Anda di halaman 1dari 31

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembelajaran adalah segala upaya yang dilakukan guru (pendidik) agar terjadi

proses belajar pada diri siswa. Secara implisit di dalam pembelajaran ada kegiatan

memilih, menetapkan dan mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran

yang diinginkan. Pembelajaran lebih menekankan pada cara-cara untuk mencapai tujuan

dan berkaitan dengan bagaimana cara untuk mengorganisasikan materi pelajaran,

menyampaikan materi pelajaran dan mengelola pembelajaran.

Keberhasilan proses pembelajaran merupakan hal utama yang didambakan dalam

melaksanakan pendidikan di sekolah. Sebagai upaya meningkatkan keberhasilan dalam

pembelajaran fisika. Pada masa sekarang telah banyak dikembangkan model-model

pembelajaran seperti problem posing, CTL, model pembelajaran inquiry dan lain-lain.

Seluruh model tersebut merupakan model pembelajaran yang melibatkan guru dan siswa

sebagai satu kesatuan yang mempunyai hubungan timbal balik dalam proses belajar

mengajar. Peran guru sebagai pengajar atau fasilitator sedangkan siswa merupakan

individu yang belajar.

Kurikulum yang sedang dikembangkan saat ini adalah Kurikulum 2013.

Keberhasilan pembelajaran berdasarkan kompetensi yang ditetapkan sejak awal kegiatan

pembelajaran. Dengan demikian semua pihak yang berpartisipasi aktif dalam proses

pembelajaran (guru dan siswa) telah mengetahui arah pembelajaran. Akan tetapi bila

dicermati proses pembelajaran fisika pada umumnya masih banyak yang menggunakan

cara konvensional seperti ceramah, mencatat dan lain-lain. Proses pembelajaran masih

didominasi oleh guru sehingga siswa pasif.


2

Peneliti merasa masih ada kelemahan terutama pada pembahasan pokok-pokok

bahasan yang memerlukan penggunaan media atau alat peraga. Model pembelajaran

tersebut di atas dapat menimbulkan kejenuhan peserta didik serta kurangnya pemahaman

mengenai konsep yang diajarkan sehingga siswa kesulitan dalam menyelesaikan masalah-

masalah fisika terutama dalam penyelesaian soal-soal. Hal ini diketahui dari informasi guru

mata pelajaran fisika kelas X SMA Negeri 1 Paya Bakong yang menyatakan bahwa hasil

evaluasi nilai ulangan harian maupun nilai rata-rata ujian semester genap tahun 2017/2018

masih banyak di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 68. Untuk mengatasi

hal tersebut, guru diharapkan mampu menerapkan model yang tepat sesuai dengan

pembelajaran fisika. Dalam hal ini sebelum siswa menyelesaikan sebuah soal, siswa harus

memahami soal tersebut secara menyeluruh. Siswa harus tahu apa yang diketahui, apa

yang dicari, rumus yang harus digunakan dan cara penyelesaiannya.

Untuk itu dalam mengerjakan soal-soal fisika diperlukan kiat atau teknik dalam

penyelesaiannya. Mengingat begitu pentingnya strategi dalam penyelesaian masalah fisika,

maka untuk menyelesaikan sebuah soal yang pada kenyataannya siswa masih kesulitan

memahami dan menyelesaikan soal, diperlukan langkah-langkah untuk mempermudah

pemahamannya. Salah satu strategi yang efektif dalam menciptakan pembelajaran aktif dan

menyenangkan yaitu dengan melibatkan siswa dalam kegiatan diskusi di kelas.

Pembelajaran dengan suasana belajar aktif dan memberikan strategi dalam penyelesaian

soal, dapat diterapkan dengan model pembelajaran Problem Posing.

Problem posing dikembangkan pada tahun 1997 masuk ke Indonesia pada tahun

2000. Model pembelajaran problem posing merupakan model pembelajaran yang

mengharuskan siswa menyusun pertanyaan sendiri atau memecahkan suatu soal menjadi

pertanyaan yang lebih sederhana yang mengacu pada penyelesaian soal ( Iryanto, 2009).

Model pembelajaran Problem posing tersebut dapat dilakukan secara mandiri ataupun
3

berkelompok. Pada pembelajaran ini, siswa juga harus menguasai materi dan urutan

penyelesaian soal harus dijawab secara mendetail. Hal tersebut akan dicapai jika siswa

memperkaya pengetahuannya tidak hanya dari guru melainkan perlu belajar secara

mandiri.

Pembelajaran dengan pendekatan problem posing diawali dengan penyampaian

teori atau konsep. Penyampaian materi menggunakan metode demonstrasi setelah itu

pemberian contoh soal dan pembahasannya, selanjutnya pemberian contoh bagaimana

membuat masalah dari masalah yang ada dan menjawabnya, kemudian siswa diminta

belajar dengan problem posing. Mereka diberi kesempatan secara berkelompok maupun

individu. Setelah pemberian contoh cara membuat masalah dari situasi yang tersedia, siswa

tidak perlu lagi diberikan contoh. Penjelasan kembali contoh bagaimana cara mengajukan

soal dan menjawabnya bisa dilakukan jika sangat diperlukan. Penerapan dan penilaian

yang cukup sederhana dari pendekatan ini yaitu dengan cara siswa diminta mengajukan

soal yang sejenis atau setara dari soal yang telah dibahas.

Adapun penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah Setiawati, Vera Deni

(2011) penelitiannya menunjukkan bahwa nilai rata-rata tes evaluasi penguasaan konsep

setelah pembelajaran selesai yaitu kelas eksperimen sebesar 73.98, sedangkan kelas kontrol

sebesar 59.63. Untuk hasil dari perhitungan dengan menggunakan uji t dari nilai tes

evaluasi penguasaan konsep fisika yaitu thitung = 6.82 sedangkan ttabel = 1.99 dengan α =

5% dan dk = 33 + 33 - 2 = 64. Jadi t hitung > ttabel dengan demikian ada perbedaan ratarata

hasil belajar antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan diperoleh bahwa nilai rata-rata tes evaluasi penguasaan konsep fisika peserta

didik kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran problem posing dengan demonstrasi lebih efektif dari pada pembelajaran

ceramah dengan demonstrasi.


4

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpukan bahwa penerapan model pembelajaran

problem posing dapat dijadikan suatu model yang inovatif, bermanfaat dan mengefektifkan

proses pembelajaran, sehingga penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul

“Pengaruh Model Pembelajaran Problem Posing Terhadap Pemahaman Konsep Fisika

Siswa Pada Materi Getaran Harmonis Kelas X SMA Negeri 1 Paya Bakong”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka permasalahan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemahaman konsep fisika siswa dengan menggunakan Model

Pembelajaran konstektual Pada Materi Getaran Harmonis Kelas X SMA Negeri

1 Paya Bakong?

2. Bagaimana pengaruh pemahaman konsep fisika siswa dengan menggunakan

Model Pembelajaran Problem Posing Pada Materi Getaran Harmonis Kelas X

SMA Negeri 1 Paya Bakong?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui pengaruh pemahaman konsep fisika siswa dengan menggunakan Model

Pembelajaran Problem Posing Pada Materi Getaran Harmonis Kelas X SMA Negeri 1

Paya Bakong.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut :


5

1. Sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam

pembelajaran fisika dengan menerapkan model pembelajaran problem posing.

2. Memberdayakan siswa dalam bekerjasama dengan siswa lain.

1.4.2 Manfaat praktis

Secara praktisi penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut :

1. Bagi penulis, dapat memperoleh pengalaman tentang upaya mengetahui penguasaan

konsep fisika melalui model pembelajaran problem posing.

2. Bagi guru, sebagai alternatif model pembelajaran yaitu dengan student centered

bukan teacher centered.

3. Bagi siswa terutama sebagai subyek penelitian, diharapkan dapat memperoleh

pengalaman langsung mengenai adanya kebebasan dalam belajar fisika secara aktif,

kreatif dan menyenangkan melalui belajar kelompok sesuai perkembangan

berfikirnya.

1.5 Definisi Operasional

Adapun defenisi operasional dari berbagai istilah yang diungkapkan diatas

dinyatakan sebagai berikut:

1. Belajar

Belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh

suatu perubahan yang baru, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan

lingkungannya.

2. Model pembelajaran

Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang

sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar


6

tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para

pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran.

3. Model pembelajaran problem posing

Model pembelajaran problem posing merupakan model pembelajaran yang

mengharuskan siswa menyusun pertanyaan sendiri atau memecah suatu soal menjadi

pertanyaan-pertanyaan lebih sederhana yang mengacu pada penyelesaian soal tersebut.

1.6 Hipotesis Penelitian

Menurut Sugiyono (2017:63), hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap

rumusan masalah yang telah diajukan peneliti. Berdasarkan pengetian tersebut maka

hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

H0 = Tidak terdapat pengaruh pemahaman konsep fisika siswa dengan menggunakan

Model Pembelajaran Problem Posing Pada Materi Getaran Harmonis Kelas X

SMA Negeri 1 Paya Bakong.

Ha = Terdapat pengaruh pemahaman konsep fisika siswa dengan menggunakan

Model Pembelajaran Problem Posing Pada Materi Getaran Harmonis Kelas X

SMA Negeri 1 Paya Bakong.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Model Pembelajaran Problem Posing

Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang

sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar

tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para

pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. (Sugiyanto,

2008:7).

Problem posing berasal dari dua kata yaitu “problem” dan “posing”. “problem”

berarti masalah atau soal, dan “posing” berarti mengajukan atau membentuk. Menurut

Iryanto (2009:) “problem posing” merupakan model pembelajaran yang mengharuskan

siswa menyusun pertanyaan sendiri atau memecah suatu soal menjadi pertanyaan-

pertanyaan lebih sederhana yang mengacu pada penyelesaian soal tersebut”.

Dalam kurikulum 2013 menganjurkan agar siswa-siswi diberikan kesempatan yang

banyak untuk investigasi dan merumuskan pertanyaan-pertanyaan, soal-soal dari suatu

masalah. Setiawati (2011) menegaskan bahwa selain menggunakan problem posing

sebagai alat untuk mempelajari proses kognitif, mengajukan soal dapat digunakan untuk

menyelidiki transfer konsep di seluruh konteks, dan untuk mengidentifikasi pengetahuan

siswa, penalaran, dan pengembangan konseptual.


8

Menurut Rusfendi (2004) bahwa upaya membantu siswa untuk memahami soal

dapat dilakukan dengan menulis kembali soal tersebut dengan kata-katanya sendiri,

menuliskan soal dalam bentuk lain,atau dalam bentuk yang operasional. Dalam model

pembelajaran problem posing menganjurkan agar siswa-siswa diberi kesempatan yang

banyak untuk investigasi dan merumuskan pertanyaan-pertanyaan ataupun soal-soal dari

sebuah masalah Siswa harus menguasai materi dan urutan penyelesaian soal secara

mendetail. Hal tersebut akan dicapai jika siswa memperkaya khasanah pengetahuannya

tidak hanya dari guru melainkan perlu belajar secara mandiri.

2.1.1 Langkah-langkah Model Pembelajaran Problem Posing

Menurut Setiawati (2011) menyatakan langkah langkah model pembelajaran

problem posing adalah sebagai berikut :

1. Guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Jika perlu menggunakan alat

peraga sangat disarankan.

2. Guru memberikan latihan soal secukupnya.

3. Siswa diminta mengajukan 1 atau 2 buah soal yang menantang, tetapi siswa yang

bersangkutan harus mampu menyelesaikannya. Tugas ini juga dapat dilakukan secara

kelompok.

4. Pada pertemuan berikutnya, secara acak guru menyuruh siswa untuk menyajikan soal

temuannya didepan kelas. Dalam hal ini, guru dapat menentukan siswa secara

selektif berdasarkan bobot soal yang diajukan oleh siswa.

5. Guru memberikan tugas secara individual.

2.1.2 Kelebihan dan kelemahan problem posing


9

Setiawati (2011) Kelebihan dan kelemahan Model Pembelajaran problem posing

adalah sebagai berikut:

a. Kelebihan problem posing

1. Kegiatan pembelajaran tidak terpusat pada guru, tetapi dituntut keaktifan siswa.

2. Minat siswa dalam pembelajaran fisika lebih besar dan siswa lebih mudah

memahami soal karena dibuat sendiri.

3. Semua siswa terpacu untuk terlibat secara aktif dalam membuat soal.

4. Dengan membuat soal dapat menimbulkan dampak terhadap kemampuan siswa

dalam menyelesaikan masalah. Dapat membantu siswa untuk melihat permasalahan

yang ada dan yang baru diterima sehingga diharapkan mendapatkan pemahaman

yang mendalam dan lebih baik, merangsang siswa untuk memunculkan ide yang

kreatif dari yang diperolehnya dan memperluas bahasan, pengetahuan, siswa dapat

memahami soal sebagai latihan untuk memecahkan masalah.

b. Kelemahan problem posing

1. Persiapan guru lebih karena menyiapkan informasi apa yang dapat disampaikan.

2. Waktu yang digunakan lebih banyak untuk membuat soal dan penyelesaiannya

sehingga materi yang disampaikan lebih sedikit.

Dari penjelasan di atas, berarti pembelajaran dengan strategi pengajuan soal

sangat sesuai dengan tujuan pembelajaran di sekolah dan diperlukan dalam kegiatan

pembelajaran.

2.2 Pemahaman Konsep Fisika

2.2.1 Konsep

Konsep merupakan abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi

antara manusia dan yang memungkinkan manusia berfikir. Konsep dimulai dengan
10

memperkenalkan benda konkret berkembang menjadi symbol sehingga menjadi abstrak

yang berupa ucapan atau tulisan yang mengandung konsep yang lebih kompleks. Konsep

yang kompleks memerlukan permunculan berulang kali dalam satu pertemuan dalam kelas,

didukung oleh media atau sarana yang tepat.

Tujuan belajar konsep yaitu sebagai berikut :

a. Siswa dapat mendefinisikan konsep yang bersangkutan.

b. Siswa dapat menjelaskan perbedaan antara konsep yang bersangkutan dengan

konsep-konsep lain.

b. Siswa dapat menjelaskan hubungan dengan konsep-konsep lain.

c. Siswa dapat menjelaskan arti konsep dan memecahkan masalah dalam kehidupan

sehari-hari.

Agar pembelajar memiliki kemampuan berpikir induktif dan pada pembelajar

terbentuk konsep yang benar dan memiliki konsep yang kuat pada diri pembelajar. Akan

tetapi jangan tergesa-gesa mengambil menyimpulkan menjadi simbol. Dampaknya

pembelajar hanya akan meniru yang diucapkan pengajar. Jika konsep dasar yang dimiliki

pembelajar kuat maka dengan mudah ia akan memberi pengertian sesuai situasi. Dengan

proses pembelajaran, proses bimbingan, proses pendidikan yang kontinue akhimya konsep-

konsep dasar akan dapat di kuasai pembelajar (Sugandi, 2004).

Jadi, agar pembelajar tidak hanya menghafalkan definisi konsep tanpa

memperhatikan hubungan konsep dengan konsep yang lainnya. Guru dalam mengajarkan

konsep baru dapat memberikan contoh konsep dalam kehidupan nyata dan konsep yang

telah dimiliki siswa sebelumnya. Misalnya untuk memahami konsep Getaran Harmonis,

guru dapat melakukan demonstrasi atau eksperimen dengan Bandul Sederhana sehingga
11

siswa dapat terbiasa dan dengan mudah memahami konsep karena dihubungkan dengan

kehidupan nyata.

2.2.2 Konsep Fisika

Fisika merupakan salah satu cabang IPA yang mendasari perkembangan teknologi

maju dan konsep hidup harmonis dengan alam. Perkembangan pesat di bidang teknologi

informasi dan komunikasi dewasa ini dipicu oleh temuan di bidang fisika material melalui

penemuan piranti mikroelektronika yang mampu memuat banyak informasi dengan ukuran

sangat kecil. Sebagai ilmu yang mempelajari fenomena alam, fisika juga memberikan

pelajaran yang baik kepada manusia untuk hidup selaras berdasarkan hukum alam.

Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan serta pengurangan dampak bencana alam

tidak akan berjalan secara optimal tanpa pemahaman yang baik tentang fisika.

Belajar fisika termasuk dalam belajar konsep, belajar hukum dan belajar

pemecahan masalah. Pada tingkat SMP/ MTS maupun SMA/MA mata pelajaran fisika

dipandang penting untuk diajarkan. Pertama, selain memberikan bekal ilmu kepada

peserta didik, mata pelajaran fisika dimaksudkan sebagai wahana untuk menumbuhkan

kemampuan pemahaman konsep siswa di dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, mata

pelajaran fisika perlu diajarkan untuk tujuan yang lebih khusus yaitu membekali peserta

didik pengetahuan, pemahaman dan sejumlah kemampuan yang dipersyaratkan untuk

memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu dan teknologi.

Menurut Bloom (2005) kemampuan pemahaman konsep merupakan hal penting

dalam kemampuan intelektual yang selalu ditekankan di sekolah dan Perguruan Tinggi.

Kemampuan pemahaman konsep suatu materi subjek merupakan hal terpenting dalam

pengembangan intelektual. Dalam pembelajaran fisika, kemampuan pemahaman konsep

merupakan syarat mutlak dalam mencapai keberhasilan belajar fisika. Hanya dengan
12

penguasaan konsep fisika seluruh permasalahan fisika dapat dipecahkan, baik

permasalahan fisika yang ada dalam kehidupan sehari-hari maupun permasalahan fisika

dalam oleh bentuk soal-soal fisika di sekolah.

Pada proses belajar mengajar, hasil dari proses belajar merupakan perubahan

perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar. Perolehan aspek-

aspek perubahan tingkah laku tersebut tergantung dari apa yang dipelajari oleh pembelajar.

Oleh karena itu apabila pembelajar mempelajari pengetahuan tentang konsep dan

pembelajar mampu atau sanggup untuk menyerap arti materi atau bahan yang dipelajari

maka perubahan perilaku yang diperoleh adalah berupa penguasaan konsep. Dalam

pembelajaran, perubahan yang harus dicapai oleh siswa setelah melaksanakan aktivitas

belajar dirumuskan dalam tujuan pembelajaran.

Jadi, penguasaan konsep fisika dapat diartikan sebagai pemahaman peserta didik

dalam mempelajari konsep fisika dan peserta didik telah mengalami aktivitas belajar

konsep fisika tersebut, maka akan timbul suatu perubahan tingkah laku yang berupa hasil

belajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran fisika (Anni, 2006).

2.3 Materi Pembelajaran

Gerak Harmonik Sederhana merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam yang

memelajari gejala fisis di alam yang diperoleh melalui hasil penalaran dan eksperimen.

Tujuan pelajaran dalam fisika untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan keterampilan

jasmani siswa. Sub bab gerak harmonik sederhana tidak hanya berisi materi pelajaran

namun dapat dilakukan melalui eksperimen sehingga dapat meningkatkan kemampuan

berpikir dan keterampilan jasmani siswa.

2.3.1 Pengertian Getaran


13

Getaran atau osilasi merupakan gerak bolak balik suatu benda di sekitar titik

keseimbangan. Benda yang bergetar akan kembali ke posisi semula dalam selang waktu

tertentu karena ada gaya pemulih yang bekerja pada benda tersebut. Berdasarkan cara

terjadinya, getaran dibedakan menjadi getaran alami dan getaran paksaan. Contoh

getaran alami adalah ayunan bandul, sedangkan contoh getaran paksaan adalah

menabuh drum hingga bersuara.

2.3.2 Gerak Harmonik Sederhana Gerak

osilasi yang paling sederhana disebut gerak harmonik sederhana.

Gambar 2.1 Bandul yang mengalami GHS

Gambar 2.1 menunjukkan ketika beban digantungkan pada ayunan dan tidak

diberikan gaya, maka akan diam di titik keseimbangan B. Jika beban ditarik ke titik A dan

dilepaskan, maka beban akan bergerak ke B, C, lalu kembali lagi ke A. Gerakkan beban

akan terjadi berulang secara periodik, dengan kata lain beban pada ayunan di atas

melakukan gerak harmonik sederhana.

1) Amplitudo, Periode dan Frekuensi

Simpangan terbesar dari sistem tersebut disebut amplitudo. Ketika simpangan

diberi notasi x dan amplitudo diberi notasi A, maka persamaan simpangan sebagai fungsi

waktu dapat dilihat pada Persamaan 2.1.

𝑥 = 𝐴 𝑠𝑖𝑛𝜔𝑡................................................................... (2.1)
14

Selang waktu yang diperlukan untuk melakukan satu getaran dinamakan periode

(𝑇), dan banyaknya getaran setiap detik disebut frekuensi (𝑓). Hubungan antara periode

dan frekuensi oleh Persamaan 2.2.

𝑇 = 1/ ........................................................................... (2.2)

Kecepatan sudut atau frekuensi sudut  menyatakan besar sudut yang ditempuh

persatuan waktu yang dinyatakan oleh Persamaan 2.3.

𝜔 = 2𝜋𝑓 =2 𝑇................................................................. (2.3)

2) Persamaan Simpangan pada Gerak Harmonik Sederhana Simpangan dari pegas dan

bandul dapat digambarkan dalam suatu fungsi sinusoidal. Persamaan simpangan dari

gerak harmonik sederhana dapat dilihat pada Persamaan 2.4.

𝑦 = 𝐴 𝑆𝑖𝑛 𝜃 𝑦 = 𝐴 𝑆𝑖𝑛 𝜔𝑡

𝑦 = 𝐴 𝑆𝑖𝑛

2𝜋 𝑇

𝑡 atau = 𝐴 𝑆𝑖𝑛 2𝜋𝑓𝑡...................(2.4)

Keterangan:
𝑦 = simpangan (m)
𝜃 = sudut fase (rad atau derajat)
𝑡 = waktu (s)
T = periode (s)
𝑓 = frekuensi (Hz)

Benda yang melakukan gerak harmonik sederhana dengan sudut awal maka

persamaan simpangannya dapat dilhat pada Persamaan 2.5. 𝑦 = 𝐴 𝑆𝑖𝑛 (𝜃 + 𝜃𝑜) 𝑦 = 𝐴 𝑆𝑖𝑛

(𝜔𝑡 + 𝜃𝑜)

Simpangan (𝑦) = 𝐴 𝑆𝑖𝑛 ( 2𝜋 𝑇

𝑡 + 𝜃𝑜)atau 𝑦 = 𝐴 𝑆𝑖𝑛 (2𝜋𝑓𝑡 + 𝜃𝑜) ........................................... (2.5)


15

Sudut Fase, Fase, dan Beda Fase pada gerak harmonik sederhana. Besaran φ

disebut fase getaran. Fase getaran selalu berubah, jika suatu getaran pada saat t1 memiliki

fase φ1= t1 T + θ0 2π dan pada saat t2 memiliki fase φ2= t2 T + θ0 2π , dengan t2 > t1.

Beda fase getarannya dapat dilihat pada Persamaan 2.6.

∆ 𝜑 = 𝜑2 − 𝜑1 =𝑡2−𝑡1 ............................................. (2.6)

3) Kecepatan Gerak Harmonik

Kecepatan gerak harmonik sederhana ditentukan dengan menurunkan persamaan

simpangan gerak harmonik sederhana dapat dilihat pada Persamaan 2.7.

Kecepatan (𝑣) =𝑑𝑦 𝑑𝑡=(𝐴 𝑆𝑖𝑛 𝜔𝑡) 𝑑𝑡 = 𝜔𝐴 𝐶𝑜𝑠 𝜔𝑡.................................(2.7)

4) Percepatan Gerak Harmonik

Percepatan gerak harmonik sederhana ditentukan dengan menurunkan persamaan

kecepatan gerak harmonik sederhana dapat dilihat pada Persamaan 2.8.

Percepatan(𝑎) =𝑑𝑣 𝑑𝑡=𝑑(𝜔𝐴 𝐶𝑜𝑠 𝜔𝑡) 𝑑𝑡= −𝜔2𝐴 𝑆𝑖𝑛 𝜔𝑡........................... (2.8)

2.3.3 Hubungan Gaya dan Getaran

1) Pegas Percepatan getaran berlawanan dengan simpangan karena gaya pemulih. Besar

gaya pemulih pegas dapat dilihat pada Persamaan 2.9

𝐹𝑝 = 𝑘𝑥............................................................................ (2.9)

Gaya pemulih dapat juga dicari menggunakan hukum II Newton.

𝐹 = 𝑚 𝑎, dengan 𝑎 = 𝜔2𝑥 𝐹𝑝 = 𝑚𝜔2𝑥 𝐹𝑝 = ( 2𝜋 𝑇) 2𝑥

dari dua persamaan 𝐹𝑝 tersebut, kita dapat mencari T (periode), dapat dilihat pada

Persamaan 2.10.

𝑘 𝑥 = 𝑚4𝜋2 𝑇2𝑥
16

𝑇2 = 4𝜋2 𝑚 𝑘

𝑇 = √4𝜋2 𝑚 𝑘

𝑇 = 2𝜋√ ................................................................... (2.10)

Keterangan:
𝑇 = periode (s)
m= massa beban (kg)
𝑘 = konstanta pegas (N/m)

2) Bandul Sederhana

Titik kesetimbangan bola pendulum didapatkan ketika pendulum diam dan bola

tergantung vertikal. Ketika gaya diberikan, bola pendulum akan bergerak dengan lintasan

berupa busur lingkaran.

Gambar 2.2 Bandul Sederhana

Gaya yang menyebabkan bola bergerak ke titik seimbang adalah 𝑚𝑔 𝑠𝑖𝑛𝜃 yang

merupakan gaya pemulih (𝐹𝑝). Arah gaya pemulih dapat dilihat pada Gambar 2.2. Arah

gaya pemulih ini berlawanan dengan arah penyimpangan, sehingga mendapatkan

Persamaan 2.11.

𝐹 ⃗𝑝 = −𝑚𝑔sin𝜃..........................................................(2.11)

Keterangan:
𝐹 ⃗ = gaya pemulih (𝑁)
m= massa bola pendulum (𝑘𝑔)
𝑔 = percepatan gravitasi (𝑚/𝑠2)
𝜃 = sudut yang dibentuk tali dan garis vertikal Jika 𝜃 kecil (𝜃 ≤ 5o), maka nilai sin 𝜃
sebanding dengan 𝜃 (sin 𝜃 ≈)

Jadi akan didapatkan persamaan:


𝐹𝑝 = −𝑚𝑔𝜃 = −𝑚𝑔 𝑙𝑥
17

Persamaan ini identik dengan bentuk persamaan gaya pemulih pada pegas 𝐹𝑝 =

−𝑘𝑥. Jadi, gerak pendulum juga merupakan gerak harmonis sederhana. Konstanta pegas

didapatkan dari persamaan gaya pemulih yaitu: 𝑘 =𝑚𝑔 dengan memasukkan harga k ke

persamaan periode pegas 𝑇 = 2𝜋√𝑚 𝑘, didapatkan persamaan periode ayunan pendulum

yang dapat dilihat pada Persamaan 2.12.

𝑇 = 2𝜋√𝑚 𝑚𝑔⁄ 𝑙

𝑇 = 2𝜋√𝑙 𝑔.................................................................(2.12)

2.4 Penelitian Relevan

Adapun penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Setiawati, Vera Deni (2011) penelitiannya menunjukkan bahwa nilai rata-rata tes

evaluasi penguasaan konsep setelah pembelajaran selesai yaitu kelas eksperimen

sebesar 73.98, sedangkan kelas kontrol sebesar 59.63. Untuk hasil dari perhitungan

dengan menggunakan uji t dari nilai tes evaluasi penguasaan konsep fisika yaitu

thitung = 6.82 sedangkan ttabel = 1.99 dengan α = 5% dan dk = 33 + 33 - 2 = 64.

Jadi thitung > ttabel dengan demikian ada perbedaan ratarata hasil belajar antara kelas

eksperimen dan kelas kontrol. Untuk peningkatan aktivitas belajar siswa dari

pertemuan I, II, III dilihat dari nilai gain yang diperoleh, untuk pertemuan I dan II

sebesar 0.31, pertemuan II dan III sebesar 0.36, pertemuan I dan III sebesar 0.56.

Dari uji gain pada kelas eksperimen nilai N-gain yang diperoleh berada dalam

kategori peningkatan bersifat sedang. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan

diperoleh bahwa nilai rata-rata tes evaluasi penguasaan konsep fisika peserta didik

kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran problem posing dengan demonstrasi lebih efektif dari pada

pembelajaran ceramah dengan demonstrasi.


18

2. Megawati (2017) Hasil penelitian diperoleh bahwa rata-rata hasil belajar fisika kelas

eksperimen sebesar 77,87 sedanmgkan pada kelas kontrol dengan rata-rata 58,18.

Dari hasil uji-t parsial dengan menggunakan model pembelajaran Problem Posing

thitung > ttabel (0.05) yaitu dengan nilai 6,155 > 1,693 sig 0,000 < 0,05 maka H 1 diterima.

Dapat disimpulkan bahwa variabel bebas model pembelajaran problem posing

terdapat pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar peserta didik. Dengan

demikian dapat dikatakan sebagai alternative dalam pembelajaran fisika untuk

meningkatkan hasil belajar pada pokok bahasab pemuaian.

3. Irawati, Ratna Kartika (2014) Hasil penelitian menunjukkan bahwa Problem Posing

lebih efektif meningkatkan hasil belajar siswa dibandingkan Problem Solving, siswa

berkemampuan awal tinggi memperoleh hasil belajar yang lebih baik dibandingkan

dengan siswa yang berkemampuan awal rendah, serta Problem Solving dan Problem

Posing lebih cocok diterapkan kepada siswa yang berkemampuan awal tinggi.
19

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

3.1 Metode dan Desain Penelitian

3.1.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen.

Menurut Sugiyono (2017) “quasi eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian

yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam

kondisi yang terkendali”. Jadi penelitian ini dilakukan untuk mencari peningkatan

pemahaman konsep fisika siswa dengan menggunakan Model Pembelajaran Problem

Posing.

3.1.2 Desain Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan desain Nonequivalent Control Group

Design, hal ini sesuai dengan pendapat Sugiyono, (2017) menyatakan bahwa “desain

Nonequivalent Control Group Design hampir sama dengan desain Pretest-Posttest Control

Group yaitu kedua kelas diberi pretest untuk mengetahui keadaan awal dan posttest untuk

mengetahui pengaruh perlakuan, hanya saja pada desain ini kelompok eksperimen dan
20

kelompok kontrol tidak dipilih secara random‟. Adapun rancangan desain penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1 Desain Nonequivalent Control Group Design


Kelas Pretest Perlakuan Posttest
Eksperimen O1 X1 O2
Kontrol O3 X2 O4
Sumber: Sugiyono (2017)

Keterangan :
O1 = Pretest pada kelas eksperimen
O2 = Posttest pada kelas eksperimen
O3 = Pretest pada kelas kontrol
O4 = Posttest pada kelas kontrol
X1 = Model Pembelajaran Problem Posing
X2 = Model pembelajaran Konvensional

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Adapun lokasi penelitian ini adalah di Kelas X SMA Negeri 1 Paya Bakong. Akan

dilaksanakan pada semester 2 tahun ajaran 2019/2020.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi merupakan keseluruhan objek yang menjadi sasaran penelitian. Menurut

Sugiyono (2017) Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/ subyek

yang mempunyai kualitas dan karakteristuk tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Dengan demikian yang menjadi populasi

dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X IPA SMAN 1 Gandapura yang

berjumlah 80 siswa.
21

3.3.2 Sampel

Menurut Sugiyono, (2017) sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi tersebut. Dalam penelitian ini penarikan sampel dilakukan dengan

cara dengan teknik Purposive Sampling. teknik Purposive Sampling adalah teknik

penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Jadi, yang menjadi sampel dalam

peneitian ini adalah kelas X IPA1 sebagai kelas eksperimen, dan kelas XI IPA2 sebagai

kelas kontrol.

3.4 Variabel Penelitian

Menurut Sudaryono (2017) menyatakan bahwa secara teoretis variabel dapat

didefenisikan sebagai objek yang mempunyai variasi antara satu dengan yang lainnya.

Sedangkan menurut Sugiyono (2017) variabel adalah objek penelitian atau apa yang

menjadi titik perhatian dalam penelitian. Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala

sesuatu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang

hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Dalam penelitian dikelompokkan menjadi

dua variabel yaitu:

1. Variabel bebas (X) adalah variabel yang mempengaruhi variabel terikat. Variabel

bebas dalam penelitian ini adalah Model Pembelajaran Problem Posing

2. Vaiabel terikat (Y) adalah variabel yang menjadi akibat dalam suatu penelitian.

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah Pemahaman konsep fisika siswa.

3.5 Prosedur Penelitian

Untuk melaksanakan suatu penelitian agar dapat terlaksana dengan baik dan

tercapainya tujuan dari penelitian tersebut salah satunya harus menyusun dan

melaksanakan prosedur. Menurut Darmayanti (2017) prosedur dapat diartikan sebagai


22

rangkaian tata kerja yang berkaitan satu sama lain sehingga menunjukkan adanya suatu

urutan tahap demi tahap tentang pelaksanaan kerja yang harus ditempuh dalam rangaka

menyelesaikan suatu bidang tugas . Adapun prosedur dalam penelitian ini dapat dilihat

pada Gambar 3.1 berikut ini

Mulai

wawancara Observasi
Menentukan Populasi

Pretest, Uji Normalitas dan Uji Homogenitas

Menentukan sampel

Kelas Eksperimen Pembelajaran dengan Kelas Kontrol Pembelajaran


Menggunakan Model Pembelajaran dengan Menggunakan Model
Problem Posing. konvensional

Posttest

Analisis Data Postest dengan Uji Normalitas dan Uji Homogenitas

Uji
H0 ditolak hipotesis

Ha diterima
Kesimpulan
23

Selesai

Gambar 3. 1 Prosedur Penelitian

3.6 Teknik pengumpulan data


Sebagai alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah berupa test awal dan test

akhir materi pembelajaran yang diberikan kepada siswa. Bentuk test yang diberikan yaitu

berupa pilihan berganda yang terdiri dari lima pilihan jawaban dengan jumlah soal 30

butir. Soal yang dijawab benar diberi skor 1 dan jika salah diberi 0. Sebelum tes digunakan

terlebih dahulu dicari validitas, dengan menggunakan validitas isi, yang akan divalidkan

oleh validator.

3.7 Teknik Analisis data

3.7.1 Uji Instrumen

3.7.1.1 Validitas

Dalam penyusunan tes ini digunakan validitas isi dan validitas ramalan. Suatu tes

dikatan memiliki validitas isi apabila mengukur tujuan tertentu yang sesuai dengan materi

yang diterbitkan. Instrument yang telah disusun kemudian divalidasikan kepada tenaga ahli

(dosen). Dua orang diminta untuk mengamati secara cermat semua item dalam tes yang

hendak divalidasi dan mengoreksi item-item yang telah dibuat. Pengujian validitas

instrumen menggunakan program Anates 4.0

Anates merupakan software untuk analisis butir soal dengan menggunakan bahasa

Indonesia. Keunggulan software ini sebagai program untuk menganalisis butir soal pilihan

ganda dan analisis butir soal uraian. Penggunaan bahasa Indonesia pada program ini juga
24

merupakan salah satu yang dapat mempermudah dan menganalisis butir soal dari pada

program lain yang menggunakan bahasa Inggris. Penelitian ini digunakan untuk

menganalisis butir soal berupa pilihan ganda sebanyak 50 soal yang diujikan kepada siswa

kemudian jawaban siswa di analisis menggunakan program Anates untuk melihat

kevalidan soal tersebut. Intrumen dikatakan valid jika validator telah menyatakan

kesesuaian dengan kriteria yang telah ditetapkan. Untuk memperoleh hasil dari validitas

ini, digunakan hasil atau perolehan siswa siswa kelas XI IPA 1 dengan jumlah keseluruhan

siswa sebanyak 20 siswa. Tes yang digunakan terdiri dari 30 soal pilihan ganda dengan

menggunakan 5 item pilihan pada setiap butir soal. untuk mengukur validitas, peneliti

menggunakan aplikasi Anates versi 4.0.

Peneliti juga menghitung validitas dengan menggunakan rumus K-R.21 sebagai

berikut:

rxy= N ∑ xy−¿ ¿

Keterangan :

rxy = Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y, dua variabel yang
dikorelasikan
∑ xy = Jumlah perkalian X dan Y
X2 = Kuadrat dari X
Y2 = Kuadrat dari Y
N = Banyak siswa
X1 = Skor dari tiap butir soal
Y = Skor total
Arikunto (2013)

Arikunto (2013) mengemukakan kriteria validitas adalah sebagai berikut:

0,00 – 0,40 = Kurang


0,40 – 0,60 = Cukup
0,60 – 0,80 = Baik
0,80 – 1,00 = Sangat Baik
25

3.7.1.2 Reliabilitas

Reliabilitas adalah derajat ketepatan, ketelitian atau keakuratan yang ditunjukkan oleh

instrumen pengukuran. Instrumen dikatakan reliable apabila dipakai berulang-ulang pada

objek yang sama menunjukkan hasil yang sama. Perhitungan uji reliabilitas dalam

penelitian ini menggunakan bantuan program Anates versi 4.0.

Peneliti juga menghitung reliabilitas pada penelitian ini menggunakan rumus K-

R.21 sebagai berikut:

r 11= ( n−1
n
)( 1− M (nn−M
2
S
t
)
)

Keterangan :

r1 = Reliabilitas tes secara keseluruhan


M = Mean atau rerata skor total
n = Banyaknya siswa
S2t = Standar deviasi
Arikunto (2013)

Kriteria untuk mengukur realibilitas, peneliti menggunakan aplikasi Anates versi 4.0

dengan ketentuan:

Tabel 3.2 Kategori tingkat Reliabilitas


No Indeks Reliabilitas Kategori
1 0,0 ≤ r < 0,20 Sangat Rendah
2 0,20≤ r < 0,40 Rendah
3 ≤ r
0,40 < 0,60 Sedang
4 0,60≤ r < 0,80 Tinggi
5 0,80≤ r < 1,00 Sangat Tinggi
Sumber: Arikunto (2013)

3.7.1.3 Tingkat Kesukaran


26

Tingkat kesukaran tes dimaksudkan untuk mengetahui seberapa sukar tes yang

digunakan untuk mengukur kemampuan hasil belajar siswa. Sebuah tes yang baik

merupakan tes yang memiliki tingkat kesukaran yang sedang, tidak terlalu sukar dan tidak

terlalu mudah. Perhitungan tingkat kesukaran tes dalam penelitian ini menggunakan

bantuan program Anates versi 4.0.

Peneliti juga menghitung tingkat kesukaran dengan rumus sebagai berikut:

B
P=
JS

Keterangan :

P = Tingkat kesukaran
B = Banyak siswa yang menjawab soal dengan benar
JS = Jumlah seluruh siswa peserta tes
Arikunto (2013)

Adapun kriteria untuk menentukan tingkat kesukaran adalah sebagai berikut:

(Arikunto, 2013):

0,1 - 0,3 = Tingkat kesukaran sukar

0,3 - 0,7 = Tingkat kesukaran sedang

0,7 - 0,8 = Tingkat kesukaran mudah

0,9 - 1 = Tingkat kesukaran sangat mudah

3.7.1.4 Daya Pembeda

Daya pembeda merupakan suatu kemampuan soal untuk membedakan antara siswa

yang berkemampuan tinggi dengan kemampuan rendah. Perhitungan daya pembeda tes

dalam penelitian ini menggunakan bantuan program Anates versi 4.0.

Peneliti juga menghitung daya pembeda dengan rumus sebagai berikut:


27

Ba Bb
DP = -
Ja Jb

Keterangan :

DP = Daya pembeda
Ba = Batas atas
Bb = Batas bawah
Ja = Jumlah atas
Jb = Jumlah bawah

Arikunto (2013)

Arikunto (2013), menyatakan kriteria untuk menentukan daya pembeda adalah sebagai

berikut:

0,00 – 0,20 = Daya pembeda jelek

0,20 – 0,40 = Daya pembeda cukup

0,40 – 0,70 = Daya pembeda baik

0,70 – 1 = Daya pembeda baik sekali

3.7.2 Uji N-Gain

Uji N-Gain adalah selisih antara nilai preetest dan posttest. Gain menunjukan

peningkatan hasil belajar peserta didik setelah pembelajaran. Rumus yang digunakan untuk

uji ini adalah sebagai berikut:

Skor Postes t−Skor Pretest


N-Gain¿
Skor maksimum−Skor Pretest

Tinggi rendahnya gain yang dinormalisasi (N-Gain) dapat diklasifikasikan sebagai

berikut:

Tabel 3.3 Kategori Gain Ternormalisasi


Nilai Gain Ternormalisasi Kategori
G 3< 0,30 Rendah
≤ ≤
0,30 G 0,70 Sedang
G> 0,70 Tinggi
Sumber: Santoso (2015)
28

3.7.2 Uji Prasyarat

3.7.2.1 Uji Normalitas

Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah data dari masing-masing kelompok

sampel berdistribusi normal atau tidak. Setelah dilakukan uji normalitas, jika kedua data

berdistribusi normal maka selanjutnya dilakukan uji homogenitas. Tetapi jika salah satu

atau kedua data tidak berdistribusi normal, maka pengujian selanjutnya menggunakan

statistik nonparametrik.

Uji normalitas merupakan sebuah uji yang dilakukan dengan tujuan untuk menilai

sebaran data sebuah kelompok data atau variabel, apakah data tersebut teristribusi secara

normal atau tidak. Pada penelitian ini uji normalitas dilakukan dengan menggunakan

bantuan aplikasi SPSS versi 23.0. data dikatakan berdistribusi normal jika taraf signifikan

> 0.05 pada uji nomalitas Kolmogorov-smirrov dan Shapiro-wilk.

3.7.2.2 Uji Homogenitas

Uji homogen dilakukan untuk mengetahui apakah varian sampel homogen atau

tidak. Pengujian homogenitas dilakukan dengan one-way anova dengan program SPSS

versi 23.0. Data dikatakan homogen jika taraf signifikan > 0.05

3.7.3 Uji Hipotesis

Setelah dilakukan perhitungan normalitas, analisis data dilakukan untuk menguji

hipotesis yang telah diajukan. Pengujian hipotesis menggunakan uji Independent sample t-

test dengan program SPSS versi 23.0. Adapun uji hipotesis yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:


29

H0 = Tidak terdapat peningkatan pemahaman konsep fisika siswa dengan

menggunakan Model Pembelajaran Problem Posing Pada Materi Getaran

Harmonis Kelas X SMA Negeri 1 Paya Bakong.

Ha = Terdapat peningkatan pemahaman konsep fisika siswa dengan menggunakan

Model Pembelajaran Problem Posing Pada Materi Getaran Harmonis Kelas X

SMA Negeri 1 Paya Bakong.

Kriteria dasar pengambilan keputusan uji hipotesis adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan signifikan

a. Jika α = 0,05 ≥ sig.(2.tailed) maka Ha diterima dan H0 ditolak.

b. Jika α = 0,05 ≤ sig.(2.tailed) maka Ha ditolak dan H0 diterima.

2. Berdasarkan thitung

a. Jika thitung ≥ ttabel maka Ha diterima dan H0 ditolak.

b. Jika thitung ≤ ttabel maka Ha ditolak dan H0 diterima.


30

DAFTAR PUSTAKA

Anni. 2006. Psikologi Pendidikan. Semarang: UNNES PRESS.

Arikunto, Suharsimi. 2013. Manajemen Penelitian Pendidikan. Bandung: CV. Alfabeta.

Bloom, Benyamin S. 2005. Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan. Bandung: Tarsito.

Darmayanti. 2017. Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: PT


Refika Aditama.

Iryanto, S. 2009. Metode Pembelajaran TTW dan Problem posing Dalam Pembelajaran
Matematika. Makalah. Semarang: UNNES.

Irawati, Ratna Kartika. 2014. Pengaruh Model Problem Solving dan Problem Posing serta
Kemampuan Awal terhadap Hasil Belajar Siswa. Jurnal Pendidikan Sains Vol.2,
No.4, Desember 2014, Hal 184-192. ISSN: 2338-9117

Megawati. 2017. Pengaruh Model Pembelajaran Problem Posing Terhadap Hasil Belajar
Pokok Bahasan Pemuaian Pada Peserta Didik Kelas VII SMPN 4 Bandar
Lampung. Skripsi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Institut Agama Islam Negeri
Raden Intan Lampung.

Ruseffendi. 2004. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya


Dalam Pembelajaran Matematika. Bandung: Tarsito.

Santoso, F. 2015. “Efektivitas Penerapan Quantum Teaching Terhadap Hasil Belajar


Elektronika Dasar Pada Siswa Kelas X Jurusan Teknik Ototronik SMK 1
Seyegan”. Jurnal Pendidikan Teknik Elektronika edisi September. Volume 4, No.
8:1-13.

Setiawati, Vera Deni. 2011. Penerapan Model Pembelajaran Problem Posing Untuk
Mengetahui Penguasaan Konsep Fisika Pada Siswa Kelas VIII SMP N 7
31

Semarang Tahun Ajaran 2010/2011. Skripsi, jurusan Fisika, fakultas Matematika


dan Ilmu pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.

Sudaryono. 2017. metodelogi penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sugandi, A. 2004. Teori Pembelajaran. Semarang: UPT MKK UNNES

Sugiyanto. 2008. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surakarta :Panitia sertifikasi guru


rayon 13.

Sugiyono. 2017. Motode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan


R&D. Bandung: Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai