Abstrak
Citra dan wibawa pemerintahan yang efektif tercermin dari profil pemerintahan yang efektif
dan kompeten. Akuntabilitas kinerja PNS dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya perlu terus
diaktualisasikan. Sebab, perspektif administrasi publik modern menekankan pentingnya dimensi
profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan dalam menjalankan fungsi dan
peran sebagai public servant. Era dan semangat reformasi belum mampu mengangkat birokrasi yang
lebih profesional, mumpuni dan berkarakter “the spirit of publicness”.
Pelayanan publik yang adil, profesional dan memenuhi aspek-aspek kualitas dan kepuasan
layanan merupakan hakiki cerminan kinerja aparatur pemerintahan yang efektif dan akuntabel.
Undang-undang RI No. 26 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Intinya menjelaskan bahwa negara
berkewajiban melayani warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan keburuhan dasarnya
dalam kerangka pelayanan publik. Masyarakat sangat mendambakan perubahan yang mendasar
dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Kata Kunci: Birokrasi, Pelayanan Sepenuh Hati, ‘Semangat Kepublikan Birokrasi’.
Abstract
The image and prestige of effective governance is reflected from profile of effective and competent governance.
Accountability of performance the civil servants in carrying out its duties and responsibilities need to be
actualized. Therefore, the perspective of a modern public administration stressed the importance of the dimensions
of professionalism, transparency and accountability of government bureaucracy in carrying out the functions and
role as a public servant. Era and the spirit of reform has not been able to lift the bureaucracy more professional,
qualified and characterized “the spirit of publicnes”.
Public service fair, professional and fulfilling aspects of quality and service satisfaction is the ultimate
reflection of the performance of government officers whom effective and accountable. Law of Indonesian republic
no. 25 of 2009 on public services. essentially it explained that the state have an obliged to serve citizens and
resident to fulfill the rights and basic needs within the framework of public service.
Keywords: Bureaucracy, Wholehearted Service, 'The Spirit of Publicness Bureaucracy'.
elemen reformasi wajib mengawasi sikap dan medio Mei 1998, bahkan hingga hari ini masih
perilaku elite politik dan pemerintahan yang terasa dampaknya. Penyakit kronis yang masih
sekarang sedang memanggul tanggung jawab menggerogoti bangsa ini, yakni menggejalanya
melanjutkan proses demokrasi tersebut. bureaucracy corruption yang dilakukan oleh
Syed Husein Alatas, guru besar Universitas pejabat pemerintah dengan menyalahgunakan
Singapura yang banyak menulis tentang korupsi kekuasaan, wewenang dan kedudukan dalam
dan modernisasi. Misalnya saja, dia dengan jabatan publik dan birokrasi. Beragam kasus
tepat mengungkapkan, bahwa sebab musabab yang terkuak ke permukaan menyiratkan bahwa
korupsi yang penting adalah tingkat moralitas perilaku korupsi dan sejenisnya, berdampak
dalam masyarakat tertentu. Bila pendapat ini luas pada rusaknya sendi-sendi kehidupan dan
dimasukan dalam konteks Indonesia, maka kinerja sistem nasional yang dibangun. Secara
dapat ditarik suatu garis pemahaman bahwa reputasional, citra Indonesia semakin terpuruk
faktor mentalitas dan moralitas bangsa kita, di mata dunia internasional.
memang sangat rentan. Pada tataran demikian, kiranya benar apa
Korupsi adalah tindak kejahatan yang yang dikatakan Merton (1973) dan beberapa
paling busuk, licik dan tidak bermoral, sehingga penulis lainnya yang pernah menekankan
terhadapnya perlu dilakukan perang besar- kecenderungan disfungsional-patologis dalam
besaran agar tidak menjadi gurita dan makin perilaku birokrat, yang menyebabkan terjadinya
masif memenuhi ruang publik yang lebih luas. frustrasi dalam mewujudkan sasaran-sasaran
Terlebih lagi bila hal itu “merasuki” ranah organisasi. Hal ini termasuk antara lain
sistem masyarakat terkecil: keluarga.1 kekakuan, keengganan mendelegasikan otorita,
Mochtar Lubis (1975) tentang korupsi penuh dengan rahasia, dan menutup diri.
mengatakan, bahwa ciri utama korupsi ialah
bahwa nilai-nilainya ditentukan oleh uang. B. Mendefinisikan Kembali Fungsi
Potensinya untuk merusak akhlak dan moral dan Peran Birokrasi Publik
juga di sini. Karena itu kebudayaan korupsi
Susah mewujudkan birokrasi publik yang
amat merusak nilai-nilai manusia. Kehormatan,
mumpuni: dapat memberikan layanan publik
martabat manusia kesetiaan pada bangsa sekali
secara berkualitas dan memberikan kepuasan
pun dapat dihancurkan dalam waktu singkat.
kepada masyarakat. Itu artinya, dimensi
Oleh karena itu, ‘bahwa salah satu jawaban
kualitas aparatur yang memiliki kapabilitas dan
terhadap pertanyaan bagaimana mencegah
peningkatan kualitas pelayanan merupakan
korupsi terdapat dalam bidang strategi politik,
dua hal penting, masih harus terus di-energize,
kata Mas’oed (1994:1760. Yaitu strategi politik
direvitalisasi dan diaktualisasikan dengan
perwakilan yang lebih terbuka dan membiarkan
berbagai bentuk pembinaan kepegawaian.
masyarakat menyuarakan kepentingannya
Hal ini sejalan dengan suatu pemahaman
melalui saluran yang sah’.
mendasar bahwa sasaran dan pemikiran
Rendahnya faktor etik-moral, dan
administrasi negara baru jawaban klasiknya
spirit kejujuran membuat orang terseret
selalu: manajemen yang efisien, ekonomis
melakukan tindakan menyimpang (anomaly),
dan terkoordinir atas instansi pelayanan
yakni melakukan korupsi. Perbuatan korupsi
(Frederickson, 1988).
merupakan cerminan mentalitas bangsa,
Dengan kata lain, eksistensi birokrasi, di
demikian kata Prof. Koentjaraningrat2
hampir banyak negara berkembang, termasuk
“mentalitas yang suka menerabas”. Di sini,
di Indonesia selalu menjadi fokus analisis
seorang melihat korupsi dari segi individual
yang menarik di kalangan ilmuwan yang
morality, bahwa korupsi merupakan penggunaan
concern memilih topik birokrasi sebagai studi
secara lihai peluang untuk mendapatkan
ilmu politik, ilmu pemerintahan maupun ilmu
ganjaran sosial ekonomis.
administrasi negara dan kebijakan publik.
Merebaknya ‘mentalitas mencari jalan
Berkaca dari berbagai kajian para ahli
paling gampang’ itu, berbagai keberhasilan
mengenai masalah birokrasi di Indonesia,
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang
umumnya terdapat tema sentral pandangan
dicapai Orde Baru, lantas berantakan pada
1
Sangat miris membaca editorial Inilah Koran, edisi 17 Juni 2015 berjudul “Keluarga Suap!”. Isinya, heboh dugaan kasus suap Walikota Palembang dan istrinya yang
telah mengalirkan dana Rp. 20 milyar untuk Akil Mochtar dalam pengurusan sengketa Pilkada Palembang. Tujuannya jelas agar walikota tersebut (baca: Romi Herton)
ditetapkan sebagai pemenang Pilkada.
2
Koentjaraningrat, ”Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan”, Jakarta, Penerbit PT Gramedia, 1974.
140 J u r nJaul r n a l
Ilmu Administrasi Volume XIII | Nomor 1 | April 2016
Ilmu Administrasi
Media Pengembangan dan Praktik Administrasi
Media Pengembangan dan Praktik Administrasi
Reaktualisasi ‘Semangat Kepublikan Birokrasi’ di Era Reformasi
} Dadi Junaedi Iskandar
yang sama, bahwa birokrasi pemerintah Dengan demikian, birokrasi mempunyai tugas
Indonesia kuat, besar dan dominan. Posisi penting, yaitu merealisasikan tujuan-tujuan
birokrasi memegang peranan amat penting, negara dengan jalan mengimplementasikan
sentral dan strategis dalam proses dan dinamika seluruh kebijakan publik yang benar-benar
sistem politik/pemerintahan dan pembangunan menyentuh pada kepentingan dan harapan
di Indonesia. Memang tidak dapat disangkal masyarakat. Sebagai salah satu institusi politik3
bahwa bahwa segera setelah memperoleh yang sangat dominan, sentral dan strategis,
kemerdekaannya negara Indonesia dihadapkan birokrasi dan aparaturnya nyaris tak pernah
pada kebutuhan untuk menciptakan dan sepi dari kritik, keluhan, dan sinisme publik
menerapkan suatu sistem politik modern ikhwal sikap perilaku dan kinerjanya. Beragam
dengan dukungan birokrasi pemerintahan yang komplain dialamatkan kepadanya, sehingga
mapan sebagai kekuatan utama. telah membentuk opini dan persepsi publik
Kedudukan birokrasi yang sangat strategis yang negatif terhadap sosok birokrasi Indonesia.
tersebut, sebenarnya didasarkan pada suatu Padahal tentu saja, tidak semua hancur, rusak,
kenyataan bahwa birokrasi merupakan tulang buruk dan jelek citranya di mata masyarakat.
punggung masyarakat Indonesia modern. Sebab Dalam hal pelayanan, wajah birokrasi
tanpa birokrasi yang kuat pemerintah apa pun, pun menjadi aneka “warna”. Ada merah,
tampaknya akan mengalami hambatan yang kuning, hijau; namun ini bukan warna
berarti dalam mendinamisasikan program- balon; atau lampu lalu lintas, tetapi ini soal
program pembangunan yang telah ditetapkan. kategorisasi standar pelayanan publik yang
Karenanya, selain sebagi salah satu instrumen diselenggarakan birokrasi pemerintah. Ya.
masyarakat modern, birokrasi juga merupakan Zona merah untuk menunjukkan tingkat
suatu lembaga yang memang disiapkan untuk kepatuhan yang rendah atau tidak memenuhi
menyangga tugas-tugas pemerintahan dan Undang-undang Pelayanan Publik; zona
pembangunan di Indonesia. kuning menunjukkan tingkat kepatuhan
Ketika posisi dan peran birokrasi sangat sedang; dan zona hijau menunjukkan tingkat
dominan dan sentral di dalam sistem nasional kepatuhan yang tinggi. Zonasi tersebut dibuat
kita, justru semakin hari aparatur birokrasi Ombudsman untuk mengklasifikasi tingkat
pemerintah semakin tidak mampu “menjaga” pelayanan publik lembaga-lembaga birokrasi
performance-nya sebagai alat pelaksana kebijakan pelayanan. Seperti diberitakan media massa,
negara. Masalah pengaturan dan penanganan pelayanan publik masih buruk, di Jawa Barat,
segala sesuatu yang berhubungan dengan 45,5% di Zona Merah (Pikiran Rakyat, 9/12)4.
operasionalisasi administrasi/manajemen Rilis yang dikeluarkan Ombudsman tersebut
pemerintahan dan pembangunan, selalu merupakan hasil observasi untuk menguji
mendapat sorotan terutama menyangkut kepatuhan terhadap standar pelayanan publik
efesiensi, efektifitas program, sikap perilaku, yang sudah ditetapkan dalam undang-undang.
budaya kerja dan orientasi atau semangat Terkait dengan fungsi dan peran
pelayanan, terlebih lagi menyangkut aktualisasi Ombudsman, hal ini dinyatakan secara tegas
kultur pengabdiannya kepada masyarakat di dalam diktum UU RI No 37/2008 tentang
yang dinilai rendah. Wajar, bila birokrasi dan Ombudsman Republik Indonesia. Pada
aparatnya menjadi pusat pelampiasan keluhan, huruf a berbunyi: “bahwa pelayanan kepada
bahkan dipandang tidak mampu secara optimal masyarakat dan penegakkan hukum yang
menyelenggarakan fungsi, melaksanakan visi dilakukan dalam rangka penyelenggaraan
dan misinya dalam hampir semua aktifitas negara dan pemerintahan merupakan bagian
yang justru telah menjadi tugas dan tanggung yang tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk
jawabnya yang paling dasar, yaitu selaku abdi menciptakan pemerintahan yang baik, bersih,
masyarakat. dan efisien guna meningkatkan kesejahteraan
Padahal, posisi birokrasi sebenarnya serta menciptakan keadilan dan kepastian
merupakan mata rantai hubungan fungsional hukum bagi seluruh warga negara sebagaimana
antara pemerintah selaku pelaksana tugas negara dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara
dan masyarakat sebagai “stakeholders” utama. Republik Indonesia Tahun 1945”.
3
Elaborasi yang mendalam mengenai hal ini, dapat dibaca Syukur Abdullah, ”Budaya Birokrasi Indonesia” dalam Profil Budaya Politik Indonesia, 1991, hal. 222.
4
Lihat juga, Tajuk Rencana Pikiran Rakyat: “Pelayanan Publik”, edisi 10 Desember 2014.
142 J u r nJaul r n a l
Ilmu Administrasi Volume XIII | Nomor 1 | April 2016
Ilmu Administrasi
Media Pengembangan dan Praktik Administrasi
Media Pengembangan dan Praktik Administrasi
Reaktualisasi ‘Semangat Kepublikan Birokrasi’ di Era Reformasi
} Dadi Junaedi Iskandar
5
Lihat Hendrikus Triwibawanto Gedeona, “Pandangan Ilmu Administrasi Publik Mengenai Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara”, Jurnal Ilmu
Administrasi III, Volume VII, No. 4, Desember 2010.
144 J u r nJaul r n a l
Ilmu Administrasi Volume XIII | Nomor 1 | April 2016
Ilmu Administrasi
Media Pengembangan dan Praktik Administrasi
Media Pengembangan dan Praktik Administrasi
Reaktualisasi ‘Semangat Kepublikan Birokrasi’ di Era Reformasi
} Dadi Junaedi Iskandar
Max Weber (1864-1920), yang dikenal sebagai Birokrasi sebagai keseluruhan aparatur
bapak sosiologi modern. Meskipun pandangan pemerintah atau pegawai negeri sipil (PNS),
Weber mempunyai pengaruh pada ahli sosiologi keseluruhan pejabat negara di bawah pejabat
dan politik, namun konsep birokrasinya dapat politik, atau keseluruhan pejabat negara pada
dikatakan masih baru dipergunakan dalam cabang eksekutif, tak pernah henti mendapat
studi administrasi dan manajemen. sorotan dan keluhan banyak pihak. Meminjam
Menurut Max Weber (Depdikbud, 1982), pendapat Prof Syukur Abdullah (1991:247),
birokrasi merupakan ciri dari pola organisasi keluhan dan sorotan masyarakat tersebut
yang strukturnya dibuat sedemikian rupa terkait dengan kelembaman birokrasi dalam
sehingga secara maksimal dapat memanfaatkan memberikan pelayanan kepada publik.
tenaga ahli. Organisasi harus diatur secara Aparatur birokrasi, tidak saja sering
rasional, impersonal, dan bebas dari sikap menyakiti orang kecil atau masyarakat miskin
prasangka. Dengan demikian, birokrasi (kelas bawah) dalam proses pelayanan Gideon
dimaksudkan sebagai satu sistem otoritas yang Sjoberg (1966), atau cenderung melayani raja
ditetapkan secara rasional dalam berbagai (pemegang kekuasaan), “boss politik” dan
peraturan untuk mengorganisasi secara teratur, berorientasi ke atas seperti kecenderungan
bersifat spesialisasi, hirarkhis dan terelaborasi. yang diperlihatkan secara kasat mata pada
Max Weber berpendapat, bahwa birokrasi birokrasi Orla dan Orba, namun belakangan,
sebagai suatu bentuk organisasi yang amat birokrasi juga tumbuh ibarat “anak jalanan”
efisien, yang dapat digunakan lebih efektif bagi yang berani tidak mematuhi amanat dan
organisasi yang kompleks sifatnya misalnya ketentuan perundang-undangan (standar
perusahaan, pemerintahan, militer, dengan pelayanan publik). Aparat dan pejabat birokrasi
makin meningkatnya kebutuhan dari masyarakat pemerintah telanjur dipahami sebagai sentra
modern. Jadi setiap aktivitas yang kompleks dan dari penyelesaian urusan masyarakat (Thoha,
rutin sifatnya sehingga memerlukan koordinasi 2005:3).
yang ketat terhadap aktivitas orang-orang dan Sebagai contoh, bila kembali menyimak
sangat terspesialisasi, maka bentuk organisasi hasil survei yang dilakukan Komisi Pem
yang diterapkan tidak lain adalah organisasi berantasan Korupsi (KPK) beberapa tahun lalu
birokratik (Kast dan Rosenweig 1982). yang menyebutkan integritas pelayanan di Kota
Organisasi birokratik ini menurut Weber Bandung, misalnya, terburuk se-Indonesia. Hal
“mendasarkan diri pada hubungan kewenangan tersebut menarik perhatian Lembaga Penelitian
menempatkan, mengangkat pegawai dengan Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial
menentukan tugas dan kewajiban di mana (LP3ES), dan pada tahun 2009 lembaga ini
perintah dilakukan secara tertulis, ada menyurvei kembali empat pelayanan publik,
pengaturan mengenai hubungan kewenangan, yaitu pembuatan kartu tanda penduduk (KTP),
dan promosi kepegawaian didasarkan atas surat izin usaha, izin mendirikan bangunan
aturan-aturan tertentu”. Tetapi tidak ada (IMB) dan layanan PDAM (Tribun Jabar,
hubungannya dengan prosedur yang berbelit- 3/4/2009). Terakhir, berkaitan dengan dugaan
belit (red tape), penundaan pekerjaan atau Ombudsman RI mengenai adanya pungutan
ketidakefisienan, seperti yang dibayangkan oleh liar di Kota Bandung (PR, 6/1/2015).
banyak orang dewasa ini. Keluhan masyarakat sebagai akibat patologi
Dalam perkembangan berikutnya, birokrasi dan perbuatan dosa dalam pelayanan
pemahaman atas birokrasi dapat didekati (sense of services), dengan mengabaikan tugas
melalui tiga dimensi, yaitu postur, stuktur, melayani masyarakat, menunjukkan adanya
dan kultur. Postur menyangkut besaran dan gejala pengingkaran kerja aparat terhadap
kekuatan institusional seperti sarana, prasarana masyarakat. Harapan adanya perubahan pola
dan infrastruktur lain (fisik, fasilitas, dan lain- pikir, mindset, cultural set, motivasi kerja dan
lain). Struktur menyangkut rentang hierarki manajemen pelayanan prima yang berbasis
kewenangan dan segala hal yang terkait, kinerja, jauh panggang dari api. Pelayanan
termasuk remunerasi dan kesejahteraan. Kultur kepada masyarakat tidak diletakan sebagai
menyangkut “budaya kerja” atau “corporate pertimbangan utama dalam mewujudkan citra
culture” birokrasi. benevolent bureucracy, sebagaimana diintrodusir
Hopstede?
6
Elaborasi yang mendalam mengenai hal ini, dapat dibaca HA Kartiwa dan Nugraha, ”Mengelola Kewenangan Pemerintahan”, 2012, hal. 156-169.
146 J u r nJaul r n a l
Ilmu Administrasi Volume XIII | Nomor 1 | April 2016
Ilmu Administrasi
Media Pengembangan dan Praktik Administrasi
Media Pengembangan dan Praktik Administrasi
Reaktualisasi ‘Semangat Kepublikan Birokrasi’ di Era Reformasi
} Dadi Junaedi Iskandar
birokrasi sering mengedepankan fungsi lain peran pemerintahan semakin efektif, peka
daripada fungsi layanan publik. (responsiveness) dan accountable. Sebab, di
Hal tersebut tentunya berkaitan dengan era sekarang, daya tanggap dan kepekaan
masalah kinerja. Mengutip Mardiasmo menjadi modal utama dalam meng-energized
(2002:42), penilaian kinerja untuk mengetahui birokrasi pelayanan. Sementara itu peningkatan
apakah sebuah institusi telah mencapai tujuan produktivitas dan disiplin dalam memberikan
yang telah ditetapkan dan diperlukan indikator pelayanan sepenuh hati terhadap warga negara
kinerja kunci (key performance indicator) dan menjadi ciri penting efektivitas kinerja aparat.
satuan ukur untuk masing-masing aktivitas Salah satu isu menonjol yang mengemuka
yang dilakukan. Sementara itu, penggunaan saat ini ialah ketika reformasi politik dan
indikator kinerja menurut Tangkilisan perlu reformasi sektor bidang keamanan sedang
mempertimbangkan elemen atau komponen bergulir, birokrasi justru tidak mengalami
berikut ini: “a) biaya pelayanan (cost of service); b) reformasi. Secara umum reformasi birokrasi
penggunaan (utilization); c) kualitas dan standar mencakup tiga hal, yaitu reformasi administratif
pelayanan (quality and standards); d) cakupan (administrative reform), akuntabilitas dan
pelayanan (coverage); e) kepuasan (satisfaction)”. 6 efisiensi. Salah satu penekanan dalam
Hal tersebut seturut dengan pendapat revitalisasi administrasi publik yakni adanya
Sedarmayanti (2010: 245), bahwa pelayanan tuntutan inovasi, kreativitas dan responsiveness
umum diharapkan: “a) mudah dalam pada perubahan-perubahan kebutuhan di
pengurusan bagi yang berkepentingan; b) antara para administrator dan berbagai peranan
mendapat pelayanan yang wajar; c) mendapat publik.
perlakuan sama tanpa pilih kasih; d) mendapat Model tua yang netral dari sistem
perlakuan jujur dan terus terang”. administrasi mengasumsikan bahwa perubahan-
Sedangkan di dalam SK Menpan No. 63 perubahan yang tidak reguler kadang-kadang
Tahun 2003 tentang Pelayanan Umum, secara diinjeksikan ke dalam sistem administrasi oleh
rinci dijelaskan tentang sendi pelayanan prima politisi yang menginginkan agar perubahan-
yang dikembangkan ke dalam 14 unsur yang perubahan khusus diimplementasikan.
relevan, valid dan reliabel sebagai unsur minimal Namun, kini administrasi sendiri diharapkan
yang harus ada untuk dasar pengukuran indeks terlibat dalam pembaruan diri secara terus
kepuasan masyarakat. menerus (continual self-renewal). Birokrasi atau
Pada akhirnya dapat ditegaskan kembali, administrasi negara harus menjadi “proaktif
bahwa aparat birokrasi sebagai pelayanan daripada reaktif”, mengantisipasi masalah yang
masyarakat seharusnya mengaktualisasikan akan muncul daripada meresponnya, apakah
manifesto motto “abdi masyarakat”: dituntut persoalan itu muncul di perkotaan atau di
dapat menyelami, menghayati dan mengangkat perdesaan, apakah itu bersifat sosial, ekonomi,
harapan rakyat jelata serta memainkan dirinya budaya ataukah pertahanan; lokal, regional
sebagai seorang populis, dengan tetap memegang atau mondial.
nilai-nilai profesonalisme dan kompetensi sesuai Birokrasi pemerintahan membutuhkan
dengan keunggulan teknis yang dimilikinya. perbaikan (improvement) terus menerus dari
Singkatnya, penekanan pada aspek dalam dirinya daripada reformasi (reform)
yang memberikan ciri keunggulan teknis dan yang diinjeksikan dari luar dirinya agar dapat
efisiensi, dalam pelaksanaan tentu harus tetap diandalkan (reliable) dan dewasa/matang
luwes dan berifat “kohesif” dengan ukuran (mature). Ini terkait dengan sifat birokrasi yang
nilai-nilai kemanusiaan (human interest) dan strukturnya amat hirarki dan mempromosikan
mengedepankan sentuhan kemanusiaan (human konformitas. Birokrasi juga memiliki
touch). sifat konservatif dan karena itu reformasi
administratifnya tampak merupakan suatu
E. Spirit ‘Hijrah Paradigma’ proses yang lambat.
Coba ingat kembali misalnya, hasil
Tuntutan terhadap kualitas pelayanan
observasi Ombudsman beberapa waktu lalu;
publik yang lebih baik semakin mendesak
memang bukan hal mengejutkan. Buruknya
di
aktualisasikan sekaligus seharusnya
pelayanan bukan hanya telah menjadi persepsi
men
jadi komitmen birokrasi sehingga
umum, tapi juga telah menjadi rahasia umum. Pelayanan publik yang adil, profesional
Melalui mata telanjang, buruknya pelayanan dan memenuhi aspek-aspek kualitas dan
publik sering dikeluhkan hampir setiap orang. kepuasan layanan, adalah cerminan kinerja
Mungkin, sembilan dari sepuluh orang yang aparatur pemerintahan yang efektif dan
pernah berurusan dengan aparat menyangkut akuntabel. Permenpan No PER/01/M.
berbagai urusan pelayanan sipil termasuk PAN/01/2007 tentang Pedoman Evaluasi
pelayanan dasar (minimal), seperti dalam Pelaksanaan Pengembangan Budaya Kerja
pengurusan surat-surat penting, terlebih lagi Pada Instansi Pemerintah, menjelaskan bahwa
perizinan, pernah merasa kecewa atas layanan di era demokratisasi ini dan dalam rangka
yang diberikan. persiapan memasuki era globalisasi serta
Sedemikian pejalnya persepsi publik perdagangan bebas nanti, masyarakat sangat
terhadap buruknya pelayanan, hingga mendambakan perubahan yang mendasar
muncul istilah ’kalau bisa dipersulit kenapa dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini,
dipermudah’. ’kalau bisa diperlambat kenapa tentu saja memerlukan perubahan budaya kerja
dipercepat’, akibatnya membuka ruang untuk aparatur yang mencakup perubahan pola pikir
terjadinya “perselingkuhan” dan “main mata” (mindset), nilai-nilai (values), perilaku maupun
untuk ber-“TST” (“tau sama tau”). Padahal, cara kerja (kultur birokrasi) terutama dalam
rumus budaya kerja aparat publik adalah ‘kalau pemberian pelayanan kepada masyarakat
bisa dipermudah kenapa dipersulit’. (2009:347).
Kendatipun begitu, bukan berarti Namun tidak mudah untuk mewujud
semuanya jelek, lamban, berbelit-belit, atau kannya. Perspektif kultural birokrasi yang
harus selalu ada ”uang pelicin”, sogokan, atau masih pejal dengan kelindan unsur nilai-nilai
ragam praktik moonlighting, termasuk ‘uang tradisional yang feodal-aristokratis cenderung
rokok’, atau ‘pelicin’ lainnya yang bersembunyi persistent, secara substansial masih kental
di balik selubung dan dalih ‘biaya administrasi’. mewarnai sosok birokrasi pemerintah Indonesia.
Tidak sedikit aparat birokrasi yang memiliki Meski dalam beberapa segi memperlihatkan
esprit de corps, berkinerja tinggi, kompeten dan bentuk “ekspresi yang baru”; secara umum
bekerja secara prima dan dengan penuh hati. penampilan birokrasi publik agak sulit lepas
Pelayanan publik merupakan bagian dari karakteristik dan citra patrimonial.
penting dan tak terpisahkan dari reformasi Pejalnya persepsi buruk publik terhadap
budaya pelayanan birokrasi pemerintah. birokrasi, hingga kadang dibenci (Beetham,
Hal tersebut sejalan dengan Permenpan No 1990) berbanding lurus dengan tuntutan
Per/25/M.PAN/05/2006 yang menyatakan dan asa publik terhadap kualitas, efisiensi,
bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau efektivitas dan produktivitas pelayanan publik
rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan prima. Karena keyakinan yang berkembang,
kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak sipil bahwa kualitas dimensi pelayanan publik
setiap warga negara dan penduduk atau suatu akan menjadikan peran pemerintahan semakin
barang, jasa dan pelayanan administrasi yang efektif, peka (responsiveness) dan accountable.
disediakan oleh penyelenggara pelayanan Secara praktikal, kemampuan daya
publik. Demikian pula, keberadaan Undang- tanggap dan kepekaan menjadi modal utama
undang Republik Indonesia No. 23 Tahun dalam meng-energized birokrasi pelayanan;
2009 tentang Pelayanan Publik, tentunya dan di sisi lain peningkatan produktivitas serta
tidak sampai hanya menjadi “macan kertas”, disiplin dalam memberikan pelayanan sepenuh
akan tepai dapat diwujudkan dalam segi-segi hati merupakan indikator efektivitas kinerja
pelayanan pemerintah terhadap rakyat. aparat publik.
Pertanyaannya, mengapa dimensi
pelayanan publik menjadi amat penting dalam F. Pelayanan Publik Prima
konteks manajemen kinerja institusi publik?
1. Layanan Publik Sepenuh Hati
Sebab, pelayanan publik cenderung lebih
bersifat empirik, di mana stakeholders dapat Keyakinan yang berkembang, bahwa
melihat, merasakan dan mengalami secara cerita klasik tentang sikap kerja birokrasi
nyata hasil kerja aparatur dalam melayani. tidak banyak mengalami “hijrah paradigma”.
148 J u r nJaul r n a l
Ilmu Administrasi Volume XIII | Nomor 1 | April 2016
Ilmu Administrasi
Media Pengembangan dan Praktik Administrasi
Media Pengembangan dan Praktik Administrasi
Reaktualisasi ‘Semangat Kepublikan Birokrasi’ di Era Reformasi
} Dadi Junaedi Iskandar
Sungguh ironis, di mana paradigma kekuasaan berorientasi kepada pelayanan tersebut, harus
cenderung dominan. Padahal imperatif etisnya, segera ditangani secara serius melalui paket
menegaskan paradigma pelayanan semestinya yang menyeluruh dalam kerangka reformasi
sejalan dengan pemahaman bahwa unsur birokrasi publik.
aparatur pemerintah merupakan alat pelaksana Nilai yang sebenarnya dalam layanan
administasi publik. sepenuh hati menurut Patton terletak pada
Di dalam praktik sehari-hari sering terjadi kesungguhan empat sikap “P” yaitu:
tindakan diskriminasi pelayanan oleh birokrasi, Passionate (gairah). Ini menghasilkan
terutama bagi “masyarakat kecil”. Hasil kajian semangat yang besar terhadap pekerjaan,
klasik Sjoberg dkk. (Bureaucracy and The Lower diri sendiri, dan orang lain. Antusiasme dan
Class, 1966) menyimpulkan bahwa meski perhatian yang dibawakan pada layanan
birokrasi dirancang untuk melayani (terutama sepenuh hati akan membedakan bagaimana
kelas bawah), tapi organisasi ini malah tidak memandang diri sendiri dan pekerjaan dari
bisa memecahkan masalah yang dihadapi orang tingkah laku dan cara memberikan layanan
miskin. Lebih parah lagi, birokrasi bahkan kepada para konsumen. Mereka mengetahui
cenderung mempertahankan ketimpangan apakah kita menghargai mereka atau tidak.
sosial yang ada. Ini terjadi karena golongan Gairah berarti menghasilkan kehidupan dan
miskin dianggap “kurang menguntungkan jika vitalitas dalam pekerjaan.
dilayani”, mereka rewel; harus selalu dibimbing; Progressive (progresif). Penciptaan cara
bodoh, dan banyak lagi yang lainnya. baru dan menarik untuk meningkatkan layanan
Rekomendasi Sjoberg dkk tersebut dan gaya pribadi. Pekerjaan apa pun yang kita
semestinya menyentak kesadaran posisional tekuni, jika memiliki gairah dan pola pikir
untuk membangkitkan budaya kerja dan kinerja yang progresif, akan menjadikan pekerjaan
aparat pelayanan publik. Moralitas, semangat lebih menarik. Bersikap kreatif itu dimulai
kerja pengabdian birokrasi sudah saatnya dari berpikir, bukannya membatasi diri sendiri
menunjukkan totalitas performance ketika terhadap cara memberi layanan.
melakoni setiap tugas pekerjaannya sebagai Proactive (proaktif). Supaya aktif harus
abdi masyarakat. melibatkan pekerjaan kita. Banyak orang yang
Pelayanan aparat di mana pun levelnya hanya berdiam diri dan menanti disuruh
harus semakin cepat, efisien, inovatif dan melakukan sesuatu bila diperlukan. Untuk
berkualitas sejalan dengan tuntutan masyarakat mencapai layanan yang lebih bagus diperlukan
yang semakin merindukan profil birokrasi yang inisiatif yang tepat. Nilai tambah layanan
tanggap, cekatan, bekerja secara profesional, sepenuh hati merupakan alasan yang mendasari
setia kepada tugas dan mempunyai kompetensi mengapa melakukan sesuatu bagi orang lain.
dalam memecahkan dan membuat solusi Positive (positif). Senyum merupakan
kreatif manakala menghadapi persoalan dalam bahasa isyarat universal yang dipahami semua
pelayanan di tiap bidang. Semua yang digeluti orang di muka bumi ini. Berlaku positif itu
aparat birokrasi publik semestinya bersandar sangat menarik. Sikap ini dapat mengubah
pada paron orientasi hasil, dan bukan semata- suasan dan kegairahan pada hampir semua
mata orientasi proses. interaksi konsumen. Berlaku positif berarti
Di simpul ini, kita akan melihat betapa seyogianya berlaku hangat dalam menyambut
esprit de corps, koordinasi, kekompakan, para konsumen dan tidak ada pertanyaan
disiplin kerja, dan team work menjadi kata atau permintaan yang tidak pada tempatnya.
kunci dalam ‘layanan publik sepenuh hati’; Apabila mau melapangkan perasaan dan
yang dalam gagasan Patricia Patton (dalam pikiran menjadi orang yang lebih positif dan
Sinambela, 2008:8) menekankan pentingnya senantiasa mendapat penjelasan, Anda dapat
layanan yang berasal dari diri sendiri yang melihat dunia dan orang-orang yang ada di
mencerminkan emosi, watak, keyakinan, nilai, dalamnya dengan perspektif yang berbeda. Ini
sudut pandang, dan perasaan. Ini berarti, bahwa modal yang sangat berguna dalam membangun
berbagai karakteristik atau sifat-sifat yang hubungan antarpribadi (Patton, 1998:1).
tidak mendukung hadirnya sosok birokrasi Sementara itu, Rusli (2014:93) mengutip
yang profesional, berkarakter, humanis dan pendapat pakar Fitzsimons and Fitzsimons dalam
buku Service Management for Competitive Advance publik yang tidak amanah dalam melayani
mengatakan ada lima indikator yang dapat kepentingan umum.
dilakukan untuk mengukur kualitas sebuah Menurut Suwaryo (dalam Mariana
pelayanan publik yang excellent. Secara umum dan Paskarina, 2010:44), bahwa penyiapan
indikator tersebut adalah: profesionalisme birokrasi dengan kemampuan
1. Tangibles: Bukti fisik yang memadai, prima, keterampilan yang berkualitas
termasuk sumber daya manusia; serta mampu menjaga dirinya dari prilaku
2. Empathy: Tingkat kemampuan secara menyimpang atau ’malpraktek’ menjadi
emosional apa kebutuhan stakeholder; sebuah kemestian yang mendesak untuk
3. Reliability: Pelayanan secara cepat dan mampu menjawab tuntutan yang kompetitif.
tepat tanpa membeda-bedakan; Untuk itulah diperlukan pembinaan spiritual
(di samping intelektual dan emosional)
4. Responsiveness: Tanggap terhadap keluhan
yang berkelanjutan untuk merangsang,
stakeholder;
meningkatkan dan mewujudkan kualitas
5. Assurance: Jaminan adanya kepastian
birokrasi yang spritual.
kualitas dan kuantitas pelayanan.
Lebih lanjut, dikatakan Budiman Rusli 2. Reaktualisasi Kinerja Aparat
bahwa ke lima indikator ini memang beranjak Dewasa ini, bukan saja betapa pentingnya
dari dunia bisnis yang telah lama dipergunakan redefinisi peran fungsional birokrasi publik,
di sektor pemerintah. Nampak bahwa indikator namun juga disertai dengan reaktualisasi
yang dibuat masih perlu dijabarkan lebih lanjut totalitas performa PNS sebagai unsur utama
agar secara bertahap dapat ditindaklanjuti. birokrasi pemerintahan. Dalam hal ini, tentunya
Untuk itu sudah dibuat oleh pemerintah sebuah memerlukan perubahan budaya kerja aparatur
peraturan pemerintah berkaitan dengan standar yang mencakup perubahan pola pikir (mindset),
pelayanan minimal. Peraturan Pemerintah ini nilai-nilai (values), perilaku maupun cara kerja
harus dilaksanakan di setiap instansi pemerintah (kultur birokrasi) terutama dalam pemberian
baik di pusat maupun di daerah. pelayanan kepada masyarakat.
Peran fungsional dan kompetensi aparatur Liddle (1992:145) dalam tesisnya
birokrasi di mana pun levelnya berada adalah mengatakan bahwa suatu sistem pemerintahan
memberikan pelayanan yang adil terhadap yang sekaligus demokratis, efektif dan stabil
kehendak dan keinginan rakyat sebagai bagian bercirikan birokrasi negara yang mampu
penting aktualisme dimensi kinerja, etika dan melaksanakan kebijaksanaan pemerintah.
moral selaku alat pemerintah yang bekerja Tanpa birokrasi yang kompeten, pemerintah
untuk kepentingan masyarakat (publik). Kinerja apa pun tidak akan berhasil. Bahkan, pernyataan
pelayanan publik merupakan salah satu tolok klasik Fred W. Riggs (dalam Apter, 1998) kuat
ukur untuk melihat citra birokrasi yang baik. terngiang: “bahwa pelayanan publik yang baik
Kalau ”nilai” pelayanan publik terus- adalah hakiki bagi pemerintahan yang efektif”.
menerus memburuk, kita kuatir makin menjadi Tentu imperatif praksisnya sebenarnya
potensi gagalnya governance dari pemerintahan sudah mulai mendarat ke arah pembentukan
yang ditandai dengan semakin merosotnya profil birokrasi yang modern dan kompeten
kepercayaan publik (public trust). Bila sudah melalui reformasi birokrasi. Semua dilakukan
begitu, bagaimana menahan sikap publik yang agar sosok aparatur menjadi makin mumpuni:
mulai miris dan kecewa dengan budaya kerja profesional dan kompeten. Tidak saja memiliki
aparat pemerintahan. keahlian, moral, atau etika dan perilaku atau
Bila itu yang terjadi, maka ini pertanda tindak tanduk melainkan juga pelayanan
bahwa budi pelayanan sebagai work-ethics terhadap orang, masyarakat atau lingkungan
sejatinya tidak lagi berorientasi serving the (Pamungkas, 1990).
public sebagai upaya membangun kepercayaan Bukan hanya memiliki kecakapan
publik. Jadi, jangan biarkan sinisme terhadap managerial, technical dan human skill seturut
sikap, cara dan budaya kerja, hasil serta proses tingkatan dalam level manajemen sebagai
pelayanan birokrasi bertambah besar dengan kualitas pribadi dan aktualisasi semangat
membiarkan munculnya bibit ketidakpercayaan serta nilai-nilai jiwa korsa sebagai citra diri;
rakyat terhadap pemerintahan dan pejabat tapi juga mampu menampilkan performa
150 J u r nJaul r n a l
Ilmu Administrasi Volume XIII | Nomor 1 | April 2016
Ilmu Administrasi
Media Pengembangan dan Praktik Administrasi
Media Pengembangan dan Praktik Administrasi
Reaktualisasi ‘Semangat Kepublikan Birokrasi’ di Era Reformasi
} Dadi Junaedi Iskandar
optimal dalam pola pikir, pola sikap melayani, Singkatnya, jangan ada ruang untuk
berbudaya produktif, serta mampu menjalankan terjadinya “perselingkuhan” dan “main mata”
manajemen berbasis kinerja yang berorientasi untuk ber-“TST” (“tau sama tau”), karena rumus
kepada peyanan prima terhadap masyarakat. budaya kerja aparat publik, citranya sangat
Namun dalam kenyataan, birokrasi publik ditentukan oleh derajat moralitas, semangat
menjadi telanjur disalahpahami sebagai institusi kerja pengabdian totalitas performance ketika
publik, tempat di mana muara bagi hampir melakoni setiap tugas pekerjaannya sebagai
segala macam ketidakpuasan orang terhadap abdi masyarakat.
keburukan dan kelemahan organ pemerintah. Bila itu yang tercermin dalam sikap kerja
Setiap orang mengidentikkan birokrasi dengan aparat, maka mungkin sembilan dari sepuluh
ketidakbecusan, kelambanan, kekakuan, dan orang yang pernah berurusan dengan aparat
kecurangan yang berlangsung di kalangan menyangkut berbagai urusan pelayanan sipil
pemerintah. termasuk pelayanan dasar (minimal), seperti
Pengaburan makna birokrasi yang ber dalam pengurusan surat-surat penting, terlebih
kembang di masyarakat, sepertinya telah lagi perizinan, pernah merasa puas atas layanan
selaras dengan pemaknaan sebagai sebuah prima yang diberikan. Bila terwujud, maka
kebenaran yang telah diperkosa oleh kepalsuan secara substansial berarti bahwa makna kerja
sebagaimana diyakini Filsuf Swiss, Henri bagi pegawai negeri adalah ibadah dan mencari
Frederic Amel. Masihkah kenyataan ini maslahat untuk kebaikan rakyat yang dilayani.
terus berlangsung dan semakin menemukan
kekaburannya oleh karena kita kurang 3. Melembagakan Etika Sosial
sungguh-sungguh memaknai imperatif etiknya Ketika perbuatan korupsi dan suap
betapa penting arti sebuah reformasi mental memasuki urat nadi keluarga, maka sudah
dalam budaya kerja; dan bukan sikap permisif pasti hubungan segitiga: ayah-ibu-anak,
membiarkan suatu karakter birokrasi ambtenaar. menjadi terganggu keharmonisannya. Padahal
Belum lama ini, lembaga tersebut juga di ranah keluargalah tempat segala sesuatu
merilis temuan mengenai adanya pungutan liar edukasi, pesan etika dan moral, ajaran tentang
di Kota Bandung. Secara spesifik disebutkan kejujuran, dan komukasi tentang kebenaran
tentang dugaan pungli dalam pelayanan diinternalisasikan secara intensif.
perizinan usaha kecil menengah sektor Celakanya, perbuatan perbuatan koripsi
perdagangan, serta hotel dan restoran. dan penyuapan justeru semakin menggambarkan
Atas temuan itu, hendaknya tidak lantas secara telanjang ihwal putusnya “urat malu”,
kebakaran jenggot, dan mencari kambing tindakan “berani menyerempet bahaya”,
hitam. Jauh lebih penting mencari solusi yang sekaligus secara sadar rasa bersalah menjadi
bijak untuk memperbaiki kondisi kultural, tumpul, sehingga perbuatan menyuap tidak lagi
aspek etik-moral dan mind-set aparat birokrasi dianggap sebagai suatu hal yang memalukan.
pelayanan melalui suatu program dan kebijakan Etos, etika sosial, moralitas ali-alih terdegradasi
yang positif. Artinya, semakin menjadi pemicu sistematis, dan secara perlahan menjauhkan
untuk menyentak kesadaran posisional manusia dari ruang kudusnya. Sebaliknya libido
membangkitkan budaya kerja dan kinerja dan nafsu serba instingtif untuk menggenggam
aparat pelayanan publik. kekuasaan menjadi fenomena yang tajali dan
Sudah saatnya memupus cara kerja ’kalau merebak di kalangan elite menggerus martabat
bisa dipersulit kenapa dipermudah’. ’kalau kemanusiaan, kepantasan dan kepatutan.
bisa diperlambat kenapa dipercepat’, menjadi Sebuah keluarga yang terseret masalah
sesuatu hal yang wajib dilakukan kebalikannya. korupsi dan suap menunjukkan bahwa semakin
Begitu pun, semua pintu mudlarat dalam robek dan tercabiknya tatanan sosial dalam
melayani rakyat harus ditutup rapat-rapat, dan membingkai harga diri keluarga, serta makin
katakan tidak untuk kerja yang jelek, lamban, hancurnya dinding-dinding moralitas yang
berbelit-belit, harus selalu ada ”uang pelicin”, seharusnya menjkadi bingkai normatif dalam
sogokan, atau ragam praktik moonlighting, membatasi perilaku. Bagaimana pun saat ini, kita
termasuk ‘uang rokok’, atau ‘pelumas’ lainnya sedang menyaksikan betapa sikap keteledanan
yang bersembunyi di balik selubung dan dalih di satu sisi mulai langka, sementara di sisi lain
‘biaya administrasi’. anomaly justreru mulai hidup di kalangan elite.
Segera harus disadari bahwa dimensi bertanya pada setiap anggota keluarga,
akhlak, etika dan moralitas merupakan harga dengan tetap memelihara kesantunan dalam
mati sekaligus sebagai standardisasi dan berkomunikasi.
pedoman tingkah laku seorang manusia kudus Kedua, ada pemaknaan sungguh-sungguh
(bernurani). Terdegradasinya moralitas dan terhadap sikap kritis, khususnya terhadap
mentalitas manusia dari ruang kudusnya, anak. Mereka mungkin terlalu “lugas”, ketika
dan terlepas dari balutan perilaku hanif mengemukakan “unek-unek” dan persepsinya
dalam bingkai kemanusiaan, maka niscaya tentang “sesuatu”. Tetapi kepolosannya itu
terbukalah segala peluang penyelewengan atau seyogiyanya didekati dan diselami hingga ke
penyimpangan. Semua menjadi serba absurd dasar nuraninya, Ini berarti, selama ungkapan
yang melantarankan setiap langkah, jadinya itu bukan sikap stereotive atau syak wasangka,
tidak berdasarkan keputusan pribadi yang etis hal ini mesti ditanggapi secara positif, sebagai
dan bertanggung jawab terhadap suara hati, suara hati yang masih suci dan tulen. Selebihnya,
pesan moral dan ketentuan hukum. seyogianya dimaknai sebagai tanggung jawab
Pada gilirannya, korupsi dan suap sebagai moral yang berdasarkan kepada asas praduga
gejala, bisa makin runyam bilamana etika sosial tak bersalah.
(public morality), etos-logos-pathos, semakin Ketiga, mengajarkan kejujuran dan
meluntur di dalam kehidupan. Prinsip-prinsip mengkomunikasikan kebenaran, khususnya
moral yang mendasar dalam tata nilai sosial kepada anak dan menjalin hubungan segitiga
yang terdefinisi dalam nilai-nilai adilihung dan yang seimbang-harmonis sehingga lingkungan
kearifan semakin kehilangan kemampuannya dan kultur yang berkembang di dalam keluarga
dalam membingkai atau menggiring pikiran berkembang ke arah dan suasana yang
dan tingkah laku dari perbuatan destruktif yang dapat mendorong tumbuhnya sikap saling
merugikan. Ekses yang ditimbulkannya tidak mengontrol, termasuk mengemukakan sesuatu
semata-mata berbicara tentang aliran uang hal yang secara penuh apa adanya, dan bukan
haram demi kekuasaan, tetapi motivasi dari sesuatu yang cenderung basa-basi.
praktik penggunaan dan pelibatan uang haram Dengan demikian, untuk menghadang dan
tersebut ujung-ujungnya akan melukai banyak memberantas korupsi dibutuhkan formasi gerak
orang termasuk hati rakyat. simultan antaranasir kekuatan infrastruktur
Keluarga semestinya menjadi area sekaligus politik (keluarga) menjadi sinergi kekuatan
episentrum bagi pendektan dan pencegahan yang bermuara dalam wujud raksasa lain yang
korupsi. Caranya dengan menumbukan bernama demokrasi. Sebab, demokratisasi yang
sikap mental berani dalam mengeluarkan sehat, siap melumat siapa pun, dan sekecil atau
pikiran-pikiran yang tulus terhadap anggota sebesar apa pun fenomena, kecenderungan dan
keluarga. Lebih dekat lagi, anak-anak diberi realitas korupsi terpetakan.
peluang dalam menggunakan hak-haknya atau
mengajukan usul: bertanya tentang suatu hal REFERENSI
yang menyangkut soal kekayaan orang tua.
A. Buku
Masalahnya, apakah sikap sekritis itu telah
diajarkan pada anggota keluarga kita? Sehingga Abdullah, Syukur. 1991. ”Budaya Birokrasi
anak-anak dan anggota keluarga lain telah di Indonesia” dalam Profil Budaya Politik
memiliki sikap terbuka dan kritis. Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Barangkali, hanya sebuah keluarga Utama.
yang demokratis yang berani dan kritis Alatas, Syed Hussein. 1981. ”Sosiologi Korupsi”.
dalam mengeluarkan pendapatnya. Sebab, Jakarta: LP3ES.
dalam konfigurasi dan kultur keluarga yang
demokratis, paling tidak berkembang dua Apter, David E, 1988. Pengantar Analisa Politik
nilai dasar: Pertama, terbina iklim keterbukaan (diterjemahkan oleh Setiawan Abadi). Jakarta:
yang kondusif. Artinya ada jaminan kebebasan LP3ES.
berpendapat tanpa prejudice; tidak bersikap Beetham, David, 1990. Birokrasi, diterjemahkan
menghakimi, berjiwa besar dan tanpa tedeng Drs. Sahat Simamora. Jakarta: PT. Bumi
aling-aling dalam mengemukakan usul dan Aksara.
152 J u r nJaul r n a l
Ilmu Administrasi Volume XIII | Nomor 1 | April 2016
Ilmu Administrasi
Media Pengembangan dan Praktik Administrasi
Media Pengembangan dan Praktik Administrasi
Reaktualisasi ‘Semangat Kepublikan Birokrasi’ di Era Reformasi
} Dadi Junaedi Iskandar
Dwiyanto, Agus, dkk. 2008. Reformasi Birokrasi Dati II: Kebijakan dan Pembangunan, FISIP
Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada Unpar, 23 Juli 1992.
University Pers.
Patton, Patricia, 1998, EQ Pelayanan Sepenuh
Evers, Hans-Dieter dan Schiel, Tilman. 1990. Hati, terjemahan Hermes, Jakarta: Pustaka
“Kelompok-kelompok Strategis: Studi Delapatra.
Perbandingan tentang Negara, Birokrasi
Purwanto, Erwan Agus dan Wahyudi
dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga,
Kumorotomo, 2005, Birokrasi Publik
terjemahan Aan Effendi. Jakarta: Yayasan
dalam Sistem Politik Semi-Parlementer,
Obor Indonesia.
Yogyarakta: Gava Media.
Frederickson, H. George. 1988. Administrasi
Riggs, Fred W. (editor), 1986, Administrasi
Negara Baru, terjemahan, Al-Ghozei Usman.
Pembangunan: Batas-batas, Strategi
Jakarta: LP3ES.
Pembangunan Kebijakan dan
Iskandar, Dadi J. 2006. Birokrasi Indonesia Pembaharuan Administrasi, Jakarta:
Kontemporer. Bandung: Alqaprint. Rajawali.
------------, 2014, Analekta (Bunga Rampai Tulisan Rusli, Budiman, 2014, Isu-Isu Krusial
yang Terbit di Media Massa tahun 1991-2014), Administrasi Publik Kontemporer,
dokumentasi pribadi. Bandung: Lepsindo.
------------, Herijanto Bekti, 2011, Birokrasi Vs Sedarmayanti, 2010, Reformasi Administrasi
Borokrasi (draf buku kumpulan tulisan Publik, Reformasi Birokrasi dan
sedang dalam proses/rencana diterbitkan). Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan
Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yan
Kartasasmita, Ginandjar, 1997, Administrasi
Baik), Bandung: PT Refika Aditama.
Pembangunan: Perkembangan dan
Praktiknya di Indonesia. Jakarta: LP3ES. -----------, 2007, Good Governance
(Kepemerintahan yang Baik) dan Good
Kartiwa, HA, Nugraha, 2012, Mengelola
Corpaorate Governance (Tata Kelola
Kewenangan Pemerintahan, Bandung,
Perusahaan yang Baik), Bagian Ketiga,
Lepsindo.
Bandung: Mandar Maju.
Koentjaraningrat, 1974, ”Kebudayaan,
Simamora, Sahat, 1983, Beberapa Aspek
Mentalitas dan Pembangunan”, Jakarta,
Pembangunan Politik: Sebuah Bunga
Penerbit PT Gramedia.
Rampai, (terjemahan) Jakarta: Rajawali.
Liddle, R. William, 1992, Pemilu-pemilu Orde
Sinambela, Lijan Poltak, dkk., 2008, Reformasi
Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik,
Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan, dan
Jakarta: LP3ES.
Implementasi, Jakarta: Bumi Aksara.
Mardiasmo, 2002-b, Akuntansi Sektor Publik,
Sulistiyo, Hermawan, 2006, ”Reformasi
Yogyakarta: Andi Offset.
Birokrasi Indonesia”, Orasi Ilmiah pada
Mariana, Dede dan Caroline Paskarina (ed.), Wisuda Sarjana STIA Bagasasi pada
2010, Merancang Reformasi Birokrasi di tanggal 16 April 2009.
Indonesia, Bandung: AIPI Bandung dan
Thoha, Miftah, 2005, Birokrasi & Politik di
Puslit KPK LPM Unpad.
Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.
Mohtar Mas’oed, 1994, Politik, Birokrasi dan
Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. B. Artikel dan Sumber Lain:
Pamungkas, Sri Bintang, 1990 “Profesionalisme Hendrikus Triwibawanto Gedeona,
dan Dunia Kerja di Masa Mendatang” “Pandangan Ilmu Administrasi Publik
dalam Ulbert Silalahi (Dimensi Kualitas Mengenai Partisipasi Masyarakat dalam
Pelayanan Aparatur Negara dalam Era Penyelenggaraan Negara”, Jurnal Ilmu
Pembangunan Jangka Panjang Tahap II), Administrasi III, Volume VII, No. 4,
Makalah seminar Seminar Sehari Otonomi Desember 2010.
UU RI No 37/2008 tentang Ombusman Republik Harian Pikiran Rakyat, edisi 9 dan 10 Desember
Indonesia. 2014, dan 6 Januari 2015.
Permenpan No PER/01/M.PAN/01/2007 Harian Tribun Jabar, edisi 3 April 2009
tentang Pedoman Evaluasi Pelaksanaan Harian Inilah Koran, edisi 17 Juni 2015
Pengembangan Budaya Kerja Pada Instansi
Pemerintah.
154 J u r nJaul r n a l
Ilmu Administrasi Volume XIII | Nomor 1 | April 2016
Ilmu Administrasi
Media Pengembangan dan Praktik Administrasi
Media Pengembangan dan Praktik Administrasi