strategis
karena tidak dapat dilepaskan dari tujuan kebijakan dasar pendidikan
nasional yang diatur dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan fungsi sistem
pendidikan nasional yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Secara konstitusional, sistem pendidikan nasional bertujuan untuk
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Kewenangan untuk mengusahakan
dan menyelenggarakan sistem pendidikan tersebut kemudian
diatribusikan kepada Pemerintah melalui instrumen hukum UU Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang ini, pendidikan karakter
harus dipandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional karena
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, tujuan pendidikan
nasional diperjelas, yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Fungsi dari pendidikan nasional adalah mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak. Fungsi membentuk watak
merupakan indikator bahwa pendidikan karakter memiliki kedudukan
yang istimewa dalam setiap komponen kurikulum pendidikan, baik

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 151


dalam kegiatan intrakurikuler, ekstrakurikuler, maupun non kurikuler.
Dalam sistem pendidikan nasional, terdapat 3 (tiga) jalur pendidikan
yang saling berkaitan secara terpadu, yakni: 1) jalur formal, yakni
jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang mencakup
pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi; 2) jalur
nonformal, yakni jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang serta berfungsi sebagai
pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam
rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat; dan 3) jalur informal,
yakni jalur pendidikan yang mencakup pendidikan yang dilakukan oleh
keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Pendidikan karakter hendaknya menjadi muatan setiap komponen
dan jalur pendidikan dalam sistem pendidikan nasional. Selain itu,
Pendidikan karakter berperan strategis dalam upaya mencapai tujuan
pendidikan nasional yang telah dirumuskan dalam kebijakan dasar
pendidikan secara konstitusional. Dalam rangka mempermudah proses
pemahaman, berikut bagan komponen dan jalur pendidikan dalam
sistem pendidikan nasional.

152 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Gambar 12.3 Bagan jalur pendidikan dalam Sistem Pendidikan Nasional
Sumber: diolah dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 153


Jika pendidikan karakter merupakan konsepsi dasar dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk membangun
negeri, maka bagaimana upaya pemerintah dalam membentuk warga
negaranya menjadi pribadi yang berkarakter? Variabel-variabel apa yang
mempengaruhi implementasi kebijakan bidang pendidikan karakter
di Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan aspek
kebijakan tersebut penting untuk dijawab guna mengidentifikasi pokok
permasalahan dalam pelaksanaan pendidikan karakter dan mencari
pilihan-pilihan solusi kebijakan terbaik dalam rangka menyelesaikan
permasalahan tersebut dalam formulasi kebijakan, dan yang lebih
penting dalam konteks ini adalah bagaimana mengimplementasikan
kebijakan tersebut dengan lebih efektif.
3. Kerangka berpikir dalam penyelesaian masalah
Analisis kebijakan berperan penting dalam meneliti sebab, akibat,
dan kinerja kebijakan dan program publik (Dunn, 2000:44). Dengan
menggunakan prosedur analisis kebijakan yang dirumuskan oleh
William Dunn, analisis kebijakan bidang pendidikan karakter yang
akan di bahas secara sistematis dan komprehensif pada bab ini secara
khusus akan berorientasi kepada masalah-masalah yang terjadi pada
tahap implementasi yang berkaitan dengan bidang pendidikan karakter.
Masalah-masalah tersebut antara lain seperti masalah mutu pendidikan
yang mencakup komponen masalah mutu guru, mutu pengelolaan, mutu
proses pendidikan, mutu sarana-prasarana, mutu proses pengajaran, dan
sebagainya (Suryadi dan Tilaar, 1993:14).
Teori-teori mengenai implementasi kebijakan publik yang
telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya pada hakikatnya dapat
diaplikasikan dalam berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan
karakter. Pemilihan bidang pendidikan karakter sebagai objek kajian
analisis implementasi kebijakan yang akan dibahas secara komprehensif
pada bab ini Penulis sandarkan pada dua alasan fundamental. Pertama,
literatur mengenai analisa implementasi kebijakan bidang pendidikan
karakter di Indonesia dinilai masih kurang. Adapun beberapa literatur
buku yang disusun oleh beberapa pakar pendidikan tidak secara
khusus mengkaji mengenai pentingnya implementasi kebijakan bidang

154 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


pendidikan karakter di Indonesia. Kedua, latar belakang pemilihan
topik pendidikan karakter dalam kajian analisa implementasi kebijakan
didasarkan kepada pemikiran tentang urgensi revolusi karakter bangsa
dalam mewujudkan Indonesia yang berkepribadian dalam kebudayaan.
Tentu, dalam hal ini pendidikan karakter berperan penting dalam upaya
“memanusiakan” sumber daya manusia Indonesia.
Implementasi kebijakan publik bidang pendidikan karakter pada bab
ini akan dianalisa menggunakan model implementasi yang dirumuskan
oleh Grindle dalam salah satu karyanya yang berjudul Policy Content
and Context in Implementation (1980). Grindle membentuk konsep
atau model tersebut dengan tujuan untuk mengembangkan proses
generalisasi terhadap dasar dari bahan studi kasus tentang bagaimana
dan mengapa variabel konten kebijakan (the content of policy) dan
konteks kebijakan (the context of policy) turut campur dalam aktivitas
implementasi serta untuk mengukur apakah hasil luarannya sesuai atau
tidak dengan tujuan kebijakan yang dirumuskan.

B. Kebijakan Publik di Bidang Pendidikan Karakter


1. Formulasi tujuan kebijakan
Salah satu tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia adalah
untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa. Kedua tujuan tersebut berkaitan dengan aspek pendidikan.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin bahwa setiap orang
berhak mendapatkan pendidikan demi meningkatkan kualitas hidupnya.
Disamping itu, Pemerintah juga wajib membiayai pendidikan dasar dari
setiap warga negaranya. Sejalan dengan konsep dasar pembentukan
Pemerintah Negara Indonesia, maka kebijakan dasar bidang pendidikan
serta tujuannya diformulasikan melalui instrumen hukum berbentuk
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, sebagai salah satu bentuk implementasi dari kewenangan
atribusi yang diberikan oleh Pasal 31 ayat (3) UUD 1945.
Secara konstitusional, pembentukan kebijakan ini bertujuan untuk
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia. Tujuan

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 155


ini dinilai abstrak dan oleh karena itu, dibentuknya sistem pendidikan
nasional merupakan salah satu upaya untuk mentransformasikan tujuan
abstrak tersebut ke dalam bentuk tujuan-tujuan umum dan tujuan-
tujuan yang lebih spesifik. Berdasarkan Pasal 3 UU Sistem Pendidikan
Nasional, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Lalu, apa hubungannya antara
fungsi pendidikan nasional dan tujuan pendidikan nasional? Sebelum
menjelaskan tujuan pendidikan nasional, khususnya pendidikan
karakter secara lebih khusus alangkah lebih bijak jika kita membahas
mengenai fungsinya terlebih dahulu.
Menurut Kesuma, et al., (2012:7), fungsi mengembangkan
kemampuan menunjukkan bahwa pendidikan nasional menganut aliran
konstruktivisme, yang berarti bahwa peserta didik adalah manusia
yang potensial dan dapat dikembangkan secara optimal melalui proses
pendidikan. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa jenis kemampuan yang
dikembangkan oleh pendidikan itu sendiri tidak jelas klasifikasinya,
apakah kemampuan watak, kemampuan akademik, kemampuan sosial,
atau kemampuan religi. Penulis sependapat dengan pernyataan tersebut,
karena pada kenyataannya memang tidak dijelaskan secara eksplisit
mengenai kemampuan apa yang perlu dikembangkan. Tentu, ini
merupakan kelemahan dari salah satu fungsi pendidikan nasional yang
dirumuskan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional. Namun apabila
mengacu kepada klasifikasi karakter dari Nucci dan Narvaez (2008 :
373), maka yang dimaksud dengan kemampuan adalah performance
Character, sedangkan yang dimaksud dengan watak adalah lebih
berkonotasi Moral Character.
Fungsi membentuk watak adalah fungsi kedua dari pendidikan
nasional yang telah memberikan tempat istimewa bagi pendidikan
karakter dalam sistem pendidikan nasional. Tanpa disertai dengan
pembentukan watak, maka pendidikan nasional akan kehilangan
“hatinya”. Jika proses pengembangan kemampuan merupakan
cerminan dari “akal” (knowledge & skill), maka pembentukan watak
akan mencerminkan “hati” (attitude). Tentu ingat pada bab sebelumnya

156 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Penulis pernah mengutip pernyataan Ahmad Tafsir (1990:6) bahwa
manusia ideal (utuh) adalah manusia yang menggunakan indera, akal,
dan hatinya secara seimbang, sekaligus, dan menyeluruh. Fungsi
pembentukan watak ini akan mempengaruhi masa depan Bangsa dan
Negara Indonesia. Mengapa demikian? Karena mendidik seseorang
hanya untuk berpikir dengan akal tanpa disertai pendidikan moral
berarti membangun suatu ancaman dalam kehidupan masyarakat.
Selain fungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak,
pendidikan nasional juga memiliki fungsi membentuk peradaban bangsa
yang bermartabat. Dalan perspektif pedagogik, pendidikan itu berfungsi
untuk menjadikan manusia yang terdidik (Kesuma, et al., 2012:8).
Manusia yang terdidik merupakan salah satu indikator bangsa yang
cerdas dan berkebudayaan. Suatu peradaban bangsa yang bermartabat
tentunya dibentuk oleh sumber daya manusia yang cerdas dan
berkarakter. Seperti yang telah Penulis uraikan tentang hubungan antara
pendidikan karakter dan peradaban sebuah bangsa pada masyarakat
Yunani di bagian sebelumnya. Dengan terbentuknya masyarakat yang
beradab, maka tentu tujuan pendidikan, yaitu menghasilkan “manusia-
manusia” yang memiliki kemampuan intelektual tinggi dan berkarakter
baik telah tercapai.
Fungsi adalah sarana mencapai tujuan. Fungsi-fungsi pendidikan
nasional yang secara sistematis telah diuraikan di atas, merupakan
sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah diformulasikan dalam
UU Sistem Pendidikan Nasional, yaitu antara lain: berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, Pemerintah Pusat
mendelegasikan kewenangan bidang pendidikan nasional kepada
kementerian yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan
nasional. Selain itu, Pemerintah Pusat juga merumuskan beragam
kebijakan dalam bentuk program-program kerja kongkrit yang berkaitan

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 157


dengan pendidikan karakter. Pembentukan program-program kerja
nyata tersebut bukan tanpa alasan. Sebagus apapun tujuan kebijakan
yang diformulasikan oleh policy makers / policy framers tentu mustahil
bisa dicapai dengan sendirinya, kecuali kalau dibentuk suatu program-
program kongkrit yang didanai dan kemudian diimplementasikan oleh
para program implementors. Seperti yang dikatakan oleh Edwards
(1980:1) bahwa “Public policies are rarely self-executing.”
2. Program-program pendidikan karakter
Tugas implementasi adalah untuk membangun sebuah jaringan
yang memungkinkan diwujudkannya tujuan-tujuan kebijakan publik
sebagai hasil luaran dari aktivitas-aktivitas pemerintahan (Grindle,
1980:6). Jika ditinjau berdasarkan tugas implementasi kebijakan yang
dirumuskan oleh Grindle tersebut, perumusan suatu program kerja
atau proyek perorangan merupakan sebuah “jaringan” dan salah satu
tahap yang harus dilalui sebelum aktivitas implementasi. Jika tidak ada
tahapan ini, maka apa yang harus diimplementasikan? Oleh karena itu,
Grindle (1980:6) berpendapat bahwa “... the study of the process of
policy implementation almost necessarily involves investigation and
analysis of concrete action programs that have been designed as a
means of achieving broader policy goals.” Jika diterjemahkan secara
bebas ke dalam bahasa Indonesia, maknanya bahwa studi mengenai
proses implementasi kebijakan hampir selalu melibatkan kajian dan
analisis program-program kerja yang kongkrit yang telah dibentuk
sebagai sebuah sarana untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan secara
luas. Selanjutnya, ia (1980:7) mengatakan bahwa:
“The general process of implementation thus can begin only when
general goals and objectives have been specified, when action
programs have been designed, and when funds have been allocated
for the pursuit of the goals. These are basic conditions for the
execution of any explicit public policy.”
Maknanya, bahwa proses umum dari implementasi dengan
demikian dapat memulai ketika tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran
umum telah ditentukan, ketika program-program kerja telah dibentuk,
dan ketika pendanaan telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan-

158 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


tujuan tersebut. Dengan demikian, uraian ini menjadi landasan utama
untuk menilai pentingnya pembentukan program kerja dalam proses
implementasi kebijakan.
Pada sektor pendidikan, nyatanya telah banyak kebijakan
kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah dengan tujuan yang beragam
pula. Mulai dari Ujian Nasional, pemberian Bantuan Operasional
Sekolah (BOS), Program Indonesia Pintar, penghapusan sistem cluster
dan rayon sekolah dalam penerimaan siswa baru, termasuk juga
penguatan pendidikan karakter. Dalam bidang pendidikan karakter,
Pemerintah Pusat yang diwakili oleh Kementerian Pendidikan Nasional
telah merumuskan Program Gerakan Nasional Pendidikan Karakter
yang dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter
Tahun 2010. Menyadari luasnya penyelenggaraan pendidikan karakter,
maka dibentuklah Grand Design Pendidikan Karakter Tahun 2010
yang didalamnya mencakup Konteks Makro Pengembangan Karakter.
Konteks Makro Pengembangan Karakter dapat dilihat pada bagan
berikut (Budimansyah, 2010:56):

Gambar 12.4 Konteks Makro Pengembangan Karakter


Sumber: Grand Design Pendidikan Karakte 2010 dalam Budimansyah,
Dasim., 2010, Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk
Membangun Karakter Bangsa, Bandung: Widya Aksara Press,
hlm.56.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 159


Berdasarkan bagan di atas, pada konteks pengembangan makro,
pengembangan karakter mencakup tahap perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi hasil. Tahap perencanaan merupakan tahap perumusan
nilai-nilai luhur yang diambil dari berbagai sumber. Tahap implementasi
merupakan tahapan dimana pengalaman belajar dan proses pembelajaran
bermuara pada pembentukan karakter dalam diri individu peserta didik
melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan. Sedangkan tahap
penilaian merupakan tahap akhir untuk melakukan penilaian program
untuk perbaikan berkelanjutan dari program yang bersangkutan dan
untuk mendeteksi aktualisasi karakter dalam diri peserta didik. Pada
konteks mikro, pengembangan karakter berlangsung pada masing-
masing satuan pendidikan, seperti tergambar dalam ilustrasi berikut.

Gambar 12.5 Konteks Mikro Pengembangan Karakter


Sumber: Grand Design Pendidikan Karakter 2010 dalam Budimansyah,
Dasim., 2010, Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk
Membangun Karakter Bangsa, Bandung: Widya Aksara Press, hlm.58.

160 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Dalam rangka memperkuat program pendidikan karakter yang
telah dirumuskan sebelumnya, Pemerintah Pusat mencanangkan
Gerakan Nasional Revolusi Mental pada tahun 2014 yang kemudian
diimplementasikan sampai saat ini. Dalam konteks pendidikan karakter,
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menyadari
bahwa pelaksanaan pendidikan karakter yang telah dirumuskan sejak
tahun 2010 terlalu fokus kepada kegiatan yang bersifat intrakurikuler
dan ekstrakurikuler, sedangkan pendidikan karakter dalam kegiatan
yang bersifat non kurikuler kadang terkesampingkan. Atas dasar
permasalahan tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia merumuskan program Penumbuhan Budi Pekerti
(PBP). Program ini diformulasikan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia melalui instrumen hukum berbentuk
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor
23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Permendikbud, Penumbuhan Budi
Pekerti (PBP) adalah kegiatan pembiasaan sikap dan perilaku positif di
sekolah yang dimulai sejak dari hari pertama sekolah, masa orientasi
peserta didik baru untuk jenjang sekolah menengah pertama, sekolah
menengah atas dan sekolah menengah kejuruan, sampai dengan
kelulusan sekolah. Kegiatan pembiasaan ini merupakan serangkaian
kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa, guru, dan tenaga kependidikan
pada lingkungan satuan pendidikan. Melalui instrumen Permendikbud
ini, mulai banyak sekolah-sekolah yang mengimplementasikan
pendidikan karakter melalui kegiatan pembiasaan-pembiasaan seperti
yang dirumuskan dalam Permendikbud Penumbuhan Budi Pekerti.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Permendikbud Nomor 23 tahun
2015, Penumbuhan Budi Pekerti adalah kegiatan pembiasaan sikap dan
perilaku positif di sekolah yang dimulai sejak dari hari pertama sekolah,
masa orientasi peserta didik baru untuk jenjang sekolah menengah
pertama, sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan,
sampai dengan kelulusan sekolah. Program Gerakan Penumbuhan Budi
Pekerti ini memiliki 4 (empat) tujuan spesifik, antara lain:

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 161


a. Menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan
bagi siswa, guru, dan tenaga kependidikan;
b. Menumbuhkembangkan kebiasaan yang baik sebagai bentuk
pendidikan karakter sejak di keluarga, sekolah, dan masyarakat;
c. Menjadikan pendidikan sebagai gerakan yang melibatkan
pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga; dan/
atau
d. Menumbuhkembangkan lingkungan dan budaya belajar yang
serasi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Dipandang perlu untuk diketahui bahwa latar belakang


dirumuskannya program ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
masih terabaikannya implementasi nilai-nilai dasar kemanusiaan
yang bersumber dari Ideologi Pancasila. Oleh karena itu, pelaksanaan
Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti yang dilaksanakan pada tahun
ajaran 2015/2016 itu didasarkan pada nilai-nilai dasar kebangsaan
dan kemanusiaan. Adapun nilai-nilai tersebut antara lain (Lampiran
Permendikbud, 2015:4) :
a. Internalisasi sikap moral dan spiritual, yaitu mampu menghayati
hubungan spiritual dengan Sang Pencipta yang diwujudkan dengan
sikap moral untuk menghormati sesama mahluk hidup dan alam
sekitar;
b. Keteguhan menjaga semangat kebangsaan dan kebhinnekaan
untuk merekatkan persatuan bangsa, yaitu mampu terbuka
terhadap perbedaan bahasa, suku bangsa, agama, dan golongan,
dipersatukan oleh keterhubungan untuk mewujudkan tindakan
bersama sebagai satu bangsa, satu tanah air dan berbahasa bersama
bahasa Indonesia;
c. Interaksi sosial positif antara peserta didik dengan figur orang
dewasa di lingkungan sekolah dan rumah, yaitu mampu dan mau
menghormati guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, warga
masyarakat di lingkungan sekolah, dan orangtua;

162 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


d. Interaksi sosial positif antar peserta didik, yaitu kepedulian terhadap
kondisi fisik dan psikologis antar teman sebaya, adik kelas, dan
kakak kelas;
e. Memelihara lingkungan sekolah, yaitu melakukan gotong-royong
untuk menjaga keamanan, ketertiban, kenyamanan, dan kebersihan
lingkungan sekolah;
f. Penghargaan terhadap keunikan potensi peserta didik untuk
dikembangkan, yaitu mendorong peserta didik gemar membaca
dan mengembangkan minat yang sesuai dengan potensi bakatnya
untuk memperluas cakrawala kehidupan di dalam mengembangkan
dirinya sendiri;
g. Penguatan peran orangtua dan unsur masyarakat yang terkait,
yaitu melibatkan peran aktif orangtua dan unsur masyarakat untuk
ikut bertanggung jawab mengawal kegiatan pembiasaan sikap dan
perilaku positif di sekolah.

Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa pendidikan


karakter terletak di setiap komponen dan jalur pendidikan dalam
sistem pendidikan nasional yang sangat luas. Karena cakupan
pendidikan karakter yang begitu komprehensif dan implementasi
kebijakan sebelumnya yang bersifat parsial, maka dalam hal ini
Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
merumuskan Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter
dan mengimplementasikannya untuk tingkat Sekolah Dasar dan
Sekolah Menengah Pertama. Untuk informasi lebih jelas, Konsep dan
Pedoman PPK ini dapat diunduh pada alamat http://cerdasberkarakter.
kemdikbud.go.id/content/read/6.
Berdasarkan statusnya, Konsep dan Pedoman PPK ini merupakan
program lanjutan dari Gerakan Nasional Pendidikan Karakter yang
dirumuskan oleh Pemerintah pada tahun 2010. Selain itu, pondasi
Penguatan Pendidikan Karakter ini didasarkan pada 4 (empat) pilar
kebangsaan, yaitu: Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Konsep

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 163


dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter membawa 5 (lima)
nilai utama dan masing-masing nilai mengandung subnilai. Nilai-nilai
tersebut secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 12.2
Nilai-Nilai Utama Program Penguatan Pendidikan Karakter (PKK)
berdasarkan Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan
Karakter dari Kemendikbud RI (2016: 7-10), dapat disajikan
dalam bentuk tabel sebagai berikut
No. Nilai Karakter Subnilai
cinta damai, toleransi, menghargai perbedaan agama
Religius dan kepercayaan, teguh pendirian, percaya diri,
kerja sama antar pemeluk agama dan kepercayaan,
1. antibuli dan kekerasan, persahabatan, ketulusan,
tidak memaksakan kehendak, mencintai lingkungan,
melindungi yang kecil dan tersisih.
Apresiasi budaya bangsa sendiri, menjaga kekayaan
budaya bangsa,rela berkorban, unggul, dan berprestasi,
2. Nasionalis cinta tanah air, menjaga lingkungan,taat hukum,
disiplin, menghormati keragaman budaya, suku,dan
agama
Etos kerja (kerja keras), tangguh tahan banting, daya
juang, profesional, kreatif, keberanian, dan menjadi
3. Mandiri pembelajar sepanjang hayat.

Menghargai, kerja sama, inklusif, komitmen


atas keputusan bersama, musyawarah mufakat,
tolongmenolong, solidaritas, empati, anti diskriminasi,
4. Gotong Royong anti kekerasan, dan sikap kerelawanan.

kejujuran, cinta pada kebenaran, setia, komitmen


moral, anti korupsi, keadilan, tanggung jawab,
5. Integritas keteladanan, dan menghargai martabat individu
(terutama penyandang disabilitas).

164 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Untuk memahami lebih jauh mengenai hubungan antar nilai
yang dirumuskan dalam Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan
Karakter (PKK), berikut ilustrasi hubungan antar nilai yang Penulis
dapatkan dari website resmi program Penguatan Pendidikan Karakter,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (sumber
tertera).

Sumber gambar: http://cerdasberkarakter.kemdikbud.go.id/#slider

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 165


Itulah uraian singkat mengenai program-program yang berkaitan
dengan implementasi kebijakan publik bidang pendidikan karakter yang
dirumuskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. Selanjutnya, analisis implementasi kebijakan bidang
pendidikan karakter yang secara komprehensif akan didiskusikan dalam
bab ini terpusat pada Program Penumbuhan Budi Pekerti (PBP) pada
tingkat satuan pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah
Pertama (SMP) sesuai dengan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015.

C. Aplikasi Teori Implementasi Kebijakan Publik dalam Analisis


Implementasi Kebijakan Bidang Pendidikan Karakter
Implementasi kebijakan publik bidang pendidikan karakter
pada sub bab ini akan dianalisa menggunakan model implementasi
yang dirumuskan oleh Grindle dalam salah satu karyanya yang
berjudul Policy Content and Context in Implementation (1980).
Grindle membentuk konsep atau model tersebut dengan tujuan untuk
mengembangkan proses generalisasi terhadap dasar dari bahan studi
kasus tentang bagaimana dan mengapa variabel konten kebijakan
(the content of policy) dan konteks kebijakan (the context of policy)
turut campur dalam aktivitas implementasi serta untuk mengukur
apakah hasil luarannya sesuai atau tidak dengan tujuan kebijakan yang
dirumuskan. Pemilihan model Grindle sebagai salah satu kerangka
analisa implementasi diharapkan dapat memberikan gambaran secara
luas mengenai pengaruh variabel materi muatan (content) dan konteks
(context) kebijakan terhadap kesuksesan implementasi kebijakan
bidang pendidikan karakter di Indonesia. Skema analisis implementasi
kebijakan akan mengikuti model yang dirumuskan oleh Grindle seperti
yang tergambar pada ilustrasi berikut:

166 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Gambar 12.6 Implementasi sebagai sebuah Proses Politik dan
Administratif
Sumber: Merilee S. Grindle, Politics and Policy Implementation in the
Third World, New Jersey: Princetown University Press, 1980, hlm.11.

Setelah mengetahui jenis-jenis variabel yang mempengaruhi


proses implementasi, maka selanjutnya variabel-variabel tersebut
diuraikan menjadi subvariabel-subvariabel dan indikator-indikator
secara terperinci seperti apa yang tertera pada tabel yang Penulis
adaptasi dari penelitian Sintaningrum (2009: 79-80) tentang Pengaruh
Implementasi Kebijakan Pertanahan terhadap Struktur Penguasaan
Tanah dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Petani di Kabupaten
Garut dan Kabupaten Subang, yaitu sebagai berikut:

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 167


Tabel 12.3
Variabel-variabel yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
Penumbuhan Budi Pekerti
Sub
Variabel Dimensi Indikator
Variabel
Implementasi 1. Materi Muatan 1. Kepentingan yang 1.Siswa atau peserta didik
Kebijakan Kebijakan terpengaruhi (Interest 2.Guru
Penumbuhan (content of policy) affected) 3.Tenaga kependidikan
Budi Pekerti 2. Ragam manfaat 1.Terwujudnya nilai-nilai moral dan spiritual
(type of benefits) 2.Terwujudnya nilai-nilai kebangsaan dan kebhinekaan
3.Terciptanya interaksi positif antara pihak sasaran
dengan lingkungannya secara dua arah
4.Kebersihan, keamanan, kenyamanan, dan ketertiban
lingkungan akan terawat
5.Potensi diri pihak sasaran berkembang secara utuh.
6.Kasih sayang dan kepedulian akan tercurahkan dan
berjalan beriringan
3.Perubahan yang 1.Perubahan karakter berdasarkan UUD
diharapkan (extended 2.Perubahan karakter berdasarkan UU SPN
of change envisioned) 3.Perubahan karakter berdasarkan Arahan Satuan
Pendidikan
4.Perubahan karakter berdasarkan Program PBP
4.Tempat pembuatan 1.Peran masing-masing lembaga pelaksana
keputusan (site of 2.Pengambil keputusan
decision making) 3.Tempat diambilnya keputusan
5.Para pelaksana 1.Guru
program (program 2.Tenaga kependidikan
implementors) 3.Orangtua/wali
4.Komite sekolah
5.Alumni
6.Pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan pembelajaran
6. Sumber daya yang 1.Sumber daya aktor
dilibatkan (resources a.Kualitas dan kuantitas para implementor
committed) b.Komitmen
c.Pemahaman mengenai kebijakan
d.Komunikasi dan koordinasi implementor
2.Sumber daya finansial
a.APBN
b.APBD
c.Sumber lain yang sah dan tidak mengikat
3.Sarana dan rasarana
2 . K o n t e k s 1.Kekuasaan, 1.Kemampuan untuk melaksanakan program
Kebijakan kepentingan, dan 2.Dukungan pemerintah
(context of policy) strategi para aktor 3.Dukungan masyarakat
yang terlibat (power, 4.Tekanan kelompok kepentingan
interests, and
strategies of actors
involved)
2.Karakteristik 1.Prosedur pelaksanaan program
instruksi dan rezim 2.Karakteristik implementor
yang berkuasa 3.Mekanisme pembuatan kebijakan bidang pendidikan
(institution and regime karakter
characteristics) 4.Pengaruh rezim penguasa
3. Kepatuhan dan daya 1.Konsistensi implementasi
tanggap (compliance 2.Responsivitas implementor terhadap kebutuhan sasaran
and responsiveness) 3.Responsivitas terhadap tekanan kelompok kepentingan
4.Kemampuan mengendalikan arah implementasi
kebijakan

168 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


1. Materi muatan kebijakan (content of policy)
Implementasi kebijakan publik bidang pendidikan karakter secara
nasional di seluruh Indonesia tidak bisa dilepaskan dari agenda revolusi
karakter bangsa yang digagas oleh Pemerintah Pusat. Kebijakan bidang
pendidikan, khususnya pendidikan karakter di Indonesia didasarkan
pada beberapa instrumen hukum, antara lain: Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan, dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Selain itu juga
terdapat Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter untuk
Tingkat Pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama.
Analisis tentang variabel materi muatan kebijakan yang akan dikaji
secara komprehensif dalam analisa implementasi ini difokuskan kepada
Program Penumbuhan Budi Pekerti (PBK).
Variabel materi muatan kebijakan mencakup beberapa subvariabel
yang secara langsung mempengaruhi proses implementasi kebijakan.
subvariabel-subvariabel yang mempengaruhi kesuksesan implementasi
kebijakan Penumbuhan Budi Pekerti (PBK), antara lain: kepentingan
yang terpengaruhi (Interest affected); macam-macam manfaat (type
of benefits); sejauh mana perubahan yang dibayangkan (extended of
change envisioned); tempat pembuatan keputusan (site of decision
making); para pelaksana program (program implementors); dan sumber
daya yang disepakati (resources committed). Berikut uraian lengkap
mengenai subvariabel-subvariabel materi muatan kebijakan yang
mempengaruhi implementasi kebijakan bidang pendidikan karakter/
penguatan pendidikan karakter di Indonesia.
a. Kepentingan yang terpengaruhi (Interest affected)
Berdasarkan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015, Program
Penumbuhan Budi Pekerti (PBK) adalah kegiatan pembiasaan sikap dan
perilaku positif di sekolah yang dimulai sejak dari hari pertama sekolah,
masa orientasi peserta didik baru untuk jenjang sekolah menengah
pertama, sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan,

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 169


sampai dengan kelulusan sekolah. Pembiasaan-pembiasaan tersebut
merupakan serangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa,
guru, dan tenaga kependidikan yang bertujuan untuk menumbuhkan
kebiasaan yang baik dan membentuk generasi berkarakter positif.
Uraian tersebut dengan jelas menyatakan bahwa terdapat tiga
subjek yang kepentingannya akan dipengaruhi secara langsung oleh
implementasi kebijakan Penumbuhan Budi Pekerti. Pihak-pihak
tersebut antara lain:
1) Siswa atau peserta didik, yaitu anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang
tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu;
2) Guru, yaitu pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah;
3) Tenaga kependidikan, yaitu anggota masyarakat yang mengabdikan
diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan;
Implementasi kebijakan publik bidang pendidikan karakter, dalam
hal ini kebijakan Penumbuhan Budi Pekerti harus mengakomodasi
semua kepentingan dari para pihak yang disebutkan di atas. Peserta
didik, guru dan tenaga kependidikan merupakan para pihak yang
kepentingannya sangat dipengaruhi oleh kebijakan Penumbuhan
Budi Pekerti karena keberhasilan implementasi kebijakan ini terletak
pada tiga komponen itu sebagai objek sekaligus subjek utama dalam
pendidikan karakter di satuan pendidikan formal seperti sekolah.
b. Ragam manfaat (type of benefits)
Kebijakan yang menawarkan keuntungan atau manfaat bersama
(collective benefits) terhadap masyarakat luas cenderung akan terhindar
dari konflik atau perselisihan di kemudian hari dibandingkan dengan
program yang tidak bermanfaat. Kebijakan Penumbuhan Budi Pekerti
sebagai salah satu bentuk kongkrit dari pendidikan karakter memberikan
ragam manfaat, baik manfaat yang akan dirasakan secara individu maupun
secara kelompok. Selain itu, manfaat dari kebijakan Penumbuhan Budi

170 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Pekerti yang dirasakan akan bersifat jangka panjang karena tidak hanya
manfaat yang dirasakan pada proses pendidikan, melainkan ketika
peserta didik tersebut telah menyelesaikan pendidikan. Ragam manfaat
yang bersifat jangka panjang tersebut mungkin akan membuat Program
Penumbuhan Budi Pekerti ini menjadi lebih sulit diimplementasikan.
Sebagaimana dikatakan oleh Grindle (1980:9) bahwa “Programs that
are designed to achieve long-range objectives may be more difficult to
implement than those whose advantages are immediately apparent to
the beneficiaries”. Maknanya, program-program yang dibentuk untuk
mencapai tujuan jangka panjang mungkin akan terasa lebih sulit untuk
diimplementasikan daripada program-program yang manfaatnya terasa
nyata terhadap yang menerima manfaat.
Berdasarkan Permendikbud Penumbuhan Budi Pekerti, Gerakan
Penumbuhan Budi Pekerti yang dilakukan melalui pembiasaan-
pembiasaan perilaku-perilaku baik akan menghasilkan beragam
manfaat, antara lain:
1) Terwujudnya nilai-nilai moral dan spiritual dalam kehidupan
sehari-hari.
2) Terwujudnya nilai-nilai kebangsaan dan kebhinekaan dalam
berbagai pelaksanaan kegiatan.
3) Terciptanya interaksi positif antara pihak sasaran dengan
lingkungannya secara dua arah, yaitu antara peserta didik, guru
dan/atau orangtua. Sehingga, hubungan sosial dan emosional akan
terbentuk.
4) Kebersihan, keamanan, kenyamanan, dan ketertiban lingkungan
akan terawat. Keadaan seperti itu tentu akan mempengaruhi aspek
lahir dan batin dari pihak sasaran.
5) Potensi diri pihak sasaran berkembang secara utuh.
6) Kasih sayang dan kepedulian dalam proses penyelenggaraan
pendidikan akan tercurahkan dan berjalan beriringan karena
kehadiran orangtua dan masyarakat di lingkungan satuan
pendidikan.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 171


c. Perubahan yang diharapkan (extended of change envisioned)
Menurut Grindle (1980:9), hal lain yang mempengaruhi
kesuksesan implementasi kebijakan adalah sejauh mana perubahan-
perubahan yang diharapkan dari sebuah kebijakan. Perubahan-
perubahan yang diharapkan dalam Program Penumbuhan Budi Pekerti
yaitu perubahan-perubahan karakter dari kelompok sasaran yang
disesuaikan dengan standar-standar tujuan kebijakan secara hierarkis.
Adapun standar-standar tujuan kebijakan yang dijadikan acuan dalam
perubahan-perubahan ini dibagi menjadi empat kategori: Perubahan
karakter berdasarkan UUD, perubahan karakter berdasarkan UU
SPN, perubahan karakter berdasarkan Arahan Satuan Pendidikan, dan
perubahan karakter berdasarkan Program PBP.
1) Perubahan karakter berdasarkan UUD, yaitu perubahan karakter
kelompok sasaran yang diharapkan sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional yang dirumuskan secara konstitusional. Perubahan
yang diharapkan antara lain adanya peningkatan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia para kelompok sasaran.
2) Perubahan karakter berdasarkan Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional, yaitu perubahan karakter kelompok sasaran
yang diharapkan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang
dirumuskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Perubahan yang diharapkan antara lain adanya perkembangan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
3) Perubahan karakter berdasarkan Arahan Satuan Pendidikan, yaitu
perubahan karakter kelompok sasaran yang diharapkan sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan secara lebih
khusus pada masing-masing tujuan satuan pendidikan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan
dan Penyelenggaraan Pendidikan, antara lain:
a) Perubahan karakter yang diharapkan dari satuan pendidikan
anak usia dini, yaitu: adanya peningkatan dan perkembangan

172 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


potensi peserta didik menjadi manusia beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
berkepribadian luhur, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif,
inovatif, mandiri, percaya diri, demokratis, bertanggung
jawab; serta berkembangnya potensi kecerdasan spiritual,
intelektual, emosional, kinestetis, dan sosial peserta didik.
b) Perubahan karakter yang diharapkan dari satuan pendidikan
dasar, yaitu: adanya peningkatan dan perkembangan potensi
peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan
berkepribadian luhur, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif,
sehat, mandiri, percaya diri, toleran, peka sosial, demokratis,
dan bertanggung jawab.
c) Perubahan karakter yang diharapkan dari satuan pendidikan
menengah, yaitu: peserta didik menjadi insan yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
berkepribadian luhur, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif,
sehat, mandiri, percaya diri, toleran, peka sosial, demokratis,
dan bertanggung jawab.
4) Perubahan karakter berdasarkan Permendikbud Penumbuhan Budi
Pekerti, yaitu menumbuhkan kebiasaan yang baik dan membentuk
generasi berkarakter positif. Perubahan yang diharapkan yaitu:
terbentuknya sekolah yang berfungsi sebagai taman belajar
yang menyenangkan bagi siswa, guru, dan tenaga kependidikan;
peningkatan kebiasaan baik yang dilakukan di lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat; peningkatan peran serta
pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga dalam
proses pendidikan; peningkatan keserasian lingkungan dan budaya
belajar di antara kelompok sasaran.
d. Tempat pembuatan keputusan (site of decision making)
Grindle (1980:10) menyatakan bahwa dimana dan siapa yang
berwenang dalam pengambilan keputusan suatu kebijakan akan
mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan. Penetapan
keputusan suatu kebijakan di bidang pendidikan dilakukan secara

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 173


terpusat, yaitu oleh Pemerintah Pusat. Kemudian kewenangan itu
didelegasikan kepada pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota.
Secara umum, perumusan kebijakan dasar bidang pendidikan berada
pada Pemerintah Pusat. Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan
Pemerintah Pusat untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional. Dalam rangka mengimplementasikan
amanat UUD tersebut, maka dirumuskan dan ditetapkannya
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN). Dengan
diundangkannya UU SPN, maka kewenangan untuk menentukan
kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan diberikan kepada
Pemerintah Pusat.
Jika ditinjau dari aspek pengelolaan pendidikan, tanggung jawab
untuk mengelola sistem pendidikan nasional berada di Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Aspek pengelolaan pendidikan yang
diatur dalam UU SPN kemudian diimplementasikan ke dalam norma
hukum yang lebih kongkrit, yaitu melalui Peraturan Pemerintah Nomor
17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Peraturan Pemerintah tersebut menjadi pedoman pelaksana yang berisi
arahan bagaimana alur kebijakan pengelolaan pendidikan dirumuskan,
apa peran masing-masing lembaga dan pengambil kebijakan, siapa
yang bertanggungjawab dalam perumusan dan penetapan kebijakan,
dan dimana letak pengambilan keputusan tersebut.
Dalam bidang pendidikan karakter, perumusan kebijakan
Penumbuhan Budi Pekerti dilakukan secara terpusat dan berjenjang
mengikuti alur kewenangan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-
undangan. Pengelolaan pendidikan secara hierarkis dilakukan oleh:
Pemerintah Pusat; pemerintah provinsi; pemerintah kabupaten/kota,
penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat; dan
satuan atau program pendidikan.
Pada tingkat pusat, tanggung jawab pengelolaan sistem pendidikan
baik pada tahap formulasi dan/atau penetapan kebijakan nasional
di bidang pendidikan diberikan kepada Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan. Kebijakan nasional pendidikan yang dirumuskan oleh

174 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut juga pada hakikatnya
berisi implementasi kebijakan dalam bidang pendidikan karakter, yakni
pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia.
Pada tingkat provinsi, pengelolaan sistem pendidikan nasional
dilaksanakan di daerah provinsi masing-masing dengan tanggung jawab
formulasi dan penetapan kebijakan berada pada gubernur. Kebijakan
pendidikan yang dirumuskan dan ditetapkan tersebut merupakan
penjabaran dari kebijakan pendidikan yang telah dirumuskan dan
ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada tingkat kabupaten/kota, bupati/walikota bertanggung
jawab dalam mengelola sistem pendidikan nasional di daerah yang
dipimpinnya, termasuk dalam hal formulasi dan penetapan kebijakan
bidang pendidikan. Kebijakan pendidikan yang dirumuskan dan
ditetapkan tersebut merupakan penjabaran lebih kongkrit dari kebijakan
pendidikan yang telah dirumuskan dan ditetapkan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dan Gubernur.
e. Para pelaksana program (program implementors)
Penentuan siapa yang ditunjuk dan diberikan tanggung jawab untuk
melaksanakan program, dalam hal ini disebut sebagai implementor
turut menyumbang kesuksesan implementasi kebijakan. Berdasarkan
Pasal 3 Permendikbud Penanaman Budi Pekerti, pelaksana Gerakan
Penanaman Budi Pekerti mencakup:
1) Siswa atau peserta didik, yaitu anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang
tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu;
2) Guru, yaitu pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah;
3) Tenaga kependidikan, yaitu anggota masyarakat yang mengabdikan
diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan;
4) orangtua/wali, yaitu ayah dan/atau ibu peserta didik atau pihak lain

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 175


yang diberi kuasa oleh orangtua atau keluarga sebagai pihak yang
mewakili mereka terhadap peserta didik;
5) komite sekolah, yang beranggotakan orangtua/wali peserta didik,
komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan;
6) alumni, yaitu peserta didik yang telah menyelesaikan suatu jenjang
pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan
pendidikan yang terakreditasi sesuai dengan standar nasional
pendidikan; dan/atau
7) Pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan pembelajaran di sekolah,
dalam hal ini masyarakat dan pemerintah.

f. Sumber daya yang dilibatkan (resources committed)


Aspek sumber daya memiliki peran yang sangat penting dalam
proses implementasi kebijakan. Semua program yang dirumuskan
oleh perumus kebijakan sejatinya tidak akan dapat dilaksanakan dan
tujuannya tidak akan tercapai jika sumber daya yang ada tidak dilibatkan
dalam proses implementasi program tersebut. Dalam implementasi
kebijakan di bidang pendidikan karakter, khususnya pelaksanaan
Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti, aspek sumber daya memainkan
peran yang signifikan. Sumber daya tersebut diklasifikasikan menjadi
beberapa dua kategori, yaitu: sumber daya aktor dan sumber daya
keuangan.
Sumber daya aktor yang terlibat dalam proses implementasi
kebijakan Penumbuhan Budi Pekerti antara lain mencakup kualitas
dan kuantitas para implementor. Dalam hal kuantitas sumber daya
aktor yang berperan dalam implementasi kebijakan Penumbuhan Budi
Pekerti, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki kewajiban
yang sama, yaitu wajib memfasilitasi suatu pendidikan dengan
menyediakan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan sesuai
dengan kebutuhan. Hal ini dianggap penting karena kebijakan untuk
menformasikan sumber daya aktor akan mempengaruhi kualitas mutu
pendidikan yang diberikan.

176 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Selain kewajiban untuk menyediakan sumber daya aktor yang
kompeten, Pemerintah Pusat dan Daerah juga wajib membina dan
mengembangkan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan tersebut.
Di sisi lain, pelaksanaan Penumbuhan Budi Pekerti juga tidak menutup
kemungkinan keterlibatan aktor di luar sekolah. Keterlibatan aktor
di luar sekolah tentu harus disesuaikan dengan kondisi sekolah dan
ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri tentang Penumbuhan
Budi Pekerti. Kuantitas dan kualitas aktor pelaksana juga harus
didukung oleh komitmen, pemahaman mengenai kebijakan, komunikasi
dan koordinasi para aktor.
Sumber daya finansial yang manfaatkan dalam proses implementasi
kebijakan Penumbuhan Budi Pekerti antara lain mencakup pembiayaan.
Dalam hal sumber daya finansial, tanggung jawab pendanaan program
tersebut diberikan kepada Pemerintah Pusat melalui APBN dan
Pemerintah Daerah melalui APBD. Selain dari Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, masyarakat juga dapat berperan aktif dalam upaya
pendanaan pendidikan yaitu dengan cara mengerahkan sumber daya
yang ada untuk tujuan pendidikan.
2. Konteks kebijakan (context of policy)
Menurut Grindle Variabel (1980:10), konteks kebijakan mencakup
beberapa subvariabel yang secara langsung mempengaruhi proses
implementasi kebijakan. Subvariabel yang mempengaruhi kesuksesan
implementasi kebijakan antara lain: kekuasaan, kepentingan, dan
strategi aktor yang terlibat (power, interests, amd strategies of actors
involved); karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa (institution
and regime characteristics); dan tingkat kepatuhan dan daya tanggap
(compliance and responsiveness).
a. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi para aktor yang terlibat
Kekuasaan (power) implementor, baik pada tingkat atasan maupun
bawahan, nasional, regional, maupun lokal dalam hal ini memegang
peranan yang cukup signifikan. Kekuasaan aktor yang terlibat dalam
implementasi kebijakan Penumbuhan Budi Pekerti tidak akan terlepas
dari peran lingkungan sekolah. Sehingga, aktor-aktor yang terlibat tidak

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 177


terlepas dari ketentuan Pasal 3 Permendikbud Penanaman Budi Pekerti,
yang mencakup: siswa atau peserta didik, guru, tenaga kependidikan,
orangtua/wali, komite sekolah, alumni, dan/atau pihak-pihak yang
terkait dengan kegiatan pembelajaran di sekolah.
Dari sekian banyaknya implementor dalam Gerakan Penanaman
Budi Pekerti, pada hakikatnya program tersebut dilakukan oleh siswa,
guru, dan tenaga kependidikan. Kesuksesan kebijakan ini tergantung
dari beberapa indikator, antara lain: kemampuan untuk melaksanakan
program (power capability), dukungan pemerintah, dukungan
masyarakat, dan tekanan kelompok kepentingan. Seluruh indikator
tersebut tidak akan bisa dilepaskan dari peran serta implementor dalam
proses implementasi. Sebagai contohnya, dalam hal pelaksanaan
upacara bendera. Pelaksanaan Program Penumbuhan Budi Pekerti
seperti upacara bendera melibatkan peserta didik dan guru. Peserta
didik berperan sebagai petugas upacara dan guru atau kepala sekolah
berperan sebagai inspektur upacara.
Indikator kemampuan untuk melaksanakan upacara bendera
tersebut didasarkan kepada bagaimana para aktor (peserta didik dan
guru/kepala sekolah) saling berinteraksi. Bagaimana guru/kepala
sekolah atas kekuasaannya mempengaruhi para siswa kelas XI-A,
misalnya agar berperan sebagai petugas upacara. Kepentingan apa
yang menjadi dasar kemauan para siswa tersebut bersedia menjadi
petugas upacara. Kemudian, bagaimana keduanya mengatur strategi
agar pelaksanaan upacara berjalan lancar, misalnya para peserta didik
memiliki strategi untuk melakukan latihan terlebih dahulu, atau guru/
kepala sekolah memiliki strategi dengan cara memberikan tambahan
nilai untuk mata pelajaran Kewarganegaraan bagi mereka yang telah
berpartisipasi sebagai petugas dalam pelaksanaan upacara bendera
tersebut.
Dukungan pemerintah juga memainkan peranan penting. Bagaimana
bisa suatu program yang berkaitan dengan Penanaman Budi Pekerti
terlaksana dengan sukses jika tidak dibiayai oleh pemerintah? Contoh
kongkritnya, pemberian beasiswa bagi siswa berprestasi yang memiliki

178 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


kemampuan akademik tinggi dan nilai-nilai karakter sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional. Selain dukungan pemerintah, dukungan
masyarakat juga berperan sama pentingnya. Keterlibatan masyarakat
dalam mendukung pelaksanaan kerja bakti di sekitar lingkungan sekolah
juga dinilai sangat dibutuhkan. Terakhir, kelompok kepentingan lain
yang mempengarui implementasi kebijakan Penumbuhan Budi Pekerti
dapat mengancam proses implementasi. Kelompok-kelompok siswa
bermotor yang sering nongkrong sambil merokok dan minum kopi di
warung-warung kecil sekitar sekolah baik dalam jam pelajaran maupun
di luar jam pelajaran juga dinilai mengancam kesuksesan implementasi
kebijakan pendidikan karakter.
b. Karakteristik instruksi dan rezim yang berkuasa
Kesuksesan implementasi kebijakan publik bidang pendidikan
karakter tidak akan terlepas dari variabel karakteristik instruksi dan
rezim yang berkuasa. Untuk dapat memahami pengaruh variabel
ini, tentu tinjauan historis diperlukan guna menganalisa pendekatan
kekuasaan dengan implementasi kebijakan.
Upaya pembangunan karakter di Indonesia sudah dimulai sebelum
kemerdekaan, namun upaya tersebut belum diwujudkan dalam jalur
pendidikan formal tetapi jalur pergerakan. Contohnya, gerakan Sumpah
Pemuda pada rezim Pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1928.
Walaupun, Bangsa dan Negara Indonesia belum terbentuk secara sah,
pemuda-pemudi yang “merasa” sebangsa setanah air, mengumandangan
nilai nasionalisme melalui ikrar sumpah pemuda.
Setelah kemerdekaan, pendidikan karakter dilaksanakan melalui
pendidikan formal, yaitu Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang
ditempatkan sebagai salah satu materi muatan pelajaran dalam
kurikulum nasional.
Selama rezim Orde Lama, berlaku kurikulum pendidikan tahun
1962. Selama orde lama, pendidikan karakter diimplementasikan
melalui mata pelajaran Civics yang memiliki tujuan dan substansi
berorientasi pada Manifesto Politik dan UUD 1945, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 179


Indonesia (Manipol dan USDEK) dengan pendekatan indoktrinasi
politik.
Setelah beralihnya kepemimpinan founding father, Ir. Soekarno
kepada Jenderal Soeharto, maka berganti juga rezim yang berkuasa.
Selama Orde Baru, pendidikan karakter mengalami banyak transformasi.
Mata pelajaran yang awalnya bernama Civics berubah menjadi mata
pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara (PKN). Isinya mencakup
Civics (pengetahuan kewargaan negara), ilmu bumi Indonesia, dan
sejarah Indonesia. Tujuan dan materi muatannya berorientasi pada
substansi UUD 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap
MPR), dan peraturan perundang-undangan lainnya dengan pendekatan
yang masih indoktrinatif (Soepardo dalam Budimansyah, 2010:4-5).
Masih pada rezim Orde Baru, pendidikan karakter yang
dilaksanakan pada semua jenis dan jenjang pendidikan dilaksanakan
melalui mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang
diberlakukan pada dua kurikulum, yaitu Kurikulum 1975 dan
Kurikulum 1984. Pada Kurikulum 1994, mata pelajaran Pendidikan
Moral Pancasila (PMP) mengalami perubahan nama menjadi mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Selama
rezim pemerintahan yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto, pendidikan
karakter masih menggunakan pendekatan doktrinatif, bersifat rigid, dan
diimplementasikan dengan modus transmisi nilai (value incalculation)
dan tujuan serta orientasinya mengacu kepada Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (Budimansyah, 2010:5).
Peristiwa 1998 telah merubah rezim berkuasa yang semula berada
di bawah kekuasaan rezim pemerintahan Orde Baru yang dipimpin
oleh Jenderal Soeharto menjadi era reformasi. Selama era reformasi,
pendidikan karakter yang semula diimplementasikan ke dalam mata
pelajaran PPKn berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Mata pelajaran ini fokus kepada pembentukan warga negara yang
cerdas, terampil, dan berkarakter sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945, yang diarahkan untuk menjunjung tinggi cita-cita dan nilai-nilai
demokrasi yang dinamis (Budimansyah, 2010:5).

180 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Tinjauan historis tersebut menunjukkan bahwa rezim pemerintahan
yang berkuasa mempengaruhi implementasi kebijakan di bidang
pendidikan karakter. Selain pengaruh rezim yang berkuasa, dapat dilihat
juga bahwa prosedur pelaksanaan program, karakteristik implementor,
mekanisme pembuatan kebijakan bidang pendidikan karakter berperan
penting menyumbang kesuksesan implementasi kebijakan. Namun
bagaimanapun, rezim yang berkuasa akan memiliki kekuasaan yang
besar dalam menentukan implementasi suatu program yang masuk
dalam agenda pemerintahannya.
c. Kepatuhan dan daya tanggap
Menurut Grindle, dalam rangka mencapai tujuan suatu kebijakan,
pejabat publik menghadapi dua masalah yang berkaitan dengan
interaksi mereka terhadap lingkungan dan tahapan administrasi,
yaitu: tingkat kepatuhan (compliance) dan tingkat ketanggapan
(responsiveness). Dalam implementasi kebijakan di bidang pendidikan
karakter, kepatuhan dan ketanggapan dapat dilihat dari seberapa jauh
para aktor patuh terhadap peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
pelaksanaan Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti dan seberapa cepat
tanggap para aktor memenuhi kebutuhan kelompok sasaran dan
menanggulangi tekanan dari kelompok kepentingan yang mengancam
pelaksanaan implementasi. Selain itu, kemampuan mengendalikan arah
implementasi kebijakan juga akan mempengaruhi tingkat ketanggapan
para aktor.
Dalam proses implementasi Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti,
tingkat kepatuhan para implementor terhadap norma-norma dinilai
penting. Contohnya, kepatuhan para implementor terhadap norma-norma
agama tentu akan memudahkan pelaksanaan pembiasaan-pembiasaan
nilai-nilai moral dan spiritual di lingkungan sekolah seperti berdo’a
sebelum dan setelah dilaksanakannya kegiatan belajar mengajar. Selain
itu, tingkat ketanggapan juga sama pentingnya. Terkait dengan tekanan-
tekanan dari kelompok kepentingan, bagaimana para aktor memperoleh
dukungan dari pihak-pihak ini. Selain itu, bagaimana mereka merubah
pemikiran orang-orang yang semula menentang kebijakan tersebut
menjadi menerima.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 181


Implementasi Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti akan selalu
berkaitan dengan hal-hal tersebut. Tentu disamping ada kepatuhan
juga ada pembangkangan. Tidak semua peserta didik suka dengan
kedisiplinan, keteraturan, dan ketertiban. Mereka yang berjiwa
muda cenderung mengabaikan hal-hal tersebut. Pada tahap ini, guru
sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik harus tahun dan cepat tanggap bagaimana mengendalikan
dan menangani permasalahan yang berkaitan dengan kelompok
kepentingan seperti itu. Bagaimanapun, tekanan-tekanan kelompok
kepentingan seperti itu akan mempengaruhi jalannya implementasi
kebijakan.

D. Hasil Luaran Kebijakan


Grindle (1980:6) berpendapat bahwa seluruh variabel materi
muatan kebijakan (content of policy) dan konteks kebijakan (context of
policy) akan mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan
dan hasil luaran dari kegiatan-kegiatan pemerintahan tersebut. Hasil
luaran yang merupakan produk akhir dari proses kebijakan tentu
harus dinilai kesesuaiannya dengan tujuan yang dirumuskan oleh
para perumus kebijakan. Dalam implementasi kebijakan di bidang
pendidikan karakter, hasil luaran tersebut tentu memiliki dampak, baik
pada perorangan, kelompok, dan masyarakat.
Dampak yang dirasakan oleh perorangan, kelompok dan masyarakat
dari pelaksanaan Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti jika dianalisa dari
implementasi Permendikbud Penumbuhan Budi Pekerti pada umumnya
yaitu menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan baik dan adanya perubahan
karakter positif kelompok sasaran, sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional. Kebiasaan-kebiasaan baik itu seperti: pengamalan nilai-nilai
moral, spiritual, kebangsaan dan kebhinekaan dalam aktivitas sehari-
hari; selalu berpartisipasi dalam interaksi positif; menjaga kebersihan,
keamanan, kenyamanan, dan ketertiban lingkungan; percaya kepada
potensi diri sendiri; dan menebarkan kasih sayang dan kepedulian.

182 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Jika ditinjau dari konsep warga negara, maka hasil luaran
dari implementasi pendidikan karakter itu akan berdampak kepada
pembentukan sifat-sifat kewarganegaraan kelompok sasaran. Menurut
Cogan & Derricott (1998:2-7), terdapat 5 (lima) kategori sifat suatu
kewarganegaraan antara lain:
a. Rasa identitas (a sense of identity), yaitu bahwa setiap warga
negara pasti akan memiliki rasa nasionalisme dan patriotisme.
Rasa tersebut biasanya dilihat sebagai unsur fundamental dari
suatu kewarganegaraan.
b. Kenikmatan atas hak-hak tertentu (the enjoyment of certain rights),
yaitu bahwa setiap warga negara dapat menikmati hak-hak tertentu
seperti: hak persamaan di hadapan hukum; hak-hak politik, hak-
hak sosial dan ekonomi.
c. Pemenuhan kewajiban yang sesuai (the fulfillment of corresponcing
obligations), yaitu kewajiban-kewajiban baik terhadap sesama
warga negara maupun terhadap negara seperti: menghormati hak-
hak dasar warga negara lainnya, menaati hukum, membayar pajak,
serta ikut dalam upaya bela negara.
d. Derajat kepentingan dan keterlibatan dalam urusan publik (a degree
of interest and involvement in public affairs), yaitu kepentingan dan
keikutsertaan warga negara dalam setiap urusan kemasyarakatan.
Orang yang baik selalu hidup dalam kehidupan pribadinya dengan
penuh kebajikan dan kehormatan, namun tidak mau terlibat dalam
urusan masyarakat. Sedangkan, warga negara yang baik tidak hanya
memiliki kehidupan pribadi yang baik, namun juga berkomitmen
untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat.
e. Penerimaan nilai-nilai dasar kemasyarakatan (an acceptance
of basic society values), yaitu unsur yang berkaitan langsung
dengan pendidikan karakter. Warga negara akan selalu menerima
dan mengamalkan nilai-nilai dasar kemasyarakatan seperti:
kepercayaan, kerjasama, menghormati hak asasi manusia, tidak
bersikap keras. Nilai-nilai kemasyarakatan seperti itu yang akan
diimplementasikan oleh warga negara sebagai dampak dari
pendidikan karakter.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 183


Dampak yang lebih lengkap dari luaran yang dihasilkan oleh
proses implementasi kebijakan dapat diukur berdasarkan konfigurasi
karakter individu yang terdapat dalam buku Desain Induk Pembangunan
Karakter Bangsa 2010-2025 yang dirumuskan oleh Kementerian
Pendidikan Nasional. Konfigurasi karakter individu yang menjadi
perwujudan dari nilai-nilai luhur yang terdapat pada sila-sila Pancasila
dikelompokan dalam empat proses psikologis dan sosial-kultural,
mencakup: olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir
(intellectual development), olah raga dan kinestetik (physical and
kinestetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creative
development). Keterpaduan keempat proses psikososial tersebut dapat
dilihat seperti pada gambar berikut.

Gambar 12.7 Keterpaduan proses psikososial


Sumber: Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025, hlm.9. dalam
Samani, Muchlas & Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013, hlm.25.

Karakter-karakter yang bersumber dari keempat proses psikososial


seperti yang digambarkan pada gambar di atas mencakup (dalam
Samani & Hariyanto, 2013:25):
a. Karakter yang bersumber dari proses olah hati, meliputi beriman
dan bertaqwa, bersyukur, jujur, amanah, adil, tertib, sabar, disiplin,
taat aturan, bertanggung jawab, berempati, punya rasa iba, berani

184 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


mengambil risiko, pantang menyerah, menghargai lingkungan, rela
berkorban, dan berjiwa patriotik;
b. Karakter yang bersumber dari proses olah pikir, meliputi cerdas,
kritis, kreatif, inovatif, analitis, ingin tahu, produktif, berpikir
terbuka, produktif, berorientasi Ipteks, dan reflektif;
c. Karakter yang bersumber dari proses olah raga/kinestetik,
mencakup bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal,
berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif,
ceria, ulet dan gigih;
d. Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa, mencakup
kemanusiaan, saling menghargai, saling mengasihi, gotong
royong, kebersamaan, ramah, peduli, hormat, toleran, nasionalis,
kosmopolit (mendunia), mengutamakan kepentingan umum, cinta
tanah air (patriotis), bangga menggunakan bahasa dan produk
Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja.

E. Penutup
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 Undang-Undang RI Tahun
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas),
bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak (baca: karakter) serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang 1) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, 2)
berakhlak mulia, 3) sehat, 4) berilmu, 5) cakap, 6) kreatif, 7) mandiri,
dan 8) menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Dengan demikian, tujuan pendidikan nasional adalah untuk
membentuk karakter siswa/mahasiswa/warga negara yang memiliki
8 karakter tersebut. Implikasinya, formulasi, legitimasi (adopsi),
implementasi, dan evaluasi kebijakan pendidikan karakter harus
berkoherensi terhadap upaya mewujudkan 8 karakter tersebut. Sejalan
dengan itu, Kementerian Pendidikan Nasional pada tahun 2010 telah
mengimplementasikan kebijakan berupa Grand Design Pendidikan

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 185


Karakter, kemudian pada tahun 2015 Kementerian Pendidikan
dan Budaya mengimplementasikan Kebijakan Penumbuhan Budi
Pekerti dan pada tahun 2016 Kemendikbud memformulasikan dan
mengimplementasikan Kebijakan Penguatan Pendidikan Karakter
yang tertuang dalam buku Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan
Karakter (dapat diunduh dalam http://cerdasberkarakter.kemdikbud.
go.id/#slider).
Efektivitas implementasi Kebijakan Pendidikan Karakter tersebut
khususnya terkait dimensi outcomes dari kebijakan tersebut dapat
diukur dari beberapa alternatif pendekatan sebagai berikut:
1. Indikator-indikator karakter yang ingin diwujudkan sebagaimana
tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Indikator-indikator karakter yang ingin dicapai sebagaimana
termaktub dalam masing-masing tujuan kebijakan pendidikan
karakter tersebut.
3. Indikator-indikator karakter positif sebagaimana dirumuskan oleh
para ahli, misalnya:
a. Indikator karakter yang terdiri atas The Five Atributes Of
Citizenship sebagaimana dikemukakan oleh Cogan, John J,
1988, hlm. 2-3.
b. Indikator karakter yang terdiri atas components of good
character yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral action
sebagaimana dikemukakan oleh Lickona, Thomas, 1991, hlm.
53.
c. Indikator karakter budi pekerti yang terdiri atas ngreti-ngrasa-
nglakoni sebagaimana dikemukakan Dewantara, Ki Hadjar,
2004, hlm. 484-491.
d. Indikator karakter esensial yang saling terkait terdiri atas
performance character dan moral character sebagaimana
dikemukakan oleh Nucci, Larry P, Narvaez, Darcia., 2008,
hlm. 373.

186 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Sudah barang tentu outcomes (dampak luaran) setiap implementasi
kebijakan pendidikan karakter tidak akan dapat tercapai dengan
sempurna, kebijakan pendidikan karakter merupakan suatu proses yang
tidak pernah berakhir (never ending process) yang harus terus menerus
disempurnakan terutama implementasinya. Oleh karena itu, analisis
implementasi kebijakan adalah suatu keniscayaan agar outcomes
kebijakan pendidikan karakter dapat semakin ditingkatkan tingkat
efektivitas pencapaiannya.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 187


DAFTAR PUSTAKA

Ackoff, R. L., 1974. Redesigning the Future: A Systems Approach to


Societal Problems. New York: Wiley.
Bardach, E., 1977. The Implementation Game. Cambridge: MIT Press.
Budimansyah, D., 2010. Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan untuk
Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Cline, K. D., 2000. Defining the Implementation Problem :
Organizational Management versus Cooperation. Journal of Public
Administration Research and Theory, III(J-Part 10).
Cogan, J. J. & Derricott, R., 1998. Citizenship for the 21st Century :
An International Perspective on Education. London: Kogan Page
Limited.
Dewantara, Ki Hadjar, 2004. Kebudayaan, Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Dunn, W. N., 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. 2nd ed.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dye, T. R., 1984. Understanding Public Policy. 5th ed. New Jersey:
Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs.
Edwards, G. C., 1980. Implementing Public Policy. Washington D.C:
Congressional Quarterly Press.
Fattah, N., 2012. Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Grindle, M. S., 1980. Policy Content and Context in Implementation.
In: M. S. Grindle, ed. Politics and Policy Implementation in the
Third World. New Jersey: Princeton University Press.
Hill, M., 2005. The Public Policy Process. 4th ed. England: Pearson
Education Limited.
http://cerdasberkarakter.kemdikbud.go.id/#slider.
Jones, C. O., 1984. An Introduction to the Study of Public Policy. 3rd
ed. California: Brooks/Cole Publishing Company.

188 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Jones, C. O., 1994. Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy). 1st ed.
Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.
Kaelan, 2004. Pendidikan Pancasila. 8th ed. Yogyakarta: Paradigma.
Keban, Y. T., 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik
(Konsep, Teori dan Isu). 2nd ed. Yogyakarta: Gava Media.
Kemendikbud RI, 2016. Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan
Karakter, Kemendikbud: Jakarta
Kesuma, D., Triatna, C. & Permana, J., 2012. Pendidikan Karakter
- Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya.
Lickona, T., 1991. Educating for Character - How Our Schools Can
Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
Lindsey, T., Damian, E., Butt, S. & Utomo, T. S., 2013. Hak Kekayaan
Intelektual : Suatu Pengantar. Bandung: Asian Law Group Pty. Ltd.
Lockwood, A., 1997. Character Education: Controversy and Consensus.
London: Corwin Press/Sage.
Mahfud, 2012. Politik Hukum di Indonesia. 5 ed. Jakarta: Rajawali
Pers.
Mazmanian, D. A. & Sabatier, P. A., 1983. Implementation and Public
Policy. Glenview Illinois: Scott, Foresman and Company.
Mu’in, F., 2013. Pendidikan Karakter : Konstruksi Teoretik & Praktik
(Urgensi Pendidikan Progresif dan Revitalisasi Peran Guru dan
Orangtua. Maguwohardjo: Ar-ruzz Media.
Mulia, S. M. & Aini, I. D., 2013. Karakter Manusia Indonesia: Butir-
Butir Pendidikan Karakter untuk Generasi Muda. Bandung:
Nuansa Cendekia.
Nucci, L. P. & Narvaez, D., 2008. Handbook of Moral and Character
Education. New York: Routledge Taylor and Francis Group.
Nugroho, R., 2014. Public Policy (Teori, Manajemen, Dinamika,
Analisis, Konvergensi dan Kimia Kebijakan). 5 ed. Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 189


Patton, C. V. & Sawicki, D. S., 1986. Basic Methodes of Policy Analysis
and Planning. New Jersey: Prantice-Hall.
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan.
Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi
Pekerti.
PUPR, R. K., 2015. Rencana Strategis Kementrian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat Tahun 2015-2019. Jakarta, Kementrian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Samani, M. & Hariyanto, 2013. Konsep dan Model Pendidikan
Karakter. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
Sendjaja, D. W., Rismanto, G. Y. & Andrianto, N., 2015. Analisis
Kebijakan Publik Dalam Pemeriksaan Kinerja. Jurnal Tata Kelola
dan Akuntabilitas Keuangan Negara, I(1).
Siagian, P. S., 1995. Analisis Serta Perumusan Kebijaksanaan dan
Strategi Organisasi. 5 ed. Jakarta: PT.Toko Gunung Agung.
Sintaningrum, 2009. Pengaruh Implementasi Kebijakan Pertanahan
terhadap Struktur Penguasaan Tanah dan Dampaknya terhadap
Kesejahteraan Tani di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang,
Disertasi FISIP UNPAD Bandung.
Smith, T. B., 1973. The Policy Implementation Process. Policy Sciences
4.
Suryadi, A. & Tilaar, H., 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan : Suatu
Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tachjan, 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: Asosiasi
Ilmu Politik Indonesia (AIPI).
Tafsir, A., 1990. Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas).

190 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Van Meter, D. S. & Van Horn, C. E., 1975. The Policy Implementation
Process: A Conceptual Framework. Administration & Society,
Issue 6.
Wahab, S. A., 2016. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan
Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Bumi
Aksara.
Winter, S. C., 1990. Implementation, The Sage Handbook of Public
Administration.

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 191


Index
A C
Administrative Feedback 59 Civics 179, 180
agenda setting 13, 16 cognitive dissonance 58, 107
agraria 68, 71, 73, 74 content 7, 62, 63, 66, 133, 155,
aksi kebijakan 11, 16, 17 163, 164, 166, 168, 169,
ambigu 19, 53, 129 182
amnesti pajak 6 Content 186
Amnesti Pajak 1, 70 context 37, 38, 46, 62, 63, 66,
Analisa SWOT 126 168, 177, 182
analisis formulasi kebijakan 2, 6 Context 155, 166, 186
analisis implementasi kebijakan 2,
3, 4, 6, 23, 154, 166 D
atribusi 155 Daniel Mazmanian 91
B database 94
daya guna 54
badan pelaksana 33, 35, 55, 56, daya tahan 60
59, 60, 61, 75, 98, 99, 100, Daya tahan 56
101, 103, 104, 105, 106, demokrasi liberal 74
107, 114, 122, 128 demokrasi terpimpin 74
Badan pelaksana 34 Demokrasi Terpimpin 179
Badan Pembangunan Nasional 70 Dimensi akuntabilitas kinerja 18
bank penyalur kredit 73 Dimensi etika 18
Bantuan Langsung Tunai 1 Dimensi hukum 18
Bantuan Operasional Sekolah 1, dimensi kebijakan 18, 19
159 Dimensi kebijakan 17
bentuk kebijakan 2, 49, 108, 113, Dimensi lingkungan 18
136, 137, 138 Dimensi manajemen 18, 19
birokrasi 19, 29, 34, 43, 76, 78, Dimensi politik 18
79, 80, 84, 85, 86, 88, 89, Dimensi struktur organisasi 17
90, 117, 118, 119 doktrinatif 180
birokrat 4, 73, 84, 90, 138, 139
bottom-up 134 E

192 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


Edwards 2, 3, 19, 20, 21, 77, 78, 4, 140, 188
79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, implementation myopia 3
86, 87, 88, 89, 90, 158, 186 implementor 4, 20, 21, 48, 50, 54,
ekonomi 5, 7, 11, 23, 35, 56, 57, 55, 57, 58, 59, 60, 61, 66,
60, 61, 68, 69, 101, 102, 67, 70, 71, 72, 78, 79, 81,
108, 114, 128, 140, 183 82, 83, 84, 85, 88, 89, 94,
Ekonomi 52, 70, 179 95, 119, 120, 122, 125, 129,
energi 5, 81, 87 131, 168, 169, 175, 176,
Energi 70, 128 177, 178, 181
Eugene Bardach 4, 115 institutions 9, 10, 36, 38, 145
Integrated Implementation Model
F 133
faktor lingkungan 33, 35, 39 intergovernmental relation 46
fasilitas 72, 80, 83 J
fragmentation 85, 86, 89
jaringan komunikasi 56, 79, 80, 89
G
K
Grand Design 159, 160
kapasitas 6, 29, 60, 66, 80, 81, 129
H keadaan darurat 31
hak atas tanah 74, 127 keamanan sosial 5
hasil guna 54, 80, 84 kebijakan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,
hasil kebijakan 11, 17 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16,
hukum agraria 73, 74 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23,
24, 25, 26, 28, 29, 31, 32,
I 33, 34, 35, 36, 38, 39, 40,
41, 42, 43, 44, 45, 46, 47,
idealized policy 33 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54,
ilmu administrasi publik 4 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61,
Ilmu Administrasi Publik 17 62, 63, 64, 66, 67, 68, 69,
ilmu kebijakan publik 21 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76,
implementability 64, 67 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83,
implementasi kebijakan publik 3, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 91,
19, 20, 78, 83, 119, 122, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98,
136, 154, 166, 179 99, 100, 101, 102, 103, 104,
Implementasi kebijakan publik 105, 106, 107, 108, 113,
155, 169, 170 114, 115, 116, 118, 119,
Implementasi Kebijakan Publik 1,

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 193


120, 121, 122, 123, 124, 102, 114, 123, 130, 138,
125, 126, 127, 128, 129, 150, 168, 169, 170, 177,
130, 131, 132, 133, 134, 178, 179, 181, 182, 183,
136, 137, 138, 139, 144, 185
149, 151, 152, 154, 155, keputusan 3, 6, 17, 18, 22, 29, 33,
157, 158, 159, 163, 166, 41, 44, 46, 56, 58, 66, 67,
168, 169, 170, 172, 173, 69, 70, 71, 72, 77, 78, 79,
174, 175, 176, 177, 178, 86, 92, 95, 96, 98, 100, 101,
179, 181, 182, 184, 185 103, 105, 106, 113, 116,
kebijakan moneter 70 131, 138, 147, 164, 168,
kebijakan publik 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 169, 173, 174
10, 17, 18, 19, 20, 21, 24, keputusan acak 6
44, 46, 52, 53, 62, 63, 66, keputusan kebijakan publik 6
77, 78, 83, 85, 91, 114, 119, keputusan pemerintah 92
122, 133, 136, 139, 154, kerjasama 101, 120, 121, 124,
155, 158, 166, 169, 170, 138, 145, 146, 150, 183
179, 185 kesehatan masyarakat 5
kehendak 78, 89, 122, 138, 164 kesejahteraan sosial 1
kekuasaan 24, 72, 73, 84, 92, 99, ketanggapan 75, 76, 181
118, 123, 132, 177, 179, ketegangan 30, 31, 32, 35, 36, 37,
180, 181 38, 39
kelompok sasaran 33, 34, 36, 39, ketepatan 54, 55
92, 93, 94, 95, 99, 101, 102, ketetapan 54
105, 106, 113, 172, 173, ketidaksesuaian kognitif 107
181, 182, 183 kinerja 11, 17, 18, 24, 41, 43, 50,
Kementerian Badan Usaha Milik 52, 53, 56, 58, 59, 84, 85,
Negara 70, 128 103, 139, 149, 150, 154
Kementerian Pekerjaan Umum dan kompetensi 20, 60
Perumahan Rakyat 70, 94, komunikasi 54, 55, 56, 59, 60, 61,
128 78, 79, 80, 83, 88, 89, 90,
kepatuhan 17, 21, 41, 45, 72, 75, 94, 95, 119, 120, 130, 131,
82, 85, 92, 97, 101, 105, 141, 177
106, 132, 177, 181, 182 konflik kepentingan 73, 130
kepemimpinan 35, 60, 104, 105, konstitusional 151, 152, 155, 172
180 konteks kebijakan 63, 66, 72, 73,
kepentingan 5, 16, 17, 28, 29, 46, 155, 166, 177, 182
57, 58, 60, 61, 67, 68, 72, korupsi 29, 164
73, 74, 84, 89, 100, 101, kualitas 6, 70, 83, 126, 127, 140,

194 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


154, 155, 176, 177 177, 178, 179, 182, 183
materi muatan kebijakan 66, 67,
L 169, 182
landreform 68, 71, 73 media sosial 141, 142
legislator 73, 102 metodologi 11, 134
lembaga pemasyarakatan 6, 83 model 6, 7, 9, 12, 28, 29, 30, 31,
lembaga swadaya masyarakat 73 32, 33, 38, 40, 41, 44, 50,
likuiditas domestik 2, 6 51, 54, 59, 61, 63, 65, 66,
lingkungan 5, 10, 18, 33, 35, 39, 71, 82, 88, 89, 110, 133,
56, 60, 61, 66, 68, 69, 75, 134, 136, 137, 155, 166
81, 82, 85, 95, 98, 100, 101, model sistem kebijakan 7, 9
127, 147, 152, 161, 162, modernisasi 6, 69
163, 164, 168, 171, 173, Modern Organization 45
177, 179, 181, 182, 185 moral character 149, 150
living law 20, 21 moral feeling 147
lokal 46, 72, 101, 177 moral knowing 147
luaran 39, 50, 63, 64, 66, 72, 73, N
85, 92, 96, 101, 105, 106,
107, 136, 137, 158, 182, nasional 27, 46, 72, 73, 74, 81,
183, 184, 185 123, 150, 151, 152, 156,
luar negeri 5, 26 157, 163, 169, 172, 174,
175, 176, 177, 179, 182,
M 185
makelar 73 Nawa Cita 140
manfaat 16, 67, 68, 69, 75, 99, negara dunia ketiga 28, 29, 43
106, 144, 168, 169, 170, neutrality 58
171 O
masa depan kebijakan 11
masalah kebijakan 11, 16, 57, 102 Oakland Project 52
masyarakat 1, 2, 4, 5, 10, 19, 20, olah hati 184
21, 28, 29, 30, 31, 43, 68, olah pikir 184, 185
69, 73, 74, 75, 76, 83, 91, olah raga 184, 185
97, 101, 102, 108, 117, 124, Orde Baru 180
125, 126, 127, 138, 139, Orde Lama 179
141, 143, 144, 145, 146, organisasi 5, 17, 18, 19, 28, 34,
157, 162, 163, 168, 170, 35, 36, 38, 39, 43, 44, 45,
171, 173, 174, 175, 176, 47, 54, 55, 56, 57, 58, 59,

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 195


60, 61, 70, 73, 84, 86, 89, Pendidikan Moral Pancasila 180
95, 103, 117, 118, 120, 130, Pendidikan Pancasila dan Ke-
138 warganegaraan 180
organizational control 45 penegakkan hukum 6
Organizational Intelligence 45 penerapan 25, 117, 120, 159
outsiders 99 penilaian 12, 13, 17, 96, 105, 106,
107, 160
P penolakan 57, 58, 61, 123, 132
Pancasila 74, 150, 151, 162, 163, Penumbuhan Budi Pekerti 161,
180, 184, 187 162, 166, 167, 168, 169,
pangan 5 170, 171, 172, 173, 174,
Panitia Agraria Jakarta 74 176, 177, 178, 179, 181,
Paul A. Sabatier 91 182, 185
pegawai 48, 60, 72, 80, 118 peramalan 12, 16
Pemahaman kebijakan 57 Peraturan Daerah 21
Pemantauan 142 Peraturan Daerah Kabupaten 21
pembebasan tanah 74 Peraturan Daerah Provinsi 21
pembuat kebijakan 1, 3, 28, 42, Peraturan Pemerintah 21, 153,
60, 77, 78, 84 169, 172, 174
Pemerintah Pusat 1, 70, 95, 124, Peraturan Presiden 21
157, 159, 161, 163, 169, perfect implementation 122
174, 176, 177 performance character 149, 150
pemukiman kumuh 68, 69, 70, Perhutani 73
126, 127 perjanjian bagi hasil 74
penafsiran 117, 119, 120, 129 Permendikbud 161, 162, 166, 169,
pendidikan 1, 5, 6, 43, 70, 81, 83, 171, 173, 175, 178, 182
99, 140, 141, 142, 143, 144, pola transaksi 32, 35, 38, 39
145, 146, 147, 150, 151, Policy 3, 6, 7, 12, 14, 28, 31, 32,
152, 153, 154, 155, 156, 37, 41, 44, 46, 51, 62, 63,
157, 158, 159, 160, 161, 64, 65, 66, 67, 72, 77, 87,
162, 163, 166, 168, 169, 91, 94, 109, 111, 115, 116,
170, 171, 172, 173, 174, 119, 122, 155, 166, 167,
175, 176, 177, 179, 180, 186, 187, 188
181, 182, 183, 185 policy actions 11
Pendidikan Kewargaan Negara policy adoption 13, 16
180 policy cycle 20
Pendidikan Kewarganegaraan policy design 136, 137
159, 160, 179, 180, 186 policy formulation 13, 16, 71, 136

196 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


policy framers 1, 4, 157 Rajasthan 62
policy implementation 2, 13, 17, recommendation 12, 16
21, 23, 38, 39, 63, 64, 78, reformasi 180
91, 119, 158 regional 72, 177
policy makers 1, 4, 28, 157 rezim 72, 73, 74, 168, 177, 179,
policy performance 11, 17 180, 181
polis 144 rigid 180
politisi 4
power capability 178 S
praktik 3, 139 sertifikasi 6
problem structuring 11, 16 server 94
program 1, 2, 4, 6, 11, 19, 23, 24, siklus kebijakan 20
25, 26, 33, 34, 35, 42, 43, single agency 128
47, 49, 50, 53, 54, 62, 63, sistem 5, 6, 7, 8, 9, 10, 18, 30, 37,
64, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 42, 58, 68, 74, 93, 102, 104,
72, 73, 75, 76, 82, 83, 91, 105, 106, 107, 132, 138,
94, 95, 96, 97, 99, 100, 101, 140, 147, 151, 152, 155,
102, 104, 105, 107, 114, 156, 159, 163, 174, 175
115, 116, 117, 120, 121, sistem administrasi 42, 93, 132,
123, 124, 125, 126, 127, 140
128, 145, 147, 154, 157, sistem cluster 159
158, 160, 161, 162, 163, sistem ekonomi 102
165, 166, 168, 169, 170, sistem elektronik 93
171, 174, 175, 176, 177, sistem kebijakan 7, 8, 9
178, 181, 185 sistem nilai 58
program implementer 4 sistem penanaman nilai 147
proses analisis kebijakan 7, 17 sistem pendidikan nasional 151,
proses implementasi kebijakan 3, 152, 155, 156, 163, 174,
7, 28, 29, 32, 33, 35, 36, 175
38, 40, 43, 44, 50, 51, 53, sistem persenjataan 6
54, 59, 63, 64, 67, 72, 79, sistem pertahanan 5
80, 81, 82, 83, 91, 98, 118, Sistem pertanggungjawaban 104
119, 129, 158, 169, 176, sistem pertukaran 138
177, 184 sistem politik 7, 18, 105, 107
putusan pengadilan 46, 92, 113 sistem sanitasi 68
R stakeholder 16, 50, 123, 130
strategi 72, 73, 168, 177, 178
racial injustice 26 street-level bureaucrats 138, 139

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 197


struktur 4, 17, 35, 37, 45, 55, 78, umpan balik 10, 38
85, 86, 88, 89, 90, 117, 125 Undang-Undang 20, 21, 42, 95,
struktur birokrasi 78, 85, 86, 88, 126, 128, 151, 153, 155,
89, 90 163, 169, 172, 174, 185
struktur sosial 4 utility theory 46
subordinates 46, 55 UUD 1945 127, 151, 155, 174,
subvariabel 67, 70, 71, 72, 167, 179, 180
169, 177
superiors 46, 55, 119 V
symbolic policies 137 variabel bebas 93
T variabel terikat 24, 93, 105
veto 97, 98, 100, 106, 114
tanah partikelir 74
tanah rakyat 74 W
Tap MPR 180 wajib pajak 2
teori fiksi hukum 3 warga binaan 6
teori kausalitas 96, 97, 100, 107, warga negara 1, 82, 100, 151, 157,
137 172, 180, 183, 185
tindakan terpola 6 war on poverty 26
top-down 134 Watak 57, 83, 89
tujuan 1, 2, 3, 5, 6, 16, 17, 18, 19, wewenang 18, 72, 80, 82, 101,
24, 25, 26, 31, 32, 33, 35, 132
38, 41, 42, 45, 47, 48, 49,
50, 52, 53, 54, 55, 57, 58, Y
59, 60, 61, 62, 63, 64, 66,
69, 71, 72, 75, 76, 83, 85, Yunani 144, 157
86, 87, 88, 92, 93, 96, 97,
98, 99, 100, 101, 102, 103, Z
104, 105, 106, 107, 108, zaman kolonial 74
113, 114, 117, 120, 123,
125, 126, 128, 129, 130,
131, 132, 134, 137, 143,
145, 146, 150, 151, 152,
155, 156, 157, 158, 159,
162, 166, 171, 172, 177,
179, 180, 181, 182, 185

198 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik


PROFIL PENULIS
Dr. H. Encep Syarief Nurdin, Drs., M.Pd.,
M.Si adalah dosen pada jenjang S-2 dan jenjang
S-3 Program Studi Pendidikan Umum (Pendidikan
Nilai/Pendidikan Karakter) Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia. Selain
menjadi dosen pada jenjang S-2 dan S-3 beliau
pun mengajar pada jenjang S-1 di Universitas
Pendidikan Indonesia dan di Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi dan Pariwisata YAPARI AKTRIPA
Bandung.
Penulis menempuh pendidikan S-1 Jurusan Pendidikan
Kewarganegaraan di IKIP Bandung. Selanjutnya, pendidikan S-2
yang pertama Penulis tempuh pada Jurusan Pendidikan Umum
(Pendidikan Nilai/Pendidikan Karakter) di Universitas Pendidikan
Indonesia. Dalam rangka memperluas perspektif keilmuan, Penulis
menempuh pendidikan jenjang S-2 yang kedua pada Program Studi
Ilmu Administrasi Publik di Universitas Padjadjaran. Pendidikan S-3
nya pun Penulis selesaikan pada Program Studi Ilmu Admistrasi Publik
di Universitas Padjadjaran. Selain pendidikan formal, berbagai kursus
dan pelatihan pun Penulis tempuh di antaranya pelatihan di Lembaga
Ketahanan Nasional (LEMHANNAS) di Jakarta dan di Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Departemen Pendidikan
Nasional Republik Indonesia (sekarang Kementerian Ristek dan Dikti).
Saat ini Penulis menjabat sebagai Ketua Program Studi Pendidikan
Umum (Pendidikan Nilai/Pendidikan Karakter) Jenjang S-2 dan
S-3 Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Selain
menjadi Ketua Program Studi saat ini Penulis juga menjabat sebagai
Sekretaris Dewan Pakar Pusat Kajian Nasional Pancasila dan Wawasan
Kebangsaan Unversitas Pendidikan Indonesia, serta sebagai Ketua
Satuan Kendali Mutu Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Universitas Pendidikan Indonesia. Selain aktif di Universitas Pendidikan
Indonesia Penulis sebelumnya menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi

Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik 199


Ilmu Ekonomi dan Pariwisata (STIEPAR) YAPARI AKTRIPA Bandung
sebanyak dua periode yaitu Periode 2007-2011 dan Periode 2011-2016.
Dalam konteks pengabdian kepada masyarakat, Penulis juga
pernah berpartisipasi dalam formulasi dan/atau implementasi suatu
kebijakan dalam salah satu unit kerja pada beberapa kementerian, yaitu
antara lain di suatu unit kerja/organisasi pada Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, pada Kementerian Kesehatan, pada Kementerian
Keuangan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
(Ristek-Dikti), serta pada Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR) Republik Indonesia.

200 Teori | Teori | Analisis | Implementasi | Kebijakan | Publik

Anda mungkin juga menyukai