KELOMPOK 3
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2022
BAB II
PEMBAHASAN
Akuntan forensik bekerja sama dengan praktisi hukum dalam menyelesaikan
masalah hukum. Karena itu, akuntan forensik perlu memahami hukum pembuktian
sesuai dengan masalah hukum yang dihadapi, seperti pembuktian untuk tindak
pidana umum (dimana beberapa pelanggaran dan kejahatan mengenai fraud diatur),
tindak pidana khusus ( seperti korupsi, pencucian uang, perpajakan, dan lain-lain),
pembuktian dalam hukum perdata, pembuktian dalam hukum administrasi, dan
sebagainya.
Akuntan forensik mengenal teknik analisis dari pengalamannya sebagai
auditor. Review analitikal yang dibahas pada Bab 13 adalah salah satu contoh dari
teknik analisis.
Bab ini juga membahas teknik analisis dengan menggunakan rumusan
mengenai perbuatan-perbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam Umdang-
Undang Nomor 31 tahun 1999 jucto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat “Undang-Undang
Tipikor”. Dari contoh Undang-Undang Tipokir, pembaca dapat menerapkannya
dalam pembuktian hukum lainnya.
Perbuatan melawan hukum dirumuskan dalam satu atau beberapa kalimat
yang dapat dianalisis atau dipilah-pilah ke dalam bagian yang lebih kecil. Unsur-
unsur ini dikenal dengan istilah Belanda, bestandded (tunggal) atau bestanddeelen
(jamak). Penyidik atau akuntan forensik mengumpulkan bukti dan barang bukti untuk
setiap unsur tersebut. Bukti dan barang bukti yang dikumpulkan untuk setiap unsur
akan mendukung atau membantah adanya perbuatan melawan hukum.
Selain ke-30 bentuk tindak pidana korupsi, Undang-Undang Tipikor Bab III
mengatur beberapa tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi.
1. Mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak
langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara korupsi.
1. Setiap orang.
1. Setiap orang.
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi.
1. Setiap orang.
TPK-4
1. Setiap orang.
2. Memberi sesuatu.
TPK-5
1. Setiap orang.
4. Dengan mengingat kekuasaan a tau wewenang yang melekat pada jab a tan
a tau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat
pada jabatan atau kedudukan tersebut.
TPK-6
TPK-7
TPK-8
TPK-10
1. Setiap orang.
2. Memberi atau menjanjikan sesuatu.
3. Kepada hakim.
4. Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili.
TPK-11
1. Setiap orang.
2. Memberi atau menjanjikan sesuatu.
3. Kepada advokat yang menghadiri sidang pengadilan.
4. Dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili.
TPK-12
TPK-13
1. Hakim.
2. Menerima hadiah atau janji.
3. Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili.
TPK-14
TPK-15
TPK-16
TPK-17
TPK-18
TPK-19
TPK-20
TPK – 21
Pasal 12 huruf g:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
TPK – 22
Pasal 12 huruf f:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
(1) Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
TPK – 24
(1) Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
TPK – 25
(1) Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
c. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisisan Negara Republik Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara
dalam keadaan perang; atau
TPK – 26
(1) Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
TPK – 27
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang
menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisisan Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
TPK – 28
Pasal 12 huruf h:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
TPK – 29
Pasal 12 huruf i:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
TPK – 30
Pasal 12 B:
Pasal 12 C:
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku,
jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantas Tindak Pidana Korupsi.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebgaimana
dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dibawah ini ada catatan mengenai beberap konsep, baik secara umum dikenal
dalam KUHP atau KUHAP maupun yang khas untuk tindak pidana korupsi. Konsep-
konsep itu adalah:
5. “memperkaya” vs “menguntungkan”,
6. Pidana mati
7. Nullum delictum
8. Concursus idealis
9. Concursus realis
Mengenai hal ini, Andi Hamzah menanggapi: "... dakwaan Primair - Subsidiair
secara terbalik,.... menyimpang dari kebiasaan penyusunan surat dakwaan."
Lazimnya, Pasal 1 ayat (1) huruf a dari Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 yang
digunakan untuk dakwaan primair, dan Pasal 1 ayat (1) huruf b untuk dakwaan
subsidiair.
Selanjutnya, Andi Hamzah menulis:
Mengenai kerja sama dengan keikutsertaan (medeplegen) yang disebutkan
dalam KUHP Pasal 55 [untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
Badan dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana karena
jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara], Andi Hamzah menyebutnya sebagai konstruksi yang paling
sulit dibuktikan.
Kalau mereka bertiga (Akbar, Dadang, dan Winfried) bersama-sama
menguntungkan orang lain, maka pertanyaannya adalah (pertanyaan ini diajukan
Andi Hamzah): Siapa oran lain (yang diuntungkan) itu? Dadang dan Winfried adalah
swasta murni yang tidak punya jabatan atau kedudukan yang disalahgunakan.
Masalah kedua adalah: Bagaimana membuktikan berapa bagian mereka masing-
masing dari jumlah Rp40 miliar?
Selanjutnya, Andi Hamzah menulis: "Kelihatan dakwaan penuntut umum
bermaksud Akbar Tanjung menguntungkan orang lain (Dadang dan Winfried), dan
pada waktu yang bersamaan kedua orang itu menguntungkan diri mereka sendiri,
lalu mereka melakukannya bersama-sama (medeplegen). Konstruksi seperti ini
menurut Mahkamah Agung tidak logis.” Kalau Akbar menguntungkan kedua orang
lain itu, mereka berdua mestinya tidak dipidana. Padahal, baik Pengadilan Negeri
maupun Pengadilan Tinggi, memidana mereka berdua.
Masih ada kemungkinan lain. Bagaimana jika Dadang dan Winfried
menguntungkan diri sendiri, dan bukan Akbar yang menguntungkan mereka? Andi
Hamzah menyimpulkan "Jelas pikiran inilah yang ditempuh Mahkamah Agung."
Akbar diputus bebas. Sebaliknya Dadang dan Winfried dipidana berdasarkan
dakwaan subsidiair, yakni memperkaya diri sendiri secara bersama-sama (mereka
berdua).
Dalam kasus ini, Andi Hamzah merupakan saksi ahli yang pendapatnya
dikutip Mahkamah Agung. Pendapat beliau adalah penyerahan cek dari Bulog ke
Akbar belum ada tindak pidana. Tindak pidana terjadi saat sembako tidak dibeli.
Andi Hamzah berpendapat bahwa Akbar Tandjung seharusnya tidak didakwa
medeplegen dengan Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang, tetapi dengan
Pasal 415 KUHP juncto Pasal 1 ayat (1) huruf c dari Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971, yakni menggelapkan uang. Pendapat ini dikemukakannya di depan
Pengadilan Negeri, tetapi tidak dikutip oleh Mahkamah Agung.
Sebagai penutup. berikut ini ringkasan tuntutan dan pidana penjara dari kasus
yang dimulai tanggal 11 Februari 1999 (rapat terbatas dengan Presiden B. J.
Habibie) dan berakhir tanggal 12 Februari 2004 (persidangan Mahkamah Agung).
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;
dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun
selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi
yang memiliki makna.
Beban Pembuktian Terbalik
Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi
dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal
dari salah satu tindak pidana.
Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat
bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindakan
pidana korupsi maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan
perampasan barang-barang yang telah disita.
dan penjelasannya yang berbunyi sebagai berikut: “Ketentuan dalam ayat ini,
dimaksudkan pula untuk menyelamatkan kekayaan Negara”.
Karena orang itu telah meninggal dunia, kesempatan baginya banding tidak ada.
Setelah ia meninggal, pertanggungjawabannya dibatasi sampai pada perampasan
harta benda yang telah disita.
Pengalaman mengenai koruptor yang melarikan diri atau tidak hadir dalam
persidangan, diatasi dengan ketentuan mengenai pemidanaan secara in
absentia. Hal ini diatur dalam pasal 38 ayat 1, 2, 3, dan 4 Undang-Undang
Pemberantasan Tipikor yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di
sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat
diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan
dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan
saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya
dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh
penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor
Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
(4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas
putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pidana Mati
Maknanya dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundangundangan pidana yang telah ada”
Dalam kaitan dengan TPK, asas ini dikemukakan dalam dua kasus. Pertama
untuk kasus-kasus TPK yang dilakukan sebelum keluarnya suatu undang-undang,
tetapi diadili setelah keluarnya undang-undang tersebut. Kedua, sewaktu KPK
menangani kasus yang terjadi sebelum keuarnya Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan TPK, ada orang yang
mempertanyakan wewenang KPK dengan menggunakan asas nullum delictum
ini. Dalam kasus semacam ini, asas ini sebenarnya tidak dilanggar karena
substansi hukumnya sudah diatur dalam undang-undang yang mendahului TPK
itu. Yang terjadi kemudian adalah perluasan dari aparat yang menanganinya,
yakni dari polisi dan jaksa ke KPK.
Concursus Ideais
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka
yang dikenakan hanyasalah satu di antara aturan-aturan itu; jika
berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancamanpidana pokok
yang paling berat.
(2) Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum,
diatur pula dalam aturanpidana yang khusus, maka hanya yang khusus
itulah yang diterapkan.
Concursus Realis
Perbuatan Berlanjut
Perbuatan berlanjut ini diatur dalam Pasal 64 ayat 1 KUHP yang berbunyi
sebagai berikut.