Anda di halaman 1dari 9

Terjemah Bahasa Arab – Bahasa Indonesia

‫أيو دحية‬ (Teori dan Praktek)


Tes Penilaian
Terjemahan
Tes Penilaian Terjemahan
Terjemah yang baik dapat dinilai dari kualitas instrinsik dan ekstrinsik:
A. Kualitas instrinsik meliputi :
1. Ketepatan (accurate), hal ini berkaitan dengan kesesuaian antara pesan yang terdapat dalam
bahasa sumber dan pesan yang terdapat dalam bahasa penerima, atau apakah makna yang
ditangkap pembaca Tsu itu sama dengan makna yang ditangkap pembaca Tsa atau tidak.
2. Kejelasan (clear), ini berkaitan dengan masalah kebahasaan dan kemudahan dalam memahami
maksud nas, yaitu pembaca TSa. (target reader) dapat memahami terjemahan itu dengan baik.
3. Kewajaran (natural), yaitu berkaitan dengan kelancaran serta kealamiahan terjemahan.
Penerjemah perlu mengetahui bahwa terjemahannya terasa wajar sehingga pembaca sasaran
seolah-seolah membaca karangan yang bukan hasil terjemahan
B. Kualitas ekstrinsik adalah penilaian pembaca terhadap hasil terjemahan, menurut pembaca, ciri
terjemah yang baik adalah: kalimatnya tidak rumit, memperhatikan ejaan, menggunakan kosa kata
yang lazim dipakai, dan ada penjelasan istilah. (Teori dan Praktek Terjamah Arab-Indonesia, Mudzakir, Syihabudin
(2003), hlm. 1-50)
Tes Penilaian Terjemahan
Kualitas instrinsik (tepat, jelas, dan wajar) dapat diuji dengan beberapa tes berikut:
(Rudi Hartono. 2014. Penilaian Hasil Terjemahan. Center For Linguistics, Literature, Language Teaching, and Translation
Studies (CL3TS).http://cl3tsunnes.blogspot.co.id/2014/12/translation-assessment.html. Desember 2014)

1. Uji keakuratan (Accuracy Tets), yaitu menguji apakah makna yang dipindahkan dari Tsu itu
sama dengan yang ada di Tsa. Tujuan penerjemah adalah mengkomunikasikan makna secara
akurat. Penerjemah tidak boleh mengabaikan, menambah atau mengurangi pesan yang
terkandung dalam Tsu, hal ini dapat dilakukan dengan cara mengetik teks dengan dua spasi dan
dengan margin lebar, sehingga ada ruang yang dapat digunakan untuk menulis perbaikan-
perbaikan guna mengecek apakah makna dan dinamika Tsu (unsur emotif) itu benar-benar telah
dikomunikasikan dalam terjemahan atau tidak.
(Larson. 1984. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-language Equivalence. Lanham: University Press of Amerika,Ô Inc. hlm.
490)
Tes Penilaian Terjemahan
2. Uji keterbacaan (Readability test), ini dimaksudkan untuk menyatakan derajat
kemudahan apakah sebuah terjemahan itu mudah dipahami maksudnya atau tidak. Tulisan
yang tinggi keterbacaannya lebih mudah dipahami daripada yang rendah. Sebaliknya, tulisan
yang lebih rendah keterbacaannya lebih sukar untuk dibaca. Keterbacaan ini meliputi pilihan
kata (diction), bangun kalimat (sentence construction), susunan paragraph (paragraph organization),
dan unsur ketatabahasaan (grammatical elements), jenis huruf (size of type), tanda baca
(punctuation), ejaan (spelling), spasi antarbaris (spaces between lines), dan ukuran marjin (size of
margin). Uji keterbacaan dilakukan dengan cara meminta seseorang membaca sebagian naskah
terjemahan itu dengan keras. Begitu dia membaca, penilai memperhatikan di mana letak
pembaca merasa bimbang. Kalau dia berhenti dan membaca ulang kalimat itu, maka penguji
harus mencatat bahwa ada masalah keterbacaan.
(Larson. 1984. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-language Equivalence. Lanham: University Press of Amerika,Ô Inc.
hlm. 499-500)
Tes Penilaian Terjemahan
3. Uji kewajaran (Naturalness test), tujuan uji kewajaran adalah melihat apakah bentuk
terjemahannya itu alamiah atau sudah tepat dengan gaya bahasa Bsa atau belum.
Terjemahan dinilai wajar jika:
1. Makna dalam Tsu dikomunikasikan dengan akurat.
2. Makna yang dikomunikasikan ke dalam BSa menggunakan bentuk gramatika dan kosa
kata yang lumrah atau wajar.
3. Terjemahan itu mencerminkan tindakan komunikasi yang lazim ditemui dalam konteks
dan antar komunikan dalam BSa.
Uji kewajaran harus dilakukan oleh penilai yang sudah membaca seluruh terjemahan dan
membuat komentar dan saran-saran yang diperlukan. Penilai harus terfokus pada tingkat
kewajaran serta berupaya bagaimana meningkatkan kewajaran dan gaya bahasa dalam
terjemahan.
(Larson. 1984. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-language Equivalence. Lanham: University Press of Amerika,Ô Inc.
hlm. 497)
Tes Penilaian Terjemahan
4. Uji keterpahaman (Comprehension testing), Uji keterpahaman menyangkut pengujian terhadap Tsu,
bukan pengujian terhadap responden, dengan kata lain tes itu bukan tes kemampuan, bukan pula menguji
ingatan responden, namun semata-mata untuk mengukur apakah terjemahan itu dapat dipahami oleh pembaca
sasaran atau tidak.
Ada dua langkah yang dapat ditempuh: Pertama, memberi tinjauan ulang. Dalam hal ini responden diminta
untuk menceriterakan ulang atau memberi ringkasan isi naskah yang dibacanya. Tujuan meminta
menceriterakan ulang adalah untuk melihat apakah alur utama kejadian atau alur tema jelas. Kedua, membuat
pertanyaan mengenai naskah yang diterjemahkan diantaranya:
- Pertanyaan gaya menyangkut genre dan gaya naskah. Pertanyaan tema menyangkut subjek pembahasan
secara keseluruhan.
- Pertanyaan yang dapat diajukan seperti: “Masalah apa yang dibahas dalam tulisan itu?”. Pertanyaan rinci
menanyakan tentang informasi tertentu dalam teks terjemahan.
- Pertanyaan, misalnya, dapat dimulai dengan kata siapa, kapan, apa, di mana, mengapa, dan bagaimana atau
bergantung pada tujuan penilai.
(Larson. 1984. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-language Equivalence. Lanham: University Press of Amerika,Ô Inc.
hlm. 493-497)
Tes Penilaian Terjemahan

5. Uji konsistensi (Consistency Check), Larson (1984:500-501) menyatakan bahwa Tsu biasanya
memiliki istilah kunci yang digunakan secara berulang-ulang. Jika Tsu panjang atau proses
penyelesaian terjemahan memakan waktu lama, memungkinkan terjadinya konsistenan sehingga
diperlukan pengecekan pada akhir penerjemahan. Hal ini biasanya terjadi pada penerjemahan atau
terjemahan dokumen politik, teknik, ekonomi, hukum, pendidikan, atau agama.

Ketidakkonsistenan biasa terjadi dalam hal ejaan nama orang dan tempat; Kata-kata asing yang
dipinjam dan digunakan beberapa kali; Penggunaan tanda baca (pungtuasi), dan huruf capital.

(Larson.1984. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-language Equivalence. Lanham: University Press of Amerika,Ô Inc.
hlm. 500-501)
Tes Penilaian Terjemahan
6. Terjemahan balik (Back-translation)

Tes ini dilakukan dengan cara menerjemahkan ulang hasil terjemahan kedalam Bahasa
Sumber. Selanjutnya hasil terjemahan ulang kedalam Bahasa Sumber dibandingkan dengan
Teks Aslinya. Semakin tinggi akurasi antara terjemahan ulang dengan teks asli, maka
semakin tinggi pula nilainya. Walaupun kesamaan tersebut tidak mungkin mencapai
kesempurnaan (100%).
(Soemarno. 1988. Hubungan antara Lama Belajar dalam Bidang Penerjemahan “Jenis Kelamin, Kemampuan Berbahasa Inggris” dan
Tipe-tipe Kesilapan Terjemahan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Unpublished Disertation. Malang: Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang. Hlm. 33-34)

Anda mungkin juga menyukai