0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
14 tayangan5 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang stereotipe gender yang terbentuk sejak anak-anak melalui mainan dan industri hiburan. Stereotipe ini kemudian mempengaruhi pendidikan dan pekerjaan perempuan. Dokumen tersebut menganjurkan peningkatan kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi perempuan dan penyediaan kesempatan kerja yang setara bagi perempuan dan laki-laki.
Dokumen tersebut membahas tentang stereotipe gender yang terbentuk sejak anak-anak melalui mainan dan industri hiburan. Stereotipe ini kemudian mempengaruhi pendidikan dan pekerjaan perempuan. Dokumen tersebut menganjurkan peningkatan kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi perempuan dan penyediaan kesempatan kerja yang setara bagi perempuan dan laki-laki.
Dokumen tersebut membahas tentang stereotipe gender yang terbentuk sejak anak-anak melalui mainan dan industri hiburan. Stereotipe ini kemudian mempengaruhi pendidikan dan pekerjaan perempuan. Dokumen tersebut menganjurkan peningkatan kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi perempuan dan penyediaan kesempatan kerja yang setara bagi perempuan dan laki-laki.
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya
Email: sqodriyani@gmail.com
8 Maret merupakan salah satu hari penting dunia, yaitu International
Womens Day atau Hari Perempuan Sedunia. Secara umum jenis kelamin di dunia hanya ada dua, yaitu laki-laki dan perempuan. Dengan jumlah sesedikit itu, tidak akan mudah bagi seseorang untuk melupakan keberadaan keduanya. Lantas, untuk apa keberadaan perempuan diperingati? Untuk apa diciptakan Hari Perempuan Sedunia? Nyatanya, keberadaan perempuan memang selalu diingat, namun kurang diakui. Ketidaksetaraan antar jenis kelamin seringkali terjadi tanpa disadari. Sederhana saja, sebagian pekerjaan seakan telah dimiliki oleh masing-masing jenis kelamin, yang apabila dilakukan oleh jenis kelamin lainnya dianggap kurang tepat atau bahkan tabu. Menurut penulis, bukan sekadar sejarah, adat, atau kepercayaan lama yang membuat ketidaksetaraan tersebut muncul, namun juga didukung oleh industri. Industri-lah yang pertama kali memunculkan stereotype pada anak-anak bahwa hanya anak laki-laki yang pantas memainkan figurin tentara dan bisa menjadi tentara, atau bahwa hanya anak perempuan yang pantas memainkan mainan alat masak dan bisa memasak. Industri-lah yang pertama kali memberikan pemahaman pada anak-anak bahwa hanya anak laki-laki yang pantas memainkan mainan mobil dan bisa menjadi montir mobil, atau bahwa hanya anak perempuan yang pantas memainkan boneka bayi dan bisa mengurus bayi. Industri- lah yang pertama kali memisahkan warna berdasarkan jenis kelamin, bahwa warna biru adalah untuk anak laki-laki dan merah muda adalah untuk anak perempuan. Untuk mencegah anak-anak menjadi sexist atau memiliki stereotype- stereotype berdasarkan jenis kelamin, maka anak-anak perlu diajarkan dan diperlihatkan sebuah kesetaraan sejak dini. Dalam hal ini, tentunya industri mainan berperan besar dalam mengendalikan pemikiran konsumen, yaitu anak-anak dan para orang tuanya. Hal tersebut penting untuk dilakukan karena mainan bukan sekadar sebuah benda mati, namun juga merupakan sarana belajar pertama bagi anak-anak, yang bukannya tidak mungkin menjadi benda pertama yang memberi anak-anak inspirasi untuk memiliki sebuah cita-cita. Seperti yang dilakukan oleh sebuah department store pada tahun 2012 lalu, Harrods, membuka sebuah toko mainan dengan mainan gender-neutral pertama. Menurut The Mary Sue, pada akhirnya toko-toko mainan lain seperti Tesco, Sainsburys, Boots, dan Toys R Us turut mengikuti jejaknya dengan membuang label jenis kelamin pada kemasan- kemasan mainan yang dijual. Selain mencegah stereotype oleh industri mainan, hal yang sama perlu dilakukan pada industri fashion untuk tidak menciptakan stereotype bahwa suatu warna atau gambar pada pakaian dan tas diciptakan untuk jenis kelamin tertentu. Penghapusan pengelompokan mainan berdasarkan jenis kelamin tentunya dapat memperluas pandangan dan cita-cita anak-anak, terutama anak-anak perempuan. Mainan yang lebih variatif membuat anak-anak perempuan menjadi percaya bahwa mereka tidak hanya dapat memasak dan mengurus bayi, tapi juga dapat menjadi seorang tentara, polisi, astronot, atau pemadam kebakaran. Namun, sayangnya cita-cita anak perempuan yang tinggi tersebut tidak selalu didukung dengan pendidikan yang tinggi pula. Berdasarkan Indikator Kesejahteraan Masyarakat Indonesia 2016, perkembangan rata-rata lama perempuan bersekolah masih berada di bawah rata-rata lama laki-laki bersekolah. Grafik 1. Perkembangan Rata-Rata Lama Sekolah Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut Jenis Kelamin, Tahun 2005-2015
Sumber: Susenas 2005-2015, BPS Indonesia
Salah satu penyebab rendahnya lama perempuan bersekolah adalah
pernikahan dini. Kondisi ekonomi keluarga seringkali dijadikan alasan dilaksanakannya pernikahan dini, padahal Susenas Tahun 2012 menunjukkan bahwa pernikahan dini justru berhubungan erat dengan kemiskinan. Hal tersebut, salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan yang rendah. Grafik 2. Persentase Perempuan Pernah Kawin Usia 20-24 Tahun yang Menikah Sebelum Usia 18 Tahun Menurut Kondisi Perumahan, Tahun 2012 Sumber: Susenas 2012, BPS Indonesia
Selain kemiskinan, pernikahan dini juga memiliki risiko tinggi bagi
kematian ibu. Anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal saat kehamilan maupun proses kehamilan, jika dibandingkan dengan perempuan usia 20-24 tahun. Risiko tersebut juga berlaku pada anak yang dilahirkannya, yang memiliki risiko terlahir prematur dengan berat badan rendah dan kekurangan gizi serta kematian sebelum berumur 1 tahun lebih besar dibandingkan anak yang dilahirkan oleh seorang ibu dengan umur yang lebih matang. Selain itu, pernikahan dini juga memicu kekerasan dalam rumah tangga karena istri/pengantin pada pernikahan tersebut merasa kurang memiliki status dan kekuasaan dalam rumah tangganya sendiri akibat umurnya yang masih tergolong rendah. Untuk meningkatkan kesadaran akan bahayanya pernikahan dini dan pentingnya sekolah bagi anak perempuan, pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat perlu untuk melakukan sosialisasi secara berkala, terutama kepada orang tua dengan anak perempuan. Sosialisasi dapat dilakukan dengan memaparkan hasil-hasil analisis mengenai hubungan antara pernikahan dini, pendidikan, dengan keterpurukan anak perempuan di masa mendatang dengan memanfaatkan dokumen publikasi Badan Pusat Statistik Indonesia seperti katalog Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia dan katalog Potret Pendidikan Indonesia, Statistik Pendidikan. Dalam pelaksanaan sosialisasi, dapat pula dipaparkan perbandingan antara kondisi rumah tangga orang tua dan anak perempuan saat itu dengan kondisi lebih baik yang akan diraih anak di masa depan, jika bersekolah. Hal tersebut dapat membuat orang-orang tua kembali mempertimbangkan mengenai pentingnya sekolah bagi anak-anak perempuannya. Setelah bersekolah, anak-anak perempuan yang telah tumbuh menjadi dewasa perlu bekerja untuk bertahan hidup. Namun bagi perempuan, memiliki sebuah pendapatan sendiri tidak semudah bagi laki-laki. Sexist yang mulanya sempat muncul pada stereotype mainan, kali ini kembali hadir pada perbedaan jenis pekerjaan dan besar pendapatan yang dapat diraih oleh masing-masing jenis kelamin. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional 2014-2016, rata-rata pendapatan perbulan pekerja perempuan selalu di bawah rata-rata pendapatan perbulan pekerja laki-laki, pada tingkat pendidikan tertinggi apapun itu. Tabel 1. Rata-Rata Upah/Gaji/Pendapatan Bersih Sebulan (Rupiah) Pekerja*) Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin (Rupiah), Tahun 2014-2016
* Pekerja adalah Buruh/Karyawan/Pegawai, Pekerja Bebas di pertanian dan Pekerja
Bebas di non-pertanian Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional 2014-2016
Penyebab utama perbedaan rata-rata pendapatan antara perempuan dan
laki-laki sebenarnya bukan karena terdapat perbedaan besar pemberian gaji dengan tipe pekerjaan yang sama. Hal tersebut justru disebabkan oleh perbedaan kesempatan yang didapatkan antara perempuan dan laki-laki untuk memilih jenis pekerjaan yang lebih variatif. Beberapa jenis pekerjaan menolak adanya pekerja perempuan karena dianggap kurang mampu atau tidak pantas untuk bekerja pada bidang pekerjaan tertentu. Hal tersebut, sekali lagi, adalah stereotype yang dibentuk oleh manusia sendiri. Padahal sebenarnya, perempuan sama hebatnya dengan laki- laki. Justru stereotype semacam itu-lah yang menutup diri para perempuan sehingga takut untuk menunjukkan bahwa dirinya mampu untuk menjadi setara, atau bahkan lebih dari laki-laki. Untuk mengimbangi stereotype mengenai adanya pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan, maka perusahaan-perusahaan perlu menyiapkan berbagai posisi yang dikhususkan untuk diisi oleh perempuan. Tentunya hal tersebut dilakukan tanpa memilih-milih jenis pekerjaan yang lebih mudah, lebih tradisional, atau lebih pantas untuk dilakukan perempuan. Tersedianya lowongan khusus ini bertujuan untuk memberdayakan perempuan sehingga banyak pekerja perempuan pada tiap bidang pekerjaan setara dengan pekerja laki-laki, dan mencegah munculnya suatu spesialisasi pekerjaan berdasarkan jenis kelamin. Agar isu kesetaraan perempuan dengan laki-laki lebih tersebar luas di antara masyarakat, maka hal terakhir dan terpenting yang harus dilakukan adalah menyediakan lebih banyak porsi bagi perempuan untuk turut andil dalam bidang politik atau pengambilan keputusan. Hal tersebut bertujuan agar suara perempuan lebih didengar, sehingga perempuan bisa lebih diakui, bukannya sekadar diingat.