Anda di halaman 1dari 113

DIKTAT KULIAH

AGAMA HINDU – BUDHA

Disusun oleh :
Thio Donald Sugiarto S.E., M.M., S.Th., M.Th.

Sekolah Tinggi Teologi Injili Indonesia – Surabaya


Desember 2020
1
“Hatreds never cease by hatreds in this world
By love alone they cease”
“Dalam dunia ini kebencian tidak dapat dihentikan dengan kebencian
Hanya dengan kasih sajalah kebencian itu dihentikan”

“ … But I say unto you, Love your enemies, bless them


that curse you, do good to them that hate you, and pray
for them which despitefully use you, and persecute
you ...”
“…Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah
bagi mereka yang menganiaya kamu …”

“Treat yourself the way you want to be treated by


others ... love yourself and you will be loved.”
“Perlakukan dirimu seperti engkau ingin diperlakukan oleh orang
lain ... Cintai dirimu dan kamu akan dicintai.”

“And the second is like unto it, Thou shalt love thy
neighbour as thyself.”
“Dan hukum yang kedua yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

2
Pengantar

Agama Hindu dan Budha berkembang dengan pesatnya dewasa ini. Bukan
dalam jumlah pemeluk agamanya, karena pendekatan berdasarkan keagamaan lebih
banyak mengalami resistensi dari pemeluk agama lain, tetapi dalam bentuk filosofinya
maupun praktika kehidupan spiritualitasnya. Hal ini terwujud dalam misalnya ajaran-
ajaran yang filosofis/filsafatis yang telah banyak diterima secara umum maupun
praktika spiritualitas semacam meditasi, yoga, dan lain sebagainya yang notabene
dapat memberikan “manfaat” bagi manusia.

Hal ini harus disikapi dengan benar oleh orang percaya, agar dapat tetap teguh
menjaga kemurnian ajaran-ajaran Kristiani ditengah pengaruh filosofi dan praktika
spiritualitas Hindu dan Budha yang semakin bertumbuh dan berkembang dalam
kehidupan bermasyarakat, sembari tetap dapat mewujudkan kerukunan hidup antar
umat beragama. Sebaliknya akan menjadi berbahaya bila tidak disikapi dengan benar
karena akan menimbulkan sinkretisme, ataupun resistensi berlebihan yang berpotensi
dapat memecah belah bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi kebebasan umat
beragama ditengah kebhinekaan ini.
Dengan belajar agama Hindu dan Budha ini, bukanlah dimaksudkan untuk
memahami dan membenarkan agama-agama tersebut, bukan pula dimaksudkan untuk
mendiskreditkannya, melainkan dalam konteks untuk mencegah terjadinya
sinkretisme, serta untuk dapat saling menghormati satu kepada yang lain.

Demikian kiranya pembelajaran ini dapat membangun diri kita sendiri dalam
kualitas kerohanian, dan bertumbuh senantiasa dalam jalan kebenaran sebagai murid-
murid Kristus.

Salam dalam kasih Kristus,

Thio Donald Sugiarto S.E., M.M., S.Th., M.Th.


28/12/2020

3
DAFTAR ISI

BAGIAN 1 AGAMA HINDU


Bab 1 Sejarah Hindu
Terbentuknya India dan Hinduisme
Perkembangan Peradaban India Kuno
Pembagian Sejarah Hindu
Bab 2 Agama-Agama Cikal Bakal Hinduisme
Agama Vedisme
Agama Weda Purba
Agama Brahmana
Agama Upanisad
Bab 3 Hindu Pasca Jaman Budha
Purana
Wiracarita
Bab 4 Pengaruh Islam dan Kristen
Pengaruh Islam
Pengaruh Kristen
Bab 5 Ringkasan Ajaran Agama Hindu
Tentang Tuhan
Tentang Penciptaan
Tentang Manusia
Tentang Kelepasan / Keselamatan
Tentang Kitab Suci
Tentang Sorga dan Neraka

Bab 6 Pengaruh Hindu Merambah Dunia


Ajaran Gerakan Zaman Baru
Perbandingan Dengan KeKristenan

BAGIAN 2 AGAMA BUDHA


Bab 1 Pendahuluan
Riwayat Kehidupan Sang Budha
Sejarah Agama Budha
Persoalan Historisitas

Bab 2 Ajaran Budha


Ajaran Tentang Budha

4
Ajaran Tentang Dharma
Ajaran Tentang Nirwana
Ajaran Tentang Sangha

Bab 3 Aliran-aliran Utama Budhisme


Aliran Samkhya & Yoga (Budhisme Awal)
Aliran Hinayana
Aliran Mahayana
Aliran Theravada
Aliran Vajrayana

Bab 4 Lebih Jauh Tentang Ajaran Budhisme


Ajaran Tentang Tuhan
Ajaran Tentang Manusia
Ajaran Tentang Iblis
Ajaran Tentang Hari Kiamat
Bab 5 Ajaran Budha diluar India
Agama Budha di China
Agama Budha di Jepang
Agama Budha di Tibet

BAGIAN 3 AGAMA HINDU DAN BUDHA DI INDONESIA


Bab 1 Latar Belakang
Bab 2 Agama Hindu dan Budha di Jawa Tengah
Bab 3 Agama Hindu dan Budha di Jawa Timur
Jaman Mpu Sendok hingga Erlangga
Jaman Kediri dan Singasari
Jaman Majapahit
Kesimpulan

BAGIAN 4 AGAMA HINDU BALI


Bab 1 Pendahuluan
Bab 2 Agama Tirta
Pandangan Dunia Orang Bali
Kepercayaan Terhadap Dewa-Dewa
Tempat Pemujaan
Pemujaan didalam Pura dan Hari Raya
Para Imam
Kultus Bagi Orang Mati

5
Bab 3 Parisada Hindu Dharma
Ajaran Tentang Sang Hyang Widi Wasa
Ajaran Tentang Penjadian
Ajaran Tentang Kelepasan
Ajaran Tentang Pustaka Suci
Hal-hal Lain

Bab 4 Penyebaran Filosofi dan Praktika Spiritualitas


Hindu Budha di Masyarakat

6
BAGIAN 1
AGAMA HINDU

7
BAB 1
SEJARAH HINDU

Terbentuknya India dan Hinduisme


Dilembah sungai Indus pada sekitar tahun 3102 SM, ketika peradaban masih
disebut sebagai zaman perunggu dan berpusat di Mesir dan Mesopotamia, mulai
terbentuk sederetan desa yang menjadi cikal bakal terbentuknya kota-kota besar dan
pembangunan kekaisaran di India. Orang-orang yang hidup di sepanjang sungai Indus
pada masa itu bukanlah tipikal orang perkotaan ataupun orang-orang yang memiliki
kebudayaan tertentu, sehingga sangat sedikit hal yang dapat diketahui dalam 5 abad
pertama terbentuknya India.
Namun demikian, melalui catatan-catatan sejarah yang terkemudian, ada
beberapa hal yang dapat dipahami tentang India. Pada jaman kuno, oleh penduduknya
India disebut sebagai Jambudwipa (benua pohon jambu) karena bentuk wilayahnya
yang menyerupai buah jambu. Wilayah India dipisahkan dari wilayah-wilayah Asia
lainnya oleh pegunungan-pegunungan yang tinggi dan sulit untuk diakses, seperti di
bagian barat dibatasi oleh pegunungan Hindukush, di bagian utara oleh pegunungan
Himalaya dan di sebelah timur oleh pegunungan yang memisahkan India dari Burma
(kini India dan Burma terpisahkan lagi oleh Nepal dan Bangladesh). Bahkan
rangkaian pegunungan Vindhya yang membujur dari timur ke barat membagi India
secara geografis menjadi dua bagian, yakni India utara dan India selatan. India utara
memiliki dua lembah sungai yang luas dan subur, tempat kekayaan berlimpah dan
berkembangnya kerajaan-kerajaan besar, yaitu lembah sungai Indus atau Sindhu
disebelah barat dan lembah sungai Gangga di bagian tengah dan timur. Kedua lembah
ini dipisahkan oleh padang pasir Thar (Rajasthan) dan dataran tinggi Kuruksetra yang
pada masa kuno dipercaya menjadi tempat terjadinya perang besar dalam dinasti Kuru,
yang walaupun detil-detil peperangannya telah sirna dimakan waktu, tetapi kemudian
dituangkan kembali melalui legenda pertempuran terkenal antara Pandawa dan
Kurawa yang disebut sebagai perang Mahabaratha dan dituliskan sebagai puisi dalam
kitab-kitab Rg Weda. Sedang di wilayah selatan India terdapat pegunungan Vindhya
yang membatasi bagian utara dan lembah pantai di sebelah selatan, timur dan barat. Di
sebelah tengah wilayah selatan ini terdapat dataran tinggi Dekhan yang kering dan
sukar untuk diakses.
Sekalipun demikian, posisi India yang secara geografis cukup berat itu
ternyata masih memiliki celah-celah untuk dimasuki. Melalui celah-celah Khaybar di
sepanjang kaki pegunungan Himalaya, dan bahkan melalui pegunungan itu sendiri,
yang sangat berbahaya untuk didaki (terbukti dengan ditemukannya banyak kerangka
di pegunungan ini), masuklah para gembala dan pengembara dari Asia Tengah, yang
kemudian dikenal sebagai bangsa Drawida. Bagi mereka pegunungan Himalaya
berperan sebagai tameng dari cuaca beku dari daerah asal mereka. Di wilayah sebelah

8
selatan pegunungan Himalaya ini, pada musim dingin suhu udara tidaklah terlalu
dingin, dan pada musim panas suhu udara akan sangat menyengat walaupun tidak
sampai menimbulkan kegersangan karena salju-salju dari puncak pegunungan
Himalaya yang mencair dan mengalir di sepanjang sungai Indus dan Gangga.

Gb.1 India Kuno Gb.2 India Modern

Pada masa itu, mungkin sekitar dua ribu tahun setelah tanaman pangan
ditanam untuk pertama kalinya di Mesopotamia dan Mesir, para pengembara dari
utara Himalaya mulai menetap di daerah berbukit sebelah barat Indus di satu daerah
yang kini dikenal sebagai Provinsi Balukistan yang terletak di negara Pakistan.
Rumah-rumah paling awal di lembah sungai Indus dibangun di dataran sungai, sekitar
satu kilometer dari sungai diatas garis banjir. Namun demikian kenyataan pertama di
lembah Indus – seperti di Mesir dan Sumeria – ialah bahwa air membawa baik
kehidupan maupun kematian.
Ini membawa kita pada epik raja pertama India yakni Manu Vaivaswata.
Sebelum Manu Vaivaswata – demikian bunyi cerita epik tersebut – enam raja
setengah dewa memerintah India. Masing-masing menyandang gelar nama Manu dan
memerintah selama satu Manwantara, yakni suatu masa yang lebih lama dari tiga ratus
juta tahun. Dengan jelas kita berada dalam alam mitologi, tetapi menurut tradisi, mitos
mulai bersilangan dengan sejarah dalam pemerintahan Manu ketujuh, yang dikenal
sebagai Manu Vaivaswata ini.
Alkisah pada suatu hari, ketika Manu Vaivaswata sedang membasuh
tangannya di sungai, datanglah seekor ikan kecil yang menggeliut-geliut kepadanya
sambil memohon perlindungan terhadap ikan yang lebih besar dan perkasa yang akan
memangsanya. Manu merasa iba dan menyelamatkan ikan kecil itu. Setelah ditolong,
ikan itu membalas kebaikan Manu dengan memberi peringatan akan datangnya
bencana air bah yang akan menyapu langit dan bumi. Maka Manu membuat sebuah
kapal kayu dan naik kedalamnya bersama tujuh orang bijak yang disebut Rishi. Ketika
air bah telah surut, Manu melempar sauh di sebuah pegunungan jauh di utara,

9
mendarat dan menjadi raja pertama India masa sejarah; sementara itu ketujuh Rishi
berubah menjadi ketujuh bintang biduk, dan cerita itu dicatat terjadi pada 3102 SM.
Kisah tentang Manu ini dituliskan jauh setelah masa itu (3102 SM) dalam
bahasa Sansekerta bersumber dari tradisi-tradisi lisan. Oleh karenanya jelas bahwa
kisah tentang Manu ini bersifat mitologis, sehingga posisinya dalam sejarah India
tetap sangat tidak jelas.

Pada masa setelah masuknya para gembala dan pengembara wangsa Drawida
ke wilayah Selatan pegunungan Himalaya, maka berkembanglah peradaban dan kota-
kota di sebelah selatan pegunungan Himalaya ini, seperti Harappa dan Mohenjo Daro,
di sepanjang lembah sungai Indus. Namun demikian peradaban ini kemudian
dihancurkan oleh invasi dari utara Himalaya pada sekitar 1575 – 1500 SM, yakni oleh
orang-orang yang mengembara di sebelah timur Elam dan disebelah utara pegunungan
di sudut barat India (kini dikenal sebagai pegunungan Hindu Kush). Mereka dikenal
sebagai orang-orang Arya, keturunan wangsa Indo-Jerman, yang mengembara dari
tanah Eropa, melalui Asia Tengah hingga akhirnya menginvasi India. Kemudian pada
sekitar 1200 SM, orang-orang Arya ini menyebar ke lembah-lembah sungai dan
dataran-dataran rendah, dan melakukan perkawinan silang dengan penduduk setempat.
Dengan demikian terjadilah pencampuran kebudayaan dan peradaban memasuki era
baru di India.
Menurut Romila Thapar, seorang sejarawan India, Hinduisme timbul dari
percaturan antara tradisi-tradisi asli semacam kisah tentang Manu ini, dengan tradisi-
tradisi yang dibawa para imigran yang dikenal sebagai imigran Aryan ini. Jadi dapat
dikatakan bahwa ajaran-ajaran Hinduisme terbentuk melalui rangkaian kisah-kisah
mitologis dari berbagai sumber, dimulai dari para penduduk yang lebih awal
menghuni wilayah India, dan berkembang terus seiring berjalannya waktu. Jadi
Hinduisme adalah merupakan produk dari perkembangan antropologi di India.
Karena agama Hindu terbentuk dari perkembangan kebudayaan, maka agama
ini memiliki ciri yang bermacam-macam, yang terkadang dipentingkan oleh kelompok
penganut yang satu dan tidak oleh kelompok penganut yang lain. Oleh karenanya,
agama Hindu berkembang menjadi agama yang “terbuka” dengan terus mengikuti
perkembangan antropologis dan dengan mudah menyesuaikan diri terhadap pengaruh
budaya-budaya atau nilai-nilai baru dari luar di sepanjang perjalanan sejarah
Hinduisme. Oleh karena itu Govinda Das mengatakan bahwa agama Hindu
sesungguhnya adalah suatu proses antropologis yang hanya karena nasib yang ironis
saja diberi label agama.

Pada saat orang-orang Arya telah mulai hidup menetap dan tidak lagi menjadi
pengembara, kebudayaan mulai berkembang, dan pada saat inilah lahir sekumpulan
hymne India yang paling awal dalam corak puisi yang dinamai Rg Weda. Seperti
kebanyakan puisi kuno, puisi-puisi yang termuat dalam Rg Weda ditulis jauh setelah
puisi-puisi itu diceritakan secara lisan turun temurun. Isi dari Rg Weda ini hampir
seluruhnya dikhususkan untuk menjelaskan kodrat dan tuntutan dewa-dewa yang

10
mereka percayai dalam sepanjang perjalanan waktu. Bentuk kepercayaan mereka yang
cukup rumit karena mengadopsi dari berbagai tradisi dan budaya ini, melahirkan
aturan-aturan yang rumit pula, yang seakan bersumber dari dewa-dewa yang mereka
sembah. Aturan-aturan inilah yang kemudian dituangkan dalam Rg Weda. Karena
adanya aturan-aturan rumit tersebut maka terbentuklah profesi kepanditaan dan
pemimpin perang. Pada masa itu para pandita Arya telah menjadi, bukan hanya
spesialis dalam memahami maksud dewa-dewa mereka, tetapi juga bertumbuh
menjadi sebuah kelas sosial tersendiri yang diwariskan turun temurun, yang menjadi
cikal bakal kasta Brahmana dalam agama Hindu. Orang-orang penghuni tanah India
ini pada akhirnya dipersatukan bukan oleh tatanan politis atau kekuatan militer, tetapi
oleh kesamaan filsafat dan agama dalam sebuah proses antropologis.
Rg Weda yang diperkirakan digubah pada sekitar 1400 SM, menuturkan
banyak hal tentang pemujaan kepada dewa-dewa. Kumpulan naskah ini dibagi
kedalam sepuluh golongan yang disebut mandala. Setiap mandala berisi hymne-
hymne pujian kepada dewa-dewa, dan madah (pujian) yang harus didaraskan
(dilantunkan keras-keras) selama pelaksanaan kurban atau upacara-upacara lainnya.
Dewa-dewa India pada masa ini adalah dewa-dewa alam, seperti yang lazim terjadi
pada masyarakat yang hidup dalam lingkungan alam yang keras. Beberapa dewa yang
cukup populer adalah: Waruna (dewa langit), Ratri (roh malam), Agni (dewa api),
Parjanya (dewa hujan), Mitra (dewa matahari), Indra (dewa peredam kekacauan), dll.
Kitab ke-2 sampai dengan ke-7 dari Rg Weda, juga berisi hymne-hymne yang
memberikan selintas gambaran tentang struktur politik dan kemiliteran pada masa itu.
Misalnya dewa api Agni juga diakui sebagai dewa perang. Sehingga hymne-hymne
tersebut selain membentuk suatu kasta Brahmana, juga klan Ksatriya atau petempur.
Dan pembentukan kasta-kasta itupun berlanjut, sehingga menghasilkan pembagian
dalam empat kasta seperti yang juga ditulis sebagai sebuah puisi bagian dari Rg Weda
yang melukiskan tubuh Purusa sang pencipta dunia, dan akhirnya menggambarkan
asal-usul dari penggolongan kasta, yakni :
Kaum Brahmana adalah mulutnya
Kedua lengannya menjadi kaum Ksatriya
Kedua pahanya adalah kaum Waishya
Dan dari kedua telapak kakinya kaum Sudra dihasilkan
Terbalut bersama dengan elemen-elemen dari berbagai kebudayaan selama
berjalannya waktu, praktek-praktek kaum Arya menjadi inti dari kebanyakan bentuk
yang paling kuno dari praktek-praktek keagamaan ini, yang kemudian dikenal sebagai
Hinduisme.

Perkembangan Peradaban India Kuno


Perkembangan peradaban di India Kuno terbagi sedikitnya menjadi 2, yakni
peradaban Drawida dan Arya yang diuraikan sebagai berikut:

11
Peradaban Drawida (Sindh)
Dari penggalian tanah di beberapa situs arkeologi di Mohenjo Daro dan
Harappa, dapat dipahami bahwa bangsa Drawida yang menjadi penduduk awal di
wilayah India, adalah bangsa yang sudah memiliki peradaban yang tinggi. Temuan-
temuan di situs menunjukkan bahwa:

1. Sebelum kedatangan bangsa Arya memasuki India, bangsa Drawida telah


memiliki kota-kota besar yang dibangun diperkirakan sekitar tahun 3000 SM
2. Mereka juga sudah membuat kapal-kapal besar untuk tujuan berdagang dengan
bangsa-bangsa lain
3. Selain sebagai pelaut, mereka juga mengembangkan sistem pertanian dan
hidup daripadanya
4. Masyarakat mereka adalah masyarakat Matriakhal (menganut garis keturunan
ibu/wanita) dan belum mengenal kasta-kasta
5. Mereka memuja dewi tertinggi yang disebut sebagai ibu alam selain memuja
binatang-binatang seperti ular, lembu, dsb.

Peradaban Arya

Sejatinya bangsa Arya adalah bangsa peternak yang kehidupannya cenderung


mengembara dari satu padang rumput ke padang rumput yang lain, sehingga
dibandingkan dengan peradaban Sindh, peradaban Arya dapat dikatakan belum terlalu
maju. Kondisi yang demikian membuat mereka menjadi bangsa yang pandai
berperang, dengan merebut kekuasaan dari satu tempat ke tempat yang lain.
Pada akhirnya setelah bangsa ini memasuki India dan menetap disana,
kehidupan yang bercampur dengan peradaban Drawida membuat mereka
menyesuaikan diri, dan lambat laun mereka belajar bercocok tanam dan akhirnya
menjadi petani pula.

Pembagian Sejarah Hindu


Oleh orang pribumi sendiri agama Hindu disebut sebagai Sanatana Dharma
yang artinya adalah agama yang kekal. Dengan ungkapan ini Hinduisme ingin
menyatakan bahwa agama tidaklah terikat oleh jaman, sehingga selalu berkembang
dari waktu ke waktu bersamaan dengan kehidupan, sebab agama adalah makanan
rohani manusia. Agama Hindu juga disebut dengan sebutan Waidika Dharma, yang
berarti agama Weda, dan dengan ini mensahkan kitab Weda sebagai kitab suci agama
Hindu. Dengan berpangkal pada Weda-weda yang berisi adat istiadat dan gagasan
(filosofi) beberapa suku bangsa yang diserap dari waktu ke waktu, maka agama Hindu
ini telah mengalami perkembangan sepanjang abad hingga masa kini bagaikan suatu
bola salju yang makin lama menggelinding akan semakin besar, karena menyerap

12
banyak adat istiadat dan filosofi bangsa-bangsa yang berinteraksi dengannya. Tak
banyak yang ditolak, sehingga agama Hindu disebut meliputi segala sesuatu dan
menyesuaikan diri dengan segala sesuatu. Govinda Das menjelaskan bahwa agama
Hindu meliputi suatu sejarah yang berabad-abad hingga sekarang.
Sejarah yang panjang itu dapat dikelompokkan dalam 3 kategori besar, yakni:
1. Jaman Weda yakni jaman masuknya bangsa Arya di Punjab, masa setelah Rg
Weda dituliskan, hingga jaman ketika agama Budha muncul, yakni pada
sekitar 500 SM. Jaman Weda ini dapat dibagi lagi menjadi 3 jaman menurut
pertumbuhan kitab-kitab yang mendasari hidup keagamaan pada masa itu:
a. Jaman Weda Purba (Rg Weda) atau juga dikenal sebagai jaman Weda
Samhita, yang berlangsung antara tahun 1500 SM hingga kira-kira
tahun 1000 SM. Pada masa ini bangsa Arya masih berada di Punjab,
yaitu daerah Sungai Indus atau Sindhu. Pada masa ini belum banyak
terjadi penyesuaian dengan peradaban India purba (Drawida).
b. Jaman Brahmana yaitu yang berlangsung sekitar tahun 1000 SM
hingga sekitar 750 SM. Pada masa ini para iman kaum Brahmana
memiliki kekuasaan mutlak dalam tatanan kehidupan masyarakat. Pada
jaman ini pula telah terjadi percampuran budaya India purba dengan
peradaban Arya, sehingga dihasilkan kitab-kitab yang berlainan
sifatnya dengan kitab-kitab Weda Samhita.
c. Jaman Upanisad yaitu masa diseputar tahun 750 SM hingga 500 SM.
Pada masa ini pemikiran filosofis telah mulai berkembang. Pusat
peradaban berpindah dari Punjab menuju daerah Lembah Gangga.
2. Jaman agama Budha, yakni disekitar tahun 500 SM hingga kira-kira tahun
300 M, dimana pada masa ini agama Budha muncul yang berlainan sifatnya
dengan agama Hindu Weda.
3. Jaman agama Hindu Modern seperti yang ada pada masa kini. Jaman ini
dimulai sejak sekitar tahun 300 M hingga sekarang. Agama ini bangkit
kembali setelah sekian lamanya terdesak oleh popularitas agama Budha.
Selanjutnya dalam bab-bab berikut akan dibahas secara lebih detail jaman demi
jaman seperti yang baru saja diklasifikasikan.

13
BAB 2
AGAMA-AGAMA CIKAL BAKAL HINDUISME

Bagi orang Hindu, Hinduisme adalah sebuah jalan hidup yang abadi. Karena
itu Hinduisme oleh penganutnya sering disebut sebagai Sanatana Dharma, atau
Darma/ Jalan yang abadi. Hal ini disebabkan karena Hinduisme menjadi semacam
peleburan/ sintesis dari berbagai tradisi dan kebudayaan, tanpa tokoh pendiri tertentu
sebagaimana halnya agama-agama lainnya. Ajaran Hindu sendiri akan berkembang
dari waktu ke waktu dengan menyerap ajaran/ budaya setempat dimana agama ini
dibawa, serta juga memberi warna nilai-nilai filosofis kepada agama-agama lain
kepada siapa ia berinteraksi. Sehingga agama Hindu tidak mengenal kekafiran karena
menyerap apa yang dapat diserapnya, dan mempengaruhi apa yang dapat
dipengaruhinya. Oleh karena itulah agama Hindu sendiri dipandang sebagai agama
yang paling kompleks dan selalu berubah.
Karena sifatnya yang mudah beradaptasi, berasimilasi dan berakulturasi itulah,
maka Hinduisme menjadi sebuah agama yang paling tua keberadaannya di dunia
karena tidak terlalu banyak mengalami penolakan dan tekanan di tempat mana ia hadir.
Sejatinya agama ini telah mulai eksis (walau belum dinamakan secara konkrit sebagai
Hinduisme) semenjak 4000 tahun yang lalu, melalui beberapa agama kuno yang
menjadi cikal bakal Hinduisme. Berikut adalah beberapa diantaranya:

Agama Vedisme
Vedisme adalah agama kuno bangsa Indo Arya yang berkembang dari tahun
1500 – 500 SM. Agama ini juga dianggap sebagai asal-usul agama Hindu karena
keduanya menggunakan ayat-ayat suci dan kitab Empat Weda yang sama. Pujian-
pujian lisan Vedisme sangat penting bagi para pengikutnya. Pendeta mereka
memainkan peran besar dalam berbagai upacara. Upacara-upacara ini diyakini dapat
meningkatkan kehidupan para pengikutnya dengan cara berusaha untuk
menyenangkan para dewa-dewi mereka.

Agama Weda Purba


Pada zaman yang hampir bersamaan ini (1700 – 1100 SM) kehidupan
keagamaan orang-orang India didasarkan atas kitab-kitab yang disebut Weda Samhita,
yang berarti kumpulan Weda (Rg Weda). Kata Weda sendiri bermakna “pengetahuan”,
yang berasal dari kata dasar Wid yang artinya “tahu”. Menurut tradisi Hindu, kitab-
kitab ini disebut sebagai nafas ilahi karena diwahyukan oleh dewa Brahma pada para
resi (pandita) dalam bentuk puji-pujian (Rg Weda) yang kemudian dikembangkan
menjadi mantra-mantra. Sebagai wahyu dewa yang tertinggi, maka weda-weda itu

14
disebut Sruti, yang secara harafiah memiliki arti “apa yang didengar”, yaitu yang
didengar dari dewa tertinggi. Weda-weda ini dianggap kekal sifatnya. Weda dalam
bentuk puji-pujian ini digunakan untuk mengundang para dewa agar berkenan hadir
pada upacara-upacara yang diadakan bagi mereka. Para imam atau pandita yang
mengadakan puji-pujian ini disebut dengan istilah Hotr.
Selanjutnya berdasarkan dari Weda yang sama yakni Rg Weda, digubahlah
puji-pujian yang dilagukan dan disebut sebagai Sama Weda. Imam yang menyanyikan
Sama Weda disebut Udgair. Sama Weda ini biasa dinyanyikan pada waktu upacara
mempersembahkan kurban.

Selain Sama Weda, pada saat persembahan kurban juga dirapalkan apa yang
disebut sebagai Yajur Weda, yang dirapalkan oleh pandita yang disebut sebagai
Adwarya. Yajur Weda ini dirapalkan bukan dengan tujuan untuk memuja dewa,
melainkan untuk mengubah kurban-kurban menjadi makanan bagi para dewa. Dengan
rapal-rapalan ini mereka juga bermaksud untuk mempengaruhi para dewa untuk
mengabulkan keinginan mereka yang berkurban.

Lalu ada juga yang disebut sebagai Atharwa Weda yang berisi mantra-mantra
sakti. Mantra-mantra ini dihubungkan dengan kehidupan keagamaan yang rendah
seperti sihir dan tenung. Isi sihir-sihir itu dimaksudkan untuk menyembuhkan orang
sakit, mengusir roh jahat, guna-guna untuk mencelakakan musuh dan lain sebagainya.
Pada awalnya kitab-kitab Weda ini belum diakui sebagai kitab suci, namun
lama kelamaan diterima sebagai kitab suci karena kepercayaan rakyat India terhadap
kitab-kitab ini sangatlah kuat.

Isi Kepercayaan Dalam Weda Purba

Menurut kitab-kitab Weda Samhita, ada dua golongan zat hidup yang
kedudukannya lebih tinggi daripada manusia, yaitu dewa-dewa yang pemurah kepada
manusia dan berkenan menerima pemujaan manusia, dan para roh jahat yang bersikap
memusuhi manusia, yang karenanya harus dilawan dengan dukungan para dewa-dewa
yang pemurah melalui upacara-upacara keagamaan.

Para Dewata
Kitab Rg Weda menyebutkan adanya 33 dewata yang dapat diklasifikasikan
atas dewa-dewa langit, dewa-dewa angkasa dan dewa-dewa bumi.
Yang tergolong dewa-dewa langit adalah Dewa Waruna, yang dipandang
sebagai pengawas tata dunia atau rta. Karena karya Waruna inilah maka langit dan
bumi dipisahkan, perjalanan matahari, bulan dan bintang teratur, sungai-sungai
mengalir, musim-musim datang silih berganti pada waktunya dan sebagainya. Selain
itu rta dianggap pula sebagai tata tertib kesusilaan. Sebagai pengawas rta, Waruna
memberikan hadiah atau pahala kepada yang baik dan menghukum yang jahat. Orang
yang baik adalah orang yang mengikuti hukum rta. Dewa langit yang lain adalah

15
Surya yang digambarkan sedang menaiki kereta yang ditarik oleh tujuh ekor kuda.
Dewa ini dapat memperpanjang hidup, mengusir penyakit dan sebagainya. Dewa
Wisnu juga termasuk dewa langit, tetapi pada masa itu belum memegang peranan
penting.
Yang termasuk dewa-dewa angkasa, antara lain adalah dewa Indra, yaitu sang
dewa perang. Pada masa ini Indra mendapat kehormatan yang amat besar karena
dianggap sering membantu dalam peperangan. Ia digambarkan bersenjatakan panah
(wajra). Ia dibantu oleh dewa Marut atau dewa angin ribut. Dewa angkasa lainnya
adalah dewa Wagu yaitu dewa angin yang tidak dianggap terlalu penting pada masa
itu.
Sedang yang termasuk dewa-dewa bumi adalah dewi Prthiwi, yaitu sang dewi
bumi yang sering disembah sebagai ibu. Selanjutnya adalah dewa Agni yaitu dewa api.
Ia disembah karena api dianggap sebagai unsur terpenting dalam upacara-upacara
keagamaan.

Para Roh Jahat


Ada dua golongan roh jahat yakni roh jahat yang tinggi martabatnya dan
menjadi musuh para dewa, seperti Wrta yang menjadi musuh Indra, yaitu roh yang
menguasai musim kemarau. Golongan lain adalah roh yang rendah martabatnya,
diantaranya adalah Raksa yang sering menampakkan diri sebagai binatang atau
sebagai manusia. Selain itu ada juga Pisaca yang memakan daging mentah atau
jenazah.

Praktek Keagamaan
Yang menjadi pusat aktifitas keagamaan orang Hindu pada jaman ini adalah
persembahan kurban. Kurban-kurban itu dipersembahkan dengan maksud untuk
mendapatkan kemurahan dewa-dewa, menghindarkan diri dari permusuhan dengan
roh-roh jahat dan untuk memuja para leluhur. Pada hakikatnya persembahan kurban
itu bersifat permohonan agar mendapat kebaikan di masa depan, bukannya sebuah
ucapan syukur bagi berkat-berkat yang sudah diterima.
Ada dua macam kurban, yaitu kurban tetap, yang dilakukan tiap pagi dan sore,
tiap bulan baru dan purnama, tiap awal musim semi, musim hujan dan musim dingin.
Ada pula kurban yang berkala yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Kecuali
kurban, masih ada upacara-upacara lain yang harus dilakukan, misalnya pada saat istri
mengandung atau melahirkan anak, ketika usia anak mencapai empat bulan, dan lain
sebagainya. Demikianlah pada masa itu seluruh aspek kehidupan diliputi dengan
upacara-upacara keagamaan.

16
Agama Brahmana
Perubahan dari jaman Weda Samhita menuju jaman Brahmana tidak dapat
ditunjukkan dengan suatu batasan yang jelas, melainkan terjadi secara perlahan.
Agama Brahmana ini bersumber pada kitab Brahmana yaitu bagian kitab Weda yang
kedua. Kitab ini dituliskan oleh kaum imam atau Brahmana dalam bentuk prosa.
Isinya memberi keterangan tentang kurban. Hal ini disebabkan karena pada masa itu
pusat aktifitas kerohanian berpusat pada kurban, dan ini membuat supremasi bagi
kaum Brahmana yang memang membaktikan hidupnya bagi hal-hal keagamaan. Pada
masa ini terjadi beberapa perubahan nuansa keagamaan sebagai berikut:

 Kurban menjadi hal yang pokok dalam kehidupan


 Para imam (kaum Brahmana) yang menguasai seluk beluk kurban menjadi
orang-orang yang paling berkuasa. Muncullah penggolongan pertama dalam
kehidupan bermasyarakat, yakni kaum Brahmana, sehingga pada masa inilah
mulai terbentuk sistem kasta yang pada masa sebelumnya tidak dijumpai.
 Dewa-dewa berubah perangainya
 Lahirnya kitab-kitab Sutra
Hal Kurban

Pada masa Weda purba, kurban masih menjadi alat untuk membujuk atau
mempengaruhi para dewa agar mereka berkenan menolong manusia. Namun pada
jaman itu juga sudah tampak gejala-gejala magi, maksudnya adalah bahwa kurban itu
dipandang dapat menjadi alat untuk memaksa para dewa menuruti keinginan manusia,
sehingga kurban sudah dianggap memiliki daya magis yang lebih berkuasa daripada
dewa-dewa itu sendiri. Pandangan yang demikian ini pada jaman Brahmana
berkembang hingga mencapai puncaknya. Didalam agama Hindu Brahmana ini
kurban menjadi alat untuk memperoleh kekuasaan atas dunia dan akhirat, atas yang
nampak dan yang tak nampak, atas yang bernyawa dan yang tak bernyawa.

Imam
Berhasil atau gagalnya sebuah upacara bergantung pada rupa kurban. Dan baik
atau buruknya rupa kurban bergantung pada kecakapan/keahlian imam yang
mempersiapkan dengan mantra-mantranya. Oleh karena itu posisi seorang imam
sangatlah krusial (penting) sekali, bahkan dikatakan bahwa tanpa imam manusia tak
dapat hidup.

Kasta
Pada masa agama Hindu Brahmana ini muncullah kasta-kasta. Asal mula
munculnya kasta-kasta ini tidak begitu jelas, namun menurut Rg Weda dianggap
muncul dari perwujudan tubuh pr sang pencipta dunia. Pembagian kasta-kasta itu
adalah sebagai berikut:

17
 Brahmana, adalah kasta kaum pandita yaitu orang-orang yang mengabdikan
dirinya dalam urusan bidang spiritual. Orang-orang dari kasta ini memiliki
kekuasaan yang tertinggi dalam tata masyarakat India.

 Ksatriya, yaitu kasta pemegang kekuasaan politis. Seseorang yang menyandang


gelar ini tidak memiliki harta pribadi karena semua harta adalah milik negara.

 Waishya, yaitu kasta yang mencakup orang-orang yang telah memiliki pekerjaan
dan harta benda sendiri, seperti petani, nelayan, pedagang, dan lain-lain.

 Sudra, yaitu kasta kaum pelayan, yaitu orang-orang yang melayani ketiga kasta
diatasnya. Golongan ini adalah golongan yang tidak memiliki hak suara apapun
dalam tata masyarakat. Kaum Sudra tidak dapat membebaskan diri mereka dari
perbudakan, bahkan secara ekstrim kaum Sudra dapat dibuang ataupun dibunuh
sesuka hati tanpa mendatangkan konsekuensi apapun bagi pelakunya. Mereka
juga tidak diperkenankan hanya untuk mendengarkan pembacaan weda suci
sekalipun.
Asrama
Dengan adanya kasta timbul pula yang disebut sebagai warnasramadharma,
yaitu suatu konsep sosial yang memberikan peraturan-peraturan bagi tindakan-
tindakan yang sesuai dengan tingkatan hidup orang menurut kastanya. Menurut
warnasramadharma ini, hidup manusia dibagi menjadi 4 asrama atau tingkatan hidup,
yaitu:

1. Brahmacarya (tahap menjadi murid)


Pada waktu seorang anak berusia 12 tahun ia harus belajar pada seorang guru.
Jika ia sudah diterima dengan suatu upacara, maka ia disebut dwija, yaitu
orang yang sudah lahir kedua kali. Ia harus menempuh ilmu 12 tahun lamanya.
Selama menjadi murid ia harus mempelajari kitab Weda Samhita, melayani api
suci, menolong gurunya menggembalakan ternak atau mengemis. Jika telah
selesai, masuklah ia ke asrama selanjutnya.
2. Grhastha (tahap menjadi kepala keluarga)
Dalam tahap ini ia harus berkeluarga dan memiliki anak sebanyak mungkin,
terlebih anak-anak lelaki. Hal ini disebabkan karena anak lelaki mempunyai
tugas keagamaan. Selanjutnya orang itu harus memenuhi tugasnya sebagai
kepala keluarga dengan berkurban, mempelajari Weda lebih lanjut dan
bersedekah.
3. Wanaprastha (tahap menjadi pertapa)
Pada asrama ini seseeorang harus meninggalkan anak cucunya dan pergi ke
hutan untuk mempelajari kitab-kitab Aranyaka serta merenungkan kurban-
kurban rohani.
4. Sannyasa (tahap penyangkalan diri)
Ia harus meninggalkan segala sesuatu, hidup mengembara tanpa rumah dan
menjalani hidup sebagai pengemis yang tak memiliki apa-apa. Didalam tahap

18
ini ia harus mempelajari kitab-kitab Upanisad. Dalam prakteknya seringkali
tahap ke-3 dan ke-4 ini digabungkan.

Dewa-dewa
Kurban dipandang sebagai alat yang dapat menjadikan manusia sebagai “tuhan”
dunia, maka dengan sendirinya dewa-dewa tak lagi memegang peranan yang sebegitu
pentingnya karena dapat dikendalikan oleh kurban-kurban yang dapat “memaksa”
mereka mengabulkan permintaan-permintaan mereka yang berkurban. Pada masa ini
ada beberapa dewa yang sudah ditinggalkan dan dilupakan. Demikian pula beberapa
dewa yang “diturunkan” kedudukannya. Misalnya: Dewa Waruna yang semula
sebagai pengawas rta (tata dunia dan alam semesta) menjadi dewa laut, demikian pula
dewa Indra dan Sawitri disamakan dengan dewa Surya, dan sebagainya. Walau
demikian manusia tetap tidak dapat menyangkali adanya kekuasaan yang adi kodrati,
yang lebih tinggi daripada kuasa manusia, sehingga ada juga beberapa dewa yang
justru mendapat kenaikan pangkat seperti dewa Wisnu dan Prajapati, yang kemudian
menjadi sangat ditinggikan. Demikian pula muncul dewa-dewa abstrak yang jauh dari
manusia dan hanya menjadi pemikiran spekulatif saja bagi kaum Hindu Brahmana ini,
semacam “Allah yang tak dikenal” yang mezbahnya dijumpai Paulus di kota Atena.

Sutra
Pada masa ini juga mulai muncul kitab-kitab Sutra, yaitu kitab pedoman yang
berisi petunjuk tentang banyak hal dan yang ditulis dalam kalimat-kalimat pendek.
Kitab-kitab ini tidak tergolong dalam kitab Weda, tetapi termasuk pada kategori kitab-
kitab Wedangga atau anggota Weda. Isinya membicarakan ilmu bahasa yang
berkaitan dengan upacara-upacara kurban, agar mantra-mantra dapat diucapkan secara
tepat. Demikianlah pada jaman ini unsur-unsur magis semakin menguasai kehidupan
spiritualitas kaum Hindu Brahmana.

Agama Upanisad
Hidup keagamaan pada jaman Upanisad ini (1200 - 600 SM) bersumber dari
kitab-kitab Aranyaka dan Upanisad. Kitab-kitab Aranyaka adalah kitab-kitab yang
disusun oleh para pertapa yang berada didalam hutan (Aranya). Isinya pada umumnya
tidak berbeda dengan kitab-kitab Upanisad, sehingga tidak akan dibahas secara
tersendiri.
Kata Upanisad berarti “duduk dibawah kaki guru” yaitu untuk mendengarkan
ajaran sang guru. Ajaran-ajaran ini berupa ajaran yang umum sifatnya, demikian pula
dapat berupa ajaran-ajaran rahasia dan bersifat mistis. Kitab-kitab Upanisad ini juga
dikenal dengan nama Wedanta atau akhir Weda, yang jumlahnya lebih dari 100 kitab.
Ajaran Upanisad dapat disebut Monisme yang Idealistis, artinya segala sesuatu
dapat dikembalikan pada satu asas. Adapun asas yang satu itu adalah Brahman dan
Atman. Brahman adalah asas alam semesta sementara Atman adalah asas manusia.
Hanya Brahman dan Atman ini sajalah yang nyata, sedang dunia bendani yang
nampak ini hanya semu/maya saja sifatnya.

19
Penulisan Upanisad ini menginspirasi munculnya konsep agama Hindu, Budha
dan Jainisme, sehingga boleh dibilang bahwa Upanisad adalah cikal bakal ketiga
agama yang sangat dikenal itu.

Brahman
Pengertian Brahman sudah dikenal sejak jaman Weda Samhita. Mula-mula
Brahman adalah ilmu atau ucapan yang suci dalam bentuk nyanyian atau mantra
sebagai pernyataan yang konkrit dari hikmat rohani. Brahman kemudian dapat
diartikan sebagai doa atau daya yang berada dalam sebuah doa. Doa itu sendiri
dipandang memiliki kesaktian. Brahman dipandang bertindih tepat dengan upacara
kurban, sehingga upacara itu menjadi berkuasa. Jadi barangsiapa yang mengenal
Brahman, yang berarti mengenal upacara-upacara kurban, ia akan mengenal dan
menguasai alam semesta.
Dengan demikian Brahman didalam agama Brahmana dapat diartikan sebagai
asas yang pertama atau roh yang memimpin alam semesta. Sedangkan didalam
Upanisad, Brahman dianggap sebagai sebab adanya dunia, dan landasan bendani
dunia, seperti diibaratkan sebuah cincin emas ada karena adanya emas. Jadi dunia ini
ada karena/didasari dengan ucapan suci.
Bahwa Brahman yang tidak nampak itu berada didalam segala sesuatu
digambarkan sebagai garam yang dilarutkan didalam air. Hal ini bersesuaian dengan
ajaran panteisme, yaitu bahwa “tuhan” ada didalam segala sesuatu. Hanya Brahman-
lah yang nyata dan merdeka. Brahman disebut yang menjadikan dunia, tetapi
penjadian disini bukanlah dalam konteks mengerjakan, tetapi segala sesuatu mengalir
keluar dari Brahman, sebagai rumput yang tumbuh ditanah, sebagai rambut yang
tumbuh di kepala manusia, dan lain sebagainya. Demikianlah alam semesta ini timbul
dari apa yang tidak dapat binasa.

Atman
Didalam Weda Samhita, Atman diartikan sebagai nafas, jiwa dan pribadi.
Didalam kitab-kitab Brahmana sudah dijelaskan bahwa Atman adalah pusat segala
fungsi jasmani dan rohani manusia. Namun didalam Upanisad disebutkan bahwa
penglihatan, pendengaran, dan seluruh fungsi hidup manusia satu persatu
meninggalkan tubuh untuk mengetahui fungsi hidup manakah yang terpenting.
Akhirnya diketahui bahwa yang terpenting adalah nafas (atman), dan dengan ini
dijelaskan bahwa nafaslah yang merupakan hakekat manusia yang sebenarnya. Atman
adalah subyek yang tetap ada ditengah-tengah segala yang berubah.

Brahman adalah Atman


Kesimpulan yang diambil dari ajaran tersebut diatas adalah bahwa Brahman
sebagai asas kosmis adalah sama dengan Atman sebagai asas hidup manusia. Didalam
Atman itulah Brahman menjadi nyata (imanen). Yang tak terbatas menjadi terbatas.
“Tat twan asi” yang artinya adalah Brahman adalah kamu. Atau “Aham Brahma asmi”
yang artinya adalah aku adalah Brahman.

20
Karma
Kata karma sebenarnya berarti perbuatan. Orang akan mengalami yang baik
karena perbuatan baiknya, dan mengalami yang jahat karena perbuatan jahatnya.
Segala sesuatu ditaklukkan oleh karma, baik dewa, manusia maupun binatang dan
tumbuh-tumbuhan. Hidup kita sekarang dipengaruhi oleh perbuatan kita pada jaman
kehidupan yang mendahului, dan akan mempengaruhi hidup yang akan datang.

Samsara
Ajaran tentang karma mengakibatkan adanya ajaran tetang samsara, yaitu
ajaran tentang perputaran kelahiran. Nasib manusia adalah dilahirkan, hidup, mati,
dilahirkan lagi, hidup, mati, dan terus berputar tiada putusnya. Hukum ini berlaku bagi
manusia, segala makhluk, bahkan dewa-dewa.

Kelepasan
Manusia dikuasai oleh samsara karena manusia masih memiliki keinginan-
keinginan. Siapa yang ingin mendapat kelepasan, ia harus dapat melepaskan diri dari
keinginannya. Jadi kelepasan dapat dicapai dengan cara melepaskan diri dari
kekuasaan karma, melepaskan diri dari segala keinginan yang menghasilkan perbuatan.
Demikianlah dalam upanisad manusia sampai pada panteisme, yaitu “tuhan” ada
dalam segala sesuatu, dan manusia pada hakikatnya adalah “tuhan”.

21
BAB 3
HINDU PASCA JAMAN BUDHA

Agama Budha yang lahir pada abad ke-5 SM berkembang dengan pesatnya.
Pada abad ke-3 SM, dibawah pemerintahan raja Asoka, agama Budha menjadi agama
negara India yang menjangkau hingga jauh ke seluruh penjuru dunia. Agama Hindu
purba terdesak. Sekalipun demikian, ternyata agama Hindu tidak terhenti
perkembangannya, tetapi terus menyesuaikan diri pada segala sesuatu yang muncul
dihadapannya.
Bentuk terakhir agama Hindu ini mewujudkan suatu campuran yang terdiri
dari berbagai unsur keagamaan, dan terutama dipengaruhi secara kuat dari bentuk-
bentuk keyakinan Drawida. Kitab sucinya tidak lagi hanya bersumber dari kelompok
Sruti (apa yang terdengar) seperti 4 Kitab Weda (Rgweda, Samaweda, Yajurweda,
Atharwaweda) dan Upanisad, melainkan juga mulai menggunakan kitab-kitab yang
tergolong pada Smerti (apa yang diingat), seperti kitab-kitab Purana, Wiracarita dan
Agama serta beberapa kepustakaan lainnya.

Purana
Kitab-kitab Purana berisi dongeng-dongeng dan petunjuk-petunjuk keagamaan.
Maksud kitab Purana ini adalah menyiarkan pengetahuan keagamaan dan
membangkitkan kembali pemujaan di kalangan rakyat dengan menyuguhkan kembali
mitos, dongeng, cerita dan catatan sejarah. Purana dibukukan pada sekitar abad 4 M,
tetapi isi dasarnya telah berkembang sejak abad 3 SM, sebagai bentuk resistensi
terselubung terhadap perkembangan agama Budha yang pada masa itu telah menjadi
agama nasional India. Pada umumnya kitab-kitab purana membicarakan 5 hal, yakni:

1. Penciptaan alam semesta (sarga)


2. Peleburan alam semesta dan penciptaannya kembali (pratisarga)
3. Jaman pemerintahan Manu (manwantara)
4. Silsilah kuno (wamsa)
5. Sejarah keturunan raja-raja kuno (wamsanucharita)
Ajaran sarga, pratisarga dan manwantara dapat diringkas menjadi satu.
Terjadinya dunia diuraikan menurut ajaran samkhya yang ditambah dengan unsur-
unsur keagamaan yang lebih primitif. Dalam penggabungan purusa dan prakrti
terwujudlah sebuah telur yang disebut sebagai telur Brahma (Brahmanda). Didalam
telur ini, Brahma karena kegairahannya menjadi aktif dan melahirkan dunia.
Selanjutnya dalam permenungan dilahirkanlah binatang, manusia, para dewata, dan
lain sebagainya. Dan sesudah satu hari Brahma, maka dileburlah dunia untuk
kemudian diciptakan kembali, dan demikian terulang terus menerus. Sementara satu

22
hari Brahma itu sendiri ternyata merupakan periode waktu yang sangat panjang yang
dikenal sebagai manwantara, yang dapat dibagi menjadi empat masa, yaitu:
1. Krtayuga, yaitu abad yang keadaannya 100% baik. Kejujuran, kebaikan
hati, kebaktian dan kedermawanan dilakukan oleh semua orang. Jual beli
tidak dilakukan. Dan setiap kebutuhan didapat hanya dengan diharapkan
saja. Tak ada sakit penyakit dan kemunduran kesehatan karena usia.
Singkatnya segala yang baik terjadi pada masa ini, dan pada waktu itu baru
ada satu Weda.
2. Thretayuga, yaitu abad yang hanya memiliki 75% kebaikan. Orang
menjadi jahat dan gemar bertikai. Sekalipun demikian para Brahmana yang
mengamalkan Weda masih jauh lebih banyak. Telah banyak orang yang
mengeluh, tetapi mereka masih menunaikan tugas melakukan upacara-
upacara keagamaan dengan baik.
3. Dwaparayuga, yaitu masa yang hanya memiliki 50% kebaikan.
Kebohongan, kejahatan, ketidakpuasan dan pertikaian semakin menjadi-
jadi. Hal-hal baik menurun hingga setengahnya, dan kitab Weda terbagi
menjadi empat bagian. Beberapa Brahmana masih mempelajari
kesemuanya, namun banyak juga yang hanya mempelajari beberapa
diantaranya saja, bahkan ada yang tidak sama sekali.
4. Kaliyuga, yaitu masa yang hanya memiliki 25% kebaikan. Masa ini adalah
masa kemerosotan. Hanya seperempat kebajikan yang tersisa, dan pada
akhirnya juga akan habis. Keadaan dunia menjadi demikian buruk,
sehingga sisa-sisa manusia yang bijaksana menanti-nantikan Kalki, yang
akan membaharui dunia.

Tentang dewa-dewa, kitab Purana mengajarkan tiga dewa utama, yakni:


1. Dewa Brahma, yang digambarkan memiliki 4 kepala. Agaknya rakyat
India tidak terlalu tertarik dengan dewa ini karena diseluruh India hanya
dijumpai satu kuil saja baginya. Brahma dipandang sebagai pencipta dunia.
2. Dewa Wisnu, digambarkan memiliki 4 tangan berwarna hitam. Di keempat
tangannya ia memegang kulit kerang, cakra, gada dan bunga teratai. Ia
berkendara burung garuda. Sebagai pemelihara dunia Wisnu dipandang
sering meninggalkan surganya untuk menitis guna membinasakan
kejahatan dan meneguhkan kebajikan. Beberapa perwujudan titisan Wisnu
ada pada diri Rama yang membinasakan Rahwana, dan Kresna untuk
membinasakan Kurawa. Kelak dewa Wisnu dipercaya akan menitis sebagai
Kalki, yaitu seorang ksatria yang menunggangi kuda putih dengan
membawa pedang menyala, guna mengadili yang jahat dan menghadiahi
yang baik. Penitisan ini baru akan terjadi pada akhir masa kegelapan yang
dikenal sebagai masa kaliyuga.
3. Dewa Siwa, yang digambarkan sebagai pelebur dunia, yang mana memiliki
dua sifat yang saling bertentangan. Ia digambarkan sebagai dewa yang
mengerikan, yang berada pada tempat-tempat kematian dan mengenakan

23
kalung tengkorak dan dikelilingi oleh roh-roh jahat, raksasa, dan lain-lain.
Tetapi disisi lain, Siwa digambarkan sebagai pertapa yang baik yang
menjadi teladan dalam pertapaan. Siwa juga disembah sebagai “tuhan” tari-
tarian (nataraja), sebagai Guru, dan sebagai lingga (kelamin laki-laki).
Ketiga dewa tersebut kemudian disebut sebagai Trimurti. Tetapi sebutan ini
baru menjadi umum dikenal pada sekitar abad 5 M.

Wiracarita
Yang termasuk kepustakaan wiracarita adalah dua syair kepahlawanan, yakni
Ramayana dan Mahabharata. Kedua pustaka ini berisi cerita dalam bentuk syair
tentang perbuatan-perbuatan mulia yang dilakukan oleh pahlawan-pahlawan
kebangsaan yang besar.

Ramayana
Ramayana ditulis oleh Walmiki. Tetapi agaknya sebelum mendapat bentuknya
yang terakhir pada akhir abad 2 M, kisah ini telah ditulis ulang dengan modifikasi
oleh lebih banyak orang pada masa-masa sebelumnya.
Isinya menceritakan tentang Rama, seorang putra raja di Ayodya, yang demi
kepentingan adiknya bersedia dibuang selama 14 tahun. Dalam pengembaraannya,
istrinya diculik oleh Rahwana, raja di Langka. Dengan perantaraan bala tentara kera
sakti, akhirnya Sinta (istri Rama) dapat direbut kembali. Ternyata Rama adalah titisan
Wisnu untuk membinasakan kejahatan.

Mahabharata
Bagian pertama kisah ini disusun oleh Wyasa. Waktu penulisannya tidak
diketahui pasti, namun ketika agama Budha muncul, kitab ini sudah dikenal.

Ceritanya mengisahkan perang besar antara Pandawa dan Kurawa, keturunan


Pandu dan Dhrtarasta dalam memperebutkan negara Hastina. Karena pertolongan
Kresna, pihak Pandawa yang akhirnya memenangkan peperangan dan menjadi
pewaris Hastina.
Bhagawadgita
Bhagawadgita berarti nyanyian tuhan, yang menjadi bagian dari kitab
Mahabharata. Isi pokoknya menguraikan pembicaraan antara Kresna dan Arjuna pada
awal masa perang Bharatayudha. Ketika perang akan dimulai, Arjuna sempat ragu,
dan ketika Kresna menjadi sais kereta kudanya, Arjuna diingatkan kembali akan
tugasnya sebagai Ksatriya dengan menguraikan ajarannya. Diantaranya ajarannya
adalah bagaimana manusia dapat kembali pada asalnya (tuhannya) melalui jalan
kelepasan. Ada 3 jalan kelepasan yang diuraikan dalam kitab ini, yakni:

24
1. Jnana Marga, ialah jalan kelepasan melalui pengetahuan akan kebenaranyang
tertinggi.
2. Bakti Marga, ialah jalan kelepasan melalui kasih dan pemujaan kepada purusa
tertinggi.
3. Karma Marga, ialah jalan kelepasan dengan penaklukan kehendak sendiri
kepada tujuan tuhan.

Ketiga jalan ini menuju pada satu tujuan yaitu kelepasan. Kelepasan dalam hal ini
terdiri dari persekutuan jiwa dengan jiwa yang tertinggi, yaitu menyaksikan,
mengalami dan menghayati hidup ilahi.

Kitab Agama
Kitab-kitab agama adalah kitab-kitab yang menguraikan tentang dewa-dewa
dan bagaimana cara memuja mereka. Kitab-kitab agama juga disebut kitab-kitab
Tantra. Tantra memiliki arti pengetahuan yang disebarkan, dan isinya menguraikan
arti tattwa (kenyataan) dan mantra, serta bagaimana membebaskan manusia dari
belenggunya. Pada dasarnya kitab-kitab ini membicarakan tentang jalan manusia
mencapai kesaktian dan persekutuan dengan zat yang tertinggi.
Dalam tubuh manusia terdapat Meru, yaitu lajur tulang belakang, yang
didalamnya terdapat 7 chakra atau pusat kesadaran kosmis. Pada Muladhara, yakni
chakra pertama yang terletak dipangkal tulang belakang terdapat kundalini sakti, yaitu
asas hidup yang menyebabkan adanya penciptaan dan yang mendukung kehidupan
segala makhluk. Kundalini ini digambarkan sebagai ular yang sedang tertidur. Agar
seseorang dapat mencapai jiwanmukti atau kelepasan, maka orang itu harus
membangkitkan kundalini yang sedang tertidur tersebut. Caranya adalah melalui
pengawasan pernafasan yang membawa seseorang pada tingkatan yoga yang lebih
tinggi, yaitu penarikan panca indera (pratyahara), untuk memusatkan pikirannya pada
pusat hati (dharana) agar dapat mencapai permenungan atau meditasi (dhyana). Jika
kundalini sudah dibangkitkan, maka sang Yogin mulai mendapatkan astasiddhi, yaitu
delapan macam kuasa yang luar biasa. Untuk membantu pemusatan rohani ini
digunakan mantra-mantra. Adapun mantra-mantra itu berfungsi sebagai undangan
bagi dewa-dewa dengan ucapan-ucapan mistis.

Selain kitab-kitab diatas, masih ada beberapa lagi kitab lainnya seperti
Manusmerti yaitu kitab hukum yang mendasari aturan kemasyarakatan ala Hindu,
Tantra yang memuat tentang cara-cara pemujaan dewa-dewi, Nitisastra yang berisi
ajaran tentang kepemimpinan, serta Jyotisha yang berisi pedoman tentang pergerakan
benda langit dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia (astrologi).

25
Aliran Keagamaan

Dengan bersumber pada kitab-kitab itu, kemudian timbul berbagai macam


mazhab yang dapat digolongkan pada 3 mazhab besar dan 1 agama rakyat, yakni :

1. Mazhab Wisnu, yang menyembah dewa Wisnu atau istrinya, atau juga salah
satu awataranya (avatar=inkarnasi). Salah satu awatar Wisnu yang belum
muncul adalah Kalki. Pengikut Wisnu memberikan tanda didahinya dengan
tiga garis tegak lurus yang dibuat dari torehan abu. Mazhab ini lebih condong
pada Bakti (penyerahan diri), bukan pada Jnana (pengetahuan).
2. Mazhab Syiwa, yang pengikutnya tersebar ke seluruh India. Syiwa dianggap
sebagai dewa yang tertinggi menurut mazhab ini, sedangkan Brahma dan
Wisnu dianggap sebagai dewa-dewa yang lebih rendah bahkan penjelmaan
dari Syiwa. Pengetahuan (jnana) dianggap sebagai jalan kelepasan yang lebih
pasti dibandingkan bakti, sekalipun bakti juga mempengaruhi mazhab ini.
Biasanya Syiwa juga disembah bersama permaisurinya Parwati. Dewa Syiwa
juga dianggap sebagai dewa kelahiran kembali.
3. Mazhab Sakta, yaitu para penyembah Sakti (tenaga ilahi). Sakti biasanya
diwujudkan dalam salah satu perwujudan, misalnya sebagai Kali, Durga, Tara,
Kamala dan sebagainya. Tiap kelompok penyembah memilih pujaannya
sendiri.
4. Agama Rakyat, yang adalah suatu campuran antara animisme dengan segala
sistem keagamaan yang ada. Rakyat menyembah segala macam dewa yang ada,
termasuk awatara-awataranya, binatang-binatang kendaraan dewa, binatang-
binatang suci lainnya, dan sebagainya. Disamping itu rakyat juga menyembah
roh nenek moyang dan roh-roh lainnya.
a. Pemujaan sehari-hari. Pada umumnya ada 3 macam dewa yang
disembah, yaitu gramadewata (dewa desa atau kota), kuladewata (dewa
keluarga), istadewata (dewa perorangan). Dewa pertama dan kedua
ditentukan berdasarkan kelahirannya, dan dewa ketiga dipilih sendiri
dari antara sekian banyak dewa yang ada. Oleh karena itu orang dapat
memiliki pelindungnya sendiri. Pemujaan dewa desa atau kota
dilakukan didalam kuil desa atau kota. Tiap hari orang Hindu yang
saleh mengunjungi kuil itu sembari mengucapkan doa-doa dan
pemujaan dengan bunga-bunga atau buah-buahan. Satu atau dua kali
setahun biasanya diadakan pawai musik, tari-tarian, dsb. Sedang
tentang dewa keluarga, biasanya keluarga yang cukup kaya akan
membangun tempat suci di halaman rumahnya untuk memuja dewa
keluarganya. Mereka yang tidak memiliki tempat seperti itu, biasanya
akan menyimpan sebuah patung kecil dewa itu untuk pemujaan. Pada
umumnya pemujaan dewa-dewa mewujudkan suatu tiruan dari
penerimaan seorang tamu yang terhormat. Dewa itu biasanya diundang
supaya hadir dan diberikan persembahan-persembahan. Sesudah itu
dewa dipersilakan kembali ke tempat asalnya.

26
b. Pemujaan pada binatang. Pada jaman Ramayana, binatang-binatang
dianggap memiliki kecerdasan dan budi pekerti, bahkan dianggap
sebagai titisan dewa-dewa, seperti misalnya sang kera sakti Hanoman.
Binatang lain yang dipuja adalah lembu. Tidak jelas sejak kapan lembu
dipuja, namun saat ini lembu menjadi binatang yang paling disucikan
dan dipuja, bahkan kotorannyapun juga dianggap suci. Alkisah di surga,
lembu mendapat kehormatan yang tertinggi. Binatang lain yang juga
dianggap suci adalah ular, burung garuda, naga, merak, angsa, tikus,
singa, gajah, dan lain sebagainya.
c. Pemujaan pada tumbuh-tumbuhan. Kecuali binatang, tumbuh-
tumbuhan juga dipuja sebagai yang suci, seperti misalnya pohon tulsi
(semacam teratai) yang dianggap sebagai titisan Laksmi, pohon banyan,
dan sebagainya.
d. Pemujaan pada roh-roh jahat. Pemujaan juga dilakukan kepada roh-roh
jahat. Misalnya raksasa dan asura yang dipandang suka membinasakan
manusia dan meminum darahnya. Yang terkenal sebagai raja raksasa
yang maha kuasa adalah Rahwana, raja Lengka yang berkepala sepuluh.
Demikian juga dilakukan penyembahan terhadap roh-roh orang mati
yang dianggap akan menghantui orang-orang yang masih hidup. Roh-
roh itu adalah Butha (roh yang keluar dari orang yang mati penasaran,
baik karena kekerasan, kecelakaan maupun bunuh diri. Mereka tidak
mendapatkan upacara penguburan yang semestinya, oleh sebab itu
mereka dianggap sangat menakutkan. Yang berikutnya dikenal dengan
nama Preta, yaitu roh orang-orang yang cacat semasa hidupnya. Dan
Pisaca yaitu roh jahat yang timbul karena kejahatan seseorang.
Misalnya roh penipu, pemabuk, dan lain sebagainya.
e. Tempat Ziarah. Bagi penganut Hindu, berziarah ke tempat suci
dianggap membawa pahala yang besar sekali. Kota-kota yang dianggap
suci adalah Benares, Mathura, Orissa, dan sebagainya.

27
BAB 4
PENGARUH ISLAM DAN KRISTEN

Dalam perjalanan waktu, agama Hindu – Budha juga mengalami banyak


pengaruh dari lingkungan disekitarnya, termasuk pengaruh dari agama-agama lain.

Pengaruh Islam

Sesudah kedatangan Islam di India pada sekitar awal abad 12 M, timbullah


beberapa orang Hindu yang menentang pemujaan terhadap berhala. Mereka
mengajarakan bahwa hanya ada satu Tuhan. Orang-orang ini diantaranya adalah:
1. Kabir (1440-1518). Ia mengusahakan agar agama Hindu dan Islam saling
mempengaruhi. Ajaran Kabir menjadi salah satu sumber ajaran Nanak yang
mendirikan agama Sikh. Kabir mengajarkan adanya zat yang tertinggi.
Menurutnya Tuhan adalah tuhan yang disembah oleh semua agama. Oleh
karenanya menyembah banyak ilah adalah salah. Didalam mencari Tuhan
orang memerlukan pawing, yaitu orang yang sudah mengenal siapa Tuhan itu.
Sedang kelepasan didapat karena iman (bakti). Dan sekalipun “kitab” sangat
berharga, namun kitab tidak boleh dihormati terlalu tinggi.
2. Nanak (1469-1538). Secara singkat pemberitaan Nanak adalah tidak ada Hindu
ataupun Islam, keduanya adalah palsu. Ia menentang penyembahan terhadap
berhala dan menganggap kelepasan bisa didapat dengan persekutuan dengan
tuhan didalam kasih. Setelah era Nanak, masih ada 9 orang guru. Dibawah
pimpinan guru yang ke-10, Govind Singh (1707), kaum Sikh menjadi suatu
persekutuan bersenjata lengkap. Mereka meniadakan kasta dan kitab mereka
disebut dengan Adi Granth.

Pengaruh Kristen
Pertemuan India dengan agama Kristen juga menimbulkan aliran-aliran baru.
Agama Kristen masuk ke India pada abad 19. Aliran baru yang timbul antara lain
adalah:
1. Brahma Samaj (1828). Pendiri aliran ini adalah Ram Mohan Roy (1772-1633)
seorang Hindu yang mendapatkan pendidikan barat yang amat tinggi. Ia
mempelajari bahasa Persia dan Arab, demikian pula agama Budha dan Kristen.
Pada 1828, ia mendirikan aliran Brahma Samaj (masyarakat Brahman) yaitu
sebuah persekutuan seperti sebuah organisme. Tiap sabtu malam ia
mengadakan pertemuan yang disusun seperti layaknya ibadah Kristen.
Pertemuan itu berisi pembacaan ayat-ayat Weda, Upanisad yang
diterjemahkan kedalam bahasa Benggala, lalu diisi pula dengan khotbah, dan
ditutup dengan puji-pujian yang diiringi dengan alat musik. Ram Mohan Roy
juga mengadakan pembaharuan-pembaharuan seperti meniadakan poligami

28
dan sati (pembakaran janda). Sesudah ia wafat, pekerjaannya digantikan oleh
Debendranat Tagore (1841) yang mendirikan sekolah Weda (semacam
seminari) yang bertujuan untuk melatih pemuda-pemuda untuk memberitakan
ajaran-ajaran Brahma agar perkembangan agama Kristen dapat dibendung.
Semboyan yang dikemukakannya adalah “India tidak memerlukan Kristus”.
Ajaran Brahma Samaj sendiri dapat dirangkum demikian: Weda adalah satu-
satunya dasar iman. Pengenalan akan tuhan bersumber pada alam dan intuisi.
Tuhannya adalah zat yang berpribadi tapi tak pernah menitis. Ia mendengarkan
dan mengabulkan doa manusia. Penyembahan kepada tuhan harus dilakukan
secara rohani, dan jalan keselamatan ialah pertobatan dengan menghentikan
perbuatan dosa. Di kemudian hari Brahma Samaj terpecah belah, tetapi tetap
memiliki pengaruh yang besar di India. Jadi jelas sekali bahwa aliran ini
sebenarnya telah mengadopsi banyak sekali pemikiran dan ritual-ritual Kristen
untuk disesuaikan dengan ajaran Hindu.
2. Arya Samaj, yaitu gerakan yang didirikan oleh Swami Dayanand Saraswati
(1875). Gerakan ini lebih bersifat politis daripada keagamaan. Pada waktu itu
orang Hindu dihadapkan dengan berbagai macam keyakinan baik dari dalam
maupun luar India. Tekanan pemerintah Inggris dirasakan berat sekali.
Masuknya kebudayaan barat di India yang disertai dengan penerapan ilmu
pengetahuan modern telah mengubah pandangan banyak orang. Timbullah
persoalan bagaimana memperbaharui agama Hindu agar tetap dapat bersaing
dengan agama-agama lain. Untuk menjawab tantangan ini Arya Samaj
didirikan. Inti ajaran Arya Samaj adalah bahwa (1) Weda adalah pernyataan
tuhan, (2) Weda adalah satu-satunya wahyu tuhan, (3) Weda adalah pokok
bagi ilmu dan agama bagi umat manusia.
3. Ran Krsna Mission. Pergerakan ini dimulai oleh Sri Ramakrisna (1836-1886)
seorang Hindu tulen yang mengajarkan ajaran Hindu yang dimurnikan dan
mengumpulkan beberapa murid yang dengan rajin meneruskan ajarannya.
Murid-murid ini menggunakan cara misi atau zending dalam menjalankan
pekerjaannya. Mereka mendirikan gedung-gedung sekolah, rumah sakit,
poliklinik, serta menyebarkan ajarannya dengan menggunakan pamflet serta
bacaan-bacaan lainnya, seperti layaknya traktat di dunia keKristenan. Tujuan
pergerakan ini adalah untuk membersihkan agama Hindu dan membentengi
orang-orang Hindu agar tidak berpindah ke agama Kristen. Salah seorang
murid Sri Ramakrisna yang paling terkenal adalah Swami Vivekananda yang
membawa masuk ajaran Hindu ke Amerika Serikat.

Walaupun mereka adalah orang-orang yang anti keKristenan, tetapi tidak dapat
dipungkiri bahwa mereka telah mengadopsi banyak hal dari keKristenan, mulai dari
pemikiran yang esensial, sampai kepada ritual dan cara-cara praktis didalam
penyebarannya.

29
BAB 5
RINGKASAN AJARAN HINDU

Dari apa yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu, dapat disimpulkan
beberapa ajaran dari agama Hindu yang esensial, sebagai berikut:

Tentang Tuhan
Agama Hindu dimulai dengan politeisme (banyak tuhan) dan diakhiri dengan
panteisme (tuhan berada didalam segala sesuatu). Semula didalam Weda Samhita
diakui adanya bermacam-macam dewa, yang sebenarnya adalah personifikasi dari
kekuatan-kekuatan alam. Oleh karena sebenarnya yang disembah itu adalah kekuatan-
kekuatan alam, maka Weda Samhita nampak ragu untuk menyatakan dewa-dewa itu
sebagai pribadi ataukah bukan. Mereka hanya bisa mempersonifikasinya tanpa
meyakini eksistensinya sebagai pribadi.

Selanjutnya pada jaman Brahmana kehidupan orang Hindu dikuasai oleh


kurban sehingga membuat kedudukan para dewa terdesak. Akan tetapi karena
kehidupan beragama tak mungkin tanpa bertuhan, maka timbullah dewa-dewa baru
yang dipandang sebagai penyebab pertama terciptanya alam semesta ini. Pemikiran ini
kemudian membawa kepada pengerucutan menuju satu asas atau monisme.
Contohnya walaupun dalam ajaran Trimurti diperkenalkan adanya 3 dewa, tetapi
aliran-aliran Hindu tertentu telah mengatakan bahwa sebenarnya Brahma dan Wisnu
adalah penjelmaan dari Syiwa. Didalam upanisad, pemikiran-pemikiran demikian
membawa kepada panteisme yang menganggap bahwa sari dari Brahma ada didalam
segala sesuatu.
Jadi sebenarnya Hinduisme menganggap bahwa tuhan yang satu (sat cit
ananda: ada/ satu-satunya yang ada) berada didalam segala sesuatu. Karena ada
didalam seluruh ciptaan maka tuhan seharusnya menyatukan kemanusiaan, bukannya
menggolongkannya berdasarkan kekafiran, dsb.

Ketunggalan tuhan ini tercermin dalam Rgweda I, 164 6;46: Mereka


menyebutnya Indra, Mitra, Varuna, Agni atau burung matahari sorga Garutmat. Para
Maharsi menyebut banyak nama kepada yang satu; ...

Demikian pula tertulis dalam Atharwaweda XIII, 4, 12-21 demikian: Kekuatan


masuk kedalamnya, dia adalah satu, satu-satunya, yang hanya satu. Didalamnya
semua para dewa menjadi satu. Milik dia yang mengetahui tuhan ini hanya satu. Tidak
ada yang kedua, ketiga atau keempat, dia disebut dia yang tahu tuhan ini hanya satu ...

30
Tentang Penciptaan
Dalam Weda Samhita disebutkan banyak cerita tentang asal-usul dunia, namun
demikian tidak satupun yang secara tegas menyatakan penciptaan dari yang sama
sekali tidak ada menjadi ada. Dalam kitab Weda Samhita ini, walaupun dikatakan
dunia diciptakan oleh dewa, tetapi ternyata sang pencipta dunia itu sendiri
(wismakarman) dikatakan sebagai anak sulung alam semesta, dan dilahirkan dari
sebuah telur yang terdapat di permukaan air. Jadi dapat disimpulkan bahwa sang
pencipta dunia ternyata bukanlah penyebab pertama segala sesuatu, karena ia ada
sebagai sebab dari sesuatu yang telah ada mendahuluinya.

Selanjutnya pada jaman Brahmana, Prajapati-lah yang dianggap sebagai sang


pencipta dunia. Karena bertapa, maka mengalirlah dunia dari dirinya. Namun
demikian dijumpai gagasan bahwa seolah-olah Prajapati sendiri dijadikan.

Sementara pada jaman Upanisad, memang dengan tegas dikatakan bahwa


dunia berasal dari Brahman, namun demikian penjadian itu diakui bukanlah suatu
pekerjaan yang sengaja dilakukan, sebab dunia keluar mengalir dengan sendirinya dari
Brahman, seakan diluar kuasa Brahman.
Setelah jaman agama Budha, ajaran tentang penciptaan ini dipengaruhi oleh
falsafah Samkhya dan kitab-kitab Agama. Penjadian disebut Srsti, yaitu pengaliran
keluar apa yang secara potensial sudah ada dalam Brahman. Karena segala sesuatu
mengalir dari Brahman, maka segala sesuatu adalah Brahman itu sendiri. Jadi tidak
ada perbedaan zat antara Brahman dan Atman. Keilahian disejajarkan dengan
kebendaan.

Tentang Manusia
Pada jaman Weda Samhita belum ada keterangan yang jelas tentang manusia.
Yang agak dapat dipastikan adalah bahwa jiwa manusia dipandang tidak dapat mati.
Barangsiapa hidup dengan baik dan saleh, maka setelah mati jiwanya akan masuk
surga.
Pada jaman Brahmana, manusia dianggap terdiri dari dua bagian, yaitu bagian
yang nampak dan yang tak nampak, semacam paham dikotomi. Bagian yang tampak
disebut rupa yang terdiri dari 5 unsur yaitu rambut, daging, tulang, kulit dan sumsum.
Sedang bagian yang tak nampak disebut sebagai narda, yang terdiri dari unsur-unsur
yang menentukan hidup, yaitu nafas (atman), akal (buddhi), pemikiran (manas),
penglihatan (caksu) dan pendengaran (srotta). Jiwa manusia (atman) dipercaya tak
dapat mati, dan barang siapa melakukan upacara-upacara kurban dengan baik, maka ia
akan mendapatkan kebahagiaan kekal.
Pada jaman Upanisad, Atman dipandang sebagai bagian dari Brahman. Baik
tubuh (bagian yang kasar) maupun jiwa (bagian yang halus) sama-sama keluar
mengalir dari Brahman. Jadi intisari manusia (atman) adalah Brahman itu sendiri.

31
Demikianlah manusia dianggap sebagai Brahman itu sendiri yang penuh dengan
tenaga ilahi.
Oleh sebagian orang Hindu, atman dijelaskan sebagai dasar keberadaan
manusia, ia menjadi jati diri manusia yang disebut jiwa yang merupakan pantulan
(pratibimba) dan bagian (amsa) dari keberadaan tuhan. Jiwa juga dianggap memiliki
sifat-sifat keberadaan kekal, kesadaran, kebahagiaan abadi, kebenaran, kebaikan dan
keindahan. Karena jiwa dianggap merupakan pantulan dan bagian dari tuhan yang
sama, maka lahirlah konsep etika sosial yang disebut sebagai vasudaiva
kumtumbakam, dimana seluruh dunia dianggap menjadi satu keluarga tunggal yang
menghasilkan konsekuensi tidak adanya kekerasan (ahimsa), tidak adanya kebencian
(advesta), adanya welas asih (karuma), pertemanan (maitra), kedamaian (santi) yang
kesemuanya itu ditujukan untuk mencapai kesejahteraan bersama (lokasagraha) dan
kebaikan bersama (lokakalyana).
Berikut beberapa kutipan dari berbagai pustaka suci Hindu berkaitan dengan
manusia.

Katha Upanisad II.2.9 Seperti api yang salah satu, memasuki dunia ini menjadi
berbagai bentuk menurut obyek (yang dibakarnya), demikian juga sang jiwa didalam
semua makhluk menjadi berbeda menurut apapun (yang dimasukinya) dan juga ada
diluar (mereka semua).
Brhad – Aranyaka Upanisad v.7.1 Sang diri ini yang terdiri dari pikiran hakikatnya
adalah cahaya, ada dalam hati seperti bijih padi atau gandum. Dia adalah penguasa
semuanya, tuan segalanya, dan mengatur semua yang ada disini.
Chandogya Upanisad III.13.7 Kini cahaya yang bersinar diatas sorgaini, diatas
segalanya, diatas segala sesuatu, di dunia tertinggi diatas mana tidak ada lagi yang
lebih tinggi sesungguhnya, itu adalah sama dengan cahaya ini yang ada disini dalam
manusia.

Tentang Kelepasan/Keselamatan
Pada jaman Weda Samhita kelepasan bergantung pada anugrah dewa, sehingga
untuk itu dipersembahkanlah kurban-kurban bagi para dewa. Akan tetapi pada jaman
Brahmana, penekanan lebih dititikberatkan pada kurban, oleh karenanya kebahagiaan
maupun kesedihan ditentukan oleh kurban. Sedang pada jaman Upanisad sudah
muncul pemikiran bahwa kurban bukan satu-satunya jalan kelepasan, sebab kurban
bukan hanya berbicara tentang persembahan tetapi tiap perbuatan adalah kurban juga.
Hidup yang baik akan menghasilkan buah yang baik, dan dengan demikian timbullah
ajaran tentang karma.
Sekalipun benih-benih ajaran tentang keselamatan atau kelepasan yang
diperoleh melalui amalan-amalan sudah dikemukakan didalam Upanisad, tapi ajaran
kelepasan yang lebih menonjol pada jaman ini adalah dengan jalan pengetahuan

32
(jnana). Sebab perbuatan baik dan amalan, bagaimanapun baiknya, masih menjadikan
orang terlahir kembali, maka jalan kelepasan yang lebih jitu adalah melalui
pengetahuan bahwa Atman adalah Brahman. Pengetahuan ini memberi keyakinan
bahwa apa yang nyata hanyalah Brahman, sehingga segala sesuatu yang nampak
adalah khayalan belaka. Keyakinan ini akan membuat orang hidup seperti tidak hidup,
bekerja seperti tidak bekerja, dan seterusnya. Sikap hidup ini akan membebaskan
Atman dari segala aktifitas hidup, dan akhirnya ketika mati Atmannya akan kembali
kepada asalnya, yaitu Brahman.
Sedang didalam bhagawadgita diadakan sintese (pencampuran) terhadap
segala ajaran kelepasan, baik yang melalui amalan (karmamarga), maupun melalui
pengetahuan (jnanamarga), dan lebih dari itu bhagawadgita juga mengajarkan
kemungkinan ketiga yakni kelepasan melalui penyerahan diri (baktimarga).

Sesudah jaman Tantra diakui satu lagi jalan keselamatan, yakni melalui
mantra-mantra yang mengandung daya gaib didalamnya. Mantra-mantra ini
sebenarnya bukan baru saja dikenal pada jaman itu, tetapi sudah ada bahkan sejak
jaman Weda Samhita yang mengubah kurban-kurban menjadi makanan bagi para
dewa dengan daya magisnya. Pada jaman Tantra ini kecenderungan pada hal-hal yang
magis semakin diperkuat.

Bagaimanapun kelepasan atau keselamatan itu diajarkan, baik melalui amalan,


maupun pengetahuan, mantra-mantra yang berdaya magis, bahkan melalui penyerahan
diri, agama Hindu tetap mengajarkan kelepasan berdasarkan usaha manusia sendiri,
yaitu melalui reinkarnasi demi reinkarnasi yang dipercaya merupakan kesempatan
manusia untuk memperbaiki diri (memperbaiki karma: suatu kondisi keberadaan
manusia yang ditentukan oleh perbuatan dalam kehidupan sebelumnya) menuju pada
kesempurnaan sehingga dapat mencapai moksa, bukannya sebuah anugerah seperti
yang diyakini dalam keKristenan. Hal ini tercermin dari apa yang tertulis pada kitab
Bagawad Gita VI.45 demikian: Dengan usaha yang terus menerus melalui banyak
kehidupan, seorang manusia disucikan dari nafsu mementingkan diri sendiri dan
mencapai tujuan tertinggi dari hidupnya.
Moksa sendiri diartikan sebagai tujuan tertinggi manusia, yaitu kembalinya
jiwa kepada asalnya, yaitu tuhan, melebur dalam tuhan dan menjadi tuhan itu sendiri,
seperti yang tertulis dalam Mundaka Upanisad III.2.5 demikian: Setelah mencapai dia,
orang-orang suci yang puas dengan pengetahuan mereka adalah jiwa-jiwa yang
sempurna, bebas dari nafsu, tenang, telah mencapai yang Maha ada pada semua
sisinya, yang bijaksana, dengan pikiran terpusat, masuk kedalam yang Maha
sempurna itu sendiri.
Moksa disebut sebagai brahmaloka, darimana jiwa tidak terlahir kembali ke
dunia ini. Namun demikian tuhan yang satu ini tidak teridentifikasi dengan jelas,
kecuali melalui Hindu Bali yang sudah tercampur dengan agama asli dan budaya Bali,
sehingga muncullah sosok Sang Hyang Widi, yang sebenarnya tetap saja belum

33
teridentifikasi dengan jelas, sehingga keberadaannya masih sebagai sosok yang
transenden, bukan imanen.

Tentang Kitab Suci


Pustaka suci Hindu telah berkembang bukan hanya keempat Weda saja
(rgweda, samaweda, ayurweda, atharwaweda) yang tergolong sebagai sruti (yang
didengar), tetapi juga telah meliputi golongan smerti (apa yang diingat) yaitu buku-
buku yang bermuatan ajaran hindu melalui cerita epik dan mitologi, kitab hukum,
kitab norma sosial, kitab sastra, kitab pengajaran ritual dan lain sebagainya. Sehingga
oleh karena “kekayaan” kitab-kitab ini maka Hinduisme bukan hanya memiliki kitab
suci tetapi pustaka suci.

Tentang Sorga dan Neraka


Umat Hindu percaya bahwa sorga adalah dunia para leluhur (pitraloka), tempat
orang-orang baik, orang-orang bijak, para pahlawan dan para penyair/ pertapa (kawi)
yang menghasilkan kakawin-kakawin. Sorga juga dianggap sebagai kebahagiaan
spiritual, bukan kenikmatan badani. Namun demikian sorga dikatakan dapat dicapai
semasa hidup, ketika seorang telah terlepas dari segala ikatan duniawi ataupun setelah
ia mati. Sehingga sorga dapat diartikan baik sebagai sebuah tempat maupun sebagai
sebuah kondisi.
Sedang neraka adalah tempat dimana orang-orang yang jahat menerima
konsekuensi dari tindakan mereka dalam bentuk penderitaan. Karena yang dapat
merasakan penderitaan adalah badan, bukannya jiwa, maka neraka dianggap berada
dalam dunia ini. Karena itu penderitaan dianggap tidak bersifat kekal, melainkan
hanya sementara saja sampai seseorang mampu menebusnya melalui perbuatan-
perbuatan baik. Namun demikian pengertian yang berbeda justru terdapat dalam kitab
Rgweda VII. 104,3 demikian: Kedalam (daerah) yang tanpa dasar itu, Indra dan Soma,
jatuh orang yang tidak bermoral kedalam kegelapan yang tanpa dasar jatuh mereka.
Sehingga tidak seorangpun dari mereka pernah balik lagi! Semoga kekuatan-mu yang
hebat menang dan mengendalikan mereka. Demikian pula yang tertulis dalam
Atharwaweda II.14,3: Disana (semoga) hantu-hantu jahat tinggal dalam rumah neraka!
Disana semoga kehancuran dan setiap tukang sihir menemukan sebuah tempat tinggal!
Dan juga tertulis dalam Isa Upanisad. 3 demikian: Tanpa cahaya dan bersifat jahat
(keraksasaan), sesungguhnya, dunia-dunia itu, dan dibungkus oleh kegelapan yang
membutakan, ke tempat-tempat inilah semua manusia yang menjadi musuh bagi jiwa-
jiwa mereka, pergi setelah kematian.

34
Demikianlah ringkasan tentang ajaran-ajaran Hinduisme yang mendasar dan
esensial, sehingga secara umum Hinduisme oleh pengikutnya dianggap sebagai agama
yang universal, agama jiwa dan agama yang dewasa. Apa artinya? Yaitu bahwa
Hinduisme adalah agama pertama dan utama diantara banyak agama, ibu bijaksana
dari semua agama, agama yang telah ada sejak jaman purba dan tetap dapat selaras
dengan ilmu pengetahuan (sains) dan bahkan menghasilkan sains, sehingga dapat
dianggap sebagai sebuah agama yang abadi (sanatana dharma). Demikian juga
Hinduisme juga dianggap sebagai agama yang mengajarkan persaudaraan diantara
seluruh umat manusia.

35
BAB 6
PENGARUH HINDU MERAMBAH DUNIA

Ajaran Hindu telah merambah dunia pada jaman modern ini. Bukan sekedar
melalui penambahan jumlah penganutnya dalam konteks agama, tetapi yang jauh
lebih signifikan adalah jumlah penganutnya dalam konteks praktika spiritualitasnya.

Dalam konteks pertumbuhan pemeluk agamanya, menurut survey yang


dilakukan oleh Crescent Consultant pada 1992, terdapat sebanyak 785 juta pemeluk
Hindu di seluruh dunia dan terus bertambah. Jumlah ini belum termasuk para
penganut praktika kehidupan spiritualnya seperti yoga, pengobatan holistik, meditasi,
dan lain sebagainya.
Mengapa ajaran dan praktika spiritualitas Hindu dapat berkembang dengan
pesatnya disebabkan karena beberapa alasan:

1. Karena dunia sudah mulai bosan melihat fakta bahwa kemajuan teknologi
dan pengagungan rasio ternyata bukannya mendatangkan kesejahteraan
tetapi justru menghancurkan melalui terjadinya banyak peperangan.
2. Kekecewaan terhadap institusi-institusi religius yang seringkali terlibat
konflik satu sama lain serta ditandai dengan kemunafikan para tokohnya.

36
3. Kerinduan akan sesuatu yang transenden (melampaui diri) namun disertai
dengan penolakan akan ajaran dan ritual yang bersifat mengikat dan
menuntut. Ini dapat digambarkan melalui slogan “Spirituality YES !
Religion NO !”
Hal ini membuat anak-anak muda mulai tertarik dengan suatu cara hidup yang
berbeda. Agama Hindu yang dapat dengan luwes menyesuaikan diri akhirnya meresap
dalam kehidupan penganut agama-agama lain.
Salah seorang tokoh Hindu terkenal yang membawa masuk ajaran Hindu
merambah dunia, khususnya dunia barat adalah Swami Vivekananda murid dari Sri
Ramakrisna, pendiri Ram Krisna Mission. Pada tahun 1893 Swami melakukan road
show ke berbagai perguruan tinggi di Amerika Serikat. Dia berkata demikian, “Dunia
Barat memiliki keunggulan dalam studi tentang materi (iptek) dan dunia Timur unggul
dalam spiritualitas. Marilah kita saling menukar keahlian”. Kata-katanya itu saat ini
telah digenapi dengan banyaknya guru-guru spiritual Hindu yang datang ke dunia
Barat dan menyebarkan ajaran yang kemudian dikenal sebagai Gerakan Zaman Baru,
yang kemudian merambah ke seluruh penjuru dunia. Beberapa yang terkenal adalah
Mahareshi Maha Yogi yang dikenal publik atas pengaruhnya terhadap grup musik The
Beatles dan Deepak Chopra yang buku-bukunya banyak diminati orang dari berbagai
agama. Ajaran ini jelas-jelas tidak memasuki kancah “perebutan pemeluk agama”
secara frontal, tetapi menyusup melalui aktifitas-aktifitas spiritualitasnya yang banyak
mempengaruhi kehidupan pemeluk agama-agama lain.

Ajaran Gerakan Zaman Baru


Gerakan Zaman Baru yang merembes masuk melalui kehidupan spiritualitas
ini sebenarnya sangat kental bernuansa Hindu. Ajaran-ajaran utamanya adalah sebagai
berikut:
1. Monisme. Segalanya dan semua orang saling terkait dan saling bergantung,
dan bahkan merupakan kesatuan. Pada akhirnya, sebenarnya tidak ada
perbedaan yang nyata antara manusia dengan binatang, atau batu karang.
Semuanya adalah satu esensi.
Dalam bukunya “Golf for Enlightment”, Deepak Chopra mengatakan :
“Menjadi satu dengan bola”. Deepak percaya manusia adalah satu dengan
segalanya. “Anda dapat berkata kepada pohon-pohon dan bintang-bintang.
Semuanya adalah bagian dari tubuh Anda”.
Rhonda Byrne, yang buku-bukunya menjadi best seller dewasa ini (secret
series), mengajarkan tentang bagaimana membangkitkan energi dalam diri
manusia untuk mencapai kesuksesan. Serupa dengan membangkitkan
kundalini dalam ajaran Hindu. Tentang Monisme dia mengatakan : “Kita
adalah satu. Kita semua terhubung, dan kita semua adalah bagian dari satu
ladang energi, dan satu akal mahatinggi, atau satu kesadaran, atau satu sumber
kreatif. Sebutlah dengan sebutan apapun, tetapi kita semua adalah satu.”

37
2. Semuanya adalah Allah. Ajaran yang demikian dapat kita kenali sebagai
Panteisme (pan = “all” dan theism = “God”) yang menjadi salah satu ciri khas
ajaran Hindu, yang menyatakan bahwa semua realita yang kita saksikan adalah
Allah. Baik manusia, binatang maupun kursi, semuanya adalah Allah.
Panteisme mirip dengan monisme hanya saja ia melangkah lebih jauh dengan
mengatakan bahwa semua adalah satu dan yang satu itu adalah Allah. Allah
dari kaum New Age ini lebih merupakan “it” daripada “He”. Oleh karena itu,
GZB menolak paham bahwa dunia ini diciptakan oleh Allah dan dikontrol oleh
Allah. Dalam bukunya “Secret”, Byrne mengatakan bahwa Allah adalah alam
semesta dan alam semesta adalah Allah. Oleh karenanya ia mengajarkan untuk
berdoa kepada universe (alam semesta).
Berkaitan dengan teisme ini, Norman Geisler membaginya menjadi 3
kelompok sebagai berikut:

TEISME PANTEISME ATEISME


Allah menciptakan Allah adalah segala Tidak ada Allah
segala sesuatu sesuatu (No God at all)
(God made all) (God is all)
Yudaisme, Kristen, Budhisme, Hindu, GZB Humanis
Islam

3. Manusia adalah Allah. Gerakan ini mengajarkan demikian : Jika semua adalah
satu dan semua adalah Allah, maka jelas bahwa kita (manusia) adalah Allah.
Kita bukan menjadi Allah tetapi kita adalah Allah. “Engkau dapat
menggunakan kata-kata Aku adalah Tuhan atau Aku adalah Aku sebagaimana
sering diutarakan Kristus, atau Anda dapat memperluas afirmasi tersebut
sesuai dengan keinginan Anda.” Shirley MacLaine, seorang artis terkenal pada
masanya, memiliki pandangan yang dikenal sebagai “mind over matters” yang
ia jelaskan sebagai berikut : “Kita telah mengetahui segala sesuatu.
Pengetahuan kita akan keilahian kita adalah kepandaian yang tertinggi. Segala
sesuatu dan apapun akan mampu dilakukan. Kita semua menciptakan realitas
kita sendiri”. Dan pemikiran inilah yang banyak diusung oleh para motivator
masa kini.
Tujuan manusia adalah “membangunkan Allah yang tertidur di dalam hakekat
manusia yang terdalam”, tepat seperti konsep membangunkan kundalini dalam
Hinduisme. Werner Erhard berkata: “Berlututlah pada dirimu sendiri. Hormati
dan sembahlah dirimu sendiri. Allah tinggal di dalam engkau sebagai
ENGKAU”.
4. Perubahan kesadaran. Jika dipercayai bahwa semua adalah satu dan semua
adalah Allah, yang menghasilkan konsekuensi bahwa kita adalah Allah, maka
mengapa kita tidak mengetahuinya? Jawabannya adalah “kebodohan”.
Pengikut GZB percaya bahwa manusia menderita sebuah bentuk kolektif dari
“amnesia metafisikal”. Kebodohan dan kelalaian ini harus dikalahkan melalui
penekanan pada potensi manusia yang tak terbatas. Tujuan tertinggi dalam
38
kehidupan adalah membangkitkan allah di dalam diri manusia dan menyadari
potensi manusia yang tak terbatas. Bagaimana caranya? Hal ini bisa dicapai
melalui realisasi diri, pencerahan dan iluminasi. Secara praktis, biasanya
pengikut GZB mengikuti praktek-praktek seperti meditasi, yoga, visualisasi
kreatif (membayangkan dirinya sendiri sebagai keberadaan ilahi, atau sembuh
walau sedang sakit), kontak dengan orang mati, dan lain sebagainya yang
merupakan ciri-ciri kehidupan spiritualitas Hindu.
5. Semua agama adalah satu. Pandangan ini yang seringkali menjadi sebuah nilai
“kebenaran” yang dengan cukup mudah diterima oleh penganut-penganut
agama yang masih awam, apalagi ditengah sebuah bangsa yang memiliki dasar
keTuhanan yang esa. Gerakan ini percaya bahwa semua agama hanyalah
respons yang berbeda-beda terhadap keberadaan tertinggi yang sama atau
“god-force”. Semua agama hanyalah jalan berbeda-beda menuju ke satu
puncak gunung yang sama. Truth is one, paths are many (Kebenaran hanyalah
satu, namun ada banyak jalan menuju kebenaran). Nanak, pendiri ajaran Sikh,
salah satu perkembangan dari agama Hindu, mengatakan demikian: “One God
goes by different names in different religions and cultures: accepted all the
prevailing names of God, such as Allah, Ram, Gobind, Bhagwan, Rahim and
Karim, as equally valid, and all of them were used in hymns for addressing
God.” (Satu Tuhan dikenal dengan berbagai macam nama dalam agama dan
budaya yang berbeda: menyebut setiap nama Tuhan yang berlaku, seperti
Allah, Ram, Gobind, Bhagwan, Rahim dan Karim, sama-sama sahnya dan
kesemuanya dapat digunakan dalam memuji Tuhan yang diyakininya).

Jadi, pengikut gerakan ini mengajarkan sinkretisme atau pencampuradukan


agama. Dengan pemahaman seperti ini tidaklah mengherankan jika banyak
penganut agama tertentu merasa bahwa mereka dapat menjadi pengikut GZB
dan tetap menjadi orang Kristen, Islam, dll. GZB mengajarkan bahwa para
pengikutnya tidak harus meninggalkan agamanya demi menjadi pengikut GZB.
Inilah yang menjadikan GZB semakin banyak diminati dan mampu merambah
kehidupan spiritualitas penganut-penganut agama tanpa harus meninggalkan
identitas keagamaan mereka. Oleh karenanya banyak kali praktika kehidupan
orang percaya terpengaruh dengan begitu kuatnya oleh praktika spiritualitas
Hinduisme yang menyusup melalui gerakan ini. GZB bukan lagi sebuah
entitas yang nyata dimasa kini, tapi telah menjadi sebuah filosofi yang mudah

39
meresap dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama, mempengaruhi
banyak orang dengan filsafat-filsafat dan praktika spiritualitas Hinduisme
dengan begitu hebatnya.
6. Relativisme moral. Jika semua adalah Allah dan manusia adalah Allah, maka
tidak mengherankan jika ajaran ini juga mengajarkan bahwa moralitas bersifat
relatif bergantung pada manusia. Bagaimana kita harus berperilaku di dunia ini
tidaklah ditentukan oleh kitab suci agama apapun yang dipercaya sebagai
wahyu Allah, melainkan diri kita sendiri karena kita adalah Allah itu sendiri.
Neale Donald Walsch mengatakan, “Tidak ada papan tulis di langit tempat
Tuhan telah menuliskan tujuan Anda, misi hidup Anda…Jadi, tujuan Anda
adalah apa yang Anda katakan sebagai tujuan Anda. Misi Anda adalah misi
yang Anda berikan pada diri Anda sendiri. Hidup Anda adalah hidup yang
Anda ciptakan, dan tidak seorang pun berhak menghakiminya, sekarang atau
selamanya.”
Rhonda Byrne bahkan berani berkata, “Apapun yang Anda pilih untuk ANDA
adalah benar”.Dan Jack Canfield menambahkan, “…Saya mempunyai
peribahasa: Jika tidak menggembirakan, jangan lakukan!”.
7. Keyakinan akan datangnya Zaman Baru. Banyak pengikut GZB percaya
bahwa umat manusia sedang mengalami kemajuan menuju tercapainya “zaman
baru” dari kedamaian dan kelimpahan . Hal ini akan semakin cepat terealisasi
ketika manusia menyadari keilahian di dalam dirinya. Mereka percaya bahwa
dunia akan menuju pada satu bangsa, satu bahasa, satu pemerintahan dan satu
agama. Zaman itu akan membuang semua kebencian, kejahatan, perang,
kriminalitas, rasisme, sakit penyakit dan kematian. Nampaknya janji-janji dan
pengharapan seperti demikian memiliki prospek yang sangat menjanjikan dan
menyenangkan sehingga lebih banyak lagi pengikut gerakan ini. Pengharapan
yang demikian tercermin dari sebuah lagu yang digubah oleh John Lennon
yang berjudul Imagine.

Imagine there’s NO HEAVEN


It’s easy if you try
NO HELL below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today…
Imagine there’s NO COUNTRIES
It isn’t hard to do
Nothing to kill or die for
And NO RELIGION too
Imagine all the people
Living life in peace…

You may say I’m a dreamer


But I’m not the only one

40
I hope someday you’ll join us
And the world will BE AS ONE

Imagine NO POSSESSIONS
I wonder if you can
No need for greed or hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people
Sharing all the world…

Perbandingan Dengan KeKristenan


Tabel berikut menunjukkan perbedaan-perbedaan esensial Hinduisme yang
terwujud melalui Gerakan Zaman Baru ini dengan keKristenan:

No. SUBYEK HINDUISME (dalam GZB) KRISTEN


1 Metafisik
Allah dan dunia Allah adalah dunia (panteisme) Pencipta (Allah) dibedakan dengan
ciptaan
Natur Allah Tidak berpribadi Allah adalah pribadi
2 Epistemologi Manusia adalah segala sesuatu. Kebenaran diwahyukan dalam
Kebenaran ada dalam diri manusia Alkitab
3 Etika Relatif dan situasional Mutlak berdasar wahyu Allah
4 Natur Manusia Makhluk rohani, Allah yang tertidur Dicipta serupa dan segambar Allah,
kini jatuh dalam dosa
5 Problema Ketidaktahuan akan potensinya yang Dosa – pemberontakan melawan
Manusia sejati Allah dan hukum-hukum-Nya
6 Jawaban atas Perubahan kesadaran Iman didalam Kristus
problema
manusia
7 Kematian Ilusi, jalan masuk menuju ke Jalan masuk ke
kehidupan yang berikutnya sorga atau neraka
(reinkarnasi) yang kekal
8 Yesus Kristus Salah satu dari banyak avatar Allah-manusia yang unik, satu-
(manifestasi secara periodic dari satunya Tuhan dan Juruselamat
Allah-guru)
9 Makna iman Iman adalah keyakinan pada Iman adalah keyakinan pada
kekuatan diri kita sendiri yang sejati kekuatan dan kedaulatan Allah

10 Hasil iman Ditentukan oleh diri sendiri Didasarkan pada kedaulatan Allah
yang penuh kasih

41
BAGIAN 2
AGAMA BUDHA

42
BAB 1
PENDAHULUAN

Kira-kira selama 4 abad agama Budha hidup dari tradisi yang diteruskan
secara lisan oleh pemimpin-pemimpin agama Budha pada abad pertama. Oleh
karenanya kitab-kitab yang tergolong tertua adalah kitab-kitab yang ditulis untuk
mendokumentasikan tradisi-tradisi dan ajaran-ajaran yang diteruskan secara lisan tadi.
Pengumpulan ini kemudian dikelompokkan dalam kelompok yang disebut Pitaka
(keranjang). Demikianlah terkumpul 3 kitab Pitaka yang kemudian dikenal sebagai
Tripitaka. Ketiga kitab itu terdiri dari Sutra Pitaka yang berisi dharma atau ajaran
Budha pada para muridnya ; Winaya Pitaka yang berisi peraturan-peraturan untuk
mengatur tata tertib sangha (jemaat), kehidupan para biksu, dan lain sebagainya ;
Abbidharma Pitaka yang berisi ajaran yang lebih mendalam tentang hakekat dan
tujuan hidup manusia, ilmu pengetahuan yang membawa pada kelepasan dan lain
sebagainya. Selain pengelompokan ini, kitab-kitab Budha dapat juga digolongkan
kedalam 2 golongan besar, yakni kitab Sutra dan Sastra. Kitab Sutra adalah kitab-kitab
yang dianggap berisi ucapan-ucapan Budha sendiri, sekalipun kitab-kitab itu baru
ditulis berabad-abad setelah wafatnya sang Budha. Kitab-kitab Sutra adalah kitab-
kitab yang telah dikumpulkan dan disahkan pada muktamar Buddhis yang pertama
pada tahun 383 SM, dan semua kitab yang muncul setelahnya tidak diakui keasliannya.
Namun demikian aliran Mahayana mengakuinya, misalnya kitab Prajnaparamita yang
membicarakan tentang hikmat yang sempurna. Diceritakan bahwa kitab ini ditulis
oleh sang Budha sendiri, namun karena hikmatnya masih sulit dipahami oleh orang-
orang pada masa itu, maka kitab itu disimpan dan dijaga oleh naga-naga di alam
bawah. Baru berabad-abad kemudian kitab-kitab ini diambil oleh Nagarjuna dari alam
bawah dan disebarkan di dunia.
Sedang kitab-kitab Sastra adalah uraian-uraian yang ditulis oleh para tokoh
ternama. Uraian-uraian ini disusun secara sistematis. Diantaranya ada yang ditulis
oleh Nagarjuna dan Wasubandhu.

Riwayat Kehidupan Sang Budha


Budha Gautama, pendiri agama Budha ini dilahirkan pada 563 SM dan wafat
pada 483 SM. Ia adalah anak raja Suddhodana yang memerintah atas suku Sakya, dan
lahir dari Ibu bernama Maya. Budha dibesarkan di ibukota kerajaan yaitu Kapilawastu.
Menurut ceritanya kelahiran sang Budha terjadi demikian: Pada waktu di Kapilawastu
diadakan perayaan musim panas, permaisuri Maya bermimpi diangkat dan dibawa ke
gunung Himalaya. Sesudah beliau dimandikan dan dikenakan pakaian surgawi,
datanglah sang Budha dalam wujud seperti seekor gajah putih yang membawa bunga
teratai putih di belalainya. Sesudah gajah itu berputar mengelilingi permaisuri hingga
3 kali, maka masuklah gajah itu ke kandungan Maya melalui pinggang sebelah kanan.

43
Menurut ramalan para Brahmana, hal itu berarti bahwa sang permaisuri akan
melahirkan seorang putra yang jika tidak menjadi seorang raja, maka ia akan menjadi
seorang Budha. Ternyata benarlah ramalan itu dan permaisuri melahirkan seorang
anak laki-laki yang kelahirannya disertai berbagai mujizat. Akan tetapi sang
permaisuri wafat ketika sang bayi baru berumur 1 minggu. Bayi itu diberi nama
Sidharta Gautama.

Pada waktu hidupnya sebagai putra raja, Sidharta dilimpahi kesenangan dan
kemewahan yang luar biasa, dengan maksud untuk menjauhkannya dari pemikiran
untuk menjadi pemimpin agama seperti yang telah diramalkan. Akan tetapi hatinya
tidak merasa senang dengan kehidupan yang demikian karena hatinya lebih tertarik
pada kehidupan dalam pertapaan. Pada suatu hari ia pergi berjalan-jalan keluar istana
bersama saisnya Chanda. Pada waktu itu sang raja telah memberi perintah agar
jalanan dibersihkan dari segala sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun demikian
pada perjalanan itu Sidharta melihat orang yang sudah tua renta, yang menurut
dongeng adalah penjelmaan dewa Brahma yang menganggap sudah waktunya
menampakkan diri pada Sidharta agar ia segera meninggalkan kemewahan.
Pemandangan ini mengejutkan Sidharta. Atas keterangan Chanda, ia menjadi tahu
bahwa segala makhluk kelak akan menjadi tua seperti orang itu. Dengan hati yang
gundah ia kembali ke istana. Pada perjalanannya yang kedua, Sidharta melihat
seorang yang kurus kering dan sakit hingga tampak lemah sekali. Dan dilanjutkan
dengan perjalanan yang ketiga ia melihat iring-iringan orang mengangkat jenazah
untuk dibawa ke pekuburan. Akhirnya pada perjalanannya yang keempat, ia melihat
seorang pertapa yang nampak serius, terhormat dan dalam penguasaan diri. Orang ini
memandangkan matanya ke bawah, memakai jubah dan membawa tempurung untuk
minta-minta. Dan sejak saat itulah Sidharta ingin mengikuti kehidupan pertapa ini dan
mencari jalan meninggalkan kehidupan mewahnya itu. Sekalipun sang raja berusaha
dengan sangat luar biasa untuk membelokkan keinginan Sidharta, tapi usahanya itu
sia-sia. Pada waktu yang sudah ditentukan oleh para dewa, Sidharta pergi
meninggalkan istri dan anaknya serta seluruh kemewahan di istana untuk menjalani
kehidupan seorang pertapa. Semua itu terjadi tepat seperti yang telah diramalkan oleh
seorang Brahmana pada waktu kelahirannya, yaitu bahwa kelak, putra raja ini kelak
akan menjadi sang Budha setelah ia melihat 4 tanda yakni orang tua, orang sakit,
orang mati dan pertapa. Setelah itu dimulailah hidup pertapaannya untuk mencari
kelepasan.
Pada suatu sore saat ia berusia sekitar 30 tahun, Sidharta duduk di bawah
sebuah pohon bodhi di Bodh Gaya dengan maksud tidak akan meninggalkan pohon itu
sebelum ia mendapatkan pencerahan. Ketika Mara (iblis) mengetahui bahwa Sidharta
hendak berusaha keras untuk mendapatkan pencerahan yang sempurna, ia
mengerahkan segala roh-roh jahat untuk merintangi usahanya itu. Mula-mula ia
menjelma seperti seorang pesuruh yang membawa surat dari Yasodhara istrinya, yang
memintanya kembali ke kerajaan karena kerajaan ayahnya telah direbut musuh dan
ayahnya dipenjarakan. Tapi upaya ini tidak membuahkan hasil. Kemudian Mara
dengan segenap bala tentaranya menyerang Sidharta dengan bermacam-macam

44
senjata kekuatan alam seperti angin puyuh, hujan besar, dan lain sebagainya, tetapi
usahanya ini kembali sia-sia belaka. Sidharta tak bergeming sedikitpun. Akhirnya
Mara menyapa Sidharta dengan menyuruhnya bangkit dan menyerahkan tempat yang
didudukinya kepada Mara sebab Mara-lah yang memiliki hak atas tempat itu.
Permintaan itu ditolak oleh Sidharta dengan mengatakan bahwa Mara tidak pernah
memenuhi sepuluh kesempurnaan yang diperlukan orang untuk mendapat pencerahan.
Demikianlah malam itu dilalui dengan peperangan yang berat melawan Mara dan
balatentaranya, tetapi akhirnya Sidharta-lah yang menang. Seluruh kemenangan
Sidharta sebenarnya dicapai melalui 3 tahap, yaitu pada waktu jaga malam yang
pertama ia mendapatkan pengetahuan akan kehidupannya yang terdahulu; pada waktu
jaga malam yang kedua ia menjadi maha tahu; dan akhirnya pada waktu jaga malam
yang ketiga ia mendapat pengertian akan simpul awal terjadinya segala kejahatan.
Demikianlah kemenangan ini dengan mendapat pencerahan yang sempurna
dicapainya ketika matahari terbit. Tak terbilang banyaknya mujizat yang terjadi
selama waktu-waktu yang dianggap mulia itu. Bumi berguncang hingga enam kali,
seluruh alam diterangi dengan sinar yang luar biasa, kejahatan meninggalkan hati
manusia, segala kekurangan dilengkapi, yang sakit menjadi sembuh, dewa
menebarkan bunga-bunga, dan lain sebagainya.
Setelah mendapatkan pencerahan yang sempurna tersebut, semula Sidharta
ragu apakah pencerahan yang telah diperolehnya itu dapat diajarkan kepada orang lain.
Ia kuatir bahwa orang lain akan menyalahgunakan ajarannya. Ketika sang Budha ini
ragu, maka terjadilah bencana alam, yaitu sungai tidak mengalir, burung-burung tidak
beterbangan, biji tanaman berhenti bertumbuh, dan lain sebagainya. Oleh karena itu
dewa Brahma meminta kepada sang Budha untuk mengajarkan apa yang telah
didapatkannya itu kepada manusia. Dari cerita ini terlihat koneksi atau persilangan
antara Hindu dan Budha. Jadi dewa Hindu, Brahma, merestui sang Budha untuk
memberitakan ajaran baru, yang ironisnya justru tidak sejalan dengan ajaran-ajaran
Hindu. Bahwa Hindu menjadi suatu agama yang teistis, tidak demikian dengan Budha
yang cenderung ateistis.

Sejarah Agama Budha


Sejarah agama Budha dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu mulai 6 SM hingga 3
SM, dan mulai 3 SM hingga 2 M.

Tahap Pertama (6 SM – 3 SM)


Tahap ini ditentukan oleh 2 muktamar besar, yaitu muktamar di Rajgraha pada
383 SM dan di Waisali pada 283 SM. Ketika Budha wafat pada 483 SM agaknya telah
ada banyak biara di sebelah timur laut India. Tidak ada orang yang dapat
menggantikan pengaruh sang Budha, dan yang tinggal hanyalah ajaran-ajarannya yang
pada waktu itu belum dibukukan. Dharma (ajaran) itu hanya tinggal dalam ingatan
para rahib saja, dan karena dianggap terlalu berat, maka muncullah tradisi-tradisi yang
justru meringankannya, karena dianggap bahwa toh sang Budha sudah tiada.

45
Persoalan ini menyebabkan pada 383 SM diadakan muktamar , seratus tahun sesudah
sang Budha memasuki nirwana. Muktamar ini diikuti oleh sekitar 500 orang rahib
dipimpin oleh Kasyapa Yang Agung. Ada 2 orang penting yang dianggap masih
mengingat seluruh ajaran sang Budha sendiri, yakni Upala yang mengenal Winaya
dan Ananda yang mengenal Sutra. Dalam muktamar ini diputuskan bahwa mereka
akan kembali memegang aturan-aturan yang diberikan oleh sang Budha sendiri.

Untuk sementara keputusan itu dapat diterima, namun demikian seratus tahun
kemudian persoalan muncul kembali. Para rahib dari Waisali melakukan 10
pelanggaran yang menyimpang dari ajaran Budha. Oleh karenanya kembali diadakan
sebuah muktamar yang hasilnya justru membawa perpecahan dalam budhisme.
Golongan yang lebih kecil yang tetap teguh memegang aturan-aturan Budha disebut
golongan Sthawirawada, sedang golongan yang lebih besar, yang mendukung adanya
perubahan-perubahan dinamakan Mahasamghika. Perpecahan disini ternyata
dibelakang hari menyebabkan perpecahan yang lebih besar, yaitu dengan terbentuknya
aliran Hinayana dan Mahayana.

Tahap Kedua (3 SM – 2 M)
Pada masa Asoka memerintah (269 - 233 SM), mula-mula ia memusuhi agama
Budha, namun demikian terjadilah “pertobatan” pada dirinya sehingga dibawah
pemerintahannya agama Budha berkembang dengan pesatnya hingga merambah
keluar dari India. Asoka adalah keturunan dari Chandragupta Maurya seorang raja di
India Utara penganut agama Jain yang wafat karena melaksanakan ritual keagamaan
yang ekstrim yaitu berpuasa hingga mati. Chandragupta menyerahkan tahta
kerajaannya kepada Bindusara yang kemudian memperluas wilayah kerajaannya
hingga ke suatu tempat yang disebut sebagai suatu wilayah diantara 2 lautan, yang
kemudian ditengarai adalah wilayah India bagian selatan yang terletak diantara Laut
Arab dan Teluk Benggala. Namun demikian Bindusara tidak berhasil menaklukkan
Kalinga, hingga akhirnya ia meninggal dunia dan kekuasaannya berpindah pada
anaknya Asoka. Pada masa ini, Asoka berhasil menaklukkan Kalinga di pantai timur
India dengan kejamnya. Dikisahkan penaklukkan itu membawa korban sampai ratusan
ribu jiwa, yang kemudian membuat Asoka muak dan akhirnya tidak lagi melakukan
invasi dengan cara peperangan seperti yang sebelumnya sering dilakukannya. Sejak
saat itu pemerintahannya berubah dan kelihatannya ia menghabiskan banyak
waktunya bukan untuk administrasi kenegaraan melainkan tenggelam dalam pencarian
akan dharma yang diperkenalkan oleh seorang wanita bernama Devi, seorang
pengikut Budha yang walaupun tidak pernah menikah dengannya tetapi melahirkan
dua orang anak baginya. Dalam pencariannya akan dharma, Asoka berkeputusan
untuk menghentikan kekerasan dalam kerajaannya, “tidak seorangpun dari putra-
putraku atau cucu-cucuku boleh berkeinginan untuk mendapatkan taklukan-taklukan
baru … kesenangan dalam Dharma harus menjadi kesenangan mereka secara
keseluruhan, karena ini bernilai di dunia ini maupun di akhirat.” Setelah kemudian
Asoka mengadakan muktamar di Pataliputra, ia mengutus anaknya Mahinda untuk
menjadi misionaris ke Srilangka, dan kemudian banyak mendukung misionaris-

46
misionaris lain untuk menyebarkan ajaran budha. Selain itu hubungan yang terjalin
antara dunia lautan tengah dan dunia timur akibat kampanye militer Iskandar,
berdirinya kemaharajaan Kaniska, Seleucid dan Romawi telah menyebabkan
perdagangan melejit dan demikian pula dengan penyebaran Budhisme.
Namun demikian pada jaman kejayaan agama Budha ini ironisnya disertai
dengan perselisihan dan perpecahan. Ada muncul banyak mazhab yang berlainan
dalam hal praktika upacara keagamaan dan bahkan ajaran-ajaran pokoknya. Kembali
pada 249 SM diadakan muktamar di Pataliputra oleh Asoka yang menetapkan kitab
Abbidharma Pitaka dan beberapa kitab lainnya sebagai dasar pengajaran agama Budha.
Namun demikian perpecahan terus berlangsung, hingga pada awal abad ke-2 di
Kasmir diadakan muktamar, yaitu pada masa pemerintahan raja Kaniska. Tetapi
muktamar ini ternyata hanya diikuti oleh pengikut Mahayana dari India Utara, dan
disinilah perpecahan antara Hinayana dan Mahayana digariskan untuk selamanya.
Didalam agama Budha terdapat 2 mazhab utama, yakni Hinayana dan Mahayana.
Sedang dalam Hinayana sendiri terdapat aliran Theravada yang kemudian
berkembang di Langka, Burma dan Siam (Thailand), dan Sarwastiwada yang
kemudian berkembang di Mathura, Gandara dan Kasmir. Mahayana sendiri dipenuhi
banyak aliran, yang maing-masing menekankan salah satu dari banyak jalan menuju
kelepasan. Pada sekitar 150 M, berdiri aliran Madhyamika oleh Nagarjuna, yang
menyatakan bahwa kelepasan dapat dicapai melalui hikmat, dengan merenungkan
Sunyata (kekosongan). Pada sekitar 400 M, aliran Yogacara didirikan oleh Asanga
dipengaruhi secara kental oleh falsafah Samkhya. Dan pada sekitar 500 M, agama ini
dipengaruhi oleh aliran Tantra yang berkembang hingga ke Nepal, Tibet, Jepang, Jawa
dan Sumatra.

47
Persoalan Historisitas
Sedemikian jauh, cerita tentang kehidupan sang Budha ini dipertanyakan
historisitasnya oleh beberapa orang. Ada beberapa pendapat yang mewakili opini
orang banyak, yakni :
1. E. Senart (1875) berpendapat bahwa tiap peristiwa luar biasa yang terjadi
didalam cerita tersebut harus dipandang sebagai ungkapan yang
mengungkapkan mitos yang lebih tua. Kesimpulan yang diambil Senart adalah
bahwa cerita tentang kehidupan Budha Gautama ini adalah mitos tentang
matahari, tidak ada sesuatupun yang secara historis dapat dibuktikan terjadi.

48
Menurutnya Budha sebenarnya tidak pernah ada secara nyata, seperti halnya
Kresna dan tokoh-tokoh mitos lainnya.
2. H. Oldenberg (1881), sebaliknya berpendapat bahwa cerita tentang Budha
disesuaikan dengan keadaan pada waktu itu. Oleh karena itu jika orang ingin
mengetahui kebenarannya, segala cerita yang adikodrati itu harus disingkirkan,
dan sisa cerita itulah yang mendekati kebenarannya. Oldenberg berkesimpulan
bahwa Budha sebenarnya ada, hanya saja tidak sedramatis seperti apa yang
diceritakan. Ini semacam proses demitologisasi, yaitu proses menghilangkan
hal-hal yang adi kodrati dalam suatu cerita agar dapat diterima kebenarannya
oleh orang-orang modern yang tidak mempercayai adanya hal-hal yang
supranatural. Sisa cerita yang telah ditiadakan supranaturalitasnya inilah yang
diakui kebenarannya.
3. H. Kern mempersatukan kedua pendapat itu tadi dengan mengakui bahwa
Budha memang pernah ada, tetapi kisahnya memang diliputi oleh suatu mitos
tentang matahari.

Pada masa kini umumnya para ahli mengakui bahwa Budha Gautama memang
pernah ada, namun harus diakui bahwa kisah tentangnya diliputi oleh mitologi. Bagi
para pengikut Budha sendiri, mereka tidak terlalu mempermasalahkan kisahnya,
karena yang penting bagi mereka adalah ide atau filosofinya.

49
BAB 2
AJARAN BUDHA

Ajaran agama Budha dirangkumkan kedalam apa yang disebut sebagai


Triratna (tiga batu permata), yaitu Budha, Dharma dan Sangha.

Ajaran Tentang Budha


Dalam agama budha, Sang budha bukanlah Tuhan melainkan “Dia yang sudah
sadar”. Dengan demikian setiap orang sebenarnya dapat menjadi Budha. Bahkan
dikatakan bahwa sebenarnya setiap orang di dunia ini sudah memiliki benih budha
dalam dirinya. Apabila seorang dapat membangkitkan kesadaran dan pikiran sucinya
(bodhicitta) maka ia akan menjadi seorang Budha.
Dengan demikian Budha bukanlah nama, melainkan gelar, dan bukan hanya
merujuk pada Budha Sakyamuni (Sidharta Gautama) saja. Oleh karenanya bagi
pemeluk agama Budha, kehidupan sang Budha Sakyamuni sebagai manusia Sidharta
Gautama tidaklah penting. Menurut keyakinan Budhis, sebelum jaman yang sekarang
ini telah ada jaman terdahulu yang tak terbilang banyaknya. Tiap jaman memiliki
Budhanya sendiri. Oleh karena itu menurut keyakinan Budhis ada banyak Budha,
yaitu orang yang sudah mendapatkan pencerahan Budhi. Dikatakan bahwa sebelum
Budha Gautama sudah ada 24 budha lain yang mendahuluinya dan bahkan lebih
banyak lagi.
Tentang Budha Gautama, walaupun ia dilahirkan pada 563 SM, akan tetapi
diyakini bahwa pada kelahirannya itu bukan pertama kalinya Gautama datang
kedalam dunia. Sebelum ia dilahirkan sebagai Sidharta ia telah hidup berjuta-juta abad
dengan nama Sumedha. Sama dengan nasib setiap manusia, ia mengalami kelahiran
kembali berkali-kali. Ia pernah dilahirkan sebagai binatang, manusia bahkan sebagai
dewa. Kesempurnaan yang dicapai oleh Gautama ini tidak mungkin dicapai hanya
pada satu masa kehidupan saja.
Selanjutnya tentang tokoh Budha diajarkan bahwa tokoh ini berasal dari satu
asas rohani yaitu suatu tabiat kebudhaan. Tabiat ini tersembunyi dalam diri setiap
orang yang telah menjadi Budha, termasuk Sidharta Gautama. Tabiat kebudhaan ini
mengilhami Sidharta untuk memahami kebenaran dan mengajarkannya. Ketika Budha
dipandang sebagai asas rohani, maka ia disebut sebagai Tathagata.
Didalam diri manusia Sidharta ini juga terdapat tubuh yang lain, yang
tersembunyi dan tak kasat mata kecuali bagi orang yang beriman, yaitu yang disebut
sebagai tubuh kegirangan. Tubuh yang dianggap mulia ini tidaklah menderita
sekalipun mengenakan tubuh jasmani yang terbatas.

50
Ajaran Tentang Dharma
Yang disebut dharma ialah doktrin atau pokok ajaran. Inti ajaran agama Budha
dirumuskan didalam empat kebenaran yang mulia (aryasatyani) yaitu ajaran Budha
Gautama setelah ia mendapat pencerahan. Aryasatyani atau kebenaran yang mulia itu
terdiri dari empat kata, yaitu dukha, samudaya, nirodha dan marga.
Yang disebut dukha ialah penderitaan. Hidup adalah penderitaan, demikian
pula dengan kelahiran, umur tua, sakit, umur tua, disatukan dengan yang tidak dikasihi,
tidak mencapai yang diinginkan, dan lain sebagainya. Singkatnya kehidupan di dunia
ini adalah penderitaan.

Yang dimaksud dengan samudaya adalah sebab. Penderitaan ada sebabnya.


Yang menyebabkan orang dilahirkan kembali adalah keinginan pada hidup disertai
nafsu untuk mencari kepuasan disana-sini, yaitu kehausan pada kesenangan,
kekuasaan, dan lain lain.
Yang dimaksud dengan nirodha adalah pemadaman. Pemadaman kesengsaraan
terjadi dengan penghapusan, pembuangan, penyangkalan, dan pemisahan dari
keinginan secara sempurna dengan tidak memberi tempat sedikitpun kepadanya.
Yang dimaksud dengan marga adalah jalan kelepasan atau pemadaman
penderitaan, yang terbagi menjadi delapan yaitu percaya, maksud, kata-kata,
perbuatan, hidup, usaha, ingatan dan semadi yang benar.
Pokok ajaran Budha Gautama ialah hidup adalah penderitaan. Dan penderitaan
pasti akan dialami oleh setiap manusia. Kesenangan dan kebahagiaan yang dialami
manusiapun sebenarnya juga menjadi sumber penderitaan, sebab tidak ada kesenangan
yang kekal, sehingga ketika kesusahan tiba dan diperbandingkan dengan kesenangan
yang pernah dirasakan, maka akan semakin terasa penderitaannya. Kebahagiaan juga
terikat pada sumber kebahagiaan itu sendiri. Padahal sumber kesenangan itu berada
diluar diri manusia dan diluar kendali manusia, sehingga membuat manusia takut
kehilangan kebahagiaannya. Seandainya didunia tidak ada penderitaan, maka Budha
tidak akan menjelma di dunia.
Penderitaan ini disebabkan karena kehausan. Untuk menerangkan tentang hal
ini diajarkan pratitya samutpada, yang artinya adalah pokok permulaan yang
bergantungan. Pokok permulaan sesuatu bergantung pada pokok permulaan yang
mendahuluinya, dan bergantung kepada yang mendahuluinya lagi, dan seterusnya.
Diajarkan ada sebanyak 12 pokok permulaan, sebagai berikut: menjadi tua dan mati
(jaramaranam) bergantung pada kelahiran (jati), pada eksistensi yang lampau (bhawa),
pada pengikatan makan minum dan sebagainya (upadana), pada kehausan (tanha),
pada emosi atau rencana (wedana), pada sentuhan/kontak (sparsa), pada indra dengan
sasarannya (sadayatana), pada roh dan benda atau keadaan lahir dan batin (namarupa),
pada kesadaran (wijuana), penafsiran atau penggambaran yang salah (sanskara), pada
ketidaktahuan (awidya). Ketidaktahuan ini adalah semacam ketidaktahuan yang
kosmis, yang menjadikan orang dikaburkan pemahamannya. Ketidaktahuan ini adalah

51
tentang “tabiat” alam semesta yang memiliki 3 ciri, yakni bahwa alam semesta penuh
dengan penderitaan (dukha), bahwa alam semesta adalah fana (anitya/anicca), dan
bahwa tiada jiwa didalam dunia ini (anatman/anatta).

Anitya (Annica)
Kata ini diterjemahkan menjadi tidak kekal. Karenanya doktrin ini
mengajarkan bahwa segala sesuatu didalam dunia ini tidak ada yang kekal. Semuanya
adalah fana. Dalam hal ini ajaran Budha berlawanan dengan Hindu. Jika Hindu
mengajarkan tentang adanya samsara yang dapat dikatakan kekal, tidak demikian
dengan Budha. Menurut Budha, hidup adalah suatu rentetan peristiwa yang terjadi
untuk sesaat lamanya dan kemudian berlalu. Diibaratkan sebuah aliran sungai yang
tidak pernah berhenti karena air terus mengalir. Setiap saat ada aliran baru yang
melintas di suatu titik tertentu. Tidak pernah ada air sungai yang terus berhenti di
suatu tempat yang sama. Demikianlah hidup itu terus mengalir tanpa awal, tanpa
sebab pertama dan tanpa akhir.

Anatman (Anatta)
Kata anatman berarti tiada jiwa. Ajaran ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran
anitya yang mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu yang tidak berubah. Oleh karenanya
jika tidak ada sesuatu yang tidak berubah maka, juga tiada jiwa yang kekal. Ajaran ini
mengajarkan bahwa manusia sebenarnya tidak berjiwa. Manusia hanyalah merupakan
suatu kelompok yang terdiri dari unsur-unsur jasmani dan rohani. Didalamnya tidak
ada suatu pribadi yang tetap. Keadaan mental manusia dianggap sebagai kumpulan
gejala dimana dibelakangnya tidak terdapat sebuah ego. Kelompok unsur-unsur hidup
yang sadar itu diungkapkan sebagai lima skandha (suatu kesatuan yang terdiri dari
lima bagian). Kelima skandha (tonggak) itu adalah rupa, wedana, samjna, samskara
dan wijnana. Rupa adalah segala yang berkaitan dengan tubuh. Wedana adalah
perasaan yang menyenangkan, yang tidak menyenangkan dan yang berada diantaranya.
Samjna adalah pengamatan. Sedang samskara sangatlah kompleks dimana didalamnya
mengandung kehendak, keinginan, dan sebagainya yang menjadikan skandha ini dapat
menyusun gambaran atau khayalan dari apa yang diamati. Sedang wijnana adalah
kesadaran. Yang disebut jiwa adalah kelima skandha itu secara bersamaan atau satu
persatu. Cara lain untuk mengungkapkan kelompok unsur hidup yang sadar itu adalah
diungkapkan dengan sebutan nama rupa . Yang dimaksud dengan nama adalah
tabiat manusianya, sedang rupa adalah jasmaniahnya.

Karma
Agama Budha juga mengajarkan bahwa Karma menyebabkan kelahiran
kembali. Tetapi yang dilahirkan kembali bukanlah “aku” sebab tidak ada “aku” yang
tetap. Yang dilahirkan kembali bukanlah pribadi manusia melainkan sifat atau
wataknya. Hal ini dapat diumpamakan sebagai bola biliar yang meluncur mengenai
bola yang lain. Bola yang pertama akan terhenti ketika bola yang kedua terdorong dan
bergerak. Jadi gerakan bola kedua tadi dikatakan bukanlah suatu gerak baru.
Demikianlah kelahiran kembali adalah perpindahan tenaga yang terus menerus

52
melalui bentuk-bentuk yang tiada batasnya. Oleh karenanya yang dilahirkan kembali
bukanlah pribadi manusia melainkan sifat-sifat atau watak-wataknya. Ajaran ini
meneguhkan bahwa suatu perbuatan tertentu diikuti oleh akibatnya. Tiap perbuatan
ada buahnya. Perbuatan-perbuatan itu di sepanjang hidup dikumpulkan sebagai watak
yang kelak dalam kehidupan berikutnya akan menentukan keadaan seseorang. Orang
akan terbaring dalam tempat tidur yang telah dibuatnya sendiri. Itulah karma.

Jalan Kelepasan
Bagian aryasatyani (kebenaran mulia) yang ketiga mengajarkan tentang
kelepasan yang tercapai dari pemadaman keinginan (nirodha), dan bagian yang
keempat adalah marga yaitu kelepasan, yang merupakan hasil dari pemadaman
keinginan itu. Agar orang dapat lepas dari penderitaan, ia harus melalui jalan yang
terdiri dari 8 tingkatan sbb:

Percaya yang benar Sraddha/Iman


Maksud yang benar
Kata-kata yang benar
Perbuatan yang benar Sila
Hidup yang benar
Usaha yang benar
Ingatan yang benar
Semadi yang benar Semadi

Dalam tahap pertama yaitu percaya yang benar, terdiri dari Percaya dan menyerahkan
diri kepada sang Budha sebagai guru yang dipercaya/diimani; Percaya kepada ajaran
Budha atau Dharma sebagai yang membawanya kepada kelepasan; Percaya serta
menyerahkan diri kepada jemaat (sangha) sebagai jalan yang harus dilaluinya.

Sila perlu sekali bagi persiapan Semadi. Untuk mencapai kelepasan belum cukup
seseorang hanya memiliki percaya yang benar, ia juga harus memiliki moralitas yang
tinggi yang diajarkan melalui Sila ini.

Setelah kehidupan bermoralitas tinggi itu tercapai, maka seseorang baru dapat masuk
ke jalan yang terakhir yaitu Semadi, yang terdiri dari upacara persiapan dan semadi itu
sendiri. Dalam persiapan semadi orang harus berupaya agar perhatiannya tidak sampai
terpecah, dengan jalan perenungan terhadap:
1. Makan minum membawa kesusahan
2. Tubuh manusia terdiri dari 4 anasir (bumi, air, api dan angin) sehingga pada
hakekatnya tubuh manusia itu sama dengan bangkai binatang
3. Jenazah manusia yang tidak sempurna, demikian pula tubuh yang hidup pada
hakekatnya sama dengan jenazah itu sendiri

53
Jika seseorang sudah merenungkan ketiga hal tersebut, ia dapat memulai Semadi
dengan mengambil duduk di tempat yang sunyi, mengatur nafasnya dan merenungkan
4 bhawana. Yaitu:

1. Metta, persahabatan yang universal


2. Karuna, belas kasih yang universal
3. Mudita, kesenangan dalam keuntungan dan kesenangan akan segala sesuatu
4. Uphakka, tidak tergerak oleh apa saja yang menguntungkan diri sendiri
Selesai melalui semadi tahap awal diatas, kemudian dilanjutkan dengan 4 tingkatan
selanjutnya:

1. Namarupa, memusatkan pikiran pada suatu sasaran untuk memahami lahir dan
batinnya
2. Sukha, segala akal harus dipusatkan pada sasaran itu yang akhirnya
membuatnya menjadi girang (sukha)
3. Sesudah itu ia harus melepaskan rohnya kepada sasaran itu, menjadi satu
dengannya untuk mendapatkan damai batiniah. Sekalipun ia masih melihat
sasaran itu, ia tidak lagi terpengaruh olehnya, kegirangan memudar, dan ia
mendapatkan ketenangan
4. Sukha dan Dukha kesemuanya lenyap, hatinya disucikan

Demikianlah seseorang dapat sampai kepada kelepasan, yaitu kelepasan dari


penderitaan. Rupa-rupa dan rangkaian jalan diatas, dapat diringkas menjadi 4
tingkatan saja, yang juga sering disebut sebagai 4 Pangkat. Masing-masing tingkatan
ditandai oleh pematahan ikatan-ikatan seseorang terhadap keduniawian.
1. Srotapana atau pertobatan, seseorang sudah ada pada jalur yang benar, yaitu
kebaikan. Pada tingkatan ini orang sudah berlindung pada Budha, Dharma dan
Sangha, serta mengakui kebenaran-kebenaran dalam aryasatyani. Ikatan-ikatan
yang dipatahkan pada tingkatan ini adalah egoisme, hal-hal yang berkaitan
dengan ritual dan keraguan hati pada sang Budha. Didalam tingkatan ini orang
sampai pada pengertian yang benar tapi belum terlepas dari kenajisan,
sehingga hidupnya masih harus dilahirkan kembali sebanyak 7 kali sebagai
manusia dan dewa.
2. Sakrdagamin, yaitu tingkatan orang yang masih harus dilahirkan kembali
sekali lagi, dan sesudahnya ia akan mencapai kelepasan sempurna. Ikatan yang
dipatahkan pada tingkatan ini ialah hawa nafsu (kama) dan kebencian.
3. Anagamin, yaitu tingkatan seseorang tidak lagi dilahirkan kembali dan yang
sudah mendapat kelepasan dalam hidup yang sedang dijalaninya. Segala sisa
terahir dari hawa nafsu dan kebencian ditiadakan.
4. Arhat, yaitu tingkatan orang yang sudah bebas dari segala keinginan untuk
dilahirkan kembali, baik didalam dunia yang berbentuk, maupun didalam
dunia tak berbentuk. Ia juga sudah bebas dari segala ketinggian hati, kebenaran
diri dan ketidaktahuan. Dalam tingkatan ini dikatakan seseorang telah
mencapai nirwana.

54
Ajaran tentang Nirwana
Kelepasan didalam agama Budha dinyatakan dalam berbagai macam ungkapan,
seperti wimaksa atau wimukti yang berarti keselamatan atau kelepasan. Namun yang
paling terkenal adalah Nirvana/Nirwana. Secara harafiah Nirwana memiliki arti
pemadaman atau pendinginan. Yang dipadamkan dalam hal ini adalah api hawa nafsu,
kebencian, dan lain sebagainya. Namun demikian sukar sekali untuk merumuskan
Nirwana. Kitab-kitab Budha lainnya juga mengidentifikasi Nirwana sebagai keadaan
bahagia, dimana segala samskara ditindas secara sempurna, segala skandha dilarutkan,
segala keinginan ditiadakan, demikian pula segala sebab, sehingga didalam Nirwana
seseorang mengalami keadaan yang penuh damai. Ada juga yang mengatakan bahwa
Nirwana adalah keadaan dimana segala ketidaktenangan hidup sudah berakhir,
sehingga memunculkan kebahagiaan yang pasti, atau juga dianggap sebagai keadaan
yang jauh lebih baik dari segala keadaan di dunia.
Dalam pengajaran Budha, seseorang dapat mencapai Nirwana dalam kondisi
hidup, seperti halnya Budha Gautama yang mencapai Nirwana dalam kehidupannya.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa meskipun seseorang telah mendapatkan
keselamatan, ia masih terikat dengan kematian. Budha Gautama sendiri masih
menderita sakit dan wafat setelah ia mengalami pencerahan. Oleh karena itu Nirwana
dibedakan menjadi 2 macam, sbb:
1. Upadhisesa, adalah status orang yang telah mencapai Nirwana, tetapi
kehidupan lahiriahnya masih terus berjalan, dan
2. Anupadhisesa, adalah status orang yang mendapat kelepasan yang kehidupan
lahiriahnya telah berakhir. Jadi kondisi anupadhisesa ini dicapai setelah
kematian lahiriah setelah pencerahan tercapai.

Ajaran tentang Sangha


Pengikut Budha dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu para biksu dan kaum
awam. Inti masyarakat Budha dalam arti yang sebenarnya adalah hanya terdiri dari
para rahib, karena hanya dalam kehidupan rahiblah dapat diciptakan kondisi untuk
mencapai tujuan hidup yang tertinggi. Seluruh persekutuan para rahib inilah yang
disebut sebagai Sangha. Hidup kerahiban diatur dalam kitab Winaya Pitaka. Dari kitab
ini dapat diketahui bahwa hidup para rahib ditandai dengan 3 hal, yaitu kemiskinan,
hidup membujang dan ahimsa (hidup tanpa kekerasan), yang dapat dijelaskan sbb:

1. Hidup dalam kemiskinan. Seorang rahib tidak diperkenankan memiliki sesuatu


kecuali jubahnya, tempurung untuk mengemis, sebuah jarum untuk menjarumi
jubahnya, sebuah tasbih, pisau cukur untuk mencukur rambutnya, dan
penyaring air untuk menyaring air kotor yang diminumnya. Semula para rahib
diharuskan hidup tanpa rumah (tanpa tempat berlindung yang tetap), namun
kemudian mereka diperkenankan berkumpul di biara. Makanan mereka harus
didapat dari mengemis, dan untuk itulah mereka memiliki tempurung untuk

55
mengemis. Didalam sistem ajaran Budha , mereka harus hidup mengemis. Dan
bagi mereka mengemis dapat dianggap sebagai sumber banyak kebajikan.
Dengan mengemis mereka dapat memberi kesempatan bagi orang awam untuk
berbuat kebaikan. Melalui mengemis mereka belajar untuk menjadi rendah hati,
sabar dan tidak mudah putus asa, dan sebagainya.
2. Seorang rahib harus hidup membujang dan tidak diperkenankan berhubungan
dengan wanita. Hubungan seks dianggap sebagai dosa besar dan dapat
menyebabkan seorang rahib dikeluarkan dari sangha.
3. Seorang rahib harus hidup dengan ahimsa, tanpa kekerasan. Dalam prakteknya
ia tidak diperbolehkan membunuh atau melukai makhluk lain.
Kesusilaan rahib dicantumkan dalam dasasila atau sepuluh larangan yaitu
larangan untuk membunuh, mencuri, hidup mesum, berdusta, minum minuman keras,
makan pada waktu terlarang, mengunjungi tempat keramaian duniawi, bersolek, tidur
pada tempat tidur yang enak dan menerima hadiah. Siapa saja dapat menjadi rahib,
baik ia lelaki maupun perempuan, asal ia tidak dikuasai oleh orang lain, misalnya
seorang serdadu, orang yang berutang, seorang budak, belum cukup umur dan lain
sebagainya.
Pengikut Budha yang berikutnya adalah kaum awam. Mereka adalah orang-
orang yang mengakui Budha sebagai pemimpin keagamaannya, menerima ajarannya,
namun tetap hidup dalam masyarakat dengan berkeluarga. Pada hakekatnya kaum
awam ini tidak dapat mencapai nirwana didalam masa hidupnya. Sekalipun demikian
kedudukan mereka tetap penting. Mereka sudah berada pada awal jalan menuju
kelepasan karena mereka telah percaya pada Budha dan ajarannya. Sekalipun mereka
belum bisa mendapat pahala yang tertinggi, tetapi mereka mendapatkan pahalanya
dari bersedekah baik kepada sesamanya maupun kepada para rahib. Mereka juga dapat
melaksanakan pancasila atau lima larangan awal seperti yang berlaku bagi para rahib.
Sekalipun kesemua perbuatan baik mereka itu belum dapat membawa mereka kepada
nirwana, tetapi dapat menjadikan mereka dilahirkan kembali didalam dunia yang lebih
baik daripada yang sekarang mereka alami.

56
BAB 3
ALIRAN-ALIRAN UTAMA BUDHISME

Seperti diuraikan sebelumnya, agama Budha mulai lahir sejak tahun 500 SM
atau sekitar abad ke 6 SM. Pada masa ini terjadi krisis politik di India. Ada banyak
bangsa asing yang memasuki wilayah India yang menyebabkan terjadinya instabilitas
keamanan. Seperti misalnya pada abad 6 SM raja Darius dari Persia memasuki bagian
barat India dan menjadikannya salah satu propinsi Persia dibawah taklukkannya. Ada
banyak kemerosotan akhlak kesusilaan, spiritualitas dan keagamaan pada abad-abad
ini. Tetapi karena tekanan yang kuat, maka orang-orang yang sakit hatinya tidak dapat
mengekspresikannya keluar, melainkan kedalam diri sendiri, kepada jiwa dan
perasaan mereka. Kepercayaan terhadap kesanggupan dewa-dewa melindungi mereka
telah hilang, sehingga muncullah orang-orang yang ingin memperbaharui keadaan
melalui berbagai pemikiran yang filsafati. Orang-orang penting dalam masa ini, salah
satunya adalah Sidharta Gautama yang belakangan dikenal sebagai sang Budha.
Agama Budha sebenarnya adalah agama yang tidak bertuhan (ateistis). Mereka
menganggap setiap manusia akan mencapai kondisi sebagai dewa-dewa sendiri
melalui proses kehidupan yang bereinkarnasi. Pemikiran ini sebenarnya mengadopsi
pemikiran dari agama Hindu Upanisad. Aliran Budha dan Jain yang bersifat ateistis
ini berlawanan dengan beberapa aliran teistis yang ada pada masa itu. Selain itu juga
muncul golongan lain yang beraliran filsafati seperti Samkhya dan Yoga.

Aliran Samkhya & Yoga (Budhisme Awal)


Menurut aliran ini, pada mulanya ada dua zat yang ada tanpa dijadikan, yaitu
purusa (asas rohani) dan prakrti (asas bendani). Prakrti adalah rupa pertama dari
segala yang ada, dan didalamnya ada tiga daya, yakni:
1. Sattwa, yaitu tenaga atau daya terang yang membawa kegirangan, kebahagiaan,
dan sebagainya.
2. Rajas, yaitu tenaga penggerak yang menimbulkan kepahitan, kepedihan, dan
lain-lain.
3. Tamas, yaitu tenaga yang menentang aktifitas, menimbulkan mati rasa, masa
bodoh, lamban, pemalas, dan sebagainya.
Ketika purusa dan prakrti bersatu, maka akan menimbulkan perkembangan
dalam prakrti. Jika perkembangan ini dicermati, maka nampaklah bahwa yang
diperhatikan adalah perkembangan yang terdapat pada manusia. Hal ini disebabkan
karena falsafah India sebenarnya adalah berpusat pada ajaran kelepasan, yang
karenanya segala perhatian dicurahkan pada manusia (anthroposentris). Purusa
nampaknya terikat pada prakrti, walaupun kenyataannya ikatan itu adalah semu.
Ikatan itu muncul ketika terjadi hubungan yang terlalu erat antara purusa dengan alat-
alat batiniahnya. Jadi kelepasan adalah meniadakan keterikatan purusa pada prakrti.

57
Jalan kelepasan adalah pengetahuan, bukan sesuatu yang teoritis, tetapi pengetahuan
yang dicapai melalui praktik kebajikan, yoga, dan sebagainya. Dengannya manusia
tidak boleh mengarahkan perbuatannya pada dirinya sendiri. Hasil usaha ini adalah
bahwa orang akan dapat memisahkan purusa dari prakrti. Inilah kelepasan yang
membebaskan manusia dari kelahiran kembali.
Sedang Yoga pokok ajarannya serupa dengan samkhya. Ciri khasnya terletak
pada ajarannya tentang jalan kelepasan, yang dengannya manusia akan menang dari
keiginannya. Peniadaan rintangan-rintangan kelepasan dapat dibagi menjadi 4 bagian:
1. Persiapan etis atau persiapan di bidang kesusilaan, yang terdiri dari ahimsa
atau larangan membunuh/membenci apapun, larangan mencuri, berbuat
mesum, curang, kikir, dan secara positif harus bersih lahir batin dan berbakti
kepada “tuhan”.
2. Persiapan badani, yaitu orang harus menguasai gerak-gerik tubuh, menguasai
nafas hidupnya dan menguasai perasaannya. Dengan ini segala keadaan
jasmaniah seseorang harus dapat ditaklukkan untuk membawa pada
perenungan.
3. Merenungkan adalah orang harus memusatkan perhatiannya pada sesuatu
supaya menjadi tenang. Ketenangan ini akan membawa orang pada puncaknya
yakni memasuki semadi.
4. Semadi menghapuskan perasaan adanya identitas. Tubuh menjadi mati
terhadap rangsangan dari luar. Hanya sasaran yang direnungkan itulah yang
tinggal bersinar-sinar.
Aliran samkhya ini menyimpulkan jalan pemikiran jaman Brahmana yang
menjadikan manusia sebagai pusat segala sesuatu. Jika manusia adalah pusat segala
sesuatu, maka harus disimpulkan bahwa “tuhan” sebenarnya tidak ada. Didalam dunia
sebenarnya hanya ada perkembangan roh dan benda, purusa dan prakrti. Jalan
pemikiran yang demikian selanjutnya dikembangkan secara religius pada agama
Budha.
Dalam perkembangannya kemudian, terjadi perpecahan dalam agama Budha
menjadi 2 aliran besar yaitu Hinayana dan Mahayana. Esensi dari kedua aliran yang
muncul kemudian ini adalah sebagai berikut:

Aliran Hinayana
Dalam pokok ajarannya, Hinayana mewujudkan suatu perkembangan yang
logis dari dasar-dasar yang terdapat didalam kitab-kitab terdahulu. Ajaran-ajaran itu
dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1. Segala sesuatu bersifat fana serta hanya berada untuk sesaat saja, yang disebut
dharma. Oleh karenanya tidak ada sesuatu yang tetap keberadaannya. Tidak
ada “aku” yang berpikir, karena yang ada hanyalah pikiran. Tidak ada “aku”
yang merasa, karena yang ada hanyalah perasaan, dst.

58
2. Dharma-dharma tersebut adalah kenyataan atau realitas yang kecil dan pendek,
sebagai sebuah sebab akibat. Karena pengaliran dharma yang terus menerus
seperti aliran air di sungai, maka timbullah kesadaran “aku” yang palsu.
Seakan-akan terdapat adanya “aku”, namun ternyata itu hanyalah sekelompok
keberadaan pikiran, perasaan, dsb.
3. Tujuan hidup tertinggi adalah mencapai nirwana, tempat kesadaran ditiadakan.
Tetapi apa yang berada didalam nirwana itu tidak mendapatkan kejelasan.
4. Cita-cita yang tertinggi ialah menjadi arhat, yaitu orang-orang yang sudah
berhenti keinginannya, ketidaktahuannya, dan sebagainya, sehingga tidak lagi
takluk pada kelahiran kembali.

Aliran Mahayana
Dua hal yang menjadi kunci dalam ajaran Mahayana adalah Bodhisattwa dan
Sunyata. Secara harafiah Bodhisattwa berarti orang yang hakikat atau tabiatnya adalah
Bodhi (hikmat) yang sempurna. Mulanya bodhisattwa dipakai sebagai sebutan bagi
orang yang akan menjadi Budha, tetapi kemudian mengalami perubahan arti menjadi
orang yang sudah mendapatkan kelepasan dan mampu menjadikan benih pencerahan
tertanam pada diri orang lain. Karena kasihnya, maka segala kebajikannya
dipergunakan untuk menolong orang lain. Cita-cita tertinggi dalam aliran ini adalah
untuk menjadi bodhisattwa. Cita-cita ini berlainan dengan aliran hinayana yang hanya
berupaya mencapai pencerahan bagi dirinya sendiri saja (arhat), aliran Mahayana
walaupun telah mencapai nirwana, ia memilih jalan yang lebih panjang untuk dapat
memberitakannya pada orang lain, agar dunia dalam arti yang seluas-luasnya boleh
mendapatkan kesempatan untuk dapat mencapai nirwana pula. Didalam Mahayana ini
juga terdapat ajaran yang disebut sebagai pariwarta, yaitu bahwa kebajikan yang
diperoleh seseorang dapat dipergunakan bagi kepentingan orang lain. Jadi orang yang
mendapatkan pahala karena kebajikannya dapat menggunakan pahala itu untuk
kepentingan orang lain. Hal ini telah mengalami pergeseran dari ajaran agama Budha
kuno yang mengajarkan bahwa hidup seseorang terpisah dari hidup orang lain. Dan
didalam perjalanan hidupnya yang panjang itu, seorang bodhisattwa tidak akan
dilahirkan kembali dalam keadaan yang lebih buruk, demikian pula tidak harus
menyangkali keduniawian, sehingga ia boleh memiliki istri serta menikmati
kemewahan ataupun menggenggam kekuasaan.

Hal kedua yang menjadi ciri aliran Mahayana ini adalah ajaran tentang
Sunyata, yang artinya adalah kekosongan. Kosong (sunyata) berarti tidak ada yang
mendiami, oleh karena itu sunyata berarti tidak ada pribadi yang mendiami manusia.
Segala sesuatu adalah kosong, oleh karenanya tidak ada yang dapat diinginkan. Bukan
hanya dunia yang kosong, nirwana bahkan dharma-pun dikatakan kosong. Kebenaran
yang tertinggi adalah kosong.
Dalam perkembangannya, Mahayana mengalami berbagai pengaruh,
diantaranya adalah dari gerakan bakti dan aliran tantra. Bakti adalah penyembahan

59
pribadi yang berdasarkan kasih kepada dewa yang disembah yang digambarkan dalam
bentuk manusia. Dalam aliran Mahayana ini muncul ajaran tentang banyak Budha
yang menjadi tempat perlindungan pemeluknya, lain halnya dengan Hinayana yang
berlindung pada Triratna yaitu Budha, Dharma dan Sangha.
Ajaran tentang banyak Budha ini dijabarkan dari ajaran tentang lima skandha
(unsur yang menyusun hidup manusia), yaitu rupa (tubuh), wedana (perasaan), samjna
(pengamatan), samskara (kehendak) dan wijnana (kesadaran). Diajarkan bahwa Budha
sendiri terdiri dari lima skandha, dan tiap skandha adalah tokoh Budha yang disebut
Tathagata (Jina). Kelima Tathagata itu adalah Wairoscana (yang menerangi, yang
bersinar), Aksobhya (yang tenang tak terganggu), Ratnasambhawa (yang dilahirkan
dari permata), Amitabha (terang yang kekal) dan Amoghasiddhi (keuntungan yang tak
binasa). Para Tathagata ini berbeda dengan budha yang biasa, karena mereka
dipercaya sebagai Budha yang kekal dan tidak pernah menjadi manusia. Selain kelima
tathagata itu, karena pengaruh ajaran tantra, mahayana juga percaya pada Adhi Budha,
yaitu Budha yang pertama, yang tanpa asal, yang berada karena dirinya sendiri, yang
tak pernah nampak karena senantiasa berada didalam nirwana. Hakikat Adhi Budha
adalah terang yang murni yang timbul dari sunyata (kekosongan). Dari Adhi Budha
inilah mengalir keluar kelima tathagata tersebut atau yang juga dikenal dengan
sebutan para Dhyani Budha. Dengan daya pengetahuan dan permenungannya para
Dhyani Budha ini melahirkan lima bodhisattwa, dan lima bodhisattwa ini
memantulkan diri pada lima Budha dalam bentuk manusia, seperti sbb:

Dhyani Budha Bodhisattwa Manusia Budha


Wairocana (yang menerangi, Samanthabadra Krakucchanda
yang bersinar)
Aksobhya (yang tenang tak Wajrapani Kanakamuni
terganggu)
Ratnasambhawa (yang Ratnapani Kasyapa
dilahirkan dari permata)
Amitabha (terang yang kekal) Padmapani atau Sakyamuni
Awalokiteswara
Amoghasiddhi (keuntungan Wispapani Maitreya
yang tak binasa)

Para Dhyani Bodhisattwa ini adalah pencipta alam bendani. Dunia yang
mereka jadikan dapat binasa dan hingga kini tiga dunia telah binasa, dan sekarang
sedang didalam dunia yang keempat yang diciptakan oleh Awalokiteswara dan
Amitabha sebagai pelindungnya. Jadi masa ini masih ada dalam masa Budha Gautama
atau Sakyamuni sebagai perwujudan Awalokiteswara dalam bentuk manusia. Dan
Budha inilah yang sedang disembah oleh kaum Budha.
Kesatuan ajaran tentang Budha yang bermacam-macam itu didapatkan dalam
ajaran tentang tiga tubuh Budha (trikaya), yaitu Dharmakaya (tubuh kebahagiaan/
tubuh hakiki), Sambhogakaya (penjelmaan surgawi Dharmakaya) dan Nirmanakaya

60
(tubuh penampakan). Dari ketiganya, Dharmakaya yang adalah suatu asas jiwani,
yang meliputi segala sesuatu dan tak terselidiki, seringkali dipersonifikasi sebagai
Adhi Budha, yaitu Budha yang tertinggi. Sebagai Budha yang tertinggi, Dharmakaya
dipandang memiliki saktinya yakni Prajnaparamita yang dipersonifikasi sebagai
seorang dewi yang memiliki hikmat tertinggi (budhi) dan dianggap sebagai ibu Budha,
yang mengandung Budha dan menjadi sumber dari segala sesuatu yang ada, baik itu
jasmani maupun rohani. Dan sosok ini kemudian di negeri Cina dikenal sebagai Dewi
Kwan Im, bodhisattwa dari Amitabha.
Sedang Sambhogakaya merupakan penjelmaan surgawi dari Dharmakaya, yang maha
tahu, maha kuasa dan berada dimana-mana.
Dan Nirmanakaya adalah pantulan dari Sambhogakaya yang terwujud dalam diri
Sakyamuni atau Budha Gautama setelah ia mengalami pencerahan dan menjadi Budha.
Budha yang berfungsi sebagai dewa pada jaman ini adalah Amitabha (amida).

Aliran Theravada
Theravada secara harafiah berarti, "Ajaran Sesepuh" atau "Pengajaran Dahulu",
merupakan mazhab tertua Agama Buddha yang masih bertahan. Theravada
merupakan ajaran yang konservatif, dan secara menyeluruh merupakan ajaran terdekat
dengan Agama Buddha pada mulanya, dan selama berabad-abad menjadi aliran
budhisme yang dominan di Sri Lanka, Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand dan
Indonesia. Mazhab Theravada juga dijalankan oleh sebagian minoritas dari Barat
Daya Cina (oleh etnik Shan dan Tai), Vietnam (oleh Khmer Krom), Bangladesh (oleh
etnik group dari Barua, Chakma, dan Magh), Malaysia dan Indonesia, dan yang
belakangan ini mendapatkan lebih banyak popularitas di Singapura dan Negara Barat.
Saat ini, mazhab Theravada dari Agama Buddha mencapai lebih dari 100 juta
pengikut di seluruh dunia, dan dalam dekade terakhir ini mazhab Theravada telah
menanamkan akarnya di Negara Barat dan di India.

Catatan-catatan Theravadin mengenai asal-usul Theravāda menyebutkan


bahwa aliran ini menerima ajaran yang disepakati selama Konsili Buddha Ketiga di
bawah perlindungan Raja Asoka dari India, sekitar tahun 250 SM yang disebut
sebagai Vibhajjavada. Selama berabad-abad, para Theravadin Abhayagiri memelihara
hubungan erat dengan Buddhis India dan mengadopsi banyak ajaran baru dari India,
termasuk banyak unsur dari ajaran Mahāyāna, sedangkan Theravādin Jetavana
mengadopsi Mahāyāna pada tingkatan yang lebih rendah.
Theravada mengikuti konsep Vibhajjavada, yang secara harfiah berarti
“Pengajaran Analisis”. Doktrin ini mengatakan bahwa wawasan harus datang dari
pengalaman, penerapan pengetahuan, dan penalaran kritis umat. Namun, kitab suci
dari tradisi Theravada juga menekankan perhatian terhadap nasihat orang bijak,
mengingat nasihat tersebut dan evaluasi terhadap pengalaman yang dimiliki seseorang
menjadi dua uji yang dengannya amalan-amalan harus dinilai. Jalan Theravāda

61
dimulai dengan belajar, diikuti dengan pengamalan, yang berpuncak pada pencapaian
Nirwana. Konsep Sebab Akibat, atau Kausalitas, merupakan konsep kunci dalam
Theravada, dan demikian juga, dalam Buddhisme secara keseluruhan. Konsep ini
kemudian digunakan untuk mempertanyakan sifat penderitaan dan untuk menjelaskan
jalan keluar dari penderitaan itu, yaitu dengan menjauhi penyebab, akibat juga akan
hilang. Dari sini diajarkan jalan Buddha untuk mengakhiri penderitaan dan
keberadaan yaitu dalam ajaran tentang samsara dan karma.
Salah satu prinsip dasar Theravada disebut sebagai Empat Kebenaran Mulia,
yaitu yang dapat dipahami seperti sebagai berikut:

1. Dukkha; Duka atau Penderitaan. Dukkha bisa diklasifikasikan secara lebih luas
menjadi tiga kategori. Pertama, penderitaan yang melekat, atau penderitaan
yang dialami seseorang dalam semua kegiatan duniawi, apa yang diderita
seseorang dalam kehidupan sehari-hari: kelahiran, penuaan, penyakit, kematian,
kesedihan dan sebagainya. Kategori kedua dari penderitaan, disebut sebagai
Penderitaan karena Perubahan, menyiratkan bahwa banyak hal menjadikan
seseorang menderita karena ia melekatkan dirinya pada keadaan sesaat yang
dianggap “baik”; ketika keadaan itu berubah, maka hal itu menjadi penyebab
timbulnya penderitaan. Sedang dalam kategori yang ketiga, disebut Sankhara
Dukkha, merupakan dukkha yang paling halus. Makhluk menderita hanya
karena tidak menyadari bahwa mereka hanya merupakan himpunan identitas
yang tak pasti.

2. Dukkha Samudaya; Sebab Penderitaan. Pengidaman, yang membawa pada


Kelekatan dan Keterikatan, merupakan penyebab penderitaan. Secara formal,
ini disebut sebagai Tanha. Tanha ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga
dorongan naluriah. Kama Tanha merupakan Pengidaman terhadap setiap objek
indria yang menyenangkan (yang melibatkan penglihatan, suara, sentuhan, rasa,
bau dan perseptif-perseptif mental). Bhava Tanha merupakan Pengidaman
terhadap kelekatan pada proses-proses berkelanjutan, yang muncul dalam
berbagai bentuk, termasuk kerinduan terhadap eksistensi. Vibhava Tanha
merupakan Pengidaman untuk lepas dari suatu proses, yang mencakup non-
keberadaan dan yang menyebabkan kerinduan terhadap pemusnahan-diri.
3. Dukkha Nirodha; Berakhirnya Penderitaan. Seseorang tidak mungkin
mengatur seluruh dunia menurut seleranya guna menghilangkan penderitaan
dan berharap bahwa hal itu akan tetap demikian selamanya. Sebaliknya,
seseorang menyesuaikan pikiran yang dimilikinya melalui keterlepasan
sehingga Perubahan tersebut, dalam bentuk apapun, tidak berpengaruh pada
ketenangan pikirannya. Secara singkat dikatakan, Kebenaran Mulia ketiga
menyiratkan bahwa penghapusan terhadap penyebab (pengidaman)
menghilangkan hasil (penderitaan). Hal ini disiratkan dalam kutipan kitab suci
oleh Sang Buddha, ‘Apa pun yang bisa berasal dari suatu sebab, harus
dihilangkan dengan penghapusan penyebab tersebut’.

62
4. Dukkha Nirodha Gamini Patipada; Cara Menghentikan Penderitaan. Dukkha
Nirodha Gamini Patipada (jalan untuk bebas dari penderitaan): Ini merupakan
Jalan Mulia Beruas Delapan menuju kebebasan atau Nirwana. Jalan ini secara
kasar dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai right view
(pandangan benar), right intention (tujuan benar), right speech (ucapan benar),
right action (perbuatan benar), right livelihood (mata pencaharian benar), right
effort (usaha benar), right mindfulness (perhatian benar), dan right
concentration (konsentrasi benar).

Aliran Vajrayana
Aliran ini juga dikenal dengan nama Tantra Budhisme atau Tantrayana.
Vajrayana adalah ajaran yang berkembang dari ajaran Buddha Mahayana, dan berbeda
dalam hal praktik, bukan dalam hal filosofi.
Di beberapa negara (terutama di Asia), banyak sekali anggapan bahwa
Vajrayana merupakan ajaran mistik, penuh dengan kegaiban. Hal ini sebenarnya
tidaklah benar. Dalam Vajrayana, terdapat banyak sekali metode dalam berlatih.
Memang banyak sekali praktisi Vajrayana yang memiliki kemampuan luar biasa,
tetapi hal ini bukanlah sesuatu yang mistik. Hal ini sebenarnya merupakan hasil
samping dari latihan yang dilakukan, dan hal ini harus diabaikan. Seperti kata sang
Buddha, yang dapat menyelamatkan kita pada saat kematian adalah Dharma, bukanlah
kesaktian yang dimiliki seseorang. Sering kemampuan yang didapat ini menjadi
penghalang dalam mencapai tujuan utama, yaitu mencapai pencerahan. Hasil samping
berupa kemampuan (siddhi) ini sering akan meningkatkan kesombongan (ke-aku-an)
seseorang, yang sebenarnya justru harus dihilangkan, dan bukan merupakan sesuatu
yang harus dibanggakan. Namun sayang sekali, banyak orang yang berpandangan
salah, mereka mengagungkan kemampuan gaib yang dimiliki oleh seseorang, dan
mengabaikan Dharma yang mulia. Hal ini dapat terjadi karena adanya
kebodohan/ketidaktahuan (Moha). Sang Buddha sering berpesan kepada murid-murid-
Nya, bahwa mereka tidak boleh memperlihatkan kemampuan (siddhi) mereka, tanpa
suatu tujuan yang mulia. Demikian pula, para praktisi tinggi Vajrayana tidak pernah
menunjukkan kemampuan mereka hanya demi ego, ketenaran, kebanggaan, ataupun
materi. Para praktisi tingkat tinggi ini biasanya menunjukkan kemampuan pada murid-
murid terdekatnya saja, ataupun pada orang tertentu yang memiliki hubungan karma
dengannya, demi Dharma yang mulia, misalnya untuk menghapus selubung
kebodohan, ketidaktahuan, kekotoran batin, ataupun karena kurangnya devosi dalam
diri murid tersebut.
Menurut catatan, banyak sekali praktisi tinggi Vajrayana yang memiliki
kemampuan (siddhi) yang luar biasa, misalnya: menghidupkan kembali ikan yang
telah dimakan (Tilopa), terbang di angkasa (Milarepa), membalikkan arus Sungai
Gangga (Biwarpa), menahan matahari selama beberapa hari (Virupa), mencapai tubuh
pelangi (tubuh hilang tanpa bekas, hanya meninggalkan kuku dan rambut sebagai

63
bukti), berlari melebihi kecepatan kuda, mengubah batu jadi emas atau air jadi anggur,
memindahkan kesadaran seseorang ke alam suci Sukavati (yang dikenal dengan istilah
phowa), dapat meramalkan secara tepat waktu serta tempat kematian & kelahirannya
kembali (H. H. Karmapa), lidah dan jantung yang tidak terbakar ketika dikremasi,
terdapat banyaknya relik dari sisa kremasi, dll. Di dalam Vajrayana, semua hasil yang
kita peroleh dari latihan, haruslah disimpan serapi mungkin, bukan untuk diceritakan
pada orang lain. Sebagai pengecualian, seorang boleh mendiskusikan hal tersebut
dengan Gurunya, jika memang ada hal yang kurang dimengerti.
Oleh karena itu dalam ajaran Vajrayana, hubungan antara seorang Guru dan
seorang murid adalah amat penting. Seorang murid tidak akan pernah memperoleh
pencapaian tanpa bantuan seorang Guru yang berkualitas, karena Guru yang
berkualitas merupakan perwujudan dari Buddha (kebudhaan), Dharma (kebenaran),
dan Sangha (persaudaraan). Di dalam Vajrayana, seorang guru bisa saja merupakan
seorang Yogi (pertapa), seorang Lama (seorang guru Dharma dalam Buddhisme
Tibet), His Holliness (pimpinan Lama tertinggi), ataupun seorang Rinpoche (Lama
yang dapat mengatur reinkarnasinya sekehendak hati demi kepentingan orang lain).
Ajaran Vajrayana sering juga disebut dengan Praktik Rahasia, atau Kendaraan
Rahasia. Hal ini menggambarkan bahwa ketika seorang praktisi semakin
merahasiakan latihannya, maka ia akan semakin mendapatkan kemajuan pencapaian
dan berkah dari latihan yang ia lakukan. Semakin ia menceritakan tentang latihannya,
maka semakin sedikit berkah yang akan ia peroleh.

Selain itu dalam Vajrayana terdapat juga latihan Protektor/Pelindung Dharma,


latihan Channel, dan Cakra. Jika latihan ini dipublikasi, maka akan mengakibatkan
adanya salah tafsir dari arti latihan yang sebenarnya, yang banyak terjadi pada mereka
yang kurang percaya ataupun yang tidak mengerti. Sebagai contoh: Jika orang
mendengar tentang Buddha, maka dalam bayangan mereka Buddha digambarkan
sebagai sesuatu yang tenang, damai, dan indah. Namun beberapa penggambaran
Protektor terlihat murka/garang, walaupun sebenarnya Protektor adalah manifestasi
dari Buddha juga. Jika orang awam melihat akan hal ini, maka mereka akan mulai
mengkritik dan menyalahartikan ajaran Vajrayana, yang akan berakibat terjadinya
karma buruk dan tentu amat merugikan diri mereka sendiri. Oleh karena itu, dalam
latihan tingkat tinggi Vajrayana, latihan selalu harus dilakukan secara rahasia.

64
BAB 4
LEBIH JAUH TENTANG AJARAN BUDHISME

Setelah pada bab-bab sebelumnya disampaikan beberapa ajaran budhisme


yang mendasar, berikut lebih jauh tentang ajaran-ajaran dari agama Budha:

Ajaran Tentang Tuhan


Tak dapat dikatakan bahwa didalam ajaran agama Budha seperti yang tertulis
dalam kitab-kitab Pitaka terdapat ajaran tentang Tuhan. Tujuan hidup kaum Budha
bukanlah untuk kembali kepada asalnya yaitu Tuhan, melainkan untuk mencapai
Nirwana. Oleh karenanya banyak ahli agama yang tidak mau mengakui bahwa
Budhisme adalah suatu agama. Budhisme lebih menyerupai sebuah falsafah, yakni
usaha manusia untuk mencari kedamaian.
Namun demikian bila lebih dicermati, maka sebenarnya tidaklah demikian.
Memang tak ada gagasan tentang sang Pemberi Hukum, tetapi hukum, tata tertib,
karma maupun nilai-nilai moril tetaplah ada. Secara teoritis agama Budha tidak
mengakui adanya Tuhan, tetapi secara praktis agama ini merumuskan eksistensi
Tuhan walaupun secara samar-samar saja. Itulah sebabnya dalam perkembangannya
lebih lanjut, yang diwujudkan melalui aliran Mahayana muncullah tokoh Adhi Budha
yang tidak dapat dijelaskan secara gamblang siapakah tokoh ini sebenarnya. Adhi
Budha hanya dijelaskan sebagai Budha yang pertama, yang tanpa asal, yang berada
karena dirinya sendiri, yang tak pernah nampak karena senantiasa berada didalam
nirwana. Hakikat Adhi Budha adalah terang yang murni yang timbul dari sunyata
(kekosongan). Munculnya Adhi Budha ini tidak dipandang saling bertentangan
dengan ajaran-ajaran terdahulu karena memang dari sekian banyak kerumitan ajaran
Budha, terdapat latar belakang yang samar-samar tentang keberadaan Tuhan. Didalam
ajaran agama Budha, terlihat kerinduan manusia akan kelepasannya, dan mencari-cari
akan “Yang Tak Dilihatnya”. Bahkan secara ironis dikatakan bahwa Budha Gautama
sendiri sedang meraba-raba mencari “Yang Tak Jauh Daripadanya.” Jadi dapat
dikatakan bahwa Budhisme adalah sebuah agama yang manusianya sedang berusaha
mencari Tuhannya. Hanya saja Tuhan itu masih belum dan sukar untuk ditemukan
karena tokoh itu dikaburkan menjadi sesuatu yang tak berpribadi.

Ajaran Tentang Manusia


Ajaran tentang Tuhan sangat berkaitan dengan ajaran tentang manusia,
demikian pula sebaliknya. Hal ini nampak pula dalam agama Budha. Oleh karena
Tuhannya dikaburkan menjadi sedemikian abstrak, yaitu menjadi suasana yang tanpa
gerak, maka manusia dianggap sebagai suatu kelompok fungsi, tanpa pribadi, tanpa

65
tanggung jawab. Manusia berada dalam arus hidup yang terus menerus berubah.
Hidup itu adalah suatu bhawa, yaitu sesuatu yang terus menerus menjadi, setiap
saatnya. Setiap saat terbentuk suatu individu yang baru, yang berbeda dengan yang
mendahului atau yang mengikutinya. Sama seperti sebuah sungai yang mana aliran
airnya selalu bergerak walaupun tetap terlihat sebagai satu sungai yang sama. Namun
demikian anehnya manusia tetap diajarkan untuk mencapai kelepasan, seakan-akan ia
adalah individu yang utuh, bukannya individu yang muncul dan hilang dalam sekejap
digantikan individu lainnya. Bahkan Budha Gautama sendiri yang mengutamakan
pandangan ini tetap tidak dapat melepaskan diri dari pandangan tentang jiwa yang
tetap ada. Seperti halnya Tuhan dalam agama Budha nampak samar-samar dan tak
jelas, demikian pula pandangan tentang manusia juga sangat kabur. Contohnya jika
segala uraian tentang manusia disimpulkan secara konsekuen, maka harus dikatakan
bahwa manusia tidak memiliki tanggung jawab. Akan tetapi ajaran agama Budha
dipenuhi dengan tanggung jawab manusia. Seandainya tidak, maka manusia tidak
akan mencapai nirwana. Jadi siapakah manusia dalam agama Budha ???

Ajaran Tentang Iblis


Ironis sekali ketika Budhisme memiliki pengajaran tentang eksistensi iblis
tanpa benar-benar percaya akan eksistensi Tuhan. Dalam agama Budha, iblis disebut
dengan nama Mara. Mara inilah yang pernah menggoda dan menguji Sang Budha
dibawah pohon Bodhi sebelum berhasil mencapai pencerahan. Sebagaimana dalam
agama-agama semitik yang menyebutkan bahwa iblis berasal dari surga (malaikat
Lucifer), maka dalam agama Budha (terutama aliran Vajrayana) juga dikatakan bahwa
Mara ini juga berasal dari surga yaitu surga tingkat ke-6 (paranirmitavasavartin).
Bahkan gambaran wujud fisik dari iblis ini juga dijelaskan setinggi 4500 kaki (1400
meter) dan dapat hidup selama 9.216.000.000 tahun, ketika gambaran tentang neraka
itu sendiri tidak memiliki kejelasan.
Ada 4 jenis Mara, yaitu Mara Skandha (anggota tubuh/ panca indera), Mara
Kilesa (dosa, kebencian dan hawa nafsu), Mara Mrtyu (penyakit dan kematian), dan
Mara Devaputra (Mara Langit). Dua jenis Mara yang pertama adalah buatan manusia
yang juga dikenal sebagai Mara Pikiran dan Mara Egoisme, sehingga manusia dituntut
untuk bisa mengalahkannya. Sedang dua Mara yang selanjutnya datang dari luar diri
manusia. Karena Mara memiliki kemampuan tingkat tinggi dan berasal dari surga
tingkat ke-6, maka manusia biasa belum dapat mengalahkannya. Mara dikatakan
sebagai Bodhisatva tingkat tinggi yang datang untuk menguji sebelum seorang
manusia mendapatkan pencerahan dan menjadi Budha.Maka Mara juga dikatakan
datang dari Budha, bahkan merupakan penjelmaan dari Budha.

66
Ajaran Tentang Hari Kiamat
Tanda-tanda kiamat menurut Budha-Dhamma adalah saat timbulnya 5 macam
kemerosotan (kasaya) sebagai berikut:

1. Kemerosotan pandangan (ditthi sakaya) dimana aneka ragam gagasan dan


pandangan yang salah dan serba terbalik muncul di seluruh dunia
2. Kemerosotan hawa nafsu (kilesa kasaya) dimana manusia hanya mengejar
kesenangan sendiri dengan menghalalkan segala cara. Segala jenis perbuatan
tercela dan kejahatan merajalela di seluruh dunia
3. Kemerosotan kondisi manusia (sattva kasaya) dimana mayoritas manusia tidak
mendapatkan kepuasan batin dan kebahagiaan dalam kehidupan
4. Kemerosotan jangka kehidupan manusia (ayus kasaya), dimana jangka waktu
hidup/ usia manusia di muka bumi ini semakin menurun dari waktu ke waktu

5. Kemerosotan zaman dunia (kalpa kasaya) dimana peperangan, bencana alam,


wabah penyakit, gagal panen dan kelaparan melanda dunia ini. Lingkungan
hidup, ekosistem dan ekologi semakin rusak.
Namun demikian, ketika adharma (kejahatan) merajalela dan sebelum tibanya
hari kehancuran, akan datanglah Budha Maitreya yang akan menolong dan
menyelamatkan jutaan insan dan makhluk hidup. Saat ini Maitreya masih tinggal di
surga Tushita yaitu tempat tinggal para dewa/ bodhisattva yang sudah sempurna. Di
alam ini pulalah, Bakal Calon Buddha akan berdiam sebelum akhirnya memilih untuk
terlahir menjadi seorang manusia pada tempat, zaman dan status keluarga yang tepat
sesuai yang diinginkannya (untuk memberi kebaikan bagi orang lain).

67
BAB 5
AGAMA BUDHA DILUAR INDIA

Agama Budha tidak hanya berkembang di wilayah India saja, tetapi juga
merambah menuju negeri Cina, Jepang, Tibet dan bahkan jauh ke Nusantara.

Agama Budha di Cina


Pertama kalinya agama Budha masuk ke negeri Cina adalah pada masa
pemerintahan Kaisar Ming Di (58-76 M). Alkisah pada suatu malam Ming Di
bermimpi melihat dewa emas dilangit yang meminta untuk dihormati. Para
penasihatnya yang telah mendengar banyak dari para misionaris India dan para
pedagang India yang masuk ke Cina tentang Budhisme, percaya bahwa yang dilihat
Ming Di adalah Budha. Mendengar cerita ini Ming Di mengirim 18 orang ke India
untuk mempelajari lebih lanjut tentang Budha yang dipercayai muncul dalam
mimpinya itu. Menurut tradisi Cina, utusan Ming Di akhirnya kembali dengan
membawa Sutta (sutra) dalam 42 bagian, yang merupakan ungkapan-ungkapan Budha
yang disajikan dalam cara yang hampir sama dengan ajaran Konfusius. Ming Di yang
menyukai sutta ini kemudian mengadopsi pengajaran-pengajarannya, dan dimulailah
era agama Budha di negeri Cina. Proses pengadopsian ajaran-ajaran ini berjalan
perlahan namun pasti dan semakin meresap kedalam hati Ming Di dan diteruskan
kepada rakyatnya. Dengan demikian ajaran Budha masuk ke negeri Cina melalui
puncak tatanan sosial di Cina, yakni kaisarnya, dan kemudian berkembang ke bawah,
sehingga di Cina pada masa itu agama Budha adalah agama milik orang-orang yang
berpendidikan, berkuasa dan kaya raya. Setelah sekian lamanya agama Budha masuk
ke Cina, pada abad ke-6 dan ke-7 berkembang dengan begitu pesatnya dibawah
pemerintahan Kaisar Liang dan diteruskan di bawah panji-panji dinasti Tang (518-907
M).
Namun demikian pada tahun 845 timbullah penganiayaan terhadap para
pemeluk agama Budha, yang disebabkan karena iri hati orang-orang penganut
Taoisme dan penganut Konfusius. Semenjak itu perkembangan agama Budha di Cina
terhambat, dan agama Budha tidak pernah tercatat sebagai agama rakyat di Cina.

Ada 2 aliran yang berkembang di Cina, yakni aliran Ch’an yang


mengembangkan ajaran Prajnapramita beserta praktika spiritualitasnya melalui
yogacara. Aliran yang didirikan oleh Bodhidharma pada 527 M ini bersifat meditatif.
Inti ajarannya adalah bahwa keBudhaan tidak mungkin didapatkan melalui patung
atau kitab, sebab Budha berada dalam hati manusia. Kitab-kitab hanya berguna untuk
memimpin orang mengikuti ajaran Budha, tetapi kelepasan tidak dapat dicapai melalui
pembelajaran atas kitab-kitab tersebut. Pencarian akan jalan kelepasan inilah yang
menjadi pusat perhatian ajaran ini. Dikatakan bahwa kelepasan bisa didapat dari

68
segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran Budha dapat berada dalam burung
yang sedang bersiul, atau batu yang terletak di suatu tempat. Wajah alam semesta
adalah khotbah yang diucapkan oleh “Yang Tak Berjiwa.” Dan melalui mazhab inilah
mulai berkembang panteisme dalam agama Budha.
Aliran yang lain, yaitu mazhab Amida muncul pada tahun 650 M, yang
melakukan penyembahan kepada Amitabha. Kuan Im dihubungkan erat sekali dengan
pemujaan kepada Amitabha karena dianggap sebagai bodhisattwa-nya
(awalokiteswara). Kuan Im secara harafiah dapat diartikan “Ia yang melihat kebawah
mendengarkan suara/doa (Im).” Ia seringkali digambarkan sebagai seorang dewi yang
berada diatas gunung yang tinggi atau diatas awan dengan menggendong seorang anak.
Kuan Im dipuja untuk diminta pertolongannya dalam kesusahan atau ketika ingin
memiliki anak.

Agama Budha di Jepang


Agama Budha masuk ke Jepang pada abad ke-6 M. Alkisah seorang raja Korea
mengirimkan sebuah patung Budha yang terbuat dari emas dan perunggu, beberapa
kitab sutra dan alat-alat pemujaan kepada Kaisar Kimmei Tenno di Jepang, dan
memintanya untuk menerima agama Budha. Kaisar sendiri mencobanya, dan
meskipun pada awalnya ada tantangan yang hebat, tetapi kemudian dapat diterima dan
berkembang dengan baik. Sejak tahun 624 timbullah berbagai macam mazhab. Di
Jepang mazhab Ch’an dikenal sebagai mazhab Zen dan masuk di Jepang pada sekitar
tahun 1200 M. Aliran Amida sendiri mulai berkembang sesudah tahun 950 M.

Agama Budha di Tibet


Agama Budha memasuki wilayah Tibet pada abad 7 M dibawah pemerintahan
Raja Srong Btsan Dam Po. Agama ini berkembang karena pekerjaan seorang putra
raja India yang bernama Padma Sambhawa pada sekitar tahun 750 M. Semenjak itu
ada banyak pemuda Tibet yang dikirim ke India untuk mempelajari agama Budha, dan
sebaliknya ada banyak biksu terpelajar dari India didatangkan ke wilayah Tibet.
Pengikut Padma Sambhawa ini disebut sebagai Rnyin Ma Pa, yang artinya orang-
orang kuno. Aliran ini dikenal sebagai mazhab merah karena pengikutnya memakai
jubah berwarna merah.
Pada abad ke-13, di Tibet muncullah suatu pemerintahan imam. Kubilai Khan
yang pada waktu itu memerintah Tibet bertobat pada agama Budha. Hal ini terjadi
karena pekerjaan seorang kepala biara di Saskya, Tibet Barat. Maka kemudian kepala
biara ini diangkat oleh Kubilai Khan sebagai kepala atas semua sangha di Tibet ketika
ia sendiri ditahbiskan menjadi kaisar atas Cina. Demikianlah dimulai suatu
pemerintahan imam di Tibet.

69
Pada abad ke-15, suatu kelompok sangha yang dikenal sebagai aliran kuning
berkuasa. Kepalanya menjadi raja imam atas seluruh Tibet dengan gelar Lama. Pada
abad ke-17, Lama yang terbesar mendapat gelar kehormatan dari Kaisar Mancu
dengan sebutan Talai (Dalai) yang berarti samudra. Kewibawaannya diteguhkan dan
diperluas dengan dongeng-dongeng yang bersifat ilahi tentang dirinya sendiri. Ia
mendirikan istana biara di Bukit Merah yang terletak di Lhasa. Pergantian Dalai Lama
didasarkan atas ajaran kelahiran kembali yang terjadi secara simultan, yakni ketika
Dalai Lama wafat, maka bayi pertama yang lahir setelah wafatnya sang Lama disebut
sebagai titisan Dalai Lama.

70
BAGIAN 3
AGAMA HINDU DAN BUDHA
DI INDONESIA

71
BAB 1
LATAR BELAKANG

Pada sekitar abad ke-15 SM, nenek moyang bangsa Indonesia memasuki
wilayah Nusantara dari daratan Cina Selatan, dengan melewati 2 akses masuk, yaitu:
1. Dari arah utara melewati Jepang, Taiwan, Filipina, kemudian menyebar ke
Sulawesi, Indonesia Timur, Irian dan Melanesia.
2. Dari arah barat melewati Indo Cina, Siam, Malaya, serta menyebar ke
Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
Sedang kapan dan bagaimana masuknya agama Hindu-Budha ke Nusantara
tidak ada seorangpun yang mengetahuinya secara pasti. Namun demikian terdapat
beberapa hipotesis atas hal ini dari beberapa sejarawan berdasarkan fakta dan bukti tak
langsung. Kelima hipotesis itu adalah sbb:
1. Hipotesis Waisya
Hipotesis ini dikemukakan oleh N.J.Krom yang menyebutkan bahwa proses
masuknya kebudayaan Hindu melalui hubungan dagang antara India dan
Indonesia. Kaum pedagang (Waisya) India yang berdagang di Indonesia
mengikuti angin musim. Apabila angin musim tidak memungkinkan mereka
untuk kembali, dalam waktu tertentu mereka menetap di Indonesia. Biasanya
selama 6 bulan. Selama para pedagang India tersebut menetap di Indonesia,
mereka manfaatkan untuk menyebarkan agama Hindu-Buddha.
2. Hipotesis Ksatriya
Hipotesis Ksatriya mengungkapkan bahwa pembawa agama dan kebudayaan
Hindu masuk ke Indonesia adalah kaum Ksatriya atau bangsawan. Menurut
hipotesis ini, pada masa lampau di India terjadi peperangan antar kerajaan. Para
prajurit yang kalah kemudian mengadakan migrasi ke daerah lain. Tampaknya
diantara mereka ada yang sampai ke Indonesia dan mendirikan koloni-koloni
melalui penaklukan. Mereka menyebarkan budaya dan agama Hindu di
Indonesia. Salah seorang pendukung hipotesis ini adalah sejarawan C.C.Berg.
3. Hipotesis Brahmana
Hipotesis ini diungkap oleh J.C.Van Leur. Dia mengatakan bahwa kebudayaan
Hindu-Buddha India yang menyebar ke Indonesia dibawa oleh golongan
Brahmana. Pendapatnya itu didasarkan pada pengamatan terhadap sisa-sisa
peninggalan kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha di Indonesia.
Terutama pada prasasti-prasasti yang menggunakan bahasa Sanskerta dan huruf
Pallawa. Karena hanya golongan Brahmana yang menguasai bahasa dan huruf
itu, maka sangat jelas disini adanya peran Brahmana.
4. Teori Sudra
Teori ini disampaikan oleh Von Van Faber yang menyebutkan bahwa
peperangan yang terjadi di India meyebabkan golongan Sudra menjadi buangan.

72
Mereka kemudian meninggalkan India dengan mengikuti kaum Waisya.
Dengan jumlah yang besar, diduga golongan Sudra yang memberi andil dalam
penyebaran budaya Hindu-Buddha ke Indonesia.
5. Teori Arus Balik
Teori ini dikemukakan oleh F.D.K.Bosch, yaitu banyak orang Indonesia yang
sengaja datang ke India untuk berziarah dan belajar agama Hindu-Buddha.
Setelah kembali ke Indonesia, mereka menyebarkan agama tersebut. Teori
tersebut juga di dukung dengan pendapat Van Leur, dimana menurutnya orang
Indonesia juga memiliki peran dalam proses masuknya kebudayaan India. Para
pedagang dari Indonesia, datang sendiri ke India karena penasaran dengan
kebudayaan tersebut. Mereka menetap di India selama beberapa waktu
kemudian pulang kembali dengan membawa kebudayaan India dan
menyebarkannya.
Namun demikian pada akhir abad ke-7, seorang bernama I-Tsing menuliskan
dalam bukunya bahwa pada sekitar tahun 664/665 M ada seorang musafir Cina
bernama Hwui Ning yang pergi ke pulau Jawa selama 8 tahun. Dibawah pimpinan
seorang guru, Jnanabhadra, ia menterjemahkan satu naskah tentang Budha kedalam
bahasa Cina. Ia menceritakan bahwa naskah yang diterjemahkannya itu menyimpang
dari naskah yang biasa dipakai didalam Mahayana. Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa pada waktu itu agama Budha yang dianut di Jawa adalah Budha
aliran Hinayana. Dari berita-berita I-Tsing yang lain dapat disimpulkan sebagai
berikut: Pada waktu itu Sriwijaya (Palembang) menjadi pusat agama Budha. Disana
terdapat sebuah perguruan tinggi Budha yang tidak kalah dengan yang ada di Nolanda
(India). Ada lebih dari 1000 biksu, yang ajaran dan cara kerjanya sama dengan yang
ada di India. Hanya upacara keagamaan dan jubah biksu-biksu inilah yang berlainan.
Selain pengikut Hinayana, di Sriwijaya juga terdapat adanya pengikut Mahayana.
Bahkan ada seorang guru Mahayana yang mengajar disana. Dari berita ini jelaslah
bahwa Sriwijaya menjadi pusat agama Budha Hinayana yang terbuka bagi gagasan-
gagasan yang baru dan senang melakukan pekerjaan-pekerjaan ilmiah. Oleh karena itu
para musafir Cina yang ingin belajar ke India mengadakan persiapannya di Sriwijaya.
Hal itu misalnya dilakukan oleh I-Tsing sendiri yang pada akhir abad ke-7 menyalin
dan menterjemahkan naskah-naskah suci di Sriwijaya.
Namun agaknya aliran Hinayana terpukul oleh Mahayana, terbukti dari
beberapa prasasti yang terdapat di sekitar Palembang yang menyebutkan bahwa
Daputa Hyang (perdana menteri) berusaha untuk mencari berkat dan kekuatan gaib
guna meneguhkan kerajaan Sriwijaya. Dari ungkapan-ungkapan yang dipergunakan
didalam prasasti itu dapat disimpulkan bahwa upacara itu sebenarnya adalah upacara
Nusantara asli yang disesuaikan dengan ajaran Mahayana. Juga dari berita-berita yang
lain jelaslah bahwa Mahayana-lah yang berkuasa pada waktu itu. Bahkan lebih dari itu
aliran Tantra yang mempengaruhi agama Budha sejak abad ke-7 nampaknya juga ada
di Sriwijaya.

73
Semua ini menunjukkan bahwa pada tahap pertama ini masih terjalin
hubungan yang erat antara kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan India. Namun
demikian hubungan yang erat ini makin lama makin merenggang.

74
BAB 2
AGAMA HINDU DAN BUDHA DI JAWA TENGAH

Dibandingkan dengan keadaan pada tahap pertama, jaman di Jawa Tengah


agaknya lebih jelas karena sumber-sumber informasinya lebih banyak misalnya
melalui prasasti-prasasti dan candi-candi.
Pada jaman ini (sekitar abad 7-8 M), terdapat 2 kerajaan besar di Jawa Tengah,
yakni yang diperintah oleh Dinasti Sanjaya yang memeluk agama Siwa dan Dinasti
Syailendra yang memeluk agama Budha Mahayana.
Di Kerajaan milik dinasti Syailendra, walaupun agama yang dipeluk oleh
rajanya adalah agama Budha Mahayana, tetapi pemeluk agama Siwa juga banyak
dijumpai. Hal ini disimpulkan dari banyaknya candi-candi kecil agama Siwa di Jawa
Tengah. Namun demikian jelas bahwa yang berkembang adalah agama Budha
Mahayana karena banyaknya candi-candi besar bercorak Budha seperti Borobudur,
Mendut, Kalasan ataupun patung bodhisattwa Manjusri dan sebagainya. Namun
demikian Mahayana yang bagaimanakah yang dianut pada waktu itu? Agaknya telah
terjadi sinkretisme karena dalam prasasti Kalurak (782 M) dicatat peristiwa peresmian
patung bodhisattwa Manjusri (corak Budha) yang pribadinya disamakan dengan
Triratna (ajaran Hindu).
Sedang agama Hindu Siwa itu sendiri, yang dianut oleh dinasti Sanjaya
nampaknya juga dianut oleh banyak orang dengan dijumpainya candi-candi Hindu
bahkan di pelosok daerah. Sangat mungkin bahwa hal ini disebabkan karena
mudahnya agama Hindu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Candi Hindu yang
terkenal pada jaman itu adalah candi Loro Jonggrang yang sekarang dikenal sebagai
candi Prambanan. Candi ini dibangun pada abad ke-9 M untuk mengimbangi candi
Borobudur. Dan selain sebagai tempat pemujaan, candi ini juga dipakai sebagai
tempat kuburan raja.
Selain kedua agama itu, di Jawa Tengah pada masa itu juga dipengaruhi oleh
kebudayaan-kebudayaan setempat yang diadaptasi oleh baik agama Hindu maupun
Budha. Sebagai contoh candi Borobudur dalam praktika kehidupan spiritualitasnya
ternyata selain dipakai untuk meditasi, juga untuk penyembahan terhadap roh-roh
nenek moyang yang menjadi ciri khas adat kebudayaan Jawa kuno. Selain itu
pandangan bahwa seorang raja adalah titisan para dewa, yang diwujudkan dalam
penggunaan candi Prambanan sebagai kuburan raja, merupakan bagian dari
kepercayaan Jawa kuno pula. Demikian baik agama Budha maupun Hindu di Jawa
Tengah ini mulai terpengaruh oleh kebudayaan Jawa asli, dan pengaruh itu semakin
mencolok pada kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha di Jawa Timur.

75
BAB 3
AGAMA HINDU DAN BUDHA DI JAWA TIMUR

Pada akhir abad ke-10 tidak terdapati lagi kerajaan Hindu di Jawa Tengah,
tetapi sejak tahun 929 M, prasasti-prasasti hanya terdapat di Jawa Timur. Tidak ada
satu sumber sejarahpun yang menjelaskan mengapa pusat agama Hindu ini bergeser
ke Jawa Timur. Kerajaan Hindu di Jawa Timur dimulai dari tahun 929 M sampai
dengan awal abad ke-16. Agama Hindu dan Budha pada jaman ini dapat
diklasifikasikan menjadi tiga era, yakni jaman Mpu Sendok hingga akhir
pemerintahan Erlangga (929-1042 M), jaman kerajaan Kediri dan Singasari (1042-
1292 M) dan jaman kerajaan Majapahit (1293-1528 M).

Jaman Mpu Sendok Hingga Erlangga


Agama yang berkembang pada jaman ini nampaknya adalah agama Siwa,
sekalipun juga dijumpai perkembangan agama Budha, sehingga dapat dikatakan kedua
agama tumbuh berdampingan, saling mempengaruhi, dan bahkan saling mendekati
(sinkretis). Terbukti dari prasasti yang menyebut Mpu Sendok dengan gelar Sri Isana
(sebutan Siwa), sedang putrinya menikah dengan Lokapala yang disebut dengan
Sugatapaksa (sebutan bernuansa Budhis). Selain itu juga dikatakan bahwa ajaran
Tantra juga memberikan pengaruh yang kuat pula bagi kedua agama itu. Terdapat
banyak sekali sumber-sumber yang menceritakan kehidupan kedua agama ini di Jawa
Timur seperti candi-candi, prasasti-prasasti, sumber kepustakaan bahkan sumber-
sumber lain dari luar negeri.
Dari sisi kepustakaan, didapati banyak karya-karya yang ditulis dalam bahasa
Sansekerta yang diikuti keterangan dalam bahasa Jawa kuno. Hal ini menjelaskan
kiblat tulisan pada jaman itu masih pada negeri asal kedua agama ini yakni India.
Namun dalam perkembangannya orang-orang mulai menghasilkan kepustakaan yang
ditulis dalam bahasa Jawa kuno dan diselingi bait-bait kecil dalam bahasa Sansekerta.
Dan yang terkemudian adalah dihasilkannya tulisan-tulisan yang sepenuhnya
menggunakan bahasa Jawa kuno. Hal ini menunjukkan memudarnya pengaruh India
di Nusantara, sehingga agama Hindu dan Budha semakin bernuansa Nusantara
(terpengaruh kebudayaan setempat).
Sebagai contoh Siwa dipandang sebagai dewa tertinggi. Ia diidentikkan dengan
Zat Yang Mutlak, yang transenden, yang tak tertembus akal manusia, sehingga tak
dapat diuraikan maupun digambarkan. Zat Yang Mutlak ini adalah tanpa rupa, tanpa
rasa, tanpa warna, tanpa sabda, dan sebagainya. Dari nama-nama yang dipakai untuk
menyebut Zat Yang Mutlak ini terlihat bahwa agama Siwa sudah banyak sekali
dipengaruhi oleh Mahayana dan falsafah Wedanta. Dari Zat Yang Mutlak itu
mengalirlah keluar segala sesuatu, baik dewa-dewa, manusia maupun alam semesta

76
dengan segala isinya. Oleh karena itu Zat Yang Mutlak itu menjadi imanen atau
berada didalam segala sesuatu yang ada (ciri khas Panteisme). Dua hal yang mengalir
keluar dari Zat yang Mutlak, yaitu dunia benda (artha prapanca) dan dunia sabda
(sabda prapanca). Siwa sebagai Zat yang Mutlak mengadakan dunia benda melalui
anasir-anasir yang dialirkan keluar dari dalamnya sendiri. Dari anasir-anasir itu
dilahirkan alam semesta, sehingga alam semesta ini tak lain adalah penjelmaan Siwa
sendiri. Akibat pengaliran Siwa ialah bahwa dunia besar (makrokosmos) identik
dengan dunia kecil (mikrokosmos). Demikianlah di samping pengaliran benda ada
pengaliran sabda. Ajaran tentang sabda prapanca ini bermaksud menunjukkan, bahwa
Siwa meliputi seluruh dunia dengan saktinya atau dengan kekuasaannya yang magis.
Ajaran ini juga penting bagi ajaran tentang mantra-mantra. Hal-hal tersebut bukan
hanya dimaksudkan sebagai suatu falsafah belaka, melainkan sebagai ajaran yang
mendasari praktik spiritualitas yoga. Di dalam yoga orang berusaha untuk bersekutu
dengan Zat Yang Mutlak, sedemikian rupa hingga larut kedalam Zat Yang Mutlak
tersebut. Namun pertanyaannya apakah Zat Yang Mutlak itu sama dengan Allah
Kristen? Pelarutan ke dalam Zat yang Mutlak itu juga dapat tercapai dengan mantra-
mantra. Dari ajaran tentang sabda prapanca dapat diketahui, bahwa Zat yang Mutlak
juga menjelma di dalam suara, huruf, suku kata, kata, dan sebagainya. Itulah sebabnya
maka segala huru£ kata, dsb. adalah suci. Suku kata yang paling suci adalah AUM
atau OM, yang terdiri dari suara A, U, dan M, simbol Trimurti. A adalah mantra bagi
Wisnu, pemelihara dunia, U adalah mantra bagi Siwa, perusak dunia, sedang M adalah
mantra bagi Brahma, pencipta dunia. Selain itu suku-suku kata tadi juga dapat saling
dihubungkan, sehingga menjadi mantra yang baru. Suku kata ini penting sekali artinya
bagi usaha untuk melarutkan diri ke dalam Zat Yang Mutlak. Demikianlah secara
singkat isi kepustakaan keagamaan Hindu- Jawa pada zaman itu. Uraian ini akan
memudahkan kita dalam membicarakan agama Hindu Dharma (di Bali).
Ajaran Buddha atau Dharma dipandang sebagai realitas yang tertinggi.
Dharma itu sendiri dipandang identik dengan Zat Yang Mutlak, sebab Dharma itu
dipandang sebagai tidak bercacat, berdiri sendiri, tanpa sifat, tanpa substansi, tersebar
di segala penjuru alam, dan sebagainya. Sedangkan pelaksanaan praktek spiritualitas
yoga dianggap sebagai penerimaan terhadap Dharma dan wujud ketaatan kepada sang
guru.
Demikianlah Zat Yang Mutlak menjadikan alam semesta dengan perantaraan
anasir-anasir, yang dialirkan dari dirinya. Jadi sebenarnya alam semesta ini pada
hakikatnya adalah sama dengan Zat Yang Mutlak. Zat itu berada di dalam segala yang
ada serta meliputi seluruh dunia.
Dalam perkembangannya, agama Hindu Siwa dan Budha di masa ini mulai
mendekati satu dengan yang lain. Sinkretisme membawa keduanya semakin mendekat
sehingga tidak lagi sukar untuk mengidentikkan Siwa dengan Budha, serta
menyebutnya Siwa-Budha, bukan lagi Siwa dan Budha yang terpisah, melainkan
Siwa-Budha sebagai satu bentuk ilahi. Perkembangan yang sudah dimulai di Jawa

77
Tengah, yaitu pertumbuhan agama Siwa dan Budha yang mulai menjadi satu, menjadi
nyata di Jawa Timur.

Jaman Kediri dan Singasari


Pada jaman ini sumber-sumber pengetahuan tentang hal-hal keagamaan
tidaklah sebanyak jaman yang mendahuluinya. Prasasti-prasasti yang ada tidak
memberi banyak informasi, kecuali bahwa para raja dipandang sebagai titisan Wisnu.
Agaknya agama Hindu Wisnulah yang lebih berkembang saat itu. Sebaliknya pada
jaman ini kepustakaan Jawa kuno, yang tidak bersifat keagamaan, berkembang dengan
pesatnya. Ada banyak syair kepahlawanan, pengajaran, dan lain-lain. Melalui karya-
karya sastra yang ada ini, dapat dipahami bahwa didalam pengaruh keyakinan Jawa
asli, seorang raja dipandang sebagai pusat daya magis, yang memancarkan daya itu
pada segala sesuatu di sekitarnya. Oleh karena itu ia dianggap mempunyai pengaruh
yang menyelamatkan, yang mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi
negara, tetapi yang membahayakan bagi para musuhnya. Berdasarkan pandangan yang
demikian itu maka orang-orang yang dekat dengan raja dipandang juga memiliki daya
gaib. Di samping para imam dan lain-lainnya, para pujangga istana dipandang
mempunyai daya gaib pula. Mereka adalah orang-orang yang tugasnya dikaitkan
dengan sabda, baik yang diucapkan maupun yang ditulis. Sebagai orang yang penuh
daya gaib, raja adalah penjelmaan dewa yang tertinggi. Dengan memuji-muji akan
tindakan kepahlawanan dewa, atau memuji-muji tindakan kepahlawanan titisannya
para pujangga dapat memperkuat daya gaib yang ada pada raja, sehingga raja makin
besar pengaruhnya dalam menyelamatkan, dan makin ditakuti oleh para musuhnya.
Selain itu kakawin-kakawin juga dipakai sebagai alat untuk bersekutu dengan dewa.
Jadi kakawin adalah alat yoga. Dengan kakawin itu dewa pilihan diundang supaya
berdiam di dalam kakawin guna mempererat hubungan dengan pemujanya. Dengan
kakawin itu dewa pilihannya diharapkan berdiam sebagai dia dalam candinya. Dengan
demikian kakawin menjadi suatu yantra, atau suatu alat untuk merenungkan dewa-
dewa. Yoga dengan mempergunakan yantra semacam ini agaknya tersebar luas pada
jaman Kediri dan Singasari.

Jaman Majapahit
Pada jaman Majapahit ini sinkretisme mencapai puncaknya. Agaknya terdapat
3 aliran yang hidup rukun berdampingan di kerajaan Majapahit ini, yakni Hindu Siwa,
Hindu Wisnu dan Budha Mahayana. Pada umumnya rakyat masih memelihara bentuk-
bentuk pemujaan dan cara hidup serta peraturan-peraturan yang berlaku bagi ketiga
agama tadi. Itulah sebabnya maka segala macam upacara keagamaan yang berlaku
baik bagi agama Hindu maupun bagi agama Buddha masih berjalan secara
berdampingan. Akan tetapi di kalangan atas, di kalangan para ahli pikir, terdapat
proses sinkretisme yang menjadikan agama Hindu dan Buddha dipandang sebagai

78
bermacam-macam bentuk yang ditampakkan dalam satu kebenaran. Siwa dan Wisnu
yang dianggap sederajad, digambarkan sebagai Hari-Hara, yaitu sebuah patung
setengah Siwa setengah Wisnu. Demikian pula Buddha dianggap sederajad pula.
Dalam prakteknya misalnya raja dipandang sebagai titisan Wisnu pada waktu
hidupnya, tetapi sesudah wafat dimakamkan sebagai Siwa dalam candi yang satu dan
sebagai Budha dalam candi yang lain.

Proses penyatuan agama Hindu dan Buddha, yang sudah dimulai pada zaman
Jawa Tengah, serta dikembangkan pada zaman Empu Sendok, Kediri dan Singasari,
mencapai puncaknya pada zaman Majapahit. Tidak ada lagi perbedaan diantara
ketiganya; Siwa, Wisnu dan Budha. Di dalam sebuah pustaka Arjunawijaya
diceritakan, bahwa ketika sang raja Arjunawijaya memasuki sebuah candi Buddha,
para biksu menerangkan, bahwa para Jin penjuru alam yang digambarkan patung-
patung itu adalah sama saja dengan para penjelmaan Siwa. Wairocana sama dengan
Sadasiwa, yang menduduki tempat di timur, Ratnasambhawa sama dengan Brahma,
yang menduduki tempat di barat, dan Amoghasiddhi sama dengan Wisnu, yang
menduduki tempat di utara. Oleh karena itu para biksu menegaskan, bahwa tidak ada
perbedaan antara Budha dan Siwa. Uraian di dalam Arjunawijaya ini menunjukkan,
bahwa dalam keyakinan kalangan atasan dan para ahli pikir, agama Budha dipandang
sama dengan agama Hindu. Hal ini dapat juga disimpulkan dari isi pustaka yang lain,
yaitu Sutasoma. Di situ diceritakan, bahwa Kalarudra (tokoh agama Hindu) murka
terhadap Sutasoma (titisan Budha) dan hendak membinasakannya. Para dewata
mencoba meredakan kemurkaan Kalarudra dengan mengingatkan kepadanya, bahwa
sebenarnya Budha dan Siwa tidak dapat dijadikan dua. Jinatwa (hakikat Jina atau
Budha) adalah sama dengan Siwatattwa (hakikat Siwa). Oleh karena itu tidak ada dua
Dharma, kedua dewata itu adalah sama. Selanjutnya dianjurkan supaya orang
merenungkan Siwa-Buddha-tattwa, hakikat Siwa-Budha. Mengenai kesatuan
keduanya di dalam pustaka yang lain dikuatkan lagi, yaitu dalam Kunjarakarna. Di
situ ditegaskan, bahwa tidak ada seorang pun, baik pengikut Siwa maupun pengikut
Budha, yang dapat mencapai kelepasan, jika ia memisahkan apa yang sebenarnya satu,
yaitu Siwa-Budha. Demikianlah orang yakin, bahwa Siwa-Budha adalah satu tokoh
ilahi. Padahal ini adalah tuntutan utama dalam keselamatan, yaitu menentukan kepada
siapa seseorang beribadah.
Sekalipun demikian para ahli pikir juga ingin menunjukkan bahwa agama
Budha lebih tinggi daripada agama Hindu. Hal ini tampak jelas dalam cerita tentang
Bubuksah. Alkisah ada dua bersaudara, yang tua bernama Gagang Aking, pengikut
agama Siwa, yang muda bernama Bubuksah, pengikut agama Budha. Sejak mudanya
mereka hidup sebagai pertapa di Gunung Wilis. Bubuksah makan segala sesuatu yang
dapat dimakan, tetapi Gagang Aking menahan makannya. Hanya tumbuh- tumbuhan
sajalah yang dimakan. Sesudah beberapa waktu, Dewa Mahaguru mengutus Kala
Wijaya dalam wujud harimau putih untuk menguji kedua saudara tadi. Ketika harimau
datang kepada Gagang Aking, ia dinasihati untuk pergi kepada adiknya saja karena
adiknya jauh lebih gemuk daripada dirinya. Ketika harimau tiba di tempat Bubuksah
disambutnya dengan baik. Dengan senang hati Bubuksah menyerahkan diri pada

79
harimau itu, sebab dengan demikian ia akan lebih cepat mendapat kelepasan. Dari sini
jelas, bahwa Bubuksah, pengikut agama Budhalah yang dianggap lebih suci, sekalipun
ia tidak sedemikian keras di dalam pertapaannya, tetapi akhirnya Bubuksah
mendapatkan tempat yang lebih terhormat di sorga. Jelas bahwa cerita ini adalah suatu
polemik yang menunjukkan keunggulan agama Budha, dan cerita ini dilukiskan
dengan relief pada Candi Penataran.

Selain menunjukkan pada keunggulan agama Budha, cerita Bubuksah ini


menunjukkan pada hal yang lain, yaitu mitos mengenai asal mula suku Jawa.
Berdasarkan cerita-cerita tentang Panji, Dr. W.H. Rassers menunjukkan bahwa semula
suku Jawa, seperti halnya suku-suku lainnya di Indonesia, menganggap dirinya terdiri
dari dua kelompok bersaudara yang saling bersaing namun saling memperlengkapi,
serta mewujudkan satu kesatuan. Dari kedua kelompok itu yang muda dipandang lebih
bijaksana daripada kelompok yang tua. Mitos kuno ini tercermin dengan jelas dalam
cerita Bubuksah. Jadi dapat disimpulkan, bahwa cerita Bubuksah ini adalah suatu
pengungkapan mitos kuno yang disesuaikan dengan bahasa dan suasana serta gagasan
yang ada pada waktu itu. Agama yang ada dipakai untuk menguatkan apa yang sudah
dimiliki oleh suku Jawa. Memperalat agama yang baru guna memperkokoh apa yang
sudah diwarisi dari nenek moyangnya itu bukan hanya tampak dalam kepustakaan saja,
melainkan juga dalam upacara-upacara keagamaan serta peralatan-peralatan dalam
upacara-upacara itu.
Sudah dikemukakan, bahwa raja dipandang sebagai titisan dewa pujaannya.
Jika raja wafat, baginya diadakan upacara-upacara kematian yang diperlukan guna
melepaskan jiwanya dari ikatan jasmani. Karena itu baginya dibuatkan sebuah patung
yang ditempatkan didalam sebuah candi. Upacaranya biasa diadakan sesudah
beberapa tahun kemudian. Upacara ini disebut sraddha, yang dimaksudkan untuk
menaikkan kedudukan sang raja yang telah wafat itu agar mencapai kedudukan
dewata. Pada waktu yang sudah ditetapkan, tibalah raja dengan para pembesar serta
para imam dan wakil rakyat berkumpul di tempat yang sudah ditentukan untuk
meresmikan patung itu. Dalam upacara ini diadakan pembakaran jenazah secara
simbolis, yaitu pembakaran boneka yang terbuat dari bunga-bungaan, yang abunya
sebagian ditaburkan di laut dan sebagian disimpan bersama-sama dengan batu permata
dan logam suci lainnya di dalam suatu wadah terbuat dari batu (peripih), yang
ditempatkan di dalam sumuran di bawah patung. Menurut keyakinan, dengan upacara
ini sang raja yang wafat berubah menjadi Prajnaparamita dan kembali pada alam
keBudhaan yang mulia. Jadi jelaslah bahwa upacara ini adalah suatu upacara
kelepasan, penutup deretan upacara bagi sang raja yang wafat. Dan dengan
diadakannya upacara-upacara ini, jiwanya dibebaskan untuk selama-lamanya dari
segala ikatan duniawi. Bersama-sama dengan upacara kelepasan itu, didirikan sebuah
patung yang menyerupai dirinya, bukan sebagai tugu peringatan, melainkan sebagai
alat untuk menghadirkan sang wafat yang sudah dipertuhan itu, supaya orang dapat
bersekutu dengannya. Demikianlah candi ini juga menjadi tempat suci, tempat orang
dapat memuja raja yang sudah didewakan, sama dengan nenek moyang yang
didewakan oleh suku Murba.

80
Oleh karenanya menjadi jelas bahwa patung itu sama dengan patung nenek
moyang yang terdapat pada suku Murba, hanya saja diwujudkan dalam bentuk agama
Hindu dan Budha. Itulah sebabnya wajah patung itu adalah wajah raja dan pakaian
patung itu adalah pakaian dan perhiasan dewa yang dipuja. Jika demikian maka
patung itu adalah sebuah yantra, sebuah alat yang dapat ditempati dewa untuk dipuja.
Selain melalui kepustakaan, bangunan candi-pun mengalami sinkretisme
(disesuaikan dengan budaya Jawa) dengan perubahan bentuk dan makna dari bentuk
yang baru tersebut. Candi di Jawa Tengah jelas berbeda sekali dengan candi di Jawa
Timur. Di Jawa Tengah sebuah kompleks candi terdiri dari sebuah candi induk yang
ditempatkan di tengah-tengah beberapa bangunan candi atau bangunan-bangunan
yang lain. Akan tetapi di Jawa Timur sebuah candi terdiri dari beberapa halaman yang
letaknya berderetan, yang satu di belakang yang lain, dan seringkali yang satu lebih
tinggi daripada yang lain, dengan halaman yang paling belakang menjadi yang
tertinggi. Tempat suci yang utama terletak di halaman yang paling belakang, tertinggi
dan yang ditafsirkan paling dekat dengan para dewa. Struktur pembangunan candi
yang demikian itu menunjukkan adanya tempat pemujaan nenek moyang, yang
berwujud batu megalit yang ditempatkan di teras tertinggi dari tempat suci itu.
Demikianlah masih ada banyak lagi hal-hal yang dapat dikemukakan untuk
menunjukkan, bahwa di Jawa Timur unsur-unsur agama Indonesia asli makin tampil
ke depan, yang dibalut dalam bentuk-bentuk agama Hindu dan Buddha.

Kesimpulan
Mengenai ajaran agama Hindu dan Budha di Jawa Timur, dapat disusun
beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Ajaran tentang Tuhan atau realitas yang tertinggi


Baik agama Hindu, maupun agama Budha Mahayana memandang kepada
Tuhan atau Realitas yang tertinggi sebagai Zat Yang Mutlak, yang tak
dapat ditembus oleh akal manusia, tak dapat digambarkan, dan tak dapat
diuraikan. Sebab Zat Yang Mutlak dalam hakikatnya adalah tak berwujud,
esa tanpa bagian dan tak terbagi, transenden, bebas dari segala hubungan
dan sifat. Segala hubungan yang ada terjadi karena penjelmaan, dari yang
halus tanpa bentuk hingga yang kasar berbentuk.
2. Ajaran tentang Makrokosmos
Kedua agama itu mengajarkan, bahwa alam semesta dengan segala isinya
mengalir keluar dari Zat Yang Mutlak, baik yang melewati anasir-anasir
bendani, maupun yang melewati anasir-anasir sabda. Oleh karena itu maka
Zat Yang Mutlak ini meliputi seluruh alam semesta dan berada di dalam
segala yang ada. Yang Mutlak menjelajahi seluruh alam semesta. Di dalam
segala anasir itu, Zat Yang Mutlak, seperti halnya dengan Brahman,
menjadi penghubung batiniah dan menyebabkan segala sesuatu bergerak.
3. Ajaran tentang Mikrokosmos

81
Baik agama Hindu maupun Budha juga mengajarkan, bahwa manusia,
secara badani dan rohani adalah suatu penjelmaan dari Zat Yang Mutlak.
Demikianlah Zat Yang Mutlak itu juga meliputi seluruh bagian manusia.
Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara Zat Yang Mutlak dan manusia.
Jiwa manusia atau skanda (bagi agama Budha) pada hakekatnya adalah Zat
Yang Mutlak itu sendiri, yang menjadi terbatas karena persekutuannya
dengan tubuh, baik tubuh halus maupun tubuh kasar. Oleh karena
penyempitan yang menyebabkan adanya rasa perorangan, maka manusia
ada didalam sengsara, yaitu dibelenggu oleh kelahiran kembali. Sekalipun
demikian manusia tetap adalah Zat Yang Mutlak itu sendiri.
4. Ajaran tentang Kelepasan
Kelepasan terdiri dari kelepasan dari kelahiran kembali, supaya manusia
kembali ke asalnya, yaitu Siwapada atau Sunyata. Disitu jiwa manusia
akan dilarutkan kedalam Zat Yang Mutlak, seperti air menjadi satu dengan
lautan. Didalam kesatuan ini manusia akan mendapatkan sifat-sifat ilahi
yang dimiliki oleh Zat Yang Mutlak. Jalan kelepasan adalah Yoga, dengan
pengaturan napas sebagai intinya.

82
BAGIAN 4
AGAMA HINDU BALI

83
BAB 1
PENDAHULUAN

Menurut orang Bali sejarah kebudayaan dan kemasyarakatan Bali dimulai


dengan kedatangan orang-orang Majapahit di Bali. Jaman sebelumnya dipandang
sebagai jaman jahiliah, jaman yang gelap, yang dikuasai oleh roh-roh jahat serta
makhluk-makhluk yang ajaib. Kedatangan orang-orang Majapahit menciptakan zaman
baru.

Akan tetapi sebenarnya berabad-abad sebelum jaman Majapahit, di Bali


Selatan terdapat sebuah kerajaan dengan kebudayaan Hindu, mungkin pada tahap
pertama jaman Mataram kuno (antara tahun 600-1000 M). Pusat kerajaan itu terdapat
di Pejeng dan Bedulu dengan raja-raja keturunan Warmadewa. Ada kemungkinan
bahwa kerajaan ini timbul langsung karena pengaruh para pedagang Hindu, tetapi ada
juga kemungkinan kerajaan ini ada karena pengaruh Mataram.

Pada akhir abad ke-10 atau awal abad ke-11, di Bali memerintah seorang raja
bernama Dharmodayana, yang memiliki permaisuri seorang keturunan Empu Sendok
bernama Mahendradatta, yang kemudian melahirkan Erlangga. Dengan demikian pada
waktu itu Bali terhubung erat dengan Jawa. Erlangga kemudian memerintah atas Jawa,
sedang di Bali memerintah seorang adiknya dengan mengatasnamakan Erlangga.
Sesudah Erlangga wafat agaknya hubungan antara Jawa dan Bali berubah menjadi
renggang.
Pada tahun 1284, Krtanagara, raja Singasari menaklukkan Bali. Penaklukan ini
agaknya hanya bersifat sementara saja, sebab pada tahun 1383 M, Majapahit
mengutus tentaranya di bawah pimpinan Gajah Mada untuk menaklukkan Bali. Gajah
Mada mendatangkan bangsawan-bangsawan dari Majapahit, yang kemudian
pemimpin para bangsawan ini mendirikan sebuah kerajaan dengan ibukotanya
Srampangan, dan kemudian dipindahkan ke Klungkung. Raja ini bergelar Dewa
Agung. Sesudah Majapahit jatuh pada awal abad ke-16, Bali terisolir dari daerah-
daerah lainnya di Indonesia hingga kedatangan bangsa Belanda. Sebelum era Belanda,
Bali dan Jawa berkembang sendiri-sendiri. Pada waktu Bali terisolir dari dunia luar,
hubungan antara para kepala daerah agaknya menjadi renggang. Kekuasaan Dewa
Agung dari Klungkung hanya diakui secara formal saja. Namun kenyataannya Bali
telah terpecah-pecah menjadi 9 kerajaan, yaitu: Klungkung, Bangli, Gianyar,
Karangasem, Badung, Mengwi, Tabanan, Buleleng, dan Jembrana.

Dari sejarah tersebut di atas dapat diduga bahwa pengaruh Majapahit kuat
sekali di Bali. Bahasa dan kebudayaan Bali adalah kelanjutan dari bahasa dan
kebudayaan Jawa Timur. Kepustakaan Hindu-Jawa dipelihara dengan baik, dibaca,
dan diteruskan dari generasi ke generasi. Itulah sebabnya maka Bali menjadi
penyimpan kekayaan kebudayaan Jawa. Apa yang sudah tidak dapat diketahui lagi
tentang jaman Hindu di Jawa dapat ditelusuri di Bali.

84
Sekalipun demikian tidak dapat dikatakan bahwa Bali adalah daerah agama
Hindu. Sebab di samping kebudayaan Hindu-Jawa masih ada religi asli yang tidak
kalah kuatnya yang disebut sebagai agama Austronesia. Pengaruh Majapahit hanya
terdapat di antara kaum bangsawan, mula-mula di Klungkung, kemudian menyebar ke
daerah-daerah lainnya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa religi suku Bali asli tidak
berubah. Oleh karena untuk beberapa abad terisolir dari daerah-daerah lainnya, maka
lama-kelamaan agama Hindu-Jawa bercampur dengan religi Bali yang asli (agama
Austronesia). Keduanya saling mempengaruhi, sehingga keduanya mengalami
perubahan sedemikian rupa hingga sukar untuk dipisahkan. Di samping itu juga harus
diingat bahwa agama Hindu-Jawa pada jaman Majapahit juga sudah tidak murni lagi.
Secara garis besar dapat dikatakan, bahwa kaum bangsawan berkeyakinan Hindu-
Jawa yang dicampuri unsur-unsur religi Bali asli, sedangkan rakyatnya berkeyakinan
religi Bali asli yang tercampur dengan agama Hindu-Jawa. Agama campuran ini tidak
memiliki nama. Orang Bali sendiri di kemudian hari menyebutnya sebagai agama
Tirta. Dan baru belakangan ini agama orang Bali disebut Hindu Dharma.

Kira-kira 1.000 tahun sesudah kedatangan agama Hindu yang pertama kali di
Bali, datanglah pengaruh Barat dengan perantaraan penjajahan Belanda. Ada
perbedaan yang mencolok sekali antara cara agama Hindu-Jawa mempengaruhi
masyarakat Bali, dengan cara kebudayaan Barat melakukan infiltrasinya. Pengaruh
agama Hindu-Jawa meresapi masyarakat Bali secara pelan-pelan, berangsur-angsur
selama berabad-abad, akan tetapi pengaruh kebudayaan Barat terjadi dengan cepat
sekali. Sekalipun bentuk pemerintahan setempat dipertahankan, namun pengaruh
pendidikan Barat besar sekali. Anak-anak orang yang tergolong orang kaya tidak puas
dengan bersekolah di Bali saja, karena yang ada hanyalah sekolah rakyat yang
berbahasa Belanda. Mereka meneruskan sekolahnya di Jawa. Hal ini bukan hanya
dilakukan oleh golongan bangsawan saja, tetapi juga oleh golongan Sudra. De-
mikianlah timbul gagasan-gagasan baru, yang mula-mula hanya terdapat pada
kelompok kecil, tetapi kemudian menjalar kemana-mana. Golongan Sudra terlebih-
lebih makin memiliki rasa harga diri yang tinggi, yang menuntut hak-hak yang sama,
sekalipun cara mereka menuntut hak dilakukan secara sopan.

Perubahan-perubahan juga terjadi dibidang keagamaan. Banyak pemuda Bali


yang karena pengalamannya di tanah Jawa, kemudian meninggalkan praktik
keagamaannya atau hanya melakukannya sebagai formalitas saja. Ditambah lagi
dengan agama Islam dan Kristen yang mulai mengembangkan sayapnya di Bali.
Semuanya itu menjadikan para intelektual pemuda Bali yang saleh berpikir bagaimana
cara menghidupkan kembali agamanya di tengah-tengah masyarakat yang makin maju
ini. Salah satu kekurangan yang dirasakan pada agama Tirta ini adalah tidak adanya
kitab dan ajaran yang jelas. Memang ada Kitab Weda, tetapi kitab ini hanya dikenal
namanya saja. Ajaran agama yang dapat diajarkan kepada para pengikutnya seperti
yang terdapat di dalam agama Islam dan Kristen juga tidak ada. Selain itu nama
agama Bali sendiri juga tidak jelas. Akhirnya bangkitlah para putra Bali dengan
mendirikan perkumpulan-perkumpulan untuk membangun kembali agama mereka.
Pada tahun 1932 di daerah Tabanan didirikan sebuah sekolah agama. Pada tahun 1939

85
di Klungkung didirikan suatu organisasi agama yang disebut Trimurti dengan tujuan
memperbarui adat agama supaya cocok dengan jamannya tanpa membuang intisari
agama Hindu. Di Singaraja lahirlah Perkumpulan Bali Dharma Laksana, yang
berusaha membaharui agama dengan menerbitkan tulisan-tulisan. Mereka mendekati
para pedanda untuk diajak menyusun suatu kitab pegangan yang jelas. Pada waktu itu
putra-putra Bali yang aktif diantaranya adalah I Gusti Bagus Sugriwa dan I Gusti Ngr.
Anandakusuma.
Pada jaman pendudukan Jepang, oleh pemerintah Jepang didirikan suatu
lembaga para pedanda yang disebut Paruman Pandita Dharma dengan maksud untuk
mempersatukan paham agama Bali agar menjadi badan keagamaan yang menjadi
penghubung pemerintah Jepang. Agama Bali diberi nama agama Siwa Raditya atau
agama sang Hyang Surya karena orang harus menyembah sang Surya atau Matahari,
seperti halnya orang-orang Jepang. Cara menyembah sang Hyang Surya adalah,
bahwa tiap pagi dan sore orang harus memuja Matahari.
Sesudah pemerintah Jepang jatuh, Paruman Pandita Dharma menjadi suam,
sekalipun tidak mati. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh pemimpin yang militan.
Perkumpulan Trimurti yang pada jaman Jepang tidak aktif, dihidupkan kembali
menjadi Majelis Hinduisme (1950). Selain itu timbul lagi organisasi-organisasi
keagamaan, seperti misalnya Wiwada Shastra Sabda (Denpasar) dan Panti Agama
Hindu-Bali (Singaraja). Demikianlah di seluruh Bali lahir kelompok-kelompok yang
berusaha meningkatkan mutu dan kedudukan agama, agar agama Hindu-Bali dapat
berdiri sejajar dengan agama-agama yang lain serta diakui oleh Departemen Agama.
Sekalipun usaha yang terakhir ini harus menempuh jalan yang berat, namun akhirnya
berhasil juga, yaitu ketika pada tahun 1958 agama Hindu-Bali diakui oleh Departemen
Agama RI.
Pada tahun 1950 datanglah seorang penyebar agama Hindu dari India bernama
Narendra Dev Pandit Shastri. Melalui kepustakaan dan sekolah ia berhasil
menyebarluaskan gagasan agama Hindu dari India. Banyak pemuda dikirim ke India
untuk mempelajari agama Hindu. Demikianlah dimulai pengaruh-pengaruh baru yang
mengusahakan pemurnian agama yang dikalibrasi ulang (diselaraskan kembali)
dengan agama Hindu di India. Sesudah agama Hindu-Bali diakui oleh Departemen
Agama dibentuklah suatu Dewan Agama Hindu-Bali yang sesudah kongres disebut
Parisada Dharma Hindu-Bali (1959), dan yang pada tahun 1964 diganti namanya
dengan Parisada Hindu Dharma, hingga sekarang.
Banyak sekali usaha parisada untuk memajukan Hindu Dharma. Banyak buku
keagamaan diterbitkan, di antaranya: Upadesa, Bhagawadgita, Majalah Warta Hindu
Dharma dan lain-lain. Di bidang pendidikan didirikan P.G.A.A dan Institut Hindu
Dharma, suatu perguruan tinggi yang sudah memiliki Fakultas Agama dan
Kebudayaan serta Fakultas Biologi. Demikianlah Hindu Dharma berkembang. Sesuai
dengan perkembangan agama Hindu Dharma itu, didalam buku ini akan dibicarakan
dua hal, yakni tentang agama Tirta dan tentang agama Hindu Dharma.

86
BAB 2
AGAMA TIRTA

Pandangan Dunia Orang Bali


Orang Bali yakin, bahwa alam semesta diatur dan dibagi-bagi menurut suatu
sistem tertentu. Oleh karenanya maka seluruh hidup harus disesuaikan dengan tata
tertib kosmos itu. Tiap perbuatan harus sesuai pada tempatnya. Pembagian alam
semesta menurut sistem ini menimbulkan suatu pengelompokan terhadap segala
sesuatu yang ada di dalam kosmos. Bagaimana watak dan sifat sesuatu ditentukan
oleh tempatnya dalam pembagian itu. Sebenarnya pembagian ini amat berbelit-belit.
Sebab banyak pembagian yang bertumpang tindih, ada juga pembagian yang
menggabungkan satu dengan yang lainnya, dan lain sebagainya.
Pertama-tama ada pembagian dalam dua bagian yang saling bertentangan,
tetapi juga saling mengisi. Pembagian ini diungkapkan dengan istilah kaja dan kelod.
Kaja berarti ke arah gunung, dan Kelod berarti ke arah laut. Oleh karena Pulau Bali
dibagi menjadi dua bagian oleh barisan bukit yang membujur di tengah dari barat ke
timur menjadi Bali Utara dan Bali Selatan, maka kaja bagi Bali Utara berarti selatan,
sedang kaja bagi Bali Selatan berarti utara.
Orang Bali memandang gunung-gunung sebagai tempat kediaman para dewa dan
nenek moyang yang sudah didewakan, karena gunung-gunung inilah yang dengan
segala sumbernya memberikan kesuburan bagi Pulau Bali.
Berdasarkan apa yang diuraikan di atas, maka pengertian kaja dihubungkan dengan
yang ilahi, yang sorgawi, yang menguntungkan, yang menyehatkan, dan sebagainya.
Sebaliknya, pengertian kelod dihubungkan dengan segala yang menuju ke bawah,
yang duniawi, yang jahat, yang mengerikan, dan sebagainya. Karena itu juga segala
yang saling bertentangan dihubungkan dengan perlawanan kaja-kelod, misalnya:
hidup dan mati, tua dan muda, terang dan gelap, siang dan malam, suci dan najis, dan
seterusnya.
Di samping itu pembagian kaja-kelod juga dihubungkan dengan pembagian
timur-barat. Oleh karena matahari terbit di bagian timur, maka timur dihubungkan
dengan terang dan hidup dan sebagainya yang menyenangkan. Dengan ini sekaligus
pengertian timur juga dihubungkan dengan pengertian kaja, terlebih-lebih karena
Gunung Agung, tempat Siwa Mahadewa bersemayam ada di sebelah timur. Bagi
orang Bali arah ke kaja timur adalah arah yang menuju alam atas. Karena matahari
terbenam di sebelah barat, maka pengertian barat dihubungkan dengan segala yang
gelap menakutkan, yang mendatangkan kesengsaraan dan maut. Bagi orang Bali arah
ke kelod barat adalah arah ke alam bawah. Sekalipun demikian para roh jahat dan
magi tidak senantiasa dihubungkan dengan kelod. Sebab ada roh-roh yang sekalipun

87
roh jahat, namun menjadi pengikut dewa, dan ada juga magi yang baik (magi putih).
Keduanya digolongkan pada pengertian kaja.
Sudah dikemukakan, bahwa kaja-kelod adalah bagian-bagian yang menyusun
kosmos, sehingga keduanya sama pentingnya tak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya
mewujudkan keseimbangan kosmos, seperti halnya dengan Kutub Utara dan Kutub
Selatan. Segala kuasa yang berhubungan dengan kedua pengertian itu harus
diperhatikan di dalam hidup. Itulah sebabnya maka kadang-kadang dalam satu pura
atau satu kelompok pura diadakan pemujaan bagi kedua macam kuasa tersebut.
Di samping pembagian dalam dua bagian, ada juga pembagian dalam tiga
bagian. Hal ini dihubungkan dengan tempat manusia dalam hubungannya dengan
kedua suasana tersebut. Tidak dapat disangkal, bahwa manusia menjadi titik singgung
alam atas dan alam bawah, kaja dan kelod, yang baik dan yang jahat. Ia berdiri di
tengah-tengah alam atas dan alam bawah, yaitu di alam tengah (madyapada).
Berdasarkan kenyataan ini maka segala hal yang secara langsung dikaitkan dengan
manusia ditempatkan di tengah-tengah, misalnya: Denah tempat kediaman adalah,
sanggah, yaitu tempat memuja nenek moyang, yang ditempatkan di sebelah kaja timur
halaman, sedang segala bagian yang kotor (pembuangan sampah, dsb) ditempatkan di
sebelah kelod barat halaman. Tempat tinggal keluarga berada di antara kedua bagian
halaman tadi.
Denah pura desa adalah demikian, bahwa pura puseh, tempat memuja nenek
moyang yang sudah didewakan, ditempatkan di sebelah kaja timur pusat desa, sedang
pura dalem tempat orang memelihara arwah yang belum disucikan dengan
pembakaran, ditempatkan di sebelah kelod barat pusat desa. Pura bale agung, tempat
masyarakat desa berkumpul, ditempatkan di pusat desa.

Meru (gunung suci dalam kosmologi Hindu, mis. Gunung Agung di Bali),
simbol Mahameru, terdiri dari 3 bagian. Bagian atas mewakili alam atas, sedang
dasarnya mewakili alam bawah. Bagian tengah yang berwujud sebuah bilik, adalah
tempat dewa turun untuk menemui manusia.
Manusia sendiri terdiri dari 3 bagian. Kepalanya termasuk alam atas, karena
ubun-ubunnya adalah tempat dewa turun. Kakinya termasuk alam bawah. Tetapi
badannya (tempat hatinya) mewakili unsur yang di tengah-tengah, yang diungkapkan
di dalam tiap bagian upacara keagamaan. Demikian seterusnya.
Masih ada lagi pembagian dalam 4 atau 5 bagian dan dalam 8 atau 9 bagian.
Pembagian ini dihubungkan dengan penjuru alam. Tiap penjuru diberi dewanya
sendiri, warnanya, harinya, dan bilangannya, yaitu: Timur dihubungkan dengan Dewa
Iswara, warna putih, hari umanis (Legi), dan bilangan 5. Selatan dihubungkan dengan
Dewa Brahma. Warna merah, hari Paing, dan bilangan 9. Barat dihubungkan dengan
Dewa Mahadewa, warna kuning, hari Pon, dan bilangan 7. Utara dihubungkan dengan
Dewa Wisnu, warna hitam, hari Wage, dan bilangan 4. Akhirnya tengah dihubungkan
dengan Dewa Siwa, warna aneka warna, hari Kliwon, dan bilangan 8. Segala
pembagian ini memiliki fungsi masing-masing. Misalnya: jika mengadakan sabung

88
ayam, orang harus memperhitungkan warna ayamnya, hari diadakannya sabungan,
tempat yang diduduki pada tempat sabungan, dsb. Pada waktu orang hendak
mempersembahkan sesajen, orang harus memperhitungkan juga pengaturan tempat
sesajen, orang yang melayaninya, susunan sesajennya, dsb. Demikianlah pembagian
ini bukan sekedar pembagian belaka, melainkan meresapi seluruh kehidupan orang
Bali. Karena sudah menjadi bagian dari budaya Bali asli.

Kepercayaan Terhadap Dewa-dewa


Sosok-sosok ilahi yang disembah orang Bali adalah campuran dari sosok-
sosok Bali asli dan sebagian lagi dari Hindu Jawa. Di dalam perkembangannya di
sepanjang abad-abad yang lalu sosok-sosok ilahi Bali asli dihindukan dengan diberi
sebutan-sebutan Hindu. Ada yang disebut sang Hyang, Pitara, Kawitan, dan
sebagainya. Sebutan-sebutan itu dikaitkan dengan kepercayaan orang Bali akan arwah
nenek moyang. Sosok-sosok ilahi yang berasal dari suku Bali sendiri adalah sbb.:
Pulau Bali adalah dunia suci yang didiami oleh dewa-dewa, manusia, dan roh-
roh jahat. Para dewa terdiri dari arwah-arwah nenek moyang yang sudah didewakan
atau dilahirkan, yang mendiami puncak gunung-gunung sebagai alam atas, sedang
manusia mendiami alam tengah, yaitu bagian Pulau Bali di antara puncak-puncak
gunung dan laut. Para roh jahat, yaitu “buta” dan “kala” menghuni daerah laut sebagai
alam bawah.
Ada dua macam nenek moyang. Yang pertama adalah arwah-arwah yang
belum disucikan secara sempurna, yang dibagi atas pirata dan pitara. Pirata adalah
arwah-arwah yang jenazahnya belum dibakar, karena masih dipandang belum suci,
yang masih mendatangkan kecelakaan. Adapun Pitara adalah arwah yang jenazahnya
sudah dibakar, karena sudah dipandang suci, namun belum secara sempurna, karena
masih berdiri sendiri sebagai individu.
Nenek moyang yang kedua adalah arwah nenek moyang yang sudah disucikan
secara sempurna, karena sudah dipandang tidak berdiri sendiri, tetapi sudah disatukan
atau sudah dilarutkan dalam alam segala nenek moyang. Secara asasi mereka sudah
sejajar dengan para dewata dalam kedudukan dan tabiat. Maka mereka juga disebut
dewa (sang Hyang = yang bersinar, dsb). Mereka inilah nenek moyang dalam arti
yang sebenarnya, yang menjadi pendiri desa, yang dicari hubungannya untuk
mendapatkan berkat dalam hidup sehari-hari. Demikianlah jelas bahwa bagi keluarga
Bali, dewa yang paling dekat dengan manusia adalah para nenek moyang.
Sedang sosok-sosok ilahi yang berasal dari agama Hindu-Jawa disebut Batara
(Pelindung). Oleh umum para Batara dipandang jauh dari manusia. Mereka lebih
dipandang sebagai Tuhan asing, yang sudah dipribumikan, seperti halnya dengan para
bangsawan Bali yang berasal dari Majapahit. Fungsi mereka dipandang sudah selesai
sesudah mereka menjadikan dunia, sehingga mereka hanya digambarkan sebagai
sosok-sosok didalam mitologi saja, tanpa arti yang mendalam.

89
Nama-nama para Batara yang dikenal secara samar-samar adalah Batara
Brahma (dewa api), Batara Surya (dewa matahari), Batara Indra (tuhan yang
menguasai sorga), Batara Yama (yang menguasai maut), Batara Durga (dewi maut),
dan sebagainya. Batara yang dipandang sebagai yang tertinggi adalah Batara Siwa. Ia
dipandang sebagai kesatuan segala kuasa dewa. Ia adalah sumber hidup, kesatuan
segala kuasa yang menciptakan, dan yang melahirkan di dalam alam semesta ini. Di
dalam dialah kedua jenis kelamin, lelaki dan perempuan dipersatukan. Sebagai
penjelmaan unsur lelaki ia dipuja sebagai Gunung Agung, sebagai Lingga, sebagai
Pasupati, sebagai Matahari dan lain-lain. Sebagai penjelmaan unsur perempuan ia
dipuja sebagai Uma, ibu alam semesta, sebagai giriputri, istri Mahadewa, sebagai
Dewi Sri (dewi padi dan penuaian), sebagai Dewi Gangga dan Dewi Danu yang
menguasai sungai dan tasik. Penjelmaan Siwa sebagai unsur perempuan ini oleh
rakyat dipandang sebagai permaisuri Siwa. Oleh para ahli pikir penjelmaan Siwa
sebagai unsur lelaki dan perempuan dipandang sebagai asas-asas atau aspek-aspek
Siwa yang kekal, yang selain dijelmakan sebagai lelaki dan perempuan, juga dapat
dijelmakan sebagai roh dan benda dan sebagai yang baik dan yang jahat. Oleh karena
itu segala sosok ilahi sebenarnya adalah penjelmaan Siwa, sekalipun tokoh-tokoh itu
adalah kala dan buta.
Siwa sebagai dewa yang tertinggi juga dipuja sebagai sang Hyang Tunggal
atau sang Hyang Widi atau sang Hyang Tuduh. Kata tuduh berarti petunjuk, perintah,
nasib, sedang kata widi berarti hukum, peraturan, tata tertib, nasib. Agaknya sebutan-
sebutan ini dimaksud untuk menunjukkan bahwa sang Hyang Widi adalah tata tertib
kosmis itu sendiri, yang menentukan tempat dan nasib segala sesuatu. Ia sendiri bukan
bagian kosmos, sebab ia tidak ditaklukkan oleh tata tertib kosmis. Segala sesuatu
justru ditaklukkan kepadanya, baik manusia maupun dewa dan segala yang ada di
dalam dunia. Ia mengatasi segala sesuatu, baik yang bersifat kosmis maupun yang
bersifat moral. Demikianlah yang dimaksud dengan sang Hyang Widi adalah kuasa
yang abstrak yang berada di belakang segala yang tampak. Menurut dongengnya, sang
Hyang Tuduh keluar dari yang tak ada dan berkuasa untuk berada di belakang segala
gejala serta bentuk korban dan kultus di dalam pura-pura. Pada umumnya sang Hyang
Widi tidak dipuja dengan upacara- upacara keagamaan. Baginya tiada pura, tiada
tempat korban, tiada padmasana (tempat duduk), kecuali jika ada sebuah desa baru
yang didirikan yang belum memiliki dewanya. Dalam keadaan seperti itu orang
mendirikan sanggah puseh baginya, tempat ia dipuja.
Masih ada sosok ilahi yang berasal dari agama Hindu-Jawa, yang oleh rakyat
dipandang sebagai tokoh ilahi tersendiri dan disebu sang Hyang Trimurti atau
Sanggah Tiga Sakti. Sosok ini adalah penjelmaan Siwa sebagai dewa yang tertinggi.
Di dalam falsafahnya diuraikan demikian: Tokoh dewa yang tertinggi itu
menjelmakan dirinya dalam tiga pangkat beruntun. Ia keluar dari alam yang akali
yang tak terbagi (niskala) ke alam bendani yang terbagi (sakala) melalui alam tengah
yang bersifat bendani dan akali (sakala-niskala). Rupa yang dipakai untuk
menjelmakan diri dalam tiga pangkat beruntun itu adalah Paramasiwa, Sadasiwa, dan
Maheswara. Selanjutnya Maheswara sebagai penjelmaan Siwa yang bendani

90
menjelmakan diri dalam rupa Brahma, Rudra, dan Wisnu, yang oleh rakyat disebut
sang Hyang Trimurti. Demikianlah dalam ajaran ini tampak lagi bahwa segala sosok
ilahi di Bali dipandang sebagai penjelmaan Siwa atau sang Hyang Widi, sekalipun
penjelmaan itu tidak senantiasa menampakkan segi-segi yang baik dan benar. Hal ini
disebabkan karena daya cipta ilahi yang dapat menghasilkan hal-hal yang baik itu
dapat dikeruhkan dan dibalik menjadi daya cipta untuk mendatangkan hal-hal merusak
yang menakutkan. Siwa menjelmakan diri sebagai pencipta, pemelihara, dan sekaligus
perusak. Siwa bukan hanya dapat menjelmakan diri sebagai Batara Guru, tetapi juga
sebagai Batara Kala, Tuhan kegelapan dan sebagai Batari Durga, dewi yang
menguasai maut. Demikianlah Siwa meliputi baik hidup maupun mati.
Nampak jelas bahwa konsep ketritunggalan juga ada dalam agama Hindu,
tetapi dalam bentuk yang sama sekali berbeda dengan keTritunggalan dalam
keKristenan. Pada masa PL, nuansa yang lebih terasa adalah keEsaan Allah, sedang
konsep Tritunggal walaupun telah dinyatakan tetapi belum terlalu jelas. Dalam
perkembangannya di PB, konsep ini telah nampak dengan sangat jelasnya. Tidak
demikian dengan Hinduisme yang mana konsep tiga dewa mereka menuju arah yang
berbeda. Jikalau dalam keKristenan ketiga pribadi itu adalah sehakekat dan setara,
maka tidak demikian dengan Hindu yang cenderung untuk mengutamakan salah satu
dewanya diantara yang lainnya. Jikalau dalam keKristenan, ketiga pribadi itu ada dari
kekekalan hingga kekekalan, maka Hinduisme mengatakan satu dewa menyebabkan
keberadaan dewa yang lain. Jikalau dalam keKristenan ketiga Allah yang Esa itu
adalah pribadi yang baik adanya, tidak demikian dengan Hinduisme yang
menganggap dewa utamanya dapat menjadi pencipta, pemelihara sekaligus perusak
ciptaannya. Dan masih banyak lagi perbedaan konsep tentang hal ini diantara kedua
agama.

Tempat Pemujaan
Ada bermacam-macam tempat pemujaan. Masing-masing dikaitkan dengan
kelompok orang yang memuja dan sosok yang dipuja. Beberapa diantaranya adalah:
1. Sanggah
Sanggah adalah tempat orang memuja nenek moyangnya. Letaknya ada di
halaman belakang rumah di sebelah kaja timur. Bagi kaum bangsawan bagian
ini disebut pemerajan. Di halaman ini terdapat beberapa bilik kecil yang
didirikan di atas landasan dari tanah liat atau dari batu, berderet. Inilah pusat
tempat upacara-upacara keagamaan dilakukan. Di sini dipersembahkan sesajen
kepada para Batara dan para dewa pelindung keluarga. Bilik-bilik itu di
antaranya adalah:
a. Sanggah kemulan, tempat keluarga memuja bapa asalnya, yaitu nenek
moyang yang sudah didewakan. Sanggah ini terdiri dari 3 bagian. Dua
bagian untuk memuja nenek moyang lelaki dan perempuan. Bagian
yang ke 3 untuk memuja matahari atau Dewa Matahari (Surya), atau

91
juga untuk memuja Batara Guru, yang dipandang sebagai bapa asal
secara umum. Sanggah ini dihubungkan erat sekali dengan kehidupan
keluarga (pada waktu ada kelahiran, perkawinan, dsb.). Jika ada
anggota keluarga yang berumah tangga baginya didirikan juga sanggah
kemulan.
b. Sanggah untuk Ngurah atau Ngerurah, yaitu yang melindungi tanah.
c. Sanggah untuk Taksu. Sosok ini bukan dewa, melainkan tempatnya
lebih tinggi daripada manusia. Mereka menjadi perantara manusia
dengan dewa. Mereka dipuja supaya mereka berkenan mengantarkan
sesajen keluarga kepada dewa yang dipuja.
Masih ada sanggah-sanggah yang lain untuk dewa-dewa yang lain. Kecuali
itu ada juga sebuah padmasana, tempat duduk Dewa Surya. Pada umumnya
yang berkewajiban melakukan pemujaan di sini adalah para ibu. Para bapa
mayat dan sebagainya.
2. Pura
Tiap desa yang teratur memiliki 3 macam Pura (tempat pemujaan), yaitu:
a. Pura puseh, tempat memuja dewa pemilik tanah dan dewa pendiri desa,
yaitu nenek moyang bersama yang sudah disucikan, dan oleh
karenanya sudah didewakan. Pura ini terletak di bagian atas desa, di
sebelah kaja timur.
b. Pura dalem, pura alam bawah, tempat orang berhubungan dengan
arwah-arwah yang belum disucikan dengan pembakaran jenazahnya
yaitu para pirata. Tempatnya di luar desa, di sebelah kelod barat.
Menurut keyakinan orang Bali arwah orang yang belum disucikan
dengan pembakaran mayatnya berada didalam tempat semacam alam
maut. Selama mereka berada disitu mereka dapat mendatangkan
bahaya kepada manusia dengan berbagai cara. Pengaruh jahat itu dapat
dielakkan dengan upacara keagamaan di dalam pura dalem. Jika arwah
arwah ini sudah disucikan mereka menjadi pitara, yang dipuja di dalam
pura puseh. Pengaruh merekapun menjadi baik.
c. Pura bale agung, tempat masyarakat desa bertemu untuk membicarakan
keperluan bersama, baik dibidang keagamaan maupun di bidang
kemasyarakatan. Tempatnya ada di tengah desa, berdampingan dengan
perempatan jalan atau digabungkan dengai pasar.
Ketiga pura ini disebut kahyangan tiga, yang dipandang sebagai perlu sekali
bagi keselamatan desa. Di samping kahyangan tiga masih ada kemungkinan
dibangunnya pura-pura yang lain misalnya pura puseh yang lain di halaman pura bale
agung, pura bukit yang didirikan di pegunungan, pura subak atau pura bedugul (yaitu
untuk keperluan irigasi), pura pusering jagat (yang menggambarkan asal-mula seluruh
dunia), pura kenteling bumi (pura tempat bumi yang berputar menjadi kental), pura
pusering tasik (pura untuk pusat lautan), dan lain sebagainya.Ada juga pura yang
dihubungkan dengan raja dan kerajaan, yaitu:

92
1. Pura Penataran, yaitu pura kerajaan, yang didirikan demi kesejahteraan dan
kelangsungan kerajaan. Pura ini terdiri dari banyak bangunan untuk
bermacam-macam upacara. Di sini datanglah raja dan rakyat datang
bersama-sama.
2. Candi, yaitu bangunan dari batu yang dikelilingi oleh banyak bangunan
kecil. Temboknya dihias dengan relief-relief atau hiasan-hiasan lainnya. Di
sini terdapat patung-patung dewa dan patung-patung penjaga candi. Candi
ini dipakai untuk memuja nenek moyang yang sudah didewakan (semacam
pura puseh) dan untuk memuja tanah, wilayah kerajaan, atau untuk dipakai
sebagai pura bale agung.
3. Pura Besakih semula adalah suatu tempat suci Bali asli. Hal ini tampak
dari bentuknya yang berteras dan sebutan dewa-dewi yang dipuja. Tetapi
sejak abad ke-10 pura ini dijadikan pura kerajaan. Semula hanya para raja
di Gelgellah yang memuja nenek moyangnya di sini, kemudian disusul
oleh raja-raja di Klungkung dan akhirnya semua raja di Bali. Pura Besakih
dipandang lebih tinggi daripada segala pura penataran.
Mengenai pura-pura itu dapat dikatakan demikian: Yang penting bukan
puranya sebagai bangunan, melainkan tanah tempat pura itu didirikan. Tanah itu
adalah tanah suci. Sebidang tanah suci yang dipilih oleh salah satu sosok dewa, dan
kemudian orang Bali mendirikan bangunan bagi dewa itu disana. Pura-pura ini
bukanlah tempat tinggal dewa yang sebenarnya, melainkan hanya tempat tinggal
sementara, semacam rumah penginapan. Sebab tempat tinggal yang sebenarnya adalah
di puncak gunung-gunung. Pada waktu-waktu tertentu para dewa turun ke madyapada
untuk memberi kesempatan kepada manusia beraudensi dengan mereka dan sesudah
pertemuan selesai para dewa kembali ke puncak gunung-gunung tempat tinggal
mereka.
Biasanya suatu kompleks pura terdiri dari 3 bagian, atau 3 halaman yaitu
halaman luar (jaba), halaman tengah (jaba tengah), dan halaman dalam (jeroan). Ada
kalanya halaman luar dan tengah dijadikan satu, sehingga pura itu hanya memiliki 2
halaman (jaba tengah dan jeroan) sedang sebuah lapangan terbuka di depan pura
berfungsi sebagai halaman luar.

 Halaman luar
Pintu gerbang masuk ke halaman luar terdiri dari suatu pintu gerbang, yang
seolah-olah pintu itu dibelah menjadi dua bagian yang sama, yang sebelah
diletakkan di samping yang lain, dalam jarak yang sempit. Bagian yang
menghadap keluar dihias dengan ukiran-ukiran, sedang bagian yang
menghadap ke dalam polos saja. Pintu ini tak beratap. Didalam halaman ini
terdapat bermacam-macam bangunan, diantaranya bale kulkul, tempat
kentongan, di salah satu sudut halaman. Kecuali itu masih ada lagi sebuah
lumbung untuk menyimpan padi milik pura, sebuah bale untuk
mempersiapkan sesajen, sebuah dapur, sebuah bale gong, tempat gamelan,
dan beberapa bale lainnya.

93
 Halaman tengah
Halaman luar dihubungkan dengan halaman tengah oleh sebuah pintu
gerbang sempit yang beratap, yang disebut paduraksa. Bentuknya kadang-
kadang lebar dan sederhana, kadang-kadang ramping dan penuh ukiran-
ukiran, sedang bagian atasnya menjulang tinggi. Jika orang akan memasuki
pintu gerbang ini ia harus menaiki beberapa anak tangga, karena biasanya
halaman tengah lebih tinggi daripada halaman luar. Ada juga pura yang
melalui paduraksa orang harus turun lagi melalui beberapa anak tangga. Di
atas pintu gerbang terdapat sebuah patung kepala Bhoma (anak Wisnu
dengan Prtiwi), sebagai penolak segala pengaruh jahat yang hendak
memasuki halaman tengah. Penjagaan terhadap pengaruh jahat bukan hanya
dilakukan dengan kepala Bhoma, melainkan juga dengan memberikan pintu
yang sempit kepada paduraksa. Seolah-olah semuanya itu belum mencukupi,
di belakang paduraksa didirikan sebuah aling-aling, terbuat dari sebuah
dinding tembok untuk menutup pandangan langsung ke dalam halaman
tengah. Bangunan pokok di halaman tengah adalah bale agung (tempat
pertemuan).
 Halaman dalam
Halaman ini adalah tempat suci yang sebenarnya, tempat para dewa hadir
dan berkomunikasi dengan manusia. Untuk keperluan itu di dalam halaman
ini didirikan banyak bale untuk berbagai dewa. Bale-bale itu biasanya
ditempatkan di dekat tembok belakang halaman. Ada bale untuk Batara
Maospait, yang disebut bale manjangan selawang, ada bale untuk sang
Hyang Trimurti yang disebut bale tiga sakti, dsb. Kecuali bale yang
bermacam-macam itu terdapat juga tiang yang terbuat dari batu, tempat
orang meletakkan sesajen untuk Taksu atau untuk Ngerurah. Ada juga
bangunan yang disebut meru, simbol gunung tempat kediaman para dewa,
suatu bangunan yang memiliki atap bersusun (tumpang) dalam bilangan
gasal. Jika meru ini diperuntukkan kepada Batara Siwa, maka bilangan
tumpangnya 11, demikian pula jika diperuntukkan Batara Puseh, karena
dewa ini diidentikkan dengan Siwa. Untuk Batara Brahma dan Wisnu
diadakan 9 tumpang. Menurut keyakinan orang, jika para dewa turun,
mereka bersemayam di tumpang teratas. Selain itu di halaman dalam masih
ada yang disebut padmasana, yaitu sebuah singgasana yang terbuat dari batu,
yang terbuka tanpa atap. Padmasana ini dimaksud sebagai tempat
bersemayam Batara Surya atau Aditya. Akhirnya di halaman ini masih ada
beberapa bale tempat para dewa berkumpul untuk menerima sesajen yang
dipersembahkan (peruman atau pesamuan), dan lain sebagainya.

94
Pemujaan didalam Pura dan Hari Raya

Pemujaan Didalam Pura

Sekali setahun tiap pura merayakan hari ulang tahunnya. Tiap pura memiliki
tanggal kelahirannya. Pada hari raya ini para dewa dipandang turun dari tempat
kediamannya di gunung-gunung untuk bersemayam di tumpang-tumpang meru teratas.
Oleh karena itu hari-hari ini dipandang sebagai hari-hari waktunya orang dapat
berhubungan dengan sosok-sosok ilahi itu. Hari ulang tahun pura dapat dijatuhkan
pada tanggal menurut almanak Hindu-Bali, yang menganggap setahun terdiri dari 12
bulan, dan setiap bulan terdiri dari 30 atau 29 hari, atau dijatuhkan pada tanggal
menurut almanak Jawa-Bali, yang menganggap setahun terdiri dari 30 minggu, dan
seminggu terdiri dari 7 hari. Jika ditentukan menurut kalender Hindu-Bali disebut
usaha, jika ditentukan menurut kalender Jawa-Bali disebut odalan. Akan tetapi
sekarang keduanya dicampuradukkan. Tak ada aturan umum yang diadakan untuk
upacara-upacara perayaan ini.

Secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: Orang membuat


bermacam-macam perwujudan (semacam arca) yang dibuat dari logam, kayu atau
daun nyiur, yang akan berfungsi sebagai tempat duduk (pelinggih) para dewa jika
mereka turun. Ada juga pura yang memiliki arca tetap, yang pada hari-hari biasa
disimpan di dalam salah satu bilik di dalam pura. Perwujudan- perwujudan itu
dimandikan dan dihias dengan bunga-bungaan, lalu ditempatkan di bale penerimaan
pusat. Dengan perantaraan doa para imam, dewa pura diundang. Ia turun bersama-
sama dengan keluarga serta hulubalangnya. Para dewa pemilik pura tetangga juga
diundang sebagai tamu. Jika para dewa sudah hadir mereka diterima dan diantar ke
pelinggih masing-masing. Kepada mereka dipersembahkan sesajen. Sesudah itu para
dewa diarak ke sungai atau laut untuk mandi. Pawai ini disertai tari-tarian, gamelan,
dan sebagainya. Akhirnya jika perayaan selesai para dewa diantar kembali ke tempat
kediaman mereka di gunung-gunung dengan sorak-sorai rakyat.
Hari Raya
Hari-hari raya di seluruh Bali bagian tengah mengikuti almanak Jawa-Bali,
sedang bagian-bagian Bali lainnya berbeda-beda. Ada yang mengikuti almanak
Hindu-Bali, dan ada yang mencampurnya dengan almanak Jawa-Bali. Hari-hari raya
yang penting di antaranya adalah:

 Nyepi
Hari raya ini dirayakan menurut almanak Hindu-Bali, yang jatuh pada awal
bulan ke-10 (bulan Kadasa), sesudah musim hujan berakhir. Orang
berpendapat bahwa pada saat ini bumi menderita sakit dan panas. Batara Yama,
dewa maut, menyebarkan roh-roh jahat, sehingga seluruh Bali harus disucikan.
Penyucian ini diikuti oleh satu hari yang sunyi sekali. Pada akhir bulan ke-9,
sebelum matahari terbenam, segala roh jahat harus diusir ke suatu tempat

95
untuk diberi sesajen (mecaru). Sesudah itu mereka diusir dari desa dengan
mantra-mantra suci. Pada hari berikutnya, awal bulan ke-10, orang harus
menciptakan suatu suasana sunyi secara mutlak. Inilah hari Nyepi yang
sebenarnya. Orang dilarang menyalakan api, mengadakan persetubuhan,
melakukan pekerjaan apa pun. Juga dilarang ada kendaraan di jalan. Di Bali
Utara orang tak boleh keluar rumah. Di Denpasar orang tak boleh minum,
merokok, dsb. Pada hari ketiga baru diperbolehkan ada api dan terang,
sekalipun pekerjaan belum boleh dilakukan. Pada hari ini orang saling
mengunjungi. Kadang-kadang juga diadakan perlombaan-perlombaan bagi
anak-anak, dan lain sebagainya.
 Galungan
Galungan dirayakan pada hari Boda Klion (Rabu Kliwon), Wuku Dunggulan.
Hari raya ini memiliki makna kemenangan dharma dari adharma, yaitu
kebenaran melawan kejahatan. Lima hari sebelum Galungan para arwah nenek
moyang (pitam) diundang supaya hadir. Pada kesempatan ini mereka turun ke
bumi berdiam bersama-sama dengan keturunan mereka. Sesudah 10 hari
mereka kembali lagi ke alam atas. Pada hari raya Galungan setiap rumah dan
setiap perabot diberi sesajen. Segala alat dapur yang sudah tua diganti dengan
yang baru. Di sepanjang jalan dan di samping pintu gerbang rumah didirikan
penjor-penjor yang menjulang tinggi (bambu yang diberi hiasan-hiasan dan
tempat sesajen), dan lamak (kain yang dihias) yang digantungkan pada bambu-
bambu. Semua itu dimaksud agar pesta ini dapat dilihat dari gunung-gunung,
tempat kediaman para dewa. Tiap orang berpakaian baru. Seluruh masyarakat
Bali keluar rumah untuk berpesta. Di mana-mana terdapat wanita-wanita yang
membawa sesajen, dan sesudah mengunjungi pura desa orang mengunjungi
pesta- pesta yang diadakan pada hari ini dan hari berikutnya. Sesudah pesta
selesai para arwah kembali ke tempat kediaman mereka.
 Kuningan
Hari Raya Kuningan merupakan bagian dari rangkaian Hari Raya Galungan
dalam Hindu, yang jatuh pada 10 hari setelah Galungan, yaitu pada Saniscara
(Sabtu) Kliwon Wuku Kuningan. Kata Kuningan memiliki makna “kauningan”
yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar
terhindar dari mara bahaya. Pada Hari Raya Kuningan banten atau sesajen
pada setiap desa belum tentu sama, karena memang banten itu beraneka ragam
versinya. Tapi umumnya pada hari Raya Kuningan menggunakan upakara
sesajen yang berisi simbul tamiang dan endongan, di mana makna tamiang
memiliki lambang perlindungan dan juga juga melambangkan perputaran roda
alam. Sedang endongan maknanya adalah perbekalan. Bekal yang paling
utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti
(jnana). Mengenai waktu persembahyangan pada Hari Raya Kuningan,
Bhagawan Dwija menjelaskan pada Hari Raya Kuningan, Ida Sanghyang
Widhi Wasa memberkahi dunia dan umat manusia sejak jam 00 sampai jam 12.
Jadi di saat itu sangat tepat kita datang menyerahkan diri kepada-Nya mohon
perlindungan. Kenapa batas waktu sampai jam 12 siang, dikarenakan energi

96
alam semesta bangkit dari pagi hingga mencapai klimaksnya di bajeg surya
(tengah hari). Setelah lewat bajeg surya disebut masa pralina (pengembalian ke
asalnya) atau juga dapat dikatakan pada masa itu energi alam semesta akan
menurun dan pada saat sanghyang surya mesineb (malam hari) adalah saatnya
beristirahat (tamasika kala). Pada Hari Raya Kuningan juga dibuat nasi kuning
sebagai lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda
terimakasih atas anugerah dari Sang Hyang Widhi Wasa.

Para Imam
Sebelum membicarakan para imam, terlebih dulu akan dibicarakan secara
singkat susunan masyarakat Bali.
Dari agama Hindu-Jawa diwarisilah susunan masyarakat dalam 4 kelompok
atau kasta, yaitu: kaum Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Para Brahmana terdiri
dari keturunan imam-imam yang dulu bersama-sama dengan Gajah Mada datang di
Majapahit. Demikian juga halnya dengan para Ksatriya, yaitu para keluarga raja, para
Waisya, yaitu para keturunan bangsawan yang datang dari Majapahit, yang kemudian
menjabat sebagai kepala daerah dan sebagainya. Ketiga kasta ini disebut Triwangsa.
Jumlah mereka tidak melebihi 10% seluruh penduduk. Sedangkan lapisan bawah
masyarakat Bali terdiri dari kaum Sudra, yaitu penduduk Bali asli, yang mewujudkan
suatu masyarakat tersendiri. Mereka memiliki bangsawannya sendiri, imam-imamnya
sendiri, dan sebagainya.

Mengenai para imam dapat diuraikan demikian: Bali memiliki 3 macam imam,
yaitu: Pedanda, Pemangku, dan Sengguhu.

1. Pedanda
Pedanda adalah imam dari golongan Brahmana, kasta imam. Agar supaya orang
dapat ditahbiskan sebagai pedanda ia harus memenuhi persyaratan-persyaratan
tertentu. Pertama pedanda hanya dapat diduduki oleh anak lelaki sulung dari
seorang pedanda, yang dilahirkan oleh istri yang utama (yang juga dari kasta
Brahmana). Anak itu dipersiapkan sejak kecil, diajar untuk hidup yang baik dan
untuk mempelajari segala sesuatu yang diperlukan bagi seorang pedanda.
Misalnya: ia harus mempelajari bahasa jawa kuno dan jawa tengahan, agar dapat
mempelajari kepustakaan keagamaan Bali, mantra-mantra, dsb. Jika orang
tersebut lulus dari segala persiapan itu ia ditahbiskan menjadi pedanda. Fungsi
utama seorang pedanda adalah menjadi pawang dan guru golongan yang
memerintah, bukan hanya dalam soal duniawi, melainkan juga dalam soal
perjalanan mencari kelepasan. Jadi tugas seorang pedanda terdapat di tengah-
tengah golongan bangsawan. Sekali-kali ia terdapat juga di tengah-tengah
pemujaan rakyat, tetapi bukan sebagai imam yang memimpin. Ia juga tidak
diharuskan menghadiri upacara-upacara rakyat itu. Ada dua macam pedanda,
yaitu pedanda siwa dan pedanda boda. Pedanda siwa berambut panjang yang
disanggulkan di atas kepala, sedang pedanda boda mencukur rambutnya hingga di

97
bahu. Sebutan pedanda boda bukan menunjukkan bahwa ia memeluk agama
Buddha. Tugasnya sama dengan pedanda siwa, hanya berbeda dalam upacara-
upacaranya, dalam dewa-dewanya yang dipuja, dalam mantra-mantra yang
diucapkan dan dalam alat pemujaan yang dipakai. Misalnya: pedanda boda tidak
memakai bunga dalam upacara-upacaranya, tetapi memegang bajra, suatu senjata
mistis (semacam tombak) yang memiliki lima cabang pada tiap sisinya.
Pelayanan keagamaan pedanda disebut meweda, yang terdiri dari pengucapan
mantra-mantra suci, disertai perbuatan-perbuatan ritual dan sikap tangan serta jari
(mudra). Hal itu semua dimaksud agar apa yang diucapkan oleh pedanda dalam
pelayanan keagamaan tadi mengandung daya sakti. Melalui meditasi yang
memuncak dalam situasi trans (kerasukan) pedanda dimasuki oleh dewa yang
dipuja, sehingga apa yang dilakukan pedanda adalah perbuatan dewa itu sendiri.
Jika pedanda dalam keadaan yang demikian membuat air suci (tirta) maka daya
ilahilah yang membuatnya. Tugas pokok pedanda adalah membuat dan
memberkati air suci (toya tirta) atau meweda di rumah sendiri, tiap pagi sebelum
makan. Tugas ini dilakukan dengan upacara-upacara yang lebih besar pada hari-
hari Klion dan pada tanggal 1 dan 15. Tempat melakukannya di sanggah pribadi
(pemerajan). Upacara ini terdiri dari persiapannya yang dimulai dengan sang
Pedanda menyucikan diri, yaitu mandi dan berdandan yang disertai ritus-ritus.
Sesudah itu ia memasuki pemerajan dan duduk bersila di tempat yang disebut
bale yasa, menghadap ke timur, di depan sebuah meja kecil tempat tiga pinggan.
Pinggan yang tengah berisi bejana tempat air (siwamba) dengan alat-alatnya
penciduk dan kuas, yang dikelilingi banyak bunga, misalnya: cempaka, kembang
sepatu, kamboja, dsb. Di samping siwamba terdapat bejana berisi beras dan
tepung cendana. Pinggan kedua berisi sebuah dian (pedamaran), simbol Siwa, dan
dupa dengan alat-alatnya. Pinggan ketiga berisi sebuah bel (genta) yang jika
dibunyikan akan menarik perhatian para dewa.Sedang dalam upacaranya, yang
dilakukan pedanda pertama kali ialah menyucikan tangannya dengan
mengacungkannya di atas dupa. Kemudian tangan itu dipakai untuk mengambil
bunga dari pinggan yang tengah, yang diusap-usapkan di semua jarinya untuk
menyucikannya. Perbuatan ini disebut makara sedana. Bukan hanya tangannya
tetapi juga seluruh tubuhnya dan keadaan di sekitarnya harus disucikan. Hal itu
dilakukan dengan mengambil bunga-bunga yang sesudah diasapi dupa dan diberi
mantra-mantra dilemparkan ke segala penjuru angin, sedang sekuntum bunga
diletakkan di pangkuan sendiri. Perbuatan ini disebut mecong candi. Sekarang
sang pedanda bermeditasi untuk mempersiapkan diri bersatu dengan Siwa.
Sesudah itu ia menyucikan air yang ada di siwamba dengan cara mengambil
sebatang rumput alang-alat untuk menulis suku kata ONG (sebagai simbol Siwa)
di air. Dengan demikian air itu menjadi singgasana Siwa. Selanjutnya pedanda
mengambil bunga yang sesudah dimasukkan ke dalam bejana tempat beras dan
tepung cendana serta diasapi dupa, dimasukkan ke dalam air. Melalui ini turunlah
Siwa ke dalam air bersamaan dengan daya hidup padi, suara bunga, dan roh dupa.
(daya hidup, suara dan roh adalah anasir-anasir yang menyusun hidup). Sekarang
pedanda membunyikan genta tiga kali. Demikianlah air itu menjadi air suci (toya

98
tirta). Tibalah sekarang puncak upacara, yaitu pedanda memercikkan air suci
kepada dirinya, lalu mengusapkan tepung cendana pada kepalanya, di antara mata,
di bagian luar tenggorokan, di bahu kanan-kiri, di siku, dan di sendi-sendinya.
Dengan demikian Siwa sendiri mendiami tubuhnya. Maka ia mengenakan segala
simbol suci (pakaian imam) untuk melakukan yang disebut ngili atma, yaitu
menaikkan jiwanya dari pusat (ruang perut) ke ubun-ubun untuk dipertemukan
dengan Siwa. Hal ini dilakukan dengan yoga, mengucapkan japa dan bersemadi.
Sesudah ia berhasil mempertemukan jiwanya dengan Siwa, jiwa itu diturunkan
lagi ke pusat (ruang perut), yang disebut menuntun atma. Kemudian ia
membunyikan genta lagi 3 kali untuk menguraikan ketiga anasir hidup yang
dipersatukan tadi. Segala perhiasannya ditanggalkan dan Siwa kembali ke tempat
kediamannya. Pada akhirnya pedanda meminum air suci beberapa teguk
banyaknya, membasahi mukanya dengan tangannya yang basah, menancapkan
sekuntum bunga di sanggulnya, dan meninggalkan pemerajaannya. Seluruh
upacara ini berlangsung kira-kira selama satu jam. Kemudian air suci itu dibagi-
bagikan kepada mereka yang memerlukan dengan memberikan sekadar imbalan.
Pada waktu ada perayaan-perayaan pura, pedanda membuat air suci di halaman
pura. Akan tetapi upacara ini bukan menjadi bagian upacara perayaan pura. Dapat
dikatakan, bahwa pada waktu itu pedanda hanya berfungsi sebagai tamu. Kecuali
pada upacara- upacara Ngaben (pembakaran mayat) dan upacara-upacara di
kalangan bangsawan, di situ pedanda mengambil peranan yang penting. Tugas-
tugas lainnya yang harus dilakukan pedanda ialah mentahbiskan raja, memuja di
pura penataran, dan lain-lainnya.
2. Pemangku
Imam ini dapat diambil dari kasta selain Brahmana, sekalipun biasanya seorang
Sudralah yang menjabatnya. Dialah yang menjaga pura, memimpin upacara-
upacara di pura, dan segala macam upacara lainnya, kecuali yang terjadi di
tengah-tengah lingkungan raja. Dialah yang menerima segala sesajen serta yang
menyucikannya, yang mengucapkan mantra-mantra atasnya, yang mengundang
dewa supaya turun. Ia juga dapat membuat air suci seperti halnya dengan pedanda.
Berbeda dengan pedanda seorang pemangku tidak ditahbiskan. Ia menerima
jabatannya langsung dari para dewa, yang dinyatakan kepadanya dengan
perantaraan orang-orang yang sedang dimasuki roh ilahi. Sesudah itu barulah ia
mempersiapkan diri bagi jabatannya, yaitu dengan berpuasa, mempelajari mantra-
mantra, serta upacara-upacara yang diperlukan dalam pekerjaannya. Berbeda
dengan pedanda ia tidak perlu menguasai bahasa kuno. Tugasnya lebih erat
dihubungkan dengan rakyat.
3. Sengguhu
Sengguhu adalah imam untuk kasta yang rendah. Biasanya ia sendiri berasal dari
kasta Sudra, namun ia mengaku berasal dari sang Hyang Tunggal dan sang Hyang
Meleng (Matahari). Tugas pokoknya adalah mempersembahkan sesajen untuk
tokoh-tokoh dari alam bawah. Secara khusus sengguhu dihubungkan dengan
Dewa Wisnu (dewa air dan laut). Upacara-upacara yang dilakukan dapat
dikatakan sama dengan yang dilakukan imam-imam yang lain; hanya ada

99
perbedaannya, yaitu selama ia mengucapkan mantra-mantranya seorang
pembantunya membunyikan sangkakala (sangka), sedang pembantu yang lain
membunyikan gendang. Sengguhu membiarkan rambutnya panjang, yang
disanggul rendah di atas lehernya, bukan di atas kepalanya seperti halnya dengan
pedanda. Keadaan mereka pada umumnya melarat. Kemungkinan sengguhu ini
adalah sisa-sisa imam dari mazhab Wisnu (penyembah Wisnu dan Sri), yang
sekarang sudah tak ada di Bali lagi.

Kultus bagi Orang Mati


Ada dua macam kultus bagi orang mati, yaitu kultus Bali asli, yang tidak
mengubur jenazah, tetapi meletakkannya begitu saja di hutan-hutan atau di alur sungai,
dan kultus Hindu-Jawa yang membakar jenazahnya.
Sudah sejak zaman Majapahit penghormatan kepada orang mati adalah suatu
pesta yang besar, yang mengikutsertakan seluruh masyarakat dan menelan ongkos
yang banyak sekali. Gagasan pokok yang terkandung di dalam kultus bagi orang mati
ada dua macam. Di satu pihak orang didorong oleh kasih dan penghormatan kepada
sang wafat untuk memelihara dengan baik serta memberikan kepada arwahnya tempat
yang tenang dan damai. Di lain pihak orang takut bahwa arwah sang wafat masih tetap
mengembara di sekitar rumah dan mendatangkan bencana kepada yang masih hidup.
Oleh karena itu para arwah perlu sesegera mungkin disempurnakan.
Menurut keyakinan, ketika orang masih hidup jiwanya dibelenggu oleh
tubuhnya, sehingga jiwa itu dikotorkan. Agar supaya jiwa bisa mendapat kelepasan,
bebas dari segala ikatan benda, jiwa harus disucikan. Penyucian itu melalui
bermacam-macam tahap.
Pertama adalah penyucian yang dilakukan dengan memisahkan jiwa dari tubuh,
yang terjadi pada waktu orang mati. Namun penyucian ini belum sempurna, sebab
jiwa belum bebas sama sekali dari tubuh. Ikatannya dengan tubuh hanya dikendorkan.
Itulah sebabnya orang masih dapat dilahirkan kembali. Dalam keadaan ini jiwa
disebut Pirata, yang masih terikat pada alam bawah, dan masih dapat mendatangkan
bencana bagi kerabatnya.
Kedua, penyucian yang dilakukan dengan api dan air, yaitu penyucian dengan
pembakaran dan penaburan abunya di air (laut atau sungai). Dengan ini segala cacat
cela yang mengotorkan jiwa ditiadakan secara lebih sempurna dari jiwa, sehingga jiwa
dinaikkan tempatnya dari alam bawah ke alam atas bagian yang terendah, (Indraloka).
Sekarang jiwa menjadi Pitara dan dibebaskan dari sifat perorangan. Ia sudah dapat
mendatangkan selamat kepada kerabat-nya.
Ketiga, penyucian yang dilakukan sesudah pembakaran mayat yang biasanya
dilakukan secara simbolis dan yang diakhiri dengan upacara terakhir. Upacara ini
biasanya hanya dilakukan bagi para raja, karena biayanya yang luar biasa. Di Bali
upacara ini disebut meligia, yang pada zaman Majapahit disebut sraddha. Dengan
penyucian-penyucian sesudah pembakaran mayat itu jiwa makin dinaikkan

100
kedudukannya, melalui alam yang makin tinggi hingga di alam yang tertinggi, di
Siwaloka. Di sini jiwa didewakan.

Pembakaran mayat (Ngaben, Palebon)

Segera sesudah orang mati jenazahnya dikubur dengan memakai upacara-


upacara yang diperlukan. Penguburan ini tidak berlaku bagi orang-orang dari kasta
Brahmana dan Ksatria. Jenazah mereka disimpan di rumah hingga waktu pembakaran.
Hal ini disebabkan karena mereka dipandang bersatu dengan Siwa ketika mereka
masih hidup. Sesudah jenazah dikubur, jenazah itu masih dirawat juga, yaitu pada
hari-hari pertama sesajen ditempatkan di kuburnya, terlebih-lebih pada hari-hari yang
penting. Bagi golongan Brahmana dan Ksatriya pembakaran mayat dilakukan secepat
mungkin. Akan tetapi rakyat biasanya menunggu hingga ada orang dari golongan atas
yang mengadakan pembakaran, untuk menghemat biaya. Upacara pembakaran mayat
terdiri dari dua bagian:
a. Persiapan
Persiapan terdiri dari pembuatan alat-alat pembakaran, sesajen yang diperlukan,
memasak, dan lain sebagainya. Alat-alat yang diperlukan bagi pembakaran
mayat terdiri dari:
i. Bade untuk golongan triuwangsa (kasta yang bukan Sudra) dan wadah
untuk para Sudra, yaitu tempat jenazah diangkut ke tempat pembakaran.
Bade terdiri dari 3 bagian, yaitu: tumpang, kerancagan, dan dasar. Yang
dimaksud dengan tumpang adalah atap bade yang bersusun. Bilangan
susunannya disesuaikan dengan jenazah yang akan dibakar (raja memiliki
11 tumpang). Adapun kerancagan adalah bagian tengah bade, tempat
jenazah diletakkan dalam perjalanannya menuju tempat pembakaran.
Akhirnya dasar adalah alas tempat kerancagan diletakkan, terbuat dari
bamboo. Dasar ini diletakkan di sebuah rangka yang terbuat dari bambu
yang memanjang dan melintang hingga menonjol keluar, agar dapat dipikul
oleh orang banyak. Seluruh bade menggambarkan kosmos, seperti halnya
meru. Sedang dasar menggambarkan alam bawah dan kerancagan
menggambarkan alam tengah, tempat kediaman manusia. Akhirnya
tumpang menggambarkan alam atas, tempat kediaman para dewa. Sering di
depan bade dipasang sebuah perwujudan naga yang panjang, yang disebut
nagabanda sehingga tampaknya seolah-olah bade itu diangkut oleh seekor
naga. Di atas kepala naga terdapat imam-imam sebagai pawang sang
almarhum.
ii. Tangga kehormatan, dibuat dari bambu, untuk menaikkan jenazah ke
kerancagan serta untuk menurunkannya lagi ke tempat pembakaran.
iii. Petulungan, yaitu peti jenazah, tempat tulang-tulang sang almarhum dibakar.
Alat-alat ini sering memiliki perwujudan binatang sesuai dengan wangsa
atau kasta sang wafat. Misalnya bagi orang Brahmana dan Ksatriya seekor
lembu, dan sebagainya.

101
b. Pembakaran mayat

Jika persiapan-persiapan sudah selesai, beberapa hari sebelum hari


pembakaran diadakan, penggalian jenazah (mungka) dilakukan sebelum fajar
menyingsing. Kubur-kubur digali, tulang-tulangnya dikumpulkan dan dibawa
pulang. Sesajen diletakkan di kubur yang terbuka itu untuk menenangkan dewa
kubur. Di rumah tulang-tulang itu disucikan, bersamaan dengan segala sesuatu
yang akan diikutsertakan dalam pembakaran, di antaranya yang disebut adegan
(perwujudan boneka yang terbuat dari daun lontar tempat jiwa akan
dipindahkan), cendana (yaitu sebuah pinggan terbuat dari kayu cendana
dengan digambari perwujudan yang menampakkan corak-corak sang wafat
yang juga dipakai sebagai tempat jiwa sang wafat). Kemudian jiwa
dipindahkan ke adegan dan cendana, karena sudah dilepaskan dari tubuhnya.
Maksud pembakaran tiga unsur itu (tulang sang wafat, adegan, dan cendana),
adalah agar pembersihan jiwa dari pengotoran benda dapat dilipatkan hingga
tiga kali. Kecuali adegan dan cendana masih ada hal lain yang ikut dibakar,
yaitu ratiadana, sebuah tulisan yang memuat 10 nama dewa-dewa yang
terpenting. Tulisan itu dimaksud sebagai ijazah bagi jiwa, bahwa segala
penyucian sudah dilakukan baginya, sehingga ia dapat masuk ke Indraloka.
Pada sore hari sebelum hari pembakaran diadakan, diadakan perayaan
pembakaran mayat dengan pawai mengelilingi desa bersama-sama seluruh
keluarga serta orang banyak dan diramaikan oleh gamelan. Pada hari
berikutnya, ketika masih pagi benar, bade, tangga, dan segala alat-alat lainnya
serta halaman rumah disucikan dengan air suci. Sesajen juga diletakkan di
sana-sini untuk buta dan kala. Menjelang tengah hari sesajen dibawa ke tempat
pembakaran mayat (sema). Sesudah jenazah dinaikkan di bade lalu
diberangkatkan. Di barisan terdepan ada orang yang memikul tangga, lalu
diikuti oleh gamelan, sesudah itu wadah dan bade. Pawai ini berjalan dengan
riuh-rendah, karena ada kelompok orang lain yang menjumpai kelompok
pengantar jenazah, seolah-olah hendak merintangi jalannya dan merebut
jenazah (perang semu). Perjalanannya juga tidak langsung menuju tempat
pembakaran, tetapi membelok berputar, melalui jalan yang lebih jauh.
Maksudnya untuk membelokkan perhatian roh-roh jahat. Kira-kira setelah 2
jam, pawai itu tiba di tempat pembakaran. Sesudah berputar-putar hingga 3
kali mengelilingi tempat pembakaran, wadah dan bade diturunkan. Jenazah
dipindahkan di tempat pembakaran (petulungan). Sesudah diperciki air suci
dan diucapi mantra mantra, serta sesajen ditimbun di sekitar tempat
pembakaran, lalu jenazah dibakar, disertai dengan pengucapan mantra-mantra
suci. Abu jenazah dikumpulkan dan ditaburkan di sungai atau di laut.
Demikianlah penyucian yang sempurna dilaksanakan bagi sang wafat yang
tentu saja menghabiskan banyak sekali biaya. Seperti yang sudah dikemukakan
di atas segala upacara bagi sang wafat sesudah pembakaran mayat, dimaksud
untuk menaikkan derajat jiwa hingga mencapai sorga yang tertinggi, di
Siwaloka dan didewakan.

102
BAB 3
PARISADA HINDU DHARMA

Di dalam pendahuluan bagian 4 buku ini sudah dikemukakan bahwa usaha


pembaruan agama Tirta sudah dimulai sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda.
Usaha itu disempurnakan pada zaman kemerdekaan RI. Terlebih-lebih usaha itu
didorong oleh keinginan-keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari Departemen
Agama RI. Sampai di mana usaha pembaruan itu dilaksanakan bisa didapatkan
didalam sebuah buku kecil berjudul Upadesa, yang menguraikan ajaran agama Hindu,
dan yang diterbitkan oleh Parisada Hindu Dharma. Dari buku kecil ini kita mendapat
kesan adanya usaha kaum intelektual untuk menyesuaikan agamanya dengan suasana
di Indonesia dan dengan suasana modern pada umumnya. Pengertian-pengertian yang
tradisional Bali diberi keterangan yang diambil dari kitab-kitab agama Hindu asli di
India, serta ditempatkan dalam terang modern. Usaha yang demikian sudah barang
tentu adalah hak putra-putra pemeluk agama itu sendiri. Di sini tidak akan dibicarakan
semua yang ada di dalam buku Upadesa itu. Tetapi hanya akan dibatasi sampai pada
beberapa hal saja, sekadar untuk mendapatkan kesan tentang perkembangan agama
Hindu Dharma.

Ajaran tentang sang Hyang Widi Wasa (Widhitattwa)


Pada bab-bab terdahulu dikemukakan bahwa sang Hyang Widi adalah tata
tertib kosmos yang mempersatukan segala sesuatu, baik para dewa maupun segala
kultusnya dan para manusia. Di dalam Upadesa sang Hyang Widi diberi keterangan
yang diambil dari kitab-kitab Hindu, seperti misalnya Upanisad, Bhagawadgita, dan
lain sebagainya. Sang Hyang Widi diidentikkan dengan Brahman. Menurut keterangan
ini sang Hyang Widi adalah Tuhan yang bersifat esa, karena di dalam Kitab Weda
disebutkan Ekam eva adwityam Brahman, yang artinya hanya satu, tidak ada duanya
sang Hyang Widi itu. Jadi kata Brahman diterjemahkan dengan Hyang Widi.
Keterangan itu dikuatkan lagi dengan apa yang disebutkan di dalam lontar Sutasoma,
yang bunyinya Bhineka Tunggal Ika, tan hana Dharma mangrwa, yang artinya
berbeda-beda tetapi satu, tidak ada Dharma yang dua. Keesaan sang Hyang Widi
dikuatkan lagi dengan kata-kata yang diambil dari Upanisad, yaitu sang Hyang Widi
tak berbentuk (nirupam), tak bertangan kaki (nirkaran nirpadam), tidak berpancaindra
(nirindryam), namun Ia mengetahui segala yang ada pada makhluk. Selanjutnya
dikatakan, bahwa sang Hyang Widi tidak pernah lahir dan tak pernah tua, tak pernah
berkurang dan tak juga bertambah. Sekalipun demikian sang Hyang Widi disebut
dengan banyak nama. Hal ini disebabkan karena sifat-sifat sang Hyang Widi adalah
mahatahu, mahakuasa, maha pengasih, dan tidak terbatas, sedang daya cipta manusia
untuk menggambarkan sang Hyang Widi sangat terbatas. Nama-nama itu disebutkan
menurut fungsi-fungsinya. Dijelaskan bahwa nama-nama yang penting ialah nama Tri

103
Sakti, yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Selanjutnya dijelaskan bahwa Brahma adalah
fungsi sang Hyang Widi sebagai pencipta, sedang Wisnu adalah fungsi sang Hyang
Widi sebagai pelindung dan pemelihara yang penuh kasih. Adapun Siwa adalah fungsi
sang Hyang Widi sebagai pelebur yang melebur dunia dengan segala isinya serta yang
mengembalikannya pada peredaran asalnya. Atau dapat juga dikatakan bahwa Brahma
adalah kekuatan (sakti) sang Hyang Widi waktu menciptakan, Wisnu adalah ke
kuatannya waktu memelihara, sedang Siwa adalah kekuatannya waktu melebur.
Dengan ketiga macam kekuatan (sakti) ini sang Hyang Widi menguasai seluruh
makhluk. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Sang Hyang Widi tidak
dianggap sebagai pribadi melainkan sebentuk energi. Energi yang dapat dijumpai
dalam diri manusia. Sang Hyang Widi tak boleh disamakan dengan Dewa atau Batara,
karena para dewa adalah perwujudan sinar suci sang Hyang Widi yang memberi
kekuatan suci guna kesempurnaan hidup makhluk. Batara adalah perbawa (manifestasi)
kekuatan sang Hyang Widi untuk melindungi ciptaannya. Karena kemahakuasaannya,
maka tuhan yang tak berbentuk ini dapat juga mengambil wujud sesuai dengan
keadaan untuk menegakkan Dharma, yaitu dalam Awataranya (avatar=penitisan).
Demikian-lah keterangan tentang sang Hyang Widi diwarnai oleh kitab-kitab Hindu
asli dari India.

Ajaran tentang Penjadian


Sudah dikemukakan, bahwa Brahma adalah kekuatan sang Hyang Widi waktu
menciptakan atau juga dapat disebut perbawa (manifestasi) sang Hyang Widi pada
waktu ia menciptakan. Daya cipta sang Hyang Widi disebut kryasakti. Dengan daya
cipta ini segala sesuatu dijadikan. Akan tetapi penjadian ini bukan terjadi sekaligus
selesai, melainkan dengan perlahan-lahan melalui evolusi (lebih tepat disebut emanasi,
yaitu pengaliran keluar). Penciptaan disebut srsti, yaitu pengaliran keluar apa yang
sudah ada secara potensial di dalam sang Hyang Widi. Bagaimana dunia mulai
diciptakan, tak dapat diketahui, karena dunia merupakan suatu perputaran lingkaran.
Jadi asal dan akhirnya tak dikenal. Yang jelas ialah bahwa di dalam kehidupan ini
setiap saat ada penciptaan (srsti) dan setiap saat ada peleburan (pralaya), sehingga
hidup ini sejak kehidupannya sebagai sel hingga kehidupannya yang tertinggi terus
mengalami srsti dan pralaya terus- menerus, sama seperti air yang mengalir terus
menerus di badan sungai.

Terjadinya Alam Semesta (Bhuwana Agung)


Adapun penciptaan tadi terjadi demikian: Dengan bertapa sang Hyang Widi
memancarkan kemahakuasaannya, artinya tenaga pikiran yang mengeram di dalam
sang Hyang Widi dipusatkan sedemikian rupa hingga menimbulkan panas yang
memancar. Pancaran panas ini menyebabkan adanya Brahmanda (telur Brahma atau
telur sang Hyang Widi). Yang disebut telur Brahma adalah planet-planet yang
bentuknya bulat seperti telur. Proses menuju ke telur Brahma itu adalah sebagai
berikut: Karena bertapa tadi terjadilah dua kekuatan asal (potensi asal) yang disebut

104
Purusa (kekuatan kejiwaan) dan Prakrti (kekuatan kebendaan).Kedua kekuatan asal ini
bertemu. Pertemuan ini menimbulkan yang disebut cita (alam pikiran) yang sudah
dikuasai oleh tiga kualitas atau triguna, yaitu sattwa, rajas, dan tamah. Sesudah itu
timbullah buddhi (naluri pengenal), kemudian manah (akal dan perasaan), lalu
ahangkara (rasa keakuan), dan dasendrya (sepuluh indra), yang terdiri dari pancendrya
(rangsang pendengaran, perasa, penglihat, pengecap, dan pencium) dan karmendryo
(penggerak mulut, tangan, kaki, pelepasan, dan kemaluan). Setelah indra-indra ini
timbullah yang disebut pancatanmatra atau lima benih zat alam (yaitu benih suara,
rasa sentuhan, penglihatan, rasa, dan pencium). Akhirnya timbullah unsur-unsur benda
materi yang disebut pancamahabhuta (anasir kasar), yaitu ether gas (atau hawa), sinar
cahaya (zat cair/air dan zat padat/bumi). Bentuk kelima anasir bendani ini adalah atom.
Karena pengolahan diri maka dari kelima mahabhuta (anasir kasar) itu terjadilah
brahmanda-brahmanda (telur Brahma), yaitu matahari-matahari, bulan-bulan, bintang-
bintang, dan planet-planet, termasuk bumi kita ini. Seluruh alam semesta tersusun
dalam 7 lapisan, yang makin tinggi makin halus, sesuai dengan susunan anasir yang
menguasainya, yaitu: Bhurloka, Bhuahloka, Swahloka, Mahaloka, Janaloka, Tapoloka,
dan Salvaloka. Bhurloka atau Manusialoka adalah bumi tempat kita hidup terdiri dari
campuran kelima anasir kasar tersebut dengan zat padat dan zat cair sebagai bagian
yang terbanyak. Bhuahloka adalah alas roh, disebut juga Pitraloka, dengan zat cair dan
zat sinar cahaya sebagai bagian yang terpokok. Swahloka, disebut juga Dewaloka atau
Sorga, karena dihuni oleh para dewa yang bersinar. Alam ini terdiri dari sinar dan
hawa sebagai bagian yang terpokok. Demikianlah terjadinya bhuwana agung atau
makrokosmos.
Terjadinya Bhuwana Alit (manusia) dan Kedudukan Manusia

Mengenai terjadinya manusia diajarkan demikian: Sari pancamahabhuta, yaitu


sari ether, hawa, api, air, dan bumi, bersatu menjadi sadrasa (enam rasa), yaitu: rasa
manis, pahit, asam, asin, pedas, dan sepat. Kemudian unsur-unsur ini bercampur
dengan unsur-unsur yang lain, yaitu cita, budhi, ahangkara, dasendrya, pancatanmatra,
dan pancamahabhuta. Pencampuran ini menghasilkan dua unsur benih kehidupan,
yaitu mani wanita (swanita/ovum) dan mani lelaki (sukla/sperma). Kedua unsur benih
kehidupan itu bertemu. Pertemuannya terjadi seperti halnya dengan pertemuan purusa
dan prakrti serta melahirkan manusia. Oleh karena itu maka sama halnya dengan alam
semesta, manusia juga terdiri dari unsur-unsur cita, budhi, dan ahangkara, yang
membentuk watak budi manusia, dilengkapi dengan dasendrya dan pancatanmatra
serta pancamahabhuta atau anasir-anasir kasar, yang bersama-sama membentuk tubuh
manusia. Jika di alam semesta atau makrokosmos pancamahabhuta atau anasir kasar
membentuk triloka (Bhurloka, Bhuahloka, dan Swahloka) maka di dalam manusia
sebagai mikrokosmos pancamahabhuta membentuk trisarira yaitu tubuh kasar, tubuh
halus, dan tubuh penyebab. Itulah sebabnya kedua alam (makrokosmos dan
mikrokosmos) memiliki sifat-sifat yang sama. Kecuali ketiga macam tubuh dalam
manusia masih terdapat Atman, yaitu percikan kecil atau sinar Parama Atman, sinar
sang Hyang Widi. Atman pada manusia disebut Jiwatman, yaitu yang menghidupkan
manusia. Fungsi Atman di dalam badan manusia seperti kusir terhadap kereta. Sebagai

105
sinar ilahi atau percikan sang Hyang Widi, Atman memiliki sifat-sifat sang Hyang
Widi, misalnya: tak terlukai oleh senjata, tak terbakar oleh api, tak terkeringkan oleh
angin, tak terbasahkan oleh air, abadi, ada di mana-mana, tak dilahirkan, tak
terpikirkan, dan sebagainya.
Sekalipun demikian manusia tidaklah sempurna, fana, dapat mati. Hal ini
disebabkan karena Atman dipenjarakan di dalam tubuh, yang mengakibatkan manusia
dikuasai oleh awidya (ketidaktahuan). Akibat awidya lebih lanjut ialah manusia
dikuasai oleh hukum karma dan samsara, kelahiran kembali (purnabhawa). Hukum
karma tadi dapat menyebabkan orang dilahirkan kembali sebagai manusia, tetapi juga
sebagai binatang, tumbuh-tumbuhan, dsb. Jika orang dilahirkan kembali sebagai
manusia, hal itu adalah suatu keuntungan yang besar, sebab kelahiran kembali sebagai
manusia memberi kesempatan untuk meningkatkan kesempurnaan hidup guna
mengatasi kesengsaraan. Itulah sebabnya dewa-dewapun perlu dilahirkan kembali
sebagai manusia dulu, agar dapat mencapai kebebasan abadi (nirwana).

Ajaran tentang Kelepasan


Menurut Hindu Dharma tujuan agama atau dharma adalah mencapai moksa
dan kesejahteraan umat manusia. Yang dimaksud dengan moksa ialah kebebasan dari
segala ikatan duniawi, bebas dari karma, bebas dari samsara. Moksa dapat dicapai
semasa orang masih hidup, namun sudah bebas dari segala ikatan duniawi
(jiwanmukti). Tetapi moksa juga dapat dicapai sesudah orang mati. Jalan kelepasan
ada 4 sebagai berikut:
1. Jnanayoga, ialah menyatukan diri dengan sang Hyang Widi dengan cara
mengabdikan pengetahuan (jnana).
2. Bhaktiyoga, ialah menyatukan diri dengan sang Hyang Widi dengan cara
melakukan sujud yang tulus ikhlas (bakti).
3. Karmayoga, ialah menyatukan diri dengan sang Hyang Widi dengan cara
melakukan perbuatan-perbuatan mulia atau amal (karma) tanpa pamrih.
4. Rajayoga, ialah menyatukan diri dengan sang Hyang Widi dengan cara
melakukan tapa brata, yoga sampai semadi (raja).

Keempat jalan ini disesuaikan dengan kepribadian, watak serta kesanggupan manusia.
Masing-masing boleh memilih salah satu jalan itu yang sesuai dengan kecakapannya.

Ajaran tentang Pustaka Suci


Hindu Dharma dengan tegas mengemukakan, bahwa pustaka suci agama
Hindu adalah Weda, yaitu pengetahuan suci maha sempurna, kekal abadi, mengenai
sang Hyang Widi serta perintah-perintahnya. Pustaka suci ini mengandung di
dalamnya Upanisad, Bhagawadgita dan Wedaparikrama dan sang Hyang

106
Kamahayanikan. Tetapi karena pustaka suci ini terlalu sukar bagi khalayak ramai,
maka Kitab Weda diajarkan melalui saluran pustaka suci tingkat dua, yaitu:
1. Smriti, yang merupakan ajaran-ajaran suci yang patut dan dapat diingat selalu,
diantaranya: Manu Smriti dan Sarasamuccaya.
2. Purana yang memuat ajaran dalam bentuk cerita-cerita dan perumpamaan-
perumpamaan.
3. Itihasa yang memuat cerita-cerita sejarah kepahlawanan, diantaranya pustaka
Wiracarita (Ramayana dan Mahabharata).

Hal-hal lain
Masih ada banyak hal yang dapat dibicarakan disini, misalnya: hari suci,
tempat suci, dan sebagainya. Akan tetapi hampir semua itu sama dengan apa yang
sudah dibicarakan sebelumnya. Perbedaannya terletak di sini, bahwa banyak dari
segala hal tersebut diberi keterangan yang dapat diterima pada zaman modern ini.
Sebagai contoh disini dibicarakan tentang kasta-kasta.

Di dalam agama Hindu asli kasta dikaitkan dengan kelahiran. Juga kasta di
Bali, seperti yang diwarisi dari Majapahit, sekalipun pemisahan-pemisahan kasta-
kasta itu tidak sedemikian tajam seperti di India, akan tetapi di dalam Upadesa didapat
keterangan sbb: Dalam Catur Warna (empat kasta), kata warna berarti sifat dan bakat
kelahiran dalam mengabdi pada masyarakat, berdasarkan kecintaan yang
menimbulkan kegairahan kerja. Jadi kata warna dijelaskan sebagai sifat dan bakat
kelahiran. Jam mengabdi masyarakat, bukan menunjukkan kedudukan atau status
karena kelahiran. Oleh karena itu maka:
Brahmana adalah golongan karya yang setiap orangnya memiliki ilmu
pengetahuan suci dan mempunyai bakat kelahiran untuk menyejahterakan masyarakat,
negara, dan umat manusia, dengan jalan mengamalkan ilmu pengetahuannya dan
dapat memimpin upacara keagamaan.

Ksatria adalah golongan karya yang setiap orangnya memiliki kewibawaan,


cinta tanah air serta bakat kelahiran untuk memimpin dan mempertahankan
kesejahteraan masyarakat, negara dan umat manusia berdasarkan dharmanya.

Waisya adalah golongan karya yang setiap orangnya memiliki watak-watak


tekun, terampil, hemat, cermat, dan keahlian serta bakat kelahiran untuk
menyelenggarakan kemakmuran negara dan kemanusiaan.

Sudra adalah golongan karya yang setiap orangnya memiliki kekuatan


jasmaniah, ketaatan, serta bakat kelahiran sebagai pelaku utama dalam tugas-tugas
memakmurkan masyarakat, negara dan umat manusia, atas petunjuk golongan karya
lainnya.
Dari definisi tentang pengertian warna dalam segala cabangnya ini dapat
disimpulkan, bahwa tidak ada lagi pemisah-pemisah antara golongan-golongan dalam

107
masyarakat yang berdasarkan kelahiran dirinya sendiri. Semua orang termasuk
golongan karya. Pemisahan-pemisahan hanya disebabkan karena pembagian kerja
yang berdasarkan bakat masing-masing. Jabatan imam tidak ditentukan oleh kelahiran,
demikian juga tentang jabatan dalam pemerintahan. Kesejahteraan masyarakat
tergantung pada kerjasama yang harmonis antara keempat golongan karya tersebut.

108
BAB 4
PENYEBARAN FILOSOFI DAN PRAKTIKA SPIRITUALITAS
HINDU-BUDHA DI MASYARAKAT

Seperti kita ketahui bahwa agama Hindu dan Budha ini mudah menyesuaikan
diri dengan jaman dan kondisi lingkungannya, maka dengan mudah pula kedua agama
ini meresap masuk melalui nilai-nilai filosofis dan praktika kehidupan spiritualitasnya
kedalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ada banyak hal yang sudah diresapi
dengan perlahan namun pasti.
Seperti yang tertulis dalam buku The Teaching of Budha “… There are no
other way that we should believe ourselves and depend upon ourselves. Are there any
other people or things than ourselves which we can believe and depend upon?”
Demikian juga yang terdapat dalam Pobku Sutra “There are no other things than
myself to depend upon.” Aham Sutra, salah satu kepustakaan Budha yang lain
mengatakan “Believe myself and don’t believe others.” Sepertinya ungkapan-
ungkapan semacam ini memang telah begitu meresap dalam kehidupan masyarakat.
Banyak nasehat-nasehat yang disampaikan orang tua kepada anaknya bernuansa yang
sama, karena nilai-nilai kebenaran yang dianut masyarakat memang senada pula.

Lain dari itu, dalam self motivational teaching misalnya, juga banyak sekali
menyerap ajaran Budha. Banyak pengarang terkenal mulai terbawa didalam pemikiran
yang demikian. Charles Francis Haanel misalnya mengatakan demikian “Ada suatu
dunia didalam sana – dunia pikiran dan perasaan dan kekuatan; yang memuat cahaya
dan keindahan, dan meski tak kasat mata kekuatannya sangatlah dahsyat.”
Lebih lanjut Shirley MacLaine seorang bintang film terkenal dijamannya
mengatakan “Kita telah mengetahui segala sesuatu. Pengetahuan kita akan keilahian
kita adalah kepandaian yang tertinggi. Segala sesuatu dan apapun akan mampu
dilakukan. Kita semua menciptakan realitas kita sendiri.” Kesemuanya berpusat pada
diri manusia. Perkataan ini menunjukkan awal dari Panteisme, dimana dipercaya
bahwa didalam diri manusia terdapat potensi yang begitu besar yang harus
dibangunkan keberadaannya, semacam membangunkan energi ilahi didalam tubuh
manusia, seperti membangunkan apa yang disebut kundalini didalam ajaran Hindu-
Budha.
Kundalini yang sama ternyata juga menjadi dasar dari praktek spiritualitas
dalam bentuk Yoga yang sangat diminati belakangan ini oleh masyarakat, bahkan oleh
orang percaya, karena diyakini dapat membawa pengaruh yang baik bagi kesehatan.
Pertanyaannya apakah hal ini diperbolehkan didalam keKristenan?

Selain itu masih ada juga yang dikenal sebagai pengobatan holistik yang
biasanya memakai metode samadi, hypnosis dan lain sebagainya didalam
menyembuhkan pasiennya. Bahkan hypnosis ini juga sudah mulai diajarkan dalam

109
berbagai kesempatan yang muncul, termasuk merambah platform-platform sosial
media. Berikut ini adalah sebuah contoh penggabungan dari self motivational dan
hypnopsis yang disebarluaskan melalui media sosial:

Self Healing - Hypno Healing


Disajikan oleh : Prof. Sxxxxx dr.MSc. PhD
Guru Besar Universitas Padxxxxxxxx
Pakar Immunologi
Jika kita selalu self talking ... dengan kata-kata yg baik maka hanya yang baik
sajalah yang akan terjadi. Kita sudah berbicara tentang Corona Virus selama
beberapa pekan ini ... Sadarkah kita bahwa kita sudah membuat energi virus ini
semakin kuat, sehingga menciptakan getaran negatif yang tak terhitung jumlahnya ...
Lebih tepatnya kita katakan :
"KAMI BEBAS DARI VIRUS APA PUN. KAMI SEHAT SEMPURNA BAIK FISIK
MAUPUN JIWA. MULAI HARI INI DARI HARI KE HARI KAMI SEMAKIN SEHAT"
Yakinlah, bahkan jika 1% dari komunitas kita mulai mengatakan dan
memvisualisasikannya, itu akan membuat perubahan yang kuat ... Sambil tarik nafas
pelan dan panjang, afirmasi:
TARIK ENERGI ILAHI YANG TAK TERBATAS!
Mulai hari ini ... Dari rumah masing masing, marilah seluruh anggota keluarga doa
bersama sesuai dengan keyakinan masing masing. Lawan pikiran negatif dengan
pikiran positif ...
TAHAN NAFAS, SAMBIL SENYUM DAN AFIRMASI:
"Aku sehat, Allah melindungiku dan keluargaku ... "
HEMBUSKAN NAFAS PELAN-PELAN DR HIDUNG ATAU MULUT, sambil
Afirmasi:
Alhamdulillah/ Puji Tuhan, terima kasih ya Allah saya masih diberikan kesehatan.
Selamat berlatih berfikir positif ya. LET’S DO IT ...... Mulai hari ini, semoga
bermanfaat.
Memang nampaknya tidak memiliki resiko yang terlalu signifikan, bahkan
mungkinbisa benar memberi manfaat untuk kasus-kasus yang lain. Tetapi itu telah
membawa kedalam pikiran kita untuk menerima “kebenaran-kebenaran” yang sedang
mereka bangun di benak pembacanya. Satu kali keingintahuan akan membawa
pembacanya untuk mencari tahu dan mempercayai praktika-praktika demikian dengan
lebih jauh.

Demikian pula buku best seller internasional The Secret dan buku-buku
lanjutannya seperti The Power dan sebagainya juga sangat kental mengusung nilai-
nilai filosofi Hindu Budha, juga tidak segan-segan mengadopsi nilai-nilai agama lain,
bahkan ayat-ayat Alkitab untuk menjadi “perantara” konsep yang sedang dibangunnya.
Demikian pula dengan munculnya banyak pepatah yang merupakan persilangan
nuansa Budha dengan agama-agama lain. Tetapi bagaimana menyikapi nilai-nilai
yang hanya nampaknya saja berpadanan, tetapi justru bertolak belakang satu dengan

110
yang lain? Misalnya “Treat yourself the way you want to be treated by others ... love
yourself and you will be loved.”
Masih ada lagi praktek Feng Shui yang dibawa dari kebudayaan Cina kuno,
sebenarnya juga mengandung filosofi Budhisme yang masih sangat mempengaruhi
kehidupan masyarakat etnis Cina, bahkan menular pada etnis-etnis yang lain pula.
Walaupun Feng Shui muncul sebagai wujud pertahanan Konfusianisme dan Taoisme
dari pengaruh Budhisme, tetapi kenyataannya pengaruh budhisme tetap meresap
didalamnya, seperti yang dikatakan Daniel Tong mengutip Koller demikian
“Akibatnya dasar baru ini membuka peluang terjadinya penggabungan antara prinsip-
prinsip serta pandangan Tao, Budha dan Konfusius. Dan sebenarnya peluang itu telah
terwujud dalam kehidupan Budhisme di Indonesia, dengan dijadikannya Kelenteng
sebagai tempat ibadah bersama dari 3 agama/ kepercayaan berbeda yaitu yang disebut
sebagai Tri Dharma. Tridharma sendiri dapat digolongkan sebagai sebuah
kepercayaan yang berafiliasi/ menjadi bagian dari agama Buddha. Tridharma disebut
Samkau dalam dialek Hokkian, yang memiliki arti harafiah tiga ajaran. Tiga ajaran
yang dimaksud adalah Taoisme, Buddhisme dan Konfusianisme. Boleh dikata bahwa
Tridharma adalah salah satu bentuk kepercayaan tradisional masyarakat Tionghoa
sebagai hasil dari sinkretisme ketiga filsafat yang memengaruhi kebudayaan Tionghoa
dan sejarah Tiongkok sejak 2500 tahun lalu. Sehingga ajaran-ajaran dari Tridharma ini
sebenarnya sudah sangat melekat pada kehidupan masyarakat Tionghoa Indonesia,
bukan hanya yang memeluk agama Budha, tetapi juga masih sangat melekat pada
Tionghoa Kristen atau Tionghoa beragama lain sekalipun, karena filosofi tersebut
semakin melekat pada budaya dan adat istiadat yang berlaku. Sebagai contoh
konkritnya hari-hari raya Tri Dharma-pun tetap dirayakan dalam ruang lingkup
gerejawi atau setidaknya masih dirayakan oleh orang-orang Kristen Tionghoa, seperti
misalnya Imlek, Cap Go Meh, Tiong Ciu Pia (Festival Kue Bulan), Qing Ming (Ceng
Beng) dan sebagainya. Nilai-nilai, budaya-budaya dan adat istiadat ini masih terasa
cukup kental dan melekat pada beberapa generasi Tionghoa maupun Tionghoa Kristen
di tanah air maupun di seluruh dunia.
Jadi memang tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh Hindu Budha telah
meresapi seluruh kehidupan bermasyarakat dan melintasi semua agama dengan
memberikan pengaruhnya bukan melalui agamanya, melainkan melalui filosofi dan
praktika kehidupan spiritualitasnya. Arnold Toynbee (1889-1975), seorang sejarawan
Inggris dan pemenang nobel mengatakan bahwa tidak ada agama lain selain Budha
Mahayana yang mampu mempengaruhi masyarakat dunia. Sedang Albert Einstein,
seorang ilmuwan terkenal sepanjang masa mengatakan bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan dewasa ini yang begitu pesatnya hanya dapat dikendalikan dan
diharmonisasikan oleh ajaran Budhisme. Hal ini menjelaskan bahwa Budhisme (juga
Hinduisme) memang sangat mudah beradaptasi dan mempengaruhi kehidupan
masyarakat di sekitarnya.
Seperti didalam lini waktu sejarah, dimana dapat dilihat Hindu Budha sedikit
banyak telah mempengaruhi banyak kebudayaan, demikian pula dewasa ini hal ini

111
tetap berlaku. Kebudayaan campuran Hindu Budha dengan kepercayaan asli di
Nusantara misalnya, sudah menguasai pikiran orang sedemikian rupa hingga terjadilah
sinkretisme dari waktu ke waktu. Pertanyaannya adalah apakah orang-orang percaya
dapat terbebas dari sinkretisme terhadap filosofi Hindu Budha ini? Apakah orang
Kristen masih memperhitungkan hari baik? Apakah orang-orang Kristen masih
tertarik dengan hal-hal yang magis? Ada banyak pertanyaan untuk diajukan sebagai
bahan introspeksi didalam kehidupan orang percaya agar dapat tetap menjaga
kemurnian ajaran Kristen tanpa terpengaruh dengan filosofi dan bahkan praktika
spiritualitas dari banyak pengaruh diluar sana. Dan kiranya kita dapat
mempertahankannya sedemikian rupa, dan tidak diombang-ambing oleh rupa-rupa
angin pengajaran …
GOD BLESS

112
DAFTAR PUSTAKA

Bauer, Susan Wise. Sejarah Dunia Kuno. (Jakarta: PT Gramedia, 2015)


Byrne, Rhonda. Secret – The Power. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2015)

Coedes, George. Asia Tenggara Masa Hindu – Budha. (Jakarta: KPG, 2017)
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Budha. (Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia, 2012)

Samba, I Gde. Mengenalkan Hindu: Sebagai Satu Budaya, Sikap dan Perilaku
Hidup (A Way of Life). (Bandung: Yayasan Dajan Rurung Indonesia, 2016)
Shih, Cheng Yen. Jing Si Aphorisms. (Taiwan: Jing Si Books, TT)

Society for the Promotion of Buddhism. The Teaching Of Budhha.


Putra, Ngakan Putu. Saya Beragama Hindu: Edisi Seperempat Abad (Jakarta
Media Hindu, Cetakan ke-8, 2020)

Tong, Daniel. Feng Shui, Ramalan China & Alkitab. (Yogyakarta: Penerbit
ANDI, 2008)
Wang, Andry. Chinese Wisdom: Menggali Permata Kebijaksanaan Klasik
Tiongkok (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2020)
Zazuli, Mohammad. Sejarah Agama Manusia. (Yogyakarta: Narasi, 2019)

113

Anda mungkin juga menyukai