Anda di halaman 1dari 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Fisiografi
Fisiografi pada daerah penelitian terletak pada lengan tenggara pulau Sulawesi yang
ditunjukkan pada kotak merah. Lengan tenggara pulau Sulawesi dibagi terbagi menjadi
tiga bagian: ujung paling utara, bagian tengah, dan ujung selatan. Ujung utara Palopo
di Teluk Tolo terdiri dari ofiolit. Bagian tengah, terluas (hingga 162,5 km) terutama
batuan metamorf dan sedimen Mesozoikum. Ujung selatan-tenggara merupakan bagian
yang relatif curam, struktur batuannya didominasi oleh batuan sedimen tersier. Secara
regional terdapat tiga mandala geologi yang sangat berbeda yang saling bersentuhan,
yaitu Mandala Pulau Buton, Mandala Muna, dan Plateform Tukangbesi (Davidson,
1991). Sedangkan secara morfologi morfologi, lengan tenggara terdiri dari
pegunungan, perbukitan, dataran, dan karst (Surono, 2013).

Gambar II. 1 Fisiografi Pulau Sulawesi (Hall dan Wilson, 2000).

6
II.2 Paleogeografi Sulawesi
Proses awal dimulai dari akibat adanya geometri yang tidak teratur dari batas Australia
Utara mengakibatkan tabrakan diakronis antara Australia dengan Asia Tenggara. Sula
Spur membentuk fitur menonjol di batas Australia dan merupakan penyebab mulai
bertabrakannya dengan busur vulkanik Sulawesi Utara segera setelah 25 Ma. Pada
Miosen Awal terdapat kerak benua Australia dari Sulawesi Timur dan Sulawesi
Tenggara melalui Sula Spur ke kepala burung New Guinea. Konvergensi antara
Australia dan Eurasia berlanjut pada Miosen Awal, dengan subduksi kerak Samudera
Hindia di palung Jawa, subduksi laut cina selatan rotasi luas Sundaland yang
berlawanan arah jarum jam (Kalimantan, Sulawesi barat, jawa), deformasi internal
Sundaland, kontraksi, uplift dan erosi di Sulawesi Timur dan Sulawesi Tenggara (Hall,
2011). Spakman dan Hall (2010) memberikan sebuah rekonstruksi tektonik yang
tersubduksi di mantel dengan rollback subduksi dan deformasi kerak, terutama
ekstensi. Hal ini menyebabkan perluasan kerak benua Australia yang telah berada di
asia tenggara sejak Kapur dan fragmentasi kerak benua Australia yang tiba pada
Miosen Awal sebagai bagian dari Sula Spur. Fase awal perluasan mengakibatkan
pembukaan laut banda utara antara 12,5 dan 7 Ma (Hinschberger dkk. 2000) dan
peregangan serta terfragmentasi fragmen kerak dari Sulawesi Timur dan Sulawesi
Tenggara serta Sula Spur. Sampel hasil kerukan dari banda ridges menunjukkan bahwa
mereka ditopang oleh batuan vulkanik busur basaltik, andesit neogen, dan kerak benua
yang serupa dengan yang ditemukan di Buton, Sulawesi Timur, Seram, Misool, dan
Banggai-Sula ( Pera dkk. 1985 ; Honshaas dkk. 1998).

7
Gambar II. 2 Rekonstruksi yang menunjukkan tumbukan Australia–Asia Tenggara pada
Miosen Awal ketika Sula Spur bertabrakan dengan busur vulkanik Sulawesi Utara,
dimodifikasi dari Spakman & Hall (2010) dan Hall (2012). Kemunduran subduksi dimulai
sekitar 15 Ma ke teluk Jurassic Banda yang menyebabkan perpanjangan Sula Spur. Tahap
pertama perluasan membentuk Cekungan Banda Utara antara 12 dan 7 Ma dan sisa-sisa Sula
Spur terbawa ke tenggara di atas engsel subduksi.

II.3 Stratigrafi Regional


Peta Geologi Lembar Lasusua-Kendari tersusun atas beberapa Formasi yaitu Batuan
Terobosan, Batuan Malihan Paleozoikum, Pualam Mesozoikum, Formasi Tokala,
Formasi Meluhu, Formasi Matano, Formasi Salodik, Formasi Pandua, Formasi
Alangga, Terumbu Koral Kuarter, dan Aluvium. Daerah penelitian terletak pada
Formasi Meluhu yang terdiri atas batupasir, kuarsit, serpih merah, batulanau, dan
batulumpur pada bagian bawah, dan perselingan serpih hitam, batupasir, dan

8
batugamping pada bagian atas. Formasi Meluhu ini menindih tak selaras batuan
malihan Paleozoikum (Rusmana dkk., 1993). Sebelumnya telah dilakukan penelitian
pada Formasi Meluhu yang dilakukan oleh Surono, (1994) yang menginterpretasikan
bahwa Formasi Meluhu berumur Trias. Sedangkan terdapat penelitian terbaru yang
dilakukan oleh Fahruddin dkk. (2020) berdasarkan penyelidikan palinologi
menginterpretasikan bahwa Formasi Meluhu berumur Miosen Tengah sampai Miosen
Akhir.
Dikarenakan terdapat perbedaan umur antara penelitian terdahulu dan yang terbaru
maka berimplikasi terhadap urutan event tektonik yang terjadi. Salah satu studi tektonik
yang dapat dilakukan adalah dapat menggunakan proxy batuan sedimen dengan
melakukan pendekatan analisis provenan. Hal ini perlu dilakukan untuk mendukung
atau menyanggah penelitian terdahulu yg dilakukan oleh Fahruddin dkk. (2020).

Gambar II. 3 Stratigrafi berdasarkan Geologi Lembar Lasusua-Kendari (Rusmana dkk. 1993).

9
II.4 Struktur Geologi Regional
Salah satu bagian dari lengan penyusun Pulau Sulawesi yaitu Sulawesi Tenggara yang
terletak pada Lengan Tenggara Sulawesi(Sompotan, 2009). Aktivitas subduksi yang
terjadi antara lempeng Pasifik dengan lempeng Eurasia berakibat pada terbentuknya
kumpulan pulau-pulau kecil di sekitarnya (Surono, 2010). Dampak dari aktivitas
tektonik tersebut membentuk sesar besar. Sesar-sesar besar tersebut diantaranya Sesar
Lawanopo, Sesar Konaweha, Sesar Kolaka, dan Sesar Hamilton. Lengan Tenggara
Pulau Sulawesi dipotong oleh dua sesar mendatar, sesar Lawanopo dan sesar Kolaka.
Sesar-sesar ini dianggap aktif sejak Plio-Pleistosen (White dkk., 2014 ). Pada lintasan
Kendari, berada di zona sesar Lawanopo. Sistem sesar ini berarah baratlaut-tenggara,
yang melintas melewati Teluk Bone dan Tenggara Sulawesi. Sesar Lawanopo memiliki
peran bagian dalam pembentuk Teluk Bone, seperti yang juga terjadi pada daratan
Tenggara Sulawesi yang masuk dalam zona sesar mendatar sinistral Neogen. Sesar
Lawanopo ini memisahkan bagian daratan Sulawesi Tenggara pada Tenggara Sulawesi
dari metamorf Sulawesi. Menurut pengukuran Global Positioning System (GPS), sesar
Lawanopo memiliki perpindahan sesar ke kiri dengan kecepatan sekitar 2 mm/tahun
(Socquet dkk., 2006) (gambar II.4).

10
Gambar II. 4 Vektor pergeseran di Sulawesi (Socquet dkk., 2006).

II.5 Provenan dan Iklim Purba


Batupasir merupakan salah satu batuan sedimen yang tersusun dari campuran butir
mineral dan fragmen batuan hasil dari adanya aktivitas erosi berbagai macam batuan
secara alami (Pettijohn dkk., 1987). Klasifikasi yang umum digunakan untuk dapat
menentukan penamaan jenis batuan pasir berdasarkan pada klasifikasi Pettijohn dkk.,
(1987) yang diketahui penyebutannya dengan QFL plot (Quartz, Feldspar, Lithic
fragment) (gambar II.5).

11
Gambar II. 5 Segitiga klasifikasi batupasir (Pettijohn dkk., 1987).

Penentuan batuan sumber atau asal (provenance) dapat digunakan metode berupa
analisis petrografi melalui pengamatan sifat optik mineral kuarsa. Terdapat beberapa
diagram diskriminan dalam penentuan batuan asal, diantaranya yaitu Dickinson dkk.,
(1983) (gambar II.6); Dickinson dkk., (1985) (gambar II.7); Yerino dan Meynar (1984)
(gambar II.8). Masing-masing dari diagram tersebut memiliki batuan asal yang
berbeda-beda dengan komposisi mineral utama berupa kuarsa (Q), feldspar (F), dan
litik (L), baik menggunakan kuarsa tunggal (monokristalin) (Qm) ataupun kuarsa
jamak (polikristalin) (Qp).

A B

Gambar II. 6 Diagram diskriminan (A). batuan asal berdasarkan QtFL


(B). batuan asal berdasarkan QmFLt (Dickinson dkk., 1983).

12
A B

Gambar II. 7 Diagram diskriminan (A) batuan asal berdasarkan QFL (B). batuan asal
berdasarkan QmFLt (Dickinson, 1985).

Gambar II. 8 Diagram diskriminan batuan asal berdasarkan QFL (Yerino dan Meynar, 1984).

Analisis petrografi selain dapat digunakan untuk analisis batuan asal, dapat digunakan
juga sebagai penentu iklim purba. Penentuan iklim purba ini bertujuan agar
mendapatkan informasi mengenai kondisi iklim selama pembentukan batuan
silisiklastik pada masa lampau untuk kemudian dilakukan intepretasi hubungan dengan
adanya potensi reservoir hidrokarbon melihat komposisi penyusun batuan silisiklastik.
Pengaruh iklim purba mulai dari kering, agak kering, lembab, dan agak lembab masing-
masing memiliki pengaruh tersendiri terhadap terbentuknya batuan silisiklastik serta
karakteristiknya. Diagram diskriminan yang digunakan untuk analisis petrografi ini
menggunakan beberapa diagram untuk mendapatkan hasil yang lebih meyakinkan.

13
A B

Gambar II. 9 Diagram diskriminan iklim purba (A). QFL Basu (1985) (B). QFL Suttner dkk.,
(1981)

A B

Gambar II. 10 Diagram diskriminan iklim purba (A). Suttner dan Dutta (1986) (B). Weltje
dkk. (1998).

II.6 Tingkat Kematangan (Maturity Index)


Menurut Folk (1951) mengklasifikasian tingkat kematangan tekstur batupasir dapat
dilakukan dengan menggunakan dua parameter yaitu :

1. Kematangan tekstur secara komposisi yang dimaksudkan berdasarkan pada


komposisi batupasir, apakah terdiri atas material penyusun yang stabil atau
tidak stabil. Apabila tersusun atas mineral dominan berupa mineral stabil
seperti mineral kuarsa menunjukkan batuan tersebut dapat disebut matang
secara komposisi.

14
2. Kematangan tekstur secara tekstural yaitu berdasarkan tingkat kelimpahan dari
matriks serta kebundaran dari butiran serta pemilahan ukuran butir.

Berdasarkan Folk (1974) yang menjabarkan konsep mengenai tingkat kematangan


batupasir, diantaranya :

1. Berdasarkan kandungan lempung dengan ukuran butir halus <0,005 mm yaitu:


a. Jika persentase lempung pada batuan sebesar >5% maka batuan tersebut
termasuk dalam tingkat muda (immature).
b. Jika persentase lempung pada batuan sebesar <5% maka batuan tersebut
termasuk dalam tingkat menengah (submature).
c. Jika persentase lempung pada batuan sedikit, maka batuan tersebut
termasuk dalam tingkat dewasa (mature).
d. Jika tidak mengandung lempung, maka batuan tersebut termasuk dalam
tingkat sangat dewasa (supermature) (gambar II.11).
2. Berdasarkan keseragaman butir dan ukuran butir batuan yaitu :
a. Jika keseragaman butir buruk dengan ukuran butir >0,1 mm, maka batuan
termasuk dalam tingkat kematangan menengah (submature).
b. Jika keseragaman butir baik dengan ukuran butir <0,1 mm, maka batuan
termasuk dalam tingkat kematangan dewasa (mature).
3. Berdasarkan pada tingkat kebundaran mineral kuarsa atau ukuran butir yaitu :
a. Jika butiran sub-angular sampai very angular maka termasuk dalam tingkat
kematangan dewasa (mature).
b. Jika butiran sub-rounded sampai well rounded maka termasuk dalam
tingkat kematangan sangat dewasa (supermature).

15
Gambar II. 11 Klasifikasi kematangan tekstur berdasarkan kandungan lempung (Folk, 1951
dalam Boggs, 2009).

II.7 Studi Palinologi Formasi Meluhu


Penentuan umur relatif pada suatu Formasi dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa analisis pendekatan yang diharapkan mampu menghasilkan informasi terkait
dengan umur yang berguna untuk dapat mengetahui event tektonik yang terjadi.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Fahruddin dkk. 2020 dengan menggunakan
analisis palinologi. Terdapat perbedaan hasil mengenai umur Formasi Meluhu pada
penelitian terdahulu sehingga dilakukan peninjauan kembali mengenai analisis sampel
yang digunakan. Sampel yang digunakan pada penelitian ini berjumlah sembilan
sampel, kemudian dua dari sembilan sampel (MF02B dan MF02C) tersebut
mengandung palynomorph sedang (lebih dari 90 butir) sedangkan sisanya kekurangan
fosil (kurang dari 40 butir) (gambar II.12). Sampel ini merupakan batuan sedimen yang
diambil dekat sumur Abuki-1 di Semenanjung Toronipa Formasi Meluhu digunakan
untuk mempelajari fasies sedimen dan kandungan palinologinya. Singkapan pada
penelitian sebelumnya termasuk dalam anggota Toronipa Formasi Meluhu dan
berumur Trias, sebaliknya hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa paparan
berumur Miosen Tengah hingga Miosen Akhir. Hasil analisis palinologi didapatkan
Florschuetzia serbuk sari kelompok (Florschuetzia trilobata, F. levipoli, dan F.

16
meridianalis). Tidak adanya fosil serbuk sari dan indeks spora Plio-Pleistosen
(Stenochlaena milnei kelompok, Dacrycarpus imbricatus, dan phyllocladus)
mendukung interpretasi umur Miosen Tengah hingga Akhir. Model pengendapan
muara yang didominasi gelombang berdasarkan keberadaan asosiasi fasies yang
didominasi sungai, energi campuran, dan didominasi gelombang. Penelitian ini
menyarankan bahwa sedimen yang dipelajari adalah analog singkapan untuk urutan
transgresif Miosen Tengah hingga Akhir yang ditemukan di sumur Abuki-1. Lebih
lanjut, penelitian merekomendasikan bahwa kompleks pengisi estuari Miosen
kemungkinan bisa membentuk sistem petroleum. Potensi reservoir adalah endapan
pasir dari fasies fluvial, pasang surut, washover, dan muka pantai dengan karakteristik
tersortir sedang sampai baik. Kandidat batuan induk adalah lumpur fasies laguna, flat
pasang surut, dataran banjir, dan laut lepas pantai. Selain itu, Cekungan Manui, dengan
endapan muara Miosennya, memerlukan studi lebih lanjut untuk mengungkap potensi
akumulasi hidrokarbonnya (Fahruddin dkk., 2020).

Gambar II. 12 Kejadian Palynomorph dari sedimen yang dipelajari di semenanjung Toronipa.
Adanya takson pada sampel dengan jumlah butir kurang dari 40 ditunjukkan dengan
keterjadian “X” (Fahruddin dkk., 2020).

17

Anda mungkin juga menyukai