Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH FILSAFAT HUKUM

PERANAN FILSAFAT HUKUM DALAM


PEMBENTUKAN KARAKTER

KELOMPOK 7

1903032 ABRANA
1903045 MUH RUSLI
1903057 AFTAR AKBAR
1903161 ST AISYAH
2003113 ALLIYAH DINDA ALIFAH

FAKULTAS HUKUM INSTITUT ILMU HUKUM DAN BISNIS ANDI SAPADA


2021-2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya ilmu

makin terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah kehidupan

yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk

menjawabnya. Filsafat memberi penjelasan atau jawaban substansial dan radikal atas

masalah tersebut. Sementara ilmu terus mengembangakan dirinya dalam batas-batas

wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal. Proses atau interaksi tersebut pada

dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh karena itu filsafat ilmu dapat

dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan ilmu,

sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak memandang

ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.

Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani

“philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah

philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari

zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian

sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti

kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas,

kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan

kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).

Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah

dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984),

secara harafiah filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah

pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah

realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika,

estetika dan teori pengetahuan.


Menurut Surajiyo (2010:1) secara etimologi  kata filsafat, yangg dalam bhs

Arab dikenal denganistilah falsafah dan dalam Bahasa Inggris di kenal dengan istilah

philoshophy adalah dari Bahasa Yunaniphiloshophia terdiri atas kata philein yang

berarti cinta (love) dan shopia yang berarti kebijaksanaan (wisdom), sehingga

secara etimologi istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam arti

yang sedalam-dalamnya.  Dengan demikian, seorang filsuf adalah pecinta atau

pencari kebijaksanaan.

Secara terminologi, menurut Surajiyo (2010: 4) filsafat adalah ilmu

pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan

menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat bukan mempersoalkan gejala-

gejala atau fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari sesuatu

fenomena. Hakikat adalah suatu prinsip yang menyatakan “sesuatu” adalah “sesuatu”

itu adanya. Filsafat mengkaji sesuatu yang ada dan yang mungkin ada secara

mendalam dan menyeluruh. Jadi filsafat merupakan induk segala ilmu.      

Susanto (2011:  6) menyatakan bahwa menurut Istilah, filsafat adalah ilmu

pengetahuan yang berupaya mengkaji tentang masalah-masalah yang muncul dan

berkenaan dengan segala sesuatu, baik yang sifatnya materi maupun immateri secara

sungguh-sungguh guna menemukan hakikat sesuatu yang sebenarnya, mencari

prinsip-prinsip kebenaran, serta berpikir secara rasional-logis, mendalam dan bebas,

sehingga dapat dimanfaatkan untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah

dalam kehidupan manusia. 

Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap

awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam

perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak

semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh

menurut Koento Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan refleksi yaitu berpikir

tentang pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus

persoalan filsafat.
B. Rumusan Masalah

1. Pengertian Filsafat Hukum dan Teori Hukum

2. Hubungan Hukum dan Moral

3. Moral Pelaksanaan Hukum


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kalau menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama

memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni

seorang ahli matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri

yang menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos”

(pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-

mata oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui

sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf

yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani.

Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam

semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The

Liang Gie, 1999).

Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang

ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang

mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan

pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus

mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984).

`Menurut Pendapat Michtar Kusumaatmaja, Mata Kuliah Filsafat Hukum

Sudah Tidak tepat lagi diberikan pasa Strata Satu (S-1). Hal ini Materinya terlalu

filosofis, abstrak dan hipotesis sehingga kurang dapat digunakan untuk memecahkan

permasalahan praktis yang justru menjadi tujuan pendidikan Strata Satu dalam

menghasilkan para pakar hukum profesional. Diberikannya mata kuliah filsafat

hukum dengan metri tersebut di atas kurang mendukung sifat profesionalisme itu tadi.

Mochtar kusumaatmadja mengusulkan agar mata kuliah filsafat hukum dipindahkan

ke Strata Dua (S-2) dan strata tiga (S-3) yang merupakan jenjang pendidikan kademis

hukum. Padangan ini ditentang oleh beberapa pakar filsafat hukum yang menganggap

bahwa mata kuliah filsafat hukum masih perlu diberikan pada tingkat strata satu.

Landasan teoritis perludiberikan sebagai bekal bagi para pakar hukum profesional
dalam menjalankan pekerjaannya sehari-hari di masyarakat sebab bagaimanapun

pengertian semacam keadilan, ketertiban dan masalah-masalah hukum yang mendasar

lainnya sangat penting dalam memahami masalah-masalah hukum yang dihadapi

dalam pekerjaan tadi.dikemukakan oleh pakarnya sejak dulu hingga sekrang beberapa

perumusan dan uraian tersebut sebagai berikut

Soetikno (1976;10) Merumuskan

“Filsafat Hukum mencari hakikat daripada hukum yang menyelidiki kaidah

hukum sebagai pertimbangan nilai-nilai”.

L. Bander O.P ( (1948 : 11)

“De rechtsphilosophie of wijsbegeerte van het recht is een weten chap, die

deel ultimaakt van de pholosophie”.

Purnadi Purbacacaraka dan Soerjono Soekanto(1979:11) mengatakan :

“Filasafat hukum adalah perenungan dan perum,usan nilai-nilai;

kecuali itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai misalnya :

penyerasian antara keretiban dan antara kelanggengan konvervatisme

dengan pembaharuan”

Ahli hukum J. Van Kan (1983:13) memberikan pendapat defisi hukum adalah

sebagai keseluruhan ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, melindungi

kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat. Dan Hans Kelsen mengatakan

definisi hukum adalah norma-norma yang mengatur bagaimana seseorang harus

berperilaku. Sedangkan Soerjono Soekanto (1984:2-4) berpendapat sembilan arti

hukum adalah : 1) sebagai ilmu pengetahuan, 2) sebagai disiplin, 3) sebagai norma, 4)

sebagai tata hukum, 5) sebagai petugas, 6) sebagai keputusan penguasa, 7) sebagai

proses pemerintahan, 8) sebagai sikap, atau perikelakuan yang teratur, dan 9) sebagai

jalinan nilai-nilai.

Namun, untuk menghindari perdebatan panjang yang belum tentu usai, penulis

mengemukakan pengertian filsafat untuk definisi kerja semata serta sebagai

pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat yang ada, sebab,

asal muasal, dan hukumnya. Filsafat atau juga ilmu filsafat, sebagaimana
dikemukakan di awal tulisan ini, mempunyai beberapa cabang ilmu utama. Cabang

ilmu utama dari filsafat adalah ontologi, epistemologi, aksiologi, dan moral (etika).

Ontologi (metafisika) membahas hakikat mendasar atas keberadaan sesuatu.

Epistemologi membahas pengetahuan yang diperoleh manusia, misalnya mengenai

asal (sumber) dari mana sajakah pengetahuan itu diperoleh manusia, apakah ukuran

kebenaran pengetahuan yang telah diperoleh manusia itu, dan bagaimanakah susunan

pengetahuan yang sudah diperoleh manusia. Ilmu tentang nilai atau aksiologi adalah

bagian dari filsafat yang khusus membahas hakikat nilai yang berkaitan dengan

sesuatu. Kemudian, filsafat moral membahas nilai yang berkaitan dengan tingkah

laku manusia. Nilai di sini mencakup baik dan buruk serta benar dan salah. Dalam

penulisan ini, filsafat berfungsi sebagai metode atau sebagai cara berpikir secara

reflektif (mendalam), penyelidikan yang menggunakan alasan, berpikir secara hati-

hati, dan teliti.


BAB III
PEMBAHASAN

A. FILSAFAT HUKUM DAN TEORI HUKUM

Filsafat hukum adalah cabang dari filsafat yaitu filsafat etika atau tingkah laku

yang mempelajari hakikat hukum. Filsafat hukum memiliki objek yaitu hukum yang

dibahas dan dikaji secara mendalam sampai pada inti atau hakikatnya. Pertanyaan

yang mungkin tidak dapat dijawab oleh cabang ilmu hukum lainnya merupakan tugas

dari filsafat hukum untuk menemukannya. Bila ingin menarik pengertian filsafat

hukum, maka harus terlebih dahulu mempelajari akan hukum itu sendiri. Seperti

pertanyaan, apakah hukum itu juga merupakan tugas dari filsafat hukum, karena

sampai saat ini belum ditemukan definisi dari hukum itu secara universal, karena

pendapat para ahli hukum berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang mereka sendiri.

Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar

dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-dasar

dari kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang

bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan

kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, tetapi

masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum

positif  hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan

konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang,  serta sistem

hukumnya sendiri.

Paton juga mengemukakan ruang lingkup filsafat hukum diantaranya:

Pure science of law: berusaha menemukan unsur-unsur ilmu hukum murni berupa

faktor yang diakui kebenarannya secara universal, terlepas dari profesinya pandangan

yang etis dan sosiologis;

Sociological jurisprudence: yang menganggap bahwa pure science of law

sangat terbatas dkaitkan dengan kehadiran hukum itu, yang pada sesungguhnya

befungsi untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial;


Theological jurisprudence: yang menganggap lingkup penyelidikan filsafat

hukum sebagai produk dari pemikiran manusia yang berkaitan erat dengan

tujuannya. 

Menurut Pendapat Michtar Kusumaatmaja, Mata Kuliah Filsafat Hukum

Sudah Tidak tepat lagi diberikan pasa Strata Satu (S-1). Hal ini Materinya terlalu

filosofis, abstrak dan hipotesis sehingga kurang dapat digunakan untuk memecahkan

permasalahan praktis yang justru menjadi tujuan pendidikan Strata Satu dalam

menghasilkan para pakar hukum profesional. Diberikannya mata kuliah filsafat

hukum dengan metri tersebut di atas kurang mendukung sifat profesionalisme itu tadi.

Mochtar kusumaatmadja mengusulkan agar mata kuliah filsafat hukum dipindahkan

ke Strata Dua (S-2) dan strata tiga (S-3) yang merupakan jenjang pendidikan kademis

hukum. Padangan ini ditentang oleh beberapa pakar filsafat hukum yang menganggap

bahwa mata kuliah filsafat hukum masih perlu diberikan pada tingkat strata satu.

Landasan teoritis perludiberikan sebagai bekal bagi para pakar hukum profesional

dalam menjalankan pekerjaannya sehari-hari di masyarakat sebab bagaimanapun

pengertian semacam keadilan, ketertiban dan masalah-masalah hukum yang mendasar

lainnya sangat penting dalam memahami masalah-masalah hukum yang dihadapi

dalam pekerjaan tadi.dikemukakan oleh pakarnya sejak dulu hingga sekrang beberapa

perumusan dan uraian tersebut sebagai berikut

Soetikno (1976;10) Merumuskan

“Filsafat Hukum mencari hakikat daripada hukum yang menyelidiki kaidah

hukum sebagai pertimbangan nilai-nilai”.

L. Bander O.P ( (1948 : 11)

“De rechtsphilosophie of wijsbegeerte van het recht is een weten chap, die

deel ultimaakt van de pholosophie”.

Purnadi Purbacacaraka dan Soerjono Soekanto(1979:11) mengatakan :

“Filasafat hukum adalah perenungan dan perum,usan nilai-nilai; kecuali itu

filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai misalnya : penyerasian


antara keretiban dan antara kelanggengan konvervatisme dengan

pembaharuan”

Istilah filsafat hukum tampaknya merupakan istilah yang lazim dipergunakan

di lingkungan fakultas di Indonesia. Pada masa Hindia Belada dahulu. Istilah yang

dipergunakan di rechtshogeschool ialah wijsbegeerte van het recht. Istilah ini sam,a

artinya dengan rechtphilosophie yang banyak digunakan penulis filsafat hukum

belanda. Peulis Jerman menggunakan Rechtsphilosophie.

Tidak dapatkah ilmu pengetahuan hukum menjawabnya? Dapat : Hanya tidak

dapat ia memberikan jawaban yang serba memuaskan, Karena ia tidak lain dari Pada

jawaban sepihak, karenamilmu pengetahuan hukum hanya melihat apa yang dapat

dilihat dengan pancaindra, bukan melihat dunia hukum yanh tidak dapat dilihat. Yang

tersembuyi didalamya ; ia semata mata melihat hukum sebagai dan sepajangh ia

menjelma dalam perbuatan mausia, dalam kebiasaan hukum.

Kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai terletak diluar

pandangannya. Kaidah-kaidah hukum termasuk dunia yag lain daripada kebiasaan-

kebiasaan hukum; kaidah hukum bukan termauk dunia kenyataan, dui “Sein”, dunia

alam (Natur), melainkan termasuk dunia yang lain dari dunia “sollen” dan “mogen”,

jadi termasuk dunia yang laindari dunia penyedik ilmu pengetahuan. Dimana Ilmu

pengetahua berakhir, disanalah mulai filsafat hukum; ia mempelajari pertanyaan

pertanyaan yagbtidak terjawab oleh ilmu pengetahuan. Jumlah pertanyaan tersebut

tidak terhingga banyakaya, ilmu pengetahuan tidak memberi jawaban satupun juga

atas pertanyaan hukum tersebut. Segala pertanyaan hukum dapat merupakan objek

pertimbangan filsafat, sebagaimana juga socrates membuat hal-hal dari hidup sehari-

hari yang biasa sebagai titik pangkal dari pandangan-pandangan filsafatnya. Akan

tetapi, ahli filsafat hukum pada hakikatnya lebih suka mempelajari pertanyaan-

pertanyaan yang terpenting.

Apa yang dimaksud dengan itu merupakan pula suatu penilaian dalam

pandagan seorang penyidik yang memegang peranan yang penting. Keadaan waktu

dapat mempengaruhi pandangan itu, sepajang ia dapat membuat pertanyaan-


pertanyaan yang tentu menjadi masalah masalah yang penting. Namun juuga

pertanyaan pertanyaan pokok, yang menjawabnya rupa-rupanya merupakan

permulaan dari segala kepandaian juridik dan justru karena itu adalah sukar.

Pertanyaan-pertanyaan yag timbul dengan mendesak pada tiap-tiap manusia yang

memikirkan keadilan dan ketidak adilan, dan yang juga dipelajari oleh ahli-ahli pikir

besar-besaran dari setiap zaman.

Filsafat hukum berusaha membuat “Dunia etis yang mebjadi latar belakang

yang tidak dapat diraba oleh pancaindra”. Filsafat hukum menjadi suatu ilmu

normatif, seperti halnya dengan(ilmu) politik hukum. Filsafat hukum berusaha

mencari suatu “rechtsideal” yang dapat menjadi “dasar hukum” dan “Etis”

bagiberlakunya sistem hukum positif suatu masyarakat.

Teori memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami

masalah yang kita bicarakan secara lebih baik. Teori memberikan penjelasan dengan

cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan Terdapat

keragu-raguan dari para akademisi tentang tempat dari disiplin teori hukum dengan

filsafat hukum, ilmu hukum, hukum normatif dan hukum positif. Ada yang

menyamakan antara filsafat hukum dengan teori hukum. Menurut Imre Lakatos, teori

adalah hasil pemikiran yang tidak akan musnah dan hilang begitu saja ketika teori

lainnya pada dasarnya merupakan keanekaragaman dalam sebuah penelitian. Teori di

sini berisi:

1.      Memahkotai system

2.      Terdiri atas hokum-hukum ilmiah

3.      Pernyataan-pernyataan umum yang memuat hubungan teratur antara fakta atau

gejala

4.      Berfungsi untuk member eksplanasi, prediksi dan pemahaman terhadap berbagai

fakta atau gejala


Mengenai definisi teori hokum, belum adanya satu definisi yang baku. Banyak

pendapat para ahli mengenai disiplin teori hokum, antara lain:

a.  Hans Kelsen

Teori hokum adalah ilmu pengetahuan mnegenai hokum yang berlaku bukan

mengenai hokum yang seharusnya. Teori hukum yang dimaksud adalah teori

hukum murni, yang disebut teori hukum positif. Teori hukum murni,

makdusnya karena ia hanya menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan

objek penjelasan dari segala hal yang tidak bersangkut paut dengan hukum.

Sebagai teori, ia menjelaskan apa itu hukum, dan bagaimana ia ada.

b.  Friedman

Teori hokum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari esensi hokum yang

berkaitan antara filsafat hokum di satu sisi dan teori politik di sisi lain. disiplin

teori hukum tidak mendapatkan tempat sebagai ilmu yang mandiri, maka

disiplin teori hukum harus mendapatkan tempat di dalam disiplin ilmu hukum

secara mandiri

c. Ian Mc Leod

Teori hokum adalah suatu yang mengarah kepada analisis teoritik secara

sistematis terhadap sifat-sifat dasar hokum, aturan-aturan hokum atau intitusi

hokum secara umum.

d. John Finch

Teori hokum adalah studi yang meliputi karakteristik esensial pada hokum

dan kebiasaan yang sifatnya umum pada sutau system hokum yang bertujuan

menganalisis unsure-unsur dasar yang membuatnya menjadi hokum dan

membedakannya dari peraturan-peraturan lain.

e. Jan Gijssels dan Mark van Hocke

Teori hokum adalah ilmu yang bersifat menerangkan atau menjelaskan

tentang hokum.
Dari penjelasan di atas, Lili Rasjidi dan Ira Thania Rashidi mencoba

membedakan antara teori hukum dengan filsafat hukum. Teori hukum adalah ilmu

yang mempelajari pengetian-pengertian pokok dan sistem dari hukum. Pengertian-

pengertian pokok seperti itu misalnya subjek hukum, perbuatan hukum, dan lain-lain

yang memiliki pengertian yang bersifat umum dan teknis. Pengertian-pengertian

pokok ini sangat penting supaya dapat memahami sistem hukum pada umumnya

maupun pada sistem hukum positif.

Selanjutnya Lili Rasjidi dan Ira Thania menjelaskan bahwa teori hukum

merefleksikan objek dan metode dari berbagai bentuk ilmu hukum Terdapat dua

pandangan besar mengenai teori hukum yang bertolak belakang namun ada dalam

satu realitas, seperti ungkapan gambaran sebuah mata uang yang memiliki dua belah

bagian yang berbeda. Pertama, pandangan yang didukung oleh tiga argumen yaitu

pandangna bahwa hokum sebagai suatu sistem yang pada prinsipnya dapat diprediksi

dari pengetahuan yang akurat tentang kondis sistem itu sekarang, perilaku sistem

ditentukan oleh bagian-bagian yang terkecil dari sistem itu dan teori hukum mampu

menjelaskan persoalannya sebagaimana adanya tanpa berkaitan dengan orang

(pengamat). Hal ini membawa kita kepada pandangan bahwa teori hukum itu

deterministik, reduksionis, dan realistik. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa

hukum bukanlah sebagai suatu sistem yang teratur tetap merupakan sebagai sesuatu

yang berkaitan dengan ketidakberatuan, tidak dapat diramalkan, dan bahwa hukum

sangat dipengaruhi oleh [ersepsi orang (pengamat) dalam memaknai hukum tersebut.

Pandangan ini banyak dikemukakan oleh mereka yang beraliran sosiologis dan post-

modernis, dimana mereka memandang bahwa pada setiap waktu mengalami

perubahan, baik kecil maupun yang besar, evolutif maupun revolusioner

Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif.

Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah

filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum. Teori

hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun

Romawi. Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan
yang terpenting dari filsafat agama, etika atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar

pada awalnya adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan

terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum

dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah adanya

perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian hukum.

Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum.

Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran

para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya.

Teori hukum para ahli hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran

skolastik, didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang

hukum itu sendiri (Alan Banjarnahor,

B. HUBUNGAN HUKUM DAN MORAL

Masyarakat umum yang merasa dikurangi atau dilanggar haknya oleh pihak lain

mengingikan ia mendapat keadilan sebagaimana yang dituntut oleh moralitas yang

hidup di masyarakat. Seringkali memang mesyarakat menyamakan saja atara yang

immoral dengan illegal (Mark Tebbit, 2005:4).

Pandangan keliru ini pada gilirannya membuka gilirannya membuka peluang

bagi terjadinya sikap main hakim sendiri seperti vandalism. Memang ada kebutuhan

untuk membedakan hukum dan moralitas meskipun keduanya tidak mungkin

dipisahkan secara absolut. Hukum pada dasarnya adalah seperangkat aturan yang

didominasi oleh larangan bukan perintah untuk melakukan sebuah tindakan. Dalam

beberapa kasus pelaggaran hukum tidak selalu disertai oleh pelaggaran moralitas.

Mungkin tepat untuk menyatakan hukum dipandang berfungsi sebagai moralitas

minimal yang didasarkan pada kebutuhan atas pengekangan semata. Lebih dari itu

terbuka kemungkinan bagi moralitas sebagai penuntun atau aspirasi dalam

pembentukan sebuah hukum (Pranto iskandar, 2011:12)

Kalau hukum dipahami sebagai perangkat aturan yang memuat larangan

dengan sanksi yag tegas dan nyata serta memaksa, maka moral atau moralitas setidak-

tidaknya merupakan usaha untuk membimbing tindakan seseorang dengan akal, yakni
untuk melakukan apa yang paling baik menurut akal seraya memberikan bobot yang

sama menyangkut kepentingan setiap invidu yang akan terkena oleh tindakan itu.

Disini perlu kita mengerti pelaku moral yang sadar yaitu seseorang yang

mempunyai keprihatinan, tanpa pandang bulu terhadap kepentingan setiap orang yang

terkena akibat dari yang ia lakukan, dia dengan hati-hati menggeser fakta dan

meneliti implikasi implikasinya, dia menerima prinsip prinsup tingkah laku hanya

setelah menyelidikinya dengan seksama untuk memperoleh kapasitas bahwa prinsip-

prinsip itu sehat (AM laot kian, 2003:112-113)

Dari paparan tersebut belum terlalu jelas tentang hubungan hukum dengan

moralitas, dan adalah benar tidak gampang mejelaskan hubungan hukum dengan

moralitas karena keduanya punya karakteristik yang berbeda meskipun beroperasi

pada wilayah yang sama yaitu dalam kehidupan masyarakat nyata.

1. Mendapatkan Gambaran Utuh

Untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang hubungan hukum dan filsafat

hukum serta moralitas.

2. Hubungan Hukum dan Moral

Antara Hukum dan Moralitas memang tidak terpisahkan , karena sebenarnya

hukum itu merupakan bagian tuntutan moral yang dialami manusia dalam

hidupnya. Ilustrasi ini mengharuskan orang hidup berkoeksistensi sesuai prinsip-

prinsip moral dan karenanya dalam membentuk pertauran-peraturan baik dalam

bentuk undang-undang maupun peraturan lainnya secara tertulis dan tidak tertulis

serta menjadi hukum positif harus berlandaskan moral yang sakral dan

konstruktif. Jika dalam penyelesaian sengketa hukum megabaikan moral pasti

medapatkan keadilan yang bersifat semu (Agus Santoso, 2012:90).

Sementara itu menurut hans kelsen dalam bukunya “Teori Hukum Murni”

menyatakan kemurnian eksistensi ilmu hukum menjadi terancam tidak hanya

karena di abaikannya penghalang yang memisahkannya dari ilmu alam namun

juga karena ilmu hukum tidak terpisahkan dari etika yakni karena tidak adanya
perbedaan yang jelas antara hukum dan moral. Kenyataannya memang antara

hukum dan moral terdapat hubungan yang erat yang tak terpisahkan.

Karakter Sosial moral kadang dipertanyakan dengan menjuk pada norma-

norma moral yang menetapkan suatu perilaku bukan kepada individu melainkan

pada diri sendiri belum meluas pada kesadaran orang dalam hidup

bermasyarakat. Dalam konteks ini perilaku mejadi objek dalm norma moral atau

masyarakat. Membicarakan hukum dan moral menjadi penting karena keduanya

menopang kelangsugan hidup manusia. Perbedaan antara moral dan hukum tidak

terkait dengan perilaku yang diwajibkan kepada manusia oleh norma yang datang

dari tatanan sosial. Buuh diri boleh jadi dilarang tidak hanya oleh moral namun

juga oleh hukum, keberanian menolong orang yang dalam keadaan bahaya dan

hidup sederhana boleh jadi merupakan kewajiban moral sekaligus kewajiban

hukum. Baik hukum maupun moral keduanya dapat berguna mewujudkan

kebaikan hidup dan keadilan dalam hidup bersama. Jika memahami hukum dan

moral bekerja pada tatanan sosial meuju kebaikan, kedamaian dan keadilan,

maka tidak terlalu penting untuk membedakan keduanya.

Meskipun demikian hukumdan moral dalam hal tertentu masih perlu

dibedakan baik dalam tatanan ilmiah, maupundalam tatanan praktis. Perbedaan

mendasar antara hukum dan moral adalah yang mana hukum merupakan tatanan

pemaksa yaitu sebuah tatanan nirma-norma yang berupaya mewujudkan perilaku

tertentu dengan meberikan tindakan paksa yang diorganisir secara sosial dan

melembbaga pada perilaku menyimpang.

3. Hubungan Moral dan Keadilan

Tegakya hukum dalam suatu masyarakat dimana keadilan dapat dirasakan

oleh sebagian besar masyarakat merupakan pintu masuk untuk menjelaskan

adanya hubungan antara moral dan keadilan. Logikanya, tidak mungkin hukum

dan keadilan dapat ditegakkan ditengah masyarakat tanpa dukungan

masyarakatnya yag bermoral dan bertingkah laku yang baik.


Keadilan merupakan salah satu sagmen moralitas tapi bukan terutama terkait

dengan cara-cara diperlakukannya keals-kelas individu. Hal ini lah yang

memunculkan relevansi khusus bagi keadilan dalam kritik hukum dan kritik

lembaga-lembaga sosial publik lainnya.

Prinsip keadilan tidak menjelaskan secara tuntas ide moralitas dan tidak

semua kritik hukum dibuat diatas pijakan moral atau dibuat atas nama keadilan.

Hukum bisa jadi dicela sebagai hal yang secara moral buruk hanya karena ia

menuntut orang-orang untuk melakukan tindakan yang dilarang oleh moralitas

atau sebaliknya karena ia menuntut orang-orang untuk tidak melakukan hal-hal

yang diwajibkan secara moral. Dalam hubunga ini filsafat moral harus mampu

menjelaskan bahwa antara moral dan keadilan hukum memang tidak perlu

dipertimbangkan karena tujuan akhirnya adalah kebaikan hidup manusia yang

mampu mengelola masalah secara arif, bijaksana serta sesuai nilai kebenaran

(HLA Hart, 2009:260).

Selanjutnya untuk membicarakan pengertian keadilan dalam konteks moral

tidaklah lengkap tanpa menyebutkan John Rawls dimana menurutnya suatu

prosedur perumusan konsep-konsep keadilan hanya mampu mejamin lahirnya

prinsip prinsip keadilan apabila prosedur itu ditandai dan disemangati oleh

konsep yang tepat mengeai person moral. Konsep person moral inilah yang pada

akhirnya menentukan isi darim prinnsip pertama kedalam prisip yang lebih luas.

Selanjutnya Seluruh konsep yang tepat mengenai person moral harus menjadi

patokan bagi seluruh teori keadilan. Dengan medasarkan diri pada kemampuan

moral manusia, rawls memperlihatkan bahwa suatu konsep moral harusnya

dipertanggung jawabkan demi keadilan dengan tidak berlari kepada seuatu yang

eksternal terhadap manusia, melainkan pada sesuatu yang memang fundamental

ada pada manusia itu sendiri.

Dalam konteks berfikir tentang kaitan moral dan keadilan, Rawls nampaknya

sependapat dengan Immanuel Kant dimana seseorang harus diperlakukan sebagai


tujuan dalam dirinya sendiri dan bukan sebagai alat demi kepentingan apapun

diluar manusia itu sendiri (Andre Ata Ujan, 2001:38-39).

Sementara itu John Stuart Mill (1806-1876) dari aliran utilitarisme juga

menekankan persyaratan moral sebagai hal yang esensial dan hakiki bagi

terwujudnya keadilan dan kesejahteraan manusia. Aspek atau bidang moral

adalah bidang kehidupan manusi yang selalu tetap menik untuk dikaji, dimana

manusia diamati dari segi kebaikannya sebagai manusia, sedagkamn norma dan

moral adalah tolok ukur untuk menentukan benarsalahya sikap dan tindakan

manusia sebagai insan dan bukan sebagai pelaku peran tertentu. Dengan norma

moral kita betul-betul dinilai dan itu sebabnya penilaian moral selalu bebobot

tinggi (Suseno, 1988:19).

C. MORAL DAN PELAKSANAAN HUKUM

Pada hukum atau orang yang telah dikenai kewajiban untuk berbuat

hukum, baik selaku penggerak hukum maupun sebjek hukum lainnya adalah inti yang

menggerakkan hukum. Hukum menuju pada keadilan, kebenaran dan nilai-nilai etik

yang lain sangat ditentukan oleh manusia yang menggerakkan sekaligus menegakkan

hukum denga kukuh sebagai bagian dari komponen struktur hukum. Telaah atas

moral para pelaku hukum mejadi penting setidaknya disebabkan oleh beberapa hal:

1. Hukum merupakan kehendak Ilahi yang diturunkan kepada manusia.

Dengan hukumm itu meusia dapat mengendalikan hubungan antara diriya

dan manusia lain. Dengannya setiap manusia membatasi perilaku yang

dapat merugikan hak orang lain. Pada saat yag sama hukum hayalah

setumpuk tulisan tanpa makna ketika manusi-manusia yang menjalankan

hukum tidak mampu melaksanakan kehendak-kehendak Ilahi tersebut.

2. Kehedak Ilahi berkaitan dengan kehedak bebas manusia. Ia memiliki

kebebasan dengan akal pikiranya, akan tetapi kebebasan itu terikat pada

ilai-nilai, norma-norma sebagai pengendali. Kebebasan yang akan

dilakukannya akan menjadi tapa batas ketika hukum mendiamkan perilaku


yang tak terbatas. Pada titik ini hukum hanya menjadi serpihan tanpa

maknaketika manusia yang menegakkannya tidak memiliki akhlak Ilahi.

3. Ahklah para pengemban amanah hukum adalah hal yang mutlak. Ditangan

mausia berakhlak, maka hukum dapat dijalankan sekaligus ditegakkan

secara adil. Banyak pemerhati hukum yang sering melewatkan tinjauan

akhlak sebagai inti dari perilaku kebijakan yang akan menjalankan hukum

ke arak kebaikan. Membersihkan kejahatan dimulai dari diri kita

membersihkan jiwa dan hati sendiri. Dalam bab ini akan dicoba melihat titik

taut antara hukum dan akhlak para pengemban amanah melaksanakan

hukum untuk melihat gerak dinamika hukum.

Dalam bab ii dicoba utuk memadukan konsep ilmu yang ada dalam akal dan

keyakinan yang ada dalam ruang hari, dimana kebenaran dapat diperoleh melaui dua

jalan yag terpadi yaitu akal dan hati. Konsep islam yag membangun

strukturkonstruksi moral bagi pengemban amanah hukum memadukan dua keutaman

akal dan hati. Gerak kreasi Allah SWT tidak dapat dipahami oleh semata kekuatan

akal atau iman. Ia bukanlah pilihan fakultatif bagi indra manusia, melainkan kesatuan

rancang bangun yang saling menguatkan.

Ketika seorang pengemban hukum bertindak, maka tindakannya harus dilandasi

oleh akan dan keyakinan keimanan yang melekat dalam hati sebagai suatu kekuatan

keimanan yang melekat dalam hati sebagai satu kekuatan pendorong untuk

membentuk keadilan hukum.

Anda mungkin juga menyukai