Anda di halaman 1dari 2

MENUMBUHKAN KESADARAN KESETARAAN GENDER SEJAK USIA DINI

DENGAN POLA ASUH BERKESETARAAN GENDER DAN PENGHENTIAN


STEREOTYPE

Oleh : Agustina Dwi Rahmawati

Gender adalah pembedaan peran, sikap, sifat, tugas dan perilaku yang diciptakan dan
berkembang di masyarakat (Kementerian PPN/Bappenas). Gender tidak sama dengan jenis
kelamin. Gender dibentuk oleh masyarakat dan menjadi standar perilaku berdasarkan jenis
kelamin (laki-laki atau perempuan) (Kementerian PPN/Bappenas). Pembentukan gender dapat
bermanfaat dalam pembagian tugas dalam masyarakat, tetapi gender dapat menjadi sumber dari
permasalahan.
Ketidaksetaraan gender merupakan salah satu bentuk dari ketidakadilan (Kementerian
Keuangan Republik Indonesia, 2019). Ketidaksetaraan gender dapat berakibat pada tindakan
kekerasan dan diskriminasi, terutama pada kaum perempuan. Sumber utama ketidakadilan
gender adalah stereotype atau pelabelan pada laki-laki dan perempuan. Di Indonesia, pelabelan
peran, tugas, dan perilaku pada jenis kelamin masih kental terlihat. Budaya patriarki di Indonesia
juga masih terlihat di berbagai kondisi, seperti penentu keputusan adalah laki laki dan praktik
budaya yang merugikan salah satu jenis kelamin. Bentuk pelabelan peran yang masih sering
dijumpai adalah persyaratan rekrutmen pekerjaan tertentu yang masih menempatkan jenis
kelamin sebagai salah satu syaratnya.
Kesetaraan gender merupakan bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, yaitu
poin ke-5. Kesetaraan gender dapat diartikan sebagai keadaan setara dalam pemenuhan hak dan
kewajiban baik pada laki-laki maupun perempuan (Kementerian PPN/Bappenas). Kesetaraan
gender penting untuk membantu perkembangan negara. Kesetaraan gender juga akan
memberikan kehidupan yang harmonis. Indeks Kesetaraan Gender Indonesia berada pada
peringkat 103 dari 106 negara ASEAN (Winahyu, 2021). Kesetaraan gender di Indonesia perlu
dibangun dengan penumbuhan kesadaran dan pemahaman kesetaraan gender. Kesadaran akan
kesetaraan gender dapat dibangun sejak usia dini melalui keluarga.
Penumbuhan pemahaman kesetaraan gender dapat dilakukan oleh orangtua pada tingkat
keluarga. Orang tua dapat berhenti memberikan stereotype kepada anak-anaknya. Pemberian
stereotype dari orang tua seperti ungkapan “anak ganteng besok jadi polisi”, “anak cowok gak
boleh nangis”, “anak cewek kok tomboy”, “besok besar jadi juru masak ya nduk”. Ungkapan-
ungkapan tersebut dapat membangun konstruksi gender pada diri anak, seperti polisi adalah
pekerjaan laki-laki, yang bertugas memasak adalah perempuan, dsb. Selain hal diatas, konstruksi
gender dalam keluarga dapat terjadi melalui perlakukan orang tua kepada anak. Perlakuan
tersebut seperti memberikan pakaian merah muda pada anak perempuan dan biru kepada anak
laki-laki. Selain itu juga melalui pemberian mainan, seperti boneka untuk anak perempuan dan
bola untuk anak laki-laki.
Keluarga juga merupakan lingkungan terkecil anak untuk tumbuh dan belajar. Di dalam
keluarga akan tercermin peran gender, seperti perempuan sebagai ibu dan laki-laki sebagai
bapak. Anak-anak akan belajar menginternalisasi apa yang mereka lihat sehari-hari dari orang
tua mereka. Ibu yang setiap hari memasak dan bapak yang setiap hari bekerja akan diamati oleh
anak dan terbentuk konstruksi gender. Kontruksi gender yang terbentuk dapat berupa laki-laki
bertugas mencari uang dan dapur adalah urusan perempuan. Masa kanak-kanak merupakan
golden periode (KPPA, 2020). Mereka akan meniru dan menginternalisasi apa yang mereka lihat
dan pelajari dari orang tuanya (Setyorini & Kurnaedi, 2018).
Anak yang sudah terbiasa menerima stereotype dan melihat peran gender di keluarga
berisiko mengalami dan melakukan kekerasan atau diskriminasi di masa depan. Hal ini dapat
diantisipasi dengan pola pengasuhan dalam keluarga, karena hasil pengasuhan dalam keluarga
akan menjadi ilmu sepanjang hayat bagi anak. Pola pengasuhan yang dapat diberikan adalah
hentikan pemberian label terkait profesi tertentu. Bebaskan anak untuk belajar berbagai profesi,
menentukan pandangannya, dan menentukan pilihannya. Berikan anak (laki-laki atau
perempuan) berbagai jenis mainan yang berbeda, mulai dari mainan yang dianggap maskulin
hingga mainan yang dianggap feminim. Tidak ada mainan yang diciptakan hanya untuk laki-laki
atau hanya untuk perempuan. Cara tersebut dikombinasikan dengan pembagian peran dalam
keluarga yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan. Bapak tidak hanya bekerja, tetapi
juga memasak. Ibu tidak hanya memasak, tapi juga bekerja. Lakukan pembagian peran dengan
adil dan merata tanpa membedakan laki-laki atau perempuan, serta libatkan anak-anak.
Penerapan pola asuh dalam keluarga dapat menjadi ketahanan keluarga dalam
menciptakan kesetaraan gender. Orang tua akan menjadi saling mengerti dan anak-anak akan
belajar. Penumbuhan pemahaman kesetaraan gender sejak dini dapat menghindarkan anak-anak
dari diskriminasi dan kekerasan di masa depan (KPPA, 2020). Bisa dibayangkan jika semua
keluarga berusaha menerapkan pola asuh kesetaraan gender, maka semakin banyak anak tumbuh
dengan pemahaman kesetaraan gender. Hasil dari hal tersebut adalah terciptanya kesetaraan
gender di masa depan.

Sumber Rujukan:

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2019). Ini Pentingnya Kesetaraan Gender untuk
Sebuah Negara. Retrieved from https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-
pentingnya-kesetaraan-gender-untuk-sebuah-negara/
Kementerian PPN/Bappenas. (n.d.). Kesetaraan Gender. Retrieved from
http://sdgs.bappenas.go.id/tujuan-5/
KPPA. (2020). Tanamkan Nilai Kesetaraan Sejak Dini Pada Anak. Retrieved from
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2766/tanamkan-nilai-kesetaraan-
sejak-dini-pada-anak
Setyorini, W., & Kurnaedi, N. (2018). Pentingnya Figur Orang Tua dalam Pengasuhan Anak.
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Unissula: Penguatan Keluarga di Zaman Now
(pp. 139-144). ISBN : 978 – 602 – 5995 – 04 – 0.
Winahyu, A. (2021). Kesetaraan Gender di Indonesia Masih Rendah. Retrieved from
https://mediaindonesia.com/humaniora/351154/kesetaraan-gender-di-indonesia-masih-
rendah

Anda mungkin juga menyukai