Anda di halaman 1dari 75

MATEMATIKA TEKNIK KIMIA 2

Prof. Ali Altway, Dr. Tantular Nurtono

Pustaka :
1. Mickley, T.S. Sherwood, C.E. Reed,"Applied Mathematics in Chemical
Engineering", McGraw Hill, 2nd. ed., New York, 1975.
2. Jonson, G.V. Jeffreys,"Mathematical Methods in Chemical Engineering", Academic
Press, 2nd. Ed., London, 1977.
3. Richard G. Rice, Duong D. Do,”Applied Mathematics and Modeling for Chemical
Engineers”, John Wiley & Sons, 1995.

Materi :
1. Perumusan Matematika untuk Persoalan-persoalan Fisik dan Kimia.
2. Penyelesaian Persamaan Differensial Biasa Secara Deret.
3. Fungsi-Fungsi Khusus.
4. Deret Fourier.
5. Persamaan Differensial Parsial.
BAB I
Perumusan Matematika
untuk Persoalan-persoalan Fisik dan Kimia

I. Perumusan Matematika.

Ilmu-ilmu terapan hampir seluruhnya memerlukan pelaksanaan percobaan


dan menginterpretasikan hasil percobaannya. Cara yang banyak diminati adalah
dilaksanakan secara kuantitaif dengan melakukan pengukuran yang akurat dari
variabel-variabel sistem, kemudian data hasil pengukuran ini dianalisa (diolah)
dan dibuat korelasinya, atau dilaksanakan secara kualitatif dengan menyelidiki
perilaku umum sistem yang dinyatakan sebagai suatu variabel yang
mempengaruhi variabel yang lain.
Bila suatu penyelidikan kuantitatif akan dilaksanakan maka perlu dibuat
model matematik untuk sistemnya sebelum melakukan eksperimen, karena model
matematis ini bisa mempengaruhi jalannya eksperimen. Perumusan model
matematika suatu sistem atau proses dibutuhkan juga pada perancangan
peralatan-peralatan, misalnya menara distilasi, menara absorbsi, reaktor,
ekstraktor, dsb.
Pembentukan model matematika suatu sistem (proses) dilakukan melalui
tiga tahap dasar yaitu :
1. Mengubah dari proses fisik/kimia menjadi bahasa matematika, sehingga
didapat suatu persamaan matematis.
2. Menyelesaikan persamaan matematis yang diperoleh
3. Menginterpretasikan hasil penyelesaian yang diperoleh ke dalam istilah-istilah
fisik/kimia.
atau digambarkan sbb. :

Proses fisik/kimia Jelas mekanismenya

Perumusan matematis/modelling berupa PD/pers. aljabar/transendental

Penyelesaian rumusan/model matematika

Interpretasi hasil penyelesaian dalamistilah-istilah fisik/kimia

MTK-2/1
II. Hukum-hukum dasar yang dipakai.

1. Hukum Kekekalan :
a. massa :
1. overall :
laju akumulasi massa dalam sistem = laju massa masuk ke sistem -
laju massa keluar dari sistem
2. komponen :
laju akumulasi mssa komponen i dalam sistem = laju massa
komponen i masuk ke sistem - laju massa komponen i keluar dari
sistem + laju massa komponen i yang timbul dalam sistem - laju
massa komponen i yang terpakai dalam sistem
b. energi :
laju akumulasi energi dalam sistem = laju energi masuk ke sistem -
laju energi keluar dari sistem + laju energi yang timbul dalam
sistem - laju energi yang terpakai dalam sistem
c. momentum :
laju akumulasi i momentum dalam sistem = laju i momentum i
masuk ke sistem - laju i momenutm keluar dari sistem + gaya-gaya
ke arah i yang bekerja dalam sistem

2. Hukum untuk proses kecepatan :


a. perpindahan panas :
1. konduksi :
Q = -k.A.T/x (hk. Fourier), dimana :
k = thermal konduktifity
A = luas perpindahan panas
T/x = gradien suhu ke arah x
2. konveksi antar fasa :
Q = h.A.(TS - Tf), dimana :
h = koeffisien perpindahan panas
A = luas perpindahan panas
(TS Tf) = perbedaan suhu antara permukaan dengan badan
fluida
b. perpindahan massa
1. secara molekuler (diffusi) :
Ni = -Di.S. Ci (hk. Fick), dimana :
Di = koeffisien diffusi komponen i
S = luas perpindahan massa
Ci = gradien konsentrasi komponen i
2. antar fasa :
Ni = Kc.S.(Cs - Cb), dimana :
Kc = koeffisien perpindahan massa
Cs = konsentrasi komponen i di permukaan
Cb = konsentrasi komponen i di badan fluida
c. perpindahan momentum : (secara molekuler) :

MTK-2/2
xy = -.Vx/y (hk. newton untuk viskositas), dimana :
xy = fluks perpindahan x momentum ke arah y
Vx = kecepatan ke arah x
 = viskositas
d. reaksi kimia :
aA + bB  cC
kecepatan A bereaksi dinyatakan dengan :
rA  k. CA . CB mol A bereaksi/(volume . waktu), dimana
:
k = konstanta kecepatan reaksi
 = orde reaksi terhadap A
 = orde reaksi terhadap B

3. Hukum kesetimbangan :
a. kesetimbangan fasa : uap-cair, cair-cair, gas/uap-padat, cair-padat
b. kesetimbangan kimia :

aA + bB  cC, maka K =


 CC 
c

 C A  a .  C B b

III. Contoh Soal.

A. Hk. Kekekalan Massa.


1. Dua buah tangki (masing-masing 100 l), mula-mula penuh dengan larutan
garam berkonsentrasi 20 gr/l. Ke dalam tangki I dialirkan air dengan laju 5 l/min,
dan pada saat yang sama dikeluarkan dari tangki I, larutan dengan laju 8 l/min ke
tangki II. Dari tangki II dikeluarkan larutan dengan laju 8 l/min, dimana 3 l/min
ke tangki I dan 5 l/min dibuang. Tentukan konsentrasi garam (gr/l) di tangki I dan
II sebagai fungsi waktu. Asumsi  sama diseluruh aliran.
Jawab :

air lar.
5 l/min 3 l/min

lar
8 l/min
I II lar.
V1 dan C1 V2 dan C2 5 l/min

Tangki I :
neraca massa total : akumulasi = input - output
d V1 .   dV
 5  3  8   1  0  V1 konstan = 100 l
dt dt
neraca massa garam : akumulasi = input - output

MTK-2/3
d V1 . C1 
 5.0  3C2  8C1
dt
dV1 dC
 C1  V1 1  3C2  8C1
dt dt
dC
 100 1  3C2  8C1 (1)
dt
Tangki II :
neraca massa total : akumulasi = input - output
dV
  2  0  V2 konstan = 100 l
dt
neraca massa garam : akumulasi = input - output
d V2 . C2 
 8C1  8C2
dt
dV dC
 C2 2  V2 2  8C1  8C2
dt dt
dC2 dC
 100  8C1  8C2  C1  C2  12.5 2 (2)
dt dt
dC1 dC2 d 2C
Pers. (2) didefferensialkan :   12.5 2 2 (3)
dt dt dt
Substitusi pers.(2) + (3) ke pers. (1) :
dC d 2C dC
100 2  1250 2 2  3C2  8C2  100 2
dt dt dt
2
d C dC
 1250 2 2  200 2  5C2  0
dt dt
d 2 C2 dC2
 250 2  40  C2  0 , diselesaikan dengan P.D. linier tereduksi
dt dt
tingkat n
 250 m + 40 m + 1 = 0, diperoleh m1 = -0.031 dan m2 = -0.129, maka
2

penyelesaiannya adalah : C2 = K1.e-0.031 t + K2.e-0.129 t (4)


dC2
 0.031.K1.e 0.031t  0.129.K 2 e 0.129t (5)
dt
Kondisi awal, t = 0 : - pers. (4) 20 = K1 + K2
- pers. (5) 0 = -0.031 K1 - 0.129 K2
dari kedua persamaan ini didapat harga K1 = 26.33 dan K2 = -6.33, jadi
penyelesaian untuk tangki II adalah : C2 = 26.326.e-0.031 t - 6.33.e-0.129 t (6)
Substitusi pers. (5) + (6) ke pers. (2) :
C1 = 26.33.e-0.031 t - 6.33.e-0.129 t + 12.5(-0.031.26.33.e-0.031 t + 0.129.6.33.e-0.129
t
)
= 16.e-0.031 t + 3.875.e-0.129 t

Dengan cara Transformasi Laplace :


dC
100 1  3C2  8C1 , dilakukan transformasi Laplace :
dt

MTK-2/4
 dC 
100. L 1   3. LC2   8. LC1 
 dt 
 ~ 20  ~ ~
 100s. C1 ( s)  C1 (0)   3. C2 ( s)  8. C1 ( s)
 
~ ~
 (100. s  8)C1 ( s)  3. C2 ( s)  2000 (1)
dC2
100  8C1  8C2 , dilakukan transformasi Laplace :
dt
 dC 
100. L 2   8. LC1   8. LC2 
 dt 
 ~ 20  ~ ~
 100s. C2 ( s)  C2 (0)   8. C1 ( s)  8. C2 ( s)
 
~ ~
 8. C1 ( s)  (100. s  8)C2 ( s)  2000 (2)

Penyelesaian pers. (1) dan (2) :


2000 3
~ 2000 (100. s  8) 20. s  2.2 20. s  2.2
C1 ( s)   2 
(100. s  8) 3 . . s  0.004 ( s  0129
s  016 . )( s  0.031)
8 (100. s  8)
 3875 . 16 
C1  L1     16.e
-0.031 t
+ 3.875.e-0.129 t
 ( s  0129
. ) ( s  0.031) 
(100. s  8) 2000
~ 8 2000 20. s  3.2 20. s  3.2
C2 ( s)   2 
(100. s  8) 3 . . s  0.004 ( s  0129
s  016 . )( s  0.031)
8 (100. s  8)
 6.33 26.33 
C2  L1     26.326.K1.e
-0.031 t
- 6.33.K2.e-0.129 t
 ( s  0129
. ) ( s  0.031) 

2. 5 m3/jam larutan yang berisi reaktan A dengan konsentrasi 2 kgmol/m3 untuk


reaktor alir berpengaduk yang mula-mula berisi pelarut murni 2 m3. Dalam
reaktor terjadi reaksi peruraian : A  R + S (reaksi order 1 irreversible). Dari
reaktor keluar larutan dengan laju alir 5 m 3/jam.
a. Tentukan persamaan yang menyatakan konsentrasi A (CA) sebagai fungsi
waktu (t), dimana k = 6/jam.
b. Tentukan waktu yang dibutuhkan agar konsentrasi A dalam cairan keluar
reaktor mencapai 0.518 kgmol/m3. Pada saat itu tentukan CR dan CS.
c. Bila keadaan mantap tercapai, tentukan CA yang keluar reaktor.
Jawab :
Asumsi :  sama diseluruh aliran.

MTK-2/5
A 5 m3/jam
2 kgmol/m3
A
R
S
V
5 m3/jam

1 kgmol A kgmol A
a. rA =- k. CA 3
= -6.CA 3
jam m m . jam
neraca massa total : akumulasi = input - output
dV
  5  5  0 , V konstan = 2 m3
dt
neraca massa komponen A : akumulasi = input - output
d V .C A 
 5.2  5.C A  rA .V
dt
dC
 2 A  10  5. C A  ( 6. C A .2)  10  17C A
dt
2
 dC A  dt , diintegralkan :
10  17C A
CA t
2
 10  17C A dC A   dt
0 0
10  17C A 
CA
2
  ln(10  17C A )  t  ln    8.5t
17 0  10 
 1-1,7CA = e-8.5t  C A  
1
17.

1  e 8.5t kgmol/m3

b. 0.518 
1
17
.
  1
1  e 8.5t  t   ln1  17
8.5
. . 0.518 = 0.25 jam.
d V .CR 
neraca massa komponen R :  5.0  5.CR  rA .V  12C A  5CR
dt
d V .C R 
 5.0  5.C R  rR .V ; dim ana : rR  rA ,
dt
d V .C R 
 5C R  rAV  5C R   kCAV   5C R  12C A
dt
dC 1
 2 R  12. (1  e 8.5t )  5CR
dt 17
.
dCR 6
  2.5CR  (1  e 8.5t )
dt 17
. x e 2.5t

MTK-2/6
dCR 6 2.5t
 e 2.5t  2.5e 2.5t CR  e (1  e 8.5t )
dt 17
.
d e 2.5t . CR 
   6 (e 2.5t  e 6t ) ,diintegralkan :
 
dt 17
.

e 2 .5 t .CR t

 d e . CR    17. (e  e )dt


2.5t 6 2.5t 6 t

0 0
6 1 1
 e 2.5t . CR  ( e 2.5t  e 6t )  k , t = 0  CR = 0
17
. 2.5 6
6 1 1
 0 (  )  k  k  2 , maka :
17
. 2.5 6
(  e )  2. e 2.5t ,
6 1 1 8.5t
CR 
17
. 2.5 6
Saat t = 0.25  CR = 0.4115 kgmol/m3, dan dari pers. reaksi CS = CR = 0.4115
kgmol/m3.
1
c. Keadaan mantap tercapai saat t = , maka CA = (1  0) = 0.588 kgmol/m3.
17
.

3. Reaksi peruraian zat A menjadi B, dalam reaktor bertekanan yang ishotermal


dirumuskan sebagai 2A  B. Reaksi ini irreversibel dan mengikuti kinetika
reaksi order 2, dengan konstanta kecepatan reaksi 1000 ft 3/(lbmol.menit). Reaktor
beroperasi pada suhu 800 oF dan tekanan 3 atm yang dijaga tetap, dimana gas A
murni masuk dengan laju alir 1 lbmol/menit. Karena suhu operasi yang rendah,
dianggap tidak ada reaksi didalam sistem perpipaan, dan kedua gas mengikuti
sifat gas ideal.
a. Pada keadaan steady state, gas keluar reaktor mengandung 1/3 bagian gas B,
tentukan volume reaktor tersebut.
b. Setelah keadaan steady tercapai, tiba-tiba valve keluar reaktor ditutup dan laju
alir gas A diatur agar tekanan di dalam reaktor tetap 3 atm. Tentukan waktu
yang diperlukan mulai valve ditutup sampai konsentrasi B di dalam reaktor
9/10 bagian.
Jawab :
a./

Feed A
P = 3 atm
T = 800 oF
Product A, B

MTK-2/7
rA = -kC
2A  B
awal nAo 0
reaksi nAo.x 0.5 nAo.x
akhir nAo.(1- x) 0.5 nAo.x
(x = konversi reaksi)
Jumlah mol gas di dalam reaktor = nAo.(1- x) + 0.5 nAo.x = nAo.(1- 0.5 x)
Konsentrasi gas A di dalam reaktor = (1 - 1/3) = 2/3 = nAo.(1- x)/(nAo.(1- 0.5 x))
= (1 - x)/(1 - 0.5 x)
3 - 3x = 2 - x
1 = 2x , maka x = 0.5
nA = nAo(1 - x) = 1(1 - 0.5) = 0.5
Neraca massa komponen A di dalam reaktor :
dnA/dt = nAo - nA – k(nA/V)2v
dnA/dt = nAo - nA - knA2/V (steady state)
0 = 1 - 0.5 - 1000 . 0.52/V ====> V = 500 ft3

b./
P
Feed A
P = 3 atm
T = 800 oF
V = 500 ft3

P.V 3 . 500
n   163034
. lbmol  nA = 0.1 x 1.63034 = 0.163 lbmol
R. T 0.7302 . 1260
neraca massa komponen A :
t 0.163
dn A k . n 2A 1 k . n 2A dn A 1 k . n 2A 2.V dn
  .   .   dt   .  2A
dt V 2 V dt 2 V 0
k 0.5 n A
0.163
2.V 1 2 . 500  1 1
 t .       4.135 min
k  n A  0.5 1000  0163
. 0.5 

B. Hk. Kekekalan Energi.

1. Perpindahan panas ke suatu dinding semi infinite. Suatu slab yang luasnya tak
berhingga, mula-mula pada suhu T0 di semua bagian. Tiba-tiba salah satu
permukaan slab dikontakkan pada cairan panas bersuhu T s terus-menerus.
Jabarkan P.D. yang menggambarkan peristiwa perpindahan panasnya.

MTK-2/8
Jawab :

Ts
T0

T
qx   k . S.
x x
x T
x x .qx   k . S.
x  x x
x x  x  x

x
Asumsi :
 konveksi di permukaan slab bersuhu Ts diabaikan.
 arah perambatan panas hanya pada arah x.
 k dan Cp tak tergantung suhu.

Neraca panas pada elemen setebal x :


akumulasi = input - output
Q T  T 
  k . S.   k . S .
t x x  x  x x  x x 



 m. C p . T    k . S. T 
  k . S .
T 

t x x x  x x  x x 



 . S .x. C p .(T  Tref   k . S. T

  k . S .
T 
t x x  x  x x  x x 
T T T  2T
 . S .x. C p   k . S.  k . S.  k . S .x 2
t x x x
T  T
2
T k  T 2
T 2  T
2
 . S .x. C p  k . S .x 2    
t x t . C p x 2 t x 2
Untuk menyelesaikan diperlukan batasan masalah sbb. :
- t = 0 : 0  x  L  T = T0
- t > 0 : x = 0  T = Ts dan x =   T = T0.

2. Suatu batang silinder logam yang ke-2 ujungnya terisolasi, mula-mula pada
suhu T0 di semua bagian, dan berjari-jari a. Tiba-tiba silinder ini dimasukkan ke
dalam oven pada suhu Ts. Dianggap sejak saat itu suhu permukaan silinder selalu
bersuhu Ts. Jabarkan P.D. yang menggambarkan peristiwa perpindahan panasnya.
Jawab :

MTK-2/9
a
r

T T
L k .2. .r.L. k .2. .r.L.
r r r r r  r r

r

Asumsi :
 konveksi di permukaan slab bersuhu Ts diabaikan.
 arah perambatan panas hanya pada arah r.
 k dan Cp tak tergantung suhu.

Neraca panas pada elemen setebal r :


akumulasi = input - output
Q  T  T
 k.2. .r.L.   k.2. .r.L.
t  r r r r  r r r

 m.C p .T   T  T
  k.2. .r.L.   k .2. .r.L.
t  r r r r  r r r
  .2. .r.L.r.C p .T  Tref   T  T
   k .2. .r.L.   k.2. .r.L.
t  r r r r  r r r

 T 
 k . r.
T T T r 
 .2. . r. L.x. C p   k .2. . r. L.  k .2. . r. L. .2. . L.r 
t r r r
 T   T 
 k . r.   k . r. 
T r  T 1  r 
 .2. . r. L.r. C p  2. . L.r   . C p  .
t r t r r
T   T 1 T  T
2
k   T 1 T 
2
  .C p .  k. 2  .     .
t  .C p  r 2 r r 
.
t  r r r 
T   2T 1 T 
   2 . 2  . 
t  r r r 

Untuk menyelesaikan diperlukan batasan masalah sbb. :

MTK-2/10
- t = 0 : 0  r  a  T = T0
- t > 0 : r = a  T = T s.

3. Suatu bola terbuat dari logam dengan jari-jari a, yang mula-mula bersuhu T0.
Tiba-tiba bola ini dimasukkan ke dalam cairan pada suhu T s. Dianggap sejak saat
itu suhu permukaan bola selalu tetap pada T s. Jabarkan PD yang menyatakan
distribusi suhu di dalam bola.
Jawab :

r
T T
 k .(4. . r 2 ).  k .(4. . r 2 ).
r r r r r  r r

Asumsi :
 konveksi di permukaan slab bersuhu Ts diabaikan.
 arah perambatan panas hanya pada arah r.
 k dan Cp tak tergantung suhu.

Neraca panas pada elemen setebal r :


akumulasi = input - output

 4. . r 2 .r. . Cp.(T  Tref ) 
  k .4. . r 2 .
T 
  k .4. . r 2 .
T 

t r r r  r r  r r 

T  2 T  2 T 
   2 . .  2
t  r r r 

Untuk menyelesaikan diperlukan batasan masalah sbb. :


- t = 0 : 0  r  a  T = T0
- t > 0 : r = a  T = T s.

IV. Soal-Soal.

MTK-2/11
1. Diinginkan untuk menghasilkan suatu zat B dari bahan baku A didalam reaktor
tangki teraduk dengan volume efektif V m 3. Bila Q m3/detik suatu larutan A
dengan konsentrasi Co dialirkan ke reaktor yang semula kosong, dan reaksi yang
terjadi dalam reaktor :
K1

A B  K3
C
 K2

dimana semua reaksi berorder 1. Jabarkan PD yang menunjukkan jumlah mol B
didalam reaktor sebelum cairan tumpah.

2. Suatu aliran liquida dengan densitas, , dan panas jenis, Cp, mengalir melalui
pipa dengan jari-jari dalam, a m. Kecepatan linier cairan didalam, U m/jam.
Dinding pipa dipertahankan pada suhu, T 1 oC, dan suhu liquida masuk, T0 oC, (T1
> T0). Koeffisien perpindahan panas secara konveksi pada dinding pipa, h
kcal/(m2.jam.oC). Konduksi didalam cairan diabaikan dan perubahan suhu ke arah
radial diabaikan. Pada keadaan steady state :
a. Tunjukkan PD yang menggambarkan peristiwa perpindahan panas di dalam
cairan.
b. Tentukan kondisi batas PD pada soal a).
c. Bila diketahui :
Cp = 1 kcal/(m2.jam.oC)  = 1000 kg/m3
U = 6000 m/jam a = 0.025 m
L = panjang pipa = 5 m T0 = 40 oC
o
T1 = 100 C h = 500 kcal/(m2.jam.oC)
tentukan suhu cairan keluar pipa.

3. Turunkan distribusi suhu pada keadaan steady state pada suatu silinder
berongga dengan jari-jari dalam, r = a, dan jari-jari luar, r = b. Pada badan silinder
yang bersuhu seragam dan selalu tetap, T, terdapat sumber panas, yang mengalir
secara radial sebagai fungsi jari-jari dengan kecepatan Q(r) = Q0.r, dan
konduktifitas panas bahan silinder berubah menurut fungsi waktu, k = k 0.r,
dimana Q0 dan k0 adalah konstanta. Permukaan batas dalam suhunya dijaga 0,
pada permukaan batas luar terjadi perpindahan panas secara konveksi ke udara
sekitarnya yang bersuhu Ts, dengan koeffisien perpindahan panas, h.

4. Sebuah metal berpenampang segi empat dengan lebar 3 inchi dan tebal 0.2
inchi) dan panjang 4 ft. Pada salah satu ujungnya dipanaskan pada suhu tetap 600
o
F. Permukaan samping metal diisolasi. Anggap keadaan steady. Hitung suhu pada
ujung-ujung lain dari metal bila diketahui : suhu ruangan : 86 oF, k = 200
Btu/jam.ft2/ft.oF, h = 8 Btu/jam.ft2.oF.

MTK-2/12
Qout
3"
0.2"
Qin
Qout

Qout 4"

5. Oksigen cair produksi PT. Aneka Gas Industri disimpan dalam tangki
berbentuk bola, yang berventilasi ke udara atmosfer. Jari-jari dalam tangki, r = r0,
bersuhu T0, dan jari-jari luar, r = r1, bersuhu T1. Kondutifitas panas bahan tangki
tergantung dari suhu, dengan fungsi sbb. : k = k0 + (k1 - k0).((T - T0)/(T1 - T0)).
a. Tentukan laju perpindahan panas yang melalui bahan tangki sebagai fungsi jari-
jari dan suhu pada keadaan stady state, Q = f(r,T).
b. Tentukan laju penguapan oksigen dari dalam tangki yang berdiameter dalam 6
ft dengan tebal 1 ft, dimana kondisi tangki sbb. :
- suhu permukaan dalam tangki, T0 = -183 oC
- suhu permukaan luar tangki, T1 = 0 oC
- titik didih normal O2 = -183 oC
- panas penguapan normal oksigen = 1636 cal/mol
- k, pada suhu : 0 oC = 0.090 Btu/(hr.ft2/ft.oF)
-183 oC = 0.072 Btu/(hr.ft2/ft.oF)
(Bird, soal 9.F2)

6. Suatu larutan yang mengandung 20 % reaktan A pada 30 oC dialirkan ke suatu


reaktor tangki teraduk dengan laju 10000 kg/jam. Reaktor dilengkapi dengan
suatu koil pemanas dengan luas 3 m 2. Koil ini dialiri uap air yang mengembun
pada suhu 149 oC. Didalam reaktor terjadi reaksi kimia sangat cepat yang
endotermis dengan panas reaksi 20 Kcal/(kg A yang bereaksi). Cairan panas
(yang praktis tak mengandung A) keluar dari reaktor dengan laju 10000 kg/jam.
Pada saat awal terdapat 2500 kg larutan pada suhu 30 oC didalam tangki. Harga
koefisien perpindahan panas total adalah 350 Kcal/(jam.m 2.oC) dan kapasitas
panas larutan adalah 1 kcal/(kg.oC). Hitung suhu cairan keluar sesudah : a) 10
menit ,b) 1 jam , c) 2 jam.

7. Suatu tangki berisi N2 (anggap sebagai gas ideal) pada tekanan 780 kPa dan
suhu 30 oC, dengan volume tangki adalah 28 m 3. Tiba-tiba terjadi sedikit
kebocoran pada tangki. Laju alir gas melalui lubang bocor pada saat itu adalah
0.1 kgmole/jam. Selanjutnya laju alir gas melalui lubang bocor dinyatakan
sebagai berikut,
F = Cd P  Patm kgmole/jam
dimana ,
P = Tekanan pada tangki, Pa

MTK-2/13
Patm = Tekanan atmosfir = 1.013 x 105 Pa
Cd = suatu konstanta
Anggap selama kebocoran tak ada perubahan suhu pada tangki. Tentukan tekanan
pada tangki 15 menit setelah kebocoran terjadi.

8. Panas diregenerasi seragam oleh reaksi kimia dalam silinder panjang dengan
jari-jari 91.4 mm. Rate generasi konstan pada 46.6 W/m3. Dinding silinder
didinginkan dan suhu dinding dijaga pada 311 K. Thermal konduktifity bahan
silinder adalah 0.865 W/m.K. Hitung suhu pada sumbu silinder dalam keadaan
steady state.

MTK-2/14
BAB II
PENYELESAIAN PERSAMAAN DIFFERENSIAL
BIASA DENGAN DERET

Sebagian tipe persamaan-persamaan differensial yang penyelesaiannya


dapat dinyatakan dalam bentuk tertutup telah dibicarakan pada mata kuliah
matematika di semester-semester yang terdahulu. Bahkan untuk hal-hal tersebut
di atas, banyak penyelesaian-penyelesaian tertutup diperoleh (dinyatakan) sebagai
fungsi-fungsi yang sebenarnya menyatakan deret tak berhingga.
(Contoh : fungsi-fungsi logaritmik, trigonometri, dan hiperbolic). Penyelesaian
sebagian besar persamaan-persamaan differensial biasa diperoleh dalam bentuk
deret tak berhingga. Pernyataan berikut :

A0 + A1(x - x0) + ... + An(x - xn)n + ... = 
n 0
An(x - xn)n (2-1)

disebut deret Pangkat. Deret ini disebut memusat bila deret ini mendekati suatu
harga yang berhingga bila n mendekati tak berhingga. Pengujian yang paling
sederhana untuk kondisi memusat adalah rasio test, yaitu bila :
A
lim n 1 x  x 0  J  L x  x 0  1 (2-2)
n A
n

maka deret ini memusat, namun bila J > 1, deret menjadi tak memusat. Pengujian
1 A
ini tak dapat digunakan bila J = 1. Besaran :  lim n 1 sering disebut jari-jari
L n A n
pemusatan. Di dalam selang pemusatan, suatu deret pangkat bisa diperlakukan
sebagai fungsi kontinyu dengan turunan-turunannya untuk semua tingkat juga
kontinyu. Berikut ini sifat-sifat penting dari deret pangkat :
1. Di dalam selang pemusatan deret pangkat awal, deret yang dibentuk
dengan cara differensiasi atau integrasi suku persuku deret awal juga
memusat.
2. Hasil kali dua deret pangkat memusat di dalam selang pemusatan yang
bersamaan dari pada kedua deret asal.
3. Perbandingan dua deret pangkat memusat di dalam selang pemusatan yang
bersamaan kedua deret asal, asalkan penyebut mempunyai harga yang
tidak nol di dalam selang ini.
Operasi dengan deret lebih mudah dilaksanakan bila notasinya disingkat. Bila y
menyatakan suatu fungsi x [f(x)] yang disajikan dalam selang pemusatan sebagai
deret pangkat :

y = f(x) = A0 + A1(x - x0) + ... + An(x - xn)n + ... = 
n 0
An(x - xn)n (2-3)

maka,

dy
dx
= A1 + 2A2(x - x0) + ... + n.An(x - x0)n - 1 + ... = 
n 0
n.An(x - xn)n - 1 (2-4)
2
d y
= 2A2 + 6A3(x - x0) + ... + n.(n - 1).An(x - x0)n - 2 + ...
dx 2
MTK-2/15

= 
n 0
n.(n - 1).An(x - xn)n - 2 (2-5)

dk y
k
=  n.(n - 1)....(n - k + 1).An.(x - xn)n - k (2-6)
dx n 0
Deret pangkat I seperti pada pers. (2-3), bisa diajdikan bentuk yang lebih
bermanfaat yang dikenal sebagai "Deret Taylor" sebagai berikut :
differensiasikan pers.(2-3) n kali dan tetapkan x = x0. Masing-masing anggota
daripada sistem persamaan-persamaan yang dihasilkan akan menentukan satu
konstanta :
A0 = y0 = f(x0) (2-7)
 
dy
A1 =   = f '(x0) (2-8)
 dx  x 0
f n (x 0 )
An = (2-9)
n!
akibatnya, pers.(2-3) menjadi :

f n (x 0 )
y = f(x) =  (x - x0)n (2-10)
n0 n!
supaya pers.(2-10) valid, seluruh turunan-turunan f(x) harus ada pada x = x0.
Suatu fungsi yang dapat disajikan dengan deret Taylor di sekitar x = x 0 dikatakan
sebagai regular pada x = x0. Penyelesaian suatu PD orde dua homogen linier
seringkali bisa diperoleh dengan metoda deret pangkat. Dalam bentuk standart,
PD ini bisa ditulis sbb. :
d2y dy
2
 a1 ( x )  a1 ( x ) y  0 (2-11)
dx dx
Sifat-sifat koeffisien-koeffisien a1(x) dan a2(x) mempunyai arti yang penting pada
karakteristik penyelesaian deret pangkatnya. Apabila fungsi a 1(x) dan a2(x) tak
dapat dinyatakan dengan deret pangkat yang memusat dalam selang tertentu,
maka penyelesaian deret pangkatnya akan sulit dikerjakan.
Karakteristik penyelesaian deretnya disekitar x 0 dapat diperkirakan dari sifat-sifat
fungsi a1(x) dan a2(x) didekat x0. Titik x0 dapat diklasifikasikan sbb. :
1. x0 disebut titik ordinary PD bila a1(x) dan a2(x) dapat disajikan sebagai deret
pangkat yang memusat yang meliputi x = x 0 di dalam selang pemusatannya,
artinya a1(x) dan a2(x) regular pada x = x0.
2. x0 disebut titik singular PD bila salah satu a 1(x) atau a2(x) tak regular pada x =
x0.
3. x0 disebut titik regular singular PD bila klasifikasi 2 berlaku tetapi hasilkali (x
- x0).a1(x) dan (x - x0)2.a2(x) kedua-duanya regular pada x = x0.
4. x0 disebut titik irregular singular PD bila klasifikasi 2 berlaku tetapi 3 tidak
berlaku.

Contoh :
 a(x) = x hanya mempunyai titik-titik ordinary
 a(x) = 1 +1/x akan tak berhingga pada x = 0, jadi x = 0 adalah titik
singular, tetapi x (1 + 1/x) regular pada x = 0

MTK-2/16
1
 a(x) = mempunyai titik singular pada x = 0 dan x = 1
x(1  x)

Contoh : [Mickley, 5-3]


d2y dy
x 2 (1  x 2 ) 2 2
 2 x (1  x ) y0
dx dx
Identifikasikan jenis titik dan lokasinya.
Jawab :
d2y 2 x (1  x ) dy 1
  2  2 y0
dx 2
x (1  x ) dx x (1  x 2 ) 2
2 2

d2y 2 x (1  x ) dy 1
  2  2 y0
dx 2
x (1  x ) (1  x ) dx x (1  x 2 ) 2
2 2

d2y 2 dy 1
   2 y0
dx 2
x (1  x )(1  x ) dx x (1  x 2 ) 2
2

2 1
maka : a1(x) = dan a2(x) = 2
x.(1  x )(1  x )
2
x (1  x 2 ) 2
 x0 = 0 : - a1(x) dan a2(x) : tidak regular
2
- x.a1(x) : : regular
.(1  x )(1  x )
2

1
- x2.a2(x) : : regular
(1  x 2 ) 2
x0 = 0 : titik regular singular
 x0 = 1 : - a1(x) dan a2(x) : tidak regular
2( x  1) 2(1  x )
- (x-1).a1(x) :  =
x.(1  x )(1  x ) x.(1  x )(1  x )(1  x )
2

2
: regular
. x.(1  x ) 2
( x  1) 2 (1  x ) 2
- (x-1)2.a2(x) : 2  
x .(1  x 2 ) 2 x 2 .(1  x ) 2 .(1  x ) 2
1
: regular
x .(1  x ) 2
2

x0 = 1 : titik regular singular


 x0 = 2 : ordinary
 ... : ordinary
 x0 =  : ordinary

Penyelesaian secara deret pangkat dengan pers.(2-11) diterangkan sbb. :


1. Bila x0 adalah titik ordinary pers.(2-11), maka akan diperoleh dua
penyelesaian deret pangkat yang linier independent yang regular pada x = x 0.
Masing-masing penyelesaian mempunyai bentuk :

y= n 0
An(x - x0)n (2-12)

MTK-2/17
2. Bila x0 adalah titik regular singular pers.(2-11), maka penyelesaian deret
pangkat yang regular pada x = x0 tak dapat dijamin. Tetapi metoda yang akan
dijelaskan sesudah ini akan selalu menghasilkan setidak-tidaknya sebuah
penyelesaian dengan bentuk :

y = (x - x0)s  An(x - x0)n (2-13)
n 0
dimana s adalah sebuah bilangan yang harganya dapat ditentukan.
3. Bila x0 adalah titik irregular singular pers.(2-11), maka penyelesaian deret
pangkatnya mungkin ada atau mungkin tidak ada.

Contoh : [Titik Ordinary]


Selesaikan PD berikut yang valid disekitar x = 0 :
d2y dy
2
x y0
dx dx
Jawab :
Fungsi a1(x) = x dan a2(x) = 1 adalah regular untuk x0 = 0, jadi titik x0 = 0 adalah

ordinary, sehingga penyelesaian deret pangkatnya adalah : Y ( x )   An ( x ) n .
n 0
 2 
dy d y
Dimana turunannya adalah :   nAn ( x ) n1 dan 2
  n( n  1) An ( x ) n2 ,
dx n 0 dx n 0
yang disubstitusikan ke PD diatas. PD menjadi :
  
  n.( n  1). An . x n2  x  n. An . x n1   An . x n  0
n 0 n 0 n 0

 [2A2 + 6A3.x + 12A4.x2 + 20A5.x3 + 30A6.x4 + 42A7.x5 + ...] + [A1.x + 2A2.x2


+ 3A3.x3 + 4A4.x4 + 5A5.x5 + ...] + [A0 + A1.x + A2.x2 + A3.x3 + A4.x4 + A5.x5
+ ...] = 0

identity :
2A2 + A0 = 0  A2 = -1/2 A0
6A3 + 2A1 = 0  A3 = -1/3 A1
12A4 + 3A2 = 0  A4 = -1/4 A2 = 1/8 A0
20A5 + 4A3 = 0  A5 = -1/5 A3 = 1/15 A1
30A6 + 5A4 = 0  A6 = -1/6 A4 = -1/48 A0
42A7 + 6A5 = 0  A7 = -1/7 A5 = -1/105 A1
....
....
( 1) n
A2 n  n A0
2 . n!
Jadi penyelesaian PD adalah :

( 1) n 2 n  1 1 1 7 
Y ( x )` A0  n . x  A1 .  x  x 3  x 5  x ...
n 0 2 . n!  3 15 105 

MTK-2/18
I. METODA FROBENIUS.

Metoda ini dimulai dengan mencari penyelesaian-penyelesaian yang valid


di daerah titik x = 0. Penyelesaian-penyelesaian yang valid di daerah suatu titik x
= x0 bisa diperoleh dengan transformasi persamaan differensial itu dengan
menggunakan variabel baru z = x - x0. Pembahasan berikut ini menganggap
bahwa transformasi ini telah dilaksanakan. Pers.(2-11) ditulis dalam bentuk
berikut :
d2 y 1 dy 1
Ly  R(x) 2  P(x)  V ( x) y  0 (2-14)
dx x dx x 2
dianggap :
1. R(x) 0 di dalam interval sekitar x = 0.
2. persamaan telah dibagi dengan suatu konstanta yang membuat R(0) = 1.
3. R(x), P(x), dan V(x) adalah regular pada x = 0.
maka x.a1(x)  P(x)/R(x) dan x2.a2(x)  V(x)/R(x) adalah regular pada x = 0, dan
titik x = 0 adalah seburuk-buruknya merupakan titik regular singular.
Fungsi-fungsi R(x), P(x), dan V(x) disajikan sebagai deret pangkat :

R(x) = 
k 0
Rk.xk (2-15)

P(x) = 
k 0
Pk.xk (2-16)

V(x) = 
k 0
Vk.xk (2-17)

Harga-harga numerik koeffisien Rk, Pk, dan Vk dapat ditentukan dalam setiap
persoalan-persoalan praktis. Penyelesaian pers.(2-14) dianggap berbentuk :

y = xs . 
n 0
An.xn (2-18)

dimana A0 tidak boleh nol. Pers,(2-18) didefferensialkan untuk menentukan deret


yang menyajikan dy/dx dan d2y/dx2 dan hasil-hasilnya bersama-sama dengan deret
yang menyatakan R(x), P(x), dan V(x) disubstitusikan dalam pers.(2-14). Hasilnya
adalah :
   
L(y) =  Rk x k   (n  s).(n  s  1) An x n  s2  
 k 0   n0 
 
k 

n  s2   
k 

n s2 
 
 k 0
Pk x  
  n0
( n  s) An x 
  
  k 0
Vk x 
  An x
  n0


 
=   (n  s).(n  s  1) R
k  0 n 0
k  ( n  s) Pk  Vk . An x k  n s 2

= 0 (2-19)

Pers.(2-19) akan dipenuhi bila koeffisien-koeffisien xl adalah nol (dimana l adalah


suatu bilangan). Didefinisikan : k + n = l (2-20)

MTK-2/19
maka koeffisien-koeffisien xl+s-2 diinginkan bila l mempunyai suatu harga
 
tertentu. Pandanglah suku,  V
k  0 n 0
k . An . x k  n s 2

(2-21)
untuk l = 0, harga-harga n = 0 dan k = 0 merupakan satu-satunya pasangan yang
memenuhi pers.(2-20). Sehingga koeffisien xs-2 dalah V0.A0. Untuk l = 1,
pasangan-pasangan n = 0, k = 1,dan n = 1, k = 0 yang memenuhi pers.(2-20).
Koeffisien-koeffisien xs-1 adalah V1.A0 + V0.A1. Bila proses ini dilanjutkan,
ternyata koeffisien-koeffisien ini diperoleh dari pernyataan :
 l

  .V
l 0 k 0
k . Al  k x l  s 2 (2-22)

Kondisi yang memenuhi pers.(2-19) adalah :


 (l  s  k ).(l  s  k  1) R
k 0
k  ( l  s  k ). Pk  Vk . Al  k  0 (2-23)

untuk masing-masing harga l antara 0 dan . Karena Al-k = An, pers.(2-23)


menentukan koeffisien-koeffisien di dalam penyelesaian deret pangkat (pers. 2-
18) dari PD (pers.2-14). Hubungan yang timbul dari l = 0 akan menentukan harga
s. Jadi, untuk l = 0, pers.(2-23) menjadi, s(s-1)R0 + s.P0 + V0 = 0 (2-24).
Pada umumnya, pers.(2-24) akan menentukan dua harga s yaitu s1 dan s2,
sehingga diperoleh dua penyelesaian deret (yang berbeda satu sama lain) dari PD
(pers.2-14). Suku A0 adalah sembarang dan harganya dapat ditentukan dari
kondisi batas untuk persamaan differensial ini. Koeffisien-koeffisien yang lain A1,
A2,..., An dapat dinyatakan dalam A0 untuk harga s tertentu. Sehingga, untuk l = 1,
pers.(2-23) memberikan :
s( s  1). R1  s. P1  V1
A1   . A0
( s  1) s  ( s  1). P0  V0
Kondisi untuk l = 2, akan memberikan A2 dinyatakan dalam A1, dan seterusnya.
Dengan notasi :
f(s) = s2 + (P0 - 1)s + V0 (2-25)
qk(s) = Rk(s-k)2 + (Pk - Rk).(s-k) + Vk (2-26)
rumus rekurensi yang menghubungkan An dengan koeffisien-koeffisien dengan
indeks yang lebih kecil, jadi juga dengan A0 mudah diperoleh dari pers.(2-23)
sebagai :
n
  q k ( s  n). An  k
An  k 1
(2-27)
f ( s  n)
dimana n  1. Pers.(2-27) tak berlaku bila f(s+n) sama dengan nol. Keadaan
khusus ini dibicarakan berikut ini.

II. KEADAAN-KEADAAN KHUSUS.

Bila s1 - s2 = 0 atau bilangan bulat, maka metoda Frobenius akan


memberikan penyelesaian dengan satu konstanta sembarang, jadi tak akan
menyajikan penyelesaian sempurna dari PD order dua. Dalam keadaan ini f(s+n)

MTK-2/20
pada pers.(2-27) menjadi nol untuk suatu harga n tertentu, katakanlah n = N, dan
AN tak dapat ditentukan.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa bila metoda Frobenius
digunakan untuk menentukan penyelesaian deret suatu PD linier homogen, timbul
beberapa alternatif berikut :
1. Bila s1 - s2  0 dan juga bukan bilangan bulat, maka metoda Frobenius
memberikan dua buah penyelesaian yang independent dalam bentuk pers.(2-
18).
2. Bila s1 - s2 = 0, maka metoda Frobenius hanya memberikan sebuah
penyelesaian dengan bentuk pers.(2-18)
3. Bila s1 - s2 = N, dimana N adalah bilangan bulat real, maka pemakaian harga s
yang lebih besar (yaitu s1) akan selalu memberikan sebuah penyelesaian
dengan bentuk pers.(2-18). Bila harga s yang lebih kecil yang digunakan (yaitu
s2). maka mungkin tak diperoleh penyelesaian dengan bentuk pers.(2-18) atau
mungkin juga diperoleh dua penyelesaian independent dengan bentuk pers.(2-
18), salah satu dari padanya adalah identitas dengan yang diperoleh dari harga
s1. Yang terakhir ini terjadi bila x = 0, merupakan ordinary point.
4. Dalam semua keadaan dimana dapat diperoleh hanya sebuah penyelesaian
dengan bentuk :

y1 =  A .x
n0
n
n  s1
 A0 . u1 ( x ) (2-28)

Penyelesaian independent kedua adalah dalam bentuk :



y2 = c. u1 ( x).ln( x )   Bn . x n  s2 (2-29)
n0
Differensiasi pers.(2-29) dilanjutkan dengan substitusi ke persamaan
differensial semula, akan menentukan keffisien Bn dinyatakan dalam suatu
konstanta sembarang c.

Contoh : [s1 - s2  0 dan juga bukan bilangan bulat, Mickley 5-4a]


Selesaikan PD berikut dengan metode Frobenius yang valid disekitar x = 0 :
d2y dy
2 x 2  (1  2 x ) y0
dx dx
Jawab :
d2y 1 dy 1
PD diubah ke bentuk PD Frobenius : R( x ). 2  . P ( x )  .V ( x ). y  0 ,
dx x dx x 2
yaitu :
d 2 y 1  1  2 x  dy 1  1 
 .   .   . x y  0
dx 2 x  2  dx x 2  2 
dimana : R(x) = 1  R(0) = 1
1  2x 1
P(x) =  x
2 2
1
V(x) =  x
2
Identity :

MTK-2/21

R(x) = R
n 0
k .xk = R0 + R1.x + R2.x2 + R3.x3 + ...

R0 = 1, R1 = R2 = R3 = ... = 0

P(x) = P .x
n 0
k
k
= P0 + P1.x + P2.x2 + P3.x3 + ...

P0 = 1/2, P1 = -1, P2 = P3 = ... = 0



V(x) = V
n 0
k .xk = V0 + V1.x + V2.x2 + V3.x3 + ...

V0 = 0, V1 = -1/2, V2 = V3 = ... = 0

Pers. Indicial : R0 = 1, maka pers. indicialnya :


s2 + (P0 - 1)s + V0 = 0
s2 + (1/2 - 1)s + 0 = 0
s(s - 1/2) = 0  s1 = 0 dan s2 = 1/2

Penyelesaian secara deret : Y = Y1 + Y2


 
= x s1 .  An . x n  x s2 .  An' . x n
n 0 n 0

n
  q k ( s  n). An k
Pers. rekurensi : An  k 1
,
f ( s  n)
dimana : - qk(s) = Rk.(s-k)2 + (Pk - Rk).(s - k) + Vk
- f(s) = s2 + (P0 - 1)s + V0

untuk s = s1 = 0 :
[q1 (1). A0 ]
n = 1  A1 
f (1)
q1(1) = R1.(1 - 1)2 + (P1 - R1).(1 - 1) + V1 = -1/2
f(1) = 12 + (P0 - 1).1 + V0 = 1 + (1/2 - 1).1 + 0 = 1/2
[ 1 / 2. A0 ]
A1   A0
1/ 2

[q1 (2). A1  q 2 (2). A0 ]


n = 2  A2 
f ( 2)
2
q1(2) = R1.(2 - 1) + (P1 - R1).(2 - 1) + V1 = -3/2
q2(2) = R2.(2 - 2)2 + (P2 - R2).(2 - 2) + V2 = 0
f(2) = 22 + (P0 - 1).2 + V0 = 4 + (1/2 - 1).2 + 0 = 3
[ 3 / 2. A1 ] 1 1
A2   A1  A0
3 2 2

[q1 (3). A2  q 2 (3). A1  q 3 (3). A0 ]


n = 3  A3 
f (3)

MTK-2/22
q1(3) = R1.(3 - 1)2 + (P1 - R1).(3 - 1) + V1 = -5/2
q2(3) = R2.(3 - 2)2 + (P2 - R2).(3 - 2) + V2 = 0
q3(3) = R3.(3 - 3)2 + (P3 - R3).(3 - 3) + V3 = 0
f(3) = 32 + (P0 - 1).3 + V0 = 9 + (1/2 - 1).3 + 0 = 15/2
[ 5 / 2. A1 ] 1 1
A3   A2  A0
15 / 2 3 6

n = ....

1
n = n  An  . A0
n!

  
1 1
Jadi : Y1  x s1 .  An . x n = x 0 .  A0 . x n  A0 .  x n
n 0 n 0 n! n 0 n!

untuk s = s2 = 1/2 :
[q1 (1,5). A0' ]
n = 1  A  '
1`
f (1,5)
q1(1,5) = R1.(1,5 - 1)2 + (P1 - R1).(1,5 - 1) + V1 = -1
f(1,5) = 1,52 + (P0 - 1).1,5 + V0 = 3/2
A' 2
A1'  0  A0'
3/ 2 3

[q1 (2,5). A1'  q 2 (2,5). A0' ]


n = 2  A2' 
f (2,5)
2
q1(2,5) = R1.(2,5 - 1) + (P1 - R1).(2,5 - 1) + V1 = -2
q2(2,5) = R2.(2,5 - 2)2 + (P2 - R2).(2,5 - 2) + V2 = 0
f(2,5) = 2,52 + (P0 - 1).2,5 + V0 = 5
2. A1' 4 ' 22 '
A2 
'
 A0  A0
5 15 35.

[q1 (3,5). A2'  q 2 (3,5). A1'  q 3 (3,5). A0' ]


n = 3  A3' 
f (3,5)
2
q1(3,5) = R1.(3,5 - 1) + (P1 - R1).(3,5 - 1) + V1 = -3
q2(3,5) = R2.(3,5 - 2)2 + (P2 - R2).(3,5 - 2) + V2 = 0
q3(3,5) = R3.(3,5 - 3)2 + (P3 - R3).(3,5 - 3) + V3 = 0
f(3,5) = 3,52 + (P0 - 1).3,5 + V0 = 21/2
3 21  2 2  ' 23 '
A3 
'
A2  .   A0 
'
A0
21 / 2 7  35 .  35
. .7


Jadi : Y2 = x s2 .  An' . x n  x 0,5 .[ A0'  A1' . x  A2' . x 2 ...]
n 0

MTK-2/23
2 22 2 23 3
= x 0,5 . A0' [1  . x  x  x ...]
3 35
. 35
. .7

1 2 22 2 23 3
Sehingga : Y(x) = A0 .  x n + x 0,5 . A0' [1  . x  x  x ...]
n  0 n! 3 35. 35
. .7

MTK-2/24
Contoh : [s1 - s2  0 tetapi bilangan bulat, Mickley 5-4c]
Selesaikan PD berikut dengan metode Frobenius yang valid disekitar x = 0 :
d2y dy
x 2  2  xy  0 .....(A)
dx dx
Jawab :
d2y 1 dy 1
PD diubah ke bentuk PD Frobenius : R( x ). 2  . P ( x )  .V ( x ). y  0 ,
dx x dx x 2
yaitu :
d 2 y 2 dy x 2
  y0
dx 2 x dx x 2
dimana : R(x) = 1  R(0) = 1
P(x) = 2
V(x) = x2
Identity :

R(x) = R
n 0
k .xk = R0 + R1.x + R2.x2 + R3.x3 + ...

R0 = 1, R1 = R2 = R3 = ... = 0

P(x) = P .x
n 0
k
k
= P0 + P1.x + P2.x2 + P3.x3 + ...

P0 = 2, P1 = P2 = P3 = ... = 0

V(x) = V
n 0
k .xk = V0 + V1.x + V2.x2 + V3.x3 + ...

V0 = 0, V1 = 0, V2 = 2, V3 = V4 = ... = 0

Pers. Indicial : R0 = 1, maka pers. indicialnya :


s2 + (P0 - 1)s + V0 = 0
s2 + (2 - 1)s + 0 = 0
s(s + 1) = 0  s1 = 0 dan s2 = -1

Penyelesaian secara deret : Y = Y1 + Y2


 
= x s1 .  An . x n  c. u1 ( x).ln( x)   Bn . x n  s2
n0 n0
untuk s = s1 = 0 :
n
  q k ( s  n). An k
Pers. rekurensi : An  k 1
,
f ( s  n)
dimana : - qk(s) = Rk.(s-k)2 + (Pk - Rk).(s - k) + Vk
- f(s) = s2 + (P0 - 1)s + V0
[q1 (1). A0 ]
n = 1  A1 
f (1)
q1(1) = R1.(1 - 1)2 + (P1 - R1).(1 - 1) + V1 = 0
f(1) = 12 + (P0 - 1).1 + V0 = 12 + (2 - 1).1 + 0 = 2

MTK-2/25
[0. A0 ]
A1  0
2

[q1 (2). A1  q 2 (2). A0 ]


n = 2  A2 
f ( 2)
2
q1(2) = R1.(2 - 1) + (P1 - R1).(2 - 1) + V1 = 0
q2(2) = R2.(2 - 2)2 + (P2 - R2).(2 - 2) + V2 = 1
f(2) = 22 + (P0 - 1).2 + V0 = 4 + (2 - 1).2 + 0 = 6
[0.0  1. A0 ] 1
A2    A0
6 6

[q1 (3). A2  q 2 (3). A1  q 3 (3). A0 ]


n = 3  A3 
f (3)
2
q1(3) = R1.(3 - 1) + (P1 - R1).(3 - 1) + V1 = 0
q2(3) = R2.(3 - 2)2 + (P2 - R2).(3 - 2) + V2 = 1
q3(3) = R3.(3 - 3)2 + (P3 - R3).(3 - 3) + V3 = 0
f(3) = 32 + (P0 - 1).3 + V0 = 9 + (2 - 1).3 + 0 = 12
[0. A2  10.  0. A0 ] 0
A3   0
12 12

[q1 (4). A2  q2 (4). A1  q 3 (4). A1  q 4 (4). A0 ]


n = 4  A4 
f ( 4)
2
q1(4) = R1.(4 - 1) + (P1 - R1).(4 - 1) + V1 = 0
q2(4) = R2.(4 - 2)2 + (P2 - R2).(4 - 2) + V2 = 1
q3(4) = R3.(4 - 3)2 + (P3 - R3).(4 - 3) + V3 = 0
q4(4) = R4.(4 - 4)2 + (P4 - R4).(4 - 4) + V4 = 0
f(4) = 42 + (P0 - 1).4 + V0 = 16 + (2 - 1).4 + 0 = 20
[0. A3  1. A2  0. A1  0. A0 ] A A
A4   2  0
20 20 120
n = ....
n = n  generalisasi : - suku ganjil: A2n+1 = 0
( 1) n
- suku genap : A2 n  . A0
(2n  1)!
 
( 1) n 
( 1) n
Jadi : Y1  x s1 .  An . x n = x 0 .  A0 . x 2 n  A0 .  x 2n
n 0 n0 ( 2 n  1 )! n0 ( 2 n  1 )!

( 1) n
dimana : u1(x) = .  x 2n
n  0 ( 2n  1)!

untuk s = s2 = -1 :

y2  c. u1 ( x ).ln( x )   Bn . x n  s2
n0

( 1)
n 
y2  c.ln( x).  x 2 n   Bn . x n 1 .....(B)
n  0 ( 2n  1)! n0

MTK-2/26
dy2 
( 1) n .2n 2 n 1 
( 1) n 
 c.ln( x).  .x  c.  . x 2 n 1   Bn .(n  1). x n 2
dx n  0 (2n  1)! n  0 ( 2n  1)! n0
.....(C)

d 2 y2 
( 1) n .2n.(2n  1) 2 n 2 
( 1) n .2n 2 n 2
dx 2
 c .ln( x ). 
n0 (2n  1)!
. x  c . 
n  0 ( 2n  1)!
.x

( 1) n .(2n  1) 2 n 2 
 c.  .x   Bn .(n  1).(n  2). x n 3
n0 (2n  1)! n0
.....(D)
Pers.(B), (C), dan (D)  (A) :

( 1) n .2n.(2n  1) 2 n 1 
( 1) n .2n 2 n 1
c.ln( x).  .x  c.  .x
n0 (2n  1)! n  0 ( 2n  1)!

( 1) n .(2n  1) 2 n 1 
 c.  .x   Bn .(n  1).(n  2). x n 2
n0 (2n  1)! n0

( 1) n .4n 2 n 1 
( 1) n .2 2 n 1 
 c.ln( x).  .x  c.  .x   Bn .2.(n  1). x n 2
n0 ( 2 n  1)! n0 ( 2 n  1 )! n0

( 1) n 
 c.ln( x).  x 2 n 1   Bn . x n  0
n  0 ( 2n  1)! n0


( 1) n .(4n 2  2n) 2 n 1 
( 1) n .(4n  1) 2 n 1
 c.ln( x).  .x  c.  .x
n0 (2n  1)! n0 (2n  1)!

( 1) n  
 c.ln( x).  x 2 n 1   Bn .(n  1). n. x n 2   Bn . x n  0
n  0 (2n  1)! n0 n0

 16 . . x 3 .ln( x ) 142
. . x.ln( x ) 120 . . x 5 .ln( x) 
 c    ...
 3! 5! 7! 
 15
. . x 9. x 3
13. x 5

 c x 1    ...
 3! 5! 7! 
 x 3 .ln( x) . x 5 .ln( x) x 7 .ln( x) 
 c x.ln( x)    ...
 3! 5! 7! 
+ [2B2 + 6B3.x + 12B4.x + 20B5.x + 30B6.x4 + 42B7.x5 + ...]
2 3

+ [B0 + B1.x + B2.x2 + B3.x3 + B4.x4 + B5.x5 + ...] = 0

identity : - suku : x-1  c = 0


- suku : x.ln(x)  c{-6/3! + 1] = 0  c = 0
3
- suku : x .ln(x)  c(20/5! - 1/3!] = 0  c = 0
jadi c = 0
- suku : x0  2B2 + B0 = 0  B2 = -B0/2
- suku : x1  6B3 + B1 = 0  B3 = -B1/6
- suku : x2  12B4 + B2 = 0  B4 = -B2/12 = B0/24

MTK-2/27
- suku : x3  20B5 + B3 = 0  B5 = -B3/20 = B1/120

( 1) n . B1
generalisasi : - suku ganjil : B2 n 1 
(2n  1)!
( 1) n . B0
- suku genap : B2 n 
(2n)!

( 1) n 2 n 1 
( 1) n
y2  B0  .x  B1  . x 2n
n  0 ( 2n)! n  0 ( 2n  1)!

( 1) n 
( 1) n 2 n 1 
( 1) n
Jadi : y  A0 .  x  B0 
2n
.x  B1  . x 2n
n  0 ( 2n  1)! n  0 (2n)! n  0 ( 2n  1)!


( 1) n 2 n 1 
( 1) n
y  B0  .x  ( A0  B1 ) . x 2n
n  0 (2n)! n  0 ( 2n  1)!

III. PERSAMAAN BESSEL.

Persamaan differensial linier orde dua berikut :


d2y dy
x 2 2  x  (x 2  p2 ) y  0 (2-30)
dx dx
dikenal sebagai pers. Bessel dan penyelesaiannya disebut fungsi Bessel.
Penyelesaian pers.(2-30) dengan bentuk :

y  x s  An . x n (2-18)
n0
bisa diperoleh dengan menggunakan metoda Frobenius. Mula-mula pers.(2-30)
ditulis dalam bentuk :
d 2 y 1 dy 1 2
2
  2 (x  p2 ) y  0 (2-31)
dx x dx x
Bila dibandingkan dengan pers.(2-14) maka :
R(x) = 1
P(x) = 1
V(x) = x2 - p2 (2-32)
Ekspansi deret pers.(2-32) yang sesuai dengan pers.(2-15) s/d pers.(2-17)
memberikan harga koeffisien-koeffisiennya sbb. :
R0 = 1, R1 = R2 = ....= Rn = 0
P0 = 1, P1 = P2 = ...= Pn = 0
V0 = -p2, V1 = 0, V2 = 1, V3 = V4 = ...=Vn = 0
(2-33)
Persamaan indicial (2-24), memberikan :
s2 = p2, sehingga s1 = p dan s2 = -p (2-34)
Penyelesaian-penyelesaian pers.(2-31) dicari dengan menggunakan persamaan
rekurensi (2-27) dan diperoleh :

MTK-2/28
 
( 1) k x 2 k 
y1 ( x )  A0 . x 1  
p
 (2-35)
 k 1 (1  p)(2  p)...( k  p).2 . k !
2k

yang sesuai dengan s = p, dan


 
( 1) k x 2 k 
y2 ( x )  B0 . x  p 1    (2-36)
 k 1 (1  p)(2  p)...( k  p).2 . k !
2k

yang sesuai untuk s = -p.


Pers.(2-35) dan (2-36) bisa ditulis dalam bentuk yang lebih sering digunakan
dengan memperkenalkan suatu fungsi khusus yang disebut fungsi Gamma. Untuk

e
x
harga-harga p yang positif, integral : (p) = . x p 1dx ; p > 0 (2-37)
0

disebut fungsi Gamma. Harga-harga fungsi Gamma diberikan didalam banyak


tabel-tabel di literatur-literatur. Sifat-sifat penting fungsi ini adalah :
(p+1) = p.(p) ; p > 0 (2-38)
Bila N adalah bilangan bulat positif, maka :
(p+N) = (p+N-1)(P+N-2...(p+1)(p) (p) ; p > 0 (2-39)
1
(p-1) = (p) ; p > 1 (2-40)
( p  1)
Bila p adalah bilangan bulat positif n, maka :
(n+1) = n! (2-41)
(1) = 0! = 1 (2-42)
Biasanya pers.(2-41) dikembangkan untuk harga-harga p yang bukan bulat dan
mendefinisikan faktorial suatu bilangan positif dengan hubungan :
(p+1) = p! (2-43)
Untuk harga p yang negatif, (p) tak didefinisikan dengan pers.(2-37), karena
integralnya tak ada. Biasanya definisi fungsi Gamma dikembangkan untuk harga-
harga p negatif dengan hubungan :
( p  n)
(p) = (2-44)
( p  N  1)( p  N  2)...( p  1)( p)
Bila N adalah bilangan bulat positif dan 1 < p + N <2. Tetapi, perlu diperhatikan
bahwa penyebut pers.(2-44) menjadi nol bila p = 0 atau bilangan bulat negatif,
sehingga (p) tak didefinisikan bila p = 0 atau bilangan bulat negatif.
Bila fungsi Gamma dimasukkan, pers.(2-35) menjadi :
2k  p
k  x
( 1)  

 2
y1(x) = 2 (1  p). A0 . 
p
(2-45)
k 0 k !( k  p)!
atau dengan notasi :
2k  p
 x
( 1)  

 2
J p ( x)   (2-46)
k  0 k !( k  p)!
y1(x) = c1.Jp(x) (2-47)

MTK-2/29
Fungsi yang dinyatakan dengan Jp(x) disebut “Fungsi Bessel jenis pertama order
p”. Bila p tak nol dan bukan bilangan bulat positif, pnyelesaian kedua bisa
diperoleh dari pers.(2-36) sbb. :
y2(x) = c2.J-p(x) (2-48)
2k  p
 x
( 1) 

 2
J  p ( x)   (2-49)
k  0 k !( k  p)!
Akibatnya, bila p tidak nol dan bukan bilangan bulat positif, penyelesaian lengkap
persamaan Bessel (2-30) adalah :
y = c1.Jp(x) + c2.J-p(x) (2-50)
Bila p mempunyai harga nol atau bilangan bulat positif n, kedua penyelesaian
menjadi tidak independent, yaitu ada hubungan antara J -n(x) dan Jn(x) sbb. :
J-n(x) = (-1)n.Jn(x) (2-51)
Dalam hal ini, metoda Frobenius tak memberikan penyelesaian lengkap. Tetapi
metoda yang telah diterangkan dimuka (yaitu alternatif ke-4) bisa digunakan
untuk menentukan penyelesaian kedua sbb. :
y2(x) = c2Yn(x)
(2-52)
dimana Yn(x) disebut fungsi Bessel jenis kedua order n atau bentuk Weber dan
didefinisikan sebagai berikut :
  x
2 k n

 ( n  k  1 )!   
 ln x     J ( x )  1 
n 1
 2 

2   2   n 2 k 0 k! 
Yn ( x )   
  x
2 k n

1    
 2
  ( 1) k 1  ( k )   ( k  n) 
 2 k 0 k !(n  k )! 
(2-53)
dimana  adalah konstanta Euler yaitu :  = 0.5772157 (2-54)
k
1
dan (k) =  =1 + 1/2 + ... + 1/k ; k  1 (2-55)
m 1 m

(0) = 0 (2-56)
Akibatnya, bila p = 0 atau bilangan bulat, penyelesaian lengkap persamaan Bessel
(pers.2-30) adalah : y = c1.Jn(x) + c2.Yn(x) (2-57)

Contoh :
d2y dy
x 2
2
x  ( x 2  4) y  0 ,
dx dx
dimana : x = 1  y = 5 dan x = 2  y = 8, selesaikan PD ini.
Jawab :
p = 2, maka penyelesaian : y = c1.J2(x) + c2.Y2(x)
-x=1 : 5 = c1.J2(1) + c2.Y2(1)
= c1.0.1149 + c2.-1.65068
5 = 0.1149.c1 - 1.65068.c2
-x=2 : 8 = c1.J2(2) + c2.Y2(2)
MTK-2/30
8 = 0.35283.c1 - 0.6174.c2
maka c1 = dan c2 = , sehingga : y = J2(x) + Y2(x)

PD linier order 2 :
d2y dy
x 2 2  x  (x 2  p2 ) y  0 (2-58)
dx dx
bisa diubah ke pers. Bessel (pers.2-30) dengan cara substitusi ix = z. Sehingga,
penyelesaian pers.(2-58) adalah :
y = c1.Jp(ix) + c2.J-p(ix) (2-59)
bila p tidak nol dan bukan bilangan bulat positif, maka :
y = c1.Jn(ix) + c2.Yn(ix) (2-60)
bila p adalah nol atau bilangan bulat positif n. Tetapi biasanya pers.(2-59) dan (2-
60) ditulis dengan bentuk yang lebih baik. Maka bila p tidak nol dan bukan
bilangan bulat positif, penyelesaian pers.(2-58) ditulis sbb. :
y = c1.Ip(x) + c2.I-p(x) (2-61)
dan bila p adalah nol atau bilangan bulat positif n, penyelesaian pers.(2-58)
menjadi
y = c1.In(x) + c2.Kn(x) (2-62)
Ip(x) disebut modifikasi fungsi Bessel jenis pertama order p dan didefinisikan
sebagai berikut :
2k  p
 x
 

 2
Ip(x) = i .Jp(ix) = 
-p
(2-63)
k  0 k !( k  p)!
Kn(x) disebut modifikasi fungsi Bessel jenis kedua order n dan didefinisikan sbb. :

Kn(x) = i n 1  J n (ix )  i.Yn (ix ) (2-64)
2

III.1. BENTUK UMUM PERSAMAAN BESSEL.

PD. berikut :
d2y dy
x 2 2  x (a  2bx r )  (c  dx 2 s  b(1  a  r ). x r  b 2 . x 2 r ) y  0 (2-65)
dx dx
bisa direduksi menjadi bentuk persamaan Bessel (pers.2-30) dengan melakukan
transformasi variabel-variabel. Kemudian penyelesaian pers.(2-65) bisa
dinyatakan dalam fungsi Bessel. Penyelesaian umum pers.(2-65) menjadi sbb. :
  d   d 
y  x (1a )/ 2 e  (b.x / r ) c1 Z p  . x s   c2 Z  p  .xs
r
(2-66)
  s   s 
    

1 1 a
2

dimana : p    c (2-67)
s  2 
Zp menyatakan salah satu dari fungsi Bessel, yaitu :
d
i. bila real dan p tidak nol atau bukan bilangan bulat, maka : Z p = Jp, dan
s
Z-p = J-p.
MTK-2/31
d
ii. bila real dan p sama dengan nol atau bilangan bulat, maka : Z p = Jn, dan
s
Z-p = Yn.
d
iii. bila imaginer dan p tidak nol atau bukan bilangan bulat, maka Z p = Ip,
s
dan Z-p = I-p.
d
iv. bila imaginer dan p sama dengan nol atau bilangan bulat, maka Z p = In,
s
dan Z-p = Kn.

III.2. SIFAT-SIFAT FUNGSI BESEL.

Fungsi-fungsi Bessel sangat bermanfaat, karena harga-harga numerik


fungsi ini telah dihitung dan ditabelkan sebagai fungsi variabel bebas. Tabel-tabel
ini banyak ditemukan di literatur-literatur, antara lain Nilton Abramowitz and
Irene A. Stegun,”Handbook of Mathematical Functions”. Sifat-sifat fungsi Bessel
orde nol ditunjukkan pada Gbr. 2.1.
K0(x) I0(x)

1.0

1.0 2.0 3.0

-1.0
J0(x)
Y0(x)

Gambar 2.1. Fungsi-fungsi Bessel orde nol.

Batas yang didekati berbagai fungsi Bessel bila x mendekati nol atau bila x
mendekati tak berhingga adalah sangat penting dalam penyelesaian problema-
problema praktis. Untuk harga-harga yang kecil, pendekatan berikut bermanfaat :
1 1
Jp(x)  p . x p dan J-p(x)  .xp (2-70)
2 p! (  p)!
2 n (n  1)! 2
Yn(x)   . x  n ; n  0 dan Y0(x)  ln x (2-71)
 
1 2p
Ip(x)  . x p
dan I-p (x)  .xp (2-72)
2 p p! (  p)!
Kn(x)  2n-1(n-1)!.x-n; n  0 dan K0(x)  -ln x (2-73)
Peninjauan hubungan-hubungan diatas menunjukkan bahwa hanya J p(x) dan Ip(x)
yang berhingga pada x = 0. Tetapi deret pangkat dalam semua fungsi-fungsi
Bessel memusat untuk seluruh harga-harga x yang berhingga, terjadinya
divergensi fungsi-fungsi Bessel tertentu pada x = 0 diakibatkan karena deret

MTK-2/32
pangkatnya dikalikan dengan x yang berpangkat negatif atau dengan suku yang
mengandung logaritma x.
Untuk harga-harga x yang besar (x  ), pendekatan berikut berguna :
2   p 
Jp(x)  cos x    (2-74)
. x  4 2 
2   p 
Yn(x)  sin x    (2-75)
. x  4 2 
ex
Ip(x)  (2-76)
2x

Kn(x)  .e  x (2-77)
2x
Jp dan Yn berosilasi seperti fungsi sinusoidal yang teredam dan mendekati nol bila
x  . Amplitudo osilasi menurun bila x makin besar, dan jarak antara dua titik
nol yang berturutan makin kecil sampai mendekati batas  bila x naik. Titik nol
Jp+1(x) memisahkan titik-titik nol Jp(x), artinya dua harga x yang membuat J p=1(x)
= 0 terdapat satu dan hanya satu harga x yang membuat J p(x) = 0. Pernyataan ini
berlaku juga untuk Yn+1(x) dan Yn(x). Tabel 2.1 dan tabel 2.2 menunjukkan
harga=harga x yang membuat J0(x) dan J1(x) = 0.

Tabel 2.1. Harga-harga x untuk J0(x) = 0 dan harga-harga J1(x) yang bersesuaian.
Harga x untuk Beda harga-harga Harga J1(x) yang
J0(x) = 0 x bersesuaian
2.4048 +0.5191
3.1153
5.5201 -0.3403
3.1336
8.6537 +0.2715
3.1378
11.7915 -0.2325
3.1394
14.9390 +0.2065

Tabel 2.2. Harga-harga x untuk J1(x) = 0 dan harga-harga J0(x) yang bersesuaian.
Harga x untuk Beda harga-harga Harga J0(x) yang
J1(x) = 0 x bersesuaian
3.8317 -0.4028
3.1834
7.0156 +0.3001
3.1379
10.1735 -0.2497
3.1502
13.3237 +0.2184
3.1469
16.4706 -0.1965

MTK-2/33
Bertolak belakang dengan sifat-sifat Jp(x) dan Yn(x), Ip(x) naik secara kontinyu
dengan x, dan Kn turun secara kontinyu. Fungsi-fungsi Bessel dengan ode sama
dengan setengah dari bilangan ganjil dapat dinyatakan dalam fungsi-fungsi
elementer :
2 2
J1/2(x) = sin x dan J-1/2(x) = cos x (2-78)
x x
2 2
I1/2(x) = sinh x dan I-1/2(x) = cosh x (2-79)
x x
Fungsi-fungsi Bessel dengan orde setengah dari bilangan ganjil dapat dihitung
dengan rumus rekurensi berikut :
2n  1
Jn+1/2(x) = J n 1/ 2 ( x)  J n 3/ 2 ( x )
x
(2-80)
2n  1
In+1/2(x) =  I n 1/ 2 ( x)  I n 3/ 2 ( x) (2-81)
x
dan persamaan-persamaan (2-78) dan (2-79) diatas.
Selanjutnya, hubungan-hubungan berikut sangat berguna dalam
penyelesaian problema-problema praktis :
x Z p 1 (x ); Z  J , Y , I
 p

dx

d p

x Z p (x )  
   x p
Z ( x ); Z  K
(2-82)
 p 1

x Z p 1 (x ); Z  J , Y , K
 p

dx

d p

x Z p (x )    p
  x Z ( x ); Z  I
(2-83)
 p 1

 p
 Z p 1 (x )  Z p (x ); Z  J , Y , I

d
 
Z p (x )  
x
(2-84)
dx Z p 1 (x )  p Z p (x ); Z  K
 x
 p
 Z p 1 (x )  Z p (x ); Z  J , Y , K

d
dx
 
Z p (x )  
x
p
(2-85)
Z p 1 (x )  Z p (x ); Z  I
 x
2
d
dx
   
I p (x)   I p 1 (x)  I p 1 (x) (2-86)

2  Kn (x)    Kn1 (x)  Kn1 (x)


d
(2-87)
dx
x
Z p (x ) 
2p
 
Z p 1 (x)  Z p 1 (x ) ; Z  J , Y (2-88)

x
I p (x )  
2p
 
I p 1 (x)  I p 1 (x) (2-89)

x
Kn (x ) 
2p
 Kn1 (x)  Kn1 (x) (2-90)

MTK-2/34
J  n (x )  ( 1) n J n (x ) 

I  n (x )  I n (x ) bila n = 0 atau bil. bulat (2-91)
K  n (x )  Kn (x ) 

IV. PERSAMAAN-PERSAMAAN ORDE 2 YANG PENTING.

Selain persamaan Bessel, terdapat persamaan-persamaan differensial orde


2 lain yang sering dijumpai dalam problema-problema teknik, yang penyelesaian
secara deret untuk PD ini telah dipelajari dan harga-harga numerik penyelesaian
ini telah ditabelkan di literatur-literatur. Beberapa PD ini dibicarakan berikut ini
walaupun tak secara detail :

IV.1. FUNGSI LEGENDRE.

Keempat persamaan differensial berikut mempunyai penyelesaian dalam


bentuk polinomial Legendre. Dalam persamaan-persamaan ini, p adalah real dan
tidak negatif. Bila p = -n, penyelesaiannya sama seperti untuk p = n+1, sehingga
dimungkinkan untuk menyelesaikan persamaan-persamaan untuk harga p negatif.
d2y dy
(1  x 2 ) 2  2 x  p( p  1) y  0
dx dx
d  dy 
dx 1 x2 dx 
 p( p  1) y  0

1 d  dy 
sin  .  p( p  1) y  0
sin  d  dx 
d y dy
 cot   p( p  1) y  0 (2-92)
d 2 d
Persamaan-persamaan ini timbul dalam problema distribusi suhu atau
tegangan, dll yang mempunyai bidang batas berbentuk bola. Dengan metoda
Frobenius, diperoleh penyelesaian dengan bentuk :
y = c1up(x) + c2vp(x) (2-93)
dimana :
p( p  1) 2 p( p  2)( p  1)( p  3) 4
up(x) = 1  x  x
2! 4!
p( p  2)( p  1)( p  1)( p  3)( p  5) 6
 x ...
6!
( p  1)( p  2) 3 ( p  1)( p  3)( p  2)( p  4) 5
Vp(x) = x  x  x ...
3! 5!
Perhatikan bahwa bila p merupakan bilangan bulat genap atau nol, u p(x) akan
merupakan suatu polinomial dengan jumlah suku yang berhingga, bila p
merupakan bilangan bulat ganjil, vp(x) mempunyai suku-suku yang jumlahnya
berhingga. Jadi bila p merupakan bilangan bulat, maka salah satu penyelesaian
merupakan deret tak berhingga, dan bila p bukan bilangan bulat, kedua
penyelesaian merupakan deret tak berhingga.

MTK-2/35
Dari persamaan asal, dapat dilihat bahwa u p dan vp akan memusat bila -1<
x < 1. Untuk harga p yang bulat (p = n), maka diberikan notasi lain :
u ( x)
- bila n genap atau nol : Pn(x) = n
un (1)
v ( x)
- bila n ganjil : Pn(x) = n (2-94)
v n (1)
- bila n genap : u1(1) = 1
2.4.6.... n
un(1) = (-1)n/2 .
. . ...(n  1)
135
- bila n ganjil : v1(1) = 1
2.4.6....(n  1)
vn(1) = (-1)9n-1)/2 (2-95)
135
. . ... n
sehingga : - P0(x) = 1
- P1(x) = x
- P2(x) = (3x2 - 1)/2
- P3(x) = (5x3 - 3x)/2
- P4(x) = (35x4 - 30x2 + 3)/8

Fungsi Pn(x) merupakan salah satu penyelesaian persamaan Legendre


untuk suatu bilangan bulat n. Penyelesaian kedua, yang disebut fungsi Legendre
jenis kedua, dinyatakan dengan Qn(x), dimana
[ v n (1)]. un ( x ); n ganjil
Qn(x) =  (2-96)
un (1). vn ( x ); n genap
tetapi didefinisikan hanya untuk -1 < x < 1, karena un(x) merupakan deret tak
berhingga bila n gajil dan vn(x) merupakan deret tak berhingga bila n genap, dan
tak satupun dari kedua deret ini memusat di luar interval -1 < x < 1. Walaupun
Qn(x) merupakan deret tak berhingga, namun Qn(x) dapat dinyatakan dalam
bentuk :
1 1 x
Q0(x) = ln = tanh-1 x
2 1 x
Q1(x) = x.Q0(x) - 1
Q2(x) = P2(x).Q0(x) - 3x/2
Q3(x) = P3(x).Q0(x) - 5x2/2 + 2/3; dst.

Pada umumnya, Pn(x) dan Qn(x) memenuhi rumus rekurensi :


nSn(x) = (2n-1).x.Sn-1(x)-(n-1).Sn-2(x) (2-97)
sehingga Sn(x) bisa diperoleh dari Sn-1(x) dan Sn-2. Penyelesaian formal persamaan
Legendre untuk n bulat adalah :
y = A.Pn(x) + B.Qn(x) (2-98)
dimana hanya Pn(x) yang berhingga di luar interval -1 < x < 1.

IV.2. FUNGSI HYPERGEOMETRIC.

Penyelesaian pers. Gauss :

MTK-2/36
d2y dy
x(1  x) 2
 [v  (    1) x ]   y  0 (2-99)
dx dx
dinyatakan dalam bentuk :
y = A0.F(,;v;x) + B0x1-yF(-v+1,-v+1;2-v;x) (2-100)
F(,;v;x) menyatakan deret hypergeometric :
  (  1)  (   1) 2
F(,;v;x) = 1 x x ...
1. v 12. . v.(v  1)
[ (  1)...(  k  1)][  (   1)...(   k  1) k
 x ...
. ... k ]v.(v  1)...(v  k  1)
[12
(2-101)
Deret dikalikan A0 pada pers.(2-100) tak ada (pada umumnya) bila v nol atau
bilangan bulat negatif, dan deret dikalikan B0 tak ada bila v bilangan bulat positif
yang lebih besar dari satu.

IV.3. LAQUERRE POLYNOMIAL.

d2y dy
Persamaan : x 2  (c  x )  ay  0 (2-102)
dx dx
dipenuhi oleh confluent hypergeometric function dari Kummer, M(a,c;x), nila c
adalah bukan bilangan bulat.
y = AM(a,b;x) + x1-cM(1+a-c,2-c;x) (2-103)
bila c = 1 dan a= -n, dimana n merupakan bilangan bulat positif atau nol, satu
penyelesaian adalah Laquerre Polynomial ke-n : y = Ln(x) (2-104)
bila c = k+1 dan a = k-n, dimana k dan n adalah bilangan bulat, satu penyelesaian
berhubungan dengan Laquerre Polynomial :
dk
y = ALkn ( x )  A k Ln ( x ); bila k  n (2-105)
dx

IV.4. HERMITE POLYNOMIAL.

d2y dy
Persamaan : 2
 2 x  2ny  0 (2-106)
dx dx
dipenuhi oleh Hermite Polynomial derajat n, y = Ah n(x) (2-107)
bila n adalah bilangan bulat positif atau nol.

IV.5. TSCHEBYSCHEFF POLYNOMIAL.

d2y dy
Persamaan : (1  x ) 2  x  n 2 y  0
2
(2-108)
dx dx
dipenuhi oleh Tschebyscheff Polynomial ke-n : y = A.Tn(x) (2-109)
bila n adalah bilangan bulat positif atau nol.

IV.6. JACOBI POLYNOMIAL.

MTK-2/37
d2y dy
Persamaan : x(1  x) 2
 [a  (1  b) x ]  n(a  n) y  0 (2-109)
dx dx
dipenuhi oleh Jacobi Polynomial ke-n : y = A.Jn(a,b,x) (2-110)

MTK-2/38
V. SOAL - SOAL.

1. Suatu proses yang melibatkan perpindahan massa dan reaksi kimia


dinyatakan dengan persamaan differensial berikut :
d 2 y dy
x 2   9 xy  0
dx dx
disyaratkan bahwa pada X = 2 harga Y adalah 10.
a. Tentukan Y sebagai fungsi X
2
b. Tentukan  yx dx .
0

2. Suatu reaksi katalitik terjadi di dalam katalis bentuk bola dengan diameter 1
cm. Reaksi yang terjadi di dalam katalis adalah 2 A  k  B yang berorder
satu, dengan konstanta kecepatan reaksi, k = 0.18/menit. Koeffisien diffusi A
didalam katalis, D = 3.10-5 cm2/dt, dan konsentrasi A pada permukaan katalis
8.5 mol/lt.
a. Tentukan distribusi konsentrasi A didalam katalis.
b. Tentukan laju molar B yang terbentuk di dalam katalis.
c. Tentukan efektifness faktor katalis, .
laju reaksi A di dalam katalis sesungguhnya

laju reaksi A di dalam katalis andaikan kons. A didalam katalis seragam 8.5 mol / lt

-----------------------@TN Co. 280996-----------------------

MTK-2/39
BAB III
FUNGSI-FUNGSI KHUSUS

III.1. Fungsi Gamma.


 g( t ). e
 pt
Bentuk khusus integral Laplace : dt , dimana g(t) = tn-1 dan p =1
0

didefinisikan oleh Euler sebagai fungsi Gamma.



( n)   t n1 e  t dt , n  0 (3-1)
0

 ( n  1)  n ( n) (3-2)
berlaku untuk semua n >0, dengan bukti :
   
n t
 ( n  1)   t e dt   t
n t
e  n t e dt  0  n t n e  t dt  n ( n)
n t

0 0 0 0

Bila diketahui harga-harga (n) untuk 0 < n  1, maka dengan pers.(3-2) dapat
dihitung semua harga (n) untuk n > 0,misalnya :
(3.5) = 2.5(2.5) = 2.5 x 1.5(1.5) = 2.5 x 1.5 x 0.5(0.5); (0.5) =  = 1.76
= 2.5 x 1.5 x 0.5 x 1.76 = 3.30; (0.5) =  = 1.76 dan ; (1) = 1
Untuk n = bil. bulat positif, berlaku : (n) = n! (3-3)
dan pers.(3-2) bisa ditulis : (n) = (n+1)/n (3-4)
misalnya : (-0.5) = (0.5)/-0.5 = -3.5222.
Untuk n = 0 atau bil. bulat negatif, maka harga (n) sama dengan tak berhingga,
(n) =  , dimana n = bil genap neagif : (n) =  dan n = bil. ganjil. negatif :
(n) = - .

n 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1


(n) 9.51 4.59 2.99 2.22 1.76 1.49 1.30 1.16 1.07 1.00

III.2. Fungsi Beta.

Fungsi Beta didefinisikan,


1

x
m 1
(m,n) = (1  x ) n1 dx ; m > 0 dan n > 0 (3-5)
0

Hubungan antara fungsi Beta dan fungsi Gamma :


 ( m).  ( n)
(m,n) = (3-6)
 ( m  n)
Bentuk-bentuk lain fungsi Beta :
1. y = ax.
a

y
m 1
(m,n) = a 1- m - n
( a  y ) n1 dy (3-7)
0

2. y / y + 1 = x.

MTK-2/38

y
n1
(m,n) = (1  y )  m n dy (3-8)
0
/2
3. (m,n) = 2  cos 2 m1  .sin 2 n1 d (3-9)
0

III.3. Fungsi Kesalahan.


/2
2
 e dn
n 2
Definisi fungsi kesalahan : Er. f(x) =
 0

x Er. f(x) x Er. f(x)


0.0 0.0000 1.6 0.9763
0.2 0.2227 1.8 0.9891
0.4 0.4284 2.0 0.9953
0.6 0.6039 2.2 0.9981
0.8 0.7421 2.4 0.9993
1.0 0.8427 2.6 0.9998
1.2 0.9103 2.8 0.9999
1.4 0.9523

untuk x > 2.8, Er. f(x) dapat dihitung dengan deret :


e x  .. 
2
1 13
. 135
Er. f(x) = 1  2   
  ( 2x 2 ) 3 
2 2
2x ( 2x )
Kesalahan didefinisikan sebagai penyimpangan antara harga pengukuran dan
harga benar :
zi = xi - x, dimana : xi = harga pengukuran
x = harga benar = x
zi = kesalahan
Didefinisikan :

1. Kesalahan rata-rata : Dr =
 zi  1  0.5642
n h  h

2. Kesalahan standart : Ds =
 zi2   D  1  0.7071
r
n 2 h 2 h
3. Probable error :
Probable error r didefinisikan sebagai kesalahan sedemikian rupa sehingga
setengah kesalahan dari n pengukuran lebih besar dari r dan setengah lagi lebih
kecil daripada r.
hr
2
 dz  0.5
 z2
e
 0
dan harga h.r yang bersesuaian dengan Erf(h.r) = 0.5 di atas adalah : h.r = 0.4769
 r = 0.4769/h, dengan Ds > Dr > r.

MTK-2/39
ha
2
e
t2
Prob.[-a  z  a] = dt , dimana h = indeks ketelitian.
 0

Contoh :
jumlah panjang batang, kesalahan, n.z
pengukuran, n x z
2 1.01 0.044 0.088
6 1.02 0.034 0.204
12 1.03 0.024 0.288
15 1.04 0.014 0.210
20 1.05 0.004 0.080
13 1.06 -0.006 0.078
15 1.07 -0.016 0.240
10 1.08 -0.026 0.260
5 1.09 -0.036 0.180
2 1.11 -0.056 0.112
nz = 1.74

Dr =
z i

174
.
 0.0174 , dengan indeks ketelitian : h = 0.5642/Dr = 32.42.
n 100

MTK-2/40
BAB IV
DERET FOURIER

IV.1. HIMPUNAN FUNGSI ORTHOGONAL DAN


ORTHONORMAL.

Sebuah himpunan fungsi-fungsi kontinyu f1(x), f2(x),...,fk(x),... dalam


interval (a,b) dikatakan ortogonal dalam interval itu apabila,
0; i  k
b

a f i ( x ). f k ( x ). dx  
Ck ; i  k
(4-1)

Bila tiap fungsi fk(x) dalam himpunan diatas dibagi dengan Ck maka diperoleh
himpunan :
f ( x) f ( x) f ( x)
F1 ( x )  1 , F2 ( x )  2 ,..., Fk ( x)  k
C1 C2 Ck
dan himpunan fungsi-fungsi F1(x), ...Fk(x),... memenuhi syarat :
0; i  k
b

a Fi ( x). Fk ( x)dx  1; i  k (4-2)

dan disebut orthonormal dalam interval (a,b).

Contoh :
1. Fungsi-fungsi a, cos x, sin x,..., cos kx, sin kx,... adalah himpunan fungsi-
fungsi orthogonal dalam interval (-,) karena :
 0; k  m

 cos ( kx).cos (mx) dx   ; k  m  0
2 ; k  m  0


0; k  m
 sin ( kx).sin (mx) dx   ; k  m  0

 cos ( kx).sin (mx) dx  0 untuk sembarang k, m sama atau tidak sama



1 cos x sin x sin kx
Sedang himpunan fungsi-fungsi : , , ,..., ,... adalah
2 ,   
orthonormal dalam interval (-,).
2. Himpunan fungsi-fungsi sin x, sin 2x, ...,sin kx,... dan himpunan fungsi-fungsi
1, cos x, cos 2x,...,cos kx, masing-masing adalah himpunan orthogonal dalam
interval (0, ), karena :

MTK-2/41
 0; k  m


sin ( kx ).sin ( mx ) dx  
 2 ; k  m  0
0; k  m


 cos ( kx).cos (mx) dx   2 ; k  m  0

 ; k  m  0

sin sin 2x sin kx


maka himpunan fungsi-fungsi : , ,..., ,... dan
 ,  ,  ,
2 2 2
1 cos x cos 2x sin kx
, , ,..., ,... masing-masing orthonormal dalam
 ,  ,  ,  ,
2 2 2 2
interval (0, ).

IV.2. HIMPUNAN ORTHOGONAL FUNGSI-FUNGSI BESSEL.

d2y dy
Ditinjau pers. Bessel berikut x 2 2
 x  (2 x 2  n 2 ) y  0 , dimana
dx dx
y= Jn(x), dan Jn(a) = 0 dalam interval (0,a) merupakan pernyelesaian
persamaan diatas. Bila Jn(x) adalah penyelesaian persamaan differensial yang
memenuhi syarat batas
a

 x. J
0
n ( i . x ). J n .( k . x )dx  0 , bila i  k, dan
a
a2
 x. J n ( i . x) dx   J n1 ( i . x) 2
2

0
2

IV.3. Deret Fourier.

Diketahui f(x) dalam interval (-,), diandaikan bahwa integral fungsi


tersebut konvergen dalam interval (-,) dan dalam interval itu f(x) dapat
diuraikan dalam deret trigonometri yang konvergen yaiu :

a
f(x) = 0   a n cos(nx )  bn sin(nx)
2 n 1
Diandaikan deret ini dapat diintegral suku demi suku, yaitu integral dari jumlah
deret f(x) sama dengan jumlah integral suku-suku deret tsb. :
  
a0 1
 f ( x)dx  2  dx  a0 . , sehingga a0    f ( x)dx


MTK-2/42
 
a0


f ( x ).cos( kx )dx 
2 
 cos( kx)dx 
  

 
n 1 
a n  cos( kx ).cos( nx ) dx  bn  cos( kx ).cos( nx ) dx

 
 

 f ( x).cos( kx)dx  a  (cos( kx)) dx  a k . , sehingga


2
k
 

1
ak 
  f ( x).cos( kx)dx; k  0,1,2,...

 
a0
 f ( x).sin( kx)dx  2  sin( kx)dx 
 
  

  a n  cos(nx ).sin( kx )dx  bn  sin(nx ).sin( kx )dx
n 1  
 
 



f ( x ).sin( kx)dx  bk  (sin( kx )) 2 dx  bk . , sehingga


1
bk 
  f ( x).sin( kx)dx; k  0,1,2,...


IV.3.1. Definisi.

1. Fungsi f(x) dinamakan “smooth function” dalam interval (a,b) bila dalam
interval (a,b), f(x) kontinyu bersama-sama dengan turunan pertamanya.
2. F(x) dinamakan “piece wise smooth” dalam interval (a,b) bila interval tsb.
dapat dibagi menjadi sejumlah tertentu sub interval dan dalam tiap sub
interval itu f(x) merupakan smooth function.
3. Titik diskontinuitas order pertama fungsi f(x) adalah suatu titik dimana f(x)
mempunyai limit kanan dan limit kiri yang tak sama.

IV.3.2. Teorema

Bila f(x) adalah piece wise smooth dalam interval (-,), maka deret
Fourier fungsi tsb. konvergen ke f(x) disemua titik dimana f(x) kontinyu. Dititik
diskontinuitas deret konvergen ke harga rata-rata limit kiri dan limit kanan.

Contoh :
1;  x  0
f ( x)  
1;0  x  
deret Fourier dalam sembarang interval :
  nx   nx  

a
f ( x)  0    a n .cos   bn .sin   , dimana :
L n 1   L   L 

MTK-2/43
 nx   nx 
L L
1 1
an  
L L
f ( x ).cos
 L 
 . dx dan bn   f ( x ).sin
L L  L 
 . dx

IV.3.3. Deret Fourier Sinus dan Cosinus.

Bila : - f(x) = -f(x)  f(x) = fungsi ganjil


- f(-x) = f(x)  f(x) = fungsi genap

Contoh :

 f ( x)dx  0; f ( x) : fungsi ganjil



 



f ( x )dx  2  f ( x )dx; f ( x ) : fungsi genap
0

Bila f(x) = fungsi ganjil :



1
a n   f ( x ).cos(nx ). dx  0
 
 
1 2
bn 
 

f ( x ).sin(nx ). dx 
  f ( x).sin(nx). dx
0

f ( x )   bn .sin(nx )  deret Fourier Sinus
n 1
Bila f(x) = fungsi genap :

a 
  nx   2
f ( x )  0    a n .cos
 0
 , dimana : a  f ( x ).cos(nx ). dx
L n 1   L  n

Contoh :
1. Diketahui f(x) = 2x+1 dalam interval - < x < .Uraikan f(x) dalam deret
Fourier untuk -  x  .
2. Diketahui f(x) = 2x+1 dalam interval 0  x  2.Uraikan f(x) dalam deret
Fourier untuk 0  x  2.
3. Diketahui f(x) = 2x+1 dalam interval 0 < x  .Uraikan f(x) dalam deret
Fourier cosinus untuk 0 < x  .
4. Diketahui f(x) = 2x+1 dalam interval 0 < x  .Uraikan f(x) dalam deret
Fourier sinus untuk 0 < x  .
5. Diketahui f(x) = 2x+1 dalam interval 0  x  .Uraikan f(x) dalam deret
Fourier cosinus untuk 0  x  .

---------------@TNT/141096---------------

MTK-2/44
BAB V
PERSAMAAN DIFFERENSIAL PARSIAL

P.D. Parsial : Persamaan differensial yang mengandung sebuah fungsi tak


diketahui dan beberapa (dua atau lebih) variabel-variabel bebas.
P.D. parsial ini banyak timbul pada penyelesaian problem teknik. Order
(tingkat) suatu P.D. Parsial adalah tingkat daripada turunan tertinggi P.D. ini. P.D.
parsial disebut linier bila variabel bergantung (fungsi yang tak diketahui) dan
turunan-turunannya daripada P.D. ini mempunyai derajat satu.
Bila suku-suku pada P.D. parsial ini mempunyai derajat yang sama maka P.D. ini
disebut homogen. Selain itu disebut tak homogen. Dipelajari P.D. parsial linier
order dua dengan koeffisien konstan, dengan bentuk PD Parsial orde dua linier tak
homogen :
 2u  2u  2u u u
A 2  2B  Cx 2  D  E  Fu  f ( x, y) (1)
x xy y x y

dan bentuk PD Parsial orde dua linier homogen :


 2u  2u  2u u u
A 2  2B  Cx 2  D  E  Fu  0 (2)
x xy y x y

dimana u = u(x,y).

Klasifikasi PD Parsial :
- pers. eliptik, bila B2-AC < 0
- pers. hiperbolik, bila B2 - AC > 0
- pers. parabolik, bila B2 - AC = 0

Contoh :
 2u  2u
   0 : pers. laplace dua dimensi atau pers. potensial, adalah pers.
x 2 y 2
eliptik, dimana A = 1, B = 0, dan C = 1, sehingga B2 - AC = 0 - 1.1 = -1 < 0.
u  2u
  C 2 2 : pers. panas satu dimensi, adalah pers. parabolik, dimana A =
t x
C2, B = 0, dan C = 0, sehingga B2 - AC = 0 - C2.0 = 0.
 2u 2  u
2
  C : pers. gelombang satu dimensi, adalah pers. hiperbolik,
 2t x 2
dimana A = C2, B = 0, dan C = -1, sehingga B2 - AC = 0 - C2.-1 = C2 > 0.

Penyelesaian suatu P.D. Parsial di dalam daerah R daripada variabel-variabel


bebas adalah suatu fungsi yang mempunyai seluruh turunan-turunan parsial yang
ada di P.D. ini pada domain R dan memenuhi persamaan di setiap tempat di
dalam R. Fungsi ini harus kontinyu pada boundary daripada R. Fungsi yang
memenuhi P.D. Parsial ini banyak sekali. Suatu penyelesaian yang unik dibatasi

MTK-2/45
oleh kondisi-kondisi batas dan kondisi awal. Ada dua jenis problema, yaitu
problema nilai awal untuk kondisi-kondisi diketahui di suatu titik dan problema
nilai batas untuk kondisi-kondisi diketahui tidak hanya di satu titik, tetapi
domainnya terbatas.

Teorema 1 : Bila u1, u2, ..., uk merupakan penyelesaian pers. (2) maka u = c 1u1 +
c2u2 + ... + ckuk, dimana c1, c2,..., ck adalah konstanta-konstanta, juga
merupakan penyelesaian.

Teorema 2 : Bila u1, u2, ..., un, ... merupakan penyelesaian pers. (2) maka u =

 C .u
n 1
n n , juga merupakan penyelesaian.

Ada beberapa metode penyelesaian, yaitu metode :


1. Transformasi Laplace.
2. Pemisahan Variabel.
3. Kombinasi Variabel.

V.1. Transformasi Laplace.

Umumnya digunakan untuk problema-problema nilai awal. Tahapan-


tahapan penyelesaiannya :
1. Mengoperasikan Transformasi Laplace pada P.D. dan kondisi-kondisi batas
dengan menggunakan kondisi awalnya. Akan diperoleh suatu P.D. biasa
dengan variabel dependent dalam domain Laplace.
2. Menyelesaikan P.D. ini untuk memperoleh variabel dependent dalam domain
Laplace.
3. Melakukan kebalikan transformasi pada variabel dependent yang diperoleh
pada tahap 2.

Contoh 1:
Perpindahan panas ke suatu dinding semi infinite. Suatu slab yang
tebalnya tak berhingga, mula-mula pada suhu T0 di semua bagian. Tiba-tiba salah
satu permukaan slab dikontakkan pada cairan panas bersuhu T s terus-menerus.
Tentukan distribusi suhu di dalam dinding.

Penyelesaian :
Problema perpindahan panas ini dinyatakan dengan P.D. sbb. :
T k  2T T 2  T
2
    (1-1)
t . C p x 2 t x 2
kondisi awal : T(x,0) = T0 (1-2)
kondisi batas : 1. T(0,t) = Ts (1-3)
2. T(,t) = T0 (1-4)

Tahap 1 :

MTK-2/46
Transformasi Laplace pada pers. (1) :
 T   2 T 
L    2 . L 2 
 t   x 
d 2T
 s. T  T ( x,0)   2
dx 2
d 2T
 2  s. T  T0
dx 2
d 2T s T
  2 . T   02 (1-5)
dx 2
 

Transformasi Laplace pada kondisi batas (pers. (3) dan pers. (4)) :
1. L{T(0,t)} = L{Ts}
T
 T (0, s)  s (1-6)
s
2. L{T(,t)} = L{T0}
T
 T (, s)  0 (1-7)
s

Tahap 2 :
Penyelesaian umum pers. (5) adalah :
s s
.x  .x T
T  K1 . e 
 K2 . e 
 0 (1-8)
s
Dari kondisi batas ke-2 (pers. (7)) dan pers. (8) diperoleh K1 = 0. Sehingga pers.
(8) menjadi :
s
 .x T
T  K2 . e 
 0 (1-9)
s
Dari kondisi batas ke-1 (pers. (6)) dan pers. (9) diperoleh :
Ts T T  T0
 K2  0  K2  s (1-10)
s s s
Substitusi pers.(10) ke pers. (9), diperoleh :
Ts  T0  s .x T0
T  .e  (1-11)
s s

Tahap 3 :
T(x,t) = L-1 T ( x, s)
 1  x 
s
1
= (Ts-T0).L-1  . e   +T0.L-1  
 s  s
  x 
= (Ts-T0).  Erf   + T0
 2. . t  
(1-12)

dengan kondisi batas x = 0  erf(0) = 0 dan x =   erf() = 1, sehingga pers.
(12) menjadi :

MTK-2/47
  x 
T(x,t) = = (Ts-T0). 1  Erf   + T0
 2. . t  
(1-13)

V.2. Pemisahan Variabel.

Persyaratan pemakaian metode ini adalah :


1. P.D.nya homogen.
2. Kondisi batasnya homogen.

Tahapan-tahapan penyelesaian :
1. Melakukan pemisahan variabel sehingga diperoleh dua P.D. biasa.
2. Menyelesaikan kedua P.D. ini yang memenuhi kondisi-kondisi batas.
3. Mendapatkan penyelesaian total yang memenuhi kondisi awal.

Bila kondisi batas atau P.D. tidak homogen, maka sebelum digunakan metode ini
perlu dilakukan transformasi variabel, agar kondisi batas dan P.D. menjadi
homogen.
Untuk kondisi batas tak homogen, misalnya U(0,t) = U 0 dan U(L,t) = UL, lebih
dulu dilakukan substitusi variabel :
V = U + a + bx
V(0,t) = U(0,t) + a
0 = U0 + a  a = -U0, dan

V(L,t) = U)L,t) + a + bL
0 = UL + a + bL
U0  U L
0 = UL - U0 + bL  b 
L
U0  U L U UL
Jadi V = U - U0 - .x atau U = V + U0 + 0 .x.
L L

Contoh 2 :
Suatu batang yang kedua permukaan sisinya terisolasi, dengan suhu mula-
mula di dalam batang tersebut terdistribusi dengan persamaan : T(x,0) = f(x).
Tiba-tiba (pada t = 0), kedua ujungnya dikontakkan dengan air es sehingga
suhunya dipertahankan tetap pada 0 oC.

X
0 oC 0 oC

MTK-2/48
Tentukan suhu batang sebagai fungsi x dan t atau T(x,t).
Penyelesaian :
Proses perambatan panas pada batang ini dapat digambarkan sebagai P.D. :
T 2  T
2
 (2-1)
t t 2
Kondisi awal : T(x,0) = f(x) (2-2)
Kondisi batas :T(0,t) = 0 dan T(L,t) = 0 (2-3)
Pers. (1), merupakan P.D. Parsial homogen dan kondisi-kondisi batasnya (pers.
(3)) juga homogen. Maka metode pemisahan variabel dapat diterapkan.

Tahap 1 :
T(x,t) = F(x).G(t) (2-4)
G ' F '
Substitusi pers.(4) ke pers. (1) : F . G'   2 F ". G atau 2  (2-5)
 .G F
Dapat disimpulkan bahwa kedua sisi pada pers. (5) merupakan konstanta yaitu :
G' F'
 C (2-6)
 .G F
2

Pers. (6) bisa dipecah menjadi 2 persamaan, yaitu : G’ = C.2G (2-7)


dan F” - C.F = 0 (2-8)

Kemungkinan-kemungkinan harga C :
a. C > 0 :
penyelesaian pers. (8) adalah : F ( x)  K1 . e C .x  K2 . e  C .x
Dari kondisi batas : 0 = K1 + K2
0 = K1 . e C Lx  K2 . e  C . L
maka diperoleh K1 = 0 dan K2 = 0, sehingga tidak merupakan penyelesaian non-
trivial.

b. C = 0 :
penyelesaian pers. (8) adalah : F ( x)  K1  K2 . x
Dari kondisi batas : 0 = K1
0 = K1 + K2.L
maka diperoleh K1 = 0 dan K2 = 0, sehingga tidak merupakan penyelesaian non-
trivial.

c. C < 0 :
penyelesaian pers. (8) adalah : F ( x)  K1 .cos( C . x)  K2 .sin( C . x)
Dari kondisi batas : 0 = K1
0 = K1 .cos( C . L)  K2 .sin( C L)
maka diperoleh K1 = 0 dan K2  0, sehingga merupakan penyelesaian non-trivial.

Maka dipilih C yang berharga negatif, misalnya C = -p2. Maka pers. (8) menjadi :
F” + p2.F = 0 (2-9)
dan pers. (7) menjadi :

MTK-2/49
G’ = -p2.2G (2-10)
Tahap 2 :
 Penyelesaian pers. (9) :
Dari kondisi batas : F(0) = 0 dan F(L) = 0, maka penyelesaian umum pers. (9) :
F(x) = K1.cos (px) + K2.sin (px)
Untuk kondisi batas pertama : 0 = K1 + 0 atau K1 = 0, maka F(x) = K2.sin (px),
dan untuk kondisi batas kedua : 0 = K2.sin (pL), maka sin (pL) = 0, jadi pL = n.
atau p = n./L, dimana : n = 1,2,3, ... .
n. . x
Sehingga penyelesaian pers.(10) : Fn ( x )  K2 n .sin
L
 Penyelesaian pers. (10) :
 n. 
2
  . .t
2
 p 2 . 2 .t  L 
Ge atau Gn (t )  e
Jadi :
 
T(x,t) =  Tn ( x, t ) =
n 1
 F ( x). G (t )
n 1
n n

 n.   n. 
2 2

n. . x    . .t
2 
n. . x    . .t
2

=  K2 n .sin .e L 
atau  An .sin .e L 
(2-11)
n1 L n1 L

Tahap 3 :

n. . x
Dari kondisi awal : T(x,0) = f(x) =  A .sin n
L
, nampak bahwa f(x) adalah
n1
n. . x
L
2
deret Fourier Sinus, dimana : An   f ( x ).sin dx (2-12)
L0 L
Jadi penyelesaian umum problema ini adalah pers. (2-11) dengan harga-harga An
diperoleh dari pers. (2-12).

Contoh 3 :
Ditinjau sebuah silinder tak berhingga panjang (atau sebuah silinder yang
ujung-ujungnya terisolir). Jari-jari silinder adalah R. Mula-mula distribusi suhu di
dalam silinder adalah f(r). Tiba-tiba pada t = 0, permukaan silinder dipertahankan
tetap pada suhu 0 oC. Tentukan suhu silinder sebagai fungsi r dan t, yaitu T(r,t).

Penyelesaian :
Persoalan perpindahan panas pada silinder ini dapat dinyatakan dengan
P.D. sbb. :
T 2  T
2
1 T 
  . 2  .  (3-1)
t  r r r 
Kondisi awal : T(r,o) = f(r) (3-2)
Kondisi batas : T(R,t) = 0 oC (3-3)

Tahap 1 :
T(r,t) = F(r).G(t) (3-4)

MTK-2/50
Substitusi pers.(4) ke pers. (1) :
1
F " . F '
 1  G' r
F . G'   2  F ". G  . F '. G  atau 2  C (3-5)
 r   .G F
seperti pada contoh-contoh yang lalu C harus negatif : C = -p2. Sehingga pers. (3-
5) menjadi :
1
F " . F '
G' r
   p2 (3-6)
 .G
2
F
pers. (6) ini terpecah jadi dua persamaan :
1
F " . F ' p 2 . F  0 (3-7)
r
dan
G’ + 2.p2.G = 0 (3-8)

Tahap 2 :
 Penyelesaian pers. (7) :
Pers. (7) bisa ditulis : r2.F” + r.F’ + p2.r2.F = 0, pers. ini merupakan pers. Bessel
yang penyelesaian umumnya adalah :
F(r) = K1.J0(pr) + K2.Y0(pr) (3-9)
Pada r = 0 : Y0 (0) = , agar F(r) berhingga untuk r = 0, maka K2 = 0, sehingga
pers. (9) menjadi : F(r) = K1.J0(pr). Dari kondisi batas : r = R  T(R,t) = 0
 F(R) = 0, jadi F(R) = 0 = K1.J0(pR), dimana K1  0 dan pR = akar-akar
fungsi Bessel order nol. Jadi pR = 2.4, 5.52, 8.65, 11.79, 14.93, ... atau p n = 2.4/R,
5.52/R, 8.65/R, 11.79/R, 14.93/R, ... . Maka pers. (9) dapat ditulis :
Fn(r) = K1n.J0(pn.r) (3-10)

 Penyelesaian pers. (8) :


G(t )  e  . p .t
2 2
(3-11)
atau
Gn (t )  e  . pn .t
2 2
(3-12)

Tahap 3:
Sesuai dengan teorema 2, maka :
  

 T ( x, t ) =  F ( x). G (t ) =  K . J 0 (r , t ). e 
2
. pn2 .t
T(r,t) = n n n 1n
n 1 n 1 n 1
atau

 A .J (r , t ). e 
2
. pn2 .t
T(r,t) = n 0 (3-13)
n 1
juga merupakan penyelesaian. Dan dari kondisi awal :

T(r,o) = f(r) = A J
n 1
n 0 ( pn . r ) (3-14)

MTK-2/51
Konstanta An dicari dengan menggunakan sifat-sifat ortogonalitet fungsi Bessel,
yang dalam hal ini, pers. (14) dikalikan dengan r.J 0(pn.r) dan diintegralkan dari 0 -
R, sehingga menjadi :
R  R 
0 r . f ( r ). J 0 ( p n . r ) dr =   An . r. J 0 ( pn . r ). J 0 ( pn . r )dr 
n 1  0 
R
R2
= An  r. J 02 ( pn . r )dr = An .  J1 ( pn . R) 2
0
2
R
2
 J1 ( pn . R) 2 0
jadi : An  2
. r. f (r ). J 0 ( pn . r )dr (3-15)
R
Jadi penyelesaian problema ini adalah pers. (3-13) dimana An diperoleh dari pers.
(3-15).

Untuk P.D. tak homogen maka dependent variabel dinyatakan sebagai


penjumlahan penyelesaian steady state yang hanya merupakan fungsi ruang dan
variabel deviasi yang merupakan fungsi ruang dan waktu.

Contoh 4 :
Suatu bola logam dengan radius R yang mula-mula bersuhu 30 oC disemua
bagian, tiba-tiba dimasukkan ke dalam oven yang diatur pada suhu 400 oC, ynag
dijaga konstan. Dianggap tahanan perpindahan panas secara konveksi dan radiasi
pada permukaan logam diabaikan. Tentukan suhu dalam bola sebagai fungsi
waktu dan radius dari pusat bola, T(r,t).

Penyelesaian :
PD. yang menggambarkan problema ini :
T  2 T  2 T 
  2 . .  2 (4-1)
t  r r r 

dengan : - kondisi awal : T(r,0) = 30 oC (homogen) (4-2)


- kondisi batas : T(R,t) = 400 oC (belum homogen) (4-3)

Tahap - 1 :
Substitusi : V = T - 400, sehingga :
- kondisi awal : V(r,0) = 30 - 400 = -370 oC (homogen) (4-4)
o
- kondisi batas : T(R,t) = 400 - 400 = 0 C (homogen) (4-5)
Pemisahan variabel, didfenisikan : V(r,t) = F(r).G(t), yang disubstituikan ke pers.
(1) :
2
. F  F "'
2 2  G' r
F . G'    . F '. G  F ". G  atau 2  C (4-6)
r   .G F
harga C harus negatif, C = -p2, sehingga diperoleh dua persamaan terpisah :
2
F " . F ' p 2 . F  0 (4-7)
r

MTK-2/52
dan
G’ + 2.p2.G = 0 (4-8)

Tahap 2 :
 Penyelesaian pers. (7) :
H
Substitusi : H = r.F, sehingga : - F (a)
r
1 1
- F'   2
. H  . H' (b)
r r
2 1 1 1
- F "  3 . H  2 . H ' . H" 2 . H ' (c)
r r r r
yang disubstitusikan ke pers. (7) :
2 2 1 2 1 1  H H" H
. H  2 . H ' . H"  2 . H  . H '  p 2 .  0   p2 .  0
r 3
r r r r r  r r r

Persamaan ini diselesaikan :


A B
H = A.cos (pr) + B.sin (pr)  F  .cos( pr )  .sin( pr ) (4-8)
r r
Pada r = 0, agar F(r) berhingga untuk r = 0, maka A = 0, sehingga pers. (8)
menjadi :
B
F  .sin( pr ) (4-9)
r
B
Dari kondisi batas : r = R  V(R,t) = 0  F(R) = 0, jadi : 0  .sin( pR) ,
R
n.
diperoleh bila pR = n, maka p  . Sehingga pers. (9), menjadi :
R
B n.
Fn (r )  n .sin( r) (4-10)
r R

 Penyelesaian pers. (8) :


G(t )  e  . p .t
2 2
(4-11)
atau
 n. 
2
 2 .  .t
 R 
Gn (t )  e (4-12)

Tahap 3:

Sesuai dengan teorema 2, maka :


 n. 
2

 n.   .
   2
 .t
B
V(r,t) = Vn (r , t ) =  Fn (r ). Gn (t ) =  n .sin . r . e R 

n 1 n 1 n 1 r
 R 
atau

MTK-2/53
 n. 
2

 n.   . R  .t
 2
B
V(r,t) =  n .sin . r . e (4-13)
n 1 r
 R 
juga merupakan penyelesaian. Dan dari kondisi awal :
 n. 

B
V(r,o) = -370 =  n .sin . r (4-14)
n 1 r
 R 
Konstanta Bn dicari dengan menggunakan sifat-sifat ortogonalitet fungsi sinus,
m.
yang dalam hal ini, pers. (14) dikalikan dengan r.sin( r ) dan diintegralkan
R
dari 0 - R, sehingga menjadi :

 m.   n.   m. 


R  R

0 370. r.sin R . r dr = 


n 1
Bn .  sin
 R
. r  .sin
  R
. r dr

0

   m. 
R
= B1 .  sin . r  .sin . r dr +
0
R   R 
 2.   m. 
R
B2 .  sin . r  .sin . r dr + . . . +
0
 R   R 
2
  m.  
R

Bm .  sin . r   dr + . . .
0   R 
dimana untuk n  m, hasil integrasi adalah 0., maka :
 m.  Bm   2m.  
R R
R
370. 
m. 0
r . d cos
 R
. r 

= .
2 0 1  cos
 R
. r  dr


R   m.  
R
 m. 
R

 370. . r.cos . r   cos . r  dr  


m.   R   R  
0 0 
R
Bm  R  2m.  
. r  .sin . r 
2  2. m.  R 
0
R
R   m.  R  m.   B
 370. . r.cos . r  .sin . r   m . R
m.   R  m.  R  2
0

1   m.   Bm
 370. .  R.cos . R  
m.   R  2
740. R.( 1) m 740. R.( 1) n
 Bm  atau Bn  (4-15)
m. n.
Penyelesaian umum problema ini adalah :
T(r,t) = 400 + V(r,t) atau
 n. 
2

 n.   .
 2
 .t
B
T (r , t )  400   n .sin . r . e R 
(4-16)
n 1 r
 R 
dengan Bn dari pers. (15).

Contoh 5 : Pendinginan Transient butiran bahan bakar nuklir

MTK-2/54
Terjadi generasi panas di dalam butiran-butiran uranium berbentuk bola
dengan kecepatan per unit volume sebesar Q. pada permukaan batasnya diadakan
pendinginan dengan heat transfer koeffisien, h, dan suhu fluida pendingin, Tf
konstan. Pada saat awal, suhu didalam butiran seragam, T 0. Tentukan distribusi
suhu didalam butiran, T(r,t)

Penyelesaian :
Phenomena proses tsb. dapat dirumuskan :
T 1   2 T  Q
 2 r   (1)
t r r  r  C p
kondisi awal dan batas :
T
r = R ; k
r

 h T  Tf  (2)
t = 0 ; T (0,r) = T0 (3)
Jelas bahwa PD yang dihasilkan tidak homogen, sehingga metode separation
variabel tidak langsung digunakan. Oleh karena itu perlu dilakukan modifikasi
berikut, untuk membuat PD menjadi homogen. Dalam hal ini variabel suhu
diuraikan menjadi dua bagian : penyelesaian steady state (future steady state) dan
simpanagn terhadap steady state, yaitu :
T(r,t) = T (r )  y(r , t ) (4)
PD pada steady state dinyatakan :
1 d  2 dT  Q
 2 r   0 (5)
r dr  dr  C p
dan diintegralkan :
 dT  Q
dr2    r 2 dr (6)
 dr  k
dT Q r3
r2   C1 (7)
dr k 3
pada pusat : C1 = 0, maka :
dT Q r C1
  (8)
dr k 3 r2
diintegralkan :
Q r2
T (r )    C2 (9)
k 6
R  Q R2 
Q  h   C2  Tf  (10)
3  k 6 
QR QR 2
dimana : C2    Tf , pada keadaan steady state, t =  :
3h 6k
QR QR 2   r  
2

T (r )  Tf   1     (11)
3h 6k   R  
Jika persamaan ini disubstitusikan ke persamaan awal dan kondisi batasnya :

MTK-2/55
y 1   2 y 
 2 r  (12)
t r r  r 
y
r = 0;  0 (13)
r
y
r = R; k  hy (14)
r
t = 0; y(r,0) = T0 - T (r ) (15)
dimana bagian steady menghilangkan Q dari pers. (5), pada batasan t  ,
digunakan variabel bebas tak berdimensi :
r t
  ; dan   2
R R
maka pers. (12) menjadi :
y 1   2 y 
 2   (16)
     
y
  0;  0 (17)

y
  1;  Bi y (18)

hR
dimana : Bi =
k
Sekarang persamaan untuk y dan kondisi batasnya, telah homogen, maka metode
pemisahan variabel dapat digunakan :
y( , t )   ( ) ( ) (19)
1 d d 
( 2 )
 d d
    2
2
kita dapatkan : (20)
 
maka ada dua variabel yang harus diselesaikan :
1 d  2 d 
    0
2
(21)
 d 
2
d 
dan
d
 2   0 (22)
d
Pers. (21) diselesaikan dengan bantuan  = u()/, maka :
d 2u
 2 u  0 (23)
d 2

penyelesaiannya :
u( )  A0 sin( )  B0 cos( ) (24)
atau
sin( ) cos( )
 ( )  A0  B0 (25)
 
Pers. (22) diselesaikan dengan :

MTK-2/56
  K exp( 2 ) (26)
jika  = 0, penyelesaian menjadi sederhana dengan C/ + D, maka penyelesaian
akhir adalah :
 sin(  ) cos(  )  C
y  A B  exp(  2 )  D (27)
    
Pada pusat : B = C = 0 dan karena y  0 sebagaimana   , sehingga D =
0, maka :
sin(  )
y ( ,  )  A exp(  2  ) (28)

dengan   , diterapkan  = 1, menghasilkan :
sin () -  cos () = Bi sin() (29)
atau
n cot ( n ) - 1 = - Bi (30)
untuk Bi yang besar, menjadi sin (n) = 0, jadi n = n; (n = 0,1,2, ...).
Penyelesaian umumnya menjadi :

sin(  n  )
y ( ,  )   An exp(  2n  ) (31)
n 1 
dengan menggunakan sifat orthogonal :
 1 R  QR 2 2 
sin(  n  )
 
T0  Tf  QR 
 3h 6k 
 
6k
  n 1
An

(32)

konstanta An adalah :
1 1
 QR  1 R  QR 2 2 
An   sin( n  )d    sin(  n  ) x (T0  Tf )      
0 0  3  h 2k  6k 
diintegralkan :
 1 1 sin( n ) cos(  n ) 
An   
2 2 n 
 QR  1 R   sin(  n )   n cos(  n ) 


=  T0  Tf      
3  h 2 k   2n

+ 
 
QR 2  3 n  6 sin(  n )  (  n  6 n ) cos(  n ) 
2 3


6k 

 4
n 

Jadi penyelesaian umumnya adalah :
 Nk 
  1
y ( ,  ) 
2n cos  n sin(  n  )
 2 Bi   

exp  2n  
T0  T f 
n 1 Bi  1  cos  n
2
 n  
dimana :
QR 2 hR
Nk  ; Bi = .
k (T0  Tf ) k

MTK-2/57
Contoh 6 :
Perpindahan panas dua dimensi dalam keadaan steady :
y Qy=y+y
C
T = f(x)
b lebar = w
R
T=0 T=0

0 a x

Qx=x+x
Qx=x Qy=y

Penyelesaian :
P.D. yang menggambarkan fenomena perpindahan panas ini adalah :
T T
Qx  x   k . . w. y dan Qy  y   k . . w. x
x x x y y y

0 = Qx=x + Qy=y - Qx=x+x - Qy=y+y


 T   T 
  k. . w. y    k . . w. x
Qx Qy  x   y 
0=  . x  . y =  . x  . y
x y x y
 T  2T
0 = k . w. x. y. 2  k . w. x. y. 2
x y
 T  T 2
 2  2 0
x y
Ada tiga jenis problema untuk penyelesaian P.D. ini :
1. Problema Dirichlet : Bila T ditetapkan pada C
2. Problema Neuman : Bila turunan normal Tn ditetapkan pada C
3. Problema Campuran : Bila T ditetapkan pada sebagian dari C, sebagian yang
lain harga Tn ditetapkan.

Sebagai contoh untuk problema Dirichlet adalah :


 T  2T
 0 (5-1)
x 2 y 2
Kondisi batas : (5-2)
 T(x,0) = 0 dimana 0 < x < a

MTK-2/58
 T(a,y) = 0 dimana 0 < y < b
 T(x,b) = f(x) dimana 0 < x < a
 T(0,y) = 0 dimana 0 < y < b

Tahap 1 :
T(x,y) = F(x).G(y) (5-3)
Substitusi pers. (3) ke pers. (1) didapat : F”.G + F.G” = 0 atau
F" G"
   p2 (5-4)
F G
Pers. (4) dapat dipecah menjadi :
F” + p2.F = 0 (5-5)
2
dan G” - p .G = 0 (5-6)
Tahap 2 :
 Penyelesaian pers. (5) :
F(x) = K1. cos (px) + K2.sin (px) (5-7)
Kondisi batas : F(0) = 0, F(a) = 0, dengan kondisi batas ini dan pers. (7) diperoleh
:
0 = K1 + 0  K1 = 0
dan 0 = K2.sin (pa)  pa = n. atau p = n./a, dimana : n = 1,2,3, ... .
n. . x
Jadi penyelesaian pers. (5) : Fn ( x )  K2 n .sin (5-8)
a
 Penyelesaian pers. (6) :
 n. 
2

pers. (6) menjadi : G"  .G  0 (5-9)


 a 
n . n .
.y  .y
penyelesaiannya adalah : Gn ( y)  K3n . e a
 K4 n . e a
(5-10)
Dari kondisi batas : Gn(0) = 0 dan pers. (10) :
0 = K3n + K4n  K4n = -K3n
 n . . y 
n .
.y  n. . y
Sehingga, pers. (10) menjadi : Gn ( y )  K3n .  e a  e a  = 2 K3n .sinh
  a
n. . x n. . y
Maka : Tn(x,y) = Fn(x).Gn(y) = K2 n .sin .2 K3n .sinh
a a
n. . x n. . y
= An .sin .sinh
a a
Tahap 3 :

n. . x n. . y
T(x,y) =  An .sin .sinh (5-11)
n1 a a
pers. ini harus memenuhi kondisi batas :

 n. .b  n. . x
T(x,b) = f(x) =   An .sinh  .sin
n1 a  a
Deret ini adalah deret Fourier Sinus, sehingga :
n. .b 2 n. . x
a
An .sinh   f ( x).sin dx
a a0 a

MTK-2/59
n. . x
a
2
 An  
n. .b 0
f ( x ).sin
a
dx (5-12)
a.sinh
a
Jadi penyelesaian problema ini adalah pers. (11) dimana An diperoleh dari pers.
(5-12).

Contoh 6 :
Sebuah paralel epipedum, kelima sisinya bersuhu T 0 dan hanya pada sisi
bagian atas bersuhu T1 yang dipertahankan konstan (z = H). Dalam keadaan
steady state, distribusi suhu didalam benda ini, dirumuskan :
 2T  2T  2T
2T  2  2  2  0 (6-1)
x y z
Tentukan distribusi suhu dalam paralel epipedum tsb. T(x,y,z).

Penyelesaian :

x y
L

D
Tahap 1 :
T  T0
Substitusi :   (6-2)
T1  T0
ke pers. (1), sehingga menjadi :
 2  2   2 
  0 (6-3)
x 2 y 2 z 2
dengan kondisi batas :
 = 0 : x = 0, y  0, z  0 (6-4a)
 = 0 : x = L, y  0, z  0 (6-4b)
 = 0 : y = 0, x  0, z  0 (6-4c)
 = 0 : y = D, x  0, z  0 (6-4d)
 = 0 : z = 0, x  0, y  0 (6-4e)
 = 1 : z = L, x  0, y  0 (6-4f)

Pemisahan variabel :  = X(x). Y(y). Z(z) (5)


Sehingga pers. (3) menjadi :

MTK-2/60
X " Y" Z"
  0 (6)
X Y Z
atau
X " Y" Z"
   a 2 (7)
X Y Z
X" Y"
maka :   a2   b2 (8)
X Y
sehingga terdapat 3 pemisahan variabel :
X” + b2X = 0 (9a)
Y” + (a2 - b2)Y = 0 (9b)
Z” - a2Z = 0 (9c)

Tahap 2 :
Kemungkinan-kemungkinan penyelesaian, bila :
 a  b  0, maka : X = c1.cos (bx) + c2.sin (bx)
Y  c3 .cos( a 2  b 2 . y)  c4 .sin( a 2  b 2 . y)
Z = c5.cosh (az) + c6.sinh (az) . . . . . (10)

 a = b  0, maka : X = c1.cos (bx) + c2.sin (bx)


Y = c7 + c8.y
Z = c5.cosh (az) + c6.sinh (az) . . . . . (11)

 a = 0, b = 0, maka : X = c9 + c10.x
Y = c7 + c8.y
Z = c11 + c12.z . . . . . (12)

 a = 0, b  0, maka : X = c1.cos (bx) + c2.sin (bx)


Y = c13.cosh (by) + c14.sinh (by)
Z = c11 + c12.z . . . . . (13)

 a  0, b = 0, maka : X = c9 + c10.x
Y = c15.cos (ay) + c16.sin (ay)
Z = c5.cosh (az) + c6.sinh (az) . . . . . (14)

Dari kondisi batas :


 pers. (4a), dimana :  = 0, x = 0  X(0) = 0, maka :
c1 = 0
c9 = 0
 pers. (4b), dimana :  = 0, x = L  X(L) = 0, maka :
c10 = 0
n.
b
L
 pers. (4c), dimana :  = 0, y = 0  Y(0) = 0, maka :
c3 = 0
c7 = 0

MTK-2/61
c13 = 0
c15 = 0
 pers. (4d), dimana :  = 0, y = D  Y(D) = 0, maka :
c14 = 0
m. n 2 m2
a2  b2  sehingga : a   2  2
D L D
 pers. (4e), dimana :  = 0, z = 0  Z(0) = 0, maka :
c5 = 0
c11 = 0

Jadi penyelesaian umumnya :


 
 n.   n.   n 2 m2 
    Amn .sin . x .sin . y .sinh  . 2  2 . z (15)
n 1 m1
 L   D   L D 

Tahap 3 :
dari pers. (4f) :
 
 n.   n.   n 2 m2 
1    Amn .sin . x .sin . y .sinh  . 2  2 . H (16)
n 1 m1
 L   D   L D 
lalu konstanta Amn dicari dari sifat-sifat orthogonal, dengan mengalikan dengan
faktor :
 p.   q.    p.   q.  
L D L D

0 0  L   D 
sin . x .sin . y dy dx = 0  L  0 .sin D . ydy (17)
sin . x dx.

sehingga ruas kanan pers. (16) menjadi :


 p.   q.  
L D

0 0 sin L . x .sin D . ydy dx .


 
 n.   n.   n 2 m2 
  mn  L   D   L2  D 2 . H
A .sin . x  .sin . y  .sinh  .
n 1 m1  
   n 2 m2 
   mn  L2  D 2 . H .
A .sinh  .
n 1 m1  
 n.   p.   m.   q.  
L D

0 sin L . x .sin L . x dx. 0  D . y .sin D . ydy (18)

dimana untuk n  p, dan m  q, suku-suku tersebut berharga 0, maka saat n = p


dan m = q, pers. (18) menjadi :
 n 2 m2  L. D
Amn .sinh  . 2  2 . H . (19)
 L D  4

MTK-2/62
 n.   m. 
L D
4
jadi : Amn  .  sin . x dx.  sin . y dy
 n 2 m2   L   D 
sinh  . 2  2 . H . L. D
0 0

 L D 
16
atau Amn  (20)
 n 2 m2 
sinh  . 2  2 . H . m. n. 2
 L D 

Jadi penyelesaian problema ini adalah pers. (15) dengan Amn dari pers. (20).

V.3. Kombinasi Variabel.

Sebagai contoh dari metode ini adalah untuk problema perpindahan panas
x
pada dinding semi infinite. Didefinisikan variabel baru :   (1)
2. . t
P.D. yang menggambarkan proses perpindahan panasnya :
T  2T
 2 2 (2)
t x
Penyelesaian :
T T t x T
 .  . (3)
t t t 4. . t . t 
T T  1 T
 .  . (4)
x  x 2. . t 
 T   1 T 
   
 T
2
 x   2. . t    1  2T
  .  . (5)
x 2 x  x 4. 2 .. t  2
Substitusi pers. (3) dan pers. (5) ke pers. (2) :
x T 1  2T  2T 2. x T
 . =  2. . atau  . . (6)
4. . t . t  4. .. t   2. . t 
2 2 2 2

T  2 T R
Substitusi : R    , sehingga pers. (6) menjadi :
 
2

R R T
 2.. R      2..   R  K1 . e  atau  K1 . e 
2 2

 R 

  T   K1 . e  2
  T  K1 .  . e    K2
2
(7)
0

Kondisi-kondisi batas dalam variabel  adalah :


 = 0 : T = Ts (8)
 =  : T = T0 (9)
dari kondisi batas pers. (8) dan pers. (7) :

MTK-2/63

Ts = 0 + K2  K2 = Ts, sehingga : T  K1 .  . e    Ts
2
(10)
0


atau : T  K1 . Erf ()  Ts (11)
2
dari kondisi batas pers. (9) dan pers. (11) :
 
T0  K1 . .(1)  Ts  K1 . T0  Ts
2 2
Dengan kondisi batas x = 0  erf(0) = 0 dan x =   erf() = 1, sehingga pers.
(11) menjadi :
  x 
T(x,t) = = (Ts-T0). 1  Erf   + T0
 2. . t  
(12).

Contoh : Laminar Flow CVD Reactor


Chemical vapor deposition (CVD) menjadi teknik penting untuk menumbuhkan
lapisan elektronik aktif pada segala macam keadaan padat. Uap organik metal
(MO) terpisah dalam dua dimensi di dalam reaktor, dan deposition terjadi di
bagian atas dan bawah, seperti tampak pada gambar. Reaksi di permukaan lapisan
dituliskan :
MO  M + O

y B
CA0 x
z
vz(x)

Bentuklah persamaan yang menyatakan penurunan MO untuk diffusi terbatas,


pada aliran laminar.
Penyelesaian :
Pada keadaan laminar profil kecepatan merupakan fluida fully develop :
  x2
v z  v max 1     (1)
  B  
dimana
pB 2 3
vz   vo
2 L 2
dan L = panjang reaktor
B = setengah lebar reaktor
 = viskositas gas

MTK-2/64
p = presure drop
vo = kecepatan rata-rata
Neraca massa komponen A, dengan mengabaikan diffusi arah axial :
  1  2  C  2CA
v max 1     A  D A (2)
  B   z x 2
dengan DA = diffusi molekuler A, dan kondisi batasnya :
C A
0 pada x = 0 (3)
x
C A
 DA  kC A pada x =  B (4)
x
CA  CA
0
pada z = 0 (5)
kondisi batas kedua menunjukkan fluks difusi yang setara dengan laju
dekomposisi pada dinding. Pada kondisi diffusi terbatas, k  , sehingga :
 D C A 
lim  A  0  C A pada x =  B (6)
k   x 
 k
Pada reaktor yang pendek, maka waktu kontak kecil, sehingga dekomposisi utama
terjadi di dekat dinding. Untuk setengah reaktor, kita mempunyai :
x+y=B (7)
dan kecepatan pada arah y :
  y   y 2 
v z  v max 2      (8)
  B   b  
pada daerah dekat dinding y/B << 1, maka :
 y
v z  2v max   (9)
 B
Substitusi pers. (7) ke pers. (2) :
 y  C A  2CA
2v max    DA (10)
 B  x y 2
dengan kondisi batas :
CA  0 pada y = 0, z > 0 (11)
CA = CAO pada z = 0 , y >0 (12)
CA  CAO pada y   (13)
CA  0 pada z   (14)

Pers. (10) setara dengan persamaan berikut :


2v max y 3 ~ BD A z
maka variabel untuk transformasi adalah :
y
0  1/ 3
(15)
 BD A z 
 
 2v max 
sebelum dibawa ke bentuk  = y/(z), maka variabel transformasi diubah ke
bentuk :

MTK-2/65
y
 = 1/ 3
(16)
 9 BD A z 
 
 2v max 
Pernyataan kondisi batas diubah ke fungsi CA = f() :
f = CA0 pada  =  (z = 0 atau y = ) (17)
f=0 pada  = 0 (z =  atau y = 0) (18)
dan

C A f   1
 
1
  f ' ()  (19)
z  z  3 z
 
 
C A f   1 
  f '   1/ 3 
(20)
y  y

9 BD A z 
 
  2v max  
 
 
 
 2CA   1  
  f ' ( ) 1/ 3 
(21)
y 2   9 BDA z   y
  

  2v max   
 2CA 1
 f " () (22)
y 2  9 BD A z 
2/3

 
 2v max 
 y 1 1 1
2v max    f ' ()    D A f " () (23)
 B  3 z  9 BD A z 
2/3

 
 2v max 
atau f "()  3 2 f '()  0 (24)
df
diintegrasi : f '()  A exp(  3 )  (25)
d
diintegrasi lagi : f ()  A exp(  3 )d  B (26)

f ()  D  exp(   3 )d  B (27)
0
C AO
B  0, D  
(28)
 exp(   ) d
3

dinyatakan dengan fungsi gamma :


x

t
x 1
( x )  e 1dt (29)
0

dan menyatakan  3 = t, 3 2 d = dt, sehingga :

MTK-2/66

1  1  4
 exp( )d        
3
(30)
0
3  3  3

 exp(   ) d
3

CA
 0
(31)
C AO  4
 
 3
untuk waktu kontak kecil sampai  ~ 1. Fluks massa pada dinding dapat dihitung
dari :
 C A   df  
N 0 ( z)  D A    DA   (32)
 y  y  0  d    0 y
dan lokal fluks :
1/ 3
D A C AO  2v max 
N 0 ( z)    (33)
 4   9 BD A z 
 
 3
fluks rata-rata :
L
1
L 0
N0  N 0 ( z ) dz (34)

pada akhirnya untuk satu permukaan :


3
DA  2v max 
1/ 3

N0  2 C AO   (35)
 4  9 BD A L 
 
 3
untuk dua permukaan dengan lebar W, total luas permukaan = 2(WL), maka laju
penurunan organik metal adalah :
R = 2 ( W L ) N0 (35)
1/ 3
3  2 v max L2 DA2 
R WC AO   (36)
 4 9 B 
 
 3
pada umumnya kecepatan rata-rata dinyatakan : vo = 2vmax/3, maka :
1/ 3
3 3/ 2  v L2 D A2 
R WC AO  0  (37).
 4  B 
 
 3

V.4. Soal-soal.

1. Seorang koki berpengalaman dapat mengetahui berapa waktu yang


dibutuhkan untuk memasak ketela pohon. Dianggap ketela pohon berbentuk
silinder yang panjang. Mula-mula ketela pohon bersuhu kamar, 30 oC.
Kemudian ketela ini direbus dalam air mendidih, 100 oC. Dianggap tahanan

MTK-2/67
perpindahan panas secara konveksi dan radiasi pada permukaan luar ketela
diabaikan, sehingga suhu dipermukaan luar ketela konstan, 100 oC selama
direbus. Menurut koki ini, ketela akan masak bila suhu di sumbu ketela 80 oC.
Tentukan waktu yang dibutuhkan untuk memasak ketela tsb. Diketahui : Cp =
0.2 cal/(gr.oC),  = 3 gr/cc, dan k = 2.4 cal/(cm.oC.jam).

2. Suatu kawat dengan diameter 1 cm dan panjang 5 cm, permukaannya


diisolasi. Kawat ini mula-mula bersuhu seragam 30 oC, tiba-tiba kawat ini
dialiri listrik dan ujung-ujungnya dipertahankan pada suhu konstan 0 oC.
Panas yang ditimbulkan arus listrik adalah 238 cal/(cm 3.dt). Dianggap arah
perpindahan panas hanya ke arah axial. Diketahui : Cp = 0.15 cal/(gr.oC),  =
7.2 gr/cc, dan k = 0.918 cal/(cm.oC.dt). Tentukan a). T(x,t), b). suhu ditengah-
tengah kawat setelah 5 menit, c). laju panas yang harus dihilangkan pada
kedua ujung kawat pada waktu 5 menit.

3. Bola logam berjari-jari b, yang dalamnya berrongga dengan jari-jari a, mula-


mula bersuhu seragam T0. Tiba-tiba pada t  0, permukaan rongga bersuhu
konstan T1 dan permukaan luar bola bersuhu konstan T 2, dimana thermal
diffusivity bahan logam adalah . Tentukan suhu di dalam bola logam sebagai
fungsi waktu dan jari-jari, T(r,t).

------------@TNT101196------------

MTK-2/68
Contoh :
Suatu bola logam berongga dengan radius rongga dalam, a, dan radius
luar, b, yang mula-mula bersuhu T0 disemua bagian, tiba-tiba bagian rongga diatur
pada suhu T1 dan permukaan luar pada T2, yang dijaga konstan. Dianggap tahanan
perpindahan panas secara konveksi dan radiasi pada permukaan logam diabaikan.
Tentukan suhu dalam bola sebagai fungsi waktu dan radius dari pusat bola, T(r,t).
Penyelesaian :

PD. yang menggambarkan problema ini :


T  2 T  2 T 
  2 . .  2 (1)
t  r r r 

dengan : - kondisi awal : T(r,0) = T0 (homogen) (2)


- kondisi batas : T(a,t) = T1 (belum homogen) (3)
T(b,t) = T2 (belum homogen) (4)

Tahap - 1 :
Substitusi : V(r,t) = T(r,t) + A + B/r atau T = V - A - B/r, sehingga :
T V
 (i)
t t
T V B
  (ii)
r r r 2
 2 T  2V 2 B
 2  3 (iii)
r 2 r r
Substitusi pers. (I), (ii), dan (iii) ke pers. (1) :
V 2  V B    2V 2 B 
     2  3  atau
t r  r r 2   rr r 
V 2 V  2V
  (5)
t r r rr 2
dari pers. (3) :
V(a,t) = T(a,t) + A + B/a
0 = T1 + A + B/a (6)
dari pers. (4) :
V(b,t) = T(b,t) + A + B/b
0 = T2 + A + B/a (7)

Penyelesaian pers. (6) dan (7) adalah :


(T  T1 ) (T  T1 )
A  T1  2 .b dan B  2 . ab
ba ba
sehingga diperoleh persamaan, hasil dari substitusi :
(T  T1 ) (T  T1 ) ab
V (r , t )  T (r , t ) T1  2 .b  2 .
ba ba r
atau
V (r , t )  T (r , t )  T1 
T2  T1  .b. 1  a 
  (8)
ba  r
Dari substitusi, maka didapat batasan yang homogen :
T  T1  .b. 1  a 
- kondisi awal : V (r ,0)  T0  T1  2   (9)
ba  r
- kondisi batas : V(a,t) = 0 (10)
V(b,t) = 0 (11)

Pemisahan variabel dari pers. (5) : V(r,t) = F(r).G(t).


2
. F  F "'
2 2  G' r
F . G'    . F '. G  F ". G  atau 2  C (12)
r   .G F
harga C harus negatif, C = -p2, sehingga diperoleh dua persamaan terpisah :
2
F " . F ' p 2 . F  0 (13)
r
dan
G’ + 2.p2.G = 0 (14)

Tahap 2 :

 Penyelesaian pers. (13) :


Persamaan ini diselesaikan :
A B
F  .cos( pr )  .sin( pr ) (15)
r r
sin( pa )
Pada r = a : F(a) = 0, maka : A   B. ,
cos( pa )
dan pada r = b : F(b) = 0, maka :
sin( pa )
0   B. .cos( pb)  B sin( pb)
cos( pa )
 0  B. sin( pa).cos( pb)  sin( pb).cos( pa)
 0  B.sin( pb  pa)
n.
 0  B.sin( p(b  a)) , jadi p(b-a) = n., atau pn 
ba
Pers. (15), menjadi :
B sin( pn a ) B
Fn   n . .cos( pr )  n .sin( pn r )
r cos( pn a ) r
Bn   sin( pn a ).cos( pr )  sin( pn r ).cos( pn a ) 
 Fn  . 
r  cos( pn a ) 
B  sin( pn (r  a )) 
 Fn  n .   (16)
r  cos( pn a ) 
 Penyelesaian pers. (14) :
G(t )  e  . p .t
2 2
(17)
atau
 n. 
2
 2 .  .t
 ba 
Gn (t )  e (18)

Tahap 3:

Sesuai dengan teorema 2, maka :


 n . 
2
 
B sin( pn (r  a ))  2 . ba 

V(r,t) = Vn (r , t ) =  Fn (r ). Gn (t ) =  n .
.t
.e
n 1 n 1 n 1 r cos( pn a )
atau
 n . 
2

Bn sin( pn (r  a ))  2 . ba 



V(r,t) =  .
.t
.e (19)
n 1 r cos( pn a )
juga merupakan penyelesaian. Dari pers. (8) :
T  T1  .b. 1  a    n . 
2

Bn sin( pn (r  a ))  2 . ba 

.t
T (r , t )  T1  2   . .e (20)
ba  r n 1 r cos( pn a )
Dan dari kondisi awal :
T  T1  .b. 1  a   
Bn sin( pn (r  a ))
T0  T1  2
ba

 r
 
n 1 r
.
cos( pn a )
(21)

substitusi : z = r-a, sehingga menjadi :


T  T1  .b.  z   
Bn sin( pn z)
T0  T1  2
ba
 
 z  a  z  a . cos( p a)
n 1
(22)
n

Konstanta Bn dicari dengan menggunakan sifat-sifat ortogonalitet fungsi sinus,


yang dalam hal ini, pers. (22) dikalikan dengan (z+a).sin(pm.z) dan diintegralkan
dari 0 - (b-a), sehingga menjadi :
ba
 T2  T1  
 T0  T1 .( z  a).sin( pm z)  b  a .b. z.sin( pm z)dz
0
 ba
Bn
=  .  sin( pn z).sin( pm z)dz
n 1 cos( pn a ) 0
ba
B1
cos( p1a ) 0
= . sin( p1 z).sin( pm z)dz +
ba
B2
cos( p2 a ) 0
. sin( p2 z).sin( pm z)dz + . . . +
ba
Bm
 sin( p z) dz
2
. m +...
cos( pm a ) 0

dimana untuk n  m, hasil integrasi adalah 0., maka :


ba

   1  cos2 p . zdz
1 Bm
 . T1  T0 r  T2  T1  = . m
pm cos( pm a ) 0
ba
 
 
1 Bm 1
  . T1  T0 r  T2  T1  = . z  .sin2 pm . z 
pm cos( pm a )  2 pm 0

 
1 Bm
  . T1  T0 r  T2  T1  = .(b  a )
pm cos( pm a )

 
cos( pm a )
 Bm  . T0  T1 r  T1  T2 
m
atau
 
cos( pn a )
Bn  . T0  T1 r  T1  T2  (23)
n
Penyelesaian umum problema ini adalah pers. (20) dengan Bn dari pers. (23).

Anda mungkin juga menyukai