Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hewan peliharaan adalah hewan yang dipelihara sebagai teman sehari-

hari manusia. Hewan timangan berbeda dari hewan ternak, hewan

percobaan, hewan pekerja atau hewan tunggangan yang dipelihara untuk

kepentingan ekonomi atau untuk melakukan tugas tertentu. Hewan peliharaan yang

populer biasanya adalah hewan yang memiliki karakter setia pada majikannya atau

memiliki penampilan yang menarik atau kemampuan menarik tertentu seperti

mengeluarkan suara yang indah. Walaupun secara teori seseorang dapat

memelihara hewan apa pun sebagai hewan peliharaan dalam praktiknya hanya

spesies-spesies tertentu saja yang sering dijumpai terutama hewan kecil

(anjing, kucing, dan kelinci), burung, dan ikan.

Anjing adalah contoh hewan dikategorikan sebagai salah satu hewan yang

paling diminati oleh manusia dikarenakan anjing dapat diandalkan untuk menjaga

rumah ketika kosong, mengingatkan tuan rumah jika ada tamu baik yang diundang

maupun yang tidak diundang namun disamping hal ini anjing dapat dijadikan teman

karena dapat memberikan rasa aman serta nyaman bagi tuan rumah karena itu

anjing merupakan hewan peliharaan yang diminati atau paling banyak dimiliki di

dunia.

Pada saat ini perubahan kondisi sosial masyarakat dan dapat pula

mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat. Yang pada dasarnya dapat

1
2

terjadi perubahan suatu lingkungan, baik lingkungan fisik, lingkungan biologis

maupun lingkungan sosial masyarakat.

Pengertian dari perubahan sosial itu sendiri adalah perubahan - perubahan

yang merupakan suatu hal yang disebabkan karena perubahan-perubahan kondisi

geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun adanya

difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tertentu.1Menurut

Soerjono Soekanto bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga

kemasyarakatan didalam suatu masyarakat yang mempergunakan sistem sosialnya,

termasuk didalamnya yaitu nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola prilaku di antara

kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Perubahan sosial itu sendiri adalah sebuah hal yang membawa dampak

positif serta dampak negatif dari perubahan sosial itu sendiri juga merambah kearah

perkembangan tindak kejahatan termasuk dalam kekerasan terhadap hewan. Salah

satunya adalah tindak pidana penganiayaan terhadap hewan seperti penyiksaan

hewan yang mengakibatkan hewan cacat atau menderita luka-luka berat lainnya

bahkan sampai mati.

Pada saat ini hewan hewan tersebut harus diperhatikan dengan membuat

sanksi yang tegas terhadap pelaku yang melakukan kejahatan terhada hewan.

Kesehatan hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan perawatan hewan,

pengobatan hewan, pelayanan kesehatan hewan, pengendalian dan penanggulangan

penyakit hewan, penolakan penyakit, medik reproduksi, medik konversasi, obat

hewan dan peralatan kesehatan hewan serta keamanan pakan. Sedangkan

1
Zainuddin Ali, 2006, Sosiologi Hukum, Cet.Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, h.18
3

kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keaadaan fisik

dan mental hewan itu sendiri menurut ukuran perilaku alami seekor hewan yang

perlu ditegakkan serta di terapkan dengan cara benar untuk melindungi hewan dari

perlakuan orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaat oleh manusia.

Yang terjadi belakangan ini, perlakuan terhadap hewat baik itu, pembunuhan,

penganiayaan dan penyalahgunaan hewan itu sendiri.

Pada saat ini masyarakat mulai dihebohkan dengan banyaknya video yang

beredar di dunia maya tentang penganiayaan serta pembunuhan anjing yang

dilakukan dengan sangat keji. Berbagai hal yang menjadi tujuan dari penganinayaan

dan pembunuhan tersebut berawal dari sekedar keisengan belaka hingga pada fase

dimana anjing anjing tersebut dijadikan bisnis sebagai olahan untuk konsumsi

manusia. Ironisnya lagi biasanya daging anjing tersebut di dapat dari anjing yang

berkeliaran di jalan maupun anjing-anjing peliharaan orang yang biasanya tidur di

depan rumah. Pelaku kejahatan tersebut menggunakan portas (racun) yang

dicampur kedalam makanan lalu diletakan dipinggir jalan agar anjing yang

berkeliaran memakannya sehingga anjing tersebut keracunan lalu mati. Pada negara

yang ditinggali banyak pecinta hewan memakan daging anjing merupakan hal yang

sangat tabu dan banyak dikecam oleh berbagai pihak karena melanggar aturan

norma yang berlaku hal tersebut dikarenakan anjing bukanlah hewan ternak seperti

babi , yang dapat dikembangbiakan lalu dijual dengan jumlah yang banyak.

Indonesia sendiri telah memiliki peraturan perundang-undangan yang

mengatur mengenai kesejahteraan hewan, yang terdapat dalam Undang-Undang


4

Nomor 18 Tahun 2009 yang sebagaimana telah diubah ke Undang-Undang Nomor

41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang menentukan bahwa:

Pasal 66 Ayat (1) ditentukan “Untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan

tindakan yang berkaitan dengan penangkapan dan penanganan; penempatan; dan

pengandangan; pemeliharan dan perawatan; pengangkutan; pemotongan dan

pembunuhan serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan”. Dalam

Ayat (2) huruf c ditentukan bahwa “Pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan

pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari

rasa lapar, haus, sakit, penganiayaan, dan penyalahgunaan serta rasa takut, dan

tertekan.

Pasal 66 A Ayat (1) berbunyi “Setiap Orang dilarang menganiaya dan/atau

menyalahgunakan Hewan yang mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif”.

Ayat (2) berbunyi “Setiap Orang yang mengetahui adanya perbuatan sebagaimana

dimaksud pada Ayat (1) wajib melaporkan pada pihak berwenang”.

Pada Pasal 66 Ayat (2) huruf f ditentukan “pemotongan dan pembunuhan

hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa sakit, rasa

takut dan tertekan, penganiyaan, dan penyalahgunaan” dan pada huruf g ditentukan

bahwa “perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiyaan dan

penyalahgunaan”.

Dalam isi Pasal 66 Ayat (2) huruf c ditentukan bahwa, yang dimaksud

dengan “penyalahgunaan” adalah tindakan untuk memperolah kepuasan dan/atau

keuntungan dari hewan dengan memerlakukan secara wajar dan atau tidak sesuai

dengan peruntukan atau kegunaan hewan tersebut contohnya pencabutan kuku


5

kucing atau anjing yang dipelihara di lingkungan rumah , sedangkan arti dari

“penganiayaan” adalah tindakan untuk memperoleh kepuasan dan/atau keuntungan

dari hewan dengan memperlakukan hewan di luar batas kemampuan biologis dan

fisiologis hewan, misalnya pengglonggongan sapi. Sedangkan menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 302 ditentukan bahwa :

1. Dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda

paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan

ringan terhadap hewan;

a. Barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas,

dengan sengaja menyakiti atau melukai atau merugikan kesehatannya

b. Barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang

diperlukan untuk mencapai tujuan itu dengan sengaja tidak memberi

makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya

atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada bahwa pengawasannya,

atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.

2. Jika perbuatan itu menyebabkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau

menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan

pidana paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak tiga

ratus rupiah karena penganiayaan hewan.

3. Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas

4. Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana

Dari ketentuan peraturan perundang-undangan diatas dan Kitab Undang-

Undang Pidana bahwa terdapat sanksi yang sangat tegas terhadap masyarakat
6

(setiap orang) yang melakukan penganiayaan dan penyalahgunaan hewan, bahwa

pemeliharaan, pengamanan, perawatan serta pengayoman hewan harus dilakukan

dengan sebaik-baiknya, sehingga hewan bebas dari rasa lapar, haus, sakit dan

tertekan. Demikian juga penggunaan dan pemanfaatan hewan harus dilakukan

dengan sebaik dan sebijaksana mungkin agar hewan tersebut bebas dari

penganiayaan dan penyalahgunaan seperti; sengaja menyakiti, melukai atau

merusak kesehatan hewan tersebut dengan tindakan untuk memperoleh kepuasan

maupun keuntungan dari hewan dengan memerlakukan hewan melewati batas

wajar dari kegunaan hewan itu sendiri.

Sedangkan Pemotongan Hewan adalah serangkaian kegiatan di rumah

potong Hewan yang meliputi penerimaan Hewan, pengistirahatan, pemeriksaan

kesehatan Hewan sebelum dipotong, pemotongan/penyembelihan, pemeriksaan

kesehatan jeroan dan karkas setelah Hewan dipotong, dengan memperhatikan

Higiene dan Sanitasi, Kesejahteraan Hewan, serta kehalalan bagi yang

dipersyaratkan

Pasal 302 menentukan siapapun pihak yang melakukan kekerasan terhadap

hewan dapat diancam dengan pidana paling lama tiga bulan atau denda paling

banyak empat ribu lima ratus rupiah. Ketentuan seperti yang telah dijelaskan di atas

dapat dengan mudah digunakan apabila terdapat pihak yang melakukan

penganiayaan terhadap hewan yang bahkan menyebabkan kematian bagi hewan itu

sendiri. Menurut R. Soesilo yang dimaksud dalam Pasal 302 KUHP Ayat (1)

tersebut adalah penganiayaan ringan pada hewan dalam hal ini anjing. Pasal

tersebut dapat dibuktikan dengan cara cara sebagai berikut :


7

a. Orang itu dengan kesadaran penuh atau dapat dikatakan dengan sengaja

melukai, menyakiti atau merusak kesehatan hewan.

b. Perbuatan itu dilakukan dengan adanya suatu tujuan yang patut atau

melewati batas yang diizinkan.

c. Dengan kesadaran penuh atau dapat dikatakan dengan sengaja tidak

memberi makan atau minum kepada hewan dengan maksud

memberikan penderitaan.

d. Hewan tersebut sama sekali atau sebagian menjadi kepunyaan orang itu

atau di dalam penjagaannya atau harus dipeliharanya.

e. Perbuatan tersebut dilakukan tidak dengan maksud dan tujuan yang

patut atau melewati batas yang diizinkan.2

R. Soesilo juga menyatakan bahwa adanya perbuatan dengan maksud atau

tujuan baik bagi hewan tersebut seperti memotong ekor dan kuping agar terlihat

bagus, mengebiri binatang dengan maksud agar tidak dapat berkembang biak,

melatih binatang dengan menggunakan daya upaya sedikit menyakiti pada binatang

seperti untuk keperluan sirkus serta menggunakan binatang untuk bahan percobaan

dalam ilmu kedokteran pada umumnya diizinkan dan tidak termasuk di dalam pasal

ini.3 Namun jika perbuatan tersebut mengakibatkan hal-hal yang seperti disebutkan

dalam Ayat (2), maka kejahatan itu disebut dengan penganiayaan hewan yang

diancam dengan hukuman yang lebih berat.

2
R.Soesilo, 1995, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, h. 220
3
Ibid
8

Berdasarkan penjelasan dari R. Soesilo tersebut dapat kita ketahui bahwa

hewan yang dimaksud di dalam KUHP adalah hewan pada umumnya yang bukan

merupakan hewan langka atau hewan yang dilindungi oleh Negara. 4 Jadi dapat

dikatakan pihak-pihak tertentu yang melakukan penganiayaan maupun

pembunuhan anjing dengan cara keji apalagi hingga menjadikan anjing tersebut

sebagai olahan makanan dapat diancam dengan pidana penjara paling lama

sembilan bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah.

Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan

hukum, yaitu kekosongan hukum, konflik antar norma hukum dengan norma yang

kabur.5 Dalam UU NO 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan,

dapat ditemukan norma kabur dalam Pasal 66 Ayat (2) huruf f yang menentukan

bahwa: “Pemotongan dan pembunuhan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya

sehingga hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut, rasa tertekan, penganiayaan, dan

penyalahgunaan”. Maka dari itu terjadi kekaburan norma antara apa yang disebut

“pemotongan dan pembunuhan” hewan dengan sebaik-baiknya, yang terdapat Pasal

66 Ayat (2) huruf f dan huruf g: perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari

“tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan”. Norma kabur tersebut

memunculkan tanda tanya mengenai arti dari pemotongan dan pembunuhan hewan

sebaik-baiknya, sehingga bebas dari rasa sakit, rasa takut dan rasa tertekan,

penganiayaan dan penyalahgunaan, dikarenakan dalam pasal 66 Undang Undang

No 41 Tahun 2014 tersebut tidak mendefinisikan arti dari kata pemotongan dan

4
Ibid
5
Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,
Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta h. 90
9

pembunuhan yang sebaik - baiknya disamping itu apabila terjadi suatu pemotongan

dan pembunuhan yang menimbulkan rasa sakit, rasa takut dan rasa tertekan. Pasal

66 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tidak ada ketentuan sanksi pidananya,

sehingga kekaburan norma tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum atau

bahkan kekonflikan hukum. Hal itu membingungkan pelaku atau individu yang

memanfaatkan hewan karena dalam Undang-Undang tersebut menjamin

kesejahteraan hewan, bebas dari penganiyaan dan penyalahgunaan hewan.

Apabila dilihat penjelasan diatas maka pelanggaran-pelanggaran terhadap

UU RI No.41 Tahun 2014 ini tidak dapat terlepas dari perlindungan hukum

terhadap kesehatan hewan dan kesejahteraan hewan tersebut terutama penerapan

sanksi pidananya, dimana dalam penetapan sanksi pidana tersebut harus dapat

dibuktikan. Hal ini sangat perlu diperhatikan mengingat berbagai keterbatasan serta

kemampuan hukum pidana menanggulangi kejahatan. Tujuan pemidanaan itu

diarahkan untuk melihat sejauh mana penerapan sanksi pidana itu dapat diterapkan

dalam kehidupan bermasyarakat untuk melindungi kesejahteraan hewan. Meskipun

jenis sanksi untuk setiap bentuk kejahatan berbeda-beda.

Tujuan hukum pidana itu sendiri adalah untuk membina kesadaran umum

dalam bersikap tindak yang serasi baik dari aspek lahir maupun aspek batin, karena

hanya dengan sikap tindak yang demikian kepentingan umum maupun kepentingan

perorangan secara langsung dapat dilindungi dari gangguan peristiwa pidana.6

Maka dari itu tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan umum,

6
Purnadi Purbacaka dan A. Ridwan Halim, 1989, Filsafat Hukum Pidana Dalam Tanya Jawab,
Cetakan Ketiga, Rajawali Pers, Jakarta, h. 21
10

karena bila seseorang takut untuk melakukan perbuatan tidak baik karena takut akan

hukuman, maka semua makhluk akan hidup dengan tentram serta aman.

Jadi dapat disimpulkan bahwa masyarakat turut memiliki tanggung jawab

untuk mendampingi pemerintah dalam upaya penerapan ketentuan-ketentuan

perihal kesejahteraan hewan. Partisipasi masyarakat ini tentu menjadi sangat

penting karena saat ini penegakan hukum dalam bidang kesejahteraan hewan masih

sangat jauh dari perhatian pemerintah. Hal ini dapat terjadi karena masih sangat

minimnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah terhadap perlindungan serta

kesejahteraan hewan sehingga kesadaran serta kepedulian masyarakat Indonesia

terhadap kesejahteraan hewan ini masih sangat jauh dari kata memadai dan

sempurna maka dari itu penulis ingin mengangkat judul penelitian tentang

“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU

PENGANIAYAAN HEWAN”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka adapun rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan mengenai penganiayaan terhadap hewan

berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia?

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap penganiayaan hewan?


11

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam penulisan ilmiah menentukan ruang lingkup masalah merupakan hal

yang sangat penting dalam hal ini untuk menjamin adanya keutuhan dan ketegaran

serta untuk mencegah kekaburan permasalahan karena terlalu luas atau terlalu

sempit.7 Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah penulis paparkan

sebelumnya, maka obyek kajian skripsi ini ialah kesejahteraan hewan, kesehatan

hewan serta pertanggung jawaban pidananya, yang mana dimaksudkan penulis

adalah mengkaji tentang apa yang dimaksud dengan penganiayaan terhadap hewan

serta sejauhmana pertanggungjawaban pidana terkait dengan penganiayaan hewan

ditinjau dari pasal 302 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana agar tercipta suatu

perlindungan hukum serta tujuan daripada hukum pidana itu sendiri.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang dibuat berdasarkan gagasan atau

ide yang penulis dapatkan sendiri setelah mengamati gejala atau fakta-fakta yang

terjadi di dalam masyarakat. Penelitian ini penulis buat dengan judul

“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENGANIAYAAN

HEWAN”, adapun beberapa penelitian sejenis yaitu :

7
Soerjono Soekanto, 1982, Tata Cara Penyusunan Karya Tulis Ilmiah Bidang Hukum, PT
Ghalian, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), h. 12
12

No Peneliti Judul Rumusan Masalah

1. Riadi Barkan Proses Penyembelihan 1. Bagaimanakah

Mahasiswa Hewan Dengan Metode pengaturan mengenai

Fakultas Stunning Dalam penganiayaan hewan

Hukum Perspektif Hukum Islam peliharaan ditinjau

Fakultas dari Perundang-

Hukum Undangan di

Universitas Indonesia?

Hasanuddin, 2. Apa sanksi terhadap

Tahun 2014 pelaku penganiayaan

hewan?

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan Umum

1. Sebagai pengembangan ilmu terhadap isu-isu hukum yang berkembang

di masyarakat dalam hal pelaksanaan pengaturan mengenai

penganiayaan terhadap hewan berdasarkan Peraturan Perundang-

Undangan di Indonesia?

2. Untuk memberikan masukan dan bahan pertimbangan bagi semua pihak

dalam mengatasi pertanggungjawaban pidana terhadap penganiayaan

hewan?
13

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai penganiayaan terhadap hewan

berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku

penganiayaan hewan .

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dan

memberikan pemahamanilmu pengetahuan hukum dalam dunia akademis pada

umumnya dan dapat memberikan kontribusi teoristik dalam kerangka persembahan

konsep, asas dan teori hukum.

1.6.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau masukan-

masukan terhadap para pejabat pemerintahan khususnya aparat kepolisian selaku

penyelenggara urusan Negara dan pemerintahan terkait dengan pengaturan

mengenai penganiayaan terhadap hewan berdasarkan Peraturan Perundang-

Undangan di Indonesia serta sanksi pidana terhadap penganiayaan hewan

peliharaan.

1.7 Landasan Teoritis

Guna memperdalam pemahaman terhadap permasalahan yang berhubungan

dengan penelitian ini, maka terlebih dahulu penulis akan paparkan mengenai teori-
14

teori, konsep-konsep, ataupun asas-asas hukum yang relevan atau terkait dengan

permasalahan yang penulis angkat dalam penelitian ini. Dengan adanya teori-teori,

konsep-konsep ataupun asas-asas hukum ini diharapkan dapat memperjelas,

memperkuat, dan mendukung dalam penyelesaian permasalahan yang penulis

kemukakan dalam penelitian ini. Adapun teori, konsep, ataupun asas-asas hukum

yang terkait yakni sebagai berikut :

1. Konsep Negara Hukum

Negara Hukum merupakan Negara yang menghendaki segala tindakan atau

perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik

berdasarkan hukum yang tertulis, maupun berdasarkan hukum tidak tertulis.8

Negara Hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum

bagi rakyat. Indonesia merupakan Negara Hukum, hal ini sesuai dengan apa yang

termuat dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Negara Hukum di Indonesia memiliki ciri-ciri khas bangsa

Indonesia, karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber

hukum, maka Negara Hukum di Indonesia dapat pula dikatakan sebagai Negara

Hukum Pancasila.

Salah satu ciri pokok dalam Negara Hukum Pancasila ialah adanya jaminan

terhadap kebebasan beragama. Negara hukum Pancasila bertitik pangkal dari asas

kekeluargaan dan kerukunan. Kedua asas ini merupakan asas yang terpadu,

kepentingan rakyat banyak lebih diutamakan, namun harkat dan martabat manusia

8
Zaina Harahap, 2010, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta. h. 1
15

tetap dihargai. Hal ini selaras dengan system demokrasi yang kita anut dimana

kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Dalam Negara Hukum seperti

Indonesia hubungan antara hukum dan demokrasi tidak dapat dipisahkan, terdapat

korelasi yang jelas antara Negara hukum yang bertumpu pada konstitusi dan

peraturan perundang-undangan dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui

system demokrasi.

Korelasi ini tampak dari kemunculan istilah demokrasi konstitusional.

Dalam system demokasi, penyelenggaraan Negara itu harus bertumpu pada

partisipasi dan kepentingan rakyat. Implementasi Negara hukum itu harus ditopang

dengan system demokrasi. Hubungan antara Negara hukum dengan demokrasi

tidak dapat dipisahkan. Demokrasi tanpa aturan hukum akan kehilangan bentuk dan

arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Menurut Magnis

Suseno, demokrasi yang bukan Negara hukum adalah demokrasi dalam arti yang

sesungguhnya.9 Demokrasi merupakan cara paling aman untuk mempertahankan

control atas Negara hukum. Dengan demikian, Negara hukum yang bertopang pada

system demokrasi dapat disebut sebagai Negara hukum demokratis.

Konsep Negara hukum tidak terpisahkan dari pilarnya sendiri yaitu paham

kedaulatan hukum. Paham ini adalah ajaran yang mengatakan bahwa kekuasaan

tertinggi terletak ada hukum atau tidak ada kekuasaan lain apapun, kecuali

hukumsemata. Banyak rumusan yang diberikan terhadap pengertian Negara hukum

tetapi sulit untuk mencari rumusan yang sama, baik itu disebabkan karena

9
Ridwan HR, 2007, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.8
16

perbedaan asasNegara hukum yang dianut maupun karena kondisi masyarakat dan

zaman saatperumusan Negara hukum dicetuskan.

2. Teori Penegakan Hukum

Negara Republik Indonesia merupakan Negara Hukum sehingga dalam

penyelenggaraannya Negara harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggung

jawabkan secara hukum. Dalam negara hukum juga memperhatikan mengenai

kedaulatan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahannya, namun tidak boleh

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 dan Pancasila.

Menurut Soerjono Soekanto inti dari penegakan hukum adalah keserasian

hubungan antara nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan

berwujud dengan perilaku sebagai rangkaian penjabaran nilai akhir untuk

menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.10

Konsepsi yang mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih

lanjut, sehingga akan tampak lebih konkret.

Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidak

serasian antara "tritunggal" nilai, kaidah, dan pola perilaku. Gangguan tersebut

terjadi apabila terjadi ketidak serasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang

menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak

terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.11

10
Soerjono Soekanto, 2016, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), h. 5
11
Ibid, h. 7
17

Sedangkan, Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa hakekat dari penegakan

hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan atau ide-ide

hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran

badan pembentuk Undang-Undang yang berupa ide atau konsep-konsep tentang

keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial yang dirumuskan dalam

Peraturan hukum itu.12

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut diatas, masalah pokok dalam

penegakan hukum sebenanya terletak pada faktor-faktor yang mungkin

mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga

dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor

tersebut antara lain : 13

1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini Undang-Undang;

2. Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku

atau diterapkan;

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.14

12
Satjipto Rahardjo, 2000, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar
Baru, Bandung, h. 15
13
Ridwan HR, op.cit, h. 293
14
Soerjono Soekanto, 2010, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 8
18

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Penulisan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode

penelitian hukum normatif yaitu metode yang digunakan di dalam penelitian hukum

yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Dalam penelitian

normatif yang disebut juga dengan penelitian doktrinal sering mengkonsepkan

hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau sebagai

kaidah atau norma yang merupakan patokan cara berperilaku manusia yang

dianggap pantas dan layak.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Berdasarkan jenis pendekatan yang ada, dalam penelitian ini akan

digunakan 2 (dua) pendekatan yaitu:

Jenis pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini, yaitu :

a. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach)

Pendekatan Perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan

legislasi dan regulasi.

b. Pendekatan Fakta (The Fact Approach)

Pendekatan Fakta adalah Pendekatan Fakta yaitu penelitian dengan

mengumpulkan fakta-fakta yang terdapat langsung pada praktek di

masyarakat yang penulis cari dan amati secara metodis untuk dijadikan

bahan dalam menunjang penulisan skripsi ini.15

15
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penulisan Hukum, Cetakan ke-4, Kencana, Jakarta, h. 97
19

1.8.3 Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yang bertujuan

untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan gejala, atau

kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu

gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Penelitian yang bersifat deskriptif ini

diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan

menggambarkan keadaan subyek atau objek penelitian pada saat sekarang

berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.

1.8.4 Sumber Bahan Hukum

Dikarenakan penelitian ini adalah penelitian hukum, maka dalam penelitian

ini menggunakan sumber bahan hukum. Sumber bahan hukum didapatkan dari

penelitian kepustakaan baik itu dari Peraturan Perundang-undangan maupun

literature hukum yang terkait. Adapun sumber bahan hukum yang digunakan dalam

penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat mengikat yaitu

asas dan kaidah hukum yang berupa:

- Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;

- Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945;

- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

- Hukum yang tidak tertulis;

- Doktrin.
20

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya mendukung

bahan hukum primer. Adapun bahan hukum sekunder yang memiliki kaitan dengan

penelitian ini diperoleh dari:

- Buku-buku tentang Hukum Pidana;

- Buku tentang tindak pidana;

- Jurnal-jurnal hukum;

- Karya tulis hukum atau artikel;

- Internet.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan

penjelasan dan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Biasanya bahan hukum tersier diperoleh dari kamus hukum dan bahan penunjang

lainnya.

1.8.5 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum dilakukan

dengan sistematika bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat

klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan

analisis dan kontruksi. Adapun teknik pengumpulan bahan hukum yang diperlukan

dalam penelitian ditelusuri menggunakan metode bola salju (snow ball method).

1.8.6 Teknik Penentuan Bahan Hukum

Dalam menentukan sampel penelitian ini, teknik yang digunakan adalah

Teknik Non Probality Sampling. Dalam proses pengambilannya tidak ada ketentuan
21

pasti sampai sejauh mana sample yang diambil. Penggunaan teknik ini agar

memperoleh subyek-subyek sesuai dengan tujuan penelitian dan semua populasi

yang mempunyai kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk ditetapkan

menjadi sampel.

1.8.7 Teknik Analisis Bahan Hukum

Adapun teknik pengumpulan bahan hukum yang penulis gunakan adalah

sebagai berikut :

1. Teknik Deskripsi.

Teknik ini adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindarkan

penggunaannya. Deskripsi berarti menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi

atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.

2. Teknik Interpretasi.

Teknik analisis yang menggunakan jenis-jenis penafsiran gramatikal,

historis, sistematis, kontekstual dan sebagainya.

3. Teknik Evaluasi.

Teknik analisis berupa penilaian tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak

setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan, proposisi,

pernyataan rumusan norma, keputusan baik yang terdapat dalam bahan hukum

primer maupun bahan hukum sekunder.

4. Teknik Argumentasi.

Teknik analisis dengan penilaian yang berdasarkan pada alasan-alasan yang

bersifat penalaran hukum.Teknik ini tidak dapat dipisahkan dari teknik evaluasi.

Anda mungkin juga menyukai