Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Lansia merupakan kelompok umur yang telah memasuki usia 60 tahun
keatas. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang
berangsur-angsur mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses
menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan
luar tubuh. tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia yang
memasuki usia 60 tahun hingga mencapai usia 90 tahun, yakni usia dimana
dalam hal kesehatannya sudah sangat rentan(WHO). Lansia juga mengalami
terjadinya aging process atau proses penuaan yang akan berdampak terhadap
kemampuan merespon stress, system imunitas dengan begitu produktivita
smulai menurun, kekuatan menurun, dan terjadi perubahan fisk dengan
demikian Lansia rentan terhadap berbagai penyakit infeksi yang salah satunya
adalah Tuberculosis (Kemenkes RI, 2016).
Tuberculosis paru (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Bakteri Mycobacterium yang menyerang paru-paru dan dapat menginfeksi
organ lain. Tuberculosis dapat di tularkan melalui udara, batuk atau bersin
(Abbas 2017). Sampai saat ini TB masih menjadi pembunuh terbanyak
diangkatan penyakit menular. Bakteri mycobacterium ini masuk kedalam
tubuh manusia melalui saluran pernapasan dan biasa menyebar kedalam tubuh
manusia melalui saluran peredaran darah, pembuluh limfe sehingga
mengakibatkan batuk berdahak lebih dari tiga minggu, batuk berdarah, sesak
napas dan nyeri dada, sehingga dapat menyebabkan pola napas tidak efektif
dan berdampak pada kematian. Bakteri mycobacterium tuberculosis ini
berbentuk batang dengan ukuran 2-4u x 0,2 um, bentuknya seragam, tidak
berspora, dan tidak bersimpai. Pada biakan, terlihat bentuknya bervariasi
mulai dari bentuk kokoid sampai berupa filamen.beberapa strain tertentu
berbeda dalam pertumbuhannya yaitu, berbentuk batang dan tersusun seperti
tali yang disebut cord formation (Budiart, 2001) dan memiliki sifat khusus
yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, sehingga dapat disebut sebagai

1
Basil Tahan Asam (BTA). Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga
(SKRT) 1992, Penyakit TB Paru di Indonesia merupakan penyebab kematian
nomor dua terbesar setelah Penyakit jantung. Dan sebagian besar penderita TB
Paru berasal dari kelompok masyarakat usia produktif, berpenghasilan
rendah,adanya wabah penyakit HIV/AIDS dan industrialisasi juga
mempengaruhi jumlah penderita TB Paru , masalah trnsportasi dan perubahan
ekosistem. Pengobatan yang tidak teratur, pemakaian obat antituberkulosis
yang kurang tepat ataupun pengobatan yang terputus dapat menyebabkan
terjadinya resistensi bakteri terhadap obat. perawat memiliki peranan penting
saat menjelaskan kepada pasien tentang pentingnya berobat secara teratur
sesuai dengan jadwal sampai sembuh, dengan demikian rantai penularan
penykit terputus (Arif Muttaqin 2008).
Berdasarkan Laporan Kemenkes RI, 2021 dalam tingkat Global
menunjukan angka kelompok lansia TB Paru pada tahun 2020 ditemukan pada
usia 45-54 tahun sebesar 17,3% kasus,diikuti kelompok usia 55-64 tahun
sebesar 14,6% jiwa. Sedangkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur terdapat
26,6 juta jiwa. Di Kabupaten Belu sebanyak 1.808 jiwa
penduduk .Berdasarkan data dari (RSUD MGR Gabriel Manek SVD
Atambua Di Ruang Flamboyan) hasil studi pendahuluan dinas kesehatan
kabupaten Belu menunjukkan bahwa data jumlah angka kelompok Lansia TB
pada tahun 2019 berjumlah 155jiwa, tahun 2020 berjumlah 79 jiwa, pada
tahun 2021 berjumlah 82 jiwa dan pada tahun 2022 berjumlah 120 jiwa.
Dampak dari pasien dengan TB Paru akan terjadi kerusakan parenkim
paru, sehingga paru-paru tersebut tidak berfungsi dengan baik dan mengakibat
kan pasien tersebut mengalami gangguan pada pernapasan, syok dan akan
sampai pada kematian. Dampak pada pola napas tidak efektif yang terjadi
pada lansia dengan tuberculosis paru ini dapat menyebabkan kekurangan
oksigen, sesak napas dan dapat menyebabkan kematian. Adapun beberapa
factor yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit Tuberculosis ini
meningkat yakni, waktu pengobatan yang relative lama (minimal 6 bulan)
menyebabkan pasien susah untuk sembuh akibat berhenti berobat walaupun
proses pengobatan belum selesai karena pasien merasa dirinya telah sembuh,

2
menurut Souza dalam (Maelani et al, 2019) adapun masalah daya tahan tubuh
yang menurun, kehilangan pendapatan rumah tangga, status gizi yang kurang,
lingkungan tempat tinggal yang padat dan lembab serta kotor dan tidak
memadainya Pendidikan mengenai TB (WHO 2018).
Upaya pengobatan yang dapat diberikan pada lansia dengan TB Paru
untuk mencegah kematian, kekambuhan resistensi terhadap OAT, serta
memutuskan rantai penularan ialah dengan memberikan Asuhan keperawatan
sesuai tanda dan gejala yang timbul dan disesuaikan dengan buku PPNI
(2017).Upaya penanggulangan TBC secara nasional mengacu pada strategi
DOTS (Directly observed Treament Short course) yang di rekomendasikan
oleh (WHO) dan terbukti dapat memutus Rantai penularan TBC dibagi
menjadi dua program yaitu Diagnosa ditegakkan dengan pemeriksaan
mikroskopik BTA dalam dahak, dalam asuhan keperawatan terjaminnya
persediaan obat anti Tuberculosis (OAT).
Berdasrkan uraian data diatas, penulis tertarik mengambil judul asuhan
keperawatan pada Lansia dengan masalah TB paru di Ruang Flamboyan
RSUD MGR Gabriel Manek SVD Atambua.

1.2. Batasan Masalah


Masalah pada studi kasus ini dibatasi pada Asuhan keperawatan pada
Lansia dengan masalah Tb Paru Di Ruang Flamboyan Rsud Mgr Gabriel
Manek, SVD Atambua.

1.3. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian rumusan masalah pada studi kasus ini yaitu
bagaimana kah asuhan keperawatan pada Lansia dengan Tuberculosis paru
diruang Flamboyan RSUD Mgr, Gabriel Manek SVD Atambua.

3
1.4. Tujuan Penulisan
1.4.1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatan pada Lansia yang
mengalami Tuberculosis paru di RSUD Mgr, Gabriel Manek SVD
Atambua.
1.4.2. Tujuan khusus
1. Melakukan pengkajian keperawatan pada pada Lansia yang
mengalami Tuberculosis Paru dengan masalah pola napas tidak
efektif di RSUD MGR Gabriel Manek SVD Atambua.
2. Menentukan Diagnosa keperawatan pada Lansia yang mengalami
Tuberculosis paru dengan masalah Pola napas tidak efektif di
RSUD MGR Gabriel Manek SVD Atambua.
3. Menyusun perencanaan keperawatan pada Lansia yang mengalami
Tuberculosis paru dengan masalah pola napas tidak efektif di
RSUD MGR Gabriel Manek SVD Atambua.
4. Melaksanakan tindakan keperawatan pada lansia yang mengalami
Tuberculosis dengan masalah pola napas tidak efektif di RSUD
MGR Gabriel Manek SVD Atambua.
5. Melakukan evaluasi keperawatan pada Lansia yang mengalami
Tuberculosis paru dengan masala hpola napas tidak efektif.

1.5. Manfaat Penelitian


1.5.1. Manfaat Teoritis
Mengembangkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada
Lansia yang mengalami Tuberculosis paru melalui pengkajian Diagnosa
keperawatan, pelaksanaan dan evaluasi dalam merawat pasien
Tuberculosis paru dengan masalah pola napas tidak efektif di RSUD
MGR GabrielManek SVD Atambua.

4
1.5.2. Manfaat Praktis
1. Perawat
Memberikan masukan tentang bagaimana cara memberikana
suhan keperawatan pada klien yang mengalami Tuberculosis paru
dengan masalah pola napas tidak efektif di RSUD MGR Gabriel
Manek SVD Atambua.
2. RumahSakit
Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan Kesehatan, dan memberikan perlindungan terhadap
keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan
sumber daya manusia dalam memberikan asuhan keperawatan pada
klien yang mengalami Tuberculosis paru dengan masalah pola
napas tidak efektif di RSUD MGR Gabriel Manek SVD Atambua.
3. Institusi Pendidikan
Memberi gambaran tentang kemampuan mahasiswa dalam
mengaplikasikan ilmu yang di peroleh dalam memeberikan
melaksanakan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami
Tuberculosis paru dengan masalah pola napas tidak efektif di
RSUD MGR Gabriel Manek SVD, Atambua.
4. Klien dan Keluarga
Dalam memberikan masukan berharga bagiklien dan keluarga
dalam meningkatkan pengetahuan Tuberculosis paru sehingga dapat
termotivsi dalam melakukan pemeriksaan selama sakit maupun
sehat.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Dasar Lansia
2.1.1. Definisi
Lanjut usia merupakan seseorang yang telah memasuki usia 60
tahun keatas. menua bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu proses
yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan komulatif,
merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam mengahadapi
rangsangan dari dalam dan dari luar tubuh.
Menua atau menjadi tua merupakan suatu keadaan yang terjadi
didalam kehidupan manusia.peroses menua adalah proses sepanjang
hidup yang tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai
sejak permulaaan kehidupan yang melewati tiga tahap kehidupan, yakni
anak, dewasa, dan tua (Nugroho, 2006).

2.1.2. Batasan Lansia


a. WHO (1999) menjelaskan tentang batasan lansia antara lain:
1. Usia lanjut (Elderly) antara usia 60- 74 tahun,
2. Usia Tua (old) antara usia 75-90 tahun, dan
3. Usia sangat tua (very old) ialah usia lebih dari 90 tahun
b. Depkes RI (2005) menjelaskan mengenai bahwa batasan lansia
dibagi menjadi tiga kategori antara lain:
1. Usia lanjut presenilis, yaitu antara usia 45-59 tahun,
2. Usia lanjut yaitu usia 60 tahun keatas,
3. Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun keatas yaitu atau usia
60 tahun keatas dengan masakah kesehatan.

2.1.3. Proses Menua


Tahap usia lanjut merupakan tahap dimana terjadi penurunan
fungsi tubuh. Penuaan ialah perubahan komlutafi pada makhluk hidup,
termasuk tubuh, jaringan sel, yang mengalami penurunan kapasitas
fungsional, yang dikaitkan dengan perubahan degeneratif pada kulit,

6
jantung,pembuluh darah,paru-paru ,saraf dan jaringan tubuh lainnya,
sedangkan kempuann regeneratif pada lansia terbatas , mereka lebih
rentan terhadap berbagai macam penyakit. Pada Proses penuaan
menjelaskan tentang perubahan Fisik dan Perubahan psikologis
perubahan social, masalah umum pada lansia dan penyakit pada lansia.

2.1.4. Teori Proses Menua


Berikut teori penuaan sebagai berikut :
a. Teori- teori Biologi
1) Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetic untuk
spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebab akibat dari
perubahan biokimia yang di program oleh molekul- molekul
/DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi.
2) Pemakaian dan rusak
Kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel-sel tubuh lelah
(rusak).
3) Reaksi dari kekebalan sendiri (auto umunne theory)
System imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan
masuknya virus kedalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan
organ tubuh.
4) Teory” immunology slow virus” (immunology slow virus
theory)
Sistem immune menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan
masuknya virus kedalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan
organ tubuh.
5) Teori stress
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan
tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan
kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha dan stress
menyebabkan sel-sel tubuh telah terpakai.

7
6) Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk didalam bebas, tidak stabilnya
radikal bebas(kelompok atom) menyebabkan oksidasi oksigen
bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal
bebas ini dapat menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.
7) Teori rantai silang
Sel-sel yang tua atau usang, reaksi kimianya menyebabkan
ikatan yang kuat khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini
menyebabkan kurangnya elastis, kekacauan dan hilangnya
fungsi.
8) Teori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang
membelah setelah sel-sel tersebut mati.
b. Teori kejiwaan sosial
1) Aktivitas atau kegiatan (activity theory)
Lansia mengalami penurunan jumlah kegiatan yang dapat
dilakukannya. Teori ini menyatakan bahwa lansia yang sukses
adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.
2) Ukuran optimum (pola hidup) dilakukan pada cara hidup dari
lansia. Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan
individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.
3) Kepribadian berlanjut (continuity theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lansia ,
teori ini merupakan gabungan dari teori diatas, yang
menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang
lansia sangat dipengaruhi oleh tipe personality yang dimiliki.
4) Teori pembebasan (Disengagament theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia,
seseorang secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi
sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun

8
kuantitas sehingga sering terjadi kehilangan ganda (triple loss),
yaitu:
a. Kehilangan peran
b. Hambatan kontak social
c. Berkurangnya kontak komitmen
Sedangkan teori penuaan secara umum menurut Ma’rifatul (2011)
dapat dibedakan menjai dua yaitu Teori biologi dan teori penuaan
psikososial:
a. Teori biologi
1. Teori seluler
Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu
dan kebanyakan sel-sel tubuh “deprogram” untuk membelah
50 kali.pada beberapa sistem, seperti system saraf, system
musculoskeletal dan jantung, sel pada jaringan dan organ
dalam sistem itu tidak dapat diganti jika sel tersebut dibuang
karena rusak atau mati.oleh karena itu system tersebut
beresiko akan mengalami proses penuaan dan mempunyai
kemampuan yang sedikit atau tidak sama sekali untuk tumbuh
dan memperbaiki diri (Azizah, 2011)
2. Sintesis protein (kolagen dan elastis)
Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya
pada lansia, proses kehilangan elstisitas ini dihubungkan
dengan adanya perubahan kimia pada adanya komponen
protein dalam jangkauan tertentu. Pada lansia beberapa protein
(kolagen dan kartilago, dan elastin pada kulit) dibuat oleh
tubuh dengan bentuk dan struktur yang berbeda dari protein
yang lebih muda. Hal ini dapat lebih mudah dihubungkan
dengan perubahan permukaan kulit yang kehilangan
elastisitasnya dan cenderung berkerut, juga terjadinya
penurunan mobilitas dan kecepatan pada system
musculoskeletal (Azizah dan Lilik, 2011).

9
3. Keracunan oksigen
Teori ini tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel
didalam tubuh untuk mempertahankan diri dari oksigen yang
mengandung zat racun dengan kadar yang tinggi, tanpa
mekanisme pertahanan diri tertentu.ketidakmampuan
mempertahankan diri dari toksin tersebut membuat struktur
membrane sel mengalami perubahan serta terjadi kesalahan
genetik. (Azizah dan Lilik, 2011)
4. System imun
Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa
penuaan. Walaupun demikian kemunduran kemampuan
system yang terjadi dari sistem limfatik dan khususnya sel
darah putih, juga merupakan faktor yang berkontribusi dalam
proses penuaan. Disisi lain sistem imun tubuh sendiri daya
pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua,
daya serangnya terhadap sel kanker mejadi menurun, sehingga
sel kanker leluasa membelah-belah (Azizah dan Ma’rifatul L,
2011).
5. Teori menua akibat metabolisme
Menurut Mc. Kay et all. (1935) yang dikutip Darmojo dan
Martono (2004), pengurangan “intake” kalori pada rodentia
muda akan menghambat pertumbuhan dan memperpanjang
umur. Memperpanjang umur karena jumlah kalori tersebut
antara lain disebabkan karena menurunnya bebrapa proses
metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran hormon yang
merangsang pruferasi sel misalnya insulin dan hormone
pertumbuhan.
b. Teori psikologis
1. Aktivitas atau keggiatan (Activity theory)
Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara
keaktifannya setelah menua. Teori ini menyatakan bahwa pada

10
lansia yang sukses adalah mereka yang aktif atau ikut banyak
dalam kegiatan social (Azizah dan Ma’rifatul,L,2011)
2. Kepribadian berlanjut (continuity theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lansia.
Identity pada lansia yang sudah mantap memudahkan dalam
memelihara hubungan dengan masyarakat, melibatkan diri
dengan masalah dimasyarakat, keluaraga dan hubungan
interpersonal (Azizah dan Lilik M, 2011)
3. Teori pembebasan (Disengagement theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia,
seseorang secara pelan tetap pasti mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan
sekitarnya (Azizah dan Lilik M,2011)

2.1.5. Faktor- faktor Yang Mempengaruhi Ketuaan


Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi ketuaan menurut Siti Nur
Kholifah (2016) yaitu :
1. Hereditas atau ketuaan genetik
2. Nutrisi atau makanan
3. Status kesehatan
4. Pengalaman hidup
5. Lingkungn
6. Stres

2.2. Konsep Dasar Tuberculosis Paru


2.2.1. Definisi
Tuberculosis Paru (TB) adalah penyakit infeksi menular yang
menyerang parenkim paru-paru yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium Tuberculosis melalui udara pada saat orang terjangkit,
batuk dan bersin. Penyakit ini dapat juga menyebar kebagian tubuh
lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe, (Abbas 2017).
Tuberkulosis pada manusia ditemukan dalam dua bentuk yaitu:

11
a. Tuberkulosis Primer, merupakan infeksi bakteri TB dari penderita
yang belum mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Atau
jika terjadi pada infeksi yang pertama kali
b. Tuberkulosis Sekunder, kuman yang dorman pada tuberculosis
primer akan aktif setelah bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi
endogen menjadi tuberculosis dewasa. Mayoritas terjadi karena
adanya penurunan imunitas, misalnya karena malnutrisi,
penggunaan alcohol, penyakit maligna, diabetes,AIDS,dan gagal
ginjal, ( SomantriIrman ).

Kuman ini juga mempunyai kandungan lemak yang tinggi pada


dinding selnya yang mengandung lipid sampai hampir 60% dari berat
seluruhnya, sehingga sangat sukar diwarnai dan perlu cara khusus agar
terjadi penetrasi zat warna.Kandungan lipid yang tinggi pada dinding
sel dapat menyebabkan bakteri ini menjadi tahan terhadap asam dan
basa, dan kerja antibiotic bakterisidal (Arif Mutaqin)

2.2.2. Etiologi
Penyakit TB paru disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Bakteri atau kuman ini berbentuk batang, dengan ukuran
Panjang 1-4 um dan tebal 0,3-0,6 um. Sebagian besar kuman berupa
lemak/lipid, sehingga kuman tahan terhadap asam dan lebih tahan
terhadap kimia atau fisik. kuman ini memiliki sifat aerob yang
menyukai daerah dengan banyak oksigen, dan daerah yang memiliki
kandungan oksigen tinggi yaitu apikal/apeksparu. Daerah ini menjadi
predileksi pada penyakit Tuberculosis. (Somantri Irman)

2.2.3. Penularan dan faktor-faktor resiko


Tuberculosis paru dapat ditularkan oleh penderita TBC BTA
positif melalui udara pada saat batuk atau bersin dan dalam bentuk
dropet (percikan ludah) yang mengandung bakteri dapat bertahan
diudara pada suhu kamar selama beberapajam .orang yang dapat
terinfeksi bila droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan,
kemudian bakteri tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh

12
lainnya melalui system peredaran darah, system saluran limfe, saluran
nafas atau penyebaran langsung kebagian tubuh lainnya.

individu yang beresiko tinggi untuk tertular tuberculosis adalah


sebagai berikut :

1. Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB


aktif.
2. Individu imunosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kangker,
mereka yang dalam terapi kortikosteroid atau mereka yang
terinfeksi dengan HIV.
3. Penggunaan obat-obatan dan Alkoholik.
4. Setiap individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat
5. Setiap individu dengan gangguan medis yang sudah ada
sebelumnya (misaknya : diabetes, gagal ginjal kronis, silicosis,
penyimpanan gizi, bypass gastrektomi atau yeyunoileal)
6. Imigran dari Negara yang terinfeksi TB yang tinggi ( Asia
tenggara, afrika amerika latin, karibia)
7. Setiap individu yang tinggal diinstitusi (misalnya : fasilitas
kesehatan jangka panjang, institusi, spikiatrik, penjara)
8. Individu yang tinggal didaerah perumahan substandard kumuh.
9. Petugas kesehatan
10. Malnutrisi

2.2.4. Klasifikasi
Menurut Widoyono (2008) Klasifikasi Tuberkulosis meliputi:
1. Klasifikasi berdasarkan Lokasi
a. Tuberkulosis ekstraParu
Tuberkulosi yang menyerang organ tubuh lain
selainparu ,misalnya gastrointestinal (usus), tulang persendian,
saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
2. Klasifikasiberdasarkan Hasil BTA
a. Tuberkulosisparu BTA positif:

13
1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak
memberikan hasil BTA positif
2. 1 kali pemeriksaan specimen sputum hasil BTA positif
dan disertai foto thoraks dada menunjukkan gambaran
tuberculosis aktif
3. 1 spesimen sputum hasilnya BTA positif dan biakan
kuman (kultur) TB positif
4. 1 ataulebih specimen sputum hasilnya positif setelah 3
spesimen sputum SPS pada pemeriksaan sebelumnya
hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotic non OAT
b. Tuberculosis paru BTA negatif:
1. Kali specimen sputum paling tidak hasilnya BTA
negative
2. Foto thoraks abnormal sesuai dengan gambaran
tuberculosis
3. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotic OAT
pada pasien HIV negative
4. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan
3. Klasifikasi berdasarkan Riwayat pengobatansebelumnya disebut
sebagai tipe pasien yaitu:
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah minum OAT sebelumnya
atau sudah pernah mengonsumsi OAT kurang dari 1 bulan.
b. Kasus kambuh(Relaps)
Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan dari / telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap namun, didiagnosis Kembali dengan
hasilpemeriksaan BTA positif

14
c. Kasus setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah
menjalani pengobatan dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA postif
d. Kasus setelah gagal (Failure) adalah pasien yang hasil
pemeriksaan sputumnya tetap positif atau Kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e. Kasus kronik dilakukan pemeriksaan dan hasil sputum BTA
tetap positif setelah selesai pengobatan ulang dengan
pengawasan ketat.
f. Kasus bekas
1.) BTA negatif, radiologi lesi tidak aktif atau foto serial
gambaran sama, dan Riwayat minum OAT adekuat
2.) Radiologi gambaranya meragukan,mendapatkan OAT 2
bulan, foto thoraks ulang gambaran sama (widoyono,
2008)

2.2.5. Patofisiologi
Seseorang yang dicurigai menghirup basil mycobacterium
tuberculosis akan menjadi terinfeksi. Bakteri menyebar melalui jalan
napas ke alveoli, dimana pada daerah tersebut bakteri bertumpuk dan
berkembang biak. Penyebaran basil ini bisa juga melalui system limfe
dan aliran darah kebagian tubuh lain (ginjal, tulang korteks serebri)
dan area lain dariparu-paru( lobus atas).selanjutnya system kekebalan
tubuh memberikan respon dengan melakukan reaksi inflamasi. Netrofil
dan makrofag melakukan aksifagositosis (menelan bakteri), sementara
limfosit spesifik Tuberkulosis menghancurkan (melisiskan) basil dan
jaringan normal. Reaksi jaringan ini dapat mengakibatkan
terakumulasinya eksudat dalam alveoli yang menyebabkan Bronko
pneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu
setelah terpapar bakteri.
Interaksi antara M tuberculosis dan system kekebalan tubuh pada
masa awal infeksi membentuk sebuah masa jaringan baru yang disebut

15
Granumola. Granumola terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati
yang dikelilingi oleh makrofag seperti dinding.Granumola selanjutnya
berubah bentuk menjadi masa jaringan tibrosa, dan akhirnya
membentuk jaringan kolagen, kemudian bakteri menjadi nonaktif.
Setelah infeksi awal,jika respons system imun tidak adekuat maka
penyakit akan menjad ilebih parah. Penyakit yang kianparah dapat
timbul akibat infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif
Kembali menjadi aktif. paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang,
mengakibatkan timbulnya Bronkopneumonia, dan membentuk
tuberkel,dan selanjutnya. Penyebarannya dengan lambat mengarah
kebawah hilum paru-paru dan kemudian meluas pada lobus yang
berdekatan proses akan berkepanjangan dan ditandai dengan remisi
lama ketika penyakit dihentikan, agar bias diikuti dengan
periodeaktifitas yang diperbaharui (Smelzer, suasane C. 2002 : 858)

2.2.6. ManifestasiKlinis
Tanda dan gejala seseorang ditetap kan sebagai tersangka penderita
tuberculosis paru apabila ditemukan gejala klinis utamayaitu:
1. Batuk berdahak lebih dari tiga minggu
2. Batukberdarah
3. Sesak napas
4. Nyeri dada.
5. Gejala lainnya adalah berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan
fisik.
6. Demam atau meriang dan penurunanberat badan (Widoyono, 2008)

16
2.2.7. Pemeriksaan Penunjang
Yang perlu dilakukan Pemeriksaan Diagnostik pada penderita TB
Paru menurut Depkes (2006) sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Dahak mikroskopi langsung
a. Dilakukan pemeriksaan dahak mikroskopis langsung,penderita
TB diperiksa contoh uji dahak SPS (Sewaktu-pagi-sewaktu) dan
hasilnya BTA Positif
b. Ketiga specimen dahak dari pemeriksaan hasilnya tetap negative
selama tiga specimen dahak sewaktu pagi sewaktu (SPS) pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotic non OAT
c. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak napaas berat
yang memerlukan penanangan khsus (seperti: pneumotoraks,
pleuritis, eksudatifa, pericarditis atau efusi pleura) dan pasien
yang mengalami hemoptisis berat.
2. Pemeriksaan dahak/ culture sputum
a. Kultur sputum
1) Kultur sputum menunjukkan hasil positif untuk
mycobacterium tuberculosis pada stadium aktif.
2) Sputum yang akan diperiksa sebaiknya diambil pada pagi
hari dan yang pertama keluar. Jika dapat maka sputum
dikumpulkan selama 24 jam (modivikasi, somantri 2012
dan Mutaqin, 2008)
3) Untuk mengetahui seorang sakit TB harus dilakukan
pemeriksaan dahak.
Pemeriksaan dahak dilakukan Tiga kali, yaitu sewaktu-
pagi- sewaktu (SPS) dalam dua hari berturut- turut.
Hari pertama :
- Dahak diambil sewaktu (S) kunjungan pertama
kerumah sakit.

17
Hari kedua:
- Dahak diambil pada waktu bangun tidur pagi (P: Pagi)
sebelum makan dan minum. Sewaktu (S) mengantar
dahak pagi kerumah sakit dahak diambil lagi (alur
diagnosis TB paru terlampir)
b. Urine
Urine yang diambil adalah urin pertama di pagi hari atau urin
yang dikumpulkan selama 12-24 jam. Jika klien menggunaka
kateter maka urine yang tertampung didalam urine bag dapat
diambil.
c. Cairan kumbah langsung
Umumnya bahan pemeriksaan ini digunakan jika anak atau
klien tidak dapat mengeluarkan sputum. Bahan pemeriksaan
diambil pada pagi hari sebelum pasien makan
d. Bahan- bahan lain
Misalnya pus, cairan serebrospinal (sum-sum tulang belakang),
cairan pleura, jaringan tubuh, feses, dan swab tengkorak.
3. Pemeriksaan Radiologi: rontgen Thoraks yang sering didaptkan
yaitu :
a. adanya suatu lesi sebelum ditemukan adanya gejala subjektif
awal dan sebelum pemeriksaan fisik menemukan kelainan pada
paru.apical lobus bawah
b. paru militer pada lobus kanan atas.
c. Bayangan bawah
d. Kelainan bilateral terastanu dilapangan atas par
e. Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian
f. Beyengan millie penatalaksanaan
4. Pemeriksaan CT Scan, dilakukan untuk: menemukan hubungan
kasus TB inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran
garis-garis fibrotic ireguler,pita parenkimal, klasifikasi nodul dan
adenopati, perubahan kelengkungan berkas bronkovaskuler,
bronkhiektasis, dan emfisema perisikatriksial.

18
2.2.8. Penatalaksanaan TB paru
Penatalaksanaan TB Paru ditangani dengan pengobatan sebagai
berikut:
a. Non Farmakologi
1. Mengobati pasien TB Paru BTA positif, sebagai sumber
penularan hingga sembuh, untuk memutuskan rantai penularan
2. Menganjurkan kepada penderita untuk menutup hidung dan
mulut bila batuk dan bersin.
3. Jika batuk berdahak, agar dahaknya ditampung dalam pot berisi
lisol 5% atau dahaknya ditimbun dengan tanah.
4. Tidak membuang dahak dilntai atau sembarang tempat
5. Meningkatkan kondisi perumahan dan lingkungan
6. Penderita TB dianjurkan tidak satu kamar dengan keluarganya,
terutama selama 2 bulan pengobatan pertama.
b. Farmakologi
Tujuan pengobatan pada pasien dengan TB paru selain
mengobati, juga mencegah kematian,kekambuhan, resistensi
terhadap OAT (Obat anti Tuberculosis), serta memutuskan rantai
penularan
Ada 2 fase pengobatan pada tuberkilosis yaitu : fase intensif
(2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7) bulan.paduan obat yang
digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat
utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah
Rifampisin, INH, Pirasinamid, Streptomisin dan Etombutol, dan
untuk program nasional pemberantasan TB Paru, WHO
menganjurkan panduan obat sesuai kategori penyakit, (Mutaqin
2008)
Adapun pencegahan Tuberculosis paru yaitu :
1. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang
bergaul erat dengan penderita Tuberculosis paru BTA positif .
pemeriksaan meliputi tes tuberculin, klinis dan radiologi.jika
tes tuberculin positif, maka pemeriksaan radiologi foto thoraks

19
diulang pada 6-12 bulan mndatang, dan jika hasilnya negative ,
maka diberikan vaksin BCG.
2. Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap
kelompok- kelompok populasi tertentu contohnya :
a. Karyawan rumah sakit
b. Penghuni rumah tahanan
c. Siswa- siswi pesantren
3. Komunikasi informasi dan edukasi (KIE) tentang penyakit
tuberculosis pada masyarakat ditingkat rumah sakit oleh
petugas pemerintah maupun petugas LSM.
a. Pengobatan Tuberculosis paru & Kategori
1. Tujuan:
Pengobatan Tuberculosis bertujuan untuk:
a. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan
produktivitas pasien.
b. Mencegah kematian pada seseorang yang terkena TB aktif atau
efek lanjutan.
c. Mengurangi penularan penyakit TB kepada orang lain
d. Mencegah terjadinya resistensi obat pada pasien terkena TB.
2. Prinsip pengobatan
1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis
obat, dalam jumlah kecil dan dosis tetap sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (Monoterapi).
pemakaian OAT kombinasi dosistetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan dianjurkan.
2) Kategori satu (2HRZS(E)/ HR/4/H3R3) merupakan kasus baru
dengan sputum positif dan penderita dengan keadaan yang
berat seperti meningitis, TB miliar, prikrdiris, pritinitis, TB
saluran perkemihan (2HRZSE) obat diberikan setiap hari
selama duabulan. Bila selama dua bulan sputum menjadi
negative maka dimulai fase lanjutan. bila sputum masih tetap
posistif, maka fase intensif diperpanjang 2-4 minggu lagi.

20
Kemudian diteruskan dengan fase lanjutan tanpa melihat
apakah sputum sudah negative atau belum. Fase lanjutan
adalah 4 HR atau 4 H3R3 selama 6-7 bulan total pengobatan 8-
9 bulan.
3) Kategori II (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) adalah status kambuh
atau gagal dengan sputum tetap positif. Fase intensif dalam
bentuk 2HRZES-1HRZE. Bila sputum menjadi negative, baru
diteruskan kefase lanjutan. Bila setelah 3 bulan sputum masih
positif, maka fase intensif diperpanjang 1 bulan lagidengan
HRZE.
a. Kategori III (2HRZ/6HE/4HR/H3R). Kategori III
merupakan kasus dengan sputum negative tetepi kelainan
parunya tidak luas dan kasus TB diluar paru selain yang
disebut dalam kategori1.pengobatan yang diberikan :
2HRZ/6HE, 2HRZ/4HR, 2HRZ/4H3R3.
b. Kategori empat ( IV H), kategori IV adalah Tuberculosis
kronis. Prioritas pengobatan rendah karena kemungkinan
keberhasilan pengobatan kecil sekali. Untuk negara kurang
mampu darisegi Kesehatan masyarakat,dapat diberikan H
(isoniazid) saja seumur hideup (mutaqqin,2008).
3. Penangan Efek samping obat
Efek samping yang ringan pada pasien TB Paru seperti
gangguan lambung yang dapat diatasi secara simptomatik.
Gangguan sendi karena pirazinamid dapat diatasi dengan
pemberian salisilat/ allopurinol.
Sedangkan Efek samping yang serius adalah hepatitis imbas
obat. Penderita dengan reaksi hipersensitif pada seperti timbulnya
rash pada kulit yang umumnya disebabkan oleh INH dan
Rifampisin, dapat dilakukan pemberian dosis rendah dengan
desensitasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-
lahan dengan pengawasan yang ketat.

21
b. Srategi penanggulangan TB
Strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly
Observed Treatment Short Course (DOUTS) yang direkomendasikan
oleh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu:
1. Adanya komitmen politis berupa dukungan para pengambil
keputusan dalam penanggulangan TB.
2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan sputum secara microskopik
langsung sedangkan pemeriksaan penunjangan lainnya seperti
pemeriksaan radiologi dan kultur dapat dilaksanakan diunit
pelayanan yang memiliki sarana tersebut.
3. Pengobatan TB dengan panduan OAT jangka pendek dibawah
pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO),
khususnya dalam dua bulan pertama dimana penderita harus
minum obat setiap hari.
4. Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang
cukup.
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku (mutaqqikn, 2008).

2.2.9. Kompikasi
Menurut buku materi KMB (2019) : Pernapasan tentang Asuhan
keoerawatan pasien dengan TBC, komplikasi pada pasien TB paru
antaralain
1. Batuk darah
2. Pneumothorakx
3. Empyema
4. Bronkiectasis

22
2.3. Konsep Dasar Napas TidakEfektif
2.3.1. Definisi
Pola napas tidak efektif merupakan kondisi dimana inspirasi dan
atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi yang adekuat (PPNI,
2017)
2.3.2. Penyebab
Penyebab pola napas tidak efektif adalah sebagai berikut:
1. Depresi pusat pernapasan
2. Hambatan upaya napas (mis. Nyeri saat bernapas, kelemahan otot
bantu pernapasan)
3. Deformitas dinding dadah
4. Ganggguan neuromuscular
5. Gangguan neorlogis (mis Elektrornse falogram EEG) positif,
cederah kepala,gangguan kejang)
6. Imaturitas neorologis
7. Penurunan energy
8. Obsitas
9. Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru,cederah pada
medulla, efek agen farmakologis,kecemasan, sindrom,
hipoventilasi

2.3.3. Tanda Dan Gejala


Menurut PPNI (2017) tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada
pasien dengan pola napas tidak efektif meliputi :
1. Tanda Dan Gejala mayor
a. Subjektif
1. Dispone
b. Objektif
1. Penggunaan otot bantu pernapasan
2. Fase ekspirasi memanjang
3. Pola napas abnormal (mis. Takipnea, bradypnea,
hiperventilasi)

23
2. Tanda Dan Gejala Minor
a. Subjektif
b. Objektif :
1) Pernapasan pursed- pip
2) Pernapasan cuping hidung
3) Diameter thoraks anterior-posterior meningkat.
4) Ventilasi semenit menurun.
5) Kapastas vital menurun.
6) Tekanan ekspirasi menurun.
7) Tekanan inspirasi menurun eksrusi dada berubah

2.3.4. Faktor yang Berhubungan


1. Deformitas dinding dada
2. Kerusakan muskolokeletal
3. Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
4. Deformitas tulang
5. Kecemasan
6. Kelelahan otot pernapasan dada
7. Trauma tulang spinal
8. Disfungsi neuromuscular
9. Gangguan neurologis.
10. Sindrom Hiperventilasi
11. Keletihan (Ulliya S. dkk, 2018)

24
2.4. Konsep Dasar AsuhanKeperawatan
2.4.1. Pengkajian
1. Keluhan utama
Yang menjadi keluhan utama penyebab pasien TB meminta
pertolongan dari Tim kesehatan dengan melakukan pemeriksaan,
yang dibagi menjadi dua kelompok berikut:
a. Resoiratorik
1. Batuk
Keluhan utama yang timbul paling awal ialah batuk yang
merupakan gangguan yang sering dikeluhkan.perawat wajib
menanyakan apakah keluhan batuk bersifat nonproduktif
/produktif atau batuk sputum bercampur darah.
2. Batuk darah
Yang selalu menjadi alasan utama pasien TB paru meminta
pertolongan Kesehatan ialah keluhan batuk darah. Hal
tersebut disebabkan karena pasien merasa takut pada darah
yang dikeluarkan. Petugas menanyakan seberapa banyak
darah yang keluar atau berupa garis, bercak darah.
3. Sesak napas
Pasien akan mengeluh sesak napas bila kerusakan
parenkim paru sudah sangat luas atau efusi
pleura,pneumothoraks dan anemia
4. Nyeri dada
Pasien TB paru akan mengalami nyeri dada termasuk nyeri
pleuritic ringan,dan gejala ini timbul Ketika system
persarafan dipleura terkena Tuberculosis.

25
b. Keluhan sistemis, meliputi
1. Demam
Pada pasien TB sering ditemui Demam,yang biasanya
timbul pada sore maupun malam hari sama dengan demam
influenza, yang waktunya hilang timbul, semakin lama
semakain Panjang serangannya, dan masa bebas serangan
semakin pendek.
2. Keluhan sistemis lani
Keluhan yang biasanya muncul adalah keringat dimalam
hari, berat badan menurun dan kelelahan. Dalam beberapa
minggu-bulan biasanya timbul keluhan yang bersifat
gradual. Akan tetapi walaupun batuk panas dan sesak napas
jarang ditemukan ,dapat juga timbul gejalah pneumonia
yang menyerupai.
3. Riwayat penyakit saat ini
Jika keluhan utama adalah batuk, maka perawat wajib
menyanyakan sudah berapa lama keluhan batuk muncul.
Keluhan batuk timbul paling awal dan merupakan
gangguan yang paling sering dikeluhkan, mula-mula non
produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila
sudah terjadi keruska jaringan.Tanyakan selama keluhan
batuk muncul, apakah ada keluhan lain seperti demam,
keringat pada malam hari, atau menggigil yang sama
dengan demam influenza, karena keluhan demam dan batuk
merupakan gejala awal dari TB paru.Apabila keluhan
utama adalah batuk darah, maka perlu ditanyakan kembali
berapa banyak darah yang keluar.Jika keluhan utama atau
yang menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan
adalah sesak napas, maka perawat perlu mengarahkan atau
menegaskan pertanyaan untuk membedakan antara sesak
napas yang disebabkan oleh gangguan pada sistem
pernapasan dan sistem kardiovaskuler.

26
2. Riwayat penyakit terdahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah
sebelumnya klien pernah menderita penyakit TB Paru, keluhan
batuk lama pada masa kecil, tuberculosisdari organ tubuh lain,
pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang memberat TB
paru seperti diabetes mellitus.Tanyakan mengenai obat-obatan
yang biasa diminum pada masa lalu, yang masih relvan, dan obat-
obatan meliputi OAT dan antitusif.
3. Riwayat penyakit keluaga
Perawat perlu menyanyakan apakah penyakit ini pernah dilami
oleh anggota keluargga lainnya sebagai factor predisposisi
penularan dalam rumah
4. Pengkajian psiko-sosial-spiritual
Pengkajian ini meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan
perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi,kognitif, dan perilaku klien.Perawat juga perlu
menyanyakan kondisi pemukiman pasien bertempat tinggal. Hal ini
penting mengingat TB paru sangat rentan dialami oleh mereka
yang bertempat tinggal dipemukiman padat dan kumuh karena
populasi bakteri TB Paru lebih mudah hidup ditempat yang kumuh
dengan ventilasi dn pencahayaan sinar matahari yang kurang.
5. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum dan tanda-tanda vital
Keadaan umum pada pasien TB Paru dapat dilakukan secara
selintas pandang dengan menilai keadaan fisik tiap bagian
tubuh,sealin itu Perlu dinilai secara umum tentang keadaan
klien yang erdisi atas composmentis, apatis, somnolen, spoor,
soporokoma, atau koma. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital
pada klien Tuberculosis paru biasanya didapatkan peningkatan
suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat
apabila disertai sesak napas, denyut nadi biasanya meningkat

27
seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi
pernapasan, dan tekanan darah biasanya dengan adanya
penyakit penyulit seperti Hipertensi.
b. B1 (Breathing)
1. Inspeksi
Bentuk dada dan pergerakan sekilas pandang klien
tuberculoss paru biasanya tampak kurus sehingga terlihat
adanya penurunan proporsidiameter bentuk dada anterior-
posterior dibandingkan proporsi diameter lateral.
2. Palpasi
Palpasi trakea
Adanya pergeseran trakea menunjukkan (meskipun tidak
spesifik)
Adanya penurunan taktil fremitus pada klien yang disertai
komplikasi efusi pleura massif
3. Perkusi
Pada klien biasanya ditemukan bunyi resonan atau sosnor
pada seluruh lapang paru disertai komplikasi seperti efusi
pleura didaptakan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang
sakit sesuai banyaknya akumulasi cairan didalam rongga
pleura
4. Auskultasi
Pada klien Tb didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi)
pada sisi yang sakit
c. B2 (Blood)
1) Inspeksi
Adanya keluhan jaringan parut dan keluhan kekeuatan
fisik menurun
2) Palpasi
Denyut nadi perifer teraba lemah.

28
3) Perkusi
Jantung mengalami pergeseran pada tuberculosis dengan
efusi pleura massf mendorong kesisi yang sehat
4) Auskultasi
Tekanan darah normal, tidak terdengar bunyi jantung tambahan
dan terdengar normal.
d. B3 (Brain)
Kesadaran composentis adanya sinosis perifer apabila
gangguan perfusi jaringan berat. Wajah Pasien tampak
meringgis, menangis, merintih, meregang dan menggeliat saat
dilakukan pengkajian pada mata, ditemukan adanya
konjungtiva anemis pada tuberculosis dan tampak hemoptoe
massif dan kronis serta sclera ikterik, pada pasien tb dengan
gangguann hati.
e. B4 (Bladder)
Berhubungan dengan intake cairan perlu
mengukur/menghitung volume output urin dan memonitor
adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari
syok. Pasien perlu mengetahui bahwa urin yang berwarna
jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal masih
normal, dan sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama
Rifampisin.
f. B5 (Bowel)
Pada pasien Tb biasanya mengalami mual muntah,nafsu makan
menurun dan penurunan berat badan.
g. B6 (Bone)
Kurangnya aktifitas sehari-hari pada klien TB dapat
menimnulkan gejala seperti kelemahan, kelelahan, insomnia,
pola hidup menetap, dan jadwal olahraga menjadi tak teratur
(Mustaqin, 2012).

29
2.4.2. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya
napas
2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi
yang tertahan

2.4.3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Intervensi


Keperawatan Kriteria Hasil
1 Pola napas Setelah dilakukan Luaran utama : pemantauan respirasi
tidak efektif tindakan Observasi:
berhubungan keperawatan selama 1. Monitor
dengan 3x24 jam frekuensi,irama,kedalama,dan
hambatan diharapkan pola upaya napas.
upaya napas napas membaik 2. Monitor pola napas
dengan 3. Monitor adanya sumbatan
kriteria hasil: jalan napas
1. Dispena 4. Auskultasi bunyi napas
menurun (5) 5. Monitor saturasi oksigen
2. Penggunaan 6. Monitor sputum
otot bantu Terapeutik :
napas menurun 1. Atur interval pemantauan
(5) respirasi sesuai kondisi pasien
3. Ortopnea 2. Pertahankan kepatenan jalan
mrnurun (5) napas degan head-tit (jaw-
4. Frekuensi thrust) jika curigai trauma
napas membaik servikal
(5) 3. Posisikan semi fowler atau
5. Kedalamanan fowler
napas membaik 4. Berikan minum air hangat
(5) 5. Lakukan fisioterapi dada jika
perlu

30
6. Lakukan penghisapan lender
kurang dari 15 detik
Edukasi:
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan respiratory
2. Anjurkan asupan cairan
2000ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
3. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
1. Kolaborsi pemberian
fisioterapi dada jika perlu
2. Kolaborasi pemberian
bronkodilator
2 Bersihan jalan Tujuan : setelah Tindakan
napas dilakukan tindakan Observasi :
tidakefektif keperawatan selama 1. Monitor pola napas (frekuensi,
berhubungan 3x24 jam kedalaman, usaha napas.)
dengan sekresi diharapkan masalah 2. Monitor bunyi napas tambahan
yang tertahan bersihan jalan napas (mis, gurgling, mengi,
meningkat dengan wheezing, ronchi kering)
kriteria hasil : 3. Monitor sputum( jumlah, warna,
1. Batuk efektif aroma)
meningkat (5).
2. Produksi Terapeutik :
sputum 1. Pertahankan kepatenan jalan
menurun (5) napas dengan head-tilt dan chin
3. Mengi menurun lift( jaw-thrust jika curigai
(5) trauma servikal)
4. Wheezing 2. Posisikan semi fowlr atau fowler
menurun (5) 3. Berikan minum hangt
5. Dispnea 4. Lakukan fisioterapi dada, jika

31
menurun (5) perlu
6. Ortopnea 5. Lakukan penghisapann lender
menurun (5) kurang dari 15 detik.
7. Frekuensinapas 6. Lakukan hiperoksigenasi
membaik (5) sebelum penghisapan
8. Pola napas endotrakeal
membaik (5) 7. Keluarkan sumbatan benda
padat dengan forsep McGill
8. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi :
1. Anjurkan asupan cairan
2000ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu

32
2.4.4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai
tujuan yang spesifik yang telah ditetapkan oleh perawat bersama
pasien (Nursalam, 2014)
1. Implementasi independen adalah tindakan yang dilakukan perawat
atau yang diberikan perawat tanpa instruksi dokter.
2. Implementasi interdependen adalah tindakan yang dilakukan oleh
perawat yang bekerjasama dengan anggota tim kesehatan lainnya.
3. Implementasi dependent (Nursalam, 2008).

2.4.5. Evaluasi Keperawatan


Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dalam proses
keperawatan. Dalam perumusan evaluasi keperawatan menggunakan
empat komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni S
(subjective) merupakan data informasi berupa ungkapan keluhan dari
pasien. O (objective) merupakan data berupa hasil pengamatan,
penilaian, dan pemeriksaan. A (Analisis/assesment) merupakan
interpretasi makna data subjektif dan objektif untuk menilai sejauh
mana tujuan yang telah ditetapkan P (planning) merupakan rencana
keperawatan lanjutan yang akan dilakukan berdasarkan hasil analisa
data (potter dan Perry, 2005).

33
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Desain penelitian


Jenis penelitian ini deskriptif yaitu metode penelitian yang dilakukan
dengan tujuan membuat gambaran atau deskriptif tentang suatu keadaan
objektif dengan pendekatan studi kasus. Hasil yang diharapkan
olehpeneliti adalah melihat penerapan asuhan keperawatan pada klien
yang mengalami TB paru dengan masalah pola napas tidak efektif di Rsud
Mgr Gabriel Manek SVD Atambua.

3.2. Batasan istilah


Batasan istilah yang digunakan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien yang mengalami TB Paru dengan masalah pola
napas tidak efektif di Rsud Mgr Gabriel Manek SVD Atambua

3.3. Partisipan
Pada sub bab ini tentang karakteristik partisipan analisis/kasus yang
akan diteliti. Untuk analisis/pertisipan dalam keperawatan umumnya
adalah klien itu sendiri, perawat dan keluarga klien yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti.

3.4. Lokasi penelitian dan Waktu penelitian


Penelitian ini dilakukan di Rsud Mgr Gabriel Manek SVD Atambua,
waktu penelitian yaitu dari bulan Februari- Maret 20223

3.5. Pengumpulan data


Metode pengumpulan data yang digunakan dalam studi kasus ini
adalah:
1. Observasi dan pemeriksan fisik
Dengan mendekatkan IPPA (inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi)pada system tubuh klien

34
2. Wawancara
Hasil anamnesa berisi tentang identitas pasien, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit
keluarga, sumber data dari keluarga dan perawat lainnya.
3. Studi dokumentasi dan hasil pemeriksaan diagnostic dan data lain yang
releven.

3.6. Uji keabsahan data


Uji keabsahan data bertujuan untuk menguji kualitas data dan
informasi yang diperoleh dalam penelitian sehingga menghasilkan data
dan validasi tinggi. Uji keabsahan data dilakukan dengan dua cara yaitu:
1. Memperpanjang waktu pengamatan atau tindakan
2. Sumber informasi tambahan menggunaka triagulasi dari tiga sumber
data utama yaitu pasien, perawat, dan keluarga pasien yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti.

3.7. Analisa data


Analisa data dilakukan sejak penelitian dilapangan. Sewaktu
pengumpulan data sampai dengan semua data terkumpul. Analisa waktu
akan dilakukan dengan cara mengumpulkan fakta, selanjutnya
membandingkan dengan tweori yang ada selanjutnya dituangkan dalam
opini pembahasan.teknik analisa dilakukan dengan cara observasi oleh
penelitian dan studi dokumentasi yang menghasilkan data untuk
selanjutnya diinterprestasikan teori yang ada sebagai beban untuk
memberikan rekomendasi dalam intervensi tersebut.
Uraian analisa adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan dari WOD( Wawancara, observasi, dan
dokumen).
2. Mereduksi data
Data hasil wawancara yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan
dijadikan satu dalam bentuk transkrip dan dikelompokkan menjadi

35
data subjektif dan data objektif, dianalisis berdasarkan hasil
pemeriksaan diagnostic kemudian dibandingkan nilai normal.
3. Penyajian data
Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk table, gambar, bagan
maupun teks naratif.
4. Kesimpulan
Dari data yang disajikan, kemudian data dibahas dan dibandingkan
dengan hasil-hasil penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan
perilaku kesehatan penarikan kesimpulan terkait dengan data
pengkajian, diagnosis, perencanaan, tindakan dan evaluasi.

3.8. Etika penelitian


Dicantumkan etika yang mendasari penyusunan studi kasus terdiri dari:
1. Informed consent (persetujuan menjadi klien)
Merupakan penelitian memberikan informasi kepada klien tentang
tujuan dan keikutsertaan dalam penelitian diminta untuk
menandatangani lambat persetujuan.
2. Anonymity (tanpa nama)
Merupakan kerahasiaan pasien dijamin peneliti dengan cara tidak
mencantumkan nama klien dalam pengkajian data, nama klien, akan
dicantumkan menggunakan inisial
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Merupakan masalah etika dengan menjamin kerahasiaan dari
hasilpenelitian baik informasi maupun masalah lainnya. Semua
informasi dikumpulkan dijamin kerahasiannya oleh penelitian

36
DAFTAR PUSTAKA

Abbas. (2017). TB Monitoring off side effects of Anti Tuberculosis Drugs (ATD)
on the Intensive phase Treatment of pulmonary patiens in Makassar.
Journal of agromedicine and medical sciens, 3 (1) : 19-24

Arif Muttaqin. (2008). Buku Ajar : Asuhan keperawatan klien dengan gangguan
sistem pernapasan. Jakarta : Salemba Medikal Bedah

Azizah & Lilik & Ma’ritaful (2011) : Modul bahan ajar cetak keperawatan
Gerontik. Jakarta : Budi Mulia

Budiarti 2001. Buku materi keperawatasn Medikal Bedah: pernapasan: TBC paru

Departemen kesehatan Indonesia (Depkes) (2006). Pedoman Nasional


Penanggulangan Tuberculosis : Jakarta.

Kemenkes RI. (2021). Depkes. Go.id. resources/Download/pusdatin/profil-


kesehatan-Indonesia 2020.

Maelani et al 2019.

Nugroho (2006).: Modul Bahan Ajar cetak keperwatan Gerontik:Kementerian


kesehatan Republik Indonesia.

Nursalam (2008). Proses dan dokumentasian keperawatan. Edisi 2. Jakarta :


Salemba Medika.

PPNI (2017). Standar Diagnosis keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta : DPP


PPNI.

Smelzer, Suasane C.2002. Buku ajar: keperawatan medical bedah: Pernapasan:


TBC paru. Jakarta : Salemba Medika.

Somantri Irman. (2008). Keperawatan Medikal Bedah : Asuhan keperawatan


pada psien dengan Gangguan system pernapasan. Jakarta : Salemba
Medika

37
Uliya, S. (2018). Diagnosa keperawatan yang sering ditegakkan perawat pada
pasien Tuberculosis Paru di Rumah sakit. Jurnal kepemimpinan dan
Manajemen keperawatan. Vol 1 No.2: 1-8

WHO (2018). Pengetahuan dan perilaku pasien Tuberculosis terhadap penyakit


dan pengobatannya. Jurnal Riset Kesehatan Nasional. Vol 1 No 2 : 28-34

Widoyono 2008. Epidomologi penularan pencegahan dan pemberentasannya.


Edisi 2. Jakarta : EMS

38

Anda mungkin juga menyukai