Anda di halaman 1dari 35

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan
ridho-Nya referat dengan judul “transplantasi ginjal” dapat terselesaikan.
Transplantasi ginjal adalah pengambilan ginjal dari tubuh seseorang kemudian dicangkokkan ke
dalam tubuh orang lain yang mengalami gangguan fungsi ginjal yang berat dan permanen. Saat ini,
transplantasi ginjal merupakan terapi pilihan pada gagal ginjal kronik stadium akhir yang mampu
memberikan kualitas hidup menjadi normal kembali. Transplanlatasi ginjal telah banyak
dilaksanakan di seluruh dunia, sejumlah lebih dari 20.000 orang tiap tahun. Di Singapura telah
dilakukan lebih dari 842 transplantasi ginjal dengan total donor cadaver 588 dan 282 donor hidup.
Di Indonesia sejak tahun 1977 hingga sekarang baru mampu mengerjakan sekitar 300 lebih
transplantasi. Hal ini disebabkan karena Indonesia masih menerapkan sistem donor hidup. Di Bali,
selama enambelas tahun terakhir 46 pasien ( 35 orang laki-laki dan 11 orang perempuan ) penyakit
ginjal stadium akhir menjalani transplantasi ginjal, sebagian besar diantaranya dikerjakan di luar
negeri dengan menggunakan donor cadaver. Pada dasarnya tujuan utama transplantasi ginjal
adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dan harapan hidup bagi penderita gagal ginjal.
Kelangsungan hidup pasien-pasien transplantasi ginjal ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya
adalah skrining penderita, persiapan pratransplantasi, pendekatan bedah yang diambil pada waktu
transplantasi dan penatalaksanaan penderita paska transplantasi termasuk penggunaan obat-obat
imunosupresif.
Terimakasih kepada dr.Arif, Sp.PD selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan
pencerahan yang telah diberikan dalam referat ini, kedua orang tua dan keluarga yang senantiasa
memberikan doa, semangat dan motivasi, juga rekan seperjuangan Co-Assisten Dept, Penyakit
Dalam RSUD Karawang.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam menghadapi ujian akhir
kepaniteraan klinis dan ujian sesungguhnya dalam praktek klinis nanti.

Karawang, Januari 2015


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................1
DAFTAR ISI.....................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................

BAB II DEFINISI.............................................................................................................

BAB III TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................

BAB IV KESIMPULAN...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran saat ini telah berkembang dengan
pesat. Salah satu diantaranya adalah teknik transplantasi organ manusia. Transplantasi
organ manusia merupakan suatu teknologi medis untuk penggantian organ tubuh pasien yang
tidak berfungsi lagi dengan organ dari manusia lain yang masih berfungsi dengan baik.
Sejak kesuksesan transplantasi ginjal yang pertama kali pada 23 Desember 1954, maka teknologi
medis transplantasi mengalami perkembangan yang luar biasa. Riset dan pengembangan terus
menerus dilakukan sehingga saat ini sudah ada teknologi yang memungkinkan pengawetan
organ, penemuan obat-obatan anti penolakan yang semakin canggih dan baik sehingga
memungkinkan berbagai organmanusia dapat ditransplantasikan dan donor tidak melulu berasal
dari kalangan keluarga sedarah saja, tapi siapapun bisa menjadi donor dengan adanya obat-
obatan anti penolakan ini. Di Indonesia sendiri transplantasi pertama berhasil dilakukan pada
tahun 1977 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Abad ini transplantasi organ telah menjadi salah satu jalan keluar yang paling berarti
dalam dunia kedokteran modern, banyak nyawa manusia yang tertolong dengan cara
transplantasi organ ini. Didukung dengan semakin majunya ilmu dan teknologi bidang
transplantasi organ manusia maka tingkat keberhasilan dari transplantasi yang dilakukan pun
semakin tinggi. Tingkat kelangsungan hidup dari pasien penerima donor pun saat ini sangat
tinggi, sehingga akibatnya permintaan untuk melakukan transplantasi maupun akan organ itu
sendiripun meningkat secara global diseluruh dunia termasuk di Indonesia.
Tingginya permintaan transplantasi yang tentu saja diikuti dengan tingginya
permintaan organ tersebut tidak diikuti dengan tingginya tingkat persediaan organ.
Menurut data dari WHO tranplantasi organ telah dilakukan di 91 negara di dunia. Pada tahun
2005 ada sekitar 66.000 ribu transplantasi ginjal, 21.000 transplantasi hati dan 6000 transplantasi
1
ginjal dilakukan diseluruh dunia . Sedangkan menurut laporan dari Mayo Clinic lebih dari
101,000 orang tengah menanti untuk operasi transplantasi organ tubuh, dan dari jumlah
tersebut setiap tahunnya meningkat terus, dan ironisnya tidak semua orang yang
membutuhkan donor tersebut akan mendapatkan donor sebagaimana yang diharapkan. Setiap
2
harinya 19 orang meninggal dalam penantian untuk mendapatkan donor organ. Di Indonesia
menurut Usul Majadi Sinaga dalam pidato pengukuhan guru besarnya di Universitan Sumatera
Utara mengatakan ada lebih 100.000 orang penderita gagal ginjal di Indonesia, yang
3
membutuhkan donor ginjal. Sedangkan Menteri Kesehatan Dr dr Endang Rahayu
Sedyaningsih sebagaimana dikutip dari harian Kompas Senin 15 Maret 2010, lebih dari 600
orang membutuhkan cangkok hati di Indonesia.
Berdasarkan data tersebut diatas terlihat bahwa kebutuhan akan donor organ
manusia di Indonesiapun cukup tinggi. Akan tetapi tingginya kebutuhan akan organ tersebut
di Indonesia juga tidak diikuti dengan ketersediaan organ. Mencari donor organ tubuh di
Indonesia masih sangat sulit. Kesadaran masyarakat Indonesia, baik itu individu maupun
anggota keluarganya untuk mendonorkan organ tubuh masih sangat rendah. Rendahnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya menjadi donor organ didorong oleh kurangnya
pemahaman terhadap pentingnya ketersediaan organ bagi manusia lain, bagi kelangsungan
hidup penderita gagal organ, disamping sosiokultur dan pandangan keagamaan yang
menghambat kesadaran untuk mendonorkan organnya. Sehingga tidaklah mengherankan
donor sangat sulit didapatkan di Indonesia.
LAPORAN KASUS

Nama : I Wayan Sandika / Laki-laki / 30 tahun (06/05/1987)


MRS : 16/08/2017; Pukul 10.06 WITA
Alamat : Br. Dinas Tampad Batubulan Gianyar
DPJP Anestesi : Dr. I Ketut Wibawa Nada, Sp.An., KAKV
DPJP Bedah : Tim Tranplantasi RSUP Sanglah
Diagnosis : Chronic Kidney Disease Stage V on Hemodialisis
Tindakan : Renal Trasplant (Recipient)

Anamnesis

Pasien datang sadar dengan rencana dilakukan tindakan transplantasi ginjal. Sat ini pasien
tidak ada keluhan. Awalnya pada tahun 2005 pasien pernah memeriksakan diri ke dokter spesialis
dengan keluhan bengkak di seluruh tubuh. Keluhan bengkak tidak disertai sesak napas dan
gangguan BAK. Pasien dikatakan mengalami gangguan ginjal dan berobat jalan rutin selama 3
tahun. Pada tahun 2008 pasien mengaku tidak ada keluhan dan mulai tidak teratur kontrol ke
dokter.
Pada tahun 2011 pasien kembali mengalami keluhan serupa yang dirasakan tidak dapat
ditahan sehingga kembali ke dokter spesialis. Pasien segera mendapat tindakan pemasangan av-
shunt untuk terapi cuci darah dengan jadwal 1x tap minggu. Mulai tahun 2014 2x tap minggu.
Pasien mulai berobat di RSUP Sanglah sejak tahun 2011 dan mendaftarkan diri untuk
program cangkok ginjal sejak Januari 2017. Pada bulan Mare 2017 pasien telah mendapat
persetujuan tim dan mulai dipersiapkan untuk cangkok ginjal. Cuci darah ditingatkan menjadi 3x
tap minggu.
Pasien juga mendapat pengobatan hipertensi secara oral sejak 2005, awalnya Captopril 12,5
mg tap 8 jam, namun karena mengalami keluhan batuk, sehingga diganti Amlodipine 10 mg dan
Candesartan 16 mg masing-masing tap 24 jam. Pada akhir 2015 hingga akhir 2016 sempat
mendapat tambahan Clonidine 0, 15 mg tap 24 jam karena tekanan darah bertahan 190-200/100-
110 mmH, namun sat ini kembali dua jenis saja dan tekanan darah rerata adalah 140-150 /90-100
mmHg.
Pasien adalah seorang penabuh gamelan di banjar tempat tinggal, yang semenjak sakit
masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari tapa bantuan. Pasien dapat menaiki tanga hingga 2
lantai tapa keluhan. Pasien masih dapat berhubungan badan satu kali dalam seminggu. Pasien
sudah mengerti tentang sakitnya dan membatasi air minum hingga 800 ml. total bersama cairan
dalam makanan adalah sekitar 1000 ml.
Riwayat alergi : sempat mengalami kemerahan dan gatal sat transfusi darah lebih dari 2 tahun lalu
(2015).
Riwayat penyakit sistemik lain seperti asma, diabetes, gangguan jantung dan paru tidak ada.
Riwayat operasi tidak ada

Pemeriksaan Fisik
BB: 56 kg, TB: 160 cm; BMI: 21,88 kg/m'; Tax: 36,6°C, VAS: diam 0/100 mm, VAS gerak 0/100
mm.
SSP : Compos mentis, kooperatif
Respirasi : RR 16 x/menit; vesikuler, rhonki dan wheezing tidak ada; Sp02 99%
Kardiovaskular : BP 150/90 mmHg; HR 90x/menit, regular; Si S2 tunggal, murmur tidak
Gastrointestina : Bising usus dalam batas normal, distensi tidak ada, nyeri spontan dan
tekan tidak ada.
Urogenital :BAK tidak ada produksi
Muskuloskeletal : Fleksi / defleksi leher dalam batas normal, Mallampati II, CIS lumbalis
teraba baik tapa tanda-tanda infeksi di sekitarnya.

Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap (18/08/2017) :
WBC 5,11x10¾L (4,10-11,0);
HGB 11,84 g/dL (13,5-17,5);
HCT 38,64% (41,0-53,0);
PLT 213,80 x10/ ML (150-440)
Faal Hemostasis (18/08/2017) :
PPT 13,2 (10,8-14,4) detik;
APTT 34,7 (24-36) detik;
INR 1,07 (0,90-1,10); (15/08/2017)
BT 1,30 menit (24-36),
CT 8,30 menit (5,00-15,00)
Kimia Darah (18/08/2017) :
SGOT 16,2 U/L (11,0-33.0);
SGPT 12,80 U/L (11.0-50,0);
BUN 34,9 mg/dL (8,00-23,00);
SC 11,15 mg/dL (0,70-1,20);
CCT 7,67 ml/mnt;
GDP 78 mg/dl (80-100);
GD2jamPP 112 mg/dl (70-140)

AGD dan Elektrolit (18/08/2017):


pH 7,48 (7,35-7,45),
pOz 121,40 mmHg (80,00-100,00),
pCO2 42,4 mmHg (35,00-45,00),
HCO3 30,70 mmol/L (22,00-26,00),
BEecf 7,2 mmol/L ((-2)-2),
SO2c 98,6% (95-100%),
TCO2 32,00 mmol/L (24,00-30,00),
Natrium 134 mmol/L (136-145),
Kalium 3,64 mmol/L (3,50-5,10),
Chlorida 107 mmol/L (96-108)

Pemeriksaan Penunjang
EKG (18/08/2017) : sinus ritme, HR 75x/menit, aksis RAD, ST-T change.
Thorax PA (16/08/2017) : cor (CTR 45%) dan pulmo tak tampak kelainan.
Foto BOF (16/08/2017) : Tak tampak batu radioopaque di sepanjang traktus urinarius,
sentinel loop pada kuadran kiri abdomen. spina bifida
vertebra S1
Echocardiography (27/07/2017) : dimensi ruang jantung normal, LVH concentric, fungsi
sistolik LV normal (EF 73%), fungsi sistolik RV normal (TAPSE 2,4 cm), fungsi diastolik
LV normal, wall motion global normokinetik, katup aorta normal, mitral MR mild,
tricuspid TR trvial, pulmonal PR trivial, e-RAP 3 mmHg, pericardium normal. Kesan :
LVH concentric, MR Mild.

Permasalahan dan Kesimpulan

Permasalahan Aktual :
KV : Hipertensive Heart Disease terkontrol dengan FC II dan skor METs 5-6,
Thorax PA (16/08/2017) :cor (CTR 45%) dan pulmo tak tampak kelainan.
Echocardiography (27/07/2017) dimensi ruang jantung normal, LVH
concentric, fungsi sistolik LV normal (EF 73%), fungsi sistolik RV normal
(TAPSE 2,4 cm), fungsi diastolic LV normal, wall motion global
normokinetik, katup aorta normal, mitral MR mild, tricuspid TR trvial,
pulmonal PR trivial, e-RAP 3 mmHg, pericardium normal. Kesan : LVH
concentric, MR Mild.

UG : End Stage Renal Disease on rutin HD (BUN 34,9 mg/dL (8,00-23,00); SC


11,15 mg/dL (0,70-1,20); CCT 7,67 ml/mnt)

Permasalahan Potensial : hipotensi, perdarahan


Permasalahan Bedah :
Lokasi : Abdomen
Posisi : telentang
Durasi : 4-5 jam
Manipulasi :perdarahan
BAB II
DEFINISI

Secara Etimologi transplantasi berasal dari Middle English transplaunten, diambil dari
6
Bahasa Latin Kuno transplantare, yang artinya to plant. Definisi Transplantasi, yang diambil
dari bahasa Inggris “Transplantation”(to transplant) menurut kamus Webster Medical
Dictionary online, didefinisikan sebagai:
The grafting of a tissue from one place to another, just as in botany a bud from one plant might
be grafted onto the stem of another. The transplanting of tissue can be from one part of the
patient to another (autologous transplantation), as in the case of a skin graft using the
patient's own skin; or from one patient to another (allogenic transplantation), as in the case of
7
transplanting a donor kidney into a recipient.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online transplantasi adalah
pemindahan jaringan tubuh dr suatu tempat ke tempat lain (seperti menutup luka yg tidak berkulit
8
dengan jaringan kulit dari bagian tubuh yg lain: Menurut Medicastore, pencangkokan
(Transplantasi) adalah pemindahan sel, jaringan maupun organ hidup dari seseorang (donor)
kepada orang lain (resipien atau dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lainnya (misalnya
9
pencangkokan kulit), dengan tujuan mengembalikan fungsi yang telah hilang.
Menurut WHO, Transplantation is the transfer (engraftment) of human cells, tissues
10
or organs from a donor to a recipient with the aim of restoring function(s) in the body. Jadi
dapat disimpulkan transplantasi atau pencangkokan adalah pemindahan organ sel, atau jaringan
dari si pendonor kepada orang lain yang membutuhkan penggantian organ disebabkan
kegagalan organ, kerusakan sel maupun jaringan dengan tujuan untuk mengembalikan fungsi
organ, sel, maupun jaringan yang telah rusak tersebut. Akan tetapi dalam perkembangannya
khusus untuk sel, dunia kedokteran khususnya di bidang kedokteran regenerasi
(regenerative medicine) saat ini pun telah memungkinkan untuk menumbuhkan kembali sel si
pasien itu sendiri dengan sel induk atau sel yang diesktrasi dari organ yang rusak.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Transplantasi Organ


Transplantasi merupakan salah satu hal yang paling luar biasa yang telah dicapai dalam
dunia kedokteran modern. Transfusi darah merupakan jenis transplantasi yang paling
sering dilakukan. Transplantasi telah menyelamatkan banyak nyawa manusia di dunia, lebih
dari ribuan orang pertahun diseluruh dunia dapat diselamatkan nyawanya melalui
11
transplantasi ini. Bahkan Dr. Paul Terasaki dari UCLA, melaporkan sejak tahun 1950
12
hingga 1997 sebanyak 544,313 orang diseluruh dunia menerima transplantasi organ.
Berikut sejarah Transplantasi Organ.
1. 1902Transplantasi Menjadi Memungkinkan
Alexis Carrel memperlihatkan penggabungan pembuluh darah sehingga transplantasi organ
menjadi memungkinkan untuk pertama kalinya. Operasi penggabungan pembuluh darah
tersebut merupakan salah satu tehnik operasi ditemukan oleh dokter Alexis Carrel.
Langkah maju ini membuka kemungkinan untuk lebih lanjut melakukan operasi
transplantasi dengan membiarkan jaringan yang ditransplantasikan terhubung dengan
suplai darah. Carrel terus melakukan riset terhadapa transplatasi organ dan kemudian
menemukan mesin yang dapat menjaga organ tetap hidup diluar tubuh selama transplantasi
berlangsung. Carrel mendapatkan Nobel Prize untuk Kedokteran tahun 1912.
2. 1905Transplantasi Kornea Mata Pertama
Pertama kali dilaporkan transplantasi kornea mata terjadi di Olmutz, Moravia, bulan
December 1905. Pada tanggal 7 Desember 1905 melakukan untuk pertama kali
transplantasi kornea mata, terhadap pekerja yang buta akibat kecelakaan setahun
sebelumnya. Setelah beberapa jam operasi pekerja tersebut dapat melihat kembali untuk
seumur hidupnya. Operasi ini membuktikan bahwa transplantasi dapat berhasil dilakukan.
Saat ini lebih dari 2400 transplantasi mata dilakukan setiap tahunnya. Transplantasi mata
merupakan hal yang unik karena tidak membutuhkan suplai pembuluh darah untuk tetap
hidup (survive) dan kornea mata dapat didonasikan hingga 24 jam setelah kematian dan
13
dapat dilakukan semua orang dengan berbagai umur.
3. 1918Transfusi Darah
Selama Perang Dunia I, transfusi darah menjadi semakin dikuatkan telah menyelamatkan
banyak nyawa operasi menjadi mungkin untuk pertama kalinya. Ada banyak usaha
transfusi darah yang tidak berhasil dalam ratusan tahun tetapi mereka selalu gagal
karena ilmu pengetahuan dibelakang darah tidak terlalu dimengerti. Dengan golongan
darah dan pengembangan anti pembekuan, darah dapat disimpan untuk tranfusi dengan
hasil yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Selama perang Dunia pertama, tentara Inggris
menggunakan teknologi ini untuk membuat “Depot Darah”sebagai tempat
penyimpanan, ini merupakan bentuk awal dari bank darah.
4. 1954Keberhasilan Transplantasi Ginjal Pertamakali
Keberhasilan sesungguhnya pertamakalinya dalam transplantasi ginjal dilakukan oleh
Dr. Joseph Murray dan Dr. David Hume, Brigham Hospital, Boston, Massachussetts.
Tehnik kedokteran yang terus berlanjut ini telah berhasil menyelamatkan lebih dari
400,000 nyawa diseluruh dunia. Dr Joseph Murray dan teamnya mentransplantasikan
ginjal dari Ronald Herrick kepada saudara kembarnya yang sekarat Richard. Operasi tersebut
menyelamatkan nyawa saudara kembarnya. Ginjal biasanya didonorkan pada saat
pendonor meninggal (in articulo mortis), akan tetapi 1/3 biasanya pada saat pendonor
hidup, dan pendonor ini dapat melanjutkan kehidupannya hanya dengan satu ginjal.
Sekarang ginjal merupakan organ yang paling banyak ditransplantasikan.

B. Jenis-jenis Transplantasi
Transplantasi merupakan hal luar biasa ditemukan dalam dunia kedokteran modern.
Melibatkan donasi organ dari satu manusia kepada manusia lain yang menjadikan ribuan
orang diseluruh dunia setiap tahunnya terselamatkan jiwanya.

Dari Segi Pemberi Organ (Pendonor)


Jika ditinjau dari sudut penyumbang atau donor atau jaringan tubuh, maka transplantasi
dapat dibedakan menjadi:
1. Transplantasi dengan donor hidup
Transplantasi dengan donor hidup adalah pemindahan jaringan atau organ tubuh
seseorang yang hidup kepada orang lain atau ke bagian lain dari tubuhnya sendiri
tanpa mengancam kesehatan. Biasanya yang dilakukan adalah transplantasi ginjal,
karena memungkinkan seseorang untuk hidup dengan satu ginjal saja. Akan tetapi
mungkin bagi donor hidup juga untuk memberikan sepotong/sebagian dari
organ tubuhnya misalnya paru, hati, pankreas dan usus. Juga donor hidup dapat
memberikan jaringan atau selnya degeneratif, misalnya kulit, darah dan sumsum tulang.
2. Transplantasi dengan donor mati atau jenazah
Transplantasi dengan donor mati atau jenazah adalah pemindahan organ atau
jaringan dari tubuh jenazah orang yang baru saja meninggal kepada tubuh orang lain
yang masih hidup. Pengertian donor mati adalah donor dari seseorang yang baru saja
meninggal dan biasanya meninggal karena kecelakaan, serangan jantung, atau
pecahnya pembuluh darah otak. Dalam kasus ini, donasi organ akan dipertimbangkan
setelah usaha penyelematan mengalami kegagalan. Pasien mungkin meninggal dalam
kamar emergensi ataupun dalam kondisi mati batang otak. Jenis organ yang biasanya
didonorkan adalah organ yang tidak memiliki kemampuan untuk regenerasi misalnya
14
jantung, kornea, ginjal dan pankreas, hati, jantung dan hati.

Dari Penerima Organ (Resipien)


Sedangkan ditinjau dari sudut penerima organ atau resipien, maka transplantasi dapat
dibedakan menjadi:
1. Autograft
Autotransplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam
tubuh orang itu sendiri. Biasanya transplantasi ini dilakukan pada jaringan yang
berlebih atau pada jaringan yang dapat beregenerasi kembali. Sebagai contoh tindakan
skin graft pada penderita luka bakar, dimana kulit donor berasal dari kulit paha yang
kemudian dipindahkan pada bagian kulit yang rusak akibat mengalami luka bakar.
Kemudian dalam operasi bypass karena penyakit jantung koroner.
2. Isograft
Termasuk dalam autograft adalah "syngraft" atau isograft yang merupakan prosedur
transplatasi yang dilakukan antara dua orang yang secara genetik identik. Transplantasi
model seperti ini juga selalu berhasil, kecuali jika ada permasalahan teknis selama
operasi. Operasi pertama ginja yang dilakukan pada tahun 954 merupakan operasi
transplantasi syngraft pertama antara kembar identik.
3. Allograft
Allograft adalah pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke tubuh
orang lain. Misalnya pemindahan jantung dari seseorang yang telah dinyatakan
meninggal pada orang lain yang masih hidup. Kebanyakan sel dan organ manusia
adalah Allografts.
4. Xenotransplantation
Xenotransplantation adalah pemindahan suatu jaringan atau organ dari species bukan
manusia kepada tubuh manusia. Contohnya pemindahan organ dari babi ke tubuh
manusia untuk mengganti organ manusia yang telah rusak atau tidak berfungsi baik.
5. Transplantasi Domino (Domino Transplantation)
Merupakan multiple transplantasi yang dilakukan sejak tahun 1987. Donor
memberikan organ jantung dan parunya kepada penerima donor, dan penerima donor ini
memberikan jantungnya kepada penerima donor yang lain. Biasanya dilakukan
pada penderita "cystic fibrosis" (hereditary disease) dimana kedua parunya perlu
diganti dan secara teknis lebih mudah untuk mengganti jantung dan paru
sebagai satu kesatuan. Biasanya jantung dari penderita ini masih sehat, sehingga
jantungnya dapat didonorkan kepada orang lain yang membutuhkan.

C. Transplantasi Dibagi (Transplantation Split)


Kadangkala donor mati khususnya donor hati, hatinya dapat dibagi untuk dua
penerima, khususnya dewasa dan anak, akan tetapi transplatasi ini tidak dipilih karena
transplantasi keseluruhan organ lebih baik.
a. Dari Sel Induk (Stem Cell)
15
Sedangkan khusus mengenai transplantasi sel induk dibedakan menjadi:
 Transplantasi sel induk dari sumsum tulang (bone marrow transplantation)
Sumsum tulang adalah jaringan spons yang terdapat dalam tulang-tulang besar seperti
tulang pinggang, tulang dada, tulang punggung dan tulang rusuk. Sumsum tulang
merupakan sumber yang kaya akan sel induk hematopoetik.
 Transplantasi sel induk darah tepi (peripheral blood stem cell transplantation)
Peredaran tepi merupakan sumber sel induk walaupun jumlah sel induk yang
terkandung tidak sebanyak pd sumsum tulang untuk jumlah sel indukmencukupi
suatu transplantasi. Biasanya pada donor diberikan granulocyte-
colony stimulating factor (G-CSF). Transplantasi dilakukan dengan proses yang disebut
Aferesis.
 Transplantasi sel induk darah tali pusat (Stem cord)
Darah tali pusat mengandung sejulah sel induk yang bermakna dan memiliki
keunggulan diatas transplantasi sel induk dari sumsum tulangatau dari darah tepi
bagi pasien-pasien tertentu.Transplantasi sel induk dari darah tali pusat telah
mengubah bahan sisa dari proses kelahiran menjadi sebuah sumber yang dapat
menyelamatkan jiwa. Transplantasi sel induk merupakan infusi dari sel induk yang sehat
kepada tubuh pasien itu sendiri. Transplantasi sel induk dilakukan apabila sumsum tulang
berhenti memproduksi sel induk yang sehat. Sama dengan transplantasi lainnya jenis
transplantasi induk ada yang sifatnya autograft yaitu tubuh sendiri yang
menghasilkan kemudian ditransplantasi kedalam tubuh sendiri. Allograft apabila
berasal dari donor orang lain asalkan cocok, biasanya yang masih ada hubungan darah,
akan tetapi saat ini bisa juga didapatkan dari donor orang lain. Perlakuan ini biasanya
dilakukan untuk leukemias, lymphomas, dan kelainan lain dari sumsum tulang. Yang
terakhir adalah tandem transplant merupakan Transplantasi “dobel autograft”, sel
induk dikumpulkan terlebih dahulu sebelum dilakukan dosis tinggi chemo, kemudian
ditransplantasikan 2 kali ke pasien itu sendiri biasanya dengan jarak 6 bulan. Cara ini
digunakan untuk penyakit cancer jenis tertenut, termasuk multiple myeloma, Hodgkin
disease, and non-Hodgkin lymphoma.

17
D. Prosedur dan Akibat Transplantasi bagi penerima donor
Transplantasi bisa memberikan keuntungan yang sangat besar bagi orang-orang yang
menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Hal-hal yang terkait dengan prosedur dan
akibat Transplantasi adalah:
1. Pre Transplantasi
 Persiapan dan Evaluasi Pasien
Persiapan dan evaluasi pasien yang ekstensif sangat penting setiap transplantasi organ,
jaringan, sel tertentu memiliki prosedur sendiri-sendiri yang akan dijelaskan kemudian,
akan tetapi secara umum yang harus dilakukan adalah:
i. Riwayat dan pemeriksaan fisik yang lengkap.
ii. Evaluasi terhadap kekuatan psikologis dan emosi .
iii. Pemeriksaan dengan CT (computed tomography) scan atau MRI (magnetic resonance
imaging)
iv. test jantung dengan electrocardiogram (EKG) atau echocardiogram
v. Periksa paru-paru dengan photo dada (x-ray) dan pulmonary function tests (PFTs)
vi. konsultasi dengan ahli lain dalam team transplantasi misalnya dengan dokter gigi, maupun
dokter gizi
vii. test darah lengkap, hitung darah, kimia darah dan skrinning terhadap viruses like hepatitis
B, CMV, and HIV
viii.Human Leukocyte Antigen (HLA)

 Pencarian donor yang sesuai


Mengidentifikasi siapa yang akan menjadi donor utama setelah melalui proses
pencocokan donor. Pencarian donor yang cocok berguna untuk mengurangi beratnya
penolakan dari tubuh resipien terhadap organ yang didonorkan, maka sebaiknya jaringan
donor dan jaringan resipien harus memiliki kesesuaian yang semaksimal mungkin.
ABO dan HLAnya.

2. Saat operasi transplantasi berlangsung


 Kemungkinan timbulnya resiko akibat pembedahan
Setiap operasi apapun selalu memiliki resiko. Resiko dapat diminimalkan dengan :
1. Pemakaian obat-obat immunosupresan yang poten
Pencangkokan organ, jaringan maupun sel merupakan suatu proses yang rumit.
Dalam keadaan normal, sistem kekebalan akan menyerang dan menghancurkan jaringan
asing (keadaan ini dikenal sebagai penolakan transplantasi). Antigen adalah zat yang
dapat merangsang terjadinya suatu reaksi kekebalan, yang ditemukan pada
permukaan setiap sel di tubuh manusia. Jika seseorang menerima jaringan dari
donor, maka antigen pada jaringan yang dicangkokkan tersebut akan memberi
peringatan kepada tubuh resipien bahwa jaringan tersebut merupakan benda asing.
Selain kesamaan golongan darah yang hal lain yang penting adalah human leukocyte
antigen (HLA) merupakan antigen yang paling penting pada pencangkokan jaringan.
Semakin sesuai antigen HLAnya, maka kemungkinan besar pencangkokan akan
berhasil.
3. Pasca Operasi
 Kemungkinan terjadinya penolakan oleh tubuh resipien (hyperacute, acute or
chronic)
Meskipun jenis HLA agak mirip, tetapi jika sistem kekebalan resipien tidak
dikendalikan, maka organ yang dicangkokkan biasanya ditolak. Penolakan biasanya
terjadi segera setelah organ dicangkokkan, tetapi mungkin juga baru tampak
beberapa minggu bahkan beberapa bulan kemudian. Penolakan bisa bersifat ringan
dan mudah ditekan atau mungkin juga sifatnya berat dan progresif meskipun telah
dilakukan pengobatan. Penolakan tidak hanya dapat merusak jaringan maupun organ
yang dicangkokkan tetapi juga bisa menyebabkan demam, menggigil, mual, lelah dan
perubahan tekanan darah yang terjadi secara tiba-tiba.
Penemuan obat-obatan yang dapat menekan sistem kekebalan telah
meningkatkan angka keberhasilan pencangkokkan. Tetapi obat tersebut juga memiliki
resiko. Pada saat obat menekan reaksi sistem kekebalan terhadap organ yang
dicangkokkan, obat juga menghalangi perlawanan infeksi dan penghancuran benda
asing lainnya oleh sistem kekebalan. Penekanan sistem kekebalan yang intensif biasanya
hanya perlu dilakukan pada minggu-minggu pertama setelah pencangkokkan atau jika
terlihat tanda-tanda penolakan.
Berbagai jenis obat bisa bertindak sebagai immunosupresan adalah:
 Cyclosporins (Neoral, Sandimmune, SangCya). Obat ini bekerja dengan cara
menghambat aktivasi T-cell, sehingga mencegah T-cells dari serangan organ
yang ditransplantasikan.
 Azathioprines (Imuran). Obat ini mengganggu sinstesis dari DNA dan RNA termasuk juga
dari pembagian cell.
 Monoclonal antibodies, termasuk basiliximab (Simulect), daclizumab (Zenpax) dan
muromonab (Orthoclone OKT3). Obat ini bekerja dengan cara menghambat
penyatuan interleukin-2, yang akan melambatkan produksi T-cells dalam pasien imune
sistem.
Disamping itu dapat terjadi infeksi dan sepsis akibat dari obat
immunosuppressant drugs yang diperlukan untuk menekan penolakan, kemudian
kelainan Post-transplant lymphoproliferative (bentuk dari lymphoma akibat dari
immunesuppressants), juga terjadi ketidak seimbangan elektrolite termasuk including
kalsium and fosfate yang dapat menimbulkan masalah diantaranya pada tulang. Juga
mungkin terjadi Efek lainnya gangguan pencernaan, meradang dan
bernanahnya pencernaan dan esophagus, hirsutism (pertumbuhan rambut tidak
terkendali pada pria), hair loss, kegemukan, jerawatan, diabetes mellitus type 2,
hypercholesterolemia, dan lainnya.
 Kematian
Akibat penekanan anti penolakan maka menyebakan penurunan kekebalan tubuh
yang berakibat dapat masuknya kuman ke dalam tubuh sehingga menimbulkan
dapat menimbulkan komplikasi hingga berakibat kematian.

E. Proses Tranplantasi Pencangkokan Ginjal


Untuk orang-orang yang ginjalnya sudah tidak berfungsi, pencangkokan ginjal
merupakan alternatif pengobatan selain dialisa dan telah berhasil dilakukan pada semua
golongan umur. Ginjal yang dicangkokkan kadang berfungsi sampai lebih dari 30 tahun.
Orang-orang yang telah berhasil menjalani pencangkokkan ginjal biasanya bisa hidup secara
normal dan aktif. Transplantasi merupakan operasi besar karena ginjal dari donor harus
disambungkan dengan pembuluh darah dan saluran kemih resipien. Lebih dari duapertiga
transplantasi berasal dari donor yang sudah meninggal, yang biasanya merupakan orang sehat
yang meninggal karena kecelakaan. Ginjal dikeluarkan dari tubuh donor, didinginkan dan
segera dibawa ke rumah sakit untuk dicangkokkan kepada seseorang yang memiliki jenis
jaringan yang asama dan seru darahnya tidak mengandung antibodi terhadap jaringan.
Meskipun telah digunakan obat-obatan untuk menekan sistem kekebalan, tetapi
segera setelah pembedahan dilakukan, bisa terjadi satu atau beberapa episode penolakan,
Penolakan ini bisa menyebabkan:
 peningkatan berat badan akibat penimbunan cairan
 demam
 nyeri dan pembengkakan di daerah tempat ginjal dicangkokkan. Pemeriksaan darah
mungkin menunjukkan adanya kemunduran fungsi ginjal.
Untuk memperkuat diagnosis penolakan, bisa dilakukan biopsi jarum (pengambilan contoh
jaringan ginjal dengan bantuan sebuah jarum untuk diperiksa dengan mikroskop). Penolakan
biasanya bisa diatasi dengan menambah dosis atau jumlah obat immunosupresan. Jika
penolakan tidak dapat diatasi, berarti pencangkokkan telah gagal.
Ginjal yang ditolak bisa dibiarkan di dalam tubuh resipien, kecuali jika:
 demam terus menerus
 air kemih mengandung darah - tekanan darah tetap tinggi.
Jika pencangkokkan gagal, maka harus segera kembali dilakukan dianalisa. Upaya
pencangkokkan berikutnya bisa dilakukan setelah penderita benar-benar pulih dari
pencangkokkan yang pertama. Kebanyakan episode penolakan dan komplikasi lainnya
terjadi dalam waktu 3-4 bulan setelah pencangkokkan. Obat immunosupresan tetap
diminum karena jika dihentikan bisa menimbulkan reaksi penolakan. Pemberian obat
immunosupresan dihentikan jika timbul efek samping atau infeksi yang berat. Resiko terjadinya
kanker pada penerima ginjal adalah 10-15 kali lebih besar bila dibandingkan dengan populasi
umum. Resiko terjadinya kanker sistem getah bening adalah sekitar 30 kali lebih besar
daripada normal, hal ini terjadi kemungkinan karena telah terjadi penekana terhadap
sistem kekebalan.

F. Perawatan Pasca Transplantasi Ginjal


Pasien dengan transplantasi ginjal dirawat di tempat terpisah dari pasien lain karena rentan
terhadap infeksi. Jumlah pengunjung harus dibatasi, di beberapapusat transplantasi ginjal, bunga
dan buah tidak diijinkan karena bisa menjadi tempat bersarangnya bakteri. Masa rawat inap di
rumah sakit tergantung pada seberapa baik ginjal telah bekerja dan terjadinya komplikasi. Dialisis
mungkin diperlukan untuk beberapa hari atau minggu sampai ginjal berfungsi cukup untuk
menjaga tubuh dalam keseimbangan kimia yang baik. Rata-rata tinggal adalah 2-4 minggu tetapi
dapat 2-3 bulan. Beberapa pasien dipulangkan lebih awal karena risiko infeksi di rumah sakit.
Mereka perlu kembali tiap hari sebagai pasien rawat jalan selama 2-3 bulan.
G. Komplikasi Pasca Transplantasi Ginjal
Komplikasi yang mungkin terjadi paska transplantasi ginjal dapat digolongkan menjadi dua
golongan yaitu komplikasi bedah dan medik.
1. Komplikasi bedah
Selain komplikasi bedah besar (perdarahan, efek pembiusan), dapat timbul masalah khusus
sehubungan dengan proses transplantasi ginjal. Komplikasi post operatif tergantung pada prosedur
bedah yang digunakan. Komplikasi urologi dan vaskular mempunyai pengaruh substansial
terhadap morbiditas dan mortalitas. Komplikasi urologi muncul pada 4% - 8% pasien dan
komplikasi vaskular 1% - 2 %.6 Komplikasi vascular meliputi stenosis arteri renalis, infark, fistula
arteriovenus, pseudoaneurisma, dan trombosis vena renalis. Komplikasi nonvaskular meliputi
obstruksi uretra, kebocoran urin, penimbunan cairan peritransplan (hematom, limfokel, abses,
infeksi), komplikasi gastrointestinal dan herniasi. Hampir dua pertiga komplikasi urologi dini
(kebocoran urin atau obstruksi) terjadi pada bulan pertama setelah transplantasi. Ekstravasasi urin
bisa terjadi pada pelvis renalis, ureter, atau dari ureteroneocystostomy site yang berhubungan
dengan nekrosis ureter akibat insufisiensi vaskular atau peningkatan tekanan urin karena obstruksi.
Obstruksi urin terjadi hampir pada 2 % pasien dan biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama paska
transplantasi, lokasi yang paling sering adalah di tempat implantasi ureter ke dalam kandung
kencing. Lebih dari 90 % stenosis ureter terjadi pada ureter 1/3 distal. Penyempitan pada
ureterovesical junction dapat disebabkan oleh jaringan parut akibat iskemia atau rejeksi, kesalahan
teknik dalam ureteroneocystostomy atau akibat kingking. (8) Stenosis arteri renalis biasanya muncul
dalam tahun pertama setelah transplantasi, bisa berlokasi di daerah sebelum anastomosis, di tempat
anastomosis dan setelah anastomosis. Infark ( trombosis arteri renalis dapat diakibatkan oleh
rejeksi hiperakut, oklusi anastomosis, kingking arteri atau adanya flap intimal. Penderita menjadi
anuri dan terjadi pembengkakan serta ketegangan di atas graft.6 Komplikasi gastrointestinal yang
paling sering adalah perdarahan saluran cerna akibat ulkus peptikum. Disamping itu dapat juga
terjadi esofagitis, gastritis hemoragik, obstruksi dan perforasi usus, serta herniasi. Prevalensi
komplikasi ini bervariasi tergantung dari pendekatan yang diambil saat penempatan graft
apakahintraperitoneal atau ekstraperitoneal. Perlengketan postoperatif dapat mengakibatkan
obstruksi saluran cerna. Herniasi bisa terjadi melalui defek peritonealtransplan.8,9
Imaging ( USG, retrograded pyelografi, arteriografi, Doppler US, CT scan) memiliki peranan yang
sangat penting untuk mengevaluasi komplikasi ini dan merupakan tuntunan dalam pemberian
terapi.10,11

2. Komplikasi medik
Komplikasi medik yang paling penting adalah reaksi penolakan atau rejeksi. Disamping itu,
terdapat pula sejumlah komplikasi lain yang perlu mendapat perhatian pada pasien-pasien paska
transplantasi ginjal.

H. Penolakan atau rejeksi


Sistem imun berperan pada proses penolakan. Reaksi penolakan ditimbulkan oleh sel Th (T helper)
resipien yang mengenal antigen MHC allogenic dan imunitas humoral (antibodi). Sel tersebut akan
merangsang sel Tc (T citotoxic) yang juga mengenal antigen MHC allogenic dan membunuh sel
sasaran. Kemungkinan lain adalah bahwa makrofag dikerahkan ke tempat transplan atas pengaruh
limfokin dari sel Th sehingga menimbulkan kerusakan. Reaksi tersebut serupa dengan yang terjadi
pada reaksi hipersensitivitas tipe IV dari Gell dan Coombs. Reaksi rejeksi dapat terjadi segera
(hiperakut), akut dan kronik.12,13

1. Rejeksi hiperakut
Rejeksi hiperakut adalah destruksi imunologik ginjal transplan yang terjadi dalam waktu 24 jam
paska transplantasi dan sering terjadi intraoperatif. Rejeksi ini jarang terjadi.14 Rejeksi hiperakut
disebabkan oleh reaksi antibody resipien yang terbentuk pratransplantasi akibat
transplantasi/tranfusi darah sebelumnya dengan antigen sel endotel pembuluh darah ginjal
transplan. Antibodi tersebut mengaktifkan komplemen yang menimbulkan edema dan perdarahan
interstisial dalam jaringan transplan sehingga mengurangi aliran darah ke seluruh jaringan. Pasien
menderita panas, lekositosis dan memproduksi sedikit urin atau tidak sama sekali. Urin
mengandung berbagai elemen seluler termasuk eritrosit. Trombosis dengan kerusakan endotel dan
nekrosis sering terlihat pada penolakan hiperakut. Resipien menunjukkan gangguan imunologik
berat dengan koagulasi intravaskular diseminata. Ginjal transplan edema dan hemoragik,
pemeriksaan histopatologik menunjukkan adanya endapan IgG dan C3 di dalam dinding kapiler
glomerulus dan peritubulus serta agregasitrombosit yang menyumbat lumen kapiler.14
Bila timbul rejeksi hiperakut, maka ginjal transplan harus diambil segera untuk mencegah
tejadinya respon inflamasi sistemik yang lebih berat. 17Akhir-akhir ini diperkenalkan humanized
IL-2 receptor antibody generasi baru, daclizumab (Zenapax), dapat mengurangi secara signifikan
insiden rejeksi hiperakut.15-16 Tran HTB et al.15 melaporkan penambahan daclizumab pada regimen
cyclosporine, prednisone dan/atau azathioprine yang merupakan standar imunosupresif telah
berhasil mencegah rejeksi akut. Daclizumab diberikan 2 mg/kg berat badan secara intravena dalam
12 jam transplantasi diikuti 1 mg/kg per hari tiap malam keempat. Antibodi lain yang juga
dipergunakan sebagai profilaksis adalah basiliximab (Simulect), a chimeric (human and mouse)
monoclonal antibody. Basiliximab yang diberikan pada hari 1 dan 4 (20 mg) dapat mengurangi
rejeksi rate secara signifikan dibandingkan dengan placebo.16

2. Rejeksi akut
Rejeksi akut terlihat pada resipien yang sebelumnya tidak tersensitisasi terhadap transplan. Hal ini
merupakan penolakan umum yang sering dialami resipien yang menerima transplan yang
mismatch atau yang menerima allograft dan pengobatan imunosupresif yang kurang dalam usaha
mencegah penolakan. Insiden penolakan akut berkisar 60 - 75 % dari transplantasi
ginjal pertama kali.17 Penolakan akut dapat terjadi sesudah beberapa hari dan tersering pada 3
bulan pertama paska transplantasi. Resipien mendadak demam, badan lemah, hipertensi dan
oligouria disertai peninggian kadar kreatinin darah, dan penurunan nilai test kliren kreatinin. Ginjal
transplan menjadi edema yang mengiritasi selaput peritoneum sehingga menimbulkan rasa nyeri di
daerah pelvis. Pemeriksaan histopatologik menunjukkan infiltrasi difus sel mononukleus yang
disertai edema dan perdarahan di dalam jaringan interstisial. Kadang - kadang disertai infiltrasi sel
polimorfonukleus, destruksi pembuluh darah, dan proliferasi sel endotel dengan trombosis
mikrovaskular. Kadar interleukin-2 plasma pratransplantasi berkorelasi positif dengan insiden
rejeksi akut, dan peninggian kadar interleukin-2 paska transplantasi yang bermakna merupakan
predictor terjadinya rejeksi akut. Chen dan kawan-kawan14 membuktikan bahwa ekspresi reseptor
interleukin-2 pada jaringan ginjal dapat digunakan sebagai petanda rejeksi akut. Penolakan akut
dapat dihambat dengan steroid, antilimfosit globulin poliklonal, dan antibody monoklonal OKT3.
Rejeksi akut yang refrakter terhadap obat-obat ini mungkin memerlukan plasma exchange untuk
membersihkan antibodi dari transplan.17

3. Rejeksi kronik
Rejeksi kronik adalah hilangnya fungsi organ yang dicangkokkan yang terjadi secara perlahan
beberapa bulan-tahun sesudah organ berfungsi normal dan disebabkan oleh sensitivitas yang
timbul terhadap antigen transplan atau oleh karena timbulnya intoleransi terhadap sel T. Dalam
hubungan ini, yang berperan adalah beberapa faktor seperti kerusakan iskemik pada saat
transplantasi, histokompatibilitas, umur donor, keseringan dan derajat episode rejeksi akut,
hipertensi, hiperlipidemia dan penyakit ginjal rekuren. Pemeriksaan histopatologik menunjukkan
proliferasi sejumlah besar sel mononuclear, terutama sel T. Terjadi nefroskelrosis, dengan
proliferasi dan fibrosis intima pembuluh darah ginjal sehingga terjadi penyempitan lumen
pembuluh darah. Hasilnya adalah iskemia renal, hipertensi, atrofi tubuler, fibrosis interstisial dan
atrofi glomeruler. Namun belum ada bukti apakah penurunan fungsi graft dalam
beberapa tahun berdasarkan mekanisme yang sama pada semua kasus.12 Penolakan kronik terjadi
perlahan setelah periode waktu yang lama dan mungkin tidak ada simtom yang tampak. Gejala
gagal ginjal terjadi perlahan-lahan dan progresif. Hal ini kadang-kadang timbul sesudah pemberian
imunosupresan dihentikan. Infeksi yang ada akan mempermudah timbulnya penolakan kronik.
Penolakan kronik juga sulit diobati, imunosupresi saat ini tidak banyak berguna oleh karena
kerusakan sudah terjadi, dan pencegahan ditujukan terutama untuk mengatasi faktor risiko yang
ada. Jika ginjal berhenti berfungsi, pasien dapat kembali didialisis dan menunggu transplantasi
lain.12-16 Dengan semakin bertambahnya pengetahuan dan pengalaman di bidang transplantasi
ginjal maka outcome jangka pendek seperti kelangsungan hidup (survival) allograft dan pasien
dalam 12 bulan pertama dari tahun ke tahun terus membaik, serta kejadian rejeksi paska
transplantasi semakin dapat ditekan.
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa kelangsungan hidup graft pasien dan penerima
transplantasi ginjal baik dari donor cadaver maupun donor hidup dalam 12 bulan pertama terus
membaik dari tahun ke tahun, namun donor hidup tetap lebih superior.
Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa rejeksi hiperakut dan akut semakin menurun sampai d
bawah 20% tetapi delayed graft function masih belum ada perubahan.
Obat-obatan yang dapat digunakan untuk menekan respon imun paska transplantasi ginjal antara
lain: azathioprin, mycophenolat mofetil, glukokortikoid, cyclosporine, tacrolimus dan sirolimus.
Karena rejeksi akut paling besar terjadi pada periode awal paska transplantasi, perlu pemberian
imunosuporesan yang lebih intensif pada waktu itu dan diturunkan progresif pada minggu dan
bulan berikutnya. Selama allograft masih viable, beberapa imunosupresif diperlukan. Derajat
imunosupresi yang diperlukan untuk maintenance masih menjadi perdebatan; standar imunosupresi
dihubungkan dengan beberapa efek
samping antara lain nefrotoksik, peningkatan risiko infeksi, dan keganasan18-20
Sebagian besar regimen imunosupresif menggabungkan glukokortikoid, calcineurin inhibitor
(CNI) dan antiproliferatif agent karena triple therapy. ini memberikan efek imunosupresif yang
lebih adekuat.
INFEKSI
Infeksi pada pasien paska transplantasi ginjal baik yang berhubungan dengan prosedur
transplantasi maupun yang disebabkan oleh pathogen oportunis dapat mempengaruhi fungsi ginjal
dan hasil transplantasi ginjal. Keberhasilan transplantasi ginjal bergantung pada keseimbangan
antara immunosupresi yang memadai untuk mencegah terjadinya rejeksi ginjal transplan dan
pemeliharaan kompetensi imune pada taraf yang memadai untuk melindungi resipien terhadap
infeksi. Sebagai akibat pemakaian obat yang menekan fungsi sel T, resipien transplantasi ginjal
menunjukkan peninggian risiko terhadap infeksi oleh berbagai pathogen intraseluler seperti virus,
protozoa, bakteri dan jamur.21 Insiden infeksi yang letal dan nonletal menurun terutama disebabkan
oleh peningkatan pengalaman, perbaikan dalam metode organ procurement dan seleksi resipien,
peningkatan teknik bedah, serta pengetahuan yang lebih baik tentang jenis dan saat terjadinya
infeksi. Pemakaian antibiotik profilaktik untuk mengurangi insiden infeksi luka, pelaksanaan
biopsi ginjal secara tertutup, pemeriksaan ultrasonografi di daerah ginjal transplan yang lebih
sering, dan pemberian bolus prednisolon dosis tinggi untuk terapi rejeksi yang lebih jarang, serta
kebijakan dalam hal tidak terlalu berlebihan dalam mempertahankan ginjal transplan yang tak
berfungsi lagi merupakan faktor-faktor yang ikut berperan pada perbaikan hal tersebut di atas.
Walaupun demikian, infeksi tetap merupakan penyebab penting baik bagi mortalitas maupun bagi
penurunan ketahanan hidup ginjal transplan. Pada resipien yang mengalami infeksi paska
transplantasi ketahanan hidup 3 tahun ginjal transplan menurun dari 81 % menjadi 76 %.21
Infeksi bakteri yang terjadi dalam satu bulan pertama paska transplantasi dapat terjadi pada saluran
kemih, saluran nafas, tempat luka operasi, dan akses vaskular yang dapat menyebabkan septisemia.
Infeksi herpes simplek dapat terjadi setelah minggu pertama paska transplantasi, sedangkan infeksi
virus citomegalo (CMV) jarang terjadi dalam satu bulan pertama paska transplantasi. Secara
keseluruhan infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri dan jamur secara berturutturut
sekitar 50%, 30%, 5% kasus. Pada 15 % kasus, infeksi tersebut disebabkan oleh polimikroba.21
Virus sitomegalo adalah penyebab utama infeksi virus pada resipien transplantasi ginjal. Infeksi
CMV pada resipien transplantasi ginjal lebih sering menimbulkan gejala yang tidak jarang cukup
berat, bahkan dapat menjadi fatal. Infeksi disebut primer jika terjadi pada resipien yang sebelum
transplantasi adalah seronegatif, dan disebut sekunder jika sebelum transplantasi adalah
seropositif, yang dapat terjadi karena reakivasi virus yang laten atau sebagai akibat terjadinya
reinfeksi. Sumber utama infeksi CMV primer adalah ginjal transplan yang menyebabkan insiden
infeksi virus CMV pada 63 % resipien yang sebelumnya adalah
seronegatif.21 Pada penyakit CMV yang berat, harus segera dilakukan investigasi dan pengobatan
empiris. Virus bisa dideteksi di darah, cairan jaringan dengan rapid shell-vial culture, antigen
assay, atau PCR. Virus dapat juga dideteksi pada jaringan dengan pemeriksaan teknik
imunohistokemistri. Konsentrasi CMV yang rendah atau bahkan negatif pada darah tepi tidak
menyingkirkan kemungkinan adanya keterlibatan organ (terutama GIT); oleh karena itu endoskopi,
bronkoskopi atau pemeriksaan yang lain mesti dilakukan sesuai dengan simptom dan sign yang
muncul. Pada infeksi CMV, selain jenis dan dosis obat imunosupresif dikurangi juga diberikan
obat antivirus spesifik biasanya gansiklovir atau valgansiklovir secara parenteral, dan jika perlu,
ditambah immunoglobulin secara intravena.1,21 Jenis infeksi yang lain adalah pneumocystosis,
umumnya muncul pada tahun pertama setelah transplantasi (meskipun bukan pada bulan pertama)
tetapi bisa juga muncul terlambat, terutama pemberian imonosupresan dengan dosis tinggi. Gejala
pneumonia yang muncul akibat infeksi P carinii adalah demam, sesak nafas dan batuk yang tidak
produktif. Pada thorak foto dijumpai interstitial-alveolar infiltrate pada kedua lapangan paru.
Deteksi kuman dilakukan dengan pengecatan colorimetrik atau immunofluorescent. Spesimen bisa
dari sputum, bronchoalveolar lavage atau biopsi. Pilihan terapinya adalah
sulfamethoxazolethrimetoprim (SMX-TMP); selain murah umumnya ditoleransi dengan baik juga
mencegah infeksi saluran kemih dan infeksi oportunistik yang lain seperti nocardiosis,
toxoplasmosis dan listeriosis. Obat lainnya adalah dapson dengan atau tanpa pyrimethamine,
atovaquone dan pentamidine.1 Di negara berkembang, infeksi yang disebabkan oleh kuman
micobakterium tuberculosis pada resipien transplantasi ginjal harus diwaspadai. Suk Young Kim et
al. pada penelitiannya di Korea Selatan mendapatkan insiden tuberculosis paska transplantasi
ginjal adalah 6,4 %.22 Di Indonesia belum ada data berapa angka kejadian tuberculosis paska
transplantasi ginjal.

PENYAKIT KARDIOVASKULER PADE RESIPIEN


Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama kematian setelah transplantasi ginjal.
Fazelzadeh et al.23 pada sebuah studi observasional yang melibatkan 1200 pasien transplantasi
antara tahun 1988 -2003 di Southern Iran Transplant Center mendapatkan 215 kematian dimana
28,3 % penyebabnya adalah komplikasi penyakit jantung koroner. Skrining penyakit jantung
koroner diindikasikan pada semua penderita. Tingginya insiden penyakit kardiovaskuler paska
transplantasi ginjal berhubungan dengan tingginya prevalensi dan akumulasi dari beberapa faktor
risiko sebelum dan setelah transplantasi. Strategi untuk deteksi dini dan pengobatannya dapat
mengurangi mobiditas dan mortalitas pada populasi dengan risiko tinggi. Insiden kumulatif
penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler dan penyakit vaskuler perifer 15 tahun setelah
transplantasi ginjal diduga 23%, 15 % dan 15 %.1 Faktor-faktor risiko untuk kondisi ini
merupakan komponen penting dalam penatalaksanaan paska-transplantasi.
Penghentian rokok adalah penting, tidak hanya untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular
tetapi dengan tetap merokok setelah transplantasi ginjal juga mengakibatkan survival allograt yang
buruk. Prevalensi kardiomiopati yang tinggi (klinis sebagai penyakit jantung kongestif atau
sebagai pembesaran ventrikel kiri pada erkokardiografi) juga didapatkan pada resipien transplan.
Sebuah retrospektif analisis menemukan bahwa perkembangan penyakit jantung kongestif
setelahtransplantasi adalah sama banyak dengan penyakit jantung koroner dengan risiko kematian
yang sama.

ANEMIA
Idealnya, transplantasi ginjal mengembalikan fungsi ginjal sehingga meningkatkan produksi
eritropoitin dan mengurangi anemia. Namun anemia paska transplantasi justru merupakan masalah
yang sering terjadi. Sebuah analisis cross-sectional dari resipien transplan mendapatkan prevalensi
anemia 40 %.1 Prevalensi yang tinggi ini terutama mencerminkan fungsi graft yang suboptimal dan
efek dari obat-obatan yang mengganggu proses erithropoisis (MMF,SMXTMP, dan ACE dengan
terjadinya gagal jantung kongestif setelah transplantasi. Pengelolaan anemia paska transplantasi
sesuai dengan panduan untuk pasien dengan PGK; difokuskan pada kekurangan besi dan
penggunaan eritropoitin.

HIPERTENSI
Prevalensi hipertensi setelah transplantasi ginjal adalah 60 sampai 80 %.1 Penyebabnya meliputi
penggunaan steroid, CNI, penambahan berat badan, disfungsi allograft, penyakit native kidney dan
yang kurang umum adalah transplant renal artery stenosis. Komplikasi hipertensi paska-
transplantasi adalah peningkatan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler,
dan kegagalan allograft.1,24 Hipertensi harus ditatalaksana secara agresif pada semua resipien.
Adapun target tekanan darah adalah sesuai dengan rekomendasi dari JNC VII yaitu 130/80
mmHg.1 Sedapat mungkin terapi ditujukan langsung terhadap faktor penyebab terjadinya
hipertensi. Pada pasien muda dengan native kidney induced hypertension terutama dengan
kerusakan target organ (retinopati atau hipertrofi jantung) nefrektomi merupakan pilihan. Pada
arteri stenosis, transluminal balloon angioplasty dan operasi bypass dapat dikerjakan dengan hasil
baik. Dosis steroid dan CNI dikurangi bila memungkinkan. 24 Terapi farmakologis tergantung pada
efek spesifik yang diinginkan sesuai keadaan klinis penderita dan beratnya derajat hipertensi. Obat
bisa diberikan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan obat lainnya. Jika terdapat bukti
adanya kelebihan volume vaskuler maka diuretik merupakan pilihan. Beta blocker digunakan bila
dijumpai hipertensi dengan penyakit jantung iskemik, alpha blocker ideal untuk pasien tua dengan
hipertrofi prostat. Obat-obat yang bekerja sentral seperti Clonidine cocok untuk pasien diabetes
dengan hipotensi postural akibat neuropati otonom. ACE inhibitor dan angiotensin II receptor
blocker mempunyai keunggulan dalam mengurangi tekanan intraglomerular dan proteinuria.
Calcium channel antagonist merupakan drug of choice pada pasien hipertensi paska- transplantasi
akibat pemberian calcineurin inhibitor. Pendekatan nonfarmakologik seperti menurunkan berat
badan, mengurangi intake sodium dan alkohol serta olah raga sangat dianjurkan dalam pengelolaan
hipertensi paskatransplantasi.24

DIABETES MELITUS
Diabetes melitus masih merupakan penyebab terbanyak penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat
dan di seluruh dunia. Epidemi diabetes tipe 2 nampaknya akan lebih meningkatkan insiden dan
prevalensi penyakit ginjal stadium akhir. Walaupun kelangsungan hidup (survival) resipien
diabetes lebih pendek dibandingkan resipien non-diabetes, tetapi transplantasi masih memberikan
survival yang lebih baik/menguntungkan dibandingkan pasien diabetes yang menjalani dialisis dan
masih berada dalam daftar tunggu (waiting list).1 Pasien diabetes dengan penyakit ginjal kronis
stadium akhir merupakan kandidat untuk kidneypancreas transplantation. Kedua organ ini bisa
dicangkokkan secara simultan atau bertahap (pancreas after kidney [PAK]). Survival allograft
pankreas pada cara terakhir lebih buruk dibandingkan transplantasi simultan tetapi perbedaan ini
tidak menyolok. Lebih jauh PAK menghasilkan outcome ginjal transplan yang lebih
baik dan komplikasi bedah lebih kecil. Sekarang presentasi transplantasi pankreas dengan prosedur
PAK makin meningkat. Perbaikan teknik bedah dan penggunaan imunosupresan meningkatkan
survival allograft pankreas. Terdapat bukti-bukti bahwa pada pasien tertentu mortalitas umum dan
kardiovaskuler berkurang dengan transplantsi ginjal-pankreas dibandingkan hanya transplantasi
ginjal.1 Transplantasi ginjal merupakan faktor risiko diabetes. Sekitar 15 . 20 % resipien
transplantasi berkembang menjadi DM. Sesudah transplantasi ginjal yang sukses, banyak pasien
tanpa riwayat masalah gula darah berkembang menjadi new-onset diabetes. Kontrol gula darah
setelah transplantasi memburuk akibat penggunaan glukokortikoid dan CNI, meningkatnya intake
makanan, dan penambahan berat badan. Faktor risiko terjadinya diabetes paska transplantasi
adalah umur tua, etnik nonwhite, penggunaan steroid dan CNI dosis tinggi.1,18,19 Sampai saat ini
belum ada consensus tentang diagnosis dan terapi DMPT (Diabetes Melitus Paska Transplantasi)
yang optimal dan masih memakai kriteria WHO, ADA dan IDF. DMPT dapat mengakibatkan
komplikasi serius baik terhadap organ yang dicangkokkan maupun terhadap harapan hidup pasien
hingga memerlukan transplntasi ulang.

DISLIPIDEMIA
Prevalensi hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia setelah transplantasi diestimasikan
60 % dan 35 %. Sebagian besar disebabkan oleh steroid, CNI (cyclosporine lebih sering daripada
tacrolimus), dan sirolimus.1 Target LDL plasma adalah < 100mg/dL (5,6 mmol/L) dengan
kombinasi perubahan gaya hidup dan terapi dengan obat, mengurangi dosis steroid dan mengganti
cyclosporine dengan tacrolimus. Statin merupakan drug of choice pada resipien transplantasi
karena aman dan efektif untuk menurunkan kadar LDL kolesterol . Karena metabolisme sebagian
besar statin dihambat oleh CNI maka konsentrasi statin di darah dapat meningkat sehingga
meningkatkan efek sampingnya seperti rabdomiolisis. Interaksi ini akan lebih meningkat lagi bila
dikombinasi dengan penghambat sitokrom P450 seperti diltiazem. Untuk mengurangi toksisitas
statin; mulai dengan dosis kecil, gunakan fluvastatin atau pravastatin (kurang berinteraksi dengan
CNI); hindari penggunaan penghambat sitokrom P450, hindari fibrat; periksa secara periodik
serum creatinin dan test fungsi hati. Fibrat diberikan dengan ekstra hati-hati untuk pasien-pasien
yang mendapat statin dan CNI.1

HIPERHOMOISTENEMIA
Konsentrasi homosistein dalam darah yang meningkat pada pasien-pasien yang mendapat dialisis,
akan menurun setelah transplantasi tetapi tidak sampai normal. Sebuah studi prospektif
menemukan hiperhomosisteinemia pada 70 % pasien transplantasi ginjal, dan
hiperhomosisteinemia merupakan faktor risiko independen untuk kejadian kardiovaskular. Tidak
ada rekomendasi mengenai pemberian terapi vitamin B untuk menurunkan hiperhomosisteinemia
pada resipien transplantasi. Efek dari obat immunosupresif terhadap konsenstrasi homosistein
plasma, masih belum jelas.1

KEGANASAN
Kejadian keganasan pada pasien paska trasplantasi ginjal lebih tinggi diabandingkan dengan
pasien-pasien dialisis dan populasi umum.1 Relative risk kejadian kanker paska transplantasi ginjal
ditunjukkan pada tabel 3.

Ada beberapa alasan mengapa kejadian kanker meningkat pada resipien transplantasi ginjal.
Pertama, imunospresi mengakibatkan terjadinya proliferasi yang tidak terkontrol dari virus-virus
onkogenik dan menghambat mekanisme tumor surveillance yang normal. Kedua, ada bukti
eksperimental bahwa CNI mempunyai efek tumor-promoting melalui efeknya terhadap produksi
growth factor . Ketiga, faktor dari resipien sendiri yang berhubungan dengan penyakit ginjal
primer (penyalahgunaan analgetik, infeksi Hepatitis B dan C) mungkin juga mencetuskan
neoplasia.1 Jumlah kumulatif dari imunosupresi merupakan faktor yang paling penting
meningkatkan kejadian keganasan sehingga untuk mencegah kanker adalah dengan mengurangi
pemakaian imunosupresan.1,14-16 Pencegahan primer dan sekunder terhadap keganasan payudara,
paru dan saluran cerna dan urogenital (mammography, penghentian rokok, endoskopi dan
pemeriksaan servix pada pasien wanita) direkomendasikan. Sedangkan untuk kanker kulit resipien
disarankan untuk mengurangi paparan sinar matahari dengan menggunakan pakaian pelindung,
pemakaian sunscreen pada bagian tubuh yang terekspose. Lesi kulit premaligna harus diterapi
dengan cryotherapy atau eksisi bedah. Secara umum, bila terjadi kanker maka imunosupresi harus
dikurangi. Pada beberapa kasus, akan terjadi rejeksi terhadap graft tetapi risk dan benefit untuk
melajutkan imunosupresan harus dipertimbangkan
kasus per kasus.

PENYAKIT LYMPHOPROLIFERATIF
Insiden kumulatif penyakit lymphoproliferatifpada resipien paska- transplantasi ginjal antara 1 % -
5 %. Lebih dari 90 % kasus adalah berupa LNH dan sebagian besar merupakan B-cell origin.
Sebagian besar kasus muncul 24 bulan pertama setelah transplantasi.
Faktor risikonya antara lain: 1) Donor dengan positif Epstein-Barr virus, 2) Donor dengan CMV
positif, 3) Resipien pediatrik 4) Peggunaan intensif imunosupresan.1,16 Terapi meliputi
pengurangan atau penghentian imunosupresif dikombinasi dengan terapi antiviral, radioterapi,
kemoterapi dan pembedahan. Belakangan telah dikembangkan biological immune modifiers
seperti interferon _ dan IL-6, immunotherapy dengan virusspecific T cells, dan eliminasi B cells
menggunakan rituximab suatu anti-CD 20 monoclonal antibody.1 Dampak psikologis kegagalan
graft Hampir 30 % resipien transplantasi ginjal mengalami kegagalan transplan dalam 5 tahun
pertama. Late graft failure sebagian besar terjadi akibat nefropati kronik, dan pada porsi yang lebih
kecil bisa akibat late acute rejection, terutama di-induce oleh compliance yang buruk terhadap
obat-obat imunosupresif.25 Dew et al. melaporkan bahwa 60 % dari review studi menemukan
peningkatan fungsi fisik, sosial, dan psikologis setelah transplantasi ginjal, dan 100%
menemukan peningkatan kualitas hidup. Sejalan dengan itu, Bremer et al. dalam observasinya
terhadap 489 penderita mendapatkan bahwa mereka yang kembali menjalani dialisis setelah
mengalami kegagalan graft memiliki kualitas hidup yang lebih buruk dibandingkan pasien-pasien
dialisis yang tidak pernah mengalami kegagalan seperti tersebut di atas. 25 Kegagalan graft dapat
memprovokasi reaksi negative dari penderita. Reaksi terhadap kegagalan graft dan pengaruhnya
pada kualitas hidup bervariasi di antara individu, namun dua pola yang khas adalah grief dan
denial. Kegagalan graft juga dapat mencetuskan keadaan depresi, kemarahan dan kebencian
terhadap team transplantasi, bahkan pada beberapa individu ada usaha-usaha bunuh diri. Walaupun
demikian, lebih dari dua pertiga penderita menginginkan untuk retransplantasi.25

DAFTAR PUSTAKA

1. Alana May Sheperd, Evidence Summaries, Brain Death, Organ tranplantation &
Bone Donation: Clinician Information, Joanna Briggs Institute, Adelaide Nov 13,
2009
2. Al-Azhari, Barsri bin Ibrahim al Hasani, The Current Practise of Organ Transplant in
th
Malaysia, Issue 45, Year 7 , January 2010,page 11, www.ulum. nl;
3. Albar, Mohammed Ali, Islamic Ethics of Organ Transplantation and Brain Death ,
Saudi Journal of Kidney Diseases and Transplantation, Year : 1996 | Volume : 7 |
Issue : 2 | Page : 109-114
4. American Cancer Society, The Transplant Process
http://www.cancer.org/docroot/ETO/content/ETO_1_4X_The_Transplant_Process.as
p?sitearea= ETO
5. American Cancer Sosiety, Types of Stem Cell Transplant,
http://www.cancer.org/docroot/ETO/content/ETO_1_4X_Stem_Cell_Transplant_Bas
ics.asp?site area=ETO
6. American University, Illegal Human Organ Trade From Executed Prisoners In
China, Case Study: 632, Http://Www1.American.Edu/Ted/Prisonorgans.Htm.,
Diunduh 10 Maet 2010.
7. Barbara Indech, The international Harmonization of Human Tissue
Regulation: Regulatory Control Over Human Tissue Use and Tissue Banking in
Select Countries and the Current State of International Harmonization Efforts, Food
and Drug Law Journal, Vol 55
8. Magee CC, Pascual M. Update in renal transplantation. Arch Intern Med 2004;164:1373-
88.
9. Sjabani HM, Asdie HAH, Bayupurnama P. Selintas tentang transplantasi ginjal.
Yogyakarta: Yayasan transplantasi Organ Yogyakarta, 1996;1-27.
10. Thye WK. Renal transplantation. Clinical nephrology. Singapore: Singapore University
Press; 1998;316-37.
11. Markum HMS. Perkembangan transplantasi ginjal di indonesia. Majalah PAPDI
2006;6:25-30.
12. Loekman JS, Widiana R, Switra K. Survival and early death of kidney transplant patients in
Bali; a four years cohort study. PIT Yogyakarta, 2004.
13. Ojo AO, Held PJ, Port FK, et al. Renal transplantation in ESRD. NEJM 2003;349:931-40.
14. Koene RAP, Hoitsma A. Evaluation of renal transplant donor and recipient. In: Johnson RJ,
Feenally J, editorss. Comprehensive clinical nephrology. London: Harcout Publisher
Limited; 2000.p.86.1-.9.
15. Ramanathan R, Srinadh ES, Ramanan V, Basarge N, Kumar A. Surgical complication of
renal transplantation. Indian Journal of Urology 1996;12:60-4.
16. Archibald SD, Jirsch DW, Bear RA. Gastrointestinal complications of renal
transplantation. Canadian Medical Association Journal 1999;119:1291-6.
17. Brown ED, Chen MYm, Wolfman NT, Ott DJ, Watson Jr NE. Complication of renal
transplantation: Evaluation with US and radionuclide imaging. RadioGraphics
2000;20:607-22.

Anda mungkin juga menyukai