Anda di halaman 1dari 62

i

KATA PENGANTAR

Pengelolaan Ekosistim Mangrove merupakan salah satu


kumpulan kegiatan pengelolaan kawasan konservasi yang
meliputi kegitan teknik identifikasi mangrove, teknik rehabilitas
mangrove dan pengelolaan mangrove. Untuk memahami
tentang pengelolaan ekosistim mangrove, peserta harus
mempelajari tiga sub judul materi yaitu teknik identifikasi
mangrove, teknik rehabilitasi mangrove dan pengelolaan
mangrove, ke tiga nya tidak bisa dipisahkan antara yang satu
dengan yang lain.

Dengan mempelajari ketiga sub judul materi penyuluhan


tersebut peserta diharapkan mempunyai kompetensi dalam
bidang pengelolaan ekosistim mangrove secara utuh.

Nopember 2012

Penyusun
ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ........................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................... v
BAB I. PENDAHULUAN ..................................................... 1
A. Teknik Identifikasi Mangrove .................................... 1
B. Komponen Mangrove ............................................... 3
C. Cara Pengenalan Jenis Mangrove .............................. 5
D. Jenis-jenis Mangrove ............................................... 9

BAB II. TEKNIK REHABILITAS MANGROVE ......................... 16


A. Teknik Pembibitan Mangrove ................................... 17
B. Teknik Penanaman Mangrove .................................. 21
C. Teknik Pemeliharaan Mangrove ............................... 23
D. Pemantauan dan Evaluasi ....................................... 24
iii

BAB III. PENGELOLAAN KAWASAN MANGROVE ................. 26


A. Peraturan Mengenai Pengelolaan Hutan Mangrove ..... 30
B. Penegakkan Hukum ................................................ 31
C. Finansial ................................................................. 33
D. Peran Institusi dan Pelaku Pengelola Mangrove .......... 35
1. Peran Pemerintah Pusat ....................................... 35
2. Peran Pemerintah Propinsi ................................... 38
3. Peran Pemerintah Kabupaten/Kota ........................ 41
4. Peran Masyarakat ................................................ 43

DAFTAR PUSTAKA
GLOSARIUM
Pengelolaan Ekosistim Mangrove iv

DAFTAR GAMBAR

1. Bentuk-bentuk perakaran tumbuhan yang sering


dijumpai di Hutan Mangrove ............................................ 7
2. Berbagai buah jenis pohon mangrove yang
Menunjukan fenomena vivipar ......................................... 8
3. Bunga, buah, daun dan pohon Avicennia lanata ................ 11
4. Bunga, buah, daun pohon Rhizophora apiculata ................ 13
5. Bunga, buah, daun pohon Avicennia marina ...................... 15
6. Daun, ujung pihak daun, spora dan pohon
Acrostichum aureum ....................................................... 16
7. Pembibitan mangrove dengan cara bedeng ....................... 18
8. Rangkaian pembibitan mangrove
(Rhizophora mucronata) ................................................. 20
9. Perkembangan bibit mangrove (R. mucronata)
di semai di bawah pohon manrove (tanpa bedeng) ............ 21
Pengelolaan Ekosistim Mangrove
v

DAFTAR TABEL

1. Syarat bibit siap tanam ............................................... 20


Pengelolaan Ekosistim Mangrove 1

BAB I. PENDAHULUAN

A. Teknik Identifikasi Mangrove

Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di


sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh
pasang-surut air laut. Sering kali disebut pula sebagai hutan pantai,
hutan pasang-surut, hutan payau, atau hutan bakau. Mangrove
tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai
yang datar. Biasanya di tempat yang tidak ada muara sungainya
hutan mangrove terdapat agak tipis, namun pada tempat yang
mempunyai muara sungai besar dan delta yang aliran airnya
banyak mengandung lumpur dan pasir, mangrove biasanya tumbuh
meluas (Jaya, 2001).
Hutan mangrove berada di daerah tropis di titik pertemuan
antara laut dan darat dimana ekosistemnya mempunyai
bermacam-macam fungsi. Ekosistem mangrove sangat berhubungan
dengan kehidupan manusia dalam mengontrol kondisi alam. Di
Indonesia ditemukan 75 jenis flora mangrove yang tersebar di
27 propinsi dengan luas hutan mangrove berkisar antara 2,5-4,2
juta ha dan luas ini terus berubah karena faktor lingkungan dan
kegiatan ekonomi manusia (Inoue et al., 1999).
Pengelolaan Ekosistim Mangrove 2

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis,


yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu
tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai
berlumpur. Ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal,
estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindung (Bengen, 1999).
Hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah
lumpur di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi
pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Avicennia,
Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera,
Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa (Noor et
al., 1999).
Menurut Noor et al., (1999) mangrove memiliki berbagai
macam manfaat bagi kehidupan manusia dan lingkungan
sekitarnya. Bagi masyarakat pesisir, pemanfaatan mangrove untuk
berbagai tujuan telah dilakukan sejak lama. Akhir-akhir ini, peranan
mangrove bagi lingkungan sekitarnya dirasakan sangat besar
setelah berbagai dampak merugikan dirasakan di berbagai tempat
akibat hilangnya mangrove. Mangrove merupakan ekosistem yang
sangat produktif. Berbagai produk dari mangrove dapat dihasilkan
baik secara langsung maupun tidak langsung, diantaranya: kayu
bakar, bahan bangunan, keperluan rumah tangga, kulit, obat-
obatan dan perikanan. Melihat beragamnya manfaat mangrove,
maka tingkat laju dan perekonomian pedesaan yang berada
dikawasan pesisir sering kali sangat bergantung pada habitat
Pengelolaan Ekosistim Mangrove
3

mangrove yang ada disekitarnya. Contohnya, perikanan pantai


yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan mangrove, merupakan
produk yang secara tidak langsung mempengaruhi taraf hidup dan
perekonomian desa-desa nelayan (Noor et al., 1999).
Manfaat lain dari hutan mangrove adalah melindungi garis
pantai dari erosi. Akar-akarnya yang kokoh dapat meredam
pengaruh gelombang, menahan lumpur hingga lahan mangrove
dapat semakin luas tumbuh keluar (Jaya, 2001).

B. Komponen Mangrove
Unsur dominan dalam hutan mangrove adalah pohon-pohon
yang tumbuh dan tingginya mencapai lebih dari 30 meter,
memiliki tajuk (canopy) lebar, rapat dan tertutup. Banyak juga
species tumbuhan dan fauna lain yang atau eksklusif yang
menempati hutan mangrove. Topografi setempat dan karakteristik
hidrologi, tipe dan komposisi bahan kimia dari tanah dan pasang
surut menentukan tipe ekosisitem mangrove yang dapat dibuktikan
pada tempat-tempat tertentu.
Flora mangrove umumnya tumbuh membentuk zonasi
mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi yang
terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana dan zonasi yang
kompleks tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang
bersangkutan.
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

Chapman (1984), mengelompokan mangrove menjadi 2 kategori


yaitu :
1. Flora mangrove Inti, yaitu mangrove yang mempunyai peran
ekologi utama dalam formasi mangrove yang terdiri dari jenis:
Rhizophora, bruguiera, Ceriops, Kandelia, Soneratia, Avicenia,
Nypa, Xylocarpus, Deris, Acanthus, Lumnitzera, Scyphyphora ,
dan Dolichandron.
2. Flora mangrove pheripheral (pinggiran) yaitu flora mangrove
secara ekologi berperan dalam formasi mangrove, tetapi juga
flora tersebut berperan penting dalan formasi hutan lain.
Jenisnya antara lain; Exoecaria agalloca, Acrosticum auerum,
Cerbera manghas,Heritiera littoralis, Hibiscus tilliaceus.
Tomlinson (1984) membagi flora mangrove menjadi 3 kelompok,
yaitu :
a. Kelompok mayor, komponen ini memperlihatkan karakteristik
morfologi, seperti: sistem perakaran udara dan mekanisme
fisiologis khusus untuk mengeluarkan garam agar dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan mangrove.
Komponennya adalah pemisahan taksonomi dari hubungan
daratan dan hanya terjadi dihutan mangrove serta
membentuk tegakan murni, tetapi tidak pernah meluas
sampai kedalam komunitas daratan. Contohnya adalah
Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia,
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

5
Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.
b. Kelompok minor (tumbuhan pantai), dalam kelompok ini
tidak termasuk elemen yang mencolok dari tumbuh-
tumbuhan yang mungkin terdapat disekitar habitatnya dan
yang jarang berbentuk tegakan murni.
c. Kelompok asosiasi mangrove, dalam komponen ini jarang
ditemukan species yang tumbuh didalam komunitas
mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan sering
ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan darat.

C. Cara Pengenalan Jenis Mangrove

Secara umum, ada 4 (empat) cara dalam mengenal


suatu jenis flora, yaitu (a) bertanya kepada orang yang ahli, (b)
mencocokkan dengan herbarium yang telah diidentifikasi, (c)
membandingkan dengan gambar dan deskripsi yang terdapat
pada buku flora, dan (d) menggunakan kunci identifikasi. Karakter
yang digunakan dalam pengenalan suatu jenis adalah karakter
morfologi yang bersifat khas dan mantap. Oleh karena itu, setiap
yang ingin mengenal jenis flora, termasuk mangrove, minimal
memiliki pengetahuan tentang morfologi tumbuhan.
Dalam berbagai buku taksonomi, identifikasi didasarkan pada
morfologi bunga dan buah, namun sulit diaplikasikan di lapangan,
Pengelolaan Ekosistim Mangrove
6

mengingat tidak setiap waktu dijumpai bagian bunga dan buah.


Oleh karena itu, pengenalan berdasarkan karakter morfologi dari
bagian vegetatif, seperti akar, batang, daun, dan getah
banyak dikembangkan yang tidak bergantung pada keberadaan
bagian generatif.
Flora mangrove dapat dikenali berdasarkan karakteristik
morfologi dari setiap bagian penyusunnya, seperti akar, batang,
daun, bunga dan buah. Saat ini, pengenalan jenis flora mangrove
juga dapat mengacu pada buku panduan atau publikasi terkait
floristik mangrove yang telah tersedia, seperti Ding Hou (1958),
Mabberley et al (1995), Tomlinson (1996), Kusmana et al.
(1997, 2003), Kitamura et al. (1997), Noor et al. (1999), dan
Onrizal et al. (2005). Dalam berbagai publikasi tersebut,
karakter yang sering digunakan adalah perawakan (habitus), tipe
akar, daun, bunga, dan buah.
Berdasarkan perawakannya, flora mangrove dibagi ke dalam
lima kategori, yaitu: pohon (tree), semak (shrub), liana (vine),
paku/ palem (fern/palm), dan herba/rumput (herb/grass). Flora
mangrove memiliki sistem perakaran yang khas, sehingga bisa
digunakan untuk pengenalan di lapangan. Bentuk-bentuk
perakaran tumbuhan mangrove yang khas tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Akar pasak (pneumatophore). Akar pasak berupa akar yang
muncul dari sistem akar kabel dan memanjang keluar ke arah
Pengelolaan Ekosistim Mangrove
7

udara seperti pasak. Akar pasak ini terdapat pada Avicennia,


Xylocarpus dan Sonneratia.
2. Akar lutut (knee root). Akar lutut merupakan modifikasi
dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh ke arah
permukaan substrat kemudian melengkung menuju ke
substrat lagi. Akar lutut seperti ini terdapat pada Bruguiera
spp.
3. Akar tunjang (stilt root). Akar tunjang merupakan akar
(cabang-cabang akar) yang keluar dari batang dan tumbuh ke
dalam substrat. Akar ini terdapat pada Rhizophora spp.
4. Akar papan (buttress root). Akar papan hampir sama dengan
akar tunjang tetapi akar ini melebar menjadi bentuk lempeng,
mirip struktur silet. Akar ini terdapat pada Heritiera.
5. Akar gantung (aerial root). Akar gantung adalah akar yang
tidak bercabang yang muncul dari batang atau cabang bagian
bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat. Akar gantung
terdapat pada Rhizophora, Avicennia dan Acanthus.

Gambar 1. Bentuk-bentuk perakaran tumbuhan yang sering dijumpai


di hutan mangrove. (a) akar tunjang, (b) akar lutur, (c)
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

akar pasak, (d) akar papan.


Pengelolaan Ekosistim Mangrove 8

Pada umumnya marga pohon mangrove mempunyai satu atau


lebih tipe akar. Berbagai bentuk perakaran tersebut merupan
salah satu cara adaptasi tumbuhan mangrove terhadap kondisi
habitat yang sering tergenang air pasang, sehingga tanahnya
bersifat anaerob.
Beberapa jenis mangrove memiliki morfologi buah yang
sangat spesifik, sehingga dapat dijadikan alat identifikasi yang
baik. Ada beberapa bentuk khas buah mangrove, yaitu: bulat
memanjang (cylindrical), bola (ball), seperti kacang buncis (bean-
like), dan sebagainya. Morfologi buah yang spesifik tersebut
merupakan bentuk adaptasi, yakni antisipasi terhadap habitat yang
tergenang dan substratnya yang berlumpur, dimana biji flora
mangrove telah berkecambah selagi masih melekat pada pohon
induknya. Fenomena ini disebut vivipari dan kriptovivipari
(Gambar 2).
Gambar 2. Berbagai buah jenis
pohon mangrove yang menunjukkan
fenomena vivipari:
(a) Rhizophora mucronata,
(b) R. apiculata, (c) Bruguiera gymnorrhi
(d) Ceriops tagal, (e) R. stylosa,
(f) Aegiceras corniculatum; dan
kriptovivipari: (g) Avicennia marina, (h)
Sonneratia caseolaris, dan (i) S. alba.
Pengelolaan Ekosistim Mangrove 9

Vivipari adalah perkecambahan dimana embrio keluar dari


perakaran selagi masih menempel pada ranting pohon, kadang-
kadang berlangsung lama pada pohon induknya.
Vivipari terjadi pada Bruguiera, Ceriops, Rhizophora, Kandelia dan
Nypa. Kriptovivivari adalah perkecambahan dimana embrio
berkembang dalam buah, tapi tidak mencukupi untuk keluar dari
pericarp. Kriptovivipari terjadi pada Aegialitis, Acanthus, Avicennia,
Laguncularia dan Pelliciera. Viviparitas ini merupakan mekanisme
adaptasi terhadap beberapa aspek lingkungan, diantaranya
bertujuan untuk mempercepat perakaran, pengaturan kadar garam,

keseimbangan ion, perkembangan daya apung dan memperpanjang


waktu memperoleh nutrisi dari induk.

D. Jenis-jenis Mangrove
Diperkirakan ada sekitar 89 spesies mangrove yang tumbuh di
dunia, yang terdiri dari 31 genera dan 22 famili. Tumbuhan
mangrove tersebut pada umumnya hidup di hutan pantai Asia
Tenggara, yaitu sekitar 74 spesies, dan hanya 11 spesies hidup di
daerah Caribbean.
Lebih lanjut menurut Soegiarto dan Polunin (1982) dalam
Supriharyono (2000) dari jumlah ini sekitar 51% atau 38 spesies
hidup di Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk spesies
ikutan yang hidup bersama di daerah mangrove (KLH et al., 1993
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

10
dalam Supriharyono, 2000). Ada beberapa spesies tumbuhan
pantai, yaitu sekitar 12-16 spesies, yang masih diragukan apakah
tumbuh-tumbuhan tersebut termasuk mangrove atau tidak.
Sebagai contoh, famili Rhizophoraceae mempunyai 17 genera dan
sekitar 70 spesies, akan tetapi hanya empat generasi dan 17
spesies diketahui benar-benar sebagai mangrove. Demikian pula
famili Combretaceae, hanya tiga genera dan lima spesies yang
diketahui sebagai mangrove (Supriharyono, 2000).
Ciri-ciri mangrove dari penampakan hutan mangrove
terlepas dari habitatnya yang unik adalah jenis-jenisnya relatif
sedikit, akar jangkar yang melengkung dan menjulang pada
Rhizophora sp, akar yang tidak teratur dan keras atau
pneumatofora pada marga Avicennia sp, dan Sonneratia sp, yang
mencuat vertikal seperti pensil, adaptasinya yang kuat terhadap
lingkungan sehingga biji (propagul) Rhizophora berkecambah di
pohon (vivipar), sehingga banyaknya lentisel pada bagian kulit
pohon (Departemen Kehutanan, 1997 dalam Noor et al., 1999).
Adapun beberapa jenis mangrove yang dikenal selama ini adalah:
a. Avicennia lanata
Nama setempat: api-api. Belukar atau pohon yang
tumbuh tegak atau menyebar, dapat mencapai ketinggian
hingga 8 m. Memiliki akar nafas dan berbentuk pensil. Kulit kayu
seperti kulit ikan hiu (berwarna gelap), coklat hingga hitam.
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

Daun: Memiliki kelenjar garam, bagian bawah daun putih 11


kekuningan, dan ada rambut halus. Unit dan letak: sederhana
dan berlawanan. Bentuk: elips. Ujung : memundar agak
meruncing, dan ukuran 9x 5 cm.
Bunga : Bergerombol muncul di ujung tandan, bau menyengat,
letak diujung atau ketiak tangkai/tandan bunga. Formasi: bulir
(8-12). Daun mahkota: 4, kuning pucat-jingga tua, 4-5 mm.
Kelopak bunga: 5 buah 4 benang sari. Buah: Buah seperti hati,
ujungnya berparuh pendek dan jelas, warna hijau-agak
kekuningan. Permukaan buah berbunga halus (seperti ada
tepungnya). Ukuran: sekitar 1,5 x 2,5 cm. Ekologi: Tumbuh
pada dataran lumpur, tepi sungai, daerah yang kering dan
toleran terhadap kadar garam yang tinggi. Diketahui (di Bali
dan Lombok) berbunga pada bulan Juli-Februari dan berbuah
antara bulan November hingga Maret. Penyebaran: Kalimantan,
Bali, Lombok, Semenanjung, Malaysia, Singapura. Kelimpahan :
Tidak diketahui. Manfaat: Kayu bakar dan bahan bangunan (Noor
et al., 1999).
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

Gambar 3. Bunga, buah, daun & pohon Avicennia lanata


(Noor et al., 1999). 12

b. Rhizophora apiculata
Nama setempat: Bakau minyak, bakau tandok, bakau akik,
bakau puteh, bakau kacang, bakau leutik, akik, bangka minyak,
donggo akit, jangkar, abat, parai, mangi-mangi, slengkreng,
tinjang wako. Deskripsi umum: Pohon dengan ketinggian
mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm.
Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai ketinggian 5
meter, dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari
cabang. Kulit kayu berwarna abu-abu tua dan berubah-ubah.
Daun berkulit, warna hijau tua dengan hijau muda pada bagian
tengah kemerahan dibagian bawah. Gagang daun panjangnya 17-
35 mm dan warnanya kemerahan. Unit dan letak: sederhana
dan berlawanan. Bentuk: elips menyempit dan meruncing.
Ukuran 7-19 x 3,5-8 cm. Bunga: Biseksual, kepala bunga
kekuningan yang terletak pada gagang berukuran < 14 mm.
Letak: di ketiak daun. Formasi: kelompok (2 bunga per
kelompok). Daun mahkota : 4; kuning putih, tidak ada rambut,
panjangnya 9-11 mm. Kelopak bunga: 4; kuning kecoklatan,
melengkung, Benang sari : 11-12; tak bertangkai. Buah: Buah
kasar berbentuk bulat memanjang hingga seperti buah pir ,warna
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

coklat, panjang 2,3-5 cm, berisi satu biji fertil. Hipokotil Silindris,
berbintil, berwarna hijau jingga. Leher kotilodon berwarna merah
jika sudah matang. Ukuran: Hipokotil panjang 18-38 cm dan
13
diameter 1-2 cm. Ekologi:

Tumbuh pada tanah berlumpur, halus, dalam dan tergenang


pada saat pasang normal. Tidak menyukai substrat yang lebih
keras yang bercampur dengan pasir. Tingkat dominasi bisa
mencapai 90% dari vegetasi yang tumbuh di suatu lokasi.
Menyukai perairan pasang surut yang memiliki pengaruh
masukan air tawar yang kuat secara permanen. Percabangan
akarnya dapat tumbuh secara abnormal karena gangguan
kumbang yang menyerang ujung akar. Kepiting dapat juga
menghambat pertumbuhan mereka karena mengganggu kulit
akar anakan. Tumbuh lambat, tetapi perbungaan terdapat
sepanjang tahun. Penyebaran: Srilanka, seluruh Malaysia dan
Indonesia hingga Australia Tropis dan Kepulauan Pasifik.
Kelimpahan: Melimpah di Indonesia, tersebar jarang di
Australia. Manfaat: Kayu dimanfaatkan untuk bahan bangunan,
kayu bakar dan arang. Kulit kayu berisi hingga 30% tannin
(per sen berat kering). Cabang akar dapat digunakan sebagai
jangkar dengan diberati batu. Di Jawa acap kali ditanam di
pinggiran tambak untuk melindungi pematang. Sering digunakan
sebagai tanaman penghijauan (Noor et al., 1999).
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

Gambar 4. Bunga, buah, daun, dan pohon


Rhizophora apiculata
(Noor et al., 1999). 14

c. Avicennia marina
Nama setempat api-api putih, api-api abang, sia-sia putih,
pejapi, nyapi, hajusia. Deskripsi umum belukar atau pohon
yang tumbuh tegak atau menyebar, ketinggian mencapai 30 m.
memiliki sistem perakaran horizontal yang rumit dan berbentuk
pensil (atau
berbentuk asparagus), akar nafas tegak dengan sejumlah
lentisel. Kulit kayu halus dengan burik-burik hijau-abu dan
terkelupas dalam bagian-bagian kecil. Ranting muda dan tangkai
daun berwarna kuning tidak berbulu. Bagian atas permukaan
daun ditutupi bintik-bintik kelenjar berbentuk cekung. Bagian
bawah daun putih-abu-abu muda. Unit & letaknya sederhana
dan berlawanan. Memiliki bentuk daun elips, bulat memanjang,
bulat telur terbalik. Ujungnya meruncing hingga membundar,
dengan ukuran 9 x 4,5 cm. Bunga seperti trisula dengan bunga
bergerombol muncul di ujung tandan, bau menyengat, nektar
banyak.
Letaknya di ujung atau di ketiak/tandan bunga. Daun
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

mahkota ada 4 dengan warna kuning pucat jingga tua


berukuran 5-6 mm. Kelopak bunga berjumlah 5 lalu benang
sari ada 4.
Merupakan tumbuhan pionir pada lahan pantai yang terlindung,
memiliki kemampuan menempati dan tumbuh pada berbagai
habitat pasang surut, bahkan di tempat asin sekalipun. Jenis ini
juga dapat bergerombol membentuk suatu kelompok pada 15
habitat
tertentu. Berbuah sepanjang tahun, kadang-kadang bersifat
vivipar. Buah membuka pada saat matang, mempunyai lapisan
dorsal. Buah juga dapat membuka karena dimakan semut atau
setelah penyerapan air. Buah dapat dimakan. Kayu dapat
menghasilkan bahan kertas berkualitas tinggi. Daun digunakan
sebagai makanan ternak.

Gambar 5. Buah, bunga, daun &


pohon Avicennia marina
(Noor et al., 1999).

d. Acrostichum aureum
Nama setempat mangrove varen, paku cai, hata diuk, paku
laut. Batang menebal di bagian pangkal, cokelat tua dengan
peruratan yang halus, pucat, tipis. Ujung daun fertil berwarna
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

cokelat seperti karat, duri banyak berwarna hitam. Tumbuh di


pematang tambak, sepanjang kali dan sungai payau dan
saluran. Terdapat di seluruh Indonesia. Daun tua dapat
digunakan sebagai obat, alas ternak dan dapat dimakan di daerah
Timor dan Sulawesi Utara (Noor et al., 1999).

Gambar 6. Daun, ujung pihak


daun, spora dan pohon
Acrostichum aureum
(Noor et al., 1999).
Pengelolaan Ekosistim Mangrove 16

BAB II. TEKNIK REHABILITASI MANGROVE

Hutan mangrove merupakan jalur hijau daerah pantai


yang mempunyai fungsi ekologis dan sosial ekonomi. Berdasarkan
hasil identifikasi tahun 1997-2000 luas potensial habitat mangrove
di Indonesia ± 8,6 juta ha yang terdiri 3,8 juta ha dalam kawasan
hutan dan 4,8 juta ha diluar kawasan. Pada saat ini 1,7 juta ha atau
44,73 % dari hutan mangrove yang berada dalam kawasan hutan
dan 4,2 juta ha atau 87,50 % dari hutan mangrove yang berada di
luar kawasan hutan dalam kondisi rusak.
Kerusakan tersebut pada umumnya disebabkan oleh
tindakan manusia dalam mendayagunakan sumber daya alam
wilayah pantai tidak memperhatikan kelestariannya, seperti
penebangan untuk keperluan kayu bakar yang berlebihan maupun
perubahan fungsi untuk kepentingan penggunaan lahan lainnya
seperti tambak, pemukiman, industri dan pertambangan.
Menyadari akan pentingnya hutan mangrove bagi
kehidupan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung,
maka melalui Gerakan Rehabilitasi Hutan dan lahan (GN
RHL/Gerhan), direncanakan rehabilitasi terhadap sumberdaya
tersebut sesuai dengan urutan prioritasnya, dengan menggunakan
jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial
ekonomi masyarakat setempat.
Pengelolaan Ekosistim Mangrove 17

Sementara secara ekonomi, Mangrove sebagai sumber bahan


bangunan dan kayu bakar, obyek wisata, tempat nelayan
menangkap ikan, udang, kepiting dan kerangkerangan, sebagai
pakan ternak, sumber bahan makanan dan minuman serta
sumber bahan baku obat-obatan dan kosmetik.
Namun sayangnya kondisi mangrove di Indonesia saat
ini telah mengalami kerusakan sampai 50% dari potensi yang
ada. Salah satu upaya untuk memulihkan dan melestarikan
mangrove dari kondisi tersebut di atas, maka perlu dilakukan
rehabilitasi.
Sebaiknya dalam kegiatan rehabilitasi mangrove harus melibatkan
seluruh unsur masyarakat yang terkait dengan keberadaan
mangrove pada suatu daerah baik langsung maupun tidak
langsung. Di samping itu, rencana rehabilitasi mangrove harus
mempertimbangkan zonasi atau tata ruang kawasan, manfaat dan
fungsi kawasan serta aspirasi masyarakat di lokasi yang akan
dilakukan rehabilitasi.
A. Teknik Pembibitan Mangrove
Secara umum teknik pembibitan terbagi menjadi tiga aspek
yaitu penyiapan bibit, pembibitan dan lokasi. Yang perlu
dilakukan dalam penyiapan bibit adalah sumber bibit mangrove
sebisa mungkin dari lokasi terdekat, disesuaikan denga
substat lokasi, persemaian dilakukan dilokasi bibit dan waktu
Pengelolaan Ekosistim Mangrove
18

pengumpulan buah. Aspek kedua yakni teknik pembibitan yang


dilakukan dalam polibek atau bisa diganti dengan bambu, atau
bekas botol air mineral. Pembibitan tersebut menggunakan media
sedimen lumpur. Aspek terakhir yaitu cara pembibitan. Setidaknya
terdapat tiga cara pembibitan, yaitu Bedeng Tingkat, Bedeng
Tanpa Tingkat, dan Tanpa Bedeng.

Gambar 7. Pembibitan Mangrove dengan Cara Bedeng

Pada kegiatan pembibitan tanaman mangrove, ada


beberapa hal yang harus kita perhatikan :
1. Kesesuaian jenis tanaman
Jenis tanaman dipilih yang paling cocok dan disesuaikan
dengan kondisi fisik lapangan dan kesiapan masyarakat setempat.
Pengelolaan Ekosistim Mangrove
19

2. Mekanisme pengadaan bibit


a. Pengadaan bibit dilaksanakan secara swakelola oleh kelompok
tani yang dikoordinir oleh Balai Pengelolaan DAS setempat,
namun dalam kondisi tertentu dapat dilaksanakan oleh pihak
III.
b. Bibit diperiksa oleh Balai Pengelolaan DAS sesuai dengan
spesifikasi yang telah ditetapkan.
c. Spesifikasi bibit
1. Distribusi lokasi dari berbagai jenis tanaman yang paling
sesuai menurut tingkat ketinggian air/ zonasi dan
ketahanan terhadap pasang surut adalah: zone Avicennia,
zone Rhizophora, zone Bruguiera, dan zone kering dan
nipah.
2. Kualitas bibit siap tanam adalah :
a) Memiliki normal yaitu bibit yang sehat, berbatang
tunggal dan leher berkayu
b) Kenampakan fisiologis yang baik ditandai :
 Tinggi berkisar 20-55 cm,
 Media kompak,
 Jumlah helai daun berkisar 4-6 helai.
c) Untuk mendapatkan bibit dengan kondisi tersebut
diperlukan pembibitan selama (berumur) 3-4 bulan
untuk jenis Bruguiera gymnorhiza dan Xylocarpus
granatum, berumur 4-5 bulan untuk jenis Rhizophora
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

20
mucronata dan Rhizopohora apiculata, serta berumur
5-7 bulan untuk jenis Ceriop tagal dan Soneratia alba.
Tabel 1. Syarat bibit siap tanam

Tinggi minimal
Jenis
(cm)
Rhizophora mucronata (bakau) 55
Rhizophora apiculata (tinjang) 30
B. gymnorrhiza (tanjang merah) 35
Ceriop tagal (tengar) 20
Avicennia marina (api-api) 30
Soneratia alba (pedada bogem) 15
Xylocarpus granatum (nyirih) 40

Gambar 8. Rangkaian
Pembibitan Mangrove
(Rhizophora mucronata)
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

21

B. Teknik Penanaman Mangrove

Banyak hal yang harus diperhatikan dalam proses penanaman


mangrove. Pertama, lokasi dan jarak penanaman mangrove
disesuaikan dengan substrat tanah dan spesies mangrove. Kedua,
pemasangan ajir-ajir, yaitu patok-patok bambu yang ditanam dalam

lokasi penanaman mangrove secara sejajar dan rapi. Ketiga, pada


proses penanaman ada dua cara yang dapat digunakan yakni
penanaman buahnya langsung dengan tingkat keberhasilan
tumbuh hanya sekitar 20-30%, dan persemaian bibit dengan
tingkat keberhasilan 60-80%. Tekniknya ada 2 cara dengan sistem
banjaran dan wanamina (silfofishery). Keempat adalah pemasangan
alat pemecah gelombang (Apo) yang akan melindungi bibit
mangrove yang ditanam dari gempuran gelombang.

Gambar 9. Perkembang Bibit Mangrove


(R. mucronata) Disemai di
Bawah Pohon Mangrove
(Tanpa Bedeng)
Pengelolaan Ekosistim Mangrove
Pengelolaan Ekosistim Mangrove 22

Pelaksanaan penanaman direkomendasikan untuk dimulai


pada musim ombak tenang atau dimulai dari yang terdekat dengan
darat agar terhindar dari ombak besar. Cara menanam tanaman
mangrove di dalam dan di luar kawasan hutan tidak berbeda. Ada 2
(dua) sistem penanaman yang dapat dilaksanakan adalah
penanaman murni (dengan sistem banjar harian) dan sistem
tumpang sari tambak (sylvofishery) yaitu:
1. Penanaman murni dengan sistem banjar harian, dilaksanakan
sebagai berikut :
a. Jarak tanam disesuaikan dengan kondisi lapangan dengan
jumlah bibit 5.500 batang/ha.
b. Di dekat ajir dibuat lubang tanam sebesar kantong plastik
bibit.
c. Bibit dalam kantong plastik disobek bagian bawah dengan
hati-hati supaya tanah tetap kompak dan perakaran tidak
rusak.
d. Ditanam dekat ajir, dan apabila tanahnya sangat lunak atau
mudah hanyut sebaiknya diikatkan dengan tali pada ajir agar
bibit tidak roboh.
e. Pada tapak berombak besar disarankan ditanami dengan
jenis Rhizophora sp dengan pola selang seling, anakan
diikat pada tiang pancang/bambu serta dibuat penghalang
ombak
f. Penanaman pada tapak berlumpur dalam sebaiknya
menggunakan jenis Rhizophora mucronata
Pengelolaan Ekosistim Mangrove
23

2. Sistem Tumpang sari Tambak, dilaksanakan seperti halnya


dengan sistem banjar harian akan tetapi dikombinasikan
dengan kegiatan pertambakan. Penananam selain pada jalur
tanam juga dapat dilakukan di pelataran tambak.
a. Jarak tanam disesuaikan dengan kondisi lapangan dengan
jumlah bibit 2.200 batang/ha termasuk sulaman
b. Pola tumpang sari tambak terdiri dari 4 (empat) macam
pola yaitu pola empang parit tradisional, pola komplangan,
empang parit terbuka dan pola kao-kao.

C. Teknik Pemeliharaan

Setelah bibit mangrove ditanam maka perlu dilakukan


pemeliharaan dengan kegiatan sebagai berikut:
1. Penyiangan
Penyiangan dimaksudkan untuk membebaskan tanaman
pokok mangrove dari tanaman pengganggu. Pada areal
genangan atau daerah pasang surut umumnnya tidak perlu
dilaksanakan penyiangan, akan tetapi pada areal yang kering
perlu dilakukan penyiangan sampai tanaman berumur 2 tahun.
2. Penyulaman
a. Penyulaman dilakukan dengan mengganti tanaman yang
mati/merana, dandiusahakan menggunakan bibit sejenis
b. Pemeriksanaan tanaman dilakukan 15 hari setetah
Pengelolaan Ekosistim Mangrove
24

penananam, dan dilakukan penyulaman apabila prosentase


tumbuh dibawah 90 %. Pelaksanaan penyulaman pada tahun
berjalan dilaksanakan 15-30 hari setelah penanaman.
c. Pemeliharaan Tahun Pertama (Pemeliharaan I) dapat
dilaksanakan apabila persentase tumbuh > 55 % dan
Pemeliharaan Tahun Kedua (Pemeliharaan II) dapat
dilaksanakan apabila persentase tumbuh mencapai > 75 %
dengan jenis kegiatan meliputi penyulaman, penyiangan dan
pemberantasan hama serta gulma.
3. Pengendalian hama/gulma
Hama tananam yang sering ditemui dan menyerang pada
tanaman mangrove (jenis Rhizophora spp), baik di persemaian
maupun setelah ditanam adalah yuyu/ketam (Crustacea sp) dan ulat
daun dan batang, serta gulma (biasanya lumut).
D. Pemantauan Dan Evaluasi
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, berdasarkan
pembelanjaran dari beberapa kegiatan rehabilitasi mangrove yang
pernah dilakukan pada selama ini, yaitu sebagai berikut :
a. Kesalahan dalam waktu penanaman, pemilihan jenis dan
teknologi rehabilitasi yang tidak sesuai dengan lokasi
rehabilitasi,
b. Tingginya aktivitas (perahu) di beberapa lokasi yang
mengganggu keberhasilan kegiatan penanaman,
Pengelolaan Ekosistim Mangrove
25

c. Sempitnya waktu dari mulai perencanaan sampai dengan


pelaksanaan kegiatan rehabilitasi sehinggga tujuan untuk
memberdayakan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi
mangrove tidak tercapai secara baik,
d. Tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan mangrove
yang masih rendah menjadi permasalahan utama yang segera
dipecahkan dalam pelaksanaan kegiatan penyelematan
rehabilitasi mangrove, dan
e. Kurangnya keterlibataan masyarakat terutama dalam proses
perencanaan dan kegiatan pemeliharaan tanaman hasil
rehabilitasi. Disamping itu, pembinaan dari instansi terkait
kepada masyarakat masih sangat terbatas, sehingga
kepeduliaan masyarakat terhadap upaya-upaya pelestarian
dan rehabilitasi mangrove masih rendah.
Pengelolaan Ekosistim Mangrove
26

BAB III. PENGELOLAAN KAWASAN MANGROVE

Ekosistem mangrove sangat penting artinya dalam


pengelolaan sumberdaya pesisir terutama pulau-pulau kecil.
Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang
merugikan dan perubahan lingkungan utama dan sebagai sumber
makanan bagi biota laut (pantai) dan biota baru. Selain itu,
ekosistem ini juga berfungsi dalam mengolah limbah melalui
penyerapan kelebihan nitrat dan phospat sehingga dapat
mencegah pencemaran dan kontaminasi di perairan sekitarnya.
Mangrove atau mangal adalah sebutan umum yang
digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai
tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang
khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk
tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1988). Mangrove adalah
salah satu di antara sedikitnya tumbuh-tumbuhan tanah timbul
yang tahan terhadap salinitas laut terbuka (Odum, 1993). Walaupun
tidak sama dengan istilah mangrove banyak orang atau penduduk
awam
menyebut mangrove.
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

27

Cakupan sumberdaya mangrove secara keseluruhan menurut


Kusmana (2005) terdiri atas:
a. Satu atau lebih spesies tumbuhan yang hidupnya terbatas di
habitat mangrove,
b. Spesies-spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove,
namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove,
c. Biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut,
lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik
yang hidupnya menetap, sementara, sekali-kali, biasa
ditemukan kebetulan maupun khusus hidup di habitat
mangrove,
d. Proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan
ekosistem ini baik yang berada di daerah bervegetasi maupun
diluarnya, dan
e. Daratan terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas
hutan sebenarnya dengan laut.

Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam daerah


tropika yang mempunyai manfaat ganda baik aspek ekologi
maupun sosial ekonomi. Besarnya peranan ekosistem mangrove
bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan, baik
yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem


mangrove tersebut. 28

Bengen (2000) menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki


fungsi antara lain :
a. Sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak, arus dan angin,
b. Sebagai tempat berlindung, berpijah atau berkembang biak dan
daerah asuhan berbagai jenis biota
c. Sebagai penghasil bahan organik yang sangat produktif
(detritus),
d. Sebagai sumber bahan baku industri bahan bakar,
e. Pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya,
f. Tempat pariwisata.

Secara fisik ekosistem mangrove dapat berfungsi sebagai


hutan lindung yang mempengaruhi pengaliran massa air di dalam
tanah. Sistem perakaran yang khas pada tumbuhan mangrove
dapat menghambat arus air dan ombak, sehingga menjaga garis
pantai tetap stabil dan terhindar dari pengikisan (abrasi). Keadaan
ekosistem mangrove yang relatif lebih tenang dan terlindung dan
sangat subur juga aman bagi biota laut pada umumnya.
Fungsi lain yang penting adalah sebagai penghasil bahan
organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaringan
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

makanan ekosistem mangrove. Daun mangrove yang gugur


melalui proses penguraian oleh mikro organisme diuraikan
menjadi partikel-partikel detritus. Detritus kemudian menjadi
bahan makanan bagi hewan pemakan detritus seperti: cacing,29
mysidaceae (udang-udang kecil/rebon). Selanjutnya hewan
pemakan detritus menjadi makanan larva ikan, udang dan
hewan lainnya. Pada tingkat berikutnya hewan-hewan tersebut
menjadi makanan bagi hewan-hewan lainnya yang lebih besar
dan begitu seterusnya untuk menghasilkan ikan, udang dan
berbagai jenis bahan makanan lainnya yang berguna bagi
kepentingan manusia.
Salah satu kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh
pertumbuhan penduduk dan urbanisasi karena mereka membuang
limbah di sekitar perairan ekosistem hutan mangrove yang tidak
jauh dari kota, oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan
dalam membuang limbah yang tidak merusak ekosistem
mangrove (Lazardi, et al., 2000).
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem mangrove secara ideal
seharusnya mempertimbangkan kebutuhan masyarakat namun
tidak menganggu keberadaan dari sumberdaya tersebut. Dalam
upaya ini Departemen Kehutanan telah memperkenalkan suatu pola
pemanfaatan yang disebut "silvofishery" dengan bentuk
tumpangsari. Pola ini adalah kombinasi antara tambak/empang
dengan tanaman mangrove. Pola ini dianggap paling cocok
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

untuk pemanfaatan ekosistem mangrove saat ini. Dengan pola


ini diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan
sedangkan ekosistem mangrove masih tetap terjamin
30
kelestariannya (Departemen Kehutanan, 1993).

Dasar pemikiran penetapan kebijakan pengelolaan mangrove


adalah ekosistem mangrove yang berfungsi sebagai sumber plasma
nutfah, tempat pemijahan, pengasuhan dan tempat larva biota
perairan serta sekaligus juga berfungsi untuk melindungi kawasan

pesisir dari kerusakan dan pencemaran, telah mengalami tekanan


yang luar biasa sehingga mengalami degradasi yang sistematis;
bahwa diperlukan langkah lanjut dan upaya pengelolaan
ekosistem mangrove yang berkelanjutan untuk menjamin
kelestarian ekosistem
mangrove guna mendukung pelestarian lingkungan pesisir,
kegiatan perikanan yang berkelanjutan, perlindungan pantai,
wisata bahari, dan keperluan ekonomi lainnya.
A. Peraturan Mengenai Pengelolaan Hutan Mangrove
Ada banyak peraturan perundangan yang terkait dengan
pengelolaan pantai, diantaranya adalah :
1. UUD 1945 Pasal 33 ayat 3
2. UU No.5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

Agraria
3. UU No.5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kehutanan
4. UU No.11 Tahun 1974 Tentang Perairan
5. UU No.9 Tahun 1985 Tentang Perikanan
6. UU No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam
31
Hayati dan Ekosistemnya.
7. UU No.9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan
8. UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup
9. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
10. UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
11. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
12. UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
13. UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
14. UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pesisir dan kelautan

B. Penegakan Hukum
Salah satu hal yang sangat penting dalam pengelolaan
pantai adalah penegakkan hukum (law enforcement). Peraturan-
perundangan telah banyak diterbitkan. Tujuannya agar pengelolaan
pantai dapat dilakukan secara terpadu. Namun pada
implementasi, sering peraturan dilanggar. Pelanggaran tidak diikuti
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

dengan sanksi maupun hukuman yang tegas, walaupun sudah


dinyatakan eksplisit dalam aturan. Pengawasan oleh pihak
berwenang (lebih dominan dari Pemerintah) tidak dilakukan.
Penegakan hukum perlu terus dilakukan dengan berbagai
cara dan upaya. Cara-cara dan upaya antara lain dapat berupa:
1. Sosialisasi peraturan perundangan yang berkaitan dengan
pengelolaan pantai kepada semua stakeholders. 32

2. Substansi tentang aturan dan sanksinya perlu disosialisasikan


lebih detail. Misalnya dengan cara pemasangan papan aturan
dan sanksi di tempat-tempat strategis.
3. Perlu shock therapy yaitu dengan misalnya menerapkan
sanksi, denda, atau hukuman maksimal dari aturan yang ada.
Hal ini dimaksudkan agar stakeholders menjadi jera dan mau
mentaati aturan yang berlaku.
4. Perlu lembaga pengawasan yang melekat pada instansi.
Lembaga ini berfungsi mengawasi pengelolaan pantai baik
internal maupun eksternal.
5. Karena isu-isu yang kompleks tersebut maka diperlukan
kolaborasi yang baik antara institusi penentu kuantitas dan
kualitas air dengan institusi penegakan hukum.
6. Implementasi penegakan hukum dilakukan dengan cara
bertahap.
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

Dalam rangka pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan


sumberdaya pesisir dan laut agar benar-benar terlaksana sebagai
wujud law enforcement, bisa dilakukan modifikasi disesuaikan
dengan kondisi dan potensi daerah, misalnya :
1) Identifikasi hukum adat serta revitalisasi lembaga adat
(Nagari) dan lokal yang berpartisipasi aktif dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir. 33
2) Peningkatan kesadaran, kemampuan, dan kepedulian
masyarakat pesisir terhadap perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan produk hukum pengelolaan pesisir.
3) Peningkatan pengawasan, pengamanan dan penegakan hukum
di pesisir.

C. Finansial
Dalam konsep dasar penilaian ekonomi (economic valuation)
sumberdaya alam, nilai sumberdaya mangrove ditentukan oleh
fungsi dari sumberdaya itu sendiri. Menurut Bann (1998), fungsi
ekologi sumberdaya mangrove antara lain sebagai: stabilitas
garis pantai, menahan habitat keanekaragaman, sedimen,
perlindungan dan produktifitas biomassa, sumber plasma nutfah,
rekreasi atau wisata, memancing dan produk-produk hutan. Nilai
ekonomi atau total nilai ekonomi hutan mangrove secara garis
besar dapat dikelompokan menjadi dua yaitu nilai penggunaan
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

(use value) dan nilai intrinsik (non-use value) selanjutnya dapat


diuraikan bahwa nilai penggunaan (use value) dapat dibagi lagi
menjadi nilai penggunaan langsung (direct use), nilai penggunaan
tidak langsung (indirect use) dan nilai pilihan (option value).
1. Pengembalian Biaya dan Kebijakan Denda
Teknik penilaian manfaat, didasarkan pada kesediaan
konsumen membayar perbaikan atau kesediaan menerima
kompensasi dengan adanya kemunduran kualitas lingkungan dalam
sistem alami serta kualitas lingkungan sekitar. Manfaat dari suatu
34
barang atau jasa mempunyai nilai yang sama dengan kesediaan
penduduk untuk membayarnya (willingness to pay (WTP)). Untuk
menilai lingkungan harus dilihat fungsi kerusakan marginal
yang menunjukan perubahan lingkungan. Pemikiran harus dalam
kerangka yang luas karena diadakan perubahan lingkungan
hutan mangrove akan banyak dampaknya terhadap masyarakat
sekitar, baik dampak fisik, dampak degradasi lingkungan, kualitas
estetika.
Apabila ingin dilihat WTP ( willingness to pay) dari
masyarakat maka akan dapat digambarkannya dalam kurva
permintaan (demand) gabungan antara beberapa permintaan
merupakan total WTP.
2. Penilaian Investasi
Pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan seperti
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

untuk pembuatan bahan pengawet jaring dan untuk keperluan


lainnya oleh nelayan secara berlebihan dan tidak teratur serta
pengambilan oleh masyarakat tertentu untuk dijual yang dilakukan
secara berlebihan, telah berdampak pada kondisi hutan mangrove
yang semakin menurun kualitasnya dan mengecil arealnya
(rusak) yang berdampak menurunnya kualitas sumberdaya pesisir
secara umum termasuk habitatnya.

35

D. Peran Institusi dan Pelaku dalam Pengelolaan Mangrove


Otonomi pengelolaan Kawasan Pantai dan sumber daya
alam yang membawa konsekuensi penyerahan seluruh tanggung
jawab kepada Pemerintah Kabupaten/Kota termasuk pendanaan,
personalia, kelembagaan, peraturan daerah dan prioritas kegiatan
sesuai dengan kondisi lokal akan menjadi basis dalam pengelolaan
Kawasan Pantai dan sumber daya alam.
Penerapan Prinsip Keterpaduan Dalam Pengelolaan :
a. Keterpaduan antar sektor;
b. Keterpaduan antar level pemerintahan;
c. Keterpaduan ekosistem darat dan laut;
d. Keterpaduan sains dan manajemen;
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

e. Keterpaduan antar daerah/ negara.


1. Peran Pemerintah Pusat
Kewenangan Pemerintah mencakup kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Dalam
hal ini kewenangan bidang lain yang dimaksud, meliputi kebijakan
tentang perencanaan nasional, dan pembangunan nasional secara
makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara
dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan 36
sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi
nasional.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 25 Tahun 2000
Bab II, Pasal 2 point 13 Bidang Penataan Ruang diketahui :
1) Penetapan tata ruang nasional berdasarkan tata ruang
Kabupaten/Kota dan Propinsi.
2) Penetapan kriteria penataan perwilayahan ekosistem daerah
tangkapan air pada daerah aliran sungai.
3) Pengaturan tata ruang perairan di luar 12 (dua belas) mil.
4) Fasilitasi kerjasama penataan ruang lintas Propinsi.
Kewenangan menteri dalam pengelolaan wilayah pesisir
menurut UU No.27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil, antara lain:
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

a. Memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir lintas provinsi


dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu
b. HP-3 di Kawasan Strategis Nasional Tertentu
c. Perubahan status Zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan
nasional
d. Ijin pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil yang menimbulkan
dampak besar terhadap perubahan lingkungan
e. Perubahan status Zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan
nasional
f. Melakukan pendampingan terhadap Pemerintah Daerah 37
dalam merumuskan dan melaksanakan Rencana Aksi
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
g. Membentuk unit pelaksana teknis pengelola Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan kebutuhan
h. Mengkoordinasi pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil pada tingkat nasional
i. Jenis kegiatan yang dikoordinasikan sebagaimana dimaksud
diatas meliputi:
 Penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap sektor
sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil terpadu;
 Perencanaan sektor, daerah, dan dunia usaha yang bersifat
lintas provinsi dan kawasan tertentu;
 Program akreditasi nasional;
 Rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan kewenangan
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

tiap-tiap instansi Pemerintah; serta


 Penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang bersifat lintas provinsi dan
Kawasan tertentu yang bertujuan strategis.
Pengelolaan Ekosistim Mangrove 38

2. Peran Pemerintah Propinsi


Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom sesuai dalam
Pasal 9 Ayat 1 Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 mencakup
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas
kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang
pemerintahan tertentu lainnya. Kewenangan bidang tertentu adalah
perencanaan dan pengendalian pembangunan secara makro,
pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial,
penelitian yang mencakup wilayah Propinsi, pengelolaan pelabuhan
regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan
budaya/ pariwisata, penanganan penyakit menular dan hama
tanaman dan perencanaan tata ruang Propinsi.
Kriteria kewenangan daerah Propinsi berdasarkan skala
pelayanan, penyerasian, kepentingan letak geografis dan potensi
pemanfaatan sumber daya air sebagai berikut :
a. Skala Pelayanan Lintas Kabupaten/ Kota
Bila suatu tugas menyangkut penyediaan pelayanan
umum, pengaturan dan pembangunan yang bersifat lintas
Kabupaten, maka kewenangan-kewenangan untuk
melaksanakan fungsi-fungsi yang berkaitan dengan tugas
tersebut dipertimbangkan untuk diletakkan pada daerah
Propinsi sejauh mana tidak dapat diselenggarakan dengan
39
cara kerjasama antar Kabupaten/ Kota.

b. Penyerasian Kepentingan Antar Kabupaten/ Kota


Pengelolaan Ekosistim Mangrove

Bilamana suatu tugas yang dilakukan oleh satu


Kabupaten/ Kota tertentu dapat merugikan Kabupaten/Kota
lainnya, maka kewenangan untuk melaksanakan tugas tersebut
diletakkan pada propinsi. Dalam merumuskan kewenangan
pemerintah di samping berdasarkan kriteria sebagaimana
telah dikemukan diatas juga dilakukan dengan pendekatan
fungsi umum manajemen pemerintahan yang lazim telah
digunakan diberbagai negara yang meliputi fungsi-fungsi
kebijakan, perencanaan/alokasi, pendanaan, penerimaan,
perijinan, pengelolaan, pemerintahan,
pemantauan/pengawasan, dan
kerjasama/ koordinasi.
c. Letak Geografis
Bilamana secara fisik suatu sistem berada dalam lebih dari
2 Kabupaten/Kota, maka kewenangan untuk melaksanakan
pengelolaan aset tersebut diletakkan pada Daerah Propinsi.
d. Potensi pemanfaatan
Bilamana sumber daya air berpotensi dapat dimanfaatkan
lebih dari 2 kabupaten/kota, maka kewenangan untuk
melaksanakan fungsi tersebut dapat diletakkan pada daerah
propinsi.
Pengelolaan Ekosistim Mangrove 40

Kewenangan gubernur dalam pengelolaan wilayah pesisir


menurut UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain:
1) Memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir sampai
dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai
ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan,
dan Perairan Pesisir lintas kabupaten/kota.
2) Mengkoordinasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil pada tingkat provinsi.
3) Mengatur penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-
tiap Dinas otonom atau badan sesuai dengan perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu
Provinsi;
4) Mengatur perencanaan tiap-tiap instansi daerah, antar
Kabupaten/kota, dan dunia usaha;
5) Mengatur program akreditasi skala provinsi;
6) Mengatur rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan
kewenangan instansi vertikal di daerah, dinas otonom,
atau badan daerah;
7) Mengatur penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di provinsi.
Pengelolaan Ekosistim Mangrove 41

3. Peran Pemerintah Kabupaten/ Kota


Berdasarkan ketentuan pasal 11 Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999, kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota
yang mencakup kewenangan pemerintah bidang layanan umum
merupakan kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/
Kota Kewenangan yang wajib dilaksanakan berupa pengadaan
sarana/prasarana umum yang menyangkut kepentingan
masyarakat.
Pelaksanaan kewenangan yang tidak atau belum
dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota, ditetapkan dengan
ketentuan sebagai berikut (Pasal 4 PP RI No. 25 Tahun 2000) :
a. Kabupaten/Kota yang tidak atau belum mampu melaksanakan
salah satu atau beberapa kewenangan dapat melaksanakan
kewenangan tersebut melalui kerja sama antar Kabupaten/Kota,
kerja sama antar-Kabupaten/Kota dengan Propinsi, atau
menyerahkan kewenangan tersebut kepada Propinsi;
b. Pelaksanaan kewenangan melalui kerja sama atau
penyerahan suatu kewenangan kepada Propinsi harus
didasarkan pada Keputusan Kepala Daerah Kabupaten/Kota
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota;
c. Bupati/Walikota wajib menyampaikan keputusan mengenai
penyerahan kewenangan kepada Propinsi sebagaimana
dimaksud pada huruf b kepada Gubernur dan Presiden dengan
Pengelolaan Ekosistim Mangrove

42
tembusan kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
Presiden setelah memperoleh masukan dari Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah dapat menyetujui atau tidak
menyetujui penyerahan kewenangan tersebut;
d. Dalam hal Presiden tidak memberikan persetujuannya,
kewenangan tersebut harus dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota;
e. Apabila Presiden memberikan persetujuannya, pelaksanaan
kewenangan tersebut diserahkan kepada Propinsi;
f. Apabila dalam jangka waktu satu bulan Presiden tidak
memberikan tanggapan, maka penyerahan kewenangan
tersebut dianggap disetujui;
g. Sebagai akibat dari penyerahan tersebut, Propinsi sebagai
Daerah Otonom harus melaksanakan kewenangan dimaksud
dengan pembiayaan yang dialokasikan dari dana perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
h. Apabila Propinsi tidak mampu melaksanakan kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf h, maka Propinsi
menyerahkannya kepada Pemerintah dengan mekanisme yang
sama sebagaimana tercantum pada huruf c sampai dengan
huruf h; dan
i. Apabila Kabupaten/ Kota sudah menyatakan kemampuannya
menangani kewenangan tersebut, Propinsi atau Pemerintah
wajib mengembalikannya kepada Kabupaten/Kota tanpa
persetujuan Presiden.
Pengelolaan Ekosistim Mangrove 43

Kewenangan Bupati/ Walikota dalam pengelolaan wilayah


pesisir menurut UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain:
1) Memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir 1/3 (satu pertiga)
dari wilayah kewenangan provinsi
2) Mengatur penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap
pemangku kepentingan sesuai dengan perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
terpadu;
3) Mengatur perencanaan antar instansi, dunia usaha, dan
masyarakat;
4) Mengatur program akreditasi skala kabupaten/kota;
5) Mengatur rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan
kewenangan tiap-tiap dinas otonom atau badan daerah; serta
6) Mengatur penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil skala kabupaten/ kota.
4. Peran Masyarakat
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar
mangrove merupakan masalah prinsip dalam usaha
menyelamatkan, mangrove (Sukardjo, 1989). Bengen (2001),
menyebutkan pelestarian hutan bahwa mangrove merupakan
suatu usaha yang sangat kompleks untuk di laksanakan, sifat
karena kegiatan tersebut membutuhkan akomodatif terhadap
segenap pihak terkait baik yang berada di sekitar kawasan
Pengelolaan Ekosistim Mangrove
44

maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan


demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Akan
tetapi, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya
bilamana keberpihakan kepada institusi yang sangat rentan
terhadap sumberdaya mangrove, dalam hal ini masyarakat
diberikan porsi yang lebih besar.
Dalam upaya pemberdayaan Masyarakat, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah mewujudkan, menumbuhkan, dan
meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab dalam (UU No.27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil):
a. Pengambilan keputusan;
b. Pelaksanaan pengelolaan;
c. Kemitraan antara masyarakat, dunia usaha, dan Pemerintah/
Pemerintah Daerah;
d. Pengembangan dan penerapan kebijakan nasional di bidang
lingkungan hidup;
e. Pengembangan dan penerapan upaya preventif dan proaktif
untuk mencegah penurunan daya dukung dan daya tampung
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
f. Pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang ramah
lingkungan;
g. Penyediaan dan penyebarluasan informasi lingkungan; serta
h. Pemberian penghargaan kepada orang yang berjasa di
bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pengelolaan Ekosistim Mangrove
Pengelolaan Ekosistim Mangrove 45

Bentuk organisasi pemberdayaan masyarakat pesisir yang


dapat dikembangkan antara lain:
a. PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir)
b. COFISH (Coastal Fisheries)
c. Program Mitra Bahari (Sea Grant Program)
d. Siswasmas (Sistem Pengawasan Masyarakat).
Peran masyarakat dapat ditingkatkan melalui pemupukan jiwa
bahari, pendidikan dan pelatihan kelautan dan organisasi dan
kelembagaan kelautan. Program pemberdayaan masyarakat yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah adalah dalam bentuk
penetapan rencana tindak antara lain:
1) Identifikasi dan klasifikasi lembaga keswadayaan masyarakat;
2) Analisis jaringan kemitraan pemberdayaan antar lembaga
keswadayaan masyarakat maupun dengan Pemerintah,
swasta, perguruan tinggi dan lembaga keagamaan;
3) Analisis kebijakan dan atau peraturan daerah dalam kerangka
demokratisasi pengelolaan pembangunan;
4) Penyusunan/penyempurnaan kebijakan dan atau peraturan
daerah dalam kerangka penguatan kemitraan, partisipasi, dan
demokratisasi Manajemen Kawasan Pantai;
5) Pengadaan manual kemitraan dengan lembaga keswadayaan
masyarakat dari daerah setempat maupun dari luar daerah
atau luar negeri;
6) Penguatan kemitraan dengan lembaga keswadayaan
masyarakat dalam Manajemen Kawasan Pantai;
7) Pembentukan/pengembangan Forum sebagai
Pengelolaan Ekosistim Mangrove 46

wahana/jaringan dialog/kemitraan antar berbagai komponen


pelaku pembangunan.
Pengelolaan Ekosistim Mangrove 47

DAFTAR PUSTAKA

Bengen DG. 1999. Pengenalan Dan Pengelolaan Ekosistem


Mangrove. PKSPL - IPB.
__________. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam
Pesisir dan Laut. PKSPL, IPB. Bogor.
__________. 2002. Pengenalan dan pengelolaan ekosistem
mangrove. PKSPL-IPB, Bogor.
Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan
Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita.
Jakarta, Indonesia.
Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan
Lansekap Hutan Mangrove Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan
Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia

Inoue, Y (liyama), Oki,H, Afwan,E, Ketut,R.K, I Nyoman,B. 1999.


Model Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Departemen Kehutanan
dan Perkebunan, Japan International Cooperation Agency.
IUCN - The Word Conservation Union. 1993. Oil and Gas
Exploration and Production in Mangrove Areas. IUCN. Gland,
Switzerland.
Pengelolaan Ekosistim Mangrove 48

Jaya, H. 2001. Mengenal Kehidupan Pesisir dan laut Sebagai


Kekayaan Alam Kita. Menara Mega Perkasa.
Kaswadji, R. 2001. Keterkaitan Ekosistem Di Dalam Wilayah Pesisir.
Sebagian bahan kuliah SPL.727 (Analisis Ekosistem Pesisir dan
Laut). Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor, Indonesia.
Khazali, M. 1999. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama
Masyarakat. Wetland International - Indonesia Programme. Bogor,
Indonesia.

Lawrence, D. 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara


Terpadu. Alih bahasa oleh T. Mack dan S. Anggraeni. The Great
Barrier Reef Marine Park Authority. Townsville, Australia.

Noor, Y.R, M,Khazali, Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan


Mangrove di Indonesia. Wetlands International Indonesia
Programme.

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis.


Alih bahasa oleh M. Eidman., Koesoebiono., D.G. Bengen., M.
Hutomo., S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta,
Indonesia.

Odum, 1993 Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Edisi Ketiga.


Terjemahan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Pengelolaan Ekosistim Mangrove 49

Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove.


Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan
Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia.

Santoso, N., H.W. Arifin. 1998. Rehabilitas Hutan Mangrove Pada


Jalur Hijau Di Indonesia. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan
Mangrove (LPP Mangrove).Jakarta, Indonesia.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam di Wilayah Djambatan. Jakarta. Hal 21-32.
Widigdo, B. 2000. Diperlukan Pembakuan Kriteria Eko-Biologis
Untuk Menentukan “Potensi Alami” Kawasan Pesisir Untuk
Budidaya Udang. Dalam : Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan - Institut Pertanian Bogor dan Proyek Pesisir
dan Coastal Resources Center - University of Rhode Island. Bogor,
Indonesia.
Yahya, R.P. 1999. Zonasi Pengembangan Ekoturisme Kawasan
Mangrove Yang Berkelanjutan Di Laguna Segara Anakan Kabupaten
Cilacap Propinsi Jawa Tengan. Tesis Magister. Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Pengelolaan Ekosistim Mangrove 50

GLOSARIUM

Bertanggungjawab adalah kegiatan yang berkesinambungan dan


tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
Biologi adalah ilmu yang mempelajari tentang makhluk hidup.
Delta adalah pulau yang terbentuk dari hasil endapan yang terbawa
oleh air sungai ke muara Ekologi adalah ilmu yang mempelajari
lingkungan hidup.
Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang
merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi
dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas
lingkungan hidup.
Estuaria adalah perairan dimana terjadi pertemuan antara perairan
daratan dan lautan.
Evaluasi adalah kegiatan penilaian, pemantauan suatu program
kerja.
Fauna adalah nama lain dari hewan (dalam istilah biologi).
Finansial adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah
keuangan.
Flora adalah nama lain dari tumbuhan (dalam istilah biologi).
Formasi adalah susunan/bentuk.
Pengelolaan Ekosistim Mangrove
51

Institusi adalah lembaga, kantor pemerintahan atau swasta.


Konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan sumberdaya alam
tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana
dan sumberdaya alam yang terbaharui untuk menjamin
kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
Mangrove adalah kelompok tumbuhan yang hidup berkelompok
dan terdiri dari satu jenis atau lebih dan berada di daerah pesisir,
muara sungai, sepanjang pantai yang berlumpur.
Morfologi adalah bentuk luar dari makhluk hidup.
Pelestarian adalah adalah kegiatan untuk menjaga agar suatu
jenis makhluk hidup tidak punah.
Pemantauan adalah----lihat: evaluasi
Pesisir adalah daerah yang berada di perbatasan antara daratan dan
lautan.
Spesies adalah nama lain dari “jenis” (dalam istilah biologi).
Substrat adalah tanah atau tempat tumbuhan hidup dan
berkembang.
Vivipar adalah bentuk perkembanganbiakan dengan cara beranak.
Zonasi adalah kelompok wilayah yang mempunyai kepentingan yang
terkait dalam kegiatan konservasi.

Anda mungkin juga menyukai