Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH AUDIT INVESTIGATIF DENGAN MENGANALISIS UNSUR

PERBUATAN MELAWAN HUKUM

KELOMPOK 3

Fhadly Rahim A031191143

Fitrah Perdana Maulia B. A031191174

Fransisco Valdino R A031191002

Jihan Hulwah Syahrin A031191043

Kezia Gabriella Yonathan A031181020

Wandy Sito Andilolo A031191080

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2022
BAB II
PEMBAHASAN
Akuntan forensik bekerja sama dengan praktisi hukum dalam menyelesaikan
masalah hukum. Karena itu, akuntan forensik perlu memahami hukum pembuktian
sesuai dengan masalah hukum yang dihadapi, seperti pembuktian untuk tindak
pidana umum (dimana beberapa pelanggaran dan kejahatan mengenai fraud diatur),
tindak pidana khusus ( seperti korupsi, pencucian uang, perpajakan, dan lain-lain),
pembuktian dalam hukum perdata, pembuktian dalam hukum administrasi, dan
sebagainya.
Akuntan forensik mengenal teknik analisis dari pengalamannya sebagai
auditor. Review analitikal yang dibahas pada Bab 13 adalah salah satu contoh dari
teknik analisis.
Bab ini juga membahas teknik analisis dengan menggunakan rumusan
mengenai perbuatan-perbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam Umdang-
Undang Nomor 31 tahun 1999 jucto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat “Undang-Undang
Tipikor”. Dari contoh Undang-Undang Tipokir, pembaca dapat menerapkannya
dalam pembuktian hukum lainnya.
Perbuatan melawan hukum dirumuskan dalam satu atau beberapa kalimat
yang dapat dianalisis atau dipilah-pilah ke dalam bagian yang lebih kecil. Unsur-
unsur ini dikenal dengan istilah Belanda, bestandded (tunggal) atau bestanddeelen
(jamak). Penyidik atau akuntan forensik mengumpulkan bukti dan barang bukti untuk
setiap unsur tersebut. Bukti dan barang bukti yang dikumpulkan untuk setiap unsur
akan mendukung atau membantah adanya perbuatan melawan hukum.

A. TIGA PULUH JENIS TINDAK PIDANA KORUPSI


Undang-undang tipikor merumuskan 30 jenis atau bentuk tindak pidana korupsi yang
dibagi dalam tujuh kelompok yang diringkas dalam Tabel 1.
Perincian 30 Jenis Tindak Pidana Korupsi
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009
Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
A. TINDAK PIDANA LAIN BERKAITAN DENGAN TIPIKOR

Selain ke-30 bentuk tindak pidana korupsi, Undang-Undang Tipikor Bab III
mengatur beberapa tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi.
1. Mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak
langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara korupsi.

2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar.


3. Dalam perkara korupsi, melanggar KUHP Pasal 220 (mengadukan
perbuatan pidana, padahal ia tahu perbuatan itu tidak dilakukan), Pasal 231
(menarik barang yang disita), Pasal 421 (pejabat menyalahgunakan
kekuasaan, memaksa orang melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan
sesuatu), Pasal 422 (pejabat menggunakan paksaan untuk memeras
pengakuan atau mendapat keterangan), Pasal 429 (pejabat melampaui
kekuasaan ... memaksa masuk ke dalam rumah atau ruangan atau
pekarangan tertutup ... atau berada di situ secara melawan hukum) atau
Pasal 430 (pejabat melampaui kekuasaan menyuruh memperlihatkan
kepadanya atau merampas surat, kartu pos, barang atau paket ... atau kabar
lewat kawat)

B. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI

Tabel 16.5 di atas menyajikan pasal-pasal dan ayat-ayat dari Undang-Undang


Tipikor yang berisi 30 jenis tindak pidana berdasarkan tujuh kelompok. Pada
pembahasan di bawah ini, pasal-pasal dan ayat-ayat tersebut diuraikan ke dalam
unsur-unsurnya (bestanddeelen).
TPK - KERUGIAN KEUANGAN NEGARA :
TPK - 1

1. Setiap orang.

2. Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi.

3. Dengan cara melawan hukum.

4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara


TPK - 2

1. Setiap orang.

2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi.

3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana.

4. Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

5. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

TPK SUAP MENYUAP


TPK-3

1. Setiap orang.

2. Memberi atau menjanjikan sesuatu .

3. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara.

4.Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam


jabatannya, sehingga bertentangan dengan kewajibannya.

TPK-4

1. Setiap orang.

2. Memberi sesuatu.

3. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara.

4. Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan


kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

TPK-5

1. Setiap orang.

2. Memberi hadiah atau janji.


3. Kepada pegawai negeri.

4. Dengan mengingat kekuasaan a tau wewenang yang melekat pada jab a tan
a tau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat
pada jabatan atau kedudukan tersebut.

TPK-6

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara.

2. Menerima pemberian atau janji.

3. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b.

TPK-7

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara.

2. Menerima hadiah atau janji.

3.Diketahuinya bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk


menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

4. Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk


menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

TPK-8

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara.


2. Menerima hadiah.
3. Diketahuinya bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau karena
telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya.
4. Patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau karena
telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya.
TPK-9

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara.


2. Menerima hadiah atau janji.
3. Diketahuinya.
4. Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan
atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dan menurut pikiran
orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya.

TPK-10

1. Setiap orang.
2. Memberi atau menjanjikan sesuatu.
3. Kepada hakim.
4. Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili.

TPK-11

1. Setiap orang.
2. Memberi atau menjanjikan sesuatu.
3. Kepada advokat yang menghadiri sidang pengadilan.
4. Dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili.

TPK-12

1. Hakim atau advokat.


2. Yang menerima pemberian atau janji.
3. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a atau b.

TPK-13

1. Hakim.
2. Menerima hadiah atau janji.
3. Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili.

TPK-14

1. Advokat yang menghadiri sidang di pengadilan.


2. Menerima hadiah atau janji.
3. Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

TPK-15

1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan


menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu.
2. Dengan sengaja.
3. Menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil atau membiarkan
orang lain menggelapkan atau membantu dalam melakukan perbuatan itu.
4. Uang atau surat berharga.
5. Yang disimpan karena jabatannya.

TPK-16

1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan


menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu.
2. Dengan sengaja.
3. Memalsu.
4. Buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

TPK-17

1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan


menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu.
2. Dengan sengaja.
3. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai.
4. Barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau
membuktikan di muka pejabat yang berwenang.
5. Yang dikuasainya karena jabatan.

TPK-18

1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan


menjalankan suatu jabatan secara terus menerus atau untuk sementara
waktu.
2. Dengan sengaja.
3. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai.
4. Barang, akta, surat, atau daftar sebagaimana disebut pada Pasal 10 huruf
a.

TPK-19

1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan


menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu.
2. Dengan sengaja.
3. Membantu orang lain menghilankan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai.
4. Barang, akta, surat, atau daftar sebagaimana disebut pada Pasal 10 huruf
a..

TPK-20

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara.


2. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
3. Secara melawan hukum.
4. Memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi
dirinya.
5. Menyalahgunakan kekuasaan.

TPK – 21

Pasal 12 huruf g:

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan


tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-
olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahuin bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang;

Penjelasan undang-undang: Cukup jelas.

TPK – 22

Pasal 12 huruf f:

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan


tugas, meminta atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut
mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan utang;

Penjelasan undang-undang: Cukup jelas.


TPK – 23

Pasal 7 ayat (1) huruf a:

(1) Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):

a. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau


penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang
atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;

Penjelasan undang-undang: Cukup jelas.

TPK – 24

Pasal 7 ayat (1) huruf b:

(1) Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):

b. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan


bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf a;

Penjelasan undang-undang: Cukup jelas.

TPK – 25

Pasal 7 ayat (1) huruf c:

(1) Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
c. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisisan Negara Republik Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara
dalam keadaan perang; atau

Penjelasan undang-undang: Cukup jelas.

TPK – 26

Pasal 7 ayat (1) huruf d:

(1) Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):

d. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan


Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisisan Negara Republik Indonesia
dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam
huruf c.

Penjelasan undang-undang: Cukup jelas.

TPK – 27

Pasal 7 ayat (1) huruf d:

(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang
menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisisan Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Penjelasan undang-undang: Cukup jelas.

TPK – 28

Pasal 12 huruf h:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan


tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai,
seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan
orang yang berhak, padahla diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau

Penjelasan undang-undang: Cukup jelas.

TPK – 29

Pasal 12 huruf i:

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak


langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau
persewaan, yang ada pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau
sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

Penjelasan undang-undang: Cukup jelas.

TPK – 30

Pasal 12 B:

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara


dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi;

b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),


pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

Penjelasan undang-undang: Yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini


adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diteruma di dalam negri maupun di luar negeri
dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronuk.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) adlah pidana penjara seumur hidup atau pidana
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan
pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Penjelasan undang-undang: Cukup jelas.

Pasal 12 C:

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku,
jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantas Tindak Pidana Korupsi.

(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib


dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebgaimana
dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Penjelasan undang-undang: Cukup jelas.

C. BEBERAPA KONSEP UNDANG-UNDANG

Dibawah ini ada catatan mengenai beberap konsep, baik secara umum dikenal
dalam KUHP atau KUHAP maupun yang khas untuk tindak pidana korupsi. Konsep-
konsep itu adalah:

1. Alat bukti yang sah,

2. Beban pembuktian terbalik,

3. Gugatan perdata atas harta yang disembunyikan,

4. Pemidaan secara in absentia

5. “memperkaya” vs “menguntungkan”,

6. Pidana mati

7. Nullum delictum

8. Concursus idealis

9. Concursus realis

10. “lepas dari tuntutan hukum” vs “bebas”


"Lepas dari segala tuntutan hukun" (ontslag van alle rechtsvervolging) diatur
dalam KUHAP Pasal 191 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut: "Jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas
dari segala tuntutan hukum"
Dalam hal putusan lepas dari segala tuntutan hukum, jaksa penuntut umum
dapat melakukan kasasi. Sementara itu, dalam putusan bebas murni, Jaksa
penuntut umum tidak dapat melakukan kasasi.

Analisis Beberapa Kasus Korupsi


Para akuntan forensik dapat menarik pelajaran berharga dari pendapat dan
komentar para ahli hukum, mengenai kasus-kasus yang sudah ada putusan hakim.
Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah adalah salah seorang di antara para ahli hukum pidana
dan hukum acara pidana yang banyak menulis tentang kasus-kasus korupsi.
Analisis berikut disarikan dari tulisan beliau. Beliau memberikan pendapat
dalam kasus-kasus korupsi, seperti dalam kasus Akbar Tandjung di Pengadilan
Tinggi. Selanjutnya, pendapat beliau digunakan oleh Mahkamah Agung meskipun
tidak secara utuh.
Dalam bukunya, Profesor Andi Hamzah mencantumkan posisi dan analisis
kasusnya secara terperinci. Analisis di bawah merupakan ringkasan untuk
menonjolkan hal-hal penting bagi akuntan forensik. Para akuntan forensik sebaiknya
mempelajari dokumentasi dari suatu kasus secara utuh, yaitu sejak surat dakwaan
yang diajukan penuntut umum, sampai kepada putusan Mahkamah Agung.

Kasus Akbar Tandjung


Ringkasan posisi kasus ini adalah sebagai berikut. Pada tanggal 10 Februari
1999, ada pertemuan terbatas antara Presiden B.J. Habibie, Akbar Tandjung
(Sekretaris Negara), Rahadi Ramelan (pejabat sementara Kepala Bulog), dan
Haryono Suyono (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan
Kemiskinan) di Istana Merdeka. Pertemuan itu membahas krisis pangan. Rahadi
Ramelan melaporkan kepada Presiden Habibie, ada dana non-budgeter untuk
membeli sembako bagi rakyat miskin sebesar Rp 40 miliar.
Dadang Sukandar (Ketua Yayasan Islam Raudatul Jannah) mengajukan
permohonan kepada Haryono Suyono untuk melaksanakan pengadaan dan
penyaluran sembako. Dadang Sukandar memperkenalkan Winfried Simatupang
(selaku mitra kerjanya) kepada Akbar Tandjung. Di depan Akbar Tandjung dan
stafnya, mereka berdua melakukan pemaparan.
Akbar Tandjung menyetujui rencana pengadaan dan penyaluran sembako.
Rahadi Ramelan membuat nota kepada Ruskandar (Deputi Keuangan Bulog) dan
Jusnadi Suwarta (Kepala Biro Pembiayaan Bulog). Selanjutnya, Ruskandar dan
Jusnadi Suwarta membuat dan menandatangani beberapa cek.
Pada tanggal 2 Maret 1999, mereka menyerahkan dua cek (Bank Bukopin
dan Bank Ekspor Impor Indonesia) masing-masing sebesar Rp10 miliar (jumlah
seluruhnya Rp20 miliar) kepada Akbar Tandjung, yang kemudian diserahkannya lagi
kepada Dadang Sukandar.
Pada tanggal 19 April 1999, mereka menyerahkan delapan cek Bank Bukopin
berjumlah Rp20 miliar, juga kepada Akbar Tandjung yang menyerahkannya lagi
kepada Dadang Sukandar; empat cek @Rp3 miliar dan empat cek lagi @Rp2 miliar.
Penyerahan cek-cek di atas sejumlah Rp40 miliar dilakukan tanpa bukti
tertulis. Dadang Sukandar menyerahkan uang pencairan cek itu kepada Winfried
Simatupang. Pengadaan dan penyaluran sembako tidak pernah terlaksana.
Pasal-pasal yang didakwakan Penuntut Umum terhadap Akbar Tandjung,
Dadang Sukandar, dan Winfried Simatupang adalah sebagai berikut.
Dari dakwaan di atas, dapat dilihat bahwa dakwaan primair menggunakan
Pasal 1 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, sedangkan dakwaan
subsidiair menggunakan Pasal 1 ayat (1) huruf a. Berikut bunyi Pasal 1 ayat (1)
huruf a dan b dari undang-undang tersebut.

Mengenai hal ini, Andi Hamzah menanggapi: "... dakwaan Primair - Subsidiair
secara terbalik,.... menyimpang dari kebiasaan penyusunan surat dakwaan."
Lazimnya, Pasal 1 ayat (1) huruf a dari Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 yang
digunakan untuk dakwaan primair, dan Pasal 1 ayat (1) huruf b untuk dakwaan
subsidiair.
Selanjutnya, Andi Hamzah menulis:
Mengenai kerja sama dengan keikutsertaan (medeplegen) yang disebutkan
dalam KUHP Pasal 55 [untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
Badan dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana karena
jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara], Andi Hamzah menyebutnya sebagai konstruksi yang paling
sulit dibuktikan.
Kalau mereka bertiga (Akbar, Dadang, dan Winfried) bersama-sama
menguntungkan orang lain, maka pertanyaannya adalah (pertanyaan ini diajukan
Andi Hamzah): Siapa oran lain (yang diuntungkan) itu? Dadang dan Winfried adalah
swasta murni yang tidak punya jabatan atau kedudukan yang disalahgunakan.
Masalah kedua adalah: Bagaimana membuktikan berapa bagian mereka masing-
masing dari jumlah Rp40 miliar?
Selanjutnya, Andi Hamzah menulis: "Kelihatan dakwaan penuntut umum
bermaksud Akbar Tanjung menguntungkan orang lain (Dadang dan Winfried), dan
pada waktu yang bersamaan kedua orang itu menguntungkan diri mereka sendiri,
lalu mereka melakukannya bersama-sama (medeplegen). Konstruksi seperti ini
menurut Mahkamah Agung tidak logis.” Kalau Akbar menguntungkan kedua orang
lain itu, mereka berdua mestinya tidak dipidana. Padahal, baik Pengadilan Negeri
maupun Pengadilan Tinggi, memidana mereka berdua.
Masih ada kemungkinan lain. Bagaimana jika Dadang dan Winfried
menguntungkan diri sendiri, dan bukan Akbar yang menguntungkan mereka? Andi
Hamzah menyimpulkan "Jelas pikiran inilah yang ditempuh Mahkamah Agung."
Akbar diputus bebas. Sebaliknya Dadang dan Winfried dipidana berdasarkan
dakwaan subsidiair, yakni memperkaya diri sendiri secara bersama-sama (mereka
berdua).
Dalam kasus ini, Andi Hamzah merupakan saksi ahli yang pendapatnya
dikutip Mahkamah Agung. Pendapat beliau adalah penyerahan cek dari Bulog ke
Akbar belum ada tindak pidana. Tindak pidana terjadi saat sembako tidak dibeli.
Andi Hamzah berpendapat bahwa Akbar Tandjung seharusnya tidak didakwa
medeplegen dengan Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang, tetapi dengan
Pasal 415 KUHP juncto Pasal 1 ayat (1) huruf c dari Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971, yakni menggelapkan uang. Pendapat ini dikemukakannya di depan
Pengadilan Negeri, tetapi tidak dikutip oleh Mahkamah Agung.
Sebagai penutup. berikut ini ringkasan tuntutan dan pidana penjara dari kasus
yang dimulai tanggal 11 Februari 1999 (rapat terbatas dengan Presiden B. J.
Habibie) dan berakhir tanggal 12 Februari 2004 (persidangan Mahkamah Agung).

Kasus Samadikun Hartono


Penuntut Umum mendakwa Samadikun Hartono (Presiden Komisaris PT
Bank Modern Tbk), bersama-sama dengan Bambang Trianto (Presiden Direktur PT
Bank Modern Tbk).

Menarik sekali apa yang dikatakan Andi Hamzah mengenai putusan


Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung dalam kasus Samadikun Hartono, serta
tragedi pada akhirnya.
Kasus Djoko S. Tjandra
Djoko S. Tjandra melakukan kontrak cessie dengan Rudi Ramli (Bank Bali).
Karena perbuatan itu dilakukan pada tahun 1998, penuntut umum mendakwa Djoko
Tjandra dengan Pasal 1 ayat 1 huruf a dari undang-undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Nomor 3 Tahun 1971.
Menurut Andi Hamzah:
Pandangan Profesor Andi Hamzah tadi sejalan dengan pendekatan dalam
audit Investigasi yang dikenal dengan sebutan ikuti jalannya uang atau follow the
money.
Kasus Djoko S. Tjandra berlanjut dengan Keputusan Mahkamah Agung atas
PK (Peninjauan kembali) yang diajukan kejaksaan. Dalam putusan MA tersebut,
Joko S. Tjandra dipidana penjara dua tahun.

Kasus Mohammad (Bob) Hasan


Antara tahun 1989 sampai 1998, Mohammad Hasan selaku Ketua Asosiasi
Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menandatangani Surat Perintah Kerja kepada
PT Adikarto Printindo kemudian berubah nama menjadi PT Mapindo Parama.
Mohammad Hasan mempunyai saham terbesar di perusahaan itu, yang didirikan
untuk melakukan pemetaan hutan bagi APHI tanpa persetujuan seluruh anggota
(jumlah anggota adalah sembilan belas yang hadir pada rapat itu adalah sembilan
orang). Uang yang dipakai ialah iuran para anggota APHI. Pemetaan itu tidak
dilakukan secara sempurna, tetapi sudah dilakukan pembayaran sebesar US
$168.117.220.45.
Lalu, terjadi perbuatan (feit) yang kedua, yaitu Oetomo selaku Sekretaris
Jenderal Departemen Kehutanan menandatangani SPK juga dengan memakai uang
reboisasi sebesar US $75.623.411.97 juga kepada PT Adikarto Pritindo yang
kemudian berubah menjadi PT Mapindo Parama, tetapi untuk pemetaan hutan
lindung. Jadi, tidak ada kaitannya dengan perbuatan (feit) yang pertama.
Putusan Pengadilan Negeri menyatakan Mohammad Hasan dipidana dua
tahun penjara dan denda lima belas juta rupiah subsidair tiga bulan kurungan karena
dinyatakan terbukti melakukan perbuatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu badan dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang langsung atau tidak
langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 1 ayat (1)
sub b UU PTPK 1971) sebesar US $168.117.220.45 ditambah dengan US
$75.623.411.97 menjadi US $243.740.632.42. Ini merupakan dakwaan subsidair,
sedangkan untuk dakwaan primair, yaitu Pasal 1 ayat (1) sub a UU PTPK 1971,
dinyatakan tidak terbukti.
Putusan Pengadilan Tinggi menyatakan Mohammad Hasan terbukti secara
sah dan dengan meyakinkan bersalah karena melakukan "beberapa tindak pidana
yang dilakukan bersama-sama" dengan pidana penjara enam tahun dan denda 15
juta rupiah subsidair 3 bulan ditambah uang pengganti sebesar US $243/740/632.42
untuk dakwaan primair yang sudah dinyatakan oleh Pengadilan Negeri tidak terbukti.
Secara yuridis, terjadilah konstruksi hukum yang keliru, yaitu Mohammad
Hasan juga harus mempertanggungjawabkan perbuatan Oetomo yang tidak dituntut,
padahal dialah yang menandatangani SPK yang memakai uang reboisasi yang
dapat dihitung sebagai keuangan negara berdasarkan Penjelasan Pasal 1 ayat (1)
sub a UU PTPK 1971.
Sebenarnya, jika dibuat konstruksi yuridis yang benar, perbuatan yang
pertama adalah Mohammad Hasan menandatangani SPK memakai uang APHI yang
berasal dari iuran anggota untuk kepentingan seluruh anggota (bukan untuk tujuan
sosial). Dengan peta udara itulah, mereka diizinkan oleh Pemerintah (Departemen
Kehutanan). Lalu, yang menjadi pertanyaan ialah apakah uang iuran anggota APHI
untuk kepentingan para anggota itu dapat digolongkan menjadi keuangan negara?
Jika ditelaah, Penjelasan Pasal 1 ayat (1) sub a UU PTPK 1971 sulit
menggolongkan keuangan APHI yang berasal dari iuran anggota untuk kepentingan
anggota sebagai keuangan negara karena organisasi APHI bukan untuk tujuan
sosial, tetapi untuk tujuan usaha hutan. Jadi, jika ingin dipaksakan menuntut
Mohammad Hasan, perbuatannya mengeluarkan uang anggota tanpa persetujuan
seluruh anggota dan hasilnya (peta udara) tidak sesuai dengan perjanjian, maka
yang dirugikan ialah para anggota APHI. Oleh karena itu, paling jauh, Mohammad
Hasan didakwa melakukan penipuan atau penggelapan (antara swasta dengan
swasta, bukan delik korupsi berdasarkan Pasal 1 ayat (1) sub a atau sub b UU
PTPK 1971 karena uang yang dipakai bukan uang negara sehingga tidak merugikan
negara, melainkan merugikan anggota APHI.
Perbuatan yang kedua ialah Oetomo selaku Sekjen Departemen Kehutanan
menandatangani SPK kepada PT Adikarto Pritindo yang kemudian berubah nama
menjadi PT Mapindo Parama yang Mohammad Hasan menjadi pemegang saham
terbesar. Jadi, Konstruksi yuridisnya ialah Oetomo memperkaya orang lain atau
suatu badan, yaitu PT Adikarto Pritindo yang kemudian berubah nama menjadi PT
Mapindo Parama. Di tempat itulah, Mohammad Hasan menjadi pemegang saham
terbesar.
Dengan demikian, perbuatan (feit) yang kedua ini tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada Mohammad Hasan, melainkan kepada Oetomo.
Disini, uang reboisasi sudah menjadi uang milik negara sehingga merugikan
keuangan negara sebesar US $75.623.41.97.
Menjadi sangat rancu jika perbuatan (feit) ini digabung dengan perbuatan
yang pertama, kemudian ditimpakan pertanggungjawabannya kepada Mohammad
Hasan sendirian sedangkan Oetomo tidak dituntut.
Dakwaan dan putusan Pengadilan Tinggi dinyatakan terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan "beberapa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama".
Tindak pidana yang mana? Tentu, maksudnya ialah "perbuatan yang pertama" dan
"yang kedua", tetapi dalam dakwaan jaksa dan putusan hakim sama sekali tidak
diperinci bagaimana kerja sama (medeplegen) antara Mohammad Hasan dan
Oetomo (yang tidak dituntut itu).
Apa peranan masing-masing dalam perbuatan (feit) yang kedua
(menandatangani SPK kepada PT Adikarto Pritindo untuk melakukan foto udara atas
hutan lindung yang tidak berkaitan dengan APHI)? Dalam perbuatan pelaku peserta
(medepleger), harus diperinci peranan tiap-tiap pelaku peserta dan dituntut
bersama-sama.

Alat Bukti yang Sah

Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :

a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;
dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun
selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi
yang memiliki makna.
Beban Pembuktian Terbalik

Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi
dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal
dari salah satu tindak pidana.

Gugatan Perdata atas Harta yang Disembunyikan

Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap,


diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut
diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan
perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2),
maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli
warisnya.
Perampasan Harta Benda yang Disita
Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 38 ayat 5 dari Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 yang berbunyi sebagai berikut:

Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat
bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindakan
pidana korupsi maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan
perampasan barang-barang yang telah disita.

dan penjelasannya yang berbunyi sebagai berikut: “Ketentuan dalam ayat ini,
dimaksudkan pula untuk menyelamatkan kekayaan Negara”.

Karena orang itu telah meninggal dunia, kesempatan baginya banding tidak ada.
Setelah ia meninggal, pertanggungjawabannya dibatasi sampai pada perampasan
harta benda yang telah disita.

Pemidanaan secara in Absentia

Pengalaman mengenai koruptor yang melarikan diri atau tidak hadir dalam
persidangan, diatasi dengan ketentuan mengenai pemidanaan secara in
absentia. Hal ini diatur dalam pasal 38 ayat 1, 2, 3, dan 4 Undang-Undang
Pemberantasan Tipikor yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di
sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat
diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan
dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan
saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya
dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh
penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor
Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
(4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas
putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

“Memperkaya” versus “Menguntungkan”


Seorang pejabat menerima suap dari seorang pengusaha dan seluruh jumlah
itu diberikan kepada atasannya. Pejabat itu tidak memperkaya dirinya, tetapi tetap
menguntungkan dirinya. Dengan meneruskan seluruh suap itu kepada atasannya,
ia menguntungkan diri karena bisa mendapat keistimewaan (favor) dalam bentuk
kenaikan pangkat, jabatan, gaji dan seterusnya.
Perumusan TPK dalam Pasal 2 Undang-Undang Tipikor berbeda dari
perumusan dalam Pasal 3. Dalam Pasal 2, digunakan istilah “memperkaya diri
sendiri atau orang lain”. Sementara itu, dalam Pasal 3, digunakan istilah
“menguntungkan diri sendiri atau orang lain”

Pidana Mati

Dalam Pasal 2 ayat 2 dari Undang-Undang Tipikor, dikatakan: “Dalam hal


tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Penjelasannya berbunyi
sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan


sebagaipemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana
tersebut dilakukanpada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan
undang-undang yang berlaku,pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai
pengulangan tindak pidana korupsi,atau pada waktu negara dalam keadaan krisis
ekonomi dan moneter.
Nullum Delictum

Maknanya dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundangundangan pidana yang telah ada”

Dalam kaitan dengan TPK, asas ini dikemukakan dalam dua kasus. Pertama
untuk kasus-kasus TPK yang dilakukan sebelum keluarnya suatu undang-undang,
tetapi diadili setelah keluarnya undang-undang tersebut. Kedua, sewaktu KPK
menangani kasus yang terjadi sebelum keuarnya Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan TPK, ada orang yang
mempertanyakan wewenang KPK dengan menggunakan asas nullum delictum
ini. Dalam kasus semacam ini, asas ini sebenarnya tidak dilanggar karena
substansi hukumnya sudah diatur dalam undang-undang yang mendahului TPK
itu. Yang terjadi kemudian adalah perluasan dari aparat yang menanganinya,
yakni dari polisi dan jaksa ke KPK.

Concursus Ideais

Konsep concursus idealis berkenaan dengan satu perbuatan yang tercakup


dalam lebih dari satu aturan pidana. Hal ini terlihat dalam Pasal 63 yang berbunyi
sebagai berikut:

(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka
yang dikenakan hanyasalah satu di antara aturan-aturan itu; jika
berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancamanpidana pokok
yang paling berat.

(2) Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum,
diatur pula dalam aturanpidana yang khusus, maka hanya yang khusus
itulah yang diterapkan.

Concursus Realis

Konsep concursus realis ini berkenaan dengan beberapa perbuatan yang


dilakukan berbarengan. Hal ini terdapat dalam KUHP Pasal 65 yang berbunyi
sebagai berikut.

(1) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang


sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa
kejahatan, yang diancam dengan pidana pokokyang sejenis, maka
dijatuhkan hanya satu pidana.

(2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana


yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi boleh lebih dari
maksimum pidana yang trerberat ditambah sepertiga.

Perbuatan Berlanjut

Perbuatan berlanjut ini diatur dalam Pasal 64 ayat 1 KUHP yang berbunyi
sebagai berikut.

(1) Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing


merupakan kejahatan ataupelanggaran, ada hubungannya
sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satuperbuatan
berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-
beda, yangditerapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang
paling berat.

“Lepas dari Tuntutan Hukum” versus “Bebas”

Putusan bebas (vrijspraak) atau bebas murni (zuivere vrijspraak) diatur


dalam KUHAP Pasal 191 ayat 1 yang berbunyi: “Jika pengadilan berpendapat
bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan
yang didakwaan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka
terdakwa diputus bebas.”

“Lepas dari segala tuntutan hukum” (ontslag van alle rechtsvervolging)


diatur dalam KUHAP Pasal 191 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut: “Jika
pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwaan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka
terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”

Anda mungkin juga menyukai