Anda di halaman 1dari 20

A.

SISTEM RUJUKAN PELAYANAN KESEHATAN

Menurut WHO, sistem rujukan (referral system) adalah proses dimana petugas
kesehatan yang memiliki sumberdaya terbatas untuk menangani kondisi klinis (obat,
peralatan, kemampuan) pada satu level sistem kesehatan, melakukan pencarian bantuan
kepada fasilitas kesehatan yang lebih baik atau memiliki sumberdaya tertentu pada level yang
sama atau di atasnya, atau mengambil alih penanganan kasus pasien (Michael, 2018).
Definisi ini menyatakan bahwa:

a) Sistem rujukan dilakukan oleh faskes yang memiliki sumberdaya terbatas (obat, alat,
kemampuan) ke faskes yang setingkat atau di atasnya
b) Dalam sistem rujukan, faskes yang dirujuk berhak mengambil alih penanganan kasus
pada pasien Definisi yang tercantum dalam UU No.44 tahun 2014 tentang Rumah
Sakit menyatakan “Sistem rujukan merupakan penyelenggaraan kesehatan yang
mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab secara timbal balik baik vertikal
maupun horizontal, maupun struktural dan fungsional terhadap kasus penyakit atau
masalah penyakit atau permasalahan kesehatan”. Dari definisi yang dinyatakan dalam
UU Rumah Sakit ini, dapat disimpulkan:
1. Sistem rujukan di rumah sakit merupakan pelimpahan tugas dan tanggung
jawab. Artinya rujukan pelayanan kesehatan menjamin proses penanganan
pasien yang sesuai dengan kompetensi rumah sakit atau petugas medis
2. Sistem rujukan dilakukan secara timbal balik antar rumah sakit, baik vertikal
atau horizontal, maupun structural dan fungsional. Artinya dalam sistem
rujukan berjenjang akan terjadi timbal balik baik dalam bentuk ilmu
pengetahuan dan teknologi oleh rumah sakit level tinggi ke level rendah.
Disamping itu rumah sakit dengan level yang lebih tinggi akan lebih
memfokuskan pelayanan pada keunggulan yang dimilikinya. Sementara itu
rujukan juga dapat berlangsung antara fungsional dengan structural.
Permasalahan-permasalahan manajemerial rumah sakit yang tidak dapat
ditangani oleh unit structural sebaiknya dilimpahkan ke unit fungsional dan
sebaliknya.
3. Subyek sistem rujukan di rumah sakit adalah kasus/masalah penyakit atau
permasalahan kesehatan.
Dalam Permenkes No.01 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
Perorangan disebutkan bahwa sistem rujukan vertikal dilakukan bila

a) pasien membutuhkan pelayanan spesialistik dan subspesialistik; dan


b) perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien
karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan. Sedangkan rujukan
horizontal dilakukan bila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan, dan ketenagaan baik
yang sifatnya sementara atau menetap.

Sistem rujukan antar rumah sakit di Indonesia dijalankan melalui pembentukan jejaring
antara pemerintah dengan asosiasi rumah sakit yang dijelaskan pada pasal 41 UU tentang
Rumah Sakit. Hal ini dipertegas dalam pasal 14 Permenkes No.4 tahun 2018 tentang
Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien yang menyatakan “Dalam melaksanankan
sistem rujukan, rumah sakit wajib menjadi bagian dari sistem rujukan yang dibentuk oleh
Pemerintah Daerah”. Disamping itu upaya rujukan harus dilaksanakan secara aktif dan selalu
berkoordinasi dengan pasien/keluarga (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Lalu bagaimana
bentuk rujukan pasien yang dilakukan oleh rumah sakit? Pasal 14 ayat (4) PMK tentang
Kewajiban RS dan Kewajiban Pasien menyatakan upaya rujukan pasien rumah sakit paling
sedikit terdiri dari tiga upaya berikut:

1) Melakukan pertolongan pertama dan/atau tindakan stabilisasi kondisi pasien sesuai


indikasi medis serta sesuai dengan kemampuan untuk tujuan keselamatan pasien
selama pelaksanaan rujukan
2) Melakukan komunikasi dengan penerima rujukan dan memastikan bahwa penerima
dapat menerima pasien dalam hal keadaan gawat darurat
3) Membuat Surat Rujukan untuk disampaikan kepada penerima rujukan

Pada kasus gizi berat sesuai dengan amanat PMK No.4 tahun 2018, rumah sakit wajib
menerima rujukan dari fasilitas kesehatan lainnya. Di tingkat Puskesmas, telah diterbitkan
regulasi tentang rujukan pasien, antara lain:

a) Dalam PMK No.75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat (Kementerian
Kesehatan RI, 2014):
- Pasal 7 ayat (j) menyatakan: Puskesmas memiliki kewenangan untuk
melaksanakan penapisan3 rujukan sesuai dengan indikasi medis dan sistem
rujukan
- Pasal 41 menyatakan: Puskesmas dalam menyelenggarakan upaya kesehatan
dapat melaksanakan rujukan yang dilaksanakan sesuai sistem rujukan.
b) Dalam PMK No.67 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Lanjut
Usia di Pusat Kesehatan Masyarakat pasal 4 ayat (4): “Dalam hal pasien Geriatri
membutuhkan pelayanan lebih lanjut, dokter harus melakukan rujukan pasien Geriatri
ke fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut” (Kementerian Kesehatan RI, 2015).

Mekanisme teknis pelaksanaan sistem rujukan secara komprehensi diatur dalam PMK
No.01 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan. Sistem rujukan
di wajib dijalankan oleh pasien yang merupakan peserta jaminan kesehatan atau asuransi
kesehatan sosial dan pemberi pelayanan kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2012).
Aturan umum dalam mekanisme rujukan berjenjang adalah sebagai berikut:

1) Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang, sesuai kebutuhan medis dimulai


dari pelayanan kesehatan tingkat pertama.
2) Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan
kesehatan tingkat pertama.
3) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan
kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama.
4) Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi
pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama.
5) Ketentuan di atas tidak berlaku pada keadaan gawat darurat, bencana, kekhususan
permasalahan kesehatan pasien, dan pertimbangan geografis Rujukan pasien
dilakukan ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat yang memiliki kemampuan
pelayanan sesuai kebutuhan pasien yang bertujuan untuk meningkatkan aksesibilitas,
pemerataan dan peningkatan efektifitas pelayanan kesehatan.

Rujukan juga harus mendapat persetujuan dari pasien dan/atau keluarganya yang
disertai dengan penjelasan oleh tenaga kesehatan mengenai:

a. Diagnosis dan terapi dan/atau tindakan medis yang diperlukan


b. Alasan dan tujuan dilakukan rujukan
c. Risiko yang dapat timbul apabila rujukan tidak dilakukan
d. Transportasi rujukan
e. Risiko atau penyulit yang dapat timbul selama dalam perjalanan
B. Mekanisme Transfer pasien
Transfer pasien adalah memindahkan pasien dari satu ruangan ke ruang perawatan /
ruang tindakan lain didalam rumah sakit (intra rumah sakit) atau memindahkan pasien dari
satu rumah sakit ke rumah sakit lain (antar rumah sakit).
Rumah sakit memiliki beberapa ruang perawatan dan ruang tindakan. Pasien masuk dan
mendapat pelayanan kesehatan di RS adalah melalui Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau
Instalasi Rawat Jalan (IRJ) selanjutnya pasien di transfer ke ruangan perawatan seperti
Instalasi Rawat Inap (IRNA) atau Ruang Intensif (ICU, NICU,HDU) sesuai dengan
kebutuhan pasien. Pasien dapat pula langsung ditransfer ke ruang tindakan seperti kamar
operasi( IBS) kamar bersalin (VK), ruang endoskopi atau ruang radiologi. Demikian pula
sebaliknya, transfer intra rumah sakit ini perlu dikoordinir dengan baik. Berikut transfer
pasien di dalam rumah sakit :
1) Transfer pasien dari IGD ke Ruang rawat inap, ruang intensif, Kamar
Operasi( IBS)
2) Transfer pasien dari IRJ ke ruang rawat inap, ruang intensif, Kamar Operasi
(IBS)
3) Transfer pasien dari IRNA ke ruang intensif dan Kamar Operasi(IBS)
4) Transfer pasien dari ruang intensif ke IRNA dan Kamar Operasi ( IBS )
5) Transfer pasien dari Kamar Operasi( IBS) ke IRNA, dan ruang intensif
6) Transfer pasien dari IGD, IRNA, Ruang Intensif ke Ruang Radiologi,
Endoscopi, Hemodialisa
Keputusan untuk dilakukan transfer internal.

 Keputusan untuk dilakukan transfer intemal berdasarkan indikasi transefr internal dan
kebutuhan pelayanan pasien tersebut.
 Pengambil keputusan untuk melakukan transfer internal dilakukan oleh DPJP atau
jika oleh dokter jaga atau perawat maka harus sepengetahuan dan persetujuan DPJP.
1. Menyampaikan komunikasi, informasi, dan edukasi dengan pasien dan atau
keluarga pasien tentang transfer pasien
 Menyampaikan kepada pasien (jika kondisinya memungkinkan) dan
keluarga pasien mengenai perlunya dilakukan transfer internal.
 Jika pasien dan atau keluarga pasien menyetujui dilakukan transfer internal
maka dukumentasikan dalam persetujuan tindakan transfer internal.
 Jika menolak maka dokumentasikan dalam penolakan tindakan transfer
internal.
2. Menghubungi bagian/ unit/ ruangan yang akan dituju
 Saat keputusan transfer inetrnal telah diambil, maka DPJP atau dokter jaga
atau perawat harus menghubungi bagian/ unti/ ruangan yang akan dituju
 Jika untuk kepentingan diagnostik, maka DpJp atau dokte r jaga atau
perawat menghubungi bagian penunjang medis (radiologi, laboratorium,
dan lain-lain) yang dituju dengan memberikan informasi tentang identitas
pasien, diagnosa, kondisi pasien, dan permintaan pemeriksaan penunjang
yang diminta.
 Untuk kepentingan tindakan medis/ operasi, maka DPJP atau dokter jaga
atau perawat menghubungi kamar operasi dengan memberikan informasi
tentang identitas pasien, dan rencana tindakan medis/ operasi yang akan
dilakukan.
 Untuk kepentingan terapi hemodialisis, maka DPJP atau dokter jaga atau
perawat menghubungi instalasi hemodialisis dengan memberikan
informasi tentang identitas pasien, kebutuhan pasien di instalasi
hemodialisis dan membawa pengantar untuk hemodialisis.
 Untuk kepentingan perawatan selanjutnya, informasi yang diberikan
tentang identitas pasien, diagnosa, kondisi pasien, indikasi rawat inap, dan
kebutuhan pasien di ruangan rawat inap tersebut.
3. Petugas transfer pasien
 Petugas transfer internal segera disiapkan sesuai dengan kriteria/ level
pasien yang akan ditransfer
 Petugas transfer internal melakukan koordinasi dengan DpJp atau dokte r
jaga yang mengambil keputusan dilakukan transfer internal.
 Petugas transfer internal harus mempunyai kompetensi tertentu,
kompetensi ini didasarkan pada kriteria/ level pasien yang akan ditransfer.

Mekanisme transfer pasien :

1. Lakukan pendekatan yang sistematis dalam proses transfer pasien.


2. Awali dengan pengambilan keputusan untuk melakukan transfer, kemudian lakukan
stabilisasi pre transfer dan manajemen transfer.
3. Hal ini mencakup tahapan: evaluasi, komunikasi, dokumentasi / pencatatan,
pemantauan, penatalaksanaan, penyerahan pasien antar ruangan dalam rumah sakit
maupun ke rumah sakit rujukan / penerima, dan kembali ke RS.
4. Tahapan yang penting dalam menerapkan proses transfer yang aman adalah edukasi
dan persiapan.
5. Pengambilan keputusan untuk melakukan transfer harus dipertimbangkan dengan
matang karena transfer berpotensi mengekspos pasien dan personel rumah sakit akan
risiko bahaya tambahan, serta menambah kecemasan keluarga dan kerabat pasien.
6. Pertimbangkan risiko dan keuntungan dilakukannya transfer. Jika risikonya lebih
besar, sebaiknya jangan melakukan transfer.
7. Dalam transfer pasien, diperlukan personel yang terlatih dan kompeten, peralatan dan
kendaraan khusus.
8. Pengambil keputusan harus melibatkan DPJP / dokter senior dan dokter ruangan.
9. Dokumentasi pengambilan keputusan harus mencantumkan nama dokter yang
mengambil keputusan (berikut gelar dan biodata detailnya), tanggal dan waktu
diambilnya keputusan, serta alasan yang mendasari dan dicatat dalam rekam medis.
10. Terdapat 3 alasan untuk melakukan transfer pasien keluar RS, yaitu:
a. Transfer untuk penanganan dan perawatan spesialistik lebih lanjut
 Ini merupakan situasi emergensi dimana sangat diperlukan transfer yang
efisien untuk tatalaksana pasien lebih lanjut, yang tidak dapat disediakan RS.
 Pasien harus stabil dan teresusitasi dengan baik sebelum ditransfer.
 Saat menghubungi jasa ambulans, pasien dapat dikategorikan sebagai tipe
transfer (misalnya ruptur aneurisma aorta). juga dapat dikategorikan sebagai
tipe transfer ”gawat”, misalnya pasien dengan kebutuhan hemodialisa.
 Transfer pasien ditujukan ke rumah sakit yang memiliki MOU dengan RS.
b. Transfer antar rumah sakit untuk alasan non medis (misalnya karena ruangan
penuh, fasilitas kurang mendukung, jumlah petugas rumah sakit tidak adekuat)
 Idealnya, pasien sebaiknya tidak ditransfer jika bukan untuk kepentingan
mereka.
 Terdapat beberapa kondisi di mana permintaan / kebutuhan akan tempat tidur /
ruang rawat inap melebihi suplai sehingga diputuskanlah tindakan untuk
mentransfer pasien ke unit / rumah sakit lain.
 Pengambilan keputusan haruslah mempertimbangkan aspek etika, apakah akan
mentransfer pasien stabil yang telah berada / dirawat di unit intensif rumah
sakit atau mentransfer pasien baru yang membutuhkan perawatan intensif
tetapi kondisinya tidak stabil.
 Saat menghubungi jasa ambulans, pasien ini dapat dikategorikan sebagai tipe
transfer ”gawat”.

c. Repatriasi / Pemulangan Kembali


 Transfer hanya boleh dilakukan jika pasien telah stabil dan kondisinya dinilai
cukup baik untuk menjalani transfer oleh DPJP / dokter senior / konsultan
yang merawatnya.
 Pertimbangan akan risiko dan keuntungan dilakukannya transfer harus di
pikirkan dengan matang dan dicatat.
 Jika telah diputuskan untuk melakukan repatriasi, transfer pasien ini haruslah
menjadi prioritas di rumah sakit penerima dan biasanya lebih diutamakan
dibandingkan penerimaan pasien elektif ke unit ruang rawat. Hal ini juga
membantu menjaga hubungan baik antar - rumah sakit.
 Saat menghubungi jasa ambulans, pasien ini biasanya dikategorikan sebagai
tipe transfer ”elektif”.
d. Transfer Pasien Sementara
 Transfer pasien dilakukan apabila pasien dikirim ke RS luar untuk melakukan
pemeriksaan / tindakan yang tidak dapat dilakukan di RS Grand Medistra yang
bersifat sementara / tidak memerlukan rawat inap
 Transfer hanya boleh dilakukan jika pasien dalam kondisi stabil dan dinilai
cukup baik untuk menjalani transfer oleh DPJP / dokter senior
 Tata laksana dan pendampingan pasien sesuai dengan transfer pasien antar
rumah sakit
11. Saat keputusan transfer telah diambil, dokter yang bertanggung jawab / dokter
ruangan akan menghubungi unit / rumah sakit yang dituju.
12. Dalam mentransfer pasien antar rumah sakit, tim transfer RS (DPJP/ PPJP/ di
ruangan) akan menghubungi rumah sakit yang dituju dan melakukan negosiasi dengan
unit yang dituju. Jika unit tersebut setuju untuk menerima pasien rujukan, tim transfer
RS harus memastikan tersedianya peralatan medis yang memadai dirumah sakit yang
dituju.
13. Keputusan final untuk melakukan transfer ke luar RS dipegang oleh dokter senior /
DPJP / konsultan rumah sakit yang dituju.
14. Beritahukan kepada pasien (jika kondisinya memungkinkan) dan keluarga mengenai
perlunya dilakukan transfer antar rumah sakit, dan mintalah persetujuan / penolakan
tindakan transfer (lampiran 1 dan 2).
15. Proses pengaturan transfer ini harus dicatat dalam status rekam medis pasien yang
meliputi: nama, jabatan, dan detail kontak personel yang membuat kesepakatan baik
di rumah sakit yang merujuk dan rumah sakit penerima, tanggal dan waktu
dilakukannya komunikasi antar rumah sakit serta saran-saran / hasil negosiasi kedua
belah pihak.
16. Personel tim transfer harus mengikuti pelatihan transfer memiliki kompetensi yang
sesuai berpengalaman, mempunyai peralatan yang memadai, dapat bekerjasama
dengan jasa pelayanan ambulans, protokol dan panduan rumah sakit, serta pihak-
pihak lainnya yang terkait, dan juga memastikan proses transfer berlangsung dengan
aman dan lancar tanpa mengganggu pekerjaan lain di rumah sakit yang merujuk.
17. Pusat layanan ambulans harus diberitahu sesegera mungkin jika keputusan untuk
melakukan transfer telah dibuat, bahkan bila waktu pastinya belum diputuskan. Hal
ini memungkinkan layanan ambulans untuk merencanakan pengerahan petugas
dengan lebih efisien.

Stabilisasi sebelum transfer


1. Meskipun berpotensi memberikan risiko tambahan terhadap pasien, transfer yang
aman dapat dilakukan bahkan pada pasien yang sakit berat / kritis (extremely ill).
2. Transfer sebaiknya tidak dilakukan bila kondisi pasien belum stabil.
3. Hipovolemia adalah kondisi yang sulit ditoleransi oleh pasien akibat adanya
akselerasi dan deselerasi selama transfer berlangsung, sehingga hipovolemia harus
sepenuhnya dikoreksi sebelum transfer.
4. Unit / rumah sakit yang dituju untuk transfer harus memastikan bahwa ada prosedur /
pengaturan transfer pasien yang memadai.
5. Perlu waktu hingga beberapa jam mulai dari setelah pengambilan keputusan dibuat
hingga pasien ditransfer ke unit / rumah sakit lain
6. Hal yang penting untuk dilakukan sebelum transfer:
a. Amankan patensi jalan napas
Beberapa pasien mungkin membutuhkan intubasi atau trakeostomi dengan
pemantauan end-tidal carbondioxide yang adekuat.
b. Analisis gas darah harus dilakukan pada pasien yang menggunakan ventilator
portabel selama minimal 15 menit.
c. Terdapat jalur / akses vena yang adekuat (minimal 2 kanula perifer atau sentral)
d. Pengukuran tekanan darah invasif yang kontinu / terus menerus merupakan teknik
terbaik untuk memantau tekanan darah pasien selama proses transfer berlangsung.
e. Jika terdapat pneumotoraks, selang drainase dada (Water-Sealed Drainage-WSD)
harus terpasang dan tidak boleh diklem.
f. Pasang kateter urin dan nasogastric tube (NGT), jika diperlukan.
g. Pemberian terapi / tatalaksana tidak boleh ditunda saat menunggu pelaksanaan
transfer.
7. Unit / rumah sakit yang dituju dapat memberikan saran mengenai penanganan segera /
resusitasi yang perlu dilakukan terhadap pasien pada situasi-situasi khusus, namun
tanggung jawab tetap pada tim transfer.
8. Tim transfer harus familiar dengan peralatan yang ada dan secara independen menilai
kondisi pasien.
9. Seluruh peralatan dan obat-obatan harus dicek ulang oleh petugas transfer.

Pendampingan Pasien Selama Transfer


1. Pasien dengan sakit berat / kritis harus didampingi oleh minimal 2 orang tenaga
medis.
2. Kebutuhan akan jumlah tenaga medis / petugas yang mendampingi pasien bergantung
pada kondisi / situasi klinis dari tiap kasus (tingkat / derajat beratnya penyakit /
kondisi pasien).
3. Dokter senior (dr ICU/ dr Anesthesi), bertugas untuk membuat keputusan dalam
menentukan siapa saja yang harus mendampingi pasien selama transfer berlangsung.
4. Sebelum melakukan transfer, petugas yang mendampingi harus paham dan
mengartikan kondisi pasien dan aspek-aspek lainnya yang berkaitan dengan proses
transfer.
5. Berikut ini adalah pasien-pasien yang tidak memerlukan dampingan dr ICU/ dr
Anestesi selama proses transfer antar rumah sakit berlangsung:
a. Pasien yang dapat mempertahankan patensi jalan napasnya dengan baik dan tidak
membutuhkan bantuan ventilator / oksigenasi.
b. Pasien dengan perintah ”Do Not Resuscitate” (DNR)
c. Pasien yang ditransfer untuk tindakan manajemen definitif akut di mana intervensi
anestesi tidak akan mempengaruhi hasil.
6. Berikut adalah panduan perlu atau tidaknya pendampingan proses transfer
berdasarkan tingkat / derajat kebutuhan perawatan pasien kritis. Keputusan harus
dibuat oleh dokter ICU/ DPJP
a. Derajat 0
Pasien yang dapat terpenuhi kebutuhannya dengan ruang rawat biasa di unit /
rumah sakit yang dituju, biasanya tidak perlu didampingi oleh dokter, perawat,
atau paramedis.
b. Derajat 1
Pasien dengan risiko perburukan kondisi, atau pasien yang sebelumnya menjalani
perawatan di Intensive Care Unit (ICU), di mana membutuhkan perawatan di
ruang rawat biasa dengan saran dan dukungan tambahan dari tim perawatan kritis,
harus didampingi oleh perawat, atau dokter.
c. Derajat 2
Pasien yang membutuhkan observasi / intervensi lebih ketat, termasuk
penanganan kegagalan satu sistem organ atau perawatan pasca-operasi, dan pasien
yang sebelumnya dirawat di ICU harus didampingi oleh petugas yang kompeten,
terlatih, dan berpengalaman (dokter dan perawat / paramedis lainnya).
d. Derajat 3
Pasien yang membutuhkan bantuan pernapasan lanjut (advanced
respiratorysupport) atau bantuan pernapasan dasar (basic respiratory support)
dengan dukungan / bantuan pada minimal 2 sistem organ, termasuk pasien-pasien
yang membutuhkan penanganan kegagalan multi-organ, harus didampingi oleh
petugas yang kompeten, terlatih, dan berpengalaman (dokter anestesi dan perawat
ruang intensif / IGD atau paramedis lainnya).
7. Saat dr ICU/ DPJP di RS Grand Medistra tidak dapat menjamin terlaksananya
bantuan / dukungan anestesiologi yang aman selama proses transfer pengambilan
keputusan haruslah mempertimbangkan prioritas dan risiko terkait transfer.
8. Semua petugas yang tergabung dalam tim transfer untuk pasien dengan sakit berat /
kritis harus kompeten, terlatih, dan berpengalaman.
9. Petugas yang mendampingi harus membawa telepon genggam selama transfer
berlangsung yang berisi nomor telepon RS Grand Medistra dan rumah sakit tujuan.
10. Keselamatan adalah parameter yang penting selama proses transfer.
Kompetensi Pendamping Pasien dan Peralatan yang harus Dibawa Selama Transfer
1. Kompetensi SDM untuk transfer intra RS
Pasien Petugas pendamping Keterampilan yang Peralatan Utama
(minimal) dibutuhkan

Derajat 0 TPK/ Petugas Bantuan hidup dasar


Keamanan
Derajat 0,5 TPK/Petugas Bantuan hidup dasar
(Orangtua/ Keamanan
Delirium)
Derajat 1 Perawat / Petugas - Bantuan hidup dasar - Oksigen
yang - Pelatihan tabung gas - Suction
berpengalaman - Pemberian obat –obatan - Tiang infus
(sesuai dengan - Kenal akan tanda portable
kebutuhan pasien) deteriorasi - Pompa infus
- Keterampilan dengan baterai
trakeostomi dan suction - Oksimetri
denyut
Derajat 2 Perawat dan TPK/ Semua ketrampilan di atas, Semua peralatan di
Petugas keamanan ditambah; dua tahun atas, ditambah:
pengalaman dalam - Monitor EKG
perawatan intensif dan tekanan
(oksigenasi, darah
sungkup pernapasan, - Defibrillator
defibrillator, monitor)
Derajat 3 Dokter, perawat, Standar kompetensi dokter - Monitor ICU
dan TPK/Petugas harus diatas standar portabel yang
keamanan minimal. lengkap
Dokter: - Ventilator dan
- Minimal 6 bulan peralatan transfer
pengalaman mengenai yang memenuhi
perawatan pasien standar minimal.
intensif dan bekerja di
ICU
- Keterampilan bantuan
hidup dasar dan lanjut
- Keterampilan menangani
permasalahan jalan
napas dan pernapasan
- Harus mengikuti
pelatihan untuk transfer
pasien dengan sakit berat
/ kritis.
Perawat:
- Minimal 2 tahun bekerja
di ICU
- Keterampilan bantuan
hidup dasar dan lanjut
- Harus mengikuti
pelatihan untuk transfer
pasien dengan sakit berat
/ kritis
(lengkapnya lihat
Lampiran 1)

Untuk transfer intra rumah sakit ada hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
Kondisi pasien ditransfer:
- Penderita yang sudah stabil
- Telah dinilai mengenai resiko dan keuntungannya.
- Berkas rekam medis sudah lengkap
- Mengisi formulir transfer pasien antar ruangan.
a. ICU
 Bila tidak ada masalah ABC, dapat diantar oleh 1 orang perawat igd/rawat
inap
 Bila dalam keadaan ventilasi, dokter yang bertanggung jawab harus
mendampingi dan melakukan bagging selama perjalanan
 Bila dalam keadaan syok harus disertai dokter
 Menyerahkan berkas rekam medis pasien

b. Kamar Operasi
 Bila penderita memerlukan tindakan operasi segera , maka operasi dilakukan
oleh dokter konsultan yang bertugas saat itu
 Dokter jaga bedah memberitahu petugas IBS tentang adanya operasi
 Petugas IBS memberitahu dr anesthesi tentang adanya operasi tersebut
 Petugas IGD/Ruangan menyiapkan penderita untuk operasi
c. Ke ruang perawatan sementara/ruang observasi, Hal ini dilakukan bila:
 Perlu observasi paling lama 8 Jam
 Tempat tidur diruangan penuh
 Tempat tidur diruang intensif penuh penuh.

d. Transfer pasien antar ruangan di Rs Grand Medistra menggunakan form transfer


pasien antar ruangan( RM18e). dimana form ini menjadi bukti serah terima pasien
antar perawat yang mengantar dengan perawat yang menerima. Tetapi jika pasien
menjalani perpindahan ruangan masih dalam satu alur pelayanan maka tidak
menggunakan form transfer,hanya form ceklist serah terima pasien
Berikut beberapa transfer pasien yang tidak menggunakan form transfer pasien antar
ruangan:
1) Pasien dari ruang bersalin ke kamar operasi
2) Pasien dari ruang rawat inap untuk pemeriksaan endoscopi
3) Pasien dari ruang rawat inap untuk tindakan hemodialisa
4) Pasien dari ruang rawat inap untuk tindakan Radiologi
Kompetensi SDM untuk transfer antar rumah sakit
Pasien Petugas Keterampilan yang Peralatan Utama dan
pendamping dibutuhkan Jenis Kendaraan
(minimal)
Derajat 0 Petugas ambulans Bantuan hidup dasar (BHD) Ambulans
Derajat 0,5 Petugas ambulan Bantuan hidup dasar Ambulan High dependency
(orang tua/ dan paramedis service(HDS)
Delirium
Derajat 1 Petugas ambulans - Bantuan hidup dasar - Ambulans
dan perawat - Pemberian oksigen - Oksigen
- Pemberian obat-obatan - Suction
- Kenal akan tanda - Tiang infus portable
deteriorasi - Infus pump dengan baterai
- Keterampilan perawatan - Oksimetri
- trakeostomi dan suction
Derajat 2 Dokter, perawat, Semua keterampilan di atas, Semua peralatan diatas,
dan petugas ditambah; ditambah;
ambulans - Penggunaan alat - Monitor EKG dan tekanan
pernapasan darah
- Bantuan hidup lanjut - Defibrillator bila
- Penggunaan kantong diperlukan
pernapasan (bag-valve
mask)
- Penggunaan defibrillator
- Penggunaan monitor
intensif
Derajat 3 Dokter, perawat, Dokter: - Ambulans lengkap/AGD
dan Petugas - Minimal 6 bulan 118
ambulans pengalaman mengenai - Monitor ICU portable
perawatan pasien - Ventilator dan peralatan
intensif dan bekerja di transfer yang memenuhi
ICU standar minimal
- Keterampilan bantuan
hidup dasar dan lanjut
- Keterampilan
menangani
permasalahan jalan
napas dan pernapasan
- Harus mengikuti
pelatihan untuk transfer
pasien dengan sakit
berat / kritis
Perawat:
- Minimal 2 tahun
bekerja di ICU
- Keterampilan
bantuan hidup dasar
dan lanjut
- Harus mengikuti
pelatihan untuk
transfer pasien
dengan sakit berat /
kritis

Pemantauan, Obat-Obatan, dan Peralatan Selama Transfer Pasien Kritis


1. Pasien dengan kebutuhan perawatan kritis memerlukan pemantauan selama proses
transfer.
2. Standar pelayanan dan pemantauan pasien selama transfer setidaknya harus sebaik
pelayanan di RS Grand Medistra / RS tujuan.
3. Peralatan pemantauan harus tersedia dan berfungsi dengan baik sebelum transfer
dilakukan. Standar minimal untuk transfer pasien antara lain :
a. Kehadiran petugas yang kompeten secara kontinu selama transfer
b. EKG kontinu
c. Pemantauan tekanan darah (non-invasif)
d. Saturasi oksigen (oksimetri denyut)
e. Terpasangnya jalur intravena
f. Terkadang memerlukan akses ke vena sentral
g. Peralatan untuk memantau cardiac output
h. Pemantauan end-tidal carbon dioxide pada pasien dengan ventilator
i. Mempertahankan dan mengamankan jalan napas
j. Pemantauan temperatur pasien secara terus menerus (untuk mencegah terjadinya
hipotermia atau hipertermia)
4. Pengukuran tekanan darah non invasif intermiten, sensitif terhadap gerakan dan tidak
dapat diandalkan pada mobil yang bergerak. Selain itu juga cukup menghabiskan
baterai monitor.
5. Pengukuran tekanan darah invasif yang kontinu (melalui kanula arteri) disarankan.
6. Idealnya, semua pasien derajat 3 harus dipantau pengukuran tekanan darah secara
invasif selama transfer (wajib pada pasien dengan cedera otak akut pasien dengan
tekanan darah tidak stabil atau berpotensi menjadi tidak stabil atau pada pasien
dengan inotropik).
7. Cateterisasi vena sentral tidak wajib tetapi membantu memantau filling status (status
volume pembuluh darah) pasien sebelum transfer. Akses vena sentral diperlukan
dalam pemberian obat inotropic dan vasopressor.
8. Pemantauan tekanan intracranial mungkin diperlukan pada pasien-pasien tertentu.
9. Pada pasien dengan pemasangan ventilator, lakukan pemantauan suplai oksigen,
tekanan pernapasan (airway pressure), dan pengaturan ventilator.
10. Tim transfer yang terlibat harus memastikan ketersediaan obat-obatan yang
diperlukan, antara lain (sebaiknya obat-obatan ini sudah disiapkan di dalam jarum
suntik)
a. Obat resusitasi dasar : Epinefrin, anti-aritmia
b. Obat sedasi
c. Analgesik
d. Relaksans otot
e. Obat inotropic
11. Hindari penggunaan tiang dengan selang infus yang terlalu banyak agar akses
terhadap pasien tidak terhalang dan stabilitas brankar terjaga dengan baik.
12. Semua infus harus diberikan melalui syringe pumps.
13. Penggunaan tabung oksigen tambahan harus aman dan terpasang dengan baik.
14. Petugas transfer harus familiar dengan seluruh peralatan yang ada di ambulanss.
15. Pertahankan temperature pasien, lindungi telinga dan mata pasien selama transfer.
16. Seluruh peralatan harus kokoh, tahan lama, dan ringan.
17. Peralatan listrik harus dapat berfungsi dengan menggunakan baterai (saat tidak
disambungkan dengan stop kontak/listrik).
18. Baterai tambahan harus dibawa (untuk mengantisipasi terjadinya mati listrik)
19. Monitor yang portabel harus mempunyai layar yang jernih dan terang dan dapat
memperlihatkan elektrokardiogram (EKG), saturasi oksigen arteri, pengukuran
tekanan darah (non-invasif), kapnografi, dan temperatur.
20. Pengukuran tekanan darah non-invasif pada monitor portabel dapat dengan cepat
menguras baterai dan tidak dapat diandalkan saat terdapat pergerakan ekternal /vibrasi
(getaran).
21. Alarm dari alat harus terlihat jelas dan terdengar dengan cukup keras.
22. Ventilator mekanik yang portabel harus mempunyai (minimal):
a. Alarm yang berbunyi jika terjadi tekanan tinggi atau terlepasnya alat dari tubuh
pasien
b. Mampu menyediakan tekanan akhir ekspirasi positif (positive end
expiratorypressure) dan berbagai macam konsentrasi oksigen inspirasi
c. Pengukuran rasio inspirasi : ekspirasi, frekuensi pernapasan per menit, dan
volume tidal.
d. Mampu menyediakan ventilasi tekanan terkendali (pressure-controlledventilation)
dan pemberian tekanan positif berkelanjutan (continuous positiveairway
pressure).
23. Semua peralatan harus terstandarisasi sehingga terwujudnya suatu proses transfer
yang lancar dan tidak adanya penundaan dalam pemberian terapi / obat-obatan.
24. Catatlah status pasien, tanda vital, pengukuran pada monitor, tata laksana yang
diberikan, dan informasi klinis lainnya yang terkait. Pencatatan ini harus dilengkapi
selama transfer.
25. Pasien harus dipantau secara terus-menerus selama transfer dan dicatat di lembar
pemantauan.
26. Monitor, ventilator, dan pompa harus terlihat sepanjang waktu oleh petugas dan harus
dalam posisi aman di bawah level pasien.

Alat transportasi untuk transfer pasien antar rumah sakit


1. Gunakan mobil ambulans RS Grand Medistra. Mobil dilengkapi soket listrik 12 V,
suplai oksigen, monitor, dan peralatan lainnya.
2. Sebelum melakukan transfer, pastikan kebutuhan-kebutuhan untuk mentransfer pasien
terpenuhi (seperti suplai oksigen, baterai cadangan, dll).
3. Standar Peralatan di Ambulans:
a. Suplai oksigen
b. Ventilator
c. Jarum suntik
d. Suction
e. Baterai cadangan
f. Syringe / infusion pumps (tinggi pompa sebaiknya tidak melebihi posisi pasien
g. Alat penghangat ruangan portabel (untuk mempertahankan temperatur pasien)
h. Alat kejut jantung (defibrillator)
4. Tim transfer/ SDM pendamping dapat memberi saran mengenai kecepatan ambulans
yang diperlukan, dengan mempertimbangkan kondisi klinis pasien.
5. Keputusan untuk menggunakan sirene diserahkan kepada supir ambulanss. Tujuannya
adalah untuk memfasilitasi transfer yang lancar dan segera dengan akselerasi dan
deselerasi yang minimal.
6. Pendampingan oleh polisi dapat dipertimbangkan pada area yang sangat padat
penduduknya
7. Petugas harus tetap duduk selama transfer dan menggunakan sabuk pengaman.
8. Jika terdapat kegawatdaruratan medis dan pasien membutuhkan intervensi segera,
berhentikan ambulans di tempat yang aman dan lakukan tindakan yang diperlukan.
9. Jika petugas diperlukan untuk turun dari kendaraan / ambulans, gunakanlah pakaian
yang jelas terlihat oleh pengguna jalan lainnya.

Komunikasi dalam Transfer Pasien Antar Rumah Sakit

1. Pasien (jika memungkinkan) dan keluarganya harus diberitahu mengenai alasan


transfer dan lokasi rumah sakit tujuan. Berikanlah nomor telepon rumah sakit
tujuan dan jelaskan cara untuk menuju ke RS tersebut.
2. Pastikan bahwa rumah sakit tujuan dapat dan setuju untuk menerima pasien
sebelum dilakukan transfer.
3. Kontak pertama harus dilakukan oleh konsultan/ dokter penanggung jawab di
kedua rumah sakit, untuk mendiskusikan mengenai kebutuhan medis pasien.
4. Untuk kontak selanjutnya, tunjuklah satu orang lainnya (biasanya perawat
senior). Bertugas sebagai komunikator utama sampai transfer selesai dilakukan.
a. Jika selama transfer terjadi pergantian jaga perawat yang ditunjuk, berikan
penjelasan mengenai kondisi pasien yang ditransfer dan lakukan
penyerahan tanggung jawab kepada perawat yang menggantikan.
b. Komunikator utama harus menghubungi pelayanan ambulan, jika ingin
menggunakan jasanya dan harus menjadi kontak satu-satunya untuk diskusi
selanjutnya antara rumah sakit dengan layanan ambulans.
c. Harus memberikan informasi terbaru mengenai kebutuhan perawatan pasien
kepada rumah sakit tujuan.
5. Tim transfer harus berkomunikasi dengan rumah sakit asal dan tujuan mengenai
penanganan medis yang diperlukan dan memberikan update perkembangannya.
Audit dan Jaminan Mutu

1. Buatlah catatan yang jelas dan lengkap selama transfer.


2. Dokumentasi ini akan digunakan sebagai acuan data dasar dan sarana audit.
3. Rumah Sakit bertanggung jawab untuk menjaga berlangsungnya proses pelaporan
insidens yang terjadi dalam transfer dengan menggunakan protokol standar Rumah
Sakit.
4. Data audit akan ditinjau ulang secara teratur oleh Rumah Sakit.
Daftar Pustaka

Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland (2009). AAGBI safety guideline:
interhospital transfer. London

Iwa, I. (2018). BPJS Kesehatan Luncurkan Sistem Rujukan Berbasis Online. Retrieved
March 9, 2019, from https://tvberita.co.id/news/regional/bpjs-kesehatan-
luncurkansistem-rujukan-berbasis-online/
Kamau, K. J., Onyango-osuga, B., & Njuguna, S. (2017). Challenges Facing Implementation
of Referral System for Quality Health Care Services in Kiambu County, Kenya.
IMedPub Journals, 4(1), 48.
Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 tahun 2012 tentang
Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, Pub. L. No. 1 (2012).
Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75
Tahun 2014 tentang Kesehatan Masyarakat (2014).
Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67
Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia di Pusat
Kesehatan Masyarakat, Pub. L. No. 67 (2015).
Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien, Pub. L. No. 4 (2018).
Michael, M. (2018). Reviving the Functionality of the Referral System in Uganda. Retrieved
March 9, 2019, from https://www.udn.or.ug/udn-media/news/147- reviving-the-
functionality-of-the-referral-system-in-uganda.html
Primasari, K. L. (2015). Analisis Sistem Rujukan Jaminan Kesehatan Nasional RSUD Dr.
Adjidarmo Kabupaten Lebak. ARSI, 1(2), 79–87.
Republik Indonesia. Undang-undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Pub. L. No. 36
(2009). Indonesia. Republik Indonesia. Undang-undang No.44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit, Pub. L. No. 44 (2009).
Welsh Assembly Government (2009). Designed for life: Welsh guidelines for the transfer of
critically ill adult; 2009.

Anda mungkin juga menyukai