Anda di halaman 1dari 2

5.

Tata Cara Penanganan


Untuk melaksanakan penertiban dan penegakan hukum terhadap penguasaan dan atau perdagangan satwa liar
yang dilindungi undang-undang dan atau habitatnya diseluruh wilayah Republik Indonesia, dilaksanakan
berdasarkan petunjuk pelaksanaan (selanjutnya disebut juklak) sebagaimana diatur dalam lampiran Instruksi
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 762 Tahun 2001 Tentang Penertiban dan
Penegakan Hukum Terhadap Penguasaan dan atau Perdagangan Orangutan dan Satwa Liar yang Dilindungi
Undang-Undang Beserta Habitatnya. Berdasarkan juklak ini setiap kegiatan penegakan hukum dilakukan dengan
tata cara sesuai dengan KUHAP beserta peraturan pelaksananya. Namun demikian, ada beberapa ketentuan
mengenai cara memperoleh barang bukti tindak pidana terhadap konservasi sumber daya alam hayati berupa
tumbuhan dan satwa liar dilindungi yang merupakan lex spesialis dari ketentuan KUHAP. Diantaranya sebagai
berikut:
a. Barang bukti berupa satwa yang dilindungi lainnya, setelah disita atau dalam hal satwa diserahkan secara
sukarela oleh pelaku pelanggar undang-undang atau yang menguasainya, maka satwa yang dilindungi
tersebut ditempatkan di kandang transit atau dititipkan di tempat lain yang representatif (kebun binatang,
taman burung, dan sebagainya). Selama masih dalam proses hukum, satwa lersebut menjadi tanggung jawab
penyidik PPNS/POLRI/Direktorat Jenderal PHKA dan atau yang menerima titipan, sesuai dengan tingkat
proses yang dimaksud. Apabila tidak tersedia dana pemeliharaan barang sitaan pada Departemen Kehutanan,
seluruh biaya pemeliharaan dapat dibebankan kepada bantuan dari berbagai pihak pemerhati kelestarian
satwa yang tidak mengikat.
b. Untuk menghindari adanya kematian satwa yang berstatus sebagai barang bukti perkara (dalam proses
penyidikan atau penuntutan), maka satwa yang masih hidup diserahkan atau dikirim dengan segera ke pusat
reintroduksi satwa yang dilindungi (Wanariset Samboja atau cabang-cabangnya dan pusat-pusat reintroduksi
satwa lainnya) untuk dilakukan penanganan sesuai dengan tata cara yang telah ditetapkan. 133
c. Penyerahan/pengiriman satwa dilakukan dengan membuat berita acara sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Sebagai pengganti barang bukti dapat berupa foto-foto atau contoh dari barang bukti.
d. Apabila satwa diserahkan dengan sukarela oleh masyarakat, maka proses penerimaan dari yang
bersangkutan, pengiriman/penerimaan satwa tersebut ke dan di pusat reintroduksi orangutan atau satwa
yang dilindungi lainnya dibuat berita acaranya, yang memuat antara lain identitas orang yang menyerahkan,
asal usul/sejarah satwa, jenis dan kondisi satwa, dan data lain yang diperlukan. Apabila tidak tersedia dana
pemeliharaan dan evakuasi satwa yang diserahkan pada Departemen Kehutanan, seluruh biaya pemeliharaan
dibebankan kepada bantuan dari berbagai pihak pemerhati kelestarian satwa yang tidak mengikat.
e. Setelah satwa diterima di pusat kegiatan reintroduksi satwa, penanganannya dilakukan oleh
penanggungjawab pusat reintroduksi satwa bersangkutan sesuai dengan prosedur atau metode yang berlaku
di tempat yang bersangkutan.
f. Setiap kegiatan penegakan hukum harus dilakukan rekaman-rekaman, baik dengan pembuatan foto-foto, film
video, pembuatan berita acara, maupun dengan membuat rekaman wawancara (dengan tape- recorder).
g. Penegakan hukum dapat didahului dengan pre-emtif, antara lain dengan melakukan pendekatan persuasif,
dengan maksud agar mereka yang sedang menguasai satwa yang dilindungi menyerahkan dengan sukarela
satwa yang dimaksud. Kegiatan dengan cara ini dilaksanakan dengan ketentuan, sebagai berikut:
1) Kegiatan tetap harus di-back up dengan aparat KSDA atau Tim yang siap untuk melakukan penegakan
hukum secara represif;
2) Apabila setelah pre-emtif dengan pendekatan persuasif tidak berhasil (gagal) karena yang bersangkutan
tidak jadi atau berubah pendirian dengan tidak menyerahkan satwa yang dimaksud, maka tim yang telah
dipersiapkan untuk melakukan tindakan represif dapat langsung datang ketempat kejadian perkara (TKP)
untuk melakukan tindakan hukum dengan melakukan penyitaan satwa yang dilindungi atau dikuasai
oleh masyarakat tersebut. Hal ini dimaksudkan agar satwa tidak sempat dipindahkan/dialihkan ke
tempat lain sehingga barang bukti (satwa) tidak hilang dan upaya penegakan hukumnya menjadi lebih
mudah.
3) Sedapat mungkin dalam tindakan represif agar tersangka ditangkap/ditahan untuk segera diproses
penyidikan dan penuntutannya.
4) Apabila tersangka ditangkap dan ditahan, agar dikoordinasikan dengan POLRI setempat, dan sepanjang
PPNS Kehutanan belum mempunyai sarana Rumah Tahanan (RUTAN) sendiri maka tersangka dititipkan
di RUTAN yang ada di Kepolisian atau yang ditunjuknya.

Setelah dilakukan tindakan penegakan hukumnya, maka harus ditindaklanjuti sebagai berikut:

a. Evakuasi satwa yang dilindungi terlebih dahulu dilakukan serah terima dari petugas penyerah (Wakil
Direktorat Jenderal PHPA/Kepala BKSDA/Unit KSDA/Taman Nasional alau PPNS) kepada
pembawa/pengangkut, dan dibuat berita acaranya.
b. Evakuasi satwa yang dilindungi lainnya, dilakukan dengan memperhatikan kondisi satwa yang dilindungi
tersebut.
c. Menggunakan cara-cara yang nyaman bagi satwa dimaksud dalam memperlakukan satwa sehingga tidak
mengalami gangguan fisik (luka) dan kejiwaan (stress).
d. Bagi satwa yang memerlukan pembiusan supaya dijaga agar satwa tetap sehat. Untuk maksud tersebut agar
digunakan teknik pembiusan yang baik dan benar, sesuai dengan tata cara yang lazim dalam ilmu kedokteran
hewan.
e. Evakuasi satwa harus dilakukan dengan menggunakan kandang- kandang transport (angkut) yang kuat dan
baik, yang ukurannya disesuaikan dengan satwa yang dievakuasi, sehingga kandang tidak mudah rusak dan
aman (tidak menimbulkan luka, dan sebagainya) bagi satwa yang dievakuasi.
f. Setelah satwa sampai ditempat tujuan (pusat reintroduksi), dilakukan serah terima dari pembawa kepada
pejabat unit kerja pusat reintroduksi) dan dibuat berita acaranya.
g. Selanjutnya penanganan satwa yang dilindungi menjadi tanggung jawab pusat reintroduksi satwa yang
dimaksud

Satwa-satwa yang diperoleh dari hasil penyitaan akan mendapatkan perawatan di PPS. Sebelum menghuni PPS, satwa
tersebut dimasukkan ke dalam kandang karantina terlebih dahulu untuk mendapatkan perawatan atas sakit atau luka
yang diderita hingga sembuh. Setelah mendapatkan perawatan, satwa-satwa itu harus diisolasi di kandang isolasi,
sehingga petugas PPS bisa melihat apakah satwa-satwa yang disita masih memiliki sifat buas dan liar atau tidak.

Sifat-sifat keliaran dan kebuasan tersebut bisa dijadikan patokan, apakah satwa-satwa itu bisa segera dilepas kembali ke
habitatnya atau harus ditahan sementara sambil petugas melatih supaya sifat liarnya muncul kembali. Apabila satwa itu
tidak mungkin dilepas, petugas akan segera menempatkan satwa-satwa tersebut di kandang perawatan. Tidak ada
ukuran waktu yang jelas dan pasti hingga berapa lama satwa-satwa liar itu ada di kandang perawatan. Begitu satwa
dinilai telah siap, petugas akan segera melepasliarkannya.

Khusus satwa yang sejak awal sudah tidak mungkin dilepas di habitatnya, petugas PPS akan menempatkan satwa-satwa
tersebut di penangkaran atau dilepas ke lembaga penangkaran lainnya. Apabila sejak awal satwa itu memungkinkan
untuk dilepas kembali ke habitat semula, petugas PPS akan segera memasukkan satwa ke kandang observasi.
Selanjutnya petugas dan dokter hewan akan mencermati, apakah satwa siap dilepas atau tidak. Ketika petugas
mencermati satwa tidak siap, satwa harus segera dimasukkan ke dalam kandang perawatan bersama satwa yang tidak
siap dilepas. Sebaliknya, apabila satwa siap, maka satwa itu akan segera mendapat sosialisasi mengenai cara-cara hidup
di alam bebas, cara memangsa makanan, hingga cara bergaul.

6. Dakwaan berbentuk tunggal yakni

Pasal 21 Ayat (2) huruf a jo pasal 40 Ayat (2) UU. Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya jo Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan
dan satwa liar (Lampiran PP No. 7 tahun 1999)

Anda mungkin juga menyukai