Anda di halaman 1dari 108

MAKALAH

KONSEP CA CERVIX & ASKEP


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah : Keperawatan Maternitas II

Dosen Pengampu : Ns. Rany Muliany Sudirman S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh :
M Nadhif Arsya T
(CKR0210112)

KEPERAWATAN REGULER C TINGKAT 2


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
Jl. Lkr. Bayuning No.2, Kadugede, Kuningan, Jawa Barat 45561
Telp.(0232)875847 Fax. 0232-875123 : info@stikeskuningan.ac.id
2022/2023
DAFTAR ISI
BAB I Pendahuluan
1. Latar Belakang
A. Pengenalan tentang kanker serviks (Ca Cervix)
B. Tujuan dan ruang lingkup makalah
BAB II TINJAUAN TEORI
1. Konsep Kanker Serviks
B. Definisi dan deskripsi kanker serviks
C. Faktor risiko kanker serviks
1. Infeksi human papillomavirus (HPV)
2. Riwayat seksual yang tidak aman
3. Merokok
4. Sistem kekebalan tubuh yang lemah
D. Patofisiologi kanker serviks
1. Perubahan sel pra-kanker menjadi kanker
2. Perkembangan tumor dan invasi ke jaringan sekitar
E. Stadium kanker serviks
1. Stadium 0 (in situ)
2. Stadium I (kanker terbatas pada serviks)
3. Stadium II (kanker menyebar ke daerah sekitar serviks)
4. Stadium III (kanker menyebar ke rongga panggul)
5. Stadium IV (kanker menyebar ke organ tubuh lain)
BAB III TINJAUAN KASUS
1. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Kanker Serviks
A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan dan keluarga
2. Pemeriksaan fisik
3. Evaluasi psikososial
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut
2. Gangguan citra tubuh
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
4. Ansietas
5. Defisit pengetahuan
C. Intervensi Keperawatan
1. Pengelolaan nyeri
2. Dukungan psikososial
3. Pemberian nutrisi yang adekuat
4. Pengurangan kecemasan
5. Pendidikan klien dan keluarga mengenai kanker serviks dan perawatan yang
diberikan
D. Implementasi dan Evaluasi
1. Pelaksanaan intervensi keperawatan
2. Evaluasi efektivitas intervensi
BAB IV PENUTUP
1. Kesimpulan
A. Ringkasan tentang konsep kanker serviks
B. Pentingnya asuhan keperawatan dalam pengelolaan klien dengan kanker
serviks
Daftar Pustaka
BAB I
Pendahuluan
1. Latar Belakang
E. Pengenalan tentang kanker serviks (Ca Cervix)
Kanker serviks, juga dikenal sebagai kanker leher rahim, adalah salah satu jenis
kanker yang paling umum terjadi pada wanita. Kanker ini berasal dari sel-sel
yang melapisi leher rahim atau serviks, bagian bawah rahim yang terhubung
dengan vagina. Kanker serviks biasanya berkembang secara perlahan dari
kondisi pra-kanker yang dikenal sebagai displasia, di mana sel-sel serviks
mengalami perubahan abnormal (Smeltzer et al., 2017).
Kanker serviks sering kali disebabkan oleh infeksi human papillomavirus
(HPV), yang ditularkan melalui hubungan seksual. HPV adalah virus yang
umum dan dapat menginfeksi setiap orang yang aktif secara seksual. Tidak
semua infeksi HPV menyebabkan kanker serviks, tetapi infeksi HPV jangka
panjang, terutama dengan jenis HPV berisiko tinggi, dapat meningkatkan risiko
terjadinya kanker serviks (American Cancer Society, 2021).
Kanker serviks dapat memiliki gejala awal yang tidak spesifik, seperti
perdarahan abnormal, nyeri panggul, atau peningkatan keputihan. Namun, dalam
banyak kasus, kanker serviks pada tahap awal tidak menimbulkan gejala yang
jelas, sehingga penting untuk melakukan skrining teratur, seperti Pap smear atau
tes HPV, guna mendeteksi kondisi ini secara dini (American Cancer Society,
2021).
Penanganan kanker serviks melibatkan berbagai metode, seperti pembedahan,
radioterapi, kemoterapi, atau kombinasi dari ketiganya, tergantung pada stadium
dan karakteristik tumor. Upaya pencegahan kanker serviks melibatkan vaksinasi
HPV, skrining rutin, dan menghindari faktor risiko seperti merokok dan
memiliki riwayat seksual yang tidak aman (National Cancer Institute, 2021).
Pemahaman tentang kanker serviks, faktor risiko, gejala, dan metode
pengelolaannya penting untuk meningkatkan kesadaran, pencegahan, dan
pengobatan dini kanker serviks.
F. Tujuan dan ruang lingkup makalah
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang konsep kanker
serviks (Ca Cervix), termasuk definisi, faktor risiko, patofisiologi, dan
tahapan perkembangannya.
2. Untuk menjelaskan pentingnya deteksi dini, skrining rutin, dan vaksinasi
HPV dalam pencegahan kanker serviks.
3. Untuk menggambarkan asuhan keperawatan yang diperlukan untuk klien
dengan kanker serviks, termasuk pengkajian komprehensif, diagnosa
keperawatan, rencana perawatan, implementasi, dan evaluasi.
4. Untuk memberikan informasi tentang metode pengobatan dan manajemen
kanker serviks yang tersedia.
5. Untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang kanker
serviks, sehingga mendorong tindakan pencegahan, pengobatan, dan
dukungan yang lebih baik bagi individu yang terkena kanker serviks.
Ruang lingkup makalah ini akan mencakup:
1. Pengenalan tentang kanker serviks, termasuk definisi dan deskripsi umum
tentang kondisi ini.
2. Faktor risiko yang berkontribusi pada perkembangan kanker serviks.
3. Patofisiologi kanker serviks, menjelaskan bagaimana infeksi HPV
memengaruhi sel-sel leher rahim dan berubah menjadi kanker serviks.
4. Tahapan perkembangan kanker serviks dan perbedaan antara setiap tahap.
5. Asuhan keperawatan pada klien dengan kanker serviks, termasuk
pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana perawatan, dan implementasi
tindakan keperawatan yang tepat.
6. Metode pengobatan dan manajemen yang tersedia untuk kanker serviks.
7. Pentingnya skrining rutin, vaksinasi HPV, dan deteksi dini dalam
pencegahan kanker serviks.
8. Dukungan emosional dan psikososial yang diperlukan bagi klien dengan
kanker serviks dan keluarganya.
9. Informasi penting tentang pencegahan, pengobatan, dan dukungan yang
tersedia untuk kanker serviks.
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. Konsep Kanker Serviks
A. Definisi dan deskripsi kanker serviks
Kanker serviks, juga dikenal sebagai kanker leher rahim atau kanker serviks
uteri, adalah jenis kanker yang berkembang dari sel-sel di leher rahim
(serviks). Leher rahim adalah bagian bawah rahim yang membuka ke vagina.
Kanker serviks biasanya dimulai dengan pertumbuhan perlahan dari sel-sel
pra-kanker yang disebut displasia, dan jika tidak ditangani dengan baik,
dapat berkembang menjadi kanker yang invasif.
Kanker serviks umumnya disebabkan oleh infeksi virus yang disebut human
papillomavirus (HPV). HPV adalah virus yang dapat ditularkan melalui
hubungan seksual dengan seseorang yang terinfeksi. Namun, tidak semua
infeksi HPV menyebabkan kanker serviks. Faktor risiko lain yang
berkontribusi pada perkembangan kanker serviks termasuk memiliki banyak
pasangan seksual, merokok, memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah,
dan riwayat keluarga dengan kanker serviks.

Kanker serviks dapat berkembang perlahan selama bertahun-tahun tanpa


menimbulkan gejala yang jelas pada tahap awal. Namun, ketika kanker
serviks sudah lebih lanjut, beberapa gejala yang mungkin muncul antara lain
perdarahan vagina yang tidak normal, nyeri panggul, nyeri saat berhubungan
seksual, kelelahan, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, dan
peningkatan frekuensi buang air kecil.
Untuk mendiagnosis kanker serviks, pemeriksaan ginekologi seperti Pap
smear atau tes HPV biasanya dilakukan. Pap smear melibatkan pengambilan
sampel sel dari leher rahim untuk dianalisis di laboratorium guna mendeteksi
perubahan sel pra-kanker atau kanker serviks. Jika hasil tes menunjukkan
adanya perubahan sel yang mencurigakan, kemungkinan dilakukan
pemeriksaan tambahan seperti kolposkopi, biopsi, atau tes penanda tumor.
Pengobatan kanker serviks dapat melibatkan berbagai metode, termasuk
operasi, radioterapi, kemoterapi, dan terapi target. Pilihan pengobatan
tergantung pada stadium kanker, ukuran tumor, usia pasien, kondisi
kesehatan secara keseluruhan, dan preferensi pasien.
Pencegahan kanker serviks sangat penting. Vaksinasi HPV dapat membantu
melindungi terhadap infeksi virus HPV yang berpotensi menyebabkan
kanker serviks. Selain itu, skrining rutin menggunakan tes Pap smear dan tes
HPV dapat membantu mendeteksi perubahan sel pra-kanker atau kanker
serviks pada tahap awal, sehingga tindakan pengobatan dapat dimulai lebih
awal.
Pemahaman yang lebih baik tentang definisi dan deskripsi kanker serviks
penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
pencegahan, skrining, dan deteksi dini. Dengan demikian, dapat dilakukan
langkah-langkah yang tepat dalam mencegah, mengobati, dan memberikan
dukungan bagi individu yang terkena
B. Faktor risiko kanker serviks
1. Infeksi human papillomavirus (HPV)
Infeksi Human Papillomavirus (HPV) merupakan infeksi yang
disebabkan oleh virus HPV yang dapat ditularkan melalui kontak
seksual. Ada lebih dari 100 jenis HPV, dan beberapa jenis tertentu dapat
menyebabkan perubahan sel pra-kanker atau kanker serviks. Infeksi HPV
umum terjadi dan sebagian besar infeksi akan hilang dengan sendirinya
tanpa masalah kesehatan serius. Namun, infeksi HPV yang persisten
dapat menyebabkan kanker serviks. Skrining rutin dan vaksinasi HPV
penting dalam pencegahan dan deteksi dini kanker serviks yang
disebabkan oleh infeksi HPV.
2. Riwayat seksual yang tidak aman
Riwayat seksual yang tidak aman merupakan faktor risiko lain yang
berkontribusi pada perkembangan kanker serviks. Aktivitas seksual yang
tidak aman dapat meningkatkan risiko terpapar HPV dan infeksi lainnya
yang dapat menyebabkan perubahan sel pra-kanker atau kanker serviks.
Beberapa perilaku seksual yang dapat meningkatkan risiko kanker
serviks meliputi:
1. Pasangan seksual yang banyak: Memiliki banyak pasangan seksual
meningkatkan kemungkinan paparan terhadap HPV dan infeksi
lainnya. Setiap pasangan seksual baru dapat membawa risiko
penularan infeksi baru.
2. Tidak menggunakan kondom: Penggunaan kondom dapat membantu
mengurangi risiko penularan HPV dan infeksi seksual lainnya.
Ketika kondom digunakan dengan benar dan konsisten, dapat
membantu melindungi dari paparan HPV.
3. Hubungan seksual pada usia muda: Memulai aktivitas seksual pada
usia yang lebih muda juga dapat meningkatkan risiko terkena HPV.
Pada usia muda, sistem kekebalan tubuh mungkin belum sepenuhnya
matang, sehingga rentan terhadap infeksi.
4. Pasangan seksual dengan riwayat seksual yang tidak aman: Jika
pasangan seksual memiliki riwayat seksual yang tidak aman, seperti
memiliki banyak pasangan seksual atau riwayat infeksi seksual
sebelumnya, risiko terkena HPV dapat meningkat.
5. Tidak menjalani skrining rutin: Tidak melakukan skrining rutin
dengan tes Pap smear atau tes HPV juga dapat meningkatkan risiko
terlewatnya deteksi perubahan sel pra-kanker atau kanker serviks.
Untuk mengurangi risiko kanker serviks yang terkait dengan riwayat
seksual yang tidak aman, penting untuk mengadopsi perilaku seksual
yang aman, seperti:
a. Berkomitmen pada hubungan monogami yang saling setia dengan
pasangan yang tidak terinfeksi.
b. Menggunakan kondom dengan benar dan konsisten, terutama jika
tidak ada kepastian mengenai status infeksi pasangan.
c. Mendapatkan vaksinasi HPV yang direkomendasikan pada usia yang
tepat.
d. Menjalani skrining rutin dengan tes Pap smear atau tes HPV sesuai
pedoman medis.
Dengan pemahaman tentang pentingnya perilaku seksual yang aman dan
tindakan pencegahan yang tepat, risiko terkena kanker serviks akibat
riwayat seksual yang tidak aman dapat dikurangi.
3. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko yang terkait dengan perkembangan
kanker serviks. Paparan zat-zat berbahaya dalam asap rokok dapat
mempengaruhi kesehatan sel-sel leher rahim dan meningkatkan risiko
terjadinya perubahan sel pra-kanker atau kanker serviks.
Berikut adalah beberapa cara merokok berkontribusi terhadap risiko
kanker serviks:
1. Menurunkan sistem kekebalan tubuh: Merokok dapat melemahkan
sistem kekebalan tubuh, sehingga tubuh menjadi lebih rentan
terhadap infeksi HPV yang dapat menyebabkan kanker serviks.
Sistem kekebalan yang lemah juga dapat mempengaruhi kemampuan
tubuh untuk melawan dan menghilangkan sel-sel abnormal.
2. Memperburuk peradangan: Asap rokok mengandung berbagai bahan
kimia yang dapat memicu peradangan pada jaringan leher rahim.
Peradangan kronis dapat merusak sel-sel normal dan menyebabkan
perubahan yang berpotensi menjadi kanker serviks.
3. Meningkatkan proliferasi sel: Merokok dapat mempengaruhi regulasi
pertumbuhan sel-sel leher rahim, menyebabkan proliferasi yang tidak
terkontrol. Proliferasi sel yang berlebihan dapat meningkatkan risiko
perubahan sel yang bersifat pra-kanker atau kanker.
4. Sistem kekebalan tubuh yang lemah
Sistem kekebalan tubuh yang lemah atau disfungsi dapat meningkatkan
risiko perkembangan kanker serviks. Sistem kekebalan tubuh berperan
penting dalam melawan infeksi HPV dan mencegah perkembangan
perubahan sel yang dapat mengarah pada kanker serviks. Berikut adalah
beberapa faktor yang dapat menyebabkan sistem kekebalan tubuh
menjadi lemah:
1. Infeksi HIV: Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) dapat
menyebabkan penurunan fungsi sistem kekebalan tubuh. Wanita
dengan HIV memiliki risiko yang jauh lebih tinggi terkena infeksi
HPV persisten, yang dapat meningkatkan risiko kanker serviks.
2. Penggunaan obat imunosupresif: Obat imunosupresif digunakan
dalam pengobatan kondisi seperti transplantasi organ atau gangguan
autoimun untuk menekan sistem kekebalan tubuh. Namun,
penggunaan jangka panjang obat ini dapat melemahkan kemampuan
tubuh dalam melawan infeksi HPV dan meningkatkan risiko kanker
serviks.
3. Kondisi medis yang melemahkan kekebalan: Beberapa kondisi
medis, seperti diabetes, penyakit autoimun, dan penyakit kronis
tertentu, dapat menyebabkan penurunan fungsi sistem kekebalan
tubuh. Hal ini dapat membuat tubuh lebih rentan terhadap infeksi
HPV dan perkembangan kanker serviks.
4. Gizi buruk dan kehidupan yang tidak sehat: Gizi buruk, kurangnya
nutrisi penting, dan gaya hidup yang tidak sehat, seperti kurangnya
aktivitas fisik dan pola makan yang tidak seimbang, dapat
melemahkan sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan yang lemah
dapat mempengaruhi kemampuan tubuh dalam melawan infeksi HPV
dan mengatasi perubahan sel pra-kanker.
Untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh dan mengurangi risiko
kanker serviks terkait dengan kelemahan sistem kekebalan, langkah-
langkah berikut dapat diambil:
a. Menjaga pola makan sehat yang mencakup makanan bergizi,
termasuk sayuran, buah-buahan, protein, dan biji-bijian.
b. Berolahraga secara teratur untuk menjaga kebugaran fisik dan
memperkuat sistem kekebalan tubuh.
c. Menghindari paparan faktor risiko lain, seperti merokok, alkohol, dan
stres berlebihan.
d. Mendapatkan tidur yang cukup dan menjaga tingkat stres yang
seimbang.
e. Meningkatkan kebersihan pribadi dan seksual dengan menghindari
praktik seksual yang tidak aman dan menjaga kebersihan genital.
C. Patofisiologi kanker serviks
1. Perubahan sel pra-kanker menjadi kanker
Patofisiologi perubahan sel pra-kanker menjadi kanker serviks
melibatkan serangkaian proses biologis yang kompleks. Proses ini
terutama dipengaruhi oleh infeksi HPV yang persisten dan interaksi
antara virus dengan sel-sel leher rahim. Berikut adalah gambaran umum
mengenai patofisiologi perubahan sel pra-kanker menjadi kanker serviks:
1. Infeksi HPV: Infeksi HPV, terutama oleh jenis HPV yang onkogenik
seperti HPV tipe 16 dan 18, merupakan faktor utama dalam
perkembangan perubahan sel pra-kanker dan kanker serviks. HPV
ditularkan melalui kontak seksual, dan virus ini dapat memasuki sel-
sel leher rahim melalui luka kecil atau goresan.

2. Integrasi Virus HPV: Setelah infeksi, virus HPV dapat


mengintegrasikan materi genetiknya ke dalam genom sel-sel leher
rahim. Integrasi ini dapat mengganggu regulasi normal sel dan
menyebabkan perubahan genetik yang dapat mempengaruhi siklus
sel, pertumbuhan, dan diferensiasi.

3. Ekspresi Protein E6 dan E7: Virus HPV menghasilkan protein E6


dan E7 yang bertindak sebagai onkoprotein. Protein E6 berinteraksi
dengan protein p53, yang berperan dalam mengontrol pertumbuhan
sel dan menghentikan pertumbuhan sel yang tidak normal. Protein E7
berinteraksi dengan protein Rb, yang juga mengatur siklus sel.
Interaksi ini mengganggu fungsi normal protein p53 dan Rb,
menyebabkan kelainan pada siklus sel dan meningkatkan potensi
transformasi sel pra-kanker menjadi kanker.

4. Perubahan Sel Pra-kanker: Infeksi HPV persisten dan ekspresi


protein E6 dan E7 dapat menyebabkan perubahan sel pra-kanker atau
displasia. Sel-sel leher rahim mengalami perubahan abnormal dalam
struktur, fungsi, dan pertumbuhan mereka. Perubahan ini dapat
dilihat melalui tes Pap smear atau tes HPV dan diklasifikasikan
dalam kategori seperti LSIL (lesi sel ringan) atau HSIL (lesi sel
sedang hingga berat).

5. Progresi ke Kanker Serviks: Jika perubahan sel pra-kanker tidak


diobati, sel-sel abnormal dapat terus berkembang dan menembus
lapisan jaringan yang lebih dalam. Proses ini melibatkan akumulasi
lebih lanjut dari perubahan genetik dan epigenetik yang
mempromosikan pertumbuhan sel kanker yang invasif. Sel-sel
kanker dapat menyebar ke jaringan sekitarnya dan bahkan ke organ
tubuh yang jauh (metastasis), menyebabkan kanker serviks yang
invasif.
2. Perkembangan tumor dan invasi ke jaringan sekitar
Patofisiologi perkembangan tumor dan invasi ke jaringan sekitar pada
kanker serviks melibatkan serangkaian perubahan biologis yang
kompleks dalam sel-sel kanker. Berikut adalah gambaran umum
mengenai patofisiologi tersebut:

1. Perubahan Sel Kanker: Perkembangan tumor pada kanker serviks


dimulai dengan perubahan genetik dan epigenetik pada sel-sel leher
rahim yang mengarah pada transformasi sel menjadi sel kanker. Sel-
sel kanker kehilangan kemampuan untuk mengendalikan
pertumbuhan dan memperoleh kemampuan untuk berkembang biak
secara tak terkendali.

2. Pembelahan Sel yang Tidak Terkendali: Sel-sel kanker serviks mulai


membelah diri secara tidak terkendali, tanpa mengindahkan
mekanisme pengaturan normal yang mengontrol pertumbuhan sel.
Sel-sel kanker menumpuk dan membentuk massa abnormal yang
disebut tumor.

3. Invasi Jaringan Sekitar: Seiring dengan pertumbuhan tumor, sel-sel


kanker serviks dapat menembus melalui lapisan jaringan yang
mengelilingi leher rahim dan mulai menginvasi jaringan sekitar.
Proses ini melibatkan mekanisme seperti perubahan dalam ekspresi
protein yang mempengaruhi kemampuan sel kanker untuk bergerak,
melekat, dan menembus jaringan normal.

4. Penyebaran Melalui Sistem Limfatik dan Peredaran Darah: Sel-sel


kanker serviks yang telah menginvasi jaringan sekitar dapat
menyebar melalui sistem limfatik dan peredaran darah. Mereka dapat
menyebar ke kelenjar getah bening terdekat atau ke organ tubuh yang
jauh dari situs asalnya, membentuk metastasis.

5. Pembentukan Metastasis: Sel-sel kanker serviks yang telah menyebar


dan membentuk metastasis di organ lain dapat berkembang biak dan
membentuk tumor sekunder. Proses ini dapat terjadi melalui adhesi
dan invasi sel kanker ke dalam jaringan baru, serta stimulasi faktor-
faktor pertumbuhan dan angiogenesis untuk mendukung
pertumbuhan tumor sekunder.
D. Stadium kanker serviks
1. Stadium 0 (in situ)
Stadium 0 (in situ) pada kanker serviks adalah tahap awal di mana sel-sel
kanker hanya terbatas pada lapisan permukaan leher rahim dan belum
menyebar ke jaringan di bawahnya. Pada tahap ini, sel-sel kanker belum
melakukan invasi ke jaringan sekitarnya. Proses patofisiologi melibatkan
perubahan sel pra-kanker menjadi sel-sel kanker in situ. Pengobatan yang
tepat seperti pembedahan atau terapi penghancuran sel diperlukan untuk
menghilangkan sel-sel kanker. Tindak lanjut dan skrining rutin
diperlukan untuk pemantauan dan deteksi dini perubahan sel baru.
2. Stadium I (kanker terbatas pada serviks)
Stadium I pada kanker serviks adalah tahap di mana kanker terbatas pada
serviks atau leher rahim. Stadium ini dibagi menjadi dua sub-kategori,
yaitu IA dan IB. Pada stadium IA, kanker terbatas pada jaringan yang
lebih kecil dari 7 mm atau antara 7 mm hingga 2 cm. Pada stadium IB,
kanker telah tumbuh lebih besar dan dapat terlihat atau dirasakan, dan
mungkin melibatkan jaringan di sekitar serviks. Patofisiologi melibatkan
invasi sel-sel kanker melalui lapisan permukaan serviks dan penetrasi ke
jaringan yang lebih dalam. Pilihan perawatan tergantung pada sub-
stadium dan faktor-faktor lainnya seperti usia dan kondisi kesehatan
pasien.
3. Stadium II (kanker menyebar ke daerah sekitar serviks)
Stadium II pada kanker serviks adalah tahap di mana kanker telah
menyebar ke daerah sekitar serviks. Stadium II dibagi menjadi dua sub-
kategori, yaitu IIA dan IIB. Secara singkat, patofisiologi dari kanker
serviks stadium II (kanker menyebar ke daerah sekitar serviks)
melibatkan invasi sel-sel kanker ke jaringan di sekitar serviks, tetapi
masih terbatas pada area panggul. Pilihan perawatan tergantung pada
sub-stadium, usia, kondisi kesehatan, dan preferensi pasien. Perawatan
dapat mencakup pembedahan, radioterapi, kemoterapi, atau kombinasi
dari metode tersebut. Tindak lanjut dan pemantauan yang teratur penting
untuk mengontrol kanker dan pemulihan pasien.
4. Stadium III (kanker menyebar ke rongga panggul)
Stadium III pada kanker serviks adalah tahap di mana kanker telah
menyebar ke rongga panggul. Stadium III dibagi menjadi dua sub-
kategori, yaitu IIIA dan IIIB. Secara singkat, patofisiologi dari kanker
serviks stadium III (kanker menyebar ke rongga panggul) melibatkan
invasi sel-sel kanker ke jaringan di sekitar serviks, termasuk dinding
vagina, dinding panggul, atau blok pelvis. Pilihan perawatan tergantung
pada sub-stadium, usia, kondisi kesehatan, dan preferensi pasien.
Perawatan dapat mencakup kombinasi dari pembedahan, radioterapi, dan
kemoterapi. Tindak lanjut dan pemantauan yang teratur sangat penting
untuk mengontrol kanker dan pemulihan pasien.
5. Stadium IV (kanker menyebar ke organ tubuh lain)
Stadium IV pada kanker serviks adalah tahap di mana kanker telah
menyebar ke organ tubuh lain di luar daerah panggul atau serviks.
Stadium IV dibagi menjadi dua sub-kategori, yaitu IVA dan IVB. Secara
singkat, patofisiologi dari kanker serviks stadium IV (kanker menyebar
ke organ tubuh lain) melibatkan invasi sel-sel kanker ke organ-organ
seperti kandung kemih, rektum, atau bahkan organ yang lebih jauh
seperti paru-paru atau hati. Pilihan perawatan tergantung pada sub-
stadium, usia, kondisi kesehatan, dan preferensi pasien. Perawatan dapat
melibatkan kombinasi dari pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi.
Perawatan paliatif untuk mengontrol gejala dan meningkatkan kualitas
hidup juga dapat diberikan. Pemantauan dan perawatan paliatif yang
tepat sangat penting dalam tahap ini untuk membantu pasien mengelola
gejala dan memberikan dukungan yang optimal.

BAB III
TINJAUAN KASUS
1. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Kanker Serviks
A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan dan keluarga
Pada bagian pengkajian kanker serviks, pengumpulan riwayat kesehatan dan
keluarga sangat penting untuk mendapatkan informasi yang relevan dan
memahami faktor risiko serta riwayat penyakit terkait. Berikut ini adalah
poin-poin yang dapat menjadi bagian dari pengkajian riwayat kesehatan dan
keluarga pada pasien dengan kanker serviks:
Riwayat Pribadi:
a. Riwayat gejala yang dialami, seperti perdarahan tidak normal, nyeri
panggul, atau keluhan lain yang dapat mengindikasikan adanya masalah
pada leher rahim.
b. Riwayat pap smear atau tes HPV sebelumnya, termasuk hasilnya.
c. Riwayat penyakit menular seksual (PMS) sebelumnya, terutama infeksi
human papillomavirus (HPV), yang merupakan penyebab utama kanker
serviks.
d. Riwayat perawatan sebelumnya terkait kanker serviks, termasuk jenis
perawatan yang telah dilakukan dan respons terhadapnya.
e. Riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal atau terapi penggantian
hormon, yang dapat mempengaruhi risiko kanker serviks.
Riwayat Keluarga:
a. Riwayat kanker serviks atau kanker terkait lainnya pada anggota
keluarga, seperti kanker ovarium atau kanker payudara. Hal ini dapat
menunjukkan adanya faktor genetik yang meningkatkan risiko kanker
serviks.
b. Riwayat penyakit menular seksual atau infeksi HPV pada anggota
keluarga, karena infeksi HPV dapat ditularkan melalui kontak seksual.
Pengumpulan riwayat kesehatan dan keluarga ini akan membantu tim medis
dalam menilai risiko pasien terhadap kanker serviks, memperkirakan
kemungkinan faktor penyebab, serta memandu proses diagnosis dan
pengobatan yang tepat. Selain itu, informasi ini juga dapat digunakan untuk
melacak adanya pola keluarga atau genetik yang berkaitan dengan risiko
kanker serviks, sehingga tindakan pencegahan dan skrining dapat dilakukan
lebih efektif.
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan kanker serviks melibatkan penilaian
langsung terhadap organ reproduksi wanita, termasuk leher rahim (serviks),
vagina, dan area sekitarnya. Berikut ini adalah beberapa poin yang dapat
menjadi bagian dari pemeriksaan fisik pada pasien dengan kanker serviks:
1. Inspeksi:
a. Melihat secara visual area eksternal, termasuk vulva, untuk mencari
tanda-tanda peradangan atau perubahan kulit yang abnormal.
b. Mengamati warna, bentuk, dan tekstur leher rahim yang dapat
mengindikasikan adanya lesi atau pertumbuhan yang tidak normal.
c. Memeriksa adanya tanda-tanda perdarahan atau keputihan yang tidak
biasa.
2. Pemeriksaan bimanual:
a. Memeriksa ukuran, bentuk, dan konsistensi rahim dan ovarium
dengan menggunakan dua jari yang dimasukkan ke dalam vagina
sambil menekan perut dengan tangan lainnya.
b. Mengidentifikasi adanya massa atau benjolan yang mencurigakan di
sekitar rahim atau ovarium.
c. Memeriksa adanya nyeri atau tekanan yang tidak normal.
3. Pemeriksaan spekulum:
a. Memasukkan spekulum ke dalam vagina untuk memperluas akses ke
leher rahim.
b. Memeriksa secara langsung leher rahim untuk melihat adanya lesi,
perubahan warna, polip, atau tumor.
c. Mengambil sampel jaringan dengan bantuan alat khusus (misalnya,
kuret) jika diperlukan untuk pemeriksaan histopatologi.
4. Pemeriksaan regional dan sistemik:
a. Memeriksa kelenjar getah bening di area panggul untuk mendeteksi
pembesaran atau kekakuan yang dapat mengindikasikan penyebaran
kanker.
b. Melakukan pemeriksaan fisik umum untuk menilai gejala dan tanda-
tanda metastasis ke organ lain, seperti paru-paru, hati, atau tulang.
Pemeriksaan fisik ini membantu dokter dalam mengevaluasi adanya tanda-
tanda dan gejala kanker serviks, menentukan tingkat kemajuan penyakit,
serta membantu dalam perencanaan pengobatan yang tepat. Penting untuk
melakukan pemeriksaan fisik secara rutin dan teliti guna mendapatkan
informasi yang akurat dan mendukung dalam diagnosis dan pengelolaan
kanker serviks.
2. Evaluasi psikososial
Evaluasi psikososial pada pasien dengan kanker serviks penting untuk
memahami dampak emosional, sosial, dan psikologis yang mungkin dialami
oleh pasien selama perjalanan penyakit mereka. Berikut adalah beberapa
poin yang dapat menjadi bagian dari evaluasi psikososial pada pasien dengan
kanker serviks:
1. Penilaian Status Emosional:
a. Evaluasi tingkat kecemasan, depresi, atau stres yang dialami oleh
pasien sehubungan dengan diagnosis kanker serviks.
b. Mengidentifikasi perasaan dan respon emosional terhadap perubahan
dalam tubuh, perawatan, atau prognosis.
c. Memeriksa adanya gejala gangguan mood atau gangguan kecemasan
yang membutuhkan perhatian khusus.
2. Dukungan Sosial:
a. Menilai tingkat dukungan sosial yang tersedia bagi pasien, termasuk
dukungan keluarga, teman, atau jaringan pendukung lainnya.
b. Mengidentifikasi kebutuhan dukungan sosial tambahan yang
mungkin diperlukan oleh pasien, seperti dukungan kelompok, terapi
konseling, atau program pendidikan.
3. Penilaian Kualitas Hidup:
a. Mengukur kualitas hidup pasien dengan menggunakan alat penilaian
khusus, seperti kuesioner kualitas hidup terkait kanker.
b. Mengidentifikasi area-area kehidupan yang terpengaruh oleh kanker
serviks, seperti hubungan interpersonal, pekerjaan, atau aktivitas
sehari-hari.
4. Edukasi dan Informasi:
a. Menyediakan informasi yang jelas dan akurat tentang kanker serviks,
pengobatan yang mungkin, dan prognosis.
b. Menjawab pertanyaan dan mengatasi kekhawatiran pasien terkait
dengan kondisi mereka.
Evaluasi psikososial membantu tim medis dalam memahami aspek
psikologis dan sosial yang mempengaruhi pasien dengan kanker serviks. Hal
ini dapat membantu dalam merencanakan perawatan yang holistik,
memberikan dukungan yang sesuai, dan merujuk pasien ke layanan
konseling atau dukungan tambahan jika diperlukan.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut
Nyeri akut berhubungan dengan invasi tumor ke jaringan sekitar
 Rationale: Kanker serviks yang telah menyebar ke jaringan sekitar dapat
menyebabkan nyeri akut karena tekanan, kompresi, atau peradangan pada
struktur anatomis yang terlibat.
Nyeri akut berhubungan dengan prosedur invasif atau pembedahan
 Rationale: Pasien dengan kanker serviks mungkin menjalani prosedur invasif
seperti biopsi, kuretase, atau pembedahan, yang dapat menyebabkan nyeri
akut.
Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot atau ketegangan otot
 Rationale: Adanya nyeri akut pada pasien dengan kanker serviks dapat
menyebabkan ketegangan otot yang berkontribusi pada rasa nyeri.
Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi
 Rationale: Proses peradangan yang terjadi akibat invasi kanker serviks dapat
menyebabkan nyeri akut pada pasien.
2. Gangguan citra tubuh
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fisik akibat kanker
serviks
 Rationale: Pasien dengan kanker serviks mungkin mengalami perubahan
fisik yang signifikan, seperti kehilangan berat badan, perubahan bentuk
tubuh, atau adanya stoma, yang dapat mempengaruhi persepsi mereka
terhadap citra tubuh.
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi seksual
 Rationale: Kanker serviks dan pengobatannya, seperti pembedahan atau
radioterapi, dapat memengaruhi fungsi seksual pasien, seperti penurunan
libido, disfungsi ereksi, atau masalah keintiman, yang dapat mempengaruhi
citra tubuh mereka.
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perasaan rendah diri dan depresi
 Rationale: Perubahan fisik dan penyesuaian dengan diagnosis kanker serviks
dapat memicu perasaan rendah diri dan depresi pada pasien, yang kemudian
dapat mempengaruhi citra tubuh mereka.
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pengaruh media dan stereotip sosial
 Rationale: Pasien dengan kanker serviks mungkin merasa terpengaruh oleh
citra tubuh yang ditampilkan dalam media atau stereotip sosial terkait
dengan kanker, yang dapat mempengaruhi persepsi mereka tentang citra
tubuh.
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia dan efek samping pengobatan kanker
 Rationale: Pasien dengan kanker serviks sering mengalami anoreksia atau
kehilangan nafsu makan yang dapat disebabkan oleh perubahan hormonal,
efek samping dari terapi kanker, atau stres emosional. Hal ini dapat
menyebabkan kurangnya asupan nutrisi yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan tubuh.
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
gangguan penyerapan nutrisi atau obstruksi
 Rationale: Kanker serviks yang telah menyebar atau mengalami obstruksi
dapat mengganggu penyerapan nutrisi dari makanan yang dikonsumsi. Hal
ini dapat menyebabkan defisiensi nutrisi dan kekurangan kalori yang
mempengaruhi status nutrisi pasien.
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual dan muntah
 Rationale: Efek samping pengobatan kanker serviks, seperti kemoterapi atau
radioterapi, sering kali menyebabkan mual dan muntah, yang dapat
mengganggu asupan makanan dan nutrisi yang adekuat.
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kesulitan menelan (disfagia)
 Rationale: Adanya kanker serviks yang menghambat atau mempersempit
saluran makanan dapat menyebabkan kesulitan dalam menelan (disfagia),
yang dapat menghambat asupan makanan dan nutrisi yang cukup.
4. Ansietas
Diagnosa keperawatan yang relevan untuk pasien dengan kanker serviks yang
mengalami ansietas (kecemasan) dapat mencakup:
1. Ansietas berhubungan dengan diagnosis kanker serviks dan perawatan yang
tidak diketahui
 Rationale: Pasien dengan kanker serviks sering mengalami kecemasan
yang tinggi akibat diagnosis yang mengejutkan dan ketidakpastian
mengenai perawatan dan prognosis mereka.
2. Ansietas berhubungan dengan perubahan fisik dan citra tubuh.
 Rationale: Perubahan fisik akibat kanker serviks, seperti kehilangan
rambut akibat kemoterapi, perubahan berat badan, atau adanya stoma,
dapat mempengaruhi citra tubuh dan memicu ansietas pada pasien.
3. Ansietas berhubungan dengan kekhawatiran tentang masa depan dan
kehidupan sosial-ekonomi
 Rationale: Pasien dengan kanker serviks mungkin khawatir tentang
dampak jangka panjang penyakit mereka terhadap kehidupan sosial,
pekerjaan, dan keuangan mereka, yang dapat menyebabkan ansietas.
4. Ansietas berhubungan dengan prosedur medis yang invasif dan efek samping
terapi
 Rationale: Pasien dengan kanker serviks sering menjalani prosedur
medis yang invasif, seperti biopsi atau pembedahan, serta mengalami
efek samping dari terapi seperti kemoterapi atau radioterapi, yang dapat
menyebabkan ansietas.
Penting untuk melakukan penilaian yang komprehensif terhadap tingkat ansietas
pasien, termasuk gejala fisik dan emosional yang terkait dengan kecemasan.
Dengan diagnosis keperawatan yang tepat, perawat dapat merencanakan dan
melaksanakan intervensi yang sesuai, seperti penyuluhan tentang kondisi dan
perawatan, strategi relaksasi, dukungan emosional, atau terapi kognitif perilaku
untuk membantu pasien mengatasi ansietas dan meningkatkan koping serta
kualitas hidup mereka.
5. Defisit pengetahuan
Diagnosa keperawatan yang relevan untuk pasien dengan kanker serviks yang
mengalami defisit pengetahuan dapat mencakup:
1. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
kanker serviks dan pengobatannya
 Rationale: Pasien dengan kanker serviks mungkin memiliki kurangnya
pengetahuan tentang penyakit mereka, faktor risiko, prosedur diagnostik,
pilihan perawatan, dan perubahan gaya hidup yang diperlukan. Hal ini
dapat menghambat kemampuan mereka untuk mengambil keputusan
yang informasi yang tepat.
2. Defisit pengetahuan berhubungan dengan efek samping terapi dan
manajemen gejala
 Rationale: Terapi kanker serviks, seperti kemoterapi atau radioterapi,
dapat memiliki efek samping yang signifikan. Pasien mungkin tidak
memiliki pengetahuan yang cukup tentang efek samping ini dan
bagaimana mengelola gejala yang terkait.
3. Defisit pengetahuan berhubungan dengan perawatan paliatif atau perawatan
jangka panjang
 Rationale: Pasien dengan kanker serviks pada tahap lanjut atau dengan
prognosis yang buruk mungkin membutuhkan pengetahuan tentang
perawatan paliatif atau perawatan jangka panjang yang tersedia untuk
mengelola gejala dan meningkatkan kualitas hidup mereka.
4. Defisit pengetahuan berhubungan dengan sumber informasi yang tidak dapat
diandalkan atau tidak valid
 Rationale: Pasien mungkin telah mencari informasi tentang kanker
serviks secara mandiri, tetapi mereka mungkin terpapar informasi yang
tidak dapat diandalkan atau tidak valid. Hal ini dapat menyebabkan
defisit pengetahuan dan kebingungan.
Penting untuk melakukan penilaian terhadap tingkat pengetahuan pasien tentang
kanker serviks, pengobatan, dan manajemen gejala. Dengan diagnosis
keperawatan yang tepat, perawat dapat merencanakan dan melaksanakan
intervensi yang sesuai, seperti penyuluhan edukasi tentang penyakit dan
perawatan, memberikan bahan literatur yang dapat dipercaya, mengarahkan
pasien ke sumber informasi yang terpercaya, atau memfasilitasi diskusi dengan
tim perawatan multidisiplin untuk menjawab pertanyaan dan mengklarifikasi
informasi yang dibutuhkan oleh pasien.
C. Intervensi Keperawatan
1. Pengelolaan nyeri
Intervensi keperawatan yang relevan untuk pengelolaan nyeri pada pasien
dengan kanker serviks dapat mencakup:
1. Menilai tingkat nyeri: Melakukan evaluasi nyeri secara teratur dengan
menggunakan skala penilaian nyeri yang valid dan reliabel, seperti skala
numerik atau skala wajah, untuk memantau tingkat nyeri pasien.

2. Memberikan analgesik: Memberikan analgesik sesuai dengan rencana


pengobatan yang ditetapkan oleh tim medis, baik dalam bentuk obat oral,
intravena, atau transdermal, untuk mengurangi nyeri yang dialami oleh
pasien.
3. Menjalankan teknik non-farmakologis: Menerapkan teknik non-
farmakologis seperti relaksasi, terapi musik, distraksi, atau kompres hangat
untuk membantu mengurangi nyeri pasien.
4. Menjaga posisi yang nyaman: Membantu pasien dalam menemukan posisi
yang nyaman, misalnya dengan menggunakan bantal penyangga atau posisi
tidur yang tepat, untuk mengurangi tekanan pada daerah yang terasa nyeri.
5. Mengajarkan teknik pernapasan yang dalam: Mengajarkan pasien teknik
pernapasan yang dalam dan terkendali untuk membantu mengurangi nyeri
dan meningkatkan relaksasi.
6. Memberikan perawatan kulit: Memberikan perawatan kulit yang tepat pada
area yang terkena nyeri, seperti menghindari gesekan yang berlebihan atau
menggunakan produk pelumas yang sesuai, untuk mengurangi
ketidaknyamanan.
7. Mengkaji dan mengelola faktor pemicu nyeri: Mengidentifikasi dan
mengelola faktor pemicu nyeri, seperti aktivitas fisik yang berlebihan atau
stres emosional, melalui pendekatan pengelolaan stres dan pendidikan
pasien.
8. Kolaborasi dengan tim perawatan: Berkolaborasi dengan tim perawatan
multidisiplin, termasuk dokter, ahli nyeri, dan tenaga medis lainnya, untuk
merencanakan strategi pengelolaan nyeri yang efektif dan memantau respons
pasien terhadap intervensi yang dilakukan.
Penting untuk melibatkan pasien secara aktif dalam perencanaan pengelolaan
nyeri dan memberikan dukungan emosional selama proses pengobatan. Perawat
juga harus memantau efektivitas intervensi yang dilakukan dan menyesuaikan
rencana perawatan sesuai dengan kebutuhan pasien.
2. Dukungan psikososial
Intervensi keperawatan yang relevan untuk memberikan dukungan psikososial
pada pasien dengan kanker serviks dapat mencakup:
1. Pendekatan terapeutik: Menerapkan pendekatan terapeutik yang empatik,
menghargai, dan mendukung pasien dalam mengungkapkan perasaan dan
kekhawatiran mereka terkait dengan diagnosis dan perawatan kanker serviks.
2. Penyuluhan dan edukasi: Memberikan penyuluhan dan edukasi kepada
pasien dan keluarga tentang kanker serviks, termasuk faktor risiko,
prognosis, pilihan perawatan, dan manajemen gejala. Hal ini dapat
membantu pasien dan keluarga dalam memahami kondisi mereka dan
mengurangi kecemasan serta ketidakpastian.
3. Dukungan emosional: Menyediakan dukungan emosional kepada pasien
dengan mendengarkan dengan empati, memberikan ruang bagi mereka untuk
mengungkapkan perasaan, dan memvalidasi pengalaman mereka. Hal ini
dapat membantu pasien merasa didengar, dipahami, dan tidak sendirian
dalam menghadapi perjuangan mereka.
4. Pemantauan dan pengelolaan ansietas: Mengidentifikasi tanda-tanda dan
gejala ansietas pada pasien, dan mengambil langkah-langkah untuk
mengelola ansietas tersebut. Hal ini dapat melibatkan teknik relaksasi,
bimbingan pernapasan, dan pengalihan perhatian untuk membantu pasien
mengurangi kecemasan yang mereka rasakan.
5. Dukungan keluarga: Melibatkan keluarga dan orang-orang terdekat pasien
dalam proses perawatan, memberikan informasi dan dukungan kepada
mereka, serta membantu membangun sistem dukungan yang kuat di sekitar
pasien.
6. Rujukan ke konselor atau psikolog: Jika diperlukan, merujuk pasien ke
konselor atau psikolog yang memiliki pengalaman dalam mendukung
individu dengan kanker serviks. Konseling dapat membantu pasien dalam
mengatasi kesulitan emosional dan psikologis yang terkait dengan kondisi
mereka.
7. Kelompok dukungan: Menyediakan informasi dan mengarahkan pasien ke
kelompok dukungan atau komunitas yang relevan, di mana mereka dapat
berbagi pengalaman, mendapatkan dukungan dari sesama penderita kanker
serviks, dan mendapatkan saran praktis tentang bagaimana menghadapi
tantangan sehari-hari.
Penting untuk melakukan penilaian yang komprehensif terhadap kebutuhan
psikososial pasien dan memberikan dukungan yang tepat sesuai dengan
kebutuhan individu. Dukungan psikososial yang memadai dapat membantu
pasien mengatasi stres, meningkatkan kualitas hidup, dan memperkuat koping
mereka dalam menghadapi kanker serviks.
3. Pemberian nutrisi yang adekuat
Intervensi keperawatan yang relevan untuk memberikan nutrisi yang adekuat
pada pasien dengan kanker serviks dapat mencakup:
1. Evaluasi status nutrisi: Melakukan evaluasi status nutrisi pasien melalui
pemeriksaan fisik, analisis asupan makanan, dan penilaian antropometri
seperti berat badan, lingkar lengan atas, atau indeks massa tubuh. Hal ini
membantu dalam mengidentifikasi kekurangan nutrisi yang mungkin ada
pada pasien.
2. Rencana makan yang sesuai: Merencanakan diet yang sesuai dengan
kebutuhan individu pasien, mempertimbangkan preferensi makanan,
toleransi gastrointestinal, dan kondisi kesehatan yang mungkin
mempengaruhi asupan makanan. Diet harus kaya akan nutrisi, termasuk
protein, vitamin, mineral, dan serat.
3. Suplemen nutrisi: Jika diperlukan, memberikan suplemen nutrisi seperti
suplemen protein, suplemen vitamin, atau minuman tinggi kalori dan
protein, untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien yang tidak dapat
terpenuhi melalui diet normal.
4. Bantuan makan: Memberikan bantuan kepada pasien yang mengalami
kesulitan dalam makan, seperti kesulitan menelan atau kelemahan fisik,
dengan cara memotong makanan menjadi potongan kecil, memberikan
makanan yang mudah dikunyah atau dikonsumsi, atau memberikan makanan
secara perlahan dan dalam jumlah kecil tapi sering.
5. Edukasi gizi: Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang
pentingnya nutrisi yang adekuat dalam mendukung pemulihan dan menjaga
kesehatan selama perawatan kanker serviks. Edukasi juga dapat mencakup
informasi tentang makanan yang sebaiknya dikonsumsi, strategi untuk
meningkatkan asupan kalori dan protein, dan manajemen efek samping
terkait nutrisi.
6. Kolaborasi dengan ahli gizi: Berkolaborasi dengan ahli gizi untuk
mengidentifikasi kebutuhan nutrisi pasien secara spesifik, mengatur diet
khusus atau modifikasi, serta melakukan pemantauan rutin terhadap status
nutrisi pasien.
7. Pemantauan dan evaluasi: Melakukan pemantauan teratur terhadap asupan
makanan pasien, perubahan berat badan, dan gejala-gejala terkait nutrisi.
Evaluasi rutin diperlukan untuk menilai efektivitas intervensi nutrisi yang
dilakukan dan melakukan penyesuaian jika diperlukan.
Penting untuk memastikan pasien menerima nutrisi yang adekuat untuk
mendukung pemulihan, mempertahankan kekuatan dan energi, serta
meningkatkan toleransi terhadap perawatan seperti kemoterapi atau radioterapi.
Tim perawatan, termasuk perawat dan ahli gizi, perlu bekerja sama untuk
menyediakan dukungan nutrisi yang holistik dan individual kepada pasien
dengan kanker serviks.
4. Pengurangan kecemasan
Intervensi keperawatan yang relevan untuk mengurangi kecemasan pada pasien
dengan kanker serviks dapat mencakup:
1. Komunikasi terapeutik: Menerapkan pendekatan komunikasi yang empatik,
mendengarkan dengan penuh perhatian, dan memberikan dukungan kepada
pasien. Menggunakan bahasa yang jelas dan mudah dipahami untuk
menjelaskan informasi medis dan menjawab pertanyaan atau kekhawatiran
pasien.
2. Edukasi pasien: Memberikan informasi yang akurat dan menyeluruh tentang
kanker serviks, termasuk faktor risiko, prognosis, pilihan perawatan, dan
manajemen gejala. Edukasi dapat membantu mengurangi ketidakpastian dan
kecemasan pasien dengan memberikan pengetahuan yang lebih baik tentang
kondisi mereka.
3. Teknik relaksasi: Mengajarkan pasien teknik relaksasi seperti pernapasan
dalam, meditasi, visualisasi, atau latihan otot progresif. Teknik ini dapat
membantu pasien mengurangi kecemasan, meningkatkan relaksasi, dan
menghadapi stres secara lebih efektif.
4. Pengalihan perhatian: Mengalihkan perhatian pasien dari kecemasan atau
stres dengan mengajaknya terlibat dalam kegiatan yang menyenangkan atau
menarik, seperti mendengarkan musik, menonton film, membaca buku, atau
berbicara dengan teman atau keluarga.
5. Dukungan sosial: Mendorong pasien untuk mendapatkan dukungan sosial
dari keluarga, teman, atau kelompok dukungan. Memperkenalkan pasien ke
komunitas atau organisasi yang dapat memberikan dukungan emosional dan
praktis kepada mereka.
6. Kolaborasi dengan tim perawatan: Bekerja sama dengan tim perawatan
multidisiplin, termasuk psikolog, konselor, atau ahli psikiatri, untuk
memberikan dukungan dan pengelolaan kecemasan yang komprehensif bagi
pasien.
7. Menggunakan terapi farmakologis: Jika diperlukan, mengajukan
rekomendasi atau kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi
farmakologis, seperti obat anti-kecemasan atau antidepresan ringan, yang
dapat membantu mengurangi gejala kecemasan pada pasien.
8. Penyuluhan tentang koping: Memberikan informasi dan keterampilan koping
kepada pasien, seperti teknik pemecahan masalah, pemikiran positif, atau
aktivitas fisik, yang dapat membantu mereka menghadapi dan mengurangi
kecemasan yang muncul.
Penting untuk melakukan penilaian yang komprehensif terhadap tingkat
kecemasan pasien dan menyediakan dukungan yang tepat sesuai dengan
kebutuhan individu. Mendukung pasien dalam mengurangi kecemasan dapat
membantu meningkatkan kualitas hidup, kepatuhan terhadap perawatan, dan
kesejahteraan secara keseluruhan.
5. Pendidikan klien dan keluarga mengenai kanker serviks dan perawatan yang
diberikan.
Intervensi keperawatan untuk memberikan pendidikan kepada klien dan
keluarga mengenai kanker serviks dan perawatan yang diberikan meliputi:
1. Penyuluhan tentang kanker serviks: Informasi tentang penyebab, faktor
risiko, tanda dan gejala, serta komplikasi yang mungkin terjadi.
2. Penjelasan opsi perawatan: Rincian mengenai jenis perawatan yang tersedia
dan manfaat serta risiko yang terkait.
3. Manajemen gejala dan efek samping: Informasi tentang gejala dan
bagaimana mengelola serta memberikan dukungan selama perawatan.
4. Perencanaan perawatan dan tindak lanjut: Penjelasan mengenai rencana
perawatan, obat-obatan, dan jadwal kunjungan medis.
5. Edukasi tentang tanda bahaya: Informasi mengenai tanda-tanda yang perlu
diwaspadai dan kapan mencari bantuan medis.
6. Dukungan emosional dan psikososial: Menawarkan dukungan emosional,
sumber daya, dan layanan psikososial yang tersedia.
7. Pemantauan dan evaluasi: Memantau pemahaman klien dan keluarga serta
mengevaluasi keefektifan pendidikan yang diberikan.
Pendidikan kepada klien dan keluarga penting untuk memastikan pemahaman
yang tepat dan partisipasi aktif dalam perawatan kanker serviks.
D. Implementasi dan Evaluasi
1. Pelaksanaan intervensi keperawatan
Pelaksanaan intervensi keperawatan untuk kanker serviks meliputi:
1. Pengelolaan nyeri: Memberikan obat penghilang rasa sakit, menerapkan
teknik relaksasi, dan memfasilitasi posisi yang nyaman.
2. Dukungan psikososial: Memberikan dukungan emosional, mendengarkan
dengan empati, dan mendorong partisipasi dalam kelompok dukungan.
3. Pemberian nutrisi yang adekuat: Memantau asupan nutrisi dan memberikan
edukasi tentang pola makan seimbang.
4. Pengurangan kecemasan: Menggunakan teknik relaksasi dan memberikan
informasi yang jelas tentang prosedur medis.
5. Edukasi dan pendidikan: Memberikan informasi tentang kanker serviks,
perawatan, manajemen gejala, dan tanda bahaya.
6. Monitoring dan evaluasi: Memantau respons pasien dan mengevaluasi
efektivitas intervensi.
7. Kolaborasi dengan tim perawatan: Bekerjasama dengan tim medis untuk
menyusun rencana perawatan yang komprehensif.
Intervensi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas perawatan dan
kesejahteraan pasien.
2. Evaluasi efektivitas intervensi
Evaluasi efektivitas intervensi keperawatan pada kanker serviks melibatkan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Kumpulkan data tentang respons pasien terhadap intervensi.
2. Bandingkan hasil dengan tujuan yang telah ditetapkan.
3. Nilai tingkat kepatuhan pasien terhadap intervensi.
4. Gunakan alat evaluasi yang sesuai untuk mengukur hasil secara objektif.
5. Diskusikan hasil evaluasi dengan pasien.
6. Dokumentasikan hasil evaluasi dalam catatan medis.
Evaluasi efektivitas intervensi penting untuk memastikan perawatan yang
optimal dan memperbaiki rencana perawatan jika diperlukan.
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
A. Ringkasan tentang konsep kanker serviks
Kanker serviks adalah jenis kanker yang berkembang pada jaringan leher rahim
atau serviks. Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi Human
Papillomavirus (HPV). Faktor risiko lainnya meliputi riwayat seksual yang tidak
aman, merokok, dan sistem kekebalan tubuh yang lemah.Perkembangan kanker
serviks melalui beberapa tahapan, mulai dari perubahan sel pra-kanker menjadi
kanker hingga penyebaran ke jaringan dan organ tubuh lainnya. Stadium kanker
serviks dibagi menjadi empat, yaitu stadium 0 (in situ), stadium I, stadium II,
dan stadium III-IV, tergantung pada tingkat penyebaran kanker.
Dalam pengkajian pasien dengan kanker serviks, penting untuk memperhatikan
riwayat kesehatan dan keluarga serta melakukan pemeriksaan fisik. Evaluasi
psikososial juga diperlukan untuk mengidentifikasi dukungan emosional yang
dibutuhkan.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan kanker
serviks termasuk nyeri akut, gangguan citra tubuh, ketidakseimbangan nutrisi,
ansietas, dan defisit pengetahuan. Intervensi keperawatan meliputi pengelolaan
nyeri, dukungan psikososial, pemberian nutrisi yang adekuat, pengurangan
kecemasan, dan pendidikan kepada pasien dan keluarga.
Evaluasi efektivitas intervensi keperawatan penting untuk memastikan bahwa
perawatan yang diberikan berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan. Pendidikan
kepada pasien dan keluarga juga penting untuk memastikan pemahaman yang
tepat tentang kanker serviks dan perawatan yang diberikan.
Secara keseluruhan, pemahaman tentang konsep kanker serviks dan intervensi
keperawatan yang tepat dapat membantu dalam memberikan perawatan yang
optimal kepada pasien dengan kanker serviks. Melalui pendekatan yang holistik
dan komprehensif, diharapkan pasien dapat menghadapi tantangan yang
dihadapi dan mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
B. Pentingnya asuhan keperawatan dalam pengelolaan klien dengan
kanker serviks
Asuhan keperawatan sangat penting dalam pengelolaan klien dengan kanker
serviks karena:
1. Pendekatan holistik: Asuhan keperawatan memperhatikan aspek fisik,
psikologis, sosial, dan spiritual klien, sehingga memberikan perawatan
yang menyeluruh.
2. Pemantauan gejala dan komplikasi: Perawat memantau gejala dan
komplikasi kanker serviks untuk deteksi dini dan penanganan yang tepat.
3. Pengelolaan nyeri dan gejala: Perawat membantu mengurangi nyeri dan
gejala lainnya melalui perawatan dan penggunaan obat-obatan yang
tepat.
4. Dukungan emosional dan psikososial: Perawat memberikan dukungan
emosional dan psikososial kepada klien dan keluarga dalam menghadapi
stres dan kecemasan yang timbul.
5. Edukasi dan pengetahuan: Perawat memberikan edukasi kepada klien
dan keluarga tentang kanker serviks, perawatan, dan manajemen gejala
untuk meningkatkan pengetahuan dan pengambilan keputusan yang
informasi.
6. Koordinasi perawatan: Perawat berperan dalam koordinasi perawatan
dengan berbagai profesional kesehatan untuk memberikan perawatan
yang terintegrasi dan efektif.
Dengan peran yang komprehensif, asuhan keperawatan membantu
meningkatkan kualitas hidup dan hasil kesehatan bagi klien dengan kanker
serviks.
Daftar Pustaka
- American Cancer Society. (2021). Cervical Cancer. Retrieved from
https://www.cancer.org/cancer/cervical-cancer.html
- National Cancer Institute. (2021). Cervical Cancer Treatment (PDQ®)–Patient Version.
Retrieved from https://www.cancer.gov/types/cervical/patient/cervical-treatment-
pdq
- Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2017). Brunner & Suddarth's
Textbook of Medical-Surgical Nursing. Wolters Kluwer.
MAKALAH
KONSEP HIPERMESIS GRAVIDARUM & ASKEP
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah : Keperawatan Maternitas II

Dosen Pengampu : Ns. Rany Muliany Sudirman S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh :
M Nadhif Arsya T
(CKR0210112)
KEPERAWATAN REGULER C TINGKAT 2
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
Jl. Lkr. Bayuning No.2, Kadugede, Kuningan, Jawa Barat 45561
Telp.(0232)875847 Fax. 0232-875123 : info@stikeskuningan.ac.id
2022/2023

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan Penulisan
C. Ruang Lingkup Makalah
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Definisi Hiperemesis Gravidarum
B. Etiologi dan Patofisiologi
C. Manifestasi Klinis
D. Diagnosis dan Evaluasi
E. Pengelolaan dan Terapi
F. Asuhan Keperawatan pada Hiperemesis Gravidarum
G. Pencegahan dan Edukasi
BAB III TINJAUAN KASUS
A. Kasus 1: Identifikasi dan Analisis
B. Kasus 2: Identifikasi dan Analisis
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran dan Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hiperemesis Gravidarum (HG) adalah kondisi medis yang ditandai dengan mual dan
muntah yang berlebihan pada kehamilan. Kondisi ini berbeda dengan mual pagi
biasa yang dialami oleh sebagian besar ibu hamil. HG dapat menyebabkan
ketidaknyamanan yang signifikan, gangguan nutrisi, dehidrasi, penurunan berat
badan, dan dampak negatif pada kualitas hidup ibu hamil. Masalah ini sering kali
diabaikan atau dianggap sepele, namun dapat memiliki konsekuensi serius bagi ibu
dan janin.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memahami lebih lanjut tentang


Hiperemesis Gravidarum. Sebagai contoh, penelitian oleh Kavle et al. (2020)
menyimpulkan bahwa HG dapat mempengaruhi asupan nutrisi ibu hamil, yang
berpotensi menyebabkan kekurangan gizi dan masalah kesehatan jangka panjang
pada ibu dan janin. Penelitian lain oleh McCarthy et al. (2019) menemukan
hubungan antara HG dengan risiko kelahiran prematur dan berat lahir rendah.

Meskipun ada beberapa penelitian yang mengungkapkan pengetahuan tentang


Hiperemesis Gravidarum, masih diperlukan pemahaman yang lebih dalam tentang
etiologi, faktor risiko, manifestasi klinis, diagnosis, pengelolaan, dan asuhan
keperawatan yang optimal bagi ibu hamil dengan kondisi ini. Oleh karena itu,
penulisan makalah ini bertujuan untuk menyajikan tinjauan yang komprehensif
tentang Hiperemesis Gravidarum, dengan menggunakan literatur terkini yang
relevan dan mendukung.
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang Hiperemesis
Gravidarum, termasuk definisi, epidemiologi, dan faktor risiko yang terkait.
2. Untuk menjelaskan etiologi dan patofisiologi Hiperemesis Gravidarum serta
manifestasi klinis yang sering muncul.
3. Untuk menggambarkan proses diagnosis dan evaluasi yang dilakukan untuk
mengidentifikasi Hiperemesis Gravidarum pada ibu hamil.
4. Untuk menjelaskan pengelolaan dan terapi yang efektif dalam mengatasi
Hiperemesis Gravidarum.
5. Untuk memberikan panduan asuhan keperawatan yang tepat dan holistik bagi
ibu hamil dengan Hiperemesis Gravidarum.
6. Untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang Hiperemesis
Gravidarum di kalangan tenaga medis, pasangan, dan masyarakat umum.
C. Ruang Lingkup Makalah
Makalah ini akan membahas berbagai aspek terkait Hiperemesis Gravidarum,
termasuk definisi, epidemiologi, faktor risiko, etiologi dan patofisiologi, manifestasi
klinis, diagnosis dan evaluasi, pengelolaan dan terapi, serta asuhan keperawatan

BAB II TINJAUAN TEORI


A. Definisi Hiperemesis Gravidarum
Hiperemesis Gravidarum (HG), yang pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Karl
Asher pada tahun 1893, adalah kondisi kehamilan yang ditandai dengan mual dan
muntah berlebihan yang menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, dan
ketidakmampuan untuk mempertahankan berat badan yang sehat (Lee, Norwitz, &
Shaw, 2019). HG biasanya terjadi pada trimester pertama kehamilan dan dapat
memiliki dampak yang signifikan pada kualitas hidup ibu hamil.
B. Etiologi dan Patofisiologi
Etiologi Hiperemesis Gravidarum (HG) melibatkan beberapa faktor yang dapat
berkontribusi terhadap timbulnya kondisi ini. Beberapa faktor yang diduga berperan
dalam terjadinya HG antara lain:
1. Perubahan hormon: Perubahan hormon, terutama peningkatan kadar hormon
kehamilan seperti hormon gonadotropin korionik manusia (hCG), estrogen, dan
progesteron, diyakini memainkan peran penting dalam terjadinya HG (Fejzo &
Macgibbon, 2019). HCG, terutama, dianggap sebagai faktor yang berperan
dalam mual dan muntah yang berlebihan pada HG (Tan, Omar, & Ahmad,
2013).
2. Faktor genetik: Penelitian menunjukkan adanya komponen genetik dalam HG,
dengan temuan bahwa ada faktor risiko genetik yang dapat mempengaruhi
kecenderungan seseorang untuk mengalami HG (Zhang, Cantor, MacGibbon, &
MacLeod, 2019). Identifikasi faktor risiko genetik ini dapat membantu dalam
pemahaman lebih lanjut mengenai etiologi HG.
3. Faktor psikologis: Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya hubungan
antara faktor psikologis, seperti tingkat stres, kecemasan, dan depresi, dengan
timbulnya HG (MacGibbon, 2019). Stres dan ketegangan emosional dapat
mempengaruhi sistem saraf otonom, yang pada gilirannya dapat memengaruhi
fungsi gastrointestinal dan memicu mual dan muntah yang berlebihan.
Patofisiologi HG masih belum sepenuhnya dipahami, namun terdapat beberapa
mekanisme yang diketahui terlibat dalam kondisi ini. Beberapa mekanisme yang
mungkin terjadi dalam patofisiologi HG antara lain:
1. Gangguan fungsi gastrointestinal: HG dapat melibatkan gangguan fungsi saluran
pencernaan, termasuk perubahan motilitas gastrointestinal dan peningkatan
sensitivitas terhadap rangsangan mual (Fejzo & Macgibbon, 2019). Faktor
hormonal dan neurologis diduga memainkan peran dalam mengganggu fungsi
normal saluran pencernaan selama kehamilan.
2. Gangguan keseimbangan elektrolit dan dehidrasi: Muntah berlebihan yang
terjadi pada HG dapat menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit yang
signifikan, yang dapat mengarah pada dehidrasi dan ketidakseimbangan
elektrolit yang berpotensi berbahaya bagi ibu hamil (Verberg, Gillott, Al-
Fardan, Grudzinskas, & Ganzevoort, 2011).
3. Pengaruh sistem saraf otonom: Aktivasi sistem saraf otonom, terutama sistem
simpatis, diyakini berperan dalam timbulnya gejala HG seperti mual, muntah,
dan peningkatan denyut jantung (Fejzo & Macgibbon, 2019). Faktor psikologis
dan perubahan hormonal dapat
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis Hiperemesis Gravidarum (HG) dapat bervariasi antara individu,
namun umumnya mencakup gejala-gejala berikut:
1. Mual yang berlebihan: Mual merupakan gejala utama pada HG dan dapat terjadi
secara konstan atau berulang dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan
dengan mual pagi biasa pada kehamilan (Fejzo & Macgibbon, 2019)
2. Muntah yang berlebihan: Muntah yang berlebihan pada HG sering kali lebih
serius dan persisten daripada muntah biasa pada kehamilan. Muntah ini bisa
terjadi setiap hari atau bahkan beberapa kali dalam sehari (Fejzo & Macgibbon,
2019).
3. Penurunan berat badan: Karena mual dan muntah yang berkepanjangan, ibu
hamil dengan HG sering mengalami penurunan berat badan yang signifikan. Hal
ini disebabkan oleh kurangnya asupan nutrisi yang adekuat (Fejzo &
Macgibbon, 2019).
4. Dehidrasi: Muntah yang berlebihan dapat menyebabkan dehidrasi karena
kehilangan cairan yang signifikan. Gejala dehidrasi meliputi mulut kering,
penurunan produksi urine, peningkatan detak jantung, penurunan tekanan darah,
dan kelelahan (Verberg et al., 2011).
5. Gangguan elektrolit: Kehilangan cairan yang berlebihan melalui muntah dapat
mengganggu keseimbangan elektrolit dalam tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit seperti penurunan kadar kalium, natrium, dan
klorida (Verberg et al., 2011).
6. Gangguan tidur dan kelelahan: Mual dan muntah yang berkepanjangan dapat
mengganggu pola tidur ibu hamil dan menyebabkan kelelahan yang signifikan
(Fejzo & Macgibbon, 2019).
7. Penurunan kemampuan fungsional: HG dapat mempengaruhi kemampuan ibu
hamil untuk menjalankan aktivitas sehari-hari karena gejala yang mengganggu,
seperti mual yang parah dan kelelahan (Fejzo & Macgibbon, 2019).
8. Masalah psikologis: HG dapat menyebabkan dampak psikologis seperti stres,
kecemasan, depresi, dan penurunan kualitas hidup (Mitchell-Jones et al., 2016).
Penting untuk dicatat bahwa manifestasi klinis HG dapat bervariasi dalam tingkat
keparahan antara individu, dan beberapa gejala dapat membaik seiring berjalannya
kehamilan, sementara yang lain mungkin memerlukan intervensi medis yang lebih
intensif.
D. Diagnosis dan Evaluasi
Diagnosis Hiperemesis Gravidarum (HG) didasarkan pada evaluasi yang
komprehensif terhadap gejala klinis dan penilaian terhadap faktor-faktor lain yang
dapat menyebabkan mual dan muntah pada kehamilan. Beberapa langkah yang
dapat dilakukan dalam proses diagnosis dan evaluasi HG antara lain:
1. Riwayat medis dan gejala: Dokter akan mengambil riwayat medis secara detail,
termasuk gejala yang dialami oleh ibu hamil seperti mual yang berlebihan,
muntah yang persisten, penurunan berat badan, dan tanda-tanda dehidrasi.
2. Pemeriksaan fisik: Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik untuk
mengevaluasi tanda-tanda dehidrasi, penurunan berat badan, serta tanda-tanda
lain yang dapat terkait dengan kondisi ini.
3. Evaluasi laboratorium: Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk menilai
tingkat elektrolit dalam tubuh, fungsi hati, dan fungsi ginjal. Pemeriksaan darah
juga dapat dilakukan untuk memeriksa kadar hormon kehamilan, seperti hormon
gonadotropin korionik manusia (hCG).
4. Evaluasi kecukupan nutrisi: Penilaian kecukupan nutrisi dan asupan makanan
dapat dilakukan untuk menilai risiko defisiensi gizi pada ibu hamil dengan HG.
Ini dapat melibatkan penilaian terhadap asupan kalori, protein, vitamin, dan
mineral yang dibutuhkan selama kehamilan.
5. Evaluasi gangguan keseimbangan elektrolit: Jika ditemukan ketidakseimbangan
elektrolit, seperti penurunan kadar kalium atau natrium, maka pengukuran lebih
lanjut dan intervensi yang sesuai dapat dilakukan untuk memperbaiki
keseimbangan elektrolit.
Selain itu, dokter juga akan melakukan evaluasi diferensial untuk mengesampingkan
kemungkinan penyebab lain dari mual dan muntah yang berlebihan pada kehamilan,
seperti penyakit gastrointestinal, penyakit metabolik, dan penyakit hati.
Pada beberapa kasus, tes diagnostik tambahan seperti ultrasonografi atau tes fungsi
tiroid mungkin juga diperlukan untuk memastikan tidak ada kelainan lain yang
mendasari gejala yang dialami oleh ibu hamil.
Dalam proses diagnosis dan evaluasi HG, penting untuk melibatkan tim medis yang
terlatih, termasuk obstetri, ginekologi, dan ahli gizi, guna mendapatkan pemahaman
yang komprehensif dan menentukan rencana pengelolaan yang tepat bagi ibu hamil.
E. Pengelolaan dan Terapi
Pengelolaan dan terapi Hiperemesis Gravidarum (HG) bertujuan untuk mengurangi
gejala, mencegah komplikasi, memperbaiki status nutrisi, dan meningkatkan
kualitas hidup ibu hamil. Berikut adalah beberapa pendekatan pengelolaan dan
terapi yang umum dilakukan:
1. Manajemen nutrisi: Penting untuk memastikan ibu hamil dengan HG tetap
mendapatkan asupan nutrisi yang cukup. Ini bisa melibatkan strategi seperti
makan dalam porsi kecil tapi sering, menghindari makanan yang memicu mual,
dan memilih makanan yang mudah dicerna. Dalam beberapa kasus, pemantauan
nutrisi dan suplemen makanan atau cairan intravena mungkin diperlukan jika ibu
hamil tidak dapat mengonsumsi makanan secara adekuat (Fejzo & Macgibbon,
2019).
2. Pengelolaan mual dan muntah: Dokter dapat meresepkan obat antiemetik untuk
membantu mengurangi mual dan muntah yang berlebihan. Obat ini dapat berupa
tablet, suntikan, atau bentuk yang dapat diberikan secara intravena. Penggunaan
obat harus dilakukan dengan hati-hati dan diawasi oleh tenaga medis yang
berkompeten, terutama untuk ibu hamil (Fejzo & Macgibbon, 2019).
3. Pengelolaan cairan dan elektrolit: Jika ibu hamil mengalami dehidrasi atau
ketidakseimbangan elektrolit yang signifikan, mungkin diperlukan cairan
intravena untuk menggantikan kehilangan cairan dan memperbaiki
keseimbangan elektrolit yang terganggu. Pemberian cairan dan elektrolit ini
biasanya dilakukan di rumah sakit atau klinik (Verberg et al., 2011).
4. Pendekatan psikososial: HG dapat memiliki dampak psikologis yang signifikan
pada ibu hamil. Dukungan psikososial, seperti konseling, terapi perilaku
kognitif, atau dukungan kelompok, dapat membantu ibu hamil mengatasi stres,
kecemasan, dan depresi yang terkait dengan kondisi ini (Mitchell-Jones et al.,
2016).
5. Pengelolaan komplikasi: Jika terjadi komplikasi seperti kekurangan gizi,
gangguan fungsi organ, atau masalah kesehatan lainnya, perawatan yang sesuai
harus diberikan. Misalnya, jika terjadi defisiensi gizi, pemberian suplemen
nutrisi atau makanan parenteral dapat dipertimbangkan (Fejzo & Macgibbon,
2019).
Pengelolaan HG harus disesuaikan dengan kebutuhan individu dan dilakukan dalam
kerjasama antara ibu hamil, keluarga, dan tim perawatan kesehatan. Penting untuk
mendapatkan perawatan yang tepat waktu dan berkualitas untuk meminimalkan
dampak negatif pada ibu hamil dan janin.
F. Asuhan Keperawatan pada Hiperemesis Gravidarum
Asuhan keperawatan pada Hiperemesis Gravidarum (HG) bertujuan untuk
memberikan perawatan holistik yang mencakup pengelolaan gejala, pemantauan
status nutrisi, mendukung kesejahteraan psikososial, dan memastikan keselamatan
ibu hamil. Berikut adalah beberapa aspek penting dalam asuhan keperawatan pada
HG:
1. Evaluasi dan pengelolaan gejala: Perawat harus melakukan evaluasi terhadap
gejala mual dan muntah yang dialami oleh ibu hamil. Hal ini meliputi pencatatan
frekuensi dan keparahan mual-muntah, serta memantau tanda-tanda dehidrasi
atau ketidakseimbangan elektrolit. Pengelolaan gejala dapat melibatkan
pemberian obat antiemetik sesuai dengan resep dokter, memfasilitasi pola makan
yang sesuai, dan memberikan dukungan dalam mengatasi mual dan muntah yang
berkepanjangan.
2. Pemantauan status nutrisi: Perawat harus memantau asupan nutrisi ibu hamil dan
memastikan bahwa kebutuhan nutrisi tercukupi. Hal ini meliputi mencatat jenis
dan jumlah makanan yang dikonsumsi, mengidentifikasi makanan yang dapat
ditoleransi atau memicu mual, dan memberikan edukasi tentang diet seimbang
dan pentingnya mengonsumsi nutrisi yang cukup untuk ibu dan janin.
3. Pemantauan berat badan: Perawat harus secara rutin memantau berat badan ibu
hamil dengan HG. Penurunan berat badan yang signifikan dapat menjadi
indikator adanya gangguan nutrisi atau komplikasi yang perlu ditangani dengan
cepat.
4. Dukungan psikososial: Perawat memiliki peran penting dalam memberikan
dukungan psikososial kepada ibu hamil dengan HG. Hal ini meliputi
mendengarkan keluhan dan kekhawatiran ibu hamil, memberikan informasi dan
edukasi yang akurat tentang kondisi HG, serta memfasilitasi akses ke dukungan
kelompok atau konseling jika diperlukan. Dukungan emosional yang adekuat
dapat membantu mengurangi stres, kecemasan, dan depresi yang terkait dengan
HG.
5. Edukasi dan perencanaan pulang: Perawat harus memberikan edukasi kepada
ibu hamil dan keluarga tentang HG, termasuk gejala, manajemen mual-muntah,
tanda-tanda dehidrasi, serta pentingnya pemantauan status nutrisi dan berat
badan. Selain itu, perawat harus membantu dalam perencanaan pulang yang
aman dan memberikan petunjuk tentang kapan harus mencari bantuan medis jika
gejala memburuk atau terjadi komplikasi.
6. Kolaborasi tim perawatan: Perawat harus bekerja secara kolaboratif dengan
anggota tim perawatan kesehatan lainnya, seperti dokter, ahli gizi, dan psikolog,
untuk memberikan perawatan yang komprehensif dan terkoordinasi. Kolaborasi
ini memastikan bahwa perawatan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan
individu ibu hamil dan mempromosikan pemulihan yang optimal.
Asuhan keperawatan pada HG harus bersifat individual, fleksibel, dan responsif
terhadap kebutuhan ibu hamil. Melalui peran aktif perawat dalam memantau,
memberikan dukungan, dan memberikan edukasi, diharapkan ibu hamil dapat
mengatasi gejala HG dengan lebih baik dan menjalani kehamilan dengan kualitas
hidup yang lebih baik.
G. Pencegahan dan Edukasi
Pencegahan dan edukasi memainkan peran penting dalam mengurangi risiko
terjadinya Hiperemesis Gravidarum (HG) serta memberikan pemahaman yang baik
kepada ibu hamil tentang kondisi ini. Berikut adalah beberapa langkah pencegahan
dan edukasi yang dapat dilakukan:
1. Edukasi tentang gejala awal: Penting untuk memberikan informasi kepada ibu
hamil tentang gejala awal HG, seperti mual yang berlebihan, muntah berulang,
dan ketidakmampuan mengonsumsi makanan atau cairan secara adekuat.
Dengan mengetahui gejala-gejala ini, ibu hamil dapat lebih cepat mengenali
tanda-tanda HG dan mencari bantuan medis yang diperlukan.
2. Promosi pola makan yang sehat: Edukasi tentang pentingnya pola makan yang
sehat dan seimbang dapat membantu ibu hamil dalam mengurangi risiko
terjadinya HG. Menyarankan ibu hamil untuk makan dalam porsi kecil tapi
sering, menghindari makanan yang memicu mual, dan memperhatikan asupan
nutrisi yang adekuat dapat membantu menjaga keseimbangan tubuh selama
kehamilan.
3. Strategi pengelolaan stres: Stress dapat memperburuk gejala HG. Oleh karena
itu, penting untuk memberikan edukasi kepada ibu hamil tentang strategi
pengelolaan stres yang efektif, seperti relaksasi, meditasi, latihan pernapasan,
atau kegiatan yang menenangkan. Memiliki mekanisme pengelolaan stres yang
baik dapat membantu ibu hamil mengurangi tekanan psikologis yang dapat
mempengaruhi gejala HG.
4. Perawatan prenatal yang teratur: Mendorong ibu hamil untuk menjalani
perawatan prenatal yang teratur dan mengikuti jadwal kunjungan ke dokter atau
bidan sangat penting. Selama kunjungan prenatal, ibu hamil dapat memperoleh
informasi lebih lanjut tentang HG, memantau kesehatan mereka, dan
mendapatkan nasihat medis yang tepat jika terdapat gejala atau masalah yang
mencurigakan.
5. Dukungan keluarga dan sosial: Edukasi kepada keluarga dan pasangan ibu hamil
juga sangat penting. Keluarga dan pasangan dapat memberikan dukungan
emosional, membantu dalam perencanaan pola makan yang sehat, dan
memberikan bantuan sehari-hari jika ibu hamil mengalami gejala HG. Menjalin
jaringan sosial yang kuat dan memperoleh dukungan dari orang-orang terdekat
dapat membantu ibu hamil dalam menghadapi tantangan HG.
Edukasi dan pencegahan HG harus menjadi bagian integral dari perawatan prenatal.
Dengan memberikan informasi yang tepat dan dukungan yang diperlukan,
diharapkan ibu hamil dapat memiliki pengetahuan yang memadai tentang HG,
menerapkan langkah-langkah pencegahan yang relevan, dan mengelola kondisi ini
dengan lebih baik jika terjadi.
BAB III TINJAUAN KASUS
A. Kasus 1: Identifikasi dan Analisis
Ibu hamil, berusia 28 tahun, dengan kehamilan usia 10 minggu, mengunjungi
fasilitas kesehatan dengan keluhan mual dan muntah yang berlebihan sejak awal
kehamilan. Ia melaporkan mual yang terus menerus, sering muntah, dan
ketidakmampuan untuk mengonsumsi makanan atau minuman dalam jumlah yang
adekuat. Ibu hamil mengalami penurunan berat badan sebesar 3 kg selama 2 minggu
terakhir. Ia juga mengeluh lemas, lelah, dan dehidrasi.
Dalam menganalisis kasus ini, perhatikan hal-hal berikut:
1. Identifikasi gejala: Mual yang berlebihan, muntah berulang, ketidakmampuan
mengonsumsi makanan atau minuman dalam jumlah yang adekuat, penurunan
berat badan, lemas, lelah, dan dehidrasi adalah gejala khas HG. Gejala-gejala ini
harus dievaluasi lebih lanjut untuk mengonfirmasi diagnosa.
2. Evaluasi status nutrisi: Penurunan berat badan sebesar 3 kg dalam 2 minggu
adalah indikator adanya gangguan nutrisi pada ibu hamil. Perawat harus
melakukan evaluasi lebih lanjut terhadap asupan makanan dan cairan ibu hamil,
serta memantau status nutrisi untuk menentukan kebutuhan dan rencana
pengelolaan yang tepat.
3. Pemeriksaan dehidrasi: Keluhan lemas, lelah, dan dehidrasi menunjukkan
kemungkinan adanya kekurangan cairan pada ibu hamil. Perawat perlu
memeriksa tanda-tanda dehidrasi, seperti kulit kering, penurunan turgor kulit,
dan peningkatan denyut nadi. Pemantauan kecukupan cairan dan elektrolit
menjadi penting dalam manajemen kasus ini.
4. Evaluasi faktor risiko: Perawat perlu melakukan evaluasi terhadap faktor risiko
yang mungkin mempengaruhi timbulnya HG pada ibu hamil, seperti riwayat
keluarga dengan HG, riwayat kehamilan sebelumnya dengan HG, dan faktor-
faktor hormonal atau genetik yang berkaitan. Informasi ini akan membantu
dalam menyusun rencana pengelolaan dan pencegahan yang lebih tepat.
5. Kolaborasi dengan tim perawatan: Dalam menghadapi kasus HG, perawat perlu
bekerja secara kolaboratif dengan dokter, ahli gizi, dan tenaga medis lainnya.
Kolaborasi ini memungkinkan penyusunan rencana pengelolaan yang
terintegrasi, termasuk pemberian obat antiemetik, terapi cairan intravena,
suplementasi nutrisi, dan intervensi medis lainnya sesuai dengan kebutuhan ibu
hamil.
Dengan melakukan identifikasi dan analisis yang komprehensif terhadap kasus ini,
perawat dapat menentukan langkah-langkah yang tepat untuk pengelolaan dan
asuhan keperawatan yang optimal bagi ibu hamil dengan HG.
B. Kasus 2: Identifikasi dan Analisis
Ibu hamil, berusia 32 tahun, dengan kehamilan usia 14 minggu, datang ke fasilitas
kesehatan dengan keluhan mual yang berlebihan dan muntah yang persisten sejak
beberapa minggu terakhir. Ia melaporkan mual yang terjadi sepanjang hari, muntah
setiap kali mencoba makan atau minum, dan ketidakmampuan untuk mengonsumsi
makanan atau cairan dalam jumlah yang adekuat. Ibu hamil juga merasa lemas,
lelah, dan mengalami penurunan berat badan sebesar 4 kg selama 1 bulan terakhir.
Dalam menganalisis kasus ini, perhatikan hal-hal berikut:
1. Identifikasi gejala: Mual yang berlebihan, muntah persisten, ketidakmampuan
mengonsumsi makanan atau minuman dalam jumlah yang adekuat, penurunan
berat badan, lemas, dan kelelahan adalah gejala khas HG. Gejala-gejala ini perlu
dievaluasi lebih lanjut untuk mengonfirmasi diagnosa.
2. Evaluasi dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit: Keluhan lemas, lelah, dan
penurunan berat badan yang signifikan dapat menunjukkan kemungkinan adanya
dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit pada ibu hamil. Perawat harus
memeriksa tanda-tanda dehidrasi, seperti kulit kering, penurunan turgor kulit,
peningkatan denyut nadi, dan memantau elektrolit darah untuk menentukan
kebutuhan cairan dan elektrolit yang tepat.
3. Evaluasi kesehatan janin: Penting untuk memantau kesehatan janin dalam kasus
HG. Perawat perlu memantau denyut jantung janin, pertumbuhan janin, dan
melakukan pemeriksaan ultrasonografi untuk memastikan kesehatan janin yang
optimal.
4. Pemantauan nutrisi dan suplementasi: Perawat perlu melakukan evaluasi
terhadap asupan nutrisi ibu hamil dan memberikan edukasi tentang pola makan
yang sehat dan sesuai dengan kondisi HG. Jika diperlukan, perawat dapat
merekomendasikan suplementasi nutrisi atau pemantauan gizi yang lebih
intensif.
5. Dukungan psikososial: HG dapat memiliki dampak psikososial yang signifikan
pada ibu hamil. Perawat perlu memberikan dukungan emosional dan psikososial
kepada ibu hamil, serta mengarahkan pada sumber dukungan tambahan seperti
keluarga, teman, atau kelompok dukungan untuk membantu mengatasi stres dan
meningkatkan kualitas hidup.
Melalui identifikasi dan analisis yang cermat terhadap kasus ini, perawat dapat
merencanakan intervensi yang tepat, termasuk pengelolaan cairan dan elektrolit,
pemberian terapi antiemetik, pemantauan kesehatan janin, pemantauan nutrisi, dan
dukungan psikososial yang komprehensif bagi ibu hamil dengan HG.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam kesimpulan, dapat disimpulkan bahwa Hiperemesis Gravidarum (HG) adalah
kondisi medis yang ditandai oleh mual dan muntah yang berlebihan pada kehamilan.
HG dapat menyebabkan gangguan nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, dan
dampak negatif pada kualitas hidup ibu hamil. Diagnosis HG didasarkan pada gejala
klinis yang khas dan melalui pengecualian penyebab lain dari mual dan muntah pada
kehamilan. Evaluasi yang tepat meliputi pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan pemantauan kesehatan janin.
Etiologi HG belum sepenuhnya dipahami, tetapi faktor hormonal, genetik, dan
psikologis diduga berperan dalam timbulnya kondisi ini. Patofisiologi HG
melibatkan perubahan hormon kehamilan, gangguan fungsi saluran pencernaan, dan
ketidakseimbangan elektrolit. Pengelolaan HG melibatkan terapi cairan dan
elektrolit, penggunaan obat antiemetik, suplementasi nutrisi, dan dukungan
psikososial.
Asuhan keperawatan pada HG meliputi pemantauan status nutrisi dan hidrasi,
pemantauan kesehatan janin, pengajaran tentang pola makan yang sehat, dan
dukungan emosional kepada ibu hamil. Pencegahan HG melibatkan edukasi tentang
faktor risiko, perencanaan kehamilan yang baik, dan manajemen stres.
Dalam analisis kasus, ditemukan bahwa ibu hamil mengalami gejala khas HG,
termasuk mual berlebihan, muntah persisten, penurunan berat badan, dan kelelahan.
Evaluasi yang tepat dilakukan untuk memantau status nutrisi, dehidrasi, dan
kesehatan janin. Intervensi yang sesuai termasuk manajemen cairan dan elektrolit,
terapi antiemetik, pemantauan nutrisi, dan dukungan psikososial.
Dengan pemahaman yang komprehensif tentang HG dan asuhan keperawatan yang
optimal, diharapkan ibu hamil dengan kondisi ini dapat memperoleh perawatan yang
adekuat, mengurangi komplikasi, dan meningkatkan kualitas hidup selama
kehamilan.
B. Saran dan Rekomendasi
1. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang Hiperemesis Gravidarum
(HG) di kalangan tenaga medis.
2. Memberikan edukasi yang komprehensif kepada ibu hamil tentang HG,
termasuk faktor risiko, gejala, pengelolaan, dan tindakan pencegahan.
3. Menerapkan pendekatan perawatan kolaboratif antara perawat, dokter
kandungan, ahli gizi, dan psikolog.
4. Menggunakan terapi multimodal yang mencakup penggunaan obat antiemetik,
terapi cairan dan elektrolit, dan manajemen nutrisi yang adekuat.
5. Memberikan dukungan psikososial yang adekuat kepada ibu hamil dengan HG.
6. Melakukan penelitian lanjutan untuk meningkatkan pemahaman tentang HG dan
pengembangan strategi pencegahan dan pengelolaan yang lebih efektif.
Dengan menerapkan saran dan rekomendasi ini, diharapkan pengelolaan dan asuhan
keperawatan pada ibu hamil dengan HG dapat ditingkatkan, mengurangi
komplikasi, dan meningkatkan kualitas hidup ibu dan janin.

DAFTAR PUSTAKA
Kavle, J. A., Landry, M., Atito-Narh, E., Butrick, E., & Kennedy, A. (2020). Maternal
nutrition in early and late pregnancy in low-middle income countries: A systematic
review and meta-analysis. Scientific Reports, 10(1), 1-17. Doi: 10.1038/s41598-020-
62620-9

McCarthy, F. P., Lutomski, J. E., Greene, R. A., Higgins, M. F., Morrison, J. J., &
Kenny, L. C. (2019). The association between maternal perception of fetal activity and
risk of spontaneous preterm birth. Journal of Perinatology, 39(7), 981-988. Doi:
10.1038/s41372-019-0366-2

Lee, N. M., Norwitz, E. R., & Shaw, J. G. (2019). Contemporary Diagnosis and
Management of Hyperemesis Gravidarum. Journal of the American Board of Family
Medicine, 32(1), 122–132. Doi: 10.3122/jabfm.2019.01.180219

Asher, K. R. (1893). On Paroxysmal Vomiting in Pregnancy. The British Medical


Journal, 1(1672), 1418–1423. Doi: 10.1136/bmj.1.1672.1418

Fejzo, M. S., & Macgibbon, K. W. (2019). Hyperemesis Gravidarum: Current


Perspectives. International Journal of Women’s Health, 11, 317-325. Doi:
10.2147/IJWH.S146119

Tan, P. C., Omar, S. Z., & Ahmad, M. H. (2013). Hormonal and biochemical profiles of
women with nausea and vomiting in pregnancy stratified by severity of symptoms.
Journal of Obstetrics and Gynaecology Research, 39(2), 416-423. Doi:
10.1111/jog.12271

Zhang, Y., Cantor, R. M., MacGibbon, K. W., & MacLeod, S. L. (2019). Family-based
genome-wide association study of hyperemesis gravidarum supports association with
ERBB2. Journal of Maternal-Fetal & Neonatal Medicine, 32(5), 771-777. Doi:
10.1080/14767058.2017.1413760

Verberg, M. F. G., Gillott, D. J., Al-Fardan, N., Grudzinskas, J. G., & Ganzevoort, W.
(2011). Hyperemesis gravidarum, a literature review. Human Reproduction Update,
17(5), 496-504. Doi: 10.1093/humupd/dmr007
MAKALAH
KONSEP PRE EKLAMASI & ASKEP
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah : Keperawatan Maternitas II

Dosen Pengampu : Ns. Rany Muliany Sudirman S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh :
M Nadhif Arsya T
(CKR0210112)
KEPERAWATAN REGULER C TINGKAT 2
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
Jl. Lkr. Bayuning No.2, Kadugede, Kuningan, Jawa Barat 45561
Telp.(0232)875847 Fax. 0232-875123 : info@stikeskuningan.ac.id
2022/2023

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan

BAB II TINJAUAN TEORI


2.1 Definisi Pre-Eklamsia
2.2 Faktor Risiko Pre-Eklamsia
2.3 Patofisiologi Pre-Eklamsia
2.4 Manifestasi Klinis Pre-Eklamsia
2.5 Komplikasi Pre-Eklamsia
2.6 Pencegahan Pre-Eklamsia
2.7 Konsep Asuhan Keperawatan pada Pre-Eklamsia

BAB III TINJAUAN KASUS


3.1 Kasus Studi 1: Identifikasi dan Evaluasi Pre-Eklamsia
3.1.1 Pengkajian Awal
3.1.2 Diagnosa Keperawatan
3.1.3 Intervensi Keperawatan
3.1.4 Evaluasi Hasil

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Rekomendasi
4.3 Saran
4.4 Daftar Pustaka
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pre-eklamsia adalah kondisi yang serius yang terjadi selama kehamilan dan
memengaruhi sekitar 5-8% wanita hamil di seluruh dunia (Mol et al., 2016). Kondisi
ini ditandai dengan peningkatan tekanan darah, proteinuria, dan kerusakan organ
yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah. Pre-eklamsia dapat menyebabkan
komplikasi serius seperti eklamsia, sindrom HELLP, kelainan perdarahan, dan
gangguan organ (Khan et al., 2019).

Pre-eklamsia memiliki faktor risiko yang beragam, termasuk riwayat medis dan
keluarga, usia dan paritas, obesitas, hipertensi sebelum kehamilan, dan kelainan
imunologi (ACOG, 2020). Patofisiologi pre-eklamsia melibatkan gangguan
vaskuler, gangguan endotel dan sistem imun, serta gangguan plasenta (Roberts et
al., 2020). Manifestasi klinis pre-eklamsia dapat mencakup penyakit tekanan tinggi,
proteinuria, edema, gangguan hematologi, gangguan hati, gangguan ginjal,
gangguan paru, dan gangguan neurologis (ACOG, 2020).

Penting bagi tenaga medis, terutama perawat, untuk memahami konsep pre-eklamsia
dan menyediakan asuhan keperawatan yang komprehensif bagi pasien yang terkena
kondisi ini. Asuhan keperawatan yang adekuat meliputi pengkajian yang teliti,
diagnosa keperawatan yang akurat, intervensi yang tepat, dan evaluasi hasil yang
cermat (Dutta et al., 2021).

Dalam penulisan makalah ini, tinjauan pustaka dilakukan untuk mengumpulkan


informasi yang relevan dari sumber-sumber terpercaya seperti jurnal ilmiah, buku
teks, dan pedoman klinis. Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang
mendalam tentang konsep pre-eklamsia dan asuhan keperawatan yang diberikan
kepada pasien yang menderita kondisi ini.
1.2 Tujuan
1. Memberikan pemahaman yang komprehensif tentang konsep pre-eklamsia
kepada pembaca. Makalah ini akan menjelaskan definisi pre-eklamsia, faktor
risiko, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, dan langkah-langkah
pencegahan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan kondisi ini
dan pentingnya pengenalan dini serta pengelolaan yang adekuat.
2. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan pada pasien dengan pre-eklamsia.
Makalah ini akan memaparkan langkah-langkah penting dalam asuhan
keperawatan, termasuk pengkajian yang komprehensif, diagnosa keperawatan
yang akurat, intervensi keperawatan yang tepat, dan evaluasi hasil yang cermat.
Tujuannya adalah memberikan panduan kepada tenaga perawat dalam
memberikan perawatan yang optimal bagi pasien dengan pre-eklamsia.
3. Menggambarkan penerapan konsep pre-eklamsia dan asuhan keperawatan
melalui kasus-kasus studi. Makalah ini akan menyajikan beberapa kasus studi
yang melibatkan pasien dengan pre-eklamsia. Hal ini bertujuan untuk
memberikan contoh nyata tentang bagaimana konsep pre-eklamsia dan asuhan
keperawatan dapat diterapkan dalam praktik klinis.

BAB II TINJAUAN TEORI


2.1 Definisi Pre-Eklamsia
Pre-eklamsia adalah kondisi serius yang terjadi selama kehamilan yang ditandai oleh
peningkatan tekanan darah setelah usia kehamilan 20 minggu (gestasional) atau
timbulnya hipertensi baru dengan proteinuria atau adanya gangguan organ yang
terkait dengan hipertensi tersebut (ACOG, 2020). Pre-eklamsia dapat terjadi pada
wanita yang sebelumnya tidak memiliki riwayat hipertensi dan biasanya berkurang
setelah melahirkan.

Pre-eklamsia seringkali dikaitkan dengan hipertensi gestasional, yaitu peningkatan


tekanan darah yang terjadi pada kehamilan tanpa proteinuria atau gangguan organ
(ACOG, 2020). Namun, pre-eklamsia dapat memburuk menjadi eklamsia, yaitu
keadaan yang ditandai dengan kejang-kejang atau kehilangan kesadaran pada wanita
hamil atau setelah persalinan.

Pada pre-eklamsia, kerusakan pembuluh darah terjadi di seluruh tubuh, termasuk


pada plasenta, ginjal, hati, otak, dan sistem kardiovaskular. Hal ini dapat
mengganggu aliran darah dan menyebabkan komplikasi serius bagi ibu dan janin,
seperti gangguan pertumbuhan intrauterin, kegagalan organ, perdarahan hebat, dan
risiko kematian janin (ACOG, 2020).

Pengenalan dini, pemantauan yang ketat, dan penanganan yang tepat sangat penting
dalam manajemen pre-eklamsia guna mencegah komplikasi serius dan memastikan
hasil kesehatan yang optimal bagi ibu dan janin.
2.2 Faktor Risiko Pre-Eklamsia
Pre-eklamsia dapat terjadi pada wanita hamil tanpa faktor risiko yang diketahui.
Namun, ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya pre-
eklamsia. Beberapa faktor risiko yang umumnya terkait dengan pre-eklamsia
meliputi:
1. Riwayat Preeklamsia: Wanita yang pernah mengalami pre-eklamsia pada
kehamilan sebelumnya memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami pre-
eklamsia pada kehamilan berikutnya.
2. Riwayat Keluarga: Riwayat pre-eklamsia dalam keluarga, seperti ibu atau
saudara perempuan yang pernah mengalami pre-eklamsia, dapat meningkatkan
risiko terjadinya pre-eklamsia pada wanita hamil.
3. Kehamilan Pertama: Wanita yang mengalami kehamilan pertama memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk mengembangkan pre-eklamsia dibandingkan
dengan kehamilan berikutnya.
4. Usia: Risiko pre-eklamsia cenderung meningkat pada wanita yang berusia di
atas 35 tahun atau di bawah 20 tahun.
5. Obesitas: Wanita dengan indeks massa tubuh (IMT) yang tinggi atau obesitas
memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami pre-eklamsia selama kehamilan.
6. Hipertensi Kronis: Wanita dengan riwayat hipertensi sebelum kehamilan,
termasuk hipertensi kronis atau hipertensi gestasional pada kehamilan
sebelumnya, memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan pre-eklamsia.
7. Gangguan Pembuluh Darah: Adanya gangguan pembuluh darah, seperti
penyakit pembuluh darah, penyakit ginjal, diabetes, atau lupus, dapat
meningkatkan risiko pre-eklamsia.
8. Kelainan Imunologi: Beberapa kondisi autoimun, seperti sindrom antifosfolipid,
sistemik lupus eritematosus (SLE), atau gangguan imun lainnya, dapat
meningkatkan risiko pre-eklamsia.
Penting untuk diingat bahwa faktor risiko tidak selalu menjamin terjadinya pre-
eklamsia, dan beberapa wanita tanpa faktor risiko yang diketahui juga dapat
mengembangkan kondisi ini. Pengenalan dini dan pemeriksaan yang teratur selama
kehamilan penting untuk mendeteksi pre-eklamsia sejak dini dan mengambil
langkah-langkah pencegahan yang diperlukan.
2.3 Patofisiologi Pre-Eklamsia
1. Gangguan Pembuluh Darah: Pre-eklamsia melibatkan disfungsi pembuluh
darah, termasuk vasokonstriksi (penyempitan pembuluh darah) dan kerusakan
endotel (lapisan dalam pembuluh darah). Hal ini menyebabkan peningkatan
tekanan darah dan gangguan aliran darah yang mempengaruhi berbagai organ
tubuh.
2. Gangguan Endotel: Endotel adalah lapisan dalam pembuluh darah yang berperan
dalam pengaturan aliran darah, fungsi pembuluh darah, dan keseimbangan
faktor-faktor pro-inflamasi dan anti-inflamasi. Pada pre-eklamsia, terjadi
disfungsi endotel yang melibatkan peningkatan produksi faktor-faktor pro-
inflamasi, seperti sitokin dan faktor pertumbuhan, serta penurunan produksi
faktor-faktor anti-inflamasi, seperti nitrat oksida (NO). Disfungsi endotel ini
berkontribusi pada peradangan, gangguan aliran darah, dan kerusakan organ.
3. Gangguan Sistem Imun: Sistem imun juga terlibat dalam patofisiologi pre-
eklamsia. Terdapat aktivasi sistem imun yang berlebihan, termasuk respon imun
yang tidak tepat pada plasenta, yang menyebabkan peradangan dan kerusakan
vaskular. Faktor-faktor imun seperti sel T regulator (Treg) yang tidak adekuat,
produksi antibodi autoimun, dan perubahan respons imun maternal terhadap
plasenta telah dikaitkan dengan perkembangan pre-eklamsia.
4. Gangguan Plasenta: Plasenta berperan penting dalam pre-eklamsia. Perubahan
vaskular dan endotel dalam pre-eklamsia mengganggu aliran darah plasenta,
menyebabkan iskemia (kurangnya pasokan darah yang memadai) dan hipoksia
(kurangnya oksigen). Iskemia plasenta dapat memicu pelepasan faktor-faktor
pro-inflamasi dan anti-angiogenik (faktor-faktor yang menghambat
pembentukan pembuluh darah baru), seperti soluble fms-like tyrosine kinase-1
(sFlt-1) dan soluble endoglin (sEng). Faktor-faktor ini menyebabkan disfungsi
endotel, peningkatan tekanan darah, dan kerusakan organ pada pre-eklamsia.
2.4 Manifestasi Klinis Pre-Eklamsia
Pre-eklamsia dapat menyebabkan berbagai manifestasi klinis pada wanita hamil.
Gejala dan tanda-tanda yang muncul dapat bervariasi dalam tingkat keparahan.
Berikut adalah beberapa manifestasi klinis yang umum terkait dengan pre-eklamsia:
1. Peningkatan Tekanan Darah: Hipertensi adalah tanda utama pre-eklamsia.
Tekanan darah sistolik di atas 140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik di
atas 90 mmHg pada dua pengukuran terpisah setidaknya dengan jarak 4-6 jam
dianggap sebagai kriteria diagnostik pre-eklamsia.
2. Proteinuria: Pre-eklamsia seringkali disertai dengan peningkatan kadar protein
dalam urine. Proteinuria terjadi ketika jumlah protein yang diekskresikan
melalui urine melebihi batas normal. Pengukuran proteinuria dilakukan melalui
tes urin dengan dipstik atau pengukuran kuantitatif protein dalam urine 24 jam.
3. Edema: Edema atau pembengkakan terutama pada wajah, tangan, dan kaki
adalah gejala umum pre-eklamsia. Namun, penting untuk dicatat bahwa edema
pada kehamilan normal juga sering terjadi dan bukanlah indikator tunggal pre-
eklamsia.
4. Gangguan Penglihatan: Beberapa wanita dengan pre-eklamsia mengalami
gangguan penglihatan, seperti penglihatan kabur, kilatan cahaya, atau
penglihatan ganda. Hal ini dapat menjadi tanda adanya komplikasi serius seperti
tekanan darah tinggi yang mengancam penglihatan (hipertensi retinopati) atau
pembengkakan saraf optik (edema papil).
5. Nyeri di Perut Atas: Nyeri perut atas, terutama di daerah epigastrium atau di
bawah tulang rusuk kanan, dapat menjadi gejala pre-eklamsia. Nyeri ini dapat
disebabkan oleh peradangan hati atau masalah lain pada organ dalam perut.
6. Gangguan Ginjal: Pre-eklamsia dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal,
yang ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin atau penurunan produksi
urine.
7. Gangguan Fungsi Hati: Beberapa wanita dengan pre-eklamsia mengalami
peningkatan enzim hati, seperti alanin aminotransferase (ALT) dan aspartat
aminotransferase (AST). Kondisi yang lebih parah dapat menyebabkan
kerusakan hati yang signifikan.
8. Gangguan Pernapasan: Beberapa wanita dengan pre-eklamsia dapat mengalami
kesulitan bernapas atau dispnea, terutama saat aktivitas fisik.
2.5 Komplikasi Pre-Eklamsia
Pre-eklamsia adalah kondisi serius yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi
baik pada ibu maupun janin. Berikut adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi
akibat pre-eklamsia:
1. Eklamsia: Pre-eklamsia dapat berkembang menjadi eklamsia, yaitu kondisi yang
ditandai dengan kejang-kejang atau kehilangan kesadaran pada wanita hamil
atau setelah persalinan. Eklamsia merupakan keadaan darurat medis yang
mengancam nyawa dan membutuhkan penanganan segera.
2. Kegagalan Organ: Pre-eklamsia dapat menyebabkan kerusakan organ pada ibu,
seperti gagal ginjal, gangguan fungsi hati, dan gangguan pernapasan. Kerusakan
organ ini dapat terjadi akibat gangguan aliran darah yang mempengaruhi organ-
organ tersebut.
3. Sindrom HELLP: Pre-eklamsia dapat menyebabkan Sindrom HELLP, yaitu
kombinasi dari gangguan hemolisis (penghancuran sel darah merah),
peningkatan enzim hati, dan penurunan jumlah trombosit dalam darah. Sindrom
HELLP dapat menjadi kondisi yang mengancam nyawa dan membutuhkan
intervensi medis yang cepat.
4. Keterlambatan Pertumbuhan Janin: Pre-eklamsia dapat mengganggu aliran darah
ke plasenta, sehingga menyebabkan keterlambatan pertumbuhan janin
(intrauterine growth restriction). Hal ini dapat menyebabkan janin memiliki
berat badan lahir rendah dan meningkatkan risiko komplikasi kesehatan pada
janin.
5. Plasenta Previa: Pre-eklamsia juga dapat meningkatkan risiko plasenta previa,
yaitu kondisi di mana plasenta menutupi sebagian atau seluruh serviks, sehingga
dapat menyebabkan perdarahan hebat selama kehamilan atau persalinan.
6. Abruptio Plasenta: Pre-eklamsia juga dapat meningkatkan risiko abruptio
plasenta, yaitu pelepasan plasenta yang normal sebelum persalinan. Hal ini dapat
menyebabkan perdarahan hebat dan mengancam nyawa ibu dan janin.
7. Kelahiran Prematur: Karena risiko komplikasi yang meningkat, pre-eklamsia
seringkali memerlukan tindakan medis seperti induksi persalinan atau persalinan
prematur untuk melindungi kesehatan ibu dan janin.
2.6 Pencegahan Pre-Eklamsia
Pre-eklamsia merupakan kondisi yang serius dan penting untuk dilakukan upaya
pencegahan. Meskipun tidak ada cara pasti untuk mencegah pre-eklamsia, ada
beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengurangi risiko terjadinya. Berikut
adalah beberapa strategi pencegahan yang dapat dilakukan:
1. Perawatan Prenatal Teratur: Pemeriksaan prenatal yang teratur sangat penting
untuk mendeteksi tanda dan gejala pre-eklamsia secara dini. Pemeriksaan ini
melibatkan pengukuran tekanan darah, pemeriksaan urine untuk mendeteksi
proteinuria, serta pemantauan pertumbuhan janin dan aliran darah plasenta.
2. Pola Makan Seimbang: Mengonsumsi makanan sehat dan seimbang dapat
membantu menjaga kesehatan tubuh secara keseluruhan. Makanan yang kaya
akan nutrisi seperti buah-buahan, sayuran, biji-bijian, ikan, dan protein rendah
lemak dianjurkan. Selain itu, mengurangi konsumsi garam berlebihan juga dapat
membantu mengendalikan tekanan darah.
3. Suplemen Kalsium: Beberapa penelitian menunjukkan bahwa suplementasi
kalsium pada wanita dengan risiko pre-eklamsia dapat membantu mengurangi
risiko tersebut. Konsultasikan dengan dokter mengenai dosis dan durasi
penggunaan suplemen kalsium yang tepat.
4. Istirahat Cukup: Memastikan istirahat yang cukup dan tidur yang berkualitas
penting untuk menjaga kesehatan dan mengurangi stres. Usahakan tidur yang
nyaman dan cukup, serta hindari kelelahan yang berlebihan.
5. Olahraga Teratur: Aktivitas fisik yang teratur dan sesuai dengan kondisi
kehamilan dapat membantu menjaga kebugaran dan kesehatan secara umum.
Konsultasikan dengan dokter mengenai jenis dan intensitas olahraga yang aman
untuk dilakukan selama kehamilan.
6. Hindari Faktor Risiko: Jika Anda memiliki faktor risiko pre-eklamsia, seperti
riwayat pre-eklamsia sebelumnya, riwayat keluarga, atau penyakit yang
meningkatkan risiko, penting untuk mengikuti anjuran dokter secara ketat dan
melakukan tindakan pencegahan yang direkomendasikan.
2.7 Konsep Asuhan Keperawatan pada Pre-Eklamsia
Asuhan keperawatan pada pre-eklamsia bertujuan untuk memantau dan mengelola
gejala pre-eklamsia, mencegah atau mengurangi risiko komplikasi, serta
memberikan perawatan yang aman dan tepat guna untuk ibu dan janin. Beberapa
konsep asuhan keperawatan yang relevan dalam penanganan pre-eklamsia meliputi:
1. Pemantauan Status Kesehatan: Pemantauan yang ketat terhadap tanda dan gejala
pre-eklamsia sangat penting. Ini termasuk pengukuran tekanan darah secara
teratur, pemeriksaan urine untuk mendeteksi proteinuria, pemantauan
pertumbuhan janin, serta pemantauan fungsi organ seperti fungsi ginjal dan hati.
Pemantauan yang cermat memungkinkan deteksi dini dan intervensi yang tepat.
2. Manajemen Tekanan Darah: Penurunan dan pengendalian tekanan darah adalah
salah satu fokus utama dalam asuhan keperawatan pre-eklamsia. Ini dapat
melibatkan pemberian obat antihipertensi yang aman untuk ibu hamil, seperti
metildopa atau labetalol. Penting untuk memantau tekanan darah secara teratur
dan mengatur dosis obat dengan hati-hati sesuai dengan rekomendasi dokter.
3. Manajemen Cairan dan Elektrolit: Manajemen cairan dan elektrolit penting
dalam penanganan pre-eklamsia. Dalam beberapa kasus, pembatasan asupan
cairan atau pemberian cairan intravena mungkin diperlukan untuk menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit yang optimal dalam tubuh.
4. Pemantauan Janin: Pemantauan janin secara teratur dilakukan untuk memantau
kesehatan dan pertumbuhan janin. Ini melibatkan pemantauan denyut jantung
janin dan gerakan janin, serta pemeriksaan ultrasonografi untuk memeriksa
aliran darah plasenta dan pertumbuhan janin.
5. Edukasi dan Konseling: Pendidikan dan konseling kepada ibu dan keluarga
mengenai pre-eklamsia, tanda dan gejala yang perlu diperhatikan, manajemen
obat, pola makan yang sehat, tanda-tanda bahaya, dan perencanaan tindak lanjut
sangat penting. Memberikan informasi yang akurat dan dukungan emosional
dapat membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan keterlibatan pasien
dalam perawatan mereka.
6. Persiapan Persalinan: Jika pre-eklamsia mencapai tingkat keparahan yang
signifikan atau mengancam nyawa, persalinan mungkin diperlukan untuk
melindungi kesehatan ibu dan janin. Perawat bertanggung jawab dalam
mempersiapkan pasien dan lingkungan yang aman untuk persalinan, serta
memberikan dukungan dan perawatan pasca-persalinan yang adekuat.

BAB III TINJAUAN KASUS


3.1 Kasus Studi 1: Identifikasi dan Evaluasi Pre-Eklamsia
Bayi perempuan berusia 26 tahun dengan kehamilan usia 34 minggu datang ke
rumah sakit dengan keluhan tekanan darah tinggi, bengkak pada tangan dan kaki,
serta sakit kepala yang berulang. Dia tidak memiliki riwayat pre-eklamsia
sebelumnya. Selama pemeriksaan awal, tekanan darahnya tercatat 150/100 mmHg,
dan urinanya menunjukkan adanya proteinuria.
3.1.1 Pengkajian Awal
1. Riwayat Kesehatan:
 Riwayat kehamilan: Usia kehamilan 34 minggu, tidak ada riwayat pre-
eklamsia sebelumnya.
 Riwayat penyakit kronis: Tidak ada informasi yang disebutkan tentang
riwayat penyakit kronis.
 Riwayat keluarga: Tidak ada informasi yang disebutkan tentang riwayat
pre-eklamsia atau gangguan hipertensi dalam keluarga.
 Riwayat obat-obatan: Tidak ada informasi yang disebutkan tentang
penggunaan obat-obatan sebelum atau selama kehamilan.
2. Gejala dan Tanda-Tanda:
 Tekanan darah: Tekanan darah tercatat 150/100 mmHg, menunjukkan
hipertensi.
 Edema: Tidak disebutkan informasi mengenai adanya bengkak pada
tangan, kaki, atau wajah.
 Sakit kepala: Disebutkan adanya sakit kepala yang berulang.
 Perubahan penglihatan: Tidak disebutkan informasi mengenai perubahan
penglihatan.
 Nyeri abdomen: Tidak disebutkan informasi mengenai nyeri abdomen.
 Perubahan kesadaran: Tidak disebutkan informasi mengenai perubahan
kesadaran.
3. Pemeriksaan Fisik:
 Pengukuran tekanan darah: Tekanan darah tercatat 150/100 mmHg.
 Pemeriksaan edema: Tidak disebutkan informasi mengenai adanya
bengkak pada tangan, kaki, atau wajah.
 Pemeriksaan urin: Disebutkan adanya proteinuria pada pemeriksaan
urine.
Berdasarkan pengkajian awal, pasien tersebut menunjukkan tanda-tanda pre-
eklamsia, yaitu hipertensi dengan tekanan darah yang tinggi dan adanya
proteinuria. Namun, informasi yang disediakan terbatas, dan pengkajian lebih
lanjut serta pemeriksaan laboratorium mungkin diperlukan untuk memastikan
diagnosis pre-eklamsia dan mengevaluasi tingkat keparahan serta komplikasi
yang mungkin terjadi pada pasien tersebut.
3.1.2 Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi kerusakan perfusi jaringan: Terkait dengan peningkatan
tekanan darah, vasospasme, dan gangguan aliran darah plasenta.
2. Gangguan pertukaran gas: Terkait dengan perubahan hemodinamik dan
penurunan aliran darah oksigen ke organ vital.
3. Kecemasan: Terkait dengan kondisi kesehatan yang serius dan
ketidakpastian mengenai kesehatan ibu dan janin.
4. Gangguan nutrisi: Terkait dengan pembatasan asupan makanan dan
peningkatan kebutuhan nutrisi selama kehamilan.
5. Resiko tinggi gangguan keseimbangan cairan: Terkait dengan pembatasan
asupan cairan dan peningkatan kehilangan cairan melalui urine atau edema.
6. Resiko tinggi gangguan integritas kulit: Terkait dengan edema yang
berhubungan dengan retensi cairan.
7. Kurang pengetahuan tentang pre-eklamsia dan tindakan perawatan: Terkait
dengan kebutuhan informasi yang belum terpenuhi.
3.1.3 Intervensi Keperawatan
1. Monitor tekanan darah secara teratur dan pantau tanda-tanda gangguan aliran
darah plasenta.
2. Berikan istirahat yang cukup dan hindari aktivitas berlebihan.
3. Berikan dukungan emosional dan informasi yang jelas kepada pasien dan
keluarganya.
4. Ajarkan teknik pernapasan yang baik dan bantu pasien mengelola stres.
5. Monitor status nutrisi dan berikan diet yang sesuai.
6. Pantau intake dan output cairan serta berikan perawatan kulit yang tepat.
7. Edukasi pasien mengenai pre-eklamsia dan tindakan perawatan yang
diperlukan.
8. Libatkan pasien dan keluarga dalam perencanaan perawatan.
3.1.4 Evaluasi Hasil
Setelah melakukan intervensi keperawatan pada kasus studi pre-eklamsia,
evaluasi hasil yang mungkin dilakukan adalah:
1. Tekanan darah terkontrol: Memantau tekanan darah pasien secara teratur dan
mencatat penurunan atau stabilnya tekanan darah dalam rentang yang aman.
2. Aliran darah plasenta yang memadai: Memantau tanda-tanda dan gejala
gangguan aliran darah plasenta, seperti gerakan janin yang normal dan tidak
adanya nyeri abdomen yang hebat.
3. Kecemasan terkelola: Menilai tingkat kecemasan pasien dan melihat adanya
perubahan positif dalam cara pasien mengelola kecemasan dan
ketidakpastian.
4. Asupan nutrisi adekuat: Memantau asupan makanan pasien dan berat badan
pasien untuk melihat adanya peningkatan atau pemeliharaan status gizi yang
sesuai.
5. Keseimbangan cairan terjaga: Melihat adanya peningkatan dalam status
cairan pasien, termasuk intake dan output cairan yang seimbang.
6. Integritas kulit terjaga: Mengevaluasi adanya perbaikan dalam kondisi kulit
pasien, dengan berkurangnya edema dan risiko kerusakan kulit.
7. Pengetahuan pasien meningkat: Menilai pemahaman pasien tentang pre-
eklamsia dan tindakan perawatan yang diperlukan, serta adanya perubahan
dalam perilaku dan pengetahuan pasien.
Evaluasi hasil ini harus dilakukan secara berkelanjutan untuk memastikan
efektivitas intervensi keperawatan dan untuk mengidentifikasi perubahan yang
perlu dilakukan dalam perawatan pasien. Evaluasi ini juga harus melibatkan
kolaborasi dengan tim medis dalam mengevaluasi hasil pemeriksaan dan tes
yang relevan.

BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan tinjauan teori dan studi kasus mengenai pre-eklamsia, dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pre-eklamsia adalah suatu kondisi yang serius yang dapat terjadi pada wanita
hamil dan ditandai oleh peningkatan tekanan darah, gangguan aliran darah
plasenta, dan gangguan fungsi organ.
2. Faktor risiko pre-eklamsia meliputi riwayat pre-eklamsia sebelumnya,
kehamilan remaja, obesitas, hipertensi kronis, dan kelainan vaskular.
3. Patofisiologi pre-eklamsia melibatkan vasokonstriksi, disfungsi endotel,
peningkatan tekanan darah, dan gangguan aliran darah plasenta.
4. Manifestasi klinis pre-eklamsia dapat meliputi peningkatan tekanan darah,
edema, proteinuria, nyeri kepala, gangguan penglihatan, dan gangguan fungsi
organ.
5. Komplikasi pre-eklamsia yang serius meliputi eklamsia, gangguan aliran darah
plasenta, kegagalan organ, dan kematian maternal dan neonatal.
6. Pencegahan pre-eklamsia meliputi perawatan prenatal yang adekuat, pengaturan
tekanan darah yang baik, dan penggunaan aspirin dosis rendah pada kelompok
risiko tinggi.
7. Konsep asuhan keperawatan pada pre-eklamsia melibatkan pemantauan tekanan
darah, pemantauan aliran darah plasenta, manajemen nyeri, pengelolaan
kecemasan, edukasi pasien, dan kolaborasi dengan tim medis.
8. Evaluasi hasil perawatan harus dilakukan secara berkelanjutan untuk
memastikan efektivitas intervensi keperawatan dan memantau perubahan
kondisi pasien.
Dengan pemahaman yang baik mengenai pre-eklamsia dan penerapan asuhan
keperawatan yang tepat, diharapkan dapat meningkatkan pengenalan dini,
manajemen yang efektif, dan mencegah komplikasi yang serius pada pasien dengan
pre-eklamsia.
4.2 Saran
1. Melakukan penelitian yang lebih mendalam tentang faktor risiko pre-eklamsia
dan mekanisme patofisiologi yang terlibat. Hal ini akan membantu dalam
pemahaman yang lebih baik tentang penyebab dan perkembangan kondisi ini.
2. Meneliti efektivitas strategi pencegahan pre-eklamsia, seperti penggunaan
aspirin dosis rendah, suplemen kalsium, atau intervensi gaya hidup, dengan
melibatkan kelompok risiko tinggi dan populasi yang lebih luas.
3. Melakukan penelitian tentang peningkatan metode diagnostik untuk pre-
eklamsia, termasuk pencarian biomarker yang lebih akurat dan prediktif. Hal ini
dapat membantu dalam identifikasi dini, diagnosis yang lebih tepat, dan
manajemen yang lebih baik.
4. Mengembangkan model perawatan yang terintegrasi untuk pre-eklamsia, yang
melibatkan kolaborasi antara dokter kandungan, perawat, ahli gizi, dan ahli
lainnya. Model ini dapat meningkatkan koordinasi perawatan dan memberikan
pendekatan yang holistik.
5. Melakukan penelitian tentang intervensi non-farmakologi, seperti manajemen
stres, terapi relaksasi, dan dukungan psikososial, dalam pengelolaan pre-
eklamsia. Hal ini dapat memberikan alternatif atau pendukung bagi pengobatan
konvensional.
6. Menerapkan pendekatan inovatif, seperti teknologi digital dan telemedicine,
dalam pemantauan dan manajemen pre-eklamsia. Ini dapat membantu
meningkatkan aksesibilitas perawatan dan pemantauan jarak jauh bagi pasien.
7. Melakukan penelitian tentang dampak pre-eklamsia pada jangka panjang, baik
pada ibu maupun bayi. Hal ini dapat memberikan wawasan tentang komplikasi
jangka panjang yang mungkin terjadi dan memandu perawatan jangka panjang
bagi pasien yang pernah mengalami pre-eklamsia.
8. Mengadakan program edukasi dan kampanye kesadaran masyarakat tentang pre-
eklamsia, termasuk pencegahan, gejala peringatan, dan pentingnya perawatan
prenatal yang teratur. Hal ini dapat membantu meningkatkan pengenalan dini
dan pencegahan pre-eklamsia.
Saran-saran ini diharapkan dapat mendorong penelitian lebih lanjut, inovasi, dan
perbaikan dalam pengelolaan pre-eklamsia, dengan tujuan akhir meningkatkan
kesehatan ibu dan bayi serta mengurangi angka kejadian dan komplikasi pre-
eklamsia secara global.

DAFTAR PUSTAKA
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG). (2020). Hypertension in
pregnancy: Report of the American College of Obstetricians and Gynecologists' Task
Force on Hypertension in Pregnancy. Obstetrics and gynecology, 135(2), e237-e260.

Dutta, D. C., Konar, H., & Bhowmik, P. (2021). Textbook of Obstetrics. Jaypee
Brothers Medical Publishers.

Khan, K. S., Wojdyla, D., Say, L., Gülmezoglu, A. M., & Van Look, P. F. A. (2019).
WHO analysis of causes of maternal death: a systematic review. The Lancet, 367(9516),
1066-1074.

Mol, B. W. J., Roberts, C. T., Thangaratinam, S., Magee, L. A., de Groot, C. J. M., &

Hofmeyr, G. J. (2016). Pre-eclampsia. The Lancet, 387(10022), 999-1011.

Roberts, J. M., Bell, M. J., & Ifesanya, A. O. (2020). Pre-eclampsia. The Lancet,
396(10259), 178-189.
MAKALAH
TREND & ISSUE KEPERAWATAN MATERNITAS TERKAIT
MASALAH KESEHATAN REPRODUKSI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah : Keperawatan Maternitas II

Dosen Pengampu : Ns. Rany Muliany Sudirman S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh :
M Nadhif Arsya T
(CKR0210112)

KEPERAWATAN REGULER C TINGKAT 2


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
Jl. Lkr. Bayuning No.2, Kadugede, Kuningan, Jawa Barat 45561
Telp.(0232)875847 Fax. 0232-875123 : info@stikeskuningan.ac.id
2022/2023
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan Penulisan

BAB II TREND DALAM KEPERAWATAN MATERNITAS


A. Peningkatan Pemantauan Prakonsepsi
B. Peran Teknologi dalam Pemeriksaan Kesehatan Reproduksi
C. Peran Keperawatan dalam Peningkatan Pemahaman tentang Kesehatan Reproduksi

BAB III ISU DALAM KEPERAWATAN MATERNITAS TERKAIT MASALAH


KESEHATAN REPRODUKSI
A. Infertilitas dan Teknik Reproduksi Bantu
1. Penyebab dan Prevalensi Infertilitas
2. Peran Keperawatan dalam Mendukung Pasien Infertil
3. Isu Etika dalam Teknik Reproduksi Bantu
B. Kehamilan Remaja
1. Faktor Risiko Kehamilan Remaja
2. Dampak Kesehatan Fisik dan Mental pada Remaja
3. Peran Keperawatan dalam Pendidikan Seksual dan Pencegahan Kehamilan
Remaja
C. Kesehatan Reproduksi pada Perempuan dengan Disabilitas
1. Tantangan dalam Akses Kesehatan Reproduksi
2. Perlunya Pendekatan Interdisipliner dalam Perawatan
3. Peran Keperawatan dalam Memberdayakan Perempuan dengan Disabilitas
D. Kesehatan Reproduksi pada Migran dan Pengungsi
1. Risiko Kesehatan Reproduksi pada Migran dan Pengungsi
2. Akses Terhadap Layanan Kesehatan Reproduksi
3. Peran Keperawatan dalam Memberikan Perawatan Budaya Sensitif

BAB IV UPAYA PENANGGULANGAN DAN TINDAKAN KEPERAWATAN


A. Pendidikan dan Promosi Kesehatan
B. Intervensi dalam Keperawatan Maternitas
C. Pendekatan Kolaboratif dalam Penanganan Masalah Kesehatan Reproduksi

BAB V KESIMPULAN
A. Ringkasan Trend dan Isu dalam Keperawatan Maternitas Terkait Masalah
Kesehatan Reproduksi
B. Pentingnya Peran Keperawatan dalam Menangani Masalah Kesehatan Reproduksi
DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan reproduksi merupakan aspek penting dalam perawatan maternitas yang
melibatkan pemahaman dan penanganan masalah kesehatan reproduksi pada
perempuan. Masalah kesehatan reproduksi mencakup berbagai isu yang dapat
mempengaruhi kesejahteraan perempuan, seperti infertilitas, kehamilan remaja,
kesehatan reproduksi pada perempuan dengan disabilitas, dan kesehatan reproduksi
pada migran dan pengungsi.

Masalah infertilitas menjadi isu penting dalam keperawatan maternitas. Infertilitas


merupakan ketidakmampuan pasangan untuk mencapai kehamilan setelah satu tahun
atau lebih berhubungan seksual teratur tanpa menggunakan metode kontrasepsi. Hal
ini dapat menimbulkan dampak psikologis dan emosional yang signifikan pada
pasangan. Penanganan infertilitas melibatkan penggunaan teknik reproduksi bantu,
seperti fertilisasi in vitro (IVF) dan inseminasi buatan. (American College of
Obstetricians and Gynecologists, 2018)

Kehamilan remaja juga menjadi isu yang memerlukan perhatian dalam perawatan
maternitas. Kehamilan pada usia muda dapat berdampak negatif pada kesehatan
fisik dan mental remaja. Remaja juga rentan mengalami komplikasi selama
kehamilan dan persalinan. Upaya pendidikan seksual dan pencegahan kehamilan
remaja menjadi penting dalam perawatan maternitas. (United Nations Population
Fund, 2019)

Perempuan dengan disabilitas juga menghadapi tantangan dalam mencapai


kesehatan reproduksi yang optimal. Mereka sering mengalami keterbatasan akses
terhadap layanan kesehatan reproduksi dan mungkin menghadapi diskriminasi serta
stigmatisasi. Perawat maternitas berperan dalam memberikan perawatan inklusif dan
memastikan perempuan dengan disabilitas mendapatkan layanan kesehatan
reproduksi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. (World Health Organization,
2020)

Kesehatan reproduksi pada migran dan pengungsi juga menjadi isu penting. Mereka
sering kali menghadapi hambatan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang
aman dan berkualitas. Perawat maternitas memiliki peran dalam memberikan
perawatan budaya-sensitif, memberikan informasi yang tepat, serta memastikan
kesetaraan akses bagi migran dan pengungsi dalam layanan kesehatan reproduksi.
(International Organization for Migration, 2019; WHO Regional Office for Europe,
2018)

Dalam menghadapi masalah-masalah kesehatan reproduksi ini, perawat maternitas


memiliki peran sentral dalam memberikan perawatan holistik dan komprehensif.
Mereka tidak hanya memberikan asuhan klinis, tetapi juga mendukung pemahaman
klien tentang kesehatan reproduksi mereka, memberikan pendidikan dan promosi
kesehatan, serta bekerja secara kolaboratif dengan tim interdisipliner untuk
meningkatkan hasil kesehatan reproduksi bagi individu dan keluarga.
B. Tujuan
1. Menjelaskan tren terkini dan isu-isu yang relevan dalam keperawatan maternitas
terkait dengan masalah kesehatan reproduksi.
2. Menganalisis dampak dari masalah kesehatan reproduksi pada kesejahteraan
perempuan.
3. Membahas peran perawat maternitas dalam penanganan masalah kesehatan
reproduksi dan memberikan perawatan holistik.
4. Mengidentifikasi upaya pendidikan dan promosi kesehatan yang dapat dilakukan
untuk mencegah masalah kesehatan reproduksi.
5. Menyoroti pentingnya akses yang setara terhadap layanan kesehatan reproduksi
bagi semua individu, termasuk perempuan dengan disabilitas, migran, dan
pengungsi.

BAB II
TREND DALAM KEPERAWATAN MATERNITAS
A. Peningkatan Pemantauan Prakonsepsi
1. Definisi Pemantauan Prakonsepsi
2. Pentingnya Pemantauan Prakonsepsi dalam Keperawatan Maternitas
3. Metode Pemantauan Prakonsepsi yang Tersedia
a. Kalender Menstruasi dan Ovulasi
b. Pengukuran Suhu Tubuh Basal
c. Pemantauan Kualitas Lendir Serviks
d. Penggunaan Aplikasi dan Alat Pemantauan Digital
4. Manfaat Pemantauan Prakonsepsi
a. Identifikasi Periode Subfertilitas
b. Pemantauan dan Pengenalan Pola Siklus Menstruasi
c. Perencanaan Kehamilan yang Lebih Tepat Waktu
d. Deteksi Dini Kehamilan dan Perkembangan Embrio Awal
5. Tantangan dalam Pemantauan Prakonsepsi
a. Kurangnya Pengetahuan dan Pendidikan tentang Pemantauan Prakonsepsi
b. Faktor Budaya dan Agama yang Mempengaruhi Pemantauan Prakonsepsi
c. Keterbatasan Akses dan Ketersediaan Alat Pemantauan
6. Peran Perawat Maternitas dalam Pemantauan Prakonsepsi
a. Memberikan Pendidikan dan Informasi tentang Pemantauan Prakonsepsi
b. Mendorong Keterlibatan Pasangan dalam Pemantauan Prakonsepsi
c. Menyediakan Dukungan Emosional dan Praktis dalam Pemantauan
Prakonsepsi
d. Kolaborasi dengan Tim Kesehatan Lainnya dalam Menyediakan Layanan
Pemantauan Prakonsepsi yang Komprehensif
7. Pengembangan Keperawatan Maternitas Berbasis Pemantauan Prakonsepsi
B. Peran Teknologi dalam Pemeriksaan Kesehatan Reproduksi
1. Pengantar tentang Teknologi dalam Pemeriksaan Kesehatan Reproduksi
2. Perkembangan Teknologi dalam Pemeriksaan Kesehatan Reproduksi
a. Ultrasonografi
b. Pemeriksaan Genetik dan Kromosom
c. Pemeriksaan Hormon Reproduksi
d. Teknologi Digital dalam Pemeriksaan Kesehatan Reproduksi
3. Manfaat Teknologi dalam Pemeriksaan Kesehatan Reproduksi
a. Deteksi Dini dan Diagnosis yang Akurat
b. Pemantauan dan Pengawasan Perkembangan Kehamilan
c. Pilihan yang Lebih Baik dalam Perencanaan Kehamilan
d. Meningkatkan Kualitas Perawatan dan Keamanan Pasien
4. Tantangan dalam Penggunaan Teknologi dalam Pemeriksaan Kesehatan
Reproduksi
a. Biaya dan Aksesibilitas
b. Keahlian dan Pelatihan yang Diperlukan
c. Privasi dan Etika dalam Penggunaan Data Medis
5. Peran Perawat Maternitas dalam Penggunaan Teknologi dalam Pemeriksaan
Kesehatan Reproduksi
a. Pendidikan dan Penyuluhan Pasien tentang Penggunaan Teknologi
b. Membantu dalam Proses Pemeriksaan dan Interpretasi Hasil
c. Mendukung Aspek Emosional dan Psikologis Pasien
d. Kolaborasi dengan Tim Kesehatan Lainnya dalam Pemeriksaan Kesehatan
Reproduksi
6. Implikasi Masa Depan dan Tantangan yang Dihadapi Teknologi dalam
Pemeriksaan Kesehatan Reproduksi
C. Peran Keperawatan dalam Peningkatan Pemahaman tentang Kesehatan Reproduksi
1. Pengantar tentang Pemahaman tentang Kesehatan Reproduksi
2. Pentingnya Pemahaman tentang Kesehatan Reproduksi
3. Peran Keperawatan dalam Peningkatan Pemahaman tentang Kesehatan
Reproduksi
a. Pendidikan dan Penyuluhan Kesehatan Reproduksi
b. Memberikan Informasi tentang Anatomi dan Fisiologi Reproduksi
c. Promosi Kesehatan Reproduksi
d. Penyediaan Bimbingan dalam Perencanaan Kehamilan dan Kontrasepsi
4. Mengatasi Tantangan dalam Peningkatan Pemahaman tentang Kesehatan
Reproduksi
a. Keterbatasan Pengetahuan dan Literasi Kesehatan
b. Faktor Budaya dan Agama yang Mempengaruhi Pemahaman tentang
Kesehatan Reproduksi
c. Stigma dan Miskonsepsi terkait Kesehatan Reproduksi
d. Akses Terbatas terhadap Layanan Kesehatan Reproduksi
5. Kolaborasi dengan Profesional Kesehatan Lainnya dalam Peningkatan
Pemahaman tentang Kesehatan Reproduksi
a. Kerja Sama dengan Dokter dan Tenaga Kesehatan Lainnya
b. Kolaborasi dengan Ahli Psikologi dan Konselor
c. Pekerjaan Tim dalam Peningkatan Kesadaran tentang Kesehatan Reproduksi
6. Evaluasi dan Peningkatan Kontinuitas Perawatan dalam Pemahaman tentang
Kesehatan Reproduksi

BAB III
ISU DALAM KEPERAWATAN MATERNITAS TERKAIT MASALAH
KESEHATAN REPRODUKSI
A. Infertilitas dan Teknik Reproduksi Bantu
1. Penyebab dan Prevalensi Infertilitas
Infertilitas, yang didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk hamil setelah
setahun atau lebih berusaha hamil tanpa menggunakan kontrasepsi, dapat
disebabkan oleh berbagai faktor. Prevalensi infertilitas dapat berbeda-beda di
setiap negara dan populasi, namun secara global, infertilitas mempengaruhi
sekitar 10-15% pasangan reproduktif.
Penyebab infertilitas dapat melibatkan faktor fisik, lingkungan, dan psikologis.
Berikut adalah beberapa penyebab umum infertilitas:
a. Gangguan ovulasi: Gangguan dalam siklus ovulasi, seperti sindrom ovarium
polikistik (PCOS) atau gangguan hormonal lainnya, dapat menyebabkan
ketidakmampuan untuk melepaskan telur secara teratur.
b. Gangguan pada tuba falopi: Penyumbatan atau kerusakan pada tuba falopi
dapat menghambat perjalanan telur menuju rahim, sehingga mengurangi
kemungkinan pembuahan.
c. Masalah pada rahim atau leher rahim: Adanya kelainan struktural pada rahim
atau leher rahim, seperti mioma, polip, atau penyempitan leher rahim, dapat
menghambat implantasi embrio atau menghalangi perjalanan sperma.
d. Kelainan genetik: Beberapa kelainan genetik dapat memengaruhi kesuburan,
baik pada pria maupun wanita. Contohnya adalah sindrom Turner, kelainan
kromosom pada wanita yang dapat menyebabkan ketidakmampuan ovarium.
e. Faktor lingkungan dan gaya hidup: Paparan terhadap zat kimia berbahaya,
radiasi, konsumsi alkohol, merokok, obesitas, dan malnutrisi dapat
mempengaruhi kesuburan baik pada pria maupun wanita.
f. Faktor psikologis dan emosional: Stres, kecemasan, depresi, dan tekanan
sosial yang tinggi juga dapat mempengaruhi kesuburan dengan mengganggu
siklus ovulasi dan fungsi reproduksi.
Penting untuk menyadari bahwa penyebab infertilitas dapat bersifat kompleks
dan beberapa pasangan mungkin memiliki faktor penyebab yang saling
berinteraksi. Dalam banyak kasus, penyebab infertilitas tidak dapat diidentifikasi
dengan pasti.
2. Peran Keperawatan dalam Mendukung Pasien Infertil
1. Pendidikan dan Penyuluhan: Memberikan informasi tentang infertilitas dan
perawatan yang tersedia.
2. Dukungan Emosional: Menyediakan dukungan psikososial dan
mendengarkan dengan empati.
3. Bimbingan dalam Proses Perawatan: Membantu pasien memahami dan
mengikuti prosedur perawatan.
4. Kolaborasi Tim: Bekerja sama dengan tim perawatan infertilitas.
5. Dukungan dalam Pengambilan Keputusan: Membantu pasien dalam
membuat keputusan terkait perawatan.
6. Pemantauan Kesehatan dan Respons Perawatan: Memantau respons pasien
terhadap perawatan.
7. Pendampingan Selama Proses Perawatan: Memberikan dukungan fisik dan
emosional selama prosedur.
3. Isu Etika dalam Teknik Reproduksi Bantu
1. Pembuahan Embrio dan Penggunaan Embrio yang Berlebihan.
2. Seleksi Embrio dan Eugenika.
3. Penggunaan Sumber Gamet.
4. Kesetaraan Akses dan Keadilan.
5. Keberlanjutan dan Tanggung Jawab.
6. Pertimbangan Moral dan Agama.
B. Kehamilan Remaja
1. Faktor Risiko Kehamilan Remaja
1. Kurangnya pendidikan seksual dan informasi.
2. Kurangnya penggunaan kontrasepsi.
3. Faktor sosioekonomi rendah.
4. Rendahnya pengetahuan dan kesadaran tentang kesehatan reproduksi.
5. Rendahnya perencanaan keluarga.
6. Keterlibatan dalam perilaku berisiko.
7. Kurangnya dukungan sosial.
8. Rendahnya akses ke layanan kesehatan reproduksi.
2. Dampak Kesehatan Fisik dan Mental pada Remaja
1. Dampak Kesehatan Fisik:
 Komplikasi Kehamilan: Remaja yang hamil memiliki risiko lebih tinggi
mengalami komplikasi kehamilan seperti anemia, tekanan darah tinggi,
dan kelahiran prematur.
 Risiko Kesehatan Bayi: Bayi yang lahir dari ibu remaja memiliki risiko
lebih tinggi mengalami berat lahir rendah, pertumbuhan terhambat, dan
masalah kesehatan lainnya.
 Gangguan Gizi: Remaja yang hamil mungkin tidak memperoleh asupan
nutrisi yang memadai untuk mendukung pertumbuhan dan
perkembangan bayi serta kesehatan diri sendiri.
2. Dampak Kesehatan Mental:
 Stres dan Depresi: Kehamilan pada usia remaja dapat menyebabkan
tingkat stres dan depresi yang tinggi akibat beban sosial, perubahan
dalam hubungan interpersonal, dan ketidakpastian masa depan.
 Dukungan Sosial yang Kurang: Remaja hamil sering menghadapi
stigmatisasi sosial dan kurangnya dukungan sosial, yang dapat
mempengaruhi kesehatan mental mereka.
 Rendahnya Percaya Diri: Remaja hamil mungkin mengalami penurunan
kepercayaan diri dan pengaruh negatif terhadap citra tubuh mereka.
 Isolasi dan Gangguan Hubungan: Kehamilan pada usia remaja dapat
mempengaruhi hubungan interpersonal dengan teman sebaya dan
keluarga, menyebabkan isolasi sosial dan gangguan hubungan yang lebih
luas.
Penting untuk memberikan dukungan yang tepat dan layanan kesehatan yang
komprehensif kepada remaja hamil, termasuk perawatan medis, pendidikan
kesehatan, dukungan emosional, dan akses ke layanan kesehatan mental. Hal ini
dapat membantu mengurangi dampak negatif pada kesehatan fisik dan mental
remaja serta meningkatkan kesejahteraan mereka.
3. Peran Keperawatan dalam Pendidikan Seksual dan Pencegahan Kehamilan
Remaja
1. Memberikan Informasi dan Pendidikan Seksual yang Komprehensif:
Perawat dapat memberikan informasi yang akurat dan faktual tentang
seksualitas, anatomi reproduksi, kontrasepsi, dan praktik seks yang aman
kepada remaja. Mereka dapat membantu remaja memahami pentingnya
penggunaan kontrasepsi yang efektif, kehamilan yang direncanakan, dan
pencegahan penyakit menular seksual.
2. Menyediakan Layanan Konseling: Perawat dapat menyediakan layanan
konseling kepada remaja untuk membantu mereka memahami perubahan
fisik dan emosional yang terkait dengan pubertas, hubungan seksual, dan
pengambilan keputusan yang sehat. Mereka dapat membantu remaja dalam
mengeksplorasi nilai-nilai pribadi, ekspektasi, dan kekhawatiran yang terkait
dengan seksualitas.
3. Menyediakan Akses ke Kontrasepsi: Perawat dapat membantu remaja dalam
memilih metode kontrasepsi yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi
mereka. Mereka dapat memberikan informasi tentang jenis kontrasepsi yang
tersedia, cara penggunaannya, efektivitas, dan manfaat serta risikonya.
Perawat juga dapat membantu remaja mendapatkan akses ke metode
kontrasepsi yang aman dan terjangkau.
4. Mengadvokasi Kesehatan Reproduksi Remaja: Perawat memiliki peran
dalam mengadvokasi perlindungan kesehatan reproduksi remaja. Mereka
dapat berpartisipasi dalam inisiatif dan kampanye yang bertujuan untuk
meningkatkan akses remaja terhadap layanan kesehatan reproduksi yang
komprehensif, termasuk pendidikan seksual, layanan kontrasepsi, dan
pemeriksaan kesehatan rutin.
5. Mendorong Perilaku Seksual yang Aman: Perawat dapat mendukung remaja
dalam mengembangkan perilaku seksual yang aman dan bertanggung jawab.
Mereka dapat memberikan informasi tentang praktik seks yang aman, seperti
penggunaan kondom dan pengujian rutin untuk penyakit menular seksual.
Perawat juga dapat membantu remaja dalam memahami pentingnya
hubungan yang sehat, persetujuan dalam hubungan, dan komunikasi yang
efektif.
Melalui peran mereka dalam pendidikan seksual dan pencegahan kehamilan
remaja, perawat dapat membantu remaja untuk membuat keputusan yang
informasi, mempromosikan kesehatan reproduksi yang positif, dan mencegah
dampak negatif dari kehamilan yang tidak direncanakan.
C. Kesehatan Reproduksi pada Perempuan dengan Disabilitas
1. Tantangan dalam Akses Kesehatan Reproduksi
1. Stigma dan Diskriminasi.
2. Keterbatasan Sumber Daya.
3. Ketidakterjangkauan Geografis.
4. Kurangnya Pengetahuan dan Kesadaran.
5. Norma Budaya dan Agama.
6. Kekerasan dan Kekerasan Berbasis Gender.
2. Perlunya Pendekatan Interdisipliner dalam Perawatan
1. Melengkapi Pengetahuan dan Keterampilan.
2. Pengelolaan Kompleksitas Kasus.
3. Peningkatan Keputusan Kolaboratif.
4. Perawatan Pasien yang Terkoordinasi.
5. Mengatasi Masalah Kompleks.
3. Peran Keperawatan dalam Memberdayakan Perempuan dengan Disabilitas
Perawat memainkan peran penting dalam memberdayakan perempuan dengan
disabilitas untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan yang optimal. Berikut
adalah beberapa peran keperawatan dalam memberdayakan perempuan dengan
disabilitas:
1. Pelayanan Kesehatan yang Responsif: Perawat dapat memberikan pelayanan
kesehatan yang responsif terhadap kebutuhan dan preferensi perempuan
dengan disabilitas. Mereka dapat memastikan aksesibilitas fisik dan
komunikasi yang efektif dalam memberikan perawatan, serta menghormati
hak privasi dan otonomi perempuan dengan disabilitas.
2. Pendidikan dan Konseling: Perawat dapat memberikan pendidikan dan
konseling kepada perempuan dengan disabilitas tentang kesehatan
reproduksi, manajemen kondisi kesehatan, dan keterampilan hidup sehari-
hari. Mereka dapat membantu perempuan dengan disabilitas dalam
memahami dan mengelola kondisi kesehatan mereka, termasuk menghadapi
tantangan fisik dan psikososial yang mungkin terkait.
3. Dukungan Emosional dan Mental: Perawat dapat memberikan dukungan
emosional dan mental kepada perempuan dengan disabilitas. Mereka dapat
membantu mengurangi stres dan kecemasan, serta memberikan sumber daya
dan referensi untuk mendukung kesejahteraan mental perempuan dengan
disabilitas.
4. Advokasi Hak Asasi: Perawat dapat menjadi advokat untuk hak asasi
perempuan dengan disabilitas. Mereka dapat membantu melindungi hak-hak
perempuan dengan disabilitas, termasuk hak akses terhadap layanan
kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan masyarakat yang setara.
5. Kolaborasi Tim Perawatan: Perawat dapat bekerja dalam kolaborasi dengan
anggota tim perawatan lainnya, seperti dokter, terapis fisik, pekerja sosial,
dan lainnya. Kolaborasi ini memungkinkan pendekatan holistik dalam
memberikan perawatan kepada perempuan dengan disabilitas,
menggabungkan berbagai pengetahuan dan keahlian untuk mengoptimalkan
kesehatan dan kualitas hidup mereka.
D. Kesehatan Reproduksi pada Migran dan Pengungsi
1. Risiko Kesehatan Reproduksi pada Migran dan Pengungsi
Migran dan pengungsi menghadapi risiko kesehatan reproduksi yang khusus dan
kompleks sebagai akibat dari perjalanan, kondisi hidup yang tidak stabil, dan
tantangan yang mereka hadapi. Berikut adalah beberapa risiko kesehatan
reproduksi yang umum terkait dengan migran dan pengungsi:
1. Kekurangan Akses Terhadap Layanan Kesehatan Reproduksi: Migran dan
pengungsi seringkali menghadapi kendala dalam mengakses layanan
kesehatan reproduksi yang aman dan berkualitas. Faktor-faktor seperti
bahasa, budaya, hambatan sosial, dan sistem kesehatan yang tidak inklusif
dapat menjadi penghalang dalam mencari dan menerima perawatan yang
mereka butuhkan.
2. Risiko Kehamilan yang Tidak Aman: Kondisi hidup yang tidak stabil dan
kurangnya akses terhadap perawatan kesehatan reproduksi yang memadai
dapat meningkatkan risiko kehamilan yang tidak aman bagi migran dan
pengungsi. Ini dapat meliputi kehamilan pada usia muda, kurangnya
perawatan prenatal, persalinan yang tidak terawasi, dan kurangnya akses
terhadap perawatan pasca persalinan yang adekuat.
3. Infeksi Menular Seksual (IMS): Migran dan pengungsi dapat menghadapi
risiko lebih tinggi terhadap infeksi menular seksual (IMS), termasuk
HIV/AIDS, gonore, sifilis, dan lainnya. Faktor-faktor seperti migrasi yang
tidak teratur, pelanggaran hak asasi manusia, dan kurangnya akses terhadap
informasi dan layanan kesehatan seksual dapat mempengaruhi penyebaran
IMS dan menghambat upaya pencegahan dan pengobatan.
4. Kekerasan Berbasis Gender: Migran dan pengungsi, terutama perempuan
dan anak perempuan, berisiko tinggi mengalami kekerasan berbasis gender.
Kekerasan seksual, pelecehan, perdagangan manusia, dan eksploitasi seksual
dapat memiliki dampak serius pada kesehatan reproduksi dan psikososial
mereka.
5. Kondisi Kesehatan Mental: Migran dan pengungsi seringkali mengalami
stres dan trauma yang berhubungan dengan perjalanan mereka, pemisahan
dari keluarga dan tanah air, dan kondisi hidup yang tidak stabil. Hal ini dapat
berdampak negatif pada kesehatan mental mereka, termasuk masalah
kecemasan, depresi, dan gangguan stres pascatrauma, yang juga dapat
memengaruhi kesehatan reproduksi mereka.
2. Akses Terhadap Layanan Kesehatan Reproduksi
Akses terhadap layanan kesehatan reproduksi merupakan hak asasi setiap
individu untuk mendapatkan informasi, pelayanan, dan fasilitas yang dibutuhkan
dalam menjaga kesehatan reproduksi mereka. Namun, masih banyak tantangan
yang menghambat akses yang setara dan universal terhadap layanan kesehatan
reproduksi. Berikut ini adalah beberapa tantangan dalam akses terhadap layanan
kesehatan reproduksi:
1. Keterbatasan Infrastruktur dan Sumber Daya: Beberapa daerah, terutama di
wilayah pedesaan dan terpencil, mungkin memiliki keterbatasan infrastruktur
dan sumber daya kesehatan reproduksi yang memadai. Fasilitas kesehatan
yang terjangkau, peralatan medis, dan tenaga medis yang terlatih seringkali
tidak tersedia secara memadai, menghambat akses penduduk ke layanan
kesehatan reproduksi.
2. Kendala Keuangan: Biaya layanan kesehatan reproduksi dapat menjadi
hambatan bagi individu yang tidak mampu secara finansial. Hal ini meliputi
biaya pemeriksaan, pengobatan, kontrasepsi, dan prosedur reproduksi yang
mahal. Kendala keuangan juga dapat menghambat akses terhadap
transportasi ke fasilitas kesehatan yang memadai.
3. Budaya dan Norma Sosial: Norma sosial dan budaya tertentu dapat
mempengaruhi akses terhadap layanan kesehatan reproduksi. Misalnya,
stigma terhadap topik kesehatan reproduksi atau keyakinan dan praktik
tradisional yang dapat menghalangi individu dalam mencari layanan
kesehatan reproduksi yang dibutuhkan.
4. Kurangnya Pendidikan dan Informasi: Kurangnya pemahaman tentang
kesehatan reproduksi dan kurangnya informasi yang akurat tentang layanan
kesehatan reproduksi dapat menjadi penghalang bagi individu dalam
mengakses layanan tersebut. Pendidikan seksual yang tidak memadai di
sekolah dan kurangnya kampanye penyuluhan masyarakat dapat mengurangi
kesadaran dan pemahaman individu tentang pentingnya kesehatan
reproduksi.
5. Diskriminasi dan Ketimpangan Gender: Diskriminasi dan ketimpangan
gender dapat mempengaruhi akses terhadap layanan kesehatan reproduksi,
terutama bagi perempuan dan kelompok marginalisasi lainnya. Diskriminasi
dalam bentuk hukum, kebijakan, atau perlakuan oleh tenaga medis dapat
menghambat akses dan pelayanan yang adil dan setara.
3. Peran Keperawatan dalam Memberikan Perawatan Budaya Sensitif
Perawat memiliki peran penting dalam memberikan perawatan yang sensitif
terhadap budaya pasien. Mereka menghormati keanekaragaman budaya dan
berkomunikasi dengan efektif. Mereka juga memberikan pendidikan,
menyesuaikan lingkungan, dan bekerja sama dengan tim interprofesional untuk
memberikan perawatan yang holistik. Dengan peran ini, perawat dapat
meningkatkan kepuasan pasien dan hasil kesehatan.

BAB IV
UPAYA PENANGGULANGAN DAN TINDAKAN KEPERAWATAN

A. Pendidikan dan Promosi Kesehatan


Perawat memiliki peran penting dalam memberikan pendidikan dan promosi
kesehatan kepada individu dan keluarga dalam konteks keperawatan maternitas.
Mereka memberikan informasi tentang seksualitas, kesehatan reproduksi, persiapan
kehamilan, perawatan prenatal, persalinan, pemberian ASI, dan perawatan pasca
persalinan. Melalui pendidikan ini, perawat membantu individu membuat keputusan
yang sehat dan meningkatkan kualitas hidup mereka
B. Intervensi dalam Keperawatan Maternitas
Intervensi dalam keperawatan maternitas melibatkan pemantauan kesehatan,
perawatan prenatal, persiapan persalinan dan perawatan pasca persalinan, edukasi
tentang perawatan bayi baru lahir, serta konseling dan dukungan emosional. Perawat
berperan dalam memastikan kesehatan ibu dan janin, memberikan perawatan yang
aman, dan memberikan dukungan kepada pasien selama perjalanan kesehatan
reproduksi.
C. Pendekatan Kolaboratif dalam Penanganan Masalah Kesehatan Reproduksi
Pendekatan kolaboratif dalam penanganan masalah kesehatan reproduksi melibatkan
kerjasama antara berbagai profesional kesehatan, termasuk perawat, dokter, bidan,
ahli gizi, psikolog, dan pekerja sosial. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk
memberikan perawatan yang komprehensif, terkoordinasi, dan efektif kepada
individu yang mengalami masalah kesehatan reproduksi. Berikut adalah beberapa
aspek yang terkait dengan pendekatan kolaboratif ini:
1. Tim Interprofesional: Anggota tim interprofesional bekerja sama untuk
memberikan perawatan holistik kepada pasien. Mereka saling berkolaborasi
dalam mengidentifikasi masalah, merencanakan perawatan, dan melibatkan
pasien dalam pengambilan keputusan. Setiap anggota tim memberikan
kontribusi berdasarkan pengetahuan dan keahlian mereka masing-masing untuk
mencapai hasil yang optimal
2. Konsultasi dan Rujukan: Dalam pendekatan kolaboratif, perawat dapat
melakukan konsultasi dengan dokter, ahli gizi, atau spesialis lainnya untuk
mendapatkan penilaian dan panduan lebih lanjut terkait masalah kesehatan
reproduksi pasien. Jika diperlukan, perawat juga dapat merujuk pasien ke
profesional lain untuk penanganan yang lebih spesifik
3. Koordinasi Perawatan: Perawat berperan dalam mengoordinasikan perawatan
pasien dengan berbagai profesional kesehatan. Mereka memastikan bahwa
informasi yang relevan diteruskan secara efektif antara anggota tim, termasuk
hasil pemeriksaan, rencana perawatan, dan perkembangan pasien. Hal ini
membantu menjaga kontinuitas perawatan dan memastikan pasien mendapatkan
perawatan yang terintegrasi
4. Edukasi Pasien: Perawat memberikan edukasi kepada pasien tentang masalah
kesehatan reproduksi, pengelolaan kondisi, pencegahan penyakit, dan perawatan
mandiri. Mereka membantu pasien memahami informasi medis yang kompleks
dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan memastikan pasien
terlibat dalam pengambilan keputusan terkait perawatan mereka.
5. Dukungan Emosional: Pendekatan kolaboratif juga mencakup dukungan
emosional kepada pasien. Perawat memberikan pendengaran aktif, empati, dan
dukungan dalam menghadapi masalah kesehatan reproduksi. Mereka membantu
pasien mengatasi kecemasan, mengelola stres, dan meningkatkan kualitas hidup
mereka selama perjalanan kesehatan reproduksi.

BAB V
KESIMPULAN
1. Ringkasan Trend dan Isu dalam Keperawatan Maternitas Terkait Masalah
Kesehatan Reproduksi
2. reproduksi. Misalnya, penggunaan ultrasound, tes genetik, dan teknologi
reproduksi bantu telah meningkatkan kemampuan untuk mendiagnosis dan
mengatasi masalah kesehatan reproduksi. Perawat berperan dalam memberikan
pendidikan, dukungan, dan koordinasi perawatan terkait penggunaan teknologi
ini.

3. Peningkatan Pemahaman tentang Kesehatan Reproduksi: Pendidikan dan


pemahaman tentang kesehatan reproduksi semakin penting dalam upaya
mencegah masalah kesehatan dan meningkatkan kesejahteraan reproduksi.
Perawat memiliki peran penting dalam memberikan pendidikan seksual dan
kesehatan reproduksi kepada individu dan keluarga, termasuk informasi tentang
kontrasepsi, infertilitas, penyakit menular seksual, dan kehamilan yang sehat.

4. Infertilitas dan Teknik Reproduksi Bantu: Infertilitas merupakan masalah yang


semakin banyak dialami oleh pasangan di berbagai belahan dunia. Teknik
reproduksi bantu, seperti inseminasi buatan, fertilisasi in vitro, dan penggunaan
donor sperma atau telur, telah memberikan harapan bagi pasangan yang
mengalami kesulitan untuk hamil. Perawat berperan dalam memberikan
dukungan, pendidikan, dan koordinasi perawatan bagi pasien yang menjalani
teknik reproduksi bantu.

5. Faktor Risiko Kehamilan Remaja: Kehamilan remaja masih menjadi isu yang
signifikan dalam kesehatan reproduksi. Remaja yang hamil berisiko mengalami
komplikasi kesehatan fisik dan mental, serta kesulitan dalam merawat bayi.
Perawat berperan dalam memberikan pendidikan seksual yang komprehensif,
pencegahan kehamilan remaja, dan dukungan kepada remaja yang sudah hamil.
6. Pentingnya Peran Keperawatan dalam Menangani Masalah Kesehatan
Reproduksi
7. Peran keperawatan dalam menangani masalah kesehatan reproduksi sangat
penting dan beragam. Berikut adalah beberapa alasan mengapa peran
keperawatan dalam bidang ini sangat penting:
8. Pendidikan dan Pemahaman: Perawat memiliki peran penting dalam
memberikan pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi kepada individu dan
keluarga. Mereka menyediakan informasi yang akurat, memperkuat pemahaman
tentang kesehatan reproduksi, dan membantu individu membuat keputusan yang
tepat terkait perawatan mereka. Dengan pemahaman yang baik, individu dapat
mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjaga kesehatan reproduksi
mereka
9. Dukungan Emosional dan Psikososial: Kesehatan reproduksi seringkali
melibatkan aspek emosional dan psikososial yang kompleks. Perawat dapat
memberikan dukungan emosional kepada individu yang mengalami kesulitan,
kecemasan, atau stres terkait masalah kesehatan reproduksi. Mereka
mendengarkan dengan empati, memberikan nasihat, dan membantu individu
menghadapi perubahan dan tantangan yang terkait dengan kesehatan reproduksi
mereka
10. Koordinasi Perawatan: Perawat berperan sebagai koordinator perawatan yang
efektif dalam menangani masalah kesehatan reproduksi. Mereka bekerja sama
dengan berbagai profesional kesehatan, termasuk dokter, bidan, dan ahli lainnya,
untuk memastikan perawatan yang terintegrasi dan holistik. Perawat memastikan
informasi yang relevan disampaikan secara tepat waktu, dan merencanakan dan
mengkoordinasikan perawatan berdasarkan kebutuhan individu
11. Perawatan Langsung: Perawat juga memberikan perawatan langsung kepada
individu dalam kesehatan reproduksi, termasuk pemantauan kesehatan,
perawatan prenatal dan pasca persalinan, serta perawatan bayi baru lahir.
Mereka memastikan bahwa perawatan diberikan dengan aman, mengikuti
pedoman terkini, dan memberikan dukungan fisik dan emosional kepada
individu yang membutuhkan.
12. Promosi Kesehatan dan Pencegahan: Keperawatan maternitas juga melibatkan
upaya promosi kesehatan dan pencegahan masalah kesehatan reproduksi.
Perawat berperan dalam mengadvokasi gaya hidup sehat, pencegahan penyakit
menular seksual, pemantauan prakonsepsi, dan kepatuhan terhadap kontrasepsi.
Mereka memberikan edukasi tentang pentingnya pencegahan dan membantu
individu mengambil langkah-langkah pencegahan yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

American College of Obstetricians and Gynecologists. (2018). Committee opinion no.


671: perinatal and long-term outcomes of children born to mothers with preeclampsia.
Obstetrics and gynecology, 131(1), e1-e17.

International Organization for Migration. (2019). Migration and sexual and reproductive
health: Key issues and challenges. Retrieved from [insert the URL of the source]

United Nations Population Fund. (2019). Adolescent pregnancy. Retrieved from [insert
the URL of the source]
WHO Regional Office for Europe. (2018). Migrant and refugee health: Towards an
integrated approach. Retrieved from [insert the URL of the source]

World Health Organization. (2020). Disability and reproductive health. Retrieved from
[insert the URL of the source]

MAKALAH
KONSEP DASAR KB
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah : Keperawatan Maternitas II

Dosen Pengampu : Ns. Rany Muliany Sudirman S.Kep., M.Kep


Disusun Oleh :
M Nadhif Arsya T
(CKR0210112)

KEPERAWATAN REGULER C TINGKAT 2


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
Jl. Lkr. Bayuning No.2, Kadugede, Kuningan, Jawa Barat 45561
Telp.(0232)875847 Fax. 0232-875123 : info@stikeskuningan.ac.id
2022/2023

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan Makalah

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Keluarga Berencana
1. Definisi KB dan ruang lingkupnya
2. Sejarah perkembangan KB secara global dan di Indonesia
B. Tujuan Keluarga Berencana
1. Tujuan individu dalam menjalankan KB
2. Tujuan keluarga dalam melaksanakan KB
3. Tujuan nasional terkait KB
C. Manfaat Keluarga Berencana
1. Manfaat bagi individu dalam merencanakan keluarga
2. Manfaat bagi keluarga secara keseluruhan
3. Manfaat sosial dan ekonomi dari KB
D. Prinsip-Prinsip Keluarga Berencana
1. Keadilan gender dalam KB
2. Pemenuhan hak asasi manusia dalam KB
3. Kesehatan reproduksi sebagai prinsip utama
4. Kesetaraan dan keadilan sosial dalam KB

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk yang pesat dan masalah terkait kesejahteraan manusia
menjadi fokus perhatian di banyak negara. Menanggapi tantangan ini, program
Keluarga Berencana (KB) telah diperkenalkan sebagai salah satu upaya
pengendalian pertumbuhan penduduk dan meningkatkan kualitas hidup. Program
KB bertujuan untuk memberikan akses dan informasi kepada individu dan pasangan
dalam merencanakan kehamilan dan keluarga yang sesuai dengan keinginan mereka.

Menurut Bertrand dan Bertrand (2020), program KB telah ada selama lima dekade
dan telah memberikan dampak yang signifikan dalam pengendalian pertumbuhan
penduduk. Di Indonesia, program KB telah menjadi bagian penting dari upaya
pembangunan nasional. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
(2020), implementasi program KB di Indonesia telah mengalami perkembangan
seiring berjalannya waktu.

Namun, tantangan masih ada dalam pelaksanaan program KB. Meskipun ada
manfaat yang jelas dari KB, seperti yang dikemukakan oleh Cleland et al. (2012),
kesehatan reproduksi dan peningkatan kualitas hidup, masih ada kendala dan
hambatan dalam mencapai tujuan KB secara menyeluruh. Tantangan tersebut
termasuk faktor sosial, budaya, ekonomi, dan akses terhadap layanan kesehatan
reproduksi.

Dalam konteks ini, latar belakang penelitian ini adalah untuk menganalisis konsep
dasar KB, termasuk definisi, sejarah perkembangan, tujuan, manfaat, prinsip-
prinsip, metode kontrasepsi, serta peran pemerintah dan masyarakat dalam
pelaksanaan program KB di Indonesia. Diharapkan makalah ini dapat memberikan
pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya KB dan mengidentifikasi langkah-
langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan efektivitas dan aksesibilitas
program KB di Indonesia.
B. Tujuan Makalah
1. Menjelaskan konsep dasar Keluarga Berencana (KB): Makalah ini akan
memberikan pemahaman yang mendalam tentang konsep dasar KB, termasuk
definisi, ruang lingkup, dan tujuan utamanya. Dengan demikian, pembaca akan
memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya KB dalam konteks
masyarakat.
2. Memahami manfaat dan tujuan dari KB: Makalah ini akan menguraikan manfaat
KB bagi individu, keluarga, masyarakat, dan negara secara keseluruhan. Selain
itu, tujuan KB juga akan dibahas secara rinci, baik dari perspektif individu,
keluarga, maupun tingkat nasional.
3. Menyadari peranan pemerintah dan masyarakat dalam pelaksanaan KB:
Makalah ini akan menggambarkan peran yang dimainkan oleh pemerintah dan
masyarakat dalam pelaksanaan program KB. Ini termasuk kebijakan pemerintah
terkait KB, upaya sosialisasi, dan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat
dalam mempromosikan akses dan penggunaan metode kontrasepsi.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Keluarga Berencana
1. Definisi KB dan ruang lingkupnya
Definisi Keluarga Berencana (KB) mengacu pada upaya yang dilakukan oleh
individu dan pasangan untuk merencanakan kehamilan dan memutuskan jumlah
serta jarak antara anak-anak yang mereka inginkan. KB melibatkan penggunaan
metode kontrasepsi untuk mengatur kehamilan dan kelahiran agar sesuai dengan
keinginan dan kemampuan pasangan.
Ruang lingkup KB mencakup beberapa aspek yang terkait dengan perencanaan
keluarga. Beberapa di antaranya adalah:
1. Pemilihan Metode Kontrasepsi: KB melibatkan pemilihan dan penggunaan
metode kontrasepsi yang sesuai dengan preferensi, kondisi kesehatan, dan
kebutuhan pasangan. Metode kontrasepsi dapat mencakup pil KB,
kontrasepsi hormonal, kondom, IUD (alat kontrasepsi dalam rahim),
sterilisasi, dan banyak lagi.
2. Konseling dan Edukasi: Bagian penting dari KB adalah memberikan
konseling dan edukasi kepada individu dan pasangan tentang berbagai
metode kontrasepsi yang tersedia, efektivitasnya, cara penggunaan yang
benar, serta manfaat dan risiko yang terkait dengan setiap metode.
3. Layanan Kesehatan Reproduksi: KB melibatkan akses terhadap layanan
kesehatan reproduksi yang menyediakan pemeriksaan kesehatan, konsultasi,
pemberian metode kontrasepsi, pemantauan kesehatan reproduksi, dan
dukungan medis yang diperlukan.
4. Perencanaan Kehamilan: KB juga mencakup perencanaan kehamilan yang
terkait dengan kesehatan ibu dan janin. Ini termasuk pemeriksaan kehamilan,
pemberian suplemen prenatal, pemeriksaan ultrasonografi, serta pemantauan
kesehatan dan perkembangan janin.
5. Dukungan Psikososial: KB melibatkan memberikan dukungan psikososial
kepada individu dan pasangan dalam mengatasi tantangan dan perubahan
yang terkait dengan perencanaan keluarga, termasuk dukungan dalam
menghadapi masalah reproduksi dan pengambilan keputusan terkait
kehamilan.
2. Sejarah perkembangan KB secara global dan di Indonesia
1. Sejarah perkembangan KB secara global:
Menurut J. T. Bertrand dan M. Bertrand dalam artikel "Five decades of
family planning: evidence and achievements" (2020), perkembangan KB
secara global melibatkan beberapa tonggak sejarah. Artikel ini dapat diakses
di jurnal Contraception, volume 101, nomor 5, halaman 331-334.
2. Sejarah perkembangan KB di Indonesia:
a. R. Cribb, dalam bukunya "Historical Atlas of Indonesia" (2014),
membahas perkembangan KB di Indonesia dan menggambarkan konteks
historisnya.
b. S. Haryono, dalam artikelnya "The Development of Family Planning in
Indonesia" (2010), yang termuat dalam buku "Demographic Change in
Southeast Asia: Recent Histories and Future Directions", memberikan
informasi tentang perkembangan KB di Indonesia. Artikel ini disusun
oleh sejumlah penulis dan diterbitkan oleh NUS Press.
c. R. Tirtosudarmo, dalam bab "Population Policy and Family Planning in
Indonesia" (2002), yang terdapat dalam buku "Population Transition in
Southeast Asia", menjelaskan perkembangan kebijakan dan program KB
di Indonesia. Buku ini diterbitkan oleh ISEAS Publishing.
B. Tujuan Keluarga Berencana
1. Tujuan individu dalam menjalankan KB
Tujuan individu dalam menjalankan Keluarga Berencana (KB) dapat bervariasi
sesuai dengan preferensi, kebutuhan, dan kondisi setiap individu. Beberapa
tujuan umum individu dalam menjalankan KB antara lain:
1. Kontrol Kehamilan: Salah satu tujuan utama individu dalam menjalankan
KB adalah untuk memiliki kontrol yang lebih baik atas kehamilan. Individu
dapat menggunakan metode kontrasepsi untuk mencegah atau menunda
kehamilan yang tidak direncanakan, sehingga mereka dapat fokus pada
perencanaan keluarga dan mencapai jarak antara kehamilan yang diinginkan.
2. Perencanaan Keluarga: KB memberikan individu kesempatan untuk
merencanakan jumlah anak yang mereka inginkan dan jarak antara anak-
anak mereka. Dengan merencanakan keluarga secara seksama, individu
dapat mempertimbangkan faktor-faktor seperti kesehatan, pendidikan,
keuangan, dan kualitas hidup untuk menjamin keluarga yang stabil dan
bahagia.
3. Kesehatan Reproduksi: Salah satu tujuan individu dalam menjalankan KB
adalah menjaga kesehatan reproduksi. Dengan menggunakan metode
kontrasepsi yang aman dan efektif, individu dapat mengurangi risiko
kehamilan yang tidak diinginkan, komplikasi kehamilan yang berbahaya,
serta penyebaran penyakit menular seksual.
4. Pendidikan dan Karir: KB memberikan kesempatan bagi individu untuk
mengejar pendidikan lebih lanjut dan mencapai tujuan karir. Dengan
merencanakan keluarga dengan bijaksana, individu dapat mengatur jarak
antara kehamilan sehingga mereka memiliki kesempatan untuk
menyelesaikan pendidikan mereka atau mencapai stabilitas dalam karir
sebelum memulai atau melanjutkan kehamilan.
5. Kesejahteraan Keluarga: Melalui KB, individu dapat memastikan
kesejahteraan keluarga dengan mengatur jumlah anak sesuai dengan
kemampuan dan sumber daya yang tersedia. Dengan demikian, individu
dapat memberikan perhatian, perawatan, dan pendidikan yang memadai
kepada setiap anggota keluarga.
6. Perencanaan Finansial: KB juga dapat membantu individu dalam
perencanaan finansial. Dengan membatasi jumlah anak sesuai dengan
keinginan dan kemampuan ekonomi, individu dapat mengalokasikan sumber
daya secara lebih efektif untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mencapai
kestabilan finansial.
2. Tujuan keluarga dalam melaksanakan KB
Tujuan keluarga dalam melaksanakan Keluarga Berencana (KB) juga dapat
bervariasi tergantung pada kebutuhan dan situasi keluarga. Beberapa tujuan
umum keluarga dalam melaksanakan KB antara lain:
1. Perencanaan Keluarga yang Optimal: KB membantu keluarga untuk
merencanakan jumlah anak yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan
mereka. Dengan merencanakan keluarga secara bijaksana, keluarga dapat
memastikan bahwa setiap anak mendapatkan perhatian, cinta, dan sumber
daya yang memadai untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
2. Peningkatan Kesejahteraan Keluarga: Dengan melaksanakan KB, keluarga
dapat meningkatkan kesejahteraan mereka secara keseluruhan. Dengan
mengatur jarak antara kehamilan, keluarga dapat mempersiapkan diri secara
finansial dan emosional untuk setiap anggota keluarga yang baru. Ini
membantu mencegah beban yang berlebihan dan memastikan bahwa setiap
anggota keluarga mendapatkan perhatian yang memadai.
3. Kesehatan dan Keselamatan: KB membantu keluarga dalam menjaga
kesehatan dan keselamatan. Dengan menggunakan metode kontrasepsi yang
aman dan efektif, keluarga dapat mencegah kehamilan yang tidak
direncanakan, mengurangi risiko komplikasi kehamilan yang berbahaya, dan
melindungi diri dari penyebaran penyakit menular seksual.
4. Pendidikan dan Karir: KB memungkinkan keluarga untuk fokus pada
pendidikan dan karir. Dengan merencanakan keluarga dengan bijaksana,
keluarga dapat mengatur jarak antara kehamilan sehingga anggota keluarga
memiliki kesempatan untuk mengejar pendidikan lebih lanjut,
mengembangkan karir, dan mencapai stabilitas keuangan sebelum memulai
atau melanjutkan kehamilan.
5. Peningkatan Kualitas Hidup: Melalui KB, keluarga dapat meningkatkan
kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Dengan membatasi jumlah anak
sesuai dengan keinginan dan kemampuan keluarga, mereka dapat
mengalokasikan sumber daya dengan lebih baik, memenuhi kebutuhan dasar
keluarga, dan menciptakan lingkungan yang stabil dan harmonis.
6. Tanggung Jawab Lingkungan: KB juga dapat menjadi bagian dari tanggung
jawab keluarga terhadap lingkungan. Dengan mengontrol pertumbuhan
populasi, keluarga dapat berkontribusi dalam menjaga keseimbangan
lingkungan dan sumber daya alam yang terbatas.
3. Tujuan nasional terkait KB
Tujuan nasional terkait Keluarga Berencana (KB) berbeda-beda antara negara-
negara karena dipengaruhi oleh kondisi, kebijakan, dan prioritas masing-masing
negara. Namun, secara umum, tujuan nasional terkait KB dapat mencakup hal-
hal berikut:
1. Pengendalian Pertumbuhan Penduduk: Tujuan nasional utama dari program
KB adalah untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk. Dalam negara-
negara dengan populasi yang tumbuh cepat, program KB bertujuan untuk
mengurangi laju pertumbuhan penduduk agar dapat sejalan dengan
ketersediaan sumber daya, infrastruktur, dan kebutuhan ekonomi negara
tersebut.
2. Penurunan Angka Kelahiran: Tujuan nasional KB juga mencakup penurunan
angka kelahiran secara keseluruhan. Dengan mengurangi jumlah kelahiran
yang tidak direncanakan atau yang terlalu rapat, tujuannya adalah mencapai
tingkat kelahiran yang stabil dan berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan negara.
3. Peningkatan Kesehatan Reproduksi: Program KB bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan reproduksi dan mengurangi angka kematian ibu dan
bayi. Dengan memberikan akses yang lebih baik terhadap layanan kesehatan
reproduksi, termasuk kontrasepsi dan perawatan antenatal, program KB
dapat membantu meningkatkan kesehatan ibu, mengurangi risiko komplikasi
kehamilan, dan meningkatkan kualitas hidup ibu dan bayi.
4. Pemberdayaan Perempuan: Tujuan nasional KB sering kali terkait dengan
pemberdayaan perempuan. Dengan memberikan akses yang lebih baik
terhadap informasi, pendidikan, dan layanan KB, program KB dapat
membantu perempuan untuk mengambil keputusan yang berhubungan
dengan kesehatan reproduksi dan perencanaan keluarga. Hal ini dapat
meningkatkan kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam
pendidikan, karir, dan kehidupan sosial-ekonomi secara lebih luas.
5. Pembangunan Berkelanjutan: Program KB dapat berkontribusi pada
pembangunan berkelanjutan dengan menjaga keseimbangan antara
pertumbuhan penduduk, sumber daya alam, dan lingkungan. Dengan
mengurangi tekanan pada sumber daya alam, program KB dapat membantu
dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan menciptakan kondisi
yang lebih baik bagi generasi masa depan.
C. Manfaat Keluarga Berencana
1. Manfaat bagi individu dalam merencanakan keluarga
1. Kontrol Kehamilan: Memungkinkan individu untuk memiliki kontrol yang
lebih baik atas kehamilan, mencegah atau menunda kehamilan yang tidak
direncanakan.
2. Perencanaan Karir dan Pendidikan: Memberikan kesempatan untuk fokus
pada pendidikan atau pengembangan karir tanpa terbebani oleh kehamilan
yang tidak direncanakan.
3. Kesehatan Reproduksi: Melindungi individu dari risiko kehamilan yang
tidak diinginkan dan penyakit menular seksual dengan menggunakan metode
kontrasepsi yang aman dan efektif.
4. Kesejahteraan Finansial: Memungkinkan pengelolaan sumber daya finansial
yang lebih baik dengan mengatur jumlah anak sesuai dengan kemampuan
ekonomi.
5. Hubungan Pasangan yang Sehat: Membantu membangun hubungan yang
sehat antara pasangan dengan saling mendukung dan memahami kebutuhan
satu sama lain.
6. Kualitas Hidup yang Lebih Baik: Menciptakan lingkungan keluarga yang
stabil, bahagia, dan harmonis, serta memberikan perhatian dan perawatan
yang memadai kepada setiap anggota keluarga.
2. Manfaat bagi keluarga secara keseluruhan
1. Stabilitas dan Kesejahteraan Keluarga: Membantu menciptakan stabilitas
dan kesejahteraan dalam keluarga dengan memenuhi kebutuhan dasar setiap
anggota keluarga.
2. Perencanaan Keuangan yang Lebih Baik: Membantu keluarga dalam
mengelola sumber daya finansial dengan efektif, mempersiapkan kebutuhan
sehari-hari dan masa depan keluarga.
3. Kualitas Hidup yang Lebih Baik: Meningkatkan kualitas hidup keluarga
secara keseluruhan dengan memberikan perhatian, cinta, dan dukungan yang
memadai kepada setiap anggota keluarga.
4. Pendidikan dan Pengembangan Anak: Memberikan peluang pendidikan dan
pengembangan yang lebih baik bagi setiap anak dalam keluarga.
5. Kesehatan dan Keamanan: Melindungi kesehatan dan keamanan keluarga
dengan mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan mengurangi risiko
komplikasi kehamilan.
6. Kontribusi pada Masyarakat dan Lingkungan: Membantu keluarga
berkontribusi pada masyarakat dan lingkungan dengan menjaga
keseimbangan populasi dan lingkungan yang berkelanjutan.
3. Manfaat sosial dan ekonomi dari KB
1. Pengurangan kemiskinan dengan mengendalikan pertumbuhan populasi dan
mengalokasikan sumber daya secara efektif.
2. Peningkatan kesejahteraan ibu dan anak dengan mengurangi risiko
komplikasi kehamilan dan memberikan perhatian yang memadai.
3. Peningkatan kualitas pendidikan dengan memberikan perhatian dan
dukungan yang memadai kepada setiap anak.
4. Peningkatan kesempatan kerja terutama bagi perempuan dengan kontrol
kehamilan.
5. Peningkatan produktivitas ekonomi dengan mengendalikan pertumbuhan
populasi dan memanfaatkan sumber daya secara efisien.
6. Pengurangan tekanan pada sumber daya alam dan lingkungan dengan
mengurangi konsumsi sumber daya.
D. Prinsip-Prinsip Keluarga Berencana
1. Keadilan gender dalam KB
1. Akses dan Informasi: Keadilan gender dalam KB berarti memastikan bahwa
pria dan wanita memiliki akses yang sama terhadap informasi tentang
metode kontrasepsi, kesehatan reproduksi, dan layanan KB. Semua individu
harus diberikan informasi yang lengkap dan akurat untuk membuat
keputusan berdasarkan kebutuhan dan preferensi mereka.
2. Partisipasi Aktif: Keadilan gender melibatkan partisipasi aktif pria dan
wanita dalam perencanaan keluarga. Keduanya harus terlibat dalam
pembuatan keputusan terkait KB, termasuk pemilihan metode kontrasepsi
yang sesuai. Ini memastikan bahwa tanggung jawab dan keputusan terkait
KB tidak hanya dilakukan oleh salah satu pihak, melainkan bersifat
kolaboratif.
3. Kepemilikan dan Kendali Reproduksi: Keadilan gender dalam KB mencakup
memberikan pilihan dan kendali kepada pria dan wanita terkait keputusan
reproduksi mereka. Wanita harus memiliki hak untuk memilih metode
kontrasepsi yang sesuai dengan tubuh dan kebutuhan mereka, sedangkan pria
harus terlibat dalam tanggung jawab dan penggunaan metode kontrasepsi
yang dipilih.
4. Pembagian Tanggung Jawab: Keadilan gender dalam KB melibatkan
pembagian tanggung jawab antara pria dan wanita dalam merencanakan
keluarga. Hal ini mencakup komunikasi terbuka, saling mendukung, dan
menghormati keputusan dan preferensi satu sama lain. Pembagian tanggung
jawab ini juga termasuk dukungan pria terhadap wanita dalam penggunaan
metode kontrasepsi yang dipilih.
5. Eliminasi Kekerasan dan Paksaan: Keadilan gender dalam KB juga
melibatkan upaya untuk mengatasi dan mencegah kekerasan, paksaan, atau
penindasan dalam konteks KB. Wanita harus memiliki kebebasan untuk
membuat keputusan tentang reproduksi mereka tanpa tekanan atau pengaruh
yang tidak diinginkan.
2. Pemenuhan hak asasi manusia dalam KB
KB yang berlandaskan hak asasi manusia menghormati, melindungi, dan
memenuhi hak-hak individu terkait reproduksi dan keputusan berkeluarga.
Berikut adalah beberapa aspek pemenuhan hak asasi manusia dalam KB:
1. Hak Informasi: Setiap individu memiliki hak untuk mendapatkan informasi
yang akurat, komprehensif, dan mudah diakses terkait metode kontrasepsi,
kesehatan reproduksi, dan KB. Hak ini memungkinkan individu membuat
keputusan yang informasi berdasarkan dan sesuai dengan kebutuhan dan
preferensi mereka.
2. Hak Memilih: Setiap individu memiliki hak untuk memilih metode
kontrasepsi yang sesuai dengan tubuh dan kebutuhan mereka. Hak ini
mencakup akses yang adil dan tidak diskriminatif terhadap berbagai metode
kontrasepsi yang aman dan efektif.
3. Hak Privasi: Hak privasi individu harus dihormati dan dilindungi dalam
konteks KB. Ini berarti bahwa semua informasi pribadi terkait dengan
reproduksi dan keputusan berkeluarga harus dirahasiakan dan tidak boleh
diungkapkan tanpa persetujuan individu tersebut.
4. Hak Partisipasi: Individu memiliki hak untuk berpartisipasi aktif dalam
keputusan terkait KB. Hal ini mencakup hak untuk berbicara, berbagi
pandangan, dan ikut serta dalam proses pengambilan keputusan terkait
metode kontrasepsi, rencana keluarga, dan perawatan kesehatan reproduksi.
5. Hak Kesehatan: Individu memiliki hak untuk mendapatkan akses yang setara
terhadap layanan kesehatan reproduksi yang berkualitas. Ini mencakup
pelayanan yang aman, terjangkau, dan tanpa diskriminasi, termasuk layanan
konseling, pemeriksaan kesehatan reproduksi, dan metode kontrasepsi.
6. Hak Tidak Diskriminasi: Semua individu harus dijamin hak untuk tidak
mengalami diskriminasi dalam akses dan pelayanan KB. Tidak ada
diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, status perkawinan, orientasi seksual,
usia, atau faktor-faktor lain yang tidak relevan.
3. Kesehatan reproduksi sebagai prinsip utama
Kesehatan reproduksi sebagai prinsip utama dalam KB melibatkan pemenuhan
hak asasi manusia terkait reproduksi dan upaya meningkatkan kesehatan fisik,
mental, dan sosial individu. Ini mencakup akses informasi, layanan kesehatan
reproduksi komprehensif, pencegahan dan pengobatan penyakit, kesehatan
seksual, serta pengakuan hak reproduksi individu. Prinsip ini penting dalam
menjalankan program KB yang efektif dan memastikan individu mencapai
kesehatan reproduksi yang optimal.
4. Kesetaraan dan keadilan sosial dalam KB
1. Akses yang Sama: Kesetaraan sosial dalam KB berarti semua individu
memiliki akses yang sama terhadap informasi, layanan, dan metode
kontrasepsi yang aman dan efektif. Tidak boleh ada diskriminasi dalam
memberikan pelayanan KB berdasarkan jenis kelamin, usia, status
perkawinan, atau faktor-faktor lain yang tidak relevan.
2. Tidak Ada Diskriminasi: Prinsip kesetaraan dalam KB menuntut
penghapusan segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi gender,
sosial, dan ekonomi. Semua individu harus diperlakukan dengan adil dan
setara dalam akses, pelayanan, dan perlindungan terkait KB.
3. Keadilan dalam Pembagian Beban: Keadilan sosial dalam KB berarti
pembagian beban dan tanggung jawab yang adil antara pria dan wanita
dalam merencanakan keluarga. Pria juga harus terlibat secara aktif dalam
KB, termasuk dalam penggunaan metode kontrasepsi dan mendukung
keputusan keluarga terkait KB.
4. Pendidikan dan Pemberdayaan: Keadilan sosial dalam KB melibatkan
pendidikan dan pemberdayaan individu untuk mengambil keputusan yang
informasi berdasarkan tentang kesehatan reproduksi dan KB. Semua
individu harus diberikan pengetahuan, keterampilan, dan dukungan yang
diperlukan untuk membuat keputusan yang tepat sesuai dengan kebutuhan
dan preferensi mereka.
5. Keadilan dalam Penyediaan Layanan: Prinsip ini menggarisbawahi perlunya
pelayanan KB yang merata dan terjangkau bagi semua individu, terlepas dari
status sosial atau ekonomi mereka. Fasilitas kesehatan harus memberikan
pelayanan dengan harga yang terjangkau, mudah diakses, dan berkualitas
tinggi untuk memastikan kesetaraan dalam akses dan keadilan dalam
pelayanan KB.
Kesetaraan dan keadilan sosial dalam KB bertujuan untuk menciptakan
lingkungan yang adil, di mana semua individu memiliki hak yang sama dan
mendapatkan perlakuan yang setara dalam akses, pelayanan, dan keputusan
terkait KB. Ini berkontribusi pada pencapaian kesetaraan gender, peningkatan
kesejahteraan sosial, dan pembangunan yang berkelanjutan.

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
Dari semua materi yang telah dibahas di atas, dapat disimpulkan bahwa Keluarga
Berencana (KB) memiliki konsep dasar yang meliputi sejarah perkembangannya,
tujuan individu, keluarga, dan nasional terkait KB, manfaat bagi individu, keluarga,
serta aspek sosial, ekonomi, gender, dan hak asasi manusia dalam KB. Prinsip
kesehatan reproduksi sebagai prinsip utama dalam KB menjaga kesehatan fisik dan
mental individu dalam konteks reproduksi.

Kesetaraan dan keadilan sosial juga menjadi aspek penting dalam KB, yang
menekankan perlunya akses yang sama, tanpa diskriminasi, dan pembagian beban
yang adil dalam merencanakan keluarga. Pendidikan dan pemberdayaan individu
dalam mengambil keputusan yang informasi berdasarkan juga menjadi bagian
integral dari KB.

KB memiliki manfaat yang signifikan bagi individu, keluarga, dan masyarakat


secara keseluruhan. Dalam merencanakan keluarga, individu dan keluarga dapat
mengontrol jumlah anak yang diinginkan, meningkatkan kualitas hidup, mengurangi
risiko kesehatan, dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Pada tingkat nasional,
KB berperan penting dalam pembangunan berkelanjutan dan pengendalian
pertumbuhan populasi.

Penerapan konsep dasar KB ini memerlukan upaya kolaboratif dari pemerintah,


tenaga medis, masyarakat, dan individu itu sendiri. Diperlukan pendekatan yang
holistik, menyeluruh, dan berbasis hak asasi manusia dalam menjalankan program
KB yang efektif dan berkelanjutan.
Dengan demikian, KB memiliki peran yang penting dalam mencapai tujuan
pembangunan berkelanjutan, meningkatkan kualitas hidup individu dan keluarga,
serta menjaga kesetaraan, keadilan sosial, dan pemenuhan hak asasi manusia dalam
konteks reproduksi.
B. Saran
1. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang KB.
2. Penguatan layanan kesehatan reproduksi.
3. Pemberdayaan perempuan dalam pengambilan keputusan KB.
4. Kolaborasi antarsektor dalam implementasi program KB.
5. Evaluasi dan pemantauan program secara berkala.
6. Penelitian dan inovasi dalam bidang KB.

DAFTAR PUSTAKA

Bertrand, J. T., & Bertrand, M. (2020). Five decades of family planning: evidence and
achievements. Contraception, 101(5), 331-334.

Cleland, J., Conde-Agudelo, A., Peterson, H., Ross, J., & Tsui, A. (2012).
Contraception and health. The Lancet, 380(9837), 149-156.

Cribb, R. (2014). “Historical Atlas of Indonesia.” Routledge.

Haryono, S. (2010). “The Development of Family Planning in Indonesia.” In


Demographic Change in Southeast Asia: Recent Histories and Future Directions, 117-
139. NUS Press.

Tirtosudarmo, R. (2002). “Population Policy and Family Planning in Indonesia.” In


Population Transition in Southeast Asia, 113-141. ISEAS Publishing.
MAKALAH
GANGGUAN MENSTRUASI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah : Keperawatan Maternitas II

Dosen Pengampu : Ns. Rany Muliany Sudirman S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh :
M Nadhif Arsya T
(CKR0210112)
KEPERAWATAN REGULER C TINGKAT 2
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
Jl. Lkr. Bayuning No.2, Kadugede, Kuningan, Jawa Barat 45561
Telp.(0232)875847 Fax. 0232-875123 : info@stikeskuningan.ac.id
2022/2023

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan

BAB II PENYEBAB GANGGUAN MENSTRUASI


A. Faktor hormonal
1. Gangguan keseimbangan hormon
2. Sindrom ovarium polikistik (SOPK)
3. Gangguan tiroid
B. Faktor ginekologis
1. Endometriosis
2. Fibroid rahim
3. Polip serviks atau rahim
C. Faktor psikologis
1. Stres
2. Gangguan makan
3. Gangguan berat badan
D. Faktor lingkungan dan gaya hidup
1. Pola makan yang tidak sehat
2. Olahraga berlebihan
3. Paparan zat kimia
BAB III JENIS-JENIS GANGGUAN MENSTRUASI
A. Amenore
1. Amenore primer
2. Amenore sekunder
B. Oligomenore
C. Polimenore
D. Menoragia
E. Metroragia
F. Dismenore
G. Sindrom pramenstruasi (PMS)

BAB IV DIAGNOSIS DAN EVALUASI


A. Riwayat medis dan gejala
B. Pemeriksaan fisik
C. Pemeriksaan penunjang
1. Tes darah
2. Pemeriksaan ultrasonografi
3. Histeroskopi

BAB V PENGELOLAAN GANGGUAN MENSTRUASI


A. Perubahan gaya hidup
1. Diet seimbang dan nutrisi yang cukup
2. Olahraga yang teratur dan seimbang
3. Mengelola stres
B. Terapi medis
1. Kontrasepsi hormonal
2. Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS)
3. Obat-obatan untuk mengatur siklus menstruasi
C. Tindakan bedah
1. Ablasi endometrium
2. Histerektomi

BAB VI PENCEGAHAN GANGGUAN MENSTRUASI


A. Pola hidup sehat
B. Mengelola stres dengan baik
C. Penggunaan kontrasepsi yang tepat
D. Menghindari paparan zat kimia berbahaya

BAB VII KESIMPULAN


A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan menstruasi adalah kondisi di mana siklus menstruasi wanita tidak
berjalan dengan teratur atau mengalami perubahan yang tidak normal. Menstruasi
adalah proses fisiologis alami yang terjadi pada wanita sebagai bagian dari siklus
reproduksi mereka. Namun, beberapa wanita mengalami masalah dengan menstruasi
mereka, baik dalam hal frekuensi, durasi, atau jumlah perdarahan yang tidak normal.
Gangguan menstruasi dapat memiliki dampak negatif pada kualitas hidup dan
kesejahteraan wanita (Fraser et al., 2007; Speroff & Fritz, 2014; Rebar, 2018; Chun
& Shin, 2020).

Menstruasi yang normal biasanya terjadi setiap 21-35 hari, dengan durasi 2-7 hari,
dan jumlah perdarahan yang normal adalah sekitar 20-60 mililiter (Fraser et al.,
2007; Speroff & Fritz, 2014). Namun, berbagai faktor dapat menyebabkan gangguan
menstruasi, termasuk perubahan hormonal, masalah ginekologis seperti
endometriosis atau fibroid, faktor psikologis seperti stres, dan faktor lingkungan
atau gaya hidup seperti paparan zat kimia atau olahraga berlebihan (Rebar, 2018;
American College of Obstetricians and Gynecologists [ACOG], 2018).
Penting untuk memahami gangguan menstruasi dan dampaknya karena dapat
mempengaruhi kesehatan dan kualitas hidup wanita (Chun & Shin, 2020). Dengan
pemahaman yang lebih baik tentang penyebab dan jenis-jenis gangguan menstruasi,
kita dapat meningkatkan diagnosis, pengelolaan, dan penanganannya (Fraser et al.,
2007; Speroff & Fritz, 2014; ACOG, 2018).
B. Tujuan
1. Untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang gangguan menstruasi
dan pentingnya memahami masalah ini.
2. Untuk menjelaskan definisi menstruasi dan keteraturan siklus menstruasi.
3. Untuk menggambarkan perubahan fisiologis yang terjadi selama menstruasi dan
peran hormon dalam menstruasi.
4. Untuk menyoroti pentingnya kesehatan menstruasi dan dampak kesehatan
menstruasi yang normal.
5. Untuk memaparkan indikator menstruasi yang sehat dan mengidentifikasi tanda-
tanda gangguan menstruasi.
6. Untuk menyajikan informasi mengenai jenis-jenis gangguan menstruasi yang
umum terjadi.
7. Untuk membahas dampak gangguan menstruasi pada kualitas hidup dan
kesejahteraan wanita.
8. Untuk menganalisis faktor penyebab gangguan menstruasi dan faktor risiko
yang terkait.
9. Untuk mengidentifikasi metode diagnosis dan pilihan pengelolaan gangguan
menstruasi.
10. Untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai
gangguan menstruasi serta mengurangi stigma terkait masalah ini.
BAB II
PENYEBAB GANGGUAN MENSTRUASI
A. Faktor hormonal
1. Gangguan keseimbangan hormon
Gangguan keseimbangan hormon adalah kondisi di mana produksi, sekresi, atau
respons hormon dalam tubuh tidak berjalan dengan normal. Hormon memiliki
peran penting dalam mengatur siklus menstruasi. Gangguan hormon dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, seperti gangguan pada kelenjar endokrin,
sindrom polikistik ovarium (PCOS), gangguan tiroid, atau gangguan pada
kelenjar pituitari. Ketidakseimbangan hormon dapat menyebabkan gangguan
menstruasi, seperti menstruasi tidak teratur, menstruasi terlalu sering atau jarang,
menstruasi dengan durasi yang berlebihan atau pendek. Penting untuk
mendiagnosis dan mengelola gangguan keseimbangan hormon melalui
pemeriksaan laboratorium, penggunaan obat hormon, terapi hormon pengganti,
dan perubahan gaya hidup serta diet.
2. Sindrom ovarium polikistik (SOPK)
Sindrom ovarium polikistik (SOPK) adalah kondisi hormonal yang
memengaruhi ovarium. Hal ini ditandai oleh pertumbuhan folikel yang tidak
normal dalam ovarium, mengganggu ovulasi, dan menyebabkan gejala seperti
hirsutisme (pertumbuhan rambut berlebih pada wajah dan tubuh), gangguan
menstruasi, dan sindrom metabolik. SOPK dapat disebabkan oleh faktor genetik,
resistensi insulin, dan kadar hormon yang tidak normal. Diagnosis SOPK
melibatkan evaluasi gejala, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
seperti tes hormon dan USG ovarium. Pengelolaan SOPK meliputi perubahan
gaya hidup, penggunaan kontrasepsi hormonal, obat-obatan, dan terapi insulin
3. Gangguan tiroid
Gangguan tiroid adalah kondisi yang memengaruhi kelenjar tiroid dan dapat
terjadi dalam dua bentuk, yaitu hipotiroidisme (produksi hormon tiroid yang
rendah) atau hipertiroidisme (produksi hormon tiroid yang tinggi) [American
Thyroid Association, 2020].

Hipotiroidisme ditandai oleh kelelahan, penurunan berat badan, kedinginan


berlebihan, kulit kering, depresi, dan penurunan libido [American Thyroid
Association, 2020]. Sementara itu, hipertiroidisme ditandai oleh kebingungan,
peningkatan denyut jantung, kecemasan, penurunan berat badan, sensitivitas
terhadap panas, dan tremor [American Thyroid Association, 2020].

Penyebab umum hipotiroidisme adalah tiroiditis Hashimoto, sebuah kondisi


autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang kelenjar tiroid [American
Thyroid Association, 2020]. Sedangkan penyebab umum hipertiroidisme adalah
penyakit Graves, yaitu kondisi autoimun di mana antibodi mengaktifkan
kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid secara berlebihan [American
Thyroid Association, 2020].

Diagnosis gangguan tiroid melibatkan evaluasi gejala dan riwayat medis pasien,
pemeriksaan fisik kelenjar tiroid, dan pemeriksaan darah untuk mengukur kadar
hormon tiroid [American Thyroid Association, 2020]. Pengelolaan gangguan
tiroid melibatkan terapi hormonal sintetik untuk menggantikan hormon yang
hilang pada hipotiroidisme. Sedangkan untuk hipertiroidisme, pengobatan dapat
meliputi obat-obatan antitiroid, terapi radioaktif, atau pembedahan [American
Thyroid Association, 2020].
B. Faktor ginekologis
1. Endometriosis
Endometriosis adalah kondisi di mana jaringan yang biasanya melapisi rahim
(endometrium) tumbuh di luar rahim, seperti di ovarium, tuba falopi, atau
jaringan di sekitar rahim. Kondisi ini dapat menyebabkan nyeri panggul kronis,
gangguan menstruasi, dan masalah kesuburan [American College of
Obstetricians and Gynecologists, 2019].
Pada endometriosis, jaringan endometrium yang tumbuh di luar rahim dapat
merespons perubahan siklus hormonal, mirip dengan jaringan endometrium di
dalam rahim. Namun, karena tidak ada jalan keluar untuk darah menstruasi yang
terbentuk, ini dapat menyebabkan peradangan, pembentukan jaringan parut, dan
pembentukan kista endometrioma [American College of Obstetricians and
Gynecologists, 2019].

Penyebab pasti endometriosis belum sepenuhnya dipahami, tetapi beberapa


faktor risiko telah diidentifikasi, termasuk riwayat keluarga, faktor genetik, dan
masalah dengan sistem kekebalan tubuh [American College of Obstetricians and
Gynecologists, 2019]. Diagnosis endometriosis melibatkan evaluasi gejala,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan pencitraan seperti USG, dan dalam beberapa
kasus, laparoskopi sebagai tindakan diagnostik dan terapeutik [American
College of Obstetricians and Gynecologists, 2019].

Pengelolaan endometriosis melibatkan pendekatan terpadu yang dapat


mencakup penggunaan obat-obatan untuk mengendalikan nyeri dan peradangan,
terapi hormon untuk mengatur siklus menstruasi, serta prosedur bedah untuk
mengangkat jaringan endometriosis yang abnormal. Pilihan pengobatan akan
disesuaikan dengan tingkat keparahan gejala dan rencana kehamilan pasien
[American College of Obstetricians and Gynecologists, 2019].
2. Fibroid rahim
Fibroid rahim, juga dikenal sebagai mioma uteri, adalah tumor jinak yang
tumbuh di dinding rahim. Tumor ini terdiri dari jaringan otot dan serat yang
dapat tumbuh dalam berbagai ukuran dan lokasi di dalam atau di sekitar rahim.

Fibroid rahim adalah salah satu kondisi yang paling umum pada wanita usia
reproduksi. Meskipun penyebab pastinya tidak diketahui, faktor genetik,
hormon, dan faktor pertumbuhan yang terkait dengan estrogen diyakini berperan
dalam perkembangan fibroid.

Gejala yang mungkin muncul akibat fibroid rahim termasuk menstruasi yang
berat dan nyeri, perubahan pola menstruasi, nyeri panggul, tekanan pada organ
di sekitar rahim, dan masalah kesuburan. Namun, tidak semua wanita dengan
fibroid rahim mengalami gejala.

Diagnosis fibroid rahim melibatkan pemeriksaan ginekologi, pemeriksaan


pencitraan seperti USG atau MRI, serta kadang-kadang dapat memerlukan
prosedur seperti histeroskopi atau laparoskopi.
Pilihan pengelolaan fibroid rahim dapat mencakup pendekatan observasi, terapi
hormon untuk mengendalikan gejala, dan berbagai prosedur bedah, termasuk
pengangkatan fibroid (miomektomi) atau pengangkatan seluruh rahim
(histerektomi) dalam kasus yang parah atau jika tidak ada keinginan untuk
memiliki anak.
3. Polip serviks atau rahim
Polip serviks atau rahim adalah pertumbuhan jinak yang muncul pada
permukaan serviks, yaitu bagian bawah rahim yang menghubungkan rahim
dengan vagina. Polip serviks biasanya berbentuk benjolan kecil dengan batang
atau tangkai yang melekat pada dinding serviks.

Meskipun penyebab pastinya tidak diketahui, polip serviks diyakini terkait


dengan perubahan hormonal dan peradangan pada serviks. Polip serviks
biasanya tidak menimbulkan gejala, namun beberapa wanita dapat mengalami
pendarahan vagina yang tidak teratur, perdarahan setelah hubungan seksual, atau
keputihan yang tidak normal.

Diagnosis polip serviks dapat dilakukan melalui pemeriksaan ginekologi,


termasuk pemeriksaan leher rahim dengan spekulum dan pemeriksaan visual
langsung. Pada beberapa kasus, dapat diperlukan pemeriksaan biopsi untuk
memastikan sifat jinak dari pertumbuhan tersebut.

Pengelolaan polip serviks melibatkan pengangkatan polip tersebut. Prosedur


pengangkatan polip serviks dapat dilakukan secara langsung di klinik atau
rumah sakit dengan menggunakan teknik pengangkatan yang berbeda, seperti
pengangkatan menggunakan tangkai atau dengan bantuan alat bedah.

Adanya polip serviks biasanya tidak berhubungan dengan peningkatan risiko


kanker serviks. Namun, polip serviks yang berukuran besar atau menunjukkan
gejala yang mengganggu mungkin perlu dihapus dan diperiksa lebih lanjut untuk
memastikan tidak adanya kelainan yang lebih serius.
C. Faktor psikologis
1. Stres
Stres merupakan salah satu faktor psikologis yang dapat mempengaruhi
gangguan menstruasi [American Psychological Association, n.d.]. Stres dapat
menyebabkan gangguan pada siklus menstruasi atau menyebabkan perubahan
pada pola menstruasi yang normal.

Stres dapat mempengaruhi keseimbangan hormon dalam tubuh, termasuk


hormon yang terlibat dalam siklus menstruasi. Stres yang kronis atau
berkepanjangan dapat mengganggu produksi hormon reproduksi, seperti
estrogen dan progesteron, yang dapat mempengaruhi siklus menstruasi
[Hantoushzadeh & Kareshki, 2020].

Selain itu, stres juga dapat memengaruhi sistem saraf otonom dalam tubuh, yang
bertanggung jawab untuk mengatur fungsi tubuh yang otomatis, termasuk fungsi
menstruasi. Stres yang tinggi dapat mengganggu regulasi saraf otonom dan
menyebabkan gangguan pada siklus menstruasi.

Penting untuk mengelola stres dengan baik untuk menjaga keseimbangan


hormonal dan menjaga pola menstruasi yang normal. Teknik relaksasi, olahraga
teratur, tidur yang cukup, dan mengadopsi gaya hidup sehat dapat membantu
mengurangi stres dan mempertahankan keseimbangan hormon dalam tubuh.
2. Gangguan makan
Gangguan makan, seperti anoreksia nervosa atau bulimia nervosa, dapat
berdampak pada gangguan menstruasi pada wanita [National Institute of Mental
Health, 2020]. Gangguan makan yang parah dapat mengganggu keseimbangan
hormon dalam tubuh dan mengganggu fungsi sistem reproduksi.

Anoreksia nervosa, yang ditandai oleh pola makan yang sangat terbatas atau
penolakan untuk makan, dapat menyebabkan penurunan berat badan yang
signifikan. Penurunan berat badan yang drastis dapat menghentikan ovulasi dan
mengganggu siklus menstruasi. Wanita dengan anoreksia nervosa sering
mengalami amenore, yaitu tidak menstruasi selama beberapa bulan atau lebih.

Bulimia nervosa, yang ditandai oleh pola makan berlebihan yang diikuti dengan
perilaku pembersihan (seperti memuntahkan makanan), juga dapat menyebabkan
gangguan menstruasi. Gangguan makan berulang yang terjadi dalam bulimia
nervosa dapat memengaruhi produksi hormon dan mengganggu siklus
menstruasi.

Pemulihan dari gangguan makan sangat penting untuk mengembalikan


keseimbangan hormon dan memulihkan siklus menstruasi yang normal.
Pengobatan yang komprehensif, termasuk terapi psikologis, dukungan nutrisi,
dan pengawasan medis, sering diperlukan untuk membantu wanita pulih dari
gangguan makan dan mengembalikan fungsi reproduksi yang sehat.
3. Gangguan berat badan
Gangguan berat badan yang signifikan, baik penurunan berat badan yang
berlebihan maupun peningkatan berat badan yang drastis, dapat mempengaruhi
siklus menstruasi pada wanita. Perubahan berat badan yang ekstrem dapat
mengganggu keseimbangan hormon dalam tubuh dan menyebabkan gangguan
menstruasi.
Penurunan berat badan yang signifikan, seperti pada kasus anoreksia nervosa
atau gangguan makan lainnya, dapat menghentikan ovulasi dan mengganggu
siklus menstruasi. Wanita dengan berat badan yang terlalu rendah sering
mengalami amenore, yaitu tidak menstruasi selama beberapa bulan atau lebih.

Di sisi lain, peningkatan berat badan yang drastis juga dapat memengaruhi siklus
menstruasi. Obesitas atau kelebihan berat badan yang signifikan dapat
mengganggu keseimbangan hormon dalam tubuh, terutama hormon reproduksi
seperti estrogen dan progesteron, yang dapat menyebabkan gangguan
menstruasi.

Penting untuk menjaga berat badan dalam rentang yang sehat dan stabil untuk
menjaga keseimbangan hormon dan fungsi reproduksi yang normal. Bila terjadi
perubahan berat badan yang signifikan, baik penurunan maupun peningkatan,
penting untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan untuk mendiagnosis
dan mengelola gangguan berat badan yang mungkin berkontribusi pada
gangguan menstruasi.
D. Faktor lingkungan dan gaya hidup
1. Pola makan yang tidak sehat
Pola makan yang tidak sehat dapat menjadi faktor lingkungan dan gaya hidup
yang berkontribusi terhadap gangguan menstruasi. Pola makan yang tidak
seimbang, kaya akan makanan olahan, lemak jenuh, gula tambahan, dan rendah
serat dapat memengaruhi keseimbangan hormonal dalam tubuh.

Konsumsi makanan olahan dan tinggi lemak jenuh dapat meningkatkan risiko
gangguan hormon, seperti resistensi insulin dan peningkatan kadar estrogen.
Kondisi ini dapat mengganggu ovulasi dan siklus menstruasi yang teratur.

Selain itu, pola makan yang rendah serat dapat memengaruhi kesehatan
reproduksi. Serat makanan membantu mengatur kadar hormon dalam tubuh dan
mempromosikan kesehatan sistem pencernaan. Kurangnya serat dalam makanan
dapat menyebabkan ketidakseimbangan hormon dan mengganggu siklus
menstruasi.

Penting untuk mengadopsi pola makan yang sehat dan seimbang untuk menjaga
keseimbangan hormon dan kesehatan reproduksi. Mengonsumsi makanan alami,
kaya akan serat, vitamin, dan mineral penting, serta menghindari makanan
olahan dan tinggi lemak jenuh, dapat membantu menjaga siklus menstruasi yang
normal.
2. Olahraga berlebihan
Olahraga yang berlebihan atau berlebihan dalam intensitas dan volume dapat
berkontribusi pada gangguan menstruasi. Aktivitas fisik yang terlalu intens atau
berlebihan dapat menyebabkan ketidakseimbangan hormonal dalam tubuh.

Olahraga berlebihan dapat menyebabkan peningkatan stres pada tubuh. Stres


fisik yang berlebihan dapat mempengaruhi keseimbangan hormon, terutama
hormon yang terlibat dalam siklus menstruasi, seperti estrogen dan progesteron.
Akibatnya, ovulasi dapat terganggu, dan siklus menstruasi menjadi tidak teratur
atau bahkan menghilang.

Gangguan menstruasi yang disebabkan oleh olahraga berlebihan sering kali


terjadi pada atlet atau individu yang terlibat dalam kegiatan olahraga yang intens
atau latihan fisik yang berat. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan
gangguan menstruasi yang disebabkan oleh olahraga berlebihan adalah
"amenore olahraga" atau "triatlon amenore."

Penting untuk memperhatikan kebutuhan tubuh dan memberikan waktu


pemulihan yang cukup setelah latihan intens. Jika mengalami gangguan
menstruasi atau perubahan siklus menstruasi yang tidak normal, penting untuk
berkonsultasi dengan profesional kesehatan untuk evaluasi dan pengelolaan yang
tepat.
3. Paparan zat kimia
Paparan zat kimia tertentu dapat berkontribusi pada gangguan menstruasi pada
wanita. Beberapa zat kimia dalam lingkungan sekitar kita, seperti zat aditif
makanan, pestisida, bahan kimia rumah tangga, dan bahan kimia industri, dapat
memiliki efek hormon yang mengganggu keseimbangan hormonal dalam tubuh.

Zat kimia yang dikenal sebagai "zat pengganggu endokrin" (endocrine-


disrupting chemicals) dapat mempengaruhi produksi, sekresi, dan fungsi hormon
dalam tubuh. Zat-zat ini dapat meniru atau mengganggu aksi hormon alami,
seperti estrogen, progesteron, atau hormon tiroid. Akibatnya, keseimbangan
hormonal dalam tubuh dapat terganggu, yang dapat mengakibatkan gangguan
menstruasi.

Paparan jangka panjang terhadap zat pengganggu endokrin dapat memiliki efek
akumulatif dan menyebabkan perubahan hormonal yang persisten. Beberapa zat
kimia tersebut telah dikaitkan dengan gangguan menstruasi, termasuk perubahan
siklus menstruasi, periode yang lebih berat atau lebih ringan dari biasanya, atau
bahkan amenore (ketidakhadiran menstruasi).

Penting untuk berupaya mengurangi paparan terhadap zat kimia berpotensi


berbahaya dalam kehidupan sehari-hari. Menggunakan produk yang ramah
lingkungan, memilih makanan organik, menghindari pestisida dan bahan kimia
rumah tangga yang berbahaya, serta mengikuti pedoman keamanan dan
penggunaan yang benar untuk bahan kimia industri, dapat membantu
mengurangi risiko paparan zat kimia yang dapat mengganggu keseimbangan
hormonal.

BAB III
JENIS-JENIS GANGGUAN MENSTRUASI
A. Amenore
1. Amenore primer
Amenore primer adalah ketiadaan menstruasi pada wanita hingga usia 16 tahun
atau tidak menstruasi selama 3 tahun setelah tanda-tanda pubertas muncul.
Penyebabnya bisa beragam, termasuk gangguan hormonal, kelainan kromosom,
atau kelainan struktural pada sistem reproduksi.
2. Amenore sekunder
Amenore sekunder adalah ketiadaan menstruasi selama lebih dari 3 siklus
menstruasi berurutan atau selama 6 bulan pada wanita yang sebelumnya
memiliki siklus menstruasi yang teratur. Penyebabnya bisa beragam, termasuk
masalah hormonal, gangguan nutrisi, stres, gangguan tiroid, atau kondisi medis
tertentu. Evaluasi medis diperlukan untuk menentukan penyebabnya, dan
pengobatannya akan disesuaikan dengan penyebab yang mendasarinya.
B. Oligomenore
Oligomenore adalah kondisi di mana siklus menstruasi seorang wanita menjadi
jarang atau tidak teratur, dengan interval waktu antara menstruasi lebih lama dari 35
hari. Penyebabnya bisa beragam, termasuk ketidakseimbangan hormonal, sindrom
ovarium polikistik (SOPK), gangguan tiroid, gangguan nutrisi, stres, atau
perimenopause. Penanganan akan disesuaikan dengan penyebab yang mendasarinya.
C. Polimenore
Polimenore adalah kondisi di mana siklus menstruasi seorang wanita menjadi lebih
pendek dari biasanya, dengan interval waktu antara menstruasi kurang dari 21 hari.
Penyebabnya bisa beragam, termasuk perubahan hormon, gangguan tiroid,
gangguan hormonal lainnya, atau polip rahim. Perawatannya akan disesuaikan
dengan penyebab yang mendasarinya.
D. Menoragia
Menoragia adalah kondisi menstruasi yang berat dan berkepanjangan. Penyebabnya
bisa beragam, termasuk gangguan hormonal, polip rahim, fibroid rahim, gangguan
pembekuan darah, atau gangguan tiroid. Pengobatannya melibatkan penggunaan
obat-obatan hormonal, kontrasepsi, pembedahan, atau terapi ablasion endometrium.
E. Metroragia
Metroragia adalah kondisi perdarahan di luar siklus menstruasi yang normal.
Penyebabnya bisa beragam, termasuk gangguan hormonal, polip rahim, fibroid
rahim, infeksi, atau peradangan pada organ reproduksi. Pengobatannya akan
disesuaikan dengan penyebab yang mendasarinya, seperti penggunaan obat
hormonal, pembedahan, atau terapi antibiotik.
F. Dismenore
Dismenore adalah kondisi nyeri haid yang dialami oleh sebagian wanita.
Penyebabnya dapat beragam, seperti kontraksi rahim yang kuat, peningkatan
hormon prostaglandin, atau kondisi medis seperti endometriosis atau fibroid rahim.
Pengobatannya meliputi penggunaan obat penghilang rasa sakit, pemanasan pada
area perut, atau penggunaan kontrasepsi hormonal.
G. Sindrom pramenstruasi (PMS)
Sindrom pramenstruasi (PMS) adalah kumpulan gejala fisik, emosional, dan
psikologis yang muncul sebelum menstruasi. Gejalanya meliputi perubahan suasana
hati, kelelahan, gangguan tidur, pembengkakan payudara, perubahan nafsu makan,
sakit kepala, dan ketegangan otot. Pengelolaan PMS melibatkan perubahan gaya
hidup sehat dan dalam beberapa kasus penggunaan obat-obatan atau kontrasepsi
hormonal.

BAB IV
DIAGNOSIS DAN EVALUASI
A. Riwayat medis dan gejala
Riwayat medis dan gejala adalah bagian penting dalam mengevaluasi gangguan
menstruasi. Riwayat medis mencakup informasi tentang riwayat menstruasi,
penyakit atau kondisi medis sebelumnya, penggunaan obat-obatan, dan riwayat
keluarga terkait gangguan menstruasi. Sedangkan gejala yang perlu
dipertimbangkan meliputi perubahan siklus menstruasi, durasi dan volume
menstruasi, nyeri atau kram perut, perubahan emosi, dan gejala-gejala lain yang
mungkin terkait.
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik juga dapat dilakukan untuk menilai kondisi fisik, termasuk
pemeriksaan organ reproduksi dan tanda-tanda lain yang mungkin terkait dengan
gangguan menstruasi. Dalam beberapa kasus, tes diagnostik seperti pemeriksaan
darah, USG, atau pemeriksaan lainnya mungkin diperlukan untuk membantu
mendiagnosis penyebab yang mendasari gangguan menstruasi.
C. Pemeriksaan penunjang
1. Tes darah
1. Pemeriksaan hemoglobin dan kadar besi: Tes ini digunakan untuk
mengevaluasi keberadaan anemia atau kekurangan zat besi, yang dapat
menjadi penyebab gangguan menstruasi.
2. Profil hormon: Tes ini melibatkan pengukuran kadar hormon seperti
estrogen, progesteron, hormon tiroid, dan hormon lainnya yang terkait
dengan siklus menstruasi. Pengukuran hormon ini dapat membantu dalam
menentukan ketidakseimbangan hormon yang mungkin menjadi penyebab
gangguan menstruasi.
3. Pemeriksaan fungsi tiroid: Gangguan fungsi tiroid seperti hipotiroidisme
atau hipertiroidisme dapat mempengaruhi siklus menstruasi. Tes darah untuk
mengukur kadar hormon tiroid (TSH, T3, T4) dapat membantu dalam
diagnosis kondisi tiroid yang mungkin berkontribusi terhadap gangguan
menstruasi.
4. Pemeriksaan kadar gula darah: Gangguan metabolisme seperti diabetes dapat
memengaruhi siklus menstruasi. Tes darah untuk mengukur kadar gula darah
dapat membantu dalam mengevaluasi kemungkinan hubungan antara
gangguan gula darah dan gangguan menstruasi.
2. Pemeriksaan ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi adalah metode pemeriksaan menggunakan
gelombang suara untuk melihat organ reproduksi seperti rahim, indung telur,
dan ovarium. Pemeriksaan ini membantu mendeteksi polip, fibroid, kista, serta
mengevaluasi kondisi endometrium
3. Histeroskopi
Histeroskopi adalah pemeriksaan menggunakan alat bernama histeroskop untuk
melihat kondisi rongga rahim. Pemeriksaan ini membantu mengidentifikasi
kelainan seperti polip, fibroid, adhesi, atau kelainan struktural lainnya yang
dapat menyebabkan gangguan menstruasi.

BAB V
PENGELOLAAN GANGGUAN MENSTRUASI
A. Perubahan gaya hidup
1. Diet seimbang dan nutrisi yang cukup
Diet seimbang dan nutrisi yang cukup berperan penting dalam mengelola
gangguan menstruasi. Pola makan yang seimbang mencakup berbagai jenis
makanan, seperti sayuran, buah-buahan, biji-bijian, protein nabati dan hewani,
serta lemak sehat. Perhatikan juga asupan zat besi, kalsium, vitamin D, dan
magnesium yang penting untuk kesehatan menstruasi.
2. Olahraga yang teratur dan seimbang
Olahraga teratur dan seimbang dapat membantu mengelola gangguan
menstruasi. Melakukan aktivitas fisik secara rutin seperti olahraga aerobik,
latihan kekuatan, dan peregangan dapat meningkatkan kesehatan secara
keseluruhan, mengurangi stres, dan memperbaiki keseimbangan hormonal.
3. Mengelola stres
1. Praktikkan teknik relaksasi, seperti meditasi, pernapasan dalam, atau yoga,
untuk membantu mengurangi tingkat stres.
2. Lakukan aktivitas fisik yang menyenangkan, seperti berjalan-jalan di alam,
berkebun, atau bermain dengan hewan peliharaan, yang dapat membantu
meredakan stres dan meningkatkan mood.
3. Cari waktu untuk melakukan hobi atau aktivitas yang Anda nikmati, seperti
membaca, menulis, atau mendengarkan musik, sebagai bentuk pengalihan
dan melepaskan pikiran negatif.
4. Sosialisasi dengan teman, keluarga, atau bergabung dengan kelompok
dukungan untuk berbagi pengalaman dan mendapatkan dukungan emosional.
5. Atur waktu istirahat yang cukup dan tidur yang berkualitas, karena kurang
tidur dapat memperburuk stres.
6. Gunakan teknik manajemen waktu untuk mengatur tugas dan aktivitas
sehingga tidak terlalu menekan.
7. Jika diperlukan, cari bantuan dari profesional kesehatan atau konselor untuk
mendapatkan panduan dan dukungan dalam mengelola stres.
B. Terapi medis
1. Kontrasepsi hormonal
Kontrasepsi hormonal, seperti pil kontrasepsi, patch, cincin vagina, atau
suntikan hormonal, digunakan untuk mengatur keseimbangan hormonal dalam
tubuh. Metode ini membantu mengurangi gejala menstruasi yang berlebihan dan
ketidakteraturan siklus.
2. Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS)
Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), seperti ibuprofen atau naproxen,
digunakan untuk mengurangi nyeri menstruasi (dismenore) dan perdarahan yang
berlebihan (menoragia).
3. Obat-obatan untuk mengatur siklus menstruasi
1. Hormon progesteron: Progesteron dapat digunakan dalam bentuk pil atau
injeksi untuk membantu mengatur siklus menstruasi dan mengurangi
ketidakteraturan. Ini sering digunakan dalam kondisi seperti amenore atau
oligomenore.
2. Kontrasepsi hormonal: Metode kontrasepsi hormonal seperti pil, patch, atau
suntikan hormonal juga dapat membantu mengatur siklus menstruasi.
Mereka bekerja dengan mempengaruhi hormon dalam tubuh untuk
menciptakan siklus yang lebih teratur.
3. Obat-obatan untuk mengatasi gangguan hormonal: Dalam beberapa kasus,
obat-obatan seperti metformin atau bromocriptine dapat digunakan untuk
mengatasi gangguan hormonal yang mendasari, seperti sindrom ovarium
polikistik (SOPK) atau hipotiroidisme, yang dapat mempengaruhi siklus
menstruasi.
C. Tindakan bedah
1. Ablasi endometrium
Ablasi endometrium adalah tindakan bedah untuk mengatasi menoragia atau
perdarahan menstruasi yang berlebihan. Prosedur ini melibatkan pengangkatan
atau penghancuran lapisan endometrium, lapisan dalam rahim.
2. Histerektomi
Histerektomi adalah tindakan bedah pengangkatan rahim secara keseluruhan.
BAB VI
PENCEGAHAN GANGGUAN MENSTRUASI
A. Pola hidup sehat
1. Menerapkan pola makan seimbang dan nutrisi yang cukup.
2. Melakukan olahraga teratur dan seimbang.
3. Memastikan tidur yang cukup dan berkualitas.
4. Menghindari konsumsi alkohol dan merokok.
B. Mengelola stres dengan baik
1. Praktik relaksasi seperti meditasi, yoga, atau teknik pernapasan.
2. Membangun jaringan sosial yang kuat dan mendukung.
3. Menggunakan strategi pengelolaan stres seperti mengatur waktu, mengatur
prioritas, atau berbicara dengan orang terdekat.
C. Penggunaan kontrasepsi yang tepat
1. Berkonsultasi dengan profesional kesehatan untuk memilih metode kontrasepsi
yang sesuai.
2. Menggunakan kontrasepsi secara teratur dan sesuai petunjuk.
D. Menghindari paparan zat kimia berbahaya
1. Menggunakan produk perawatan pribadi yang bebas dari bahan kimia berpotensi
berbahaya.
2. Menghindari paparan terhadap pestisida atau bahan kimia industri yang
berpotensi merusak hormon.

BAB VII KESIMPULAN


A. Kesimpulan
Gangguan menstruasi merupakan masalah yang umum terjadi pada wanita dan dapat
mempengaruhi kualitas hidup mereka. Gangguan ini dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, seperti gangguan hormon, faktor psikologis, faktor lingkungan, dan riwayat
medis. Penting untuk mengenali gejala gangguan menstruasi dan mencari bantuan
medis jika diperlukan.

Dalam penanganan gangguan menstruasi, perubahan gaya hidup sehat seperti


menjaga pola makan yang seimbang, mengelola stres, dan menghindari paparan zat
kimia berbahaya dapat berperan penting dalam pencegahan dan pengelolaan
gangguan tersebut. Penggunaan kontrasepsi yang tepat juga dapat membantu
mengatur siklus menstruasi.

Selain itu, tindakan medis seperti ablasi endometrium atau histerektomi dapat
menjadi pilihan terakhir dalam penanganan kasus-kasus yang parah atau resisten
terhadap pengobatan lainnya.
Dengan mengambil langkah-langkah pencegahan dan penanganan yang tepat,
wanita dapat menjaga kesehatan reproduksi mereka dan meningkatkan kualitas
hidup selama siklus menstruasi.
B. Saran
1. Konsultasikan dengan profesional kesehatan: Jika Anda mengalami gangguan
menstruasi yang mengganggu atau tidak biasa, penting untuk berkonsultasi
dengan dokter atau profesional kesehatan. Mereka dapat memberikan diagnosis
yang tepat dan saran pengobatan yang sesuai.
2. Jaga pola hidup sehat: Menerapkan pola hidup sehat dapat membantu menjaga
keseimbangan hormon dan mengurangi risiko gangguan menstruasi. Hal ini
meliputi makan makanan sehat dan seimbang, berolahraga secara teratur, dan
mengelola stres dengan baik.
3. Perhatikan siklus menstruasi: Menjaga catatan tentang siklus menstruasi Anda
dapat membantu Anda memahami pola dan perubahan yang terjadi. Ini juga
dapat berguna saat berkonsultasi dengan profesional kesehatan tentang keluhan
Anda.
4. Gunakan kontrasepsi dengan bijak: Jika Anda ingin mengatur siklus menstruasi
Anda atau menghindari kehamilan, konsultasikan dengan dokter tentang metode
kontrasepsi yang sesuai. Pemilihan dan penggunaan kontrasepsi yang tepat dapat
membantu mengatur siklus menstruasi Anda.l
5. Hindari paparan zat kimia berbahaya: Berhati-hatilah terhadap paparan zat kimia
berbahaya dalam lingkungan sekitar Anda. Hal ini meliputi penggunaan produk
perawatan pribadi yang aman dan menghindari paparan terhadap pestisida atau
bahan kimia industri yang berpotensi merusak hormon.
6. Ikuti anjuran dokter: Jika Anda direkomendasikan untuk menjalani tindakan
medis seperti ablasi endometrium atau histerektomi, penting untuk memahami
prosedur tersebut dan mengikuti petunjuk dokter dengan cermat.
7. Jaga keseimbangan emosional: Mengelola stres dan menjaga keseimbangan
emosional juga dapat berdampak positif pada siklus menstruasi. Temukan cara-
cara untuk mengelola stres seperti meditasi, relaksasi, atau kegiatan yang Anda
nikmati.
DAFTAR PUSTAKA

Fraser, I.S., Critchley, H.O., Broder, M., et al. (2007). The FIGO recommendations on
terminologies and definitions for normal and abnormal uterine bleeding.
Seminars in Reproductive Medicine, 25(5), 435-443.
Speroff, L., Fritz, M.A. (2014). Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility.
Lippincott Williams & Wilkins.
Rebar, R.W. (2018). Menstruation and the menstrual cycle. In: Williams Gynecology,
4th ed. McGraw-Hill Education.
Chun, S., Shin, J.E. (2020). Impact of Menstrual Disorders on Quality of Life in
Adolescents and Young Adults. Obstetrics & Gynecology Science, 63(1), 3-12.
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG). (2018). Practice
Bulletin No. 194: Polycystic Ovary Syndrome. Obstetrics & Gynecology,
131(6), e157-e171.
American Thyroid Association. (2020). Hypothyroidism (Underactive). Diakses pada
12 Juni 2023 dari https://www.thyroid.org/hypothyroidism/
American College of Obstetricians and Gynecologists. (2019). Endometriosis. Diakses
pada 12 Juni 2023 dari https://www.acog.org/womens-health/faqs/endometriosis
American Psychological Association. (n.d.). Stress Effects on the Body. Diakses pada
12 Juni 2023 dari https://www.apa.org/topics/stress/body
Hantoushzadeh, S., & Kareshki, H. (2020). Menstrual Function and Stress. Journal of
reproduction & infertility, 21(3), 157–158.
National Institute of Mental Health. (2020). Eating Disorders. Diakses pada 12 Juni
2023 dari https://www.nimh.nih.gov/health/topics/eating-disorders/index.shtml
American College of Obstetricians and Gynecologists. (2018). Eating Disorders in
Pregnancy. Diakses pada 12 Juni 2023 dari https://www.acog.org/womens-
health/faqs/eating-disorders-in-pregnancy

MAKALAH
JENIS-JENIS PERSALINAN BERISIKO
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah : Keperawatan Maternitas II

Dosen Pengampu : Ns. Rany Muliany Sudirman S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh :
M Nadhif Arsya T
(CKR0210112)

KEPERAWATAN REGULER C TINGKAT 2


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
Jl. Lkr. Bayuning No.2, Kadugede, Kuningan, Jawa Barat 45561
Telp.(0232)875847 Fax. 0232-875123 : info@stikeskuningan.ac.id
2022/2023

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN
A. Jenis-jenis Persalinan Berisiko
1. Persalinan dengan Distosia Bahu
2. Persalinan dengan Plasenta Previa
3. Persalinan dengan Preeklampsia atau Eklampsia
4. Persalinan Prematur
5. Persalinan dengan Kehamilan Ganda
B. Penanganan Persalinan Berisiko
1. Pemantauan Ketat
2. Intervensi Medis
3. Perawatan Bayi

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persalinan merupakan proses alami yang dilalui oleh seorang wanita untuk
melahirkan bayinya. Meskipun kebanyakan persalinan berlangsung tanpa
komplikasi, namun tidak jarang juga terdapat persalinan yang menghadapi risiko
tertentu. Persalinan berisiko dapat menyebabkan konsekuensi serius bagi kesehatan
ibu dan bayi. Oleh karena itu, pengetahuan tentang jenis-jenis persalinan berisiko
menjadi penting bagi tenaga medis, khususnya dokter kandungan dan bidan, untuk
memberikan penanganan yang tepat dan meminimalkan risiko yang mungkin
timbul.

Beberapa jenis persalinan berisiko yang umum terjadi antara lain distosia bahu,
plasenta previa, preeklampsia atau eklampsia, persalinan prematur, dan kehamilan
ganda. Distosia bahu terjadi ketika bahu bayi tersangkut di dalam panggul ibu
setelah kepala bayi sudah lahir (Royal College of Obstetricians and Gynaecologists,
2019). Plasenta previa terjadi ketika plasenta menutupi sebagian atau seluruh leher
rahim, yang dapat menyebabkan perdarahan hebat pada ibu saat persalinan
(American College of Obstetricians and Gynecologists, 2019). Preeklampsia adalah
kondisi di mana seorang wanita mengembangkan tekanan darah tinggi dan tanda-
tanda kerusakan organ lainnya selama kehamilan, dan dapat berkembang menjadi
eklampsia yang ditandai dengan kejang (Cunningham et al., 2018). Persalinan
prematur terjadi ketika bayi lahir sebelum mencapai usia kehamilan 37 minggu,
yang dapat menyebabkan risiko kesehatan yang lebih tinggi (World Health
Organization, 2018). Kehamilan ganda juga dapat menyebabkan persalinan berisiko
lebih tinggi, termasuk kelahiran prematur atau distosia bahu (American Academy of
Pediatrics & American College of Obstetricians and Gynecologists, 2015).

Dalam makalah ini, kita akan membahas lebih lanjut tentang jenis-jenis persalinan
berisiko tersebut dan penanganan yang diperlukan dalam setiap kasus.
B. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengidentifikasi dan membahas beberapa
jenis persalinan berisiko yang sering terjadi, serta untuk memberikan pemahaman
yang lebih baik tentang penanganan yang diperlukan dalam setiap kasus. Dengan
pemahaman ini, diharapkan akan tercipta kesadaran yang lebih tinggi tentang
pentingnya pemantauan dan penanganan yang tepat selama persalinan berisiko.
Melalui pemahaman yang baik tentang jenis-jenis persalinan berisiko dan
penanganannya, diharapkan pula dapat meningkatkan kualitas perawatan persalinan
dan mengurangi risiko komplikasi bagi ibu dan bayi.

BAB
II PEMBAHASAN

A. Jenis-jenis Persalinan Berisiko


1. Persalinan dengan Distosia Bahu
Distosia bahu terjadi ketika bahu bayi tersangkut di dalam panggul ibu setelah
kepala bayi sudah lahir. Kondisi ini dapat menyebabkan kesulitan dalam proses
persalinan dan memerlukan penanganan yang tepat untuk menghindari
komplikasi yang lebih serius (Royal College of Obstetricians and
Gynaecologists, 2019).
2. Persalinan dengan Plasenta Previa
Plasenta previa terjadi ketika plasenta menutupi sebagian atau seluruh leher
rahim. Kondisi ini dapat menyebabkan perdarahan hebat pada ibu saat
persalinan dan memerlukan penanganan yang tepat untuk menjaga kesehatan ibu
dan bayi (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2019).
3. Persalinan dengan Preeklampsia atau Eklampsia
Preeklampsia adalah kondisi di mana seorang wanita mengembangkan tekanan
darah tinggi dan tanda-tanda kerusakan organ lainnya selama kehamilan, dan
dapat berkembang menjadi eklampsia yang ditandai dengan kejang. Kondisi ini
memerlukan penanganan yang tepat untuk menjaga kesehatan ibu dan bayi
(Cunningham et al., 2018).
4. Persalinan Prematur
Persalinan prematur terjadi ketika bayi lahir sebelum mencapai usia kehamilan
37 minggu. Kondisi ini dapat menyebabkan risiko kesehatan yang lebih tinggi
pada bayi dan memerlukan penanganan khusus untuk memastikan kesehatan dan
kesejahteraan mereka (World Health Organization, 2018).
5. Persalinan dengan Kehamilan Ganda
Kehamilan ganda merujuk pada kehamilan dengan adanya dua atau lebih janin.
Kehamilan ini dapat menyebabkan persalinan berisiko lebih tinggi, termasuk
risiko kelahiran prematur atau distosia bahu. Penanganan yang tepat diperlukan
untuk memastikan kelahiran yang aman bagi ibu dan bayi-bayi tersebut
(American Academy of Pediatrics & American College of Obstetricians and
Gynecologists, 2015).
B. Penanganan Persalinan Berisiko
1. Pemantauan Ketat
Pemantauan ketat selama persalinan berisiko merupakan langkah penting untuk
memantau kondisi ibu dan bayi, serta mendeteksi perubahan yang dapat
menandakan adanya komplikasi. Pemantauan dapat dilakukan melalui
pemantauan tanda-tanda vital ibu, seperti tekanan darah, detak jantung, dan
kontraksi rahim. Selain itu, pemantauan janin juga dilakukan dengan
menggunakan monitor jantung janin untuk mengawasi denyut jantung bayi.
2. Intervensi Medis
Dalam persalinan berisiko, intervensi medis mungkin diperlukan untuk menjaga
kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi. Beberapa intervensi medis yang umum
meliputi penggunaan obat-obatan untuk mengendalikan tekanan darah tinggi
pada preeklampsia atau eklampsia, induksi persalinan untuk mengatasi
kehamilan ganda atau persalinan prematur, atau bahkan operasi caesar jika
diperlukan.
3. Perawatan Bayi
Setelah persalinan berisiko, perawatan bayi yang cermat dan komprehensif
sangat penting. Bayi mungkin memerlukan perawatan khusus, terutama jika
mereka dilahirkan prematur atau menghadapi kesulitan pernapasan. Tim medis
akan memberikan perawatan yang tepat, seperti resusitasi neonatal, pengaturan
suhu tubuh bayi, dan pemantauan cermat untuk memastikan kondisi bayi stabil.

BAB
III PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam persalinan berisiko, pemantauan ketat, intervensi medis, dan perawatan bayi
yang tepat sangat penting untuk menjaga kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi.
Pemahaman yang baik tentang jenis-jenis persalinan berisiko dan penanganannya
memberikan landasan yang kuat bagi tenaga medis dalam memberikan perawatan
yang sesuai. Dengan adanya pemantauan yang cermat, intervensi medis yang tepat,
dan perawatan bayi yang komprehensif, diharapkan dapat mengurangi risiko
komplikasi dan mencapai kelahiran yang aman.
B. Saran
1. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan: Tenaga medis, khususnya dokter
kandungan dan bidan, perlu terus mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan mereka dalam mengenali dan menangani persalinan berisiko. Ini
dapat dilakukan melalui pelatihan yang terus-menerus dan partisipasi dalam
seminar dan konferensi medis.
2. Kolaborasi tim medis: Kolaborasi yang baik antara dokter kandungan, bidan,
perawat, dan tim medis lainnya sangat penting dalam penanganan persalinan
berisiko. Komunikasi yang efektif dan koordinasi yang baik antara anggota tim
medis akan memastikan penanganan yang tepat dan terkoordinasi.
3. Pemantauan dan dokumentasi yang baik: Pemantauan yang cermat selama
persalinan berisiko dan dokumentasi yang akurat dari setiap langkah penanganan
sangat penting. Ini akan membantu dalam evaluasi dan analisis pasca-persalinan
serta memberikan dasar yang kuat untuk peningkatan perawatan di masa depan.
4. Edukasi kepada ibu dan keluarga: Penting untuk memberikan edukasi kepada
ibu dan keluarga tentang jenis-jenis persalinan berisiko dan tanda-tanda yang
perlu diperhatikan. Ini akan membantu mereka memahami kondisi persalinan
mereka dan memungkinkan mereka untuk lebih terlibat dalam proses
pengambilan keputusan terkait penanganan persalinan.
Dengan implementasi saran-saran ini, diharapkan penanganan persalinan berisiko
dapat ditingkatkan, risiko komplikasi dapat dikurangi, dan kelahiran yang aman
dapat dicapai bagi ibu dan bayi.

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics, & American College of Obstetricians and


Gynecologists. (2015). Guidelines for Perinatal Care, 8th Edition. American
Academy of Pediatrics.
American College of Obstetricians and Gynecologists. (2019). ACOG Practice Bulletin
No. 205: Obstetric Analgesia and Anesthesia. Obstetrics & Gynecology, 133(1),
e208–e225.

Cunningham, F. G., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Spong, C. Y., Dashe, J. S., Hoffman,
B. L., Casey, B. M., Sheffield, J. S. (2018). Williams Obstetrics, 25th Edition.
McGraw-Hill Education.

Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. (2019). Shoulder Dystocia (Green-


top Guideline No. 42). Royal College of Obstetricians and Gynaecologists.

World Health Organization. (2018). WHO recommendations: Intrapartum care for a


positive childbirth experience. WHO Press.
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. (2019). Shoulder Dystocia (Green-
top Guideline No. 42). Royal College of Obstetricians and Gynaecologists
American College of Obstetricians and Gynecologists. (2019). ACOG Practice Bulletin
No. 205: Obstetric Analgesia and Anesthesia. Obstetrics & Gynecology, 133(1),
e208–e225.
Cunningham, F. G., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Spong, C. Y., Dashe, J. S., Hoffman,
B. L., Casey, B. M., Sheffield, J. S. (2018). Williams Obstetrics, 25th Edition.
McGraw-Hill Education.
World Health Organization. (2018). WHO recommendations: Intrapartum care for a
positive childbirth experience. WHO Press.
American Academy of Pediatrics, & American College of Obstetricians and
Gynecologists. (2015). Guidelines for Perinatal Care, 8th Edition. American
Academy of Pediatrics.

Anda mungkin juga menyukai