Anda di halaman 1dari 10

KEPIMPINAN DALAM K3

KEPIMPINAN DALAM MEMBANGUN SAFETY CULTURE

DOSEN:
BU TRISNA JAYATI, S. KM., M. KM

DISUSUN OLEH:
ARIF SOFYAN (221013241046)
NURUL SHYAFIKA (221013241145)
MUHAMMAD RIDHO ALFIKRI (221013241074)

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3)
UNIVERSITAS IBNU SINA
2023/2024
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sejak kecelakaan nuklir Chernobyl pada tahun 1986, budaya keselamatan(safety culture)
pada perusahaan telah menjadi suatu perhatian, dan dikaitkan sebagai penyebab dari kecelakaan
dalam investigasi kecelakaan industri skala besar. Meskipun masih terdapat perdebatan di dalam
literatur-literatur tentang definisi, etiologi, sebab-akibat dan mekanisme dari safety culture itu
sendiri, namun ada hal umum yang dapat diterima bahwa organisasi dengan safety culture yang
kuat lebih efektif dalam mencegah kecelakaan baik pada kecelakaan industri skala besar maupun
cedera di tempat kerja. Seiring dengan berkembangnya dunia industri, dunia kerja selalu
dihadapkan pada tantangan-tantangan baru yang harus bisa segera diatasi bila perusahaan tersebut
ingin tetapeksis. Berbagai macam tantangan baru muncul seiring dengan perkembangan jaman.
Namun masalah yang selalu berkaitan dan melekat dengan dunia kerja sejak awal dunia
industri dimulai adalah timbulnya kecelakaan kerja (Bhina Patria,2003). Terjadinya kecelakaan
kerja tentu saja menjadikan masalah yang besar bagi kelangsungan sebuah perusahaan. Kerugian
yang diderita tidak hanya berupa kerugian materi yang cukup besar namun lebih dari itu adalah
timbulnya korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya. Kehilangan sumber daya manusia ini
merupakan kerugian yang sangat besar karena manusia adalah satu-satunya sumber daya yang
tidak dapat digantikan oleh teknologi apa pun.
Kerugian yang langsung yang nampak dari timbulnya kecelakaan kerja adalah biaya
pengobatan dan kompensasi kecelakaan. Sedangkan biaya tak langsung yang tidak nampak ialah
kerusakan alat-alat produksi, penataan manajemen keselamatan yang lebih baik, penghentian alat
produksi, dan hilangnya waktu kerja (Bhina Patria, 2003).

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa Pengertian dari Safety Culture (Budaya Keselamatan)?
2. Bagaimana Konsep Budaya Organisasi (Organizational Culture)?
3. Apa itu 3 Aspek Lapisan Budaya Keselamatan (Safety Culture)?
4. Apa Faktor (dimensi) Pada Safety Culture?
5. Apa saja Faktor yang membuat lemahnya Safety Culture Khususnya di IGD (Rumah Sakit)?
6. Bagaimana cara Penerapan Nilai-nilai Safety Culture di Tempat Kerja(Rumah Sakit)?
7. Apa Faktor-faktor Penyebab Safety Culture belum diterapkan di Rumah Sakit?

1.3 MANFAAT PENULISAN


1. Untuk mengetahui Pengertian Safety Culture
2. Untuk mengetahui Konsep Budaya Organisasi (Organizational Culture)
3. Untuk mengetahui 3 Aspek Lapisan Budaya Keselamatan
4. Untuk mengetahui Faktor (dimensi ) pada Safety Culture
5. Untuk mengetahui Faktor yang Membuat Lemahnya Safety CultureKhususnya di IGD (Rumah
Sakit)
6. Untuk mengetahui Penerapan Nilai-nilai Safety Culture di Tempat Kerja
7. Untuk mengetahui Faktor-faktor Penyebab Safety Culture belum diterapkan di Rumah Sakit
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN SAFETY CULTURE


Begitu banyaknya definisi dari safety culture, bisa dimaklumi dikarenakan banyaknya
pendekatan-pendekatan dari berbagai disiplin ilmu yang mencoba untuk memahami konsep safety
culture. Beberapa diantara-Nya mencoba mengembangkan konsep tersebut dari sudut pandang
manajemen, enginering, sosiologi, antropologi dan psikologi. Sehingga begitu banyak pengertian
yang muncul dalam mendefinisikan safety culture. Pada dasarnya, pengertian budaya keselamatan
hampir sama dengan budaya organisasi secara umum, yaitu: nilai-nilai (values) yang dianut bersama
antar anggota organisasi tentang apa yang penting, keyakinan (beliefs) tentang bagaimana melakukan
sesuatu di dalam organisasi, dan interaksi nilai dan keyakinan tersebut dengan unit kerja dan struktur
serta sistem organisasi, yang secara bersama-sama menghasilkan norma perilaku dalam organisasi.
Hanya saja, safety culture lebih spesifik terhadap keselamatan (untuk mempromosikan
keselamatan) serta menekankan peran interpersonal, unit kerja, dan kontribusi organisasi dalam
membentuk asumsi-asumsi dasar pada individu dalam organisasi tersebut yang selalu berkembang
sepanjang waktu menuju kepada arah keselamatan (safety). Sementara Ostrom mendefinisikan safety
culture sebagai suatu konsep mengenai sikap dan kepercayaan yang dimiliki organisasi, yang
bermanifestasi dalam tindakan, kebijakan dan prosedur, yang berpengaruh terhadap safety
performance.
2.2 KONSEP BUDAYA ORGANISASI (ORGANIZATIONAL CULTURE)
Dari berbagai definisi mengenai organizational culture, kata-kata yang paling sering
ditemukan adalah seperti: norms, values, behavior pattern, rituals, traditions, dan seterusnya.
Selanjutnya, aspek yang umumnya ditekankan adalah sharing, yaitu bahwa norma-norma, nilai-nilai,
perilaku-perilaku terpola, atau tradisi itu belum cukup untuk mengkategorikan sebuah organisasi
sebagai kesatuan culture. Schein mengatakan, bahwa: “...understanding of organizational culture to
model safety culture, which means looking at three different layers of culture (artifacts, espoused
values, and basic assumptions)” Keberadaan organizational culture menurut Schein dapat ditemukan
pada tiga tingkatan yang berlapis menurut kedalamannya, yaitu:
a. Artifak (artifacts) yang terwujud di permukaan dalam bentuk benda-benda (phiysical
manifestation), perilaku (behavioral manifestation), maupun bahasa(verbal manifestation);
b. Nilai-nilai (values) dan norma-norma perilaku (norma) yang terdapat dibalik artifak - artifak culture
yang terlihat di permukaan itu;
c. Asumsi-asumsi (asumptions) dan keyakinan (beliefs) yang mendasari keberadaan nilai-nilai dan
norma-norma tersebut.
Teori ini menyatakan bahwa organizational culture muncul dari keyakinan-keyakinan
bersama. Keyakinan ini mengarahkan perilaku kolektif organisasi yang tidak selalu tampak namun
pada kenyataannya terkubur dalam lapisan nilai-nilai (values) yang dapat diamati, sikap (attitudes)
dan artifacts. Hal ini menunjukkan bahwa keyakinan (belief) dan penyebab budaya (henceculture)
hanya dapat dinilai dan ditafsirkan secara tidak langsung melalui pengamatan perilaku
manusia. Hal ini menunjukkan bahwa keyakinan (belief) dan penyebab budaya (henceculture) hanya
dapat dinilai dan ditafsirkan secara tidak langsung melalui pengamatan perilaku manusia.
2.3 LAPISAN BUDAYA KESELAMATAN (SAFETY CULTURE)
Sedangkan bila mengadopsi teori Guldenmund (2010) maka budaya keselamatan (safety
culture) itu sendiri terdiri dari lapisan-lapisan yang dianalogikan seperti lapisan pada bawang merah
dimana lapisan-lapisan tersebut berturut-turut dari luar ke dalam antara lain :
a. Artefak terdiri dari unsur-unsur nyata/terlihat dan diidentifikasi secara verbal dalam sebuah
organisasi. Contoh yaitu poster keselamatan, pesan dan slogan, dokumen & laporan terkait dengan
keselamatan, prosedur kerja & instruksi, cara memakai peralatan & APD, dll.
b. Nilai-nilai yang dianut (Espoused Value) meliputi aspek-aspek pernyataan atau aspirasi yang
dinyatakan oleh organisasi. Hal itu antara lain pernyataan tertulis atau lisan yang dibuat oleh
pengusaha / manajer (misalnya prioritas tentang tujuan keselamatan sebelum produksi). Nilai2 juga
termasuk sikap(keselamatan) pekerja terhadap : Perilaku, Orang, dan masalah2 K3 di suatu organisasi.
c. Asumsi dasar adalah hal yang mendasari keyakinan bersama tentang keselamatan di antara anggota
organisasi. Asumsi ini implisit dan tak terlihat, tapi nyata bagi anggota. Beberapa contoh asumsi yang
terkait dengan keselamatan antara lain tentang apa yang aman dan apa yang tidak di sekitar tempat
kerja, bahaya yang pekerja hadapi, tentang waktu yang dihabiskan pada keselamatan, tentang apakah
orang2 tertentu yang cenderung menunjukkan perilaku berisiko, tentang sejauh mana orang harus
mengambil inisiatif atau menunggu instruksi & tentang apakah itu diterima untuk mengoreksi
perilaku yang tidak aman orang lain, dll.
2.4 FAKTOR (DIMENSI) PADA SAFETY CULTURE
Safety climate/culture dibangun oleh berbagai faktor (dimensi), dan berbagai peneliti
mencoba mengidentifikasi dimensi-dimensi tersebut. Dimulai dari penelitian oleh Zohar (1980)
dengan 8 dimensi, diantara-Nya sikap manajemen terhadap keselamatan, dampak praktek-praktek
keselamatan kerja terhadap promosi dan yang lainya. Kemudian berkembang secara luas khususnya di
HealthCare. Penelitian Gershon et al. (2000) menghasilkan 6 faktor/dimensi diantara-Nya adalah
dukungan manajemen, umpan balik/pelatihan, minimal konflik/komunikasi yang baik dan yang
lainya. Survei tentang safety culture pasien yang sering digunakan sebagai acuan di berbagai negara
karena mempunyai sifat psikometris yang terbaik dan dirancang untuk seluruh pekerja di rumah sakit
adalah yang dilakukan oleh Sorra dan Nieva (2004), yaitu Hospital Survey on Patient Safety Culture
(HSOPSC), yang mempunyai 12 dimensi budaya keselamatan dan 2 dimensi outcome. Masih banyak
lagi penelitian tentang climate atau safety culture yang menghasilkan perbedaan dalam jumlah
dimensi/faktor yang membangunnya, dan dinilai dapat mendeteksi perhatian staf rumah sakit terhadap
patient safety. Penelitian lainnya oleh Matsubara et al. (2005), dengan setting Jepang dengan validitas
dan reliabilitas yang tinggi, sedangkan di Swiss penelitian yang dilakukan oleh Pfeiffer et al. (2008)
menghasilkan 10 dimensi, begitu juga di Belanda menjadi 11 dimensi yang dilakukan oleh Smits etal.
(2008).
Griffin dan Hart (2000) menyatakan bahwa performansi keselamatan dirumahsakit
dipengaruhi secara langsung oleh safety climate atau safety culture. Rendahnya safety culture
memiliki kontribusi positif terhadap timbulnya kesalahan dalam pelayanan kesehatan, terapi yang
tidak aman, dan berbagai kecelakaan lain yang tak terduga (medical errors, unsafe therapies,
andunintended injuries) (Hamaideh et al., 2004). Pada penelitian Glendon dan Litherland (2000) yang
menyatakan bahwa safety climate atau safety culture mempengaruhi performansi keselamatan secara
aktual. Gershon et al. (2000) yang menyatakan bahwa saat budaya keselamatan menguat, maka akan
mengakibatkan meningkatnya performansi keselamatan.
2.5 FAKTOR YANG MEMBUAT LEMAHNYA SAFETY CULTURE KHUSUSNYA DI IGD (RUMAH
SAKIT)?
Di Indonesia beberapa peneliti sudah meneliti yang terkait dengan safety climate ataupun safety
culture yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mengakibatkan lemahnya climate/culture safety
khususnya di UGD Penerapan safety climate dibagi menjadi 2 bagian yaitu eksternal dan internal
yang saling berhubungan untuk menciptakan safety climate yang lebih akurat dan dapat berjalan
dengan maksimal.
Penelitian yang dilakukan oleh Raharjo dan Dumilah (2008) mengidentifikasi safety climate pada unit
gawat darurat di rumah sakit yang dapat mengakibatkan kegagalan keselamatan dalam penanganan
pasien. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi safety climate di unit gawat darurat antara lain.
1. Faktor Prosedur Tugas
Ada beberapa bagian dari faktor prosedur tugas yang mencakup safety climate yang mengalami
kegagalan.
a. Protokol observasi intensif di UGD belum tersedia.
b. Protokol atau SOP tindakan venaseksi belum tersedia di UGD.
c. Prosedur Konsultasi kasus yang memerlukan penanganan dua atau lebih dokter konsulen/spesialis
kurang jelas dan tidak spesifik.
d. Prosedur registrasi pasien UGD kurang memadai.
2. Faktor Individu
Beberapa bagian yang mengakibatkan safety climate tidak berjalan dengan baik.
a. Keterampilan staf melakukan manajemen jalan napas pada saat tindakan resusitasi kurang
memadai.
b. Melakukan tindakan venaseksi kurang memadai.
c. Keterampilan staf dalam melakukan initial assesment pada penderita gawat darurat kurang
memadai.
d. Keterampilan triase staf kurang memadai.
3. Faktor Kerja sama Tim dan Komunikasi.
Bagian dari faktor yang berpengaruh terhadap safety climate antara lain.
a. Supervisi atasan langsung kurang memadai.
b. Instruksi tertulis tidak lengkap.
c. Komunikasi antar dokter konsulen yang menangani pasien yang sama kurang memadai.
d. Komunikasi lisan antara staf IGD dengan keluarga pasien kurang memadai.
e. Komunikasi lisan antar staf rumah sakit kurang memadai.
f. Komunikasi antar staf IGD kurang memadai.
4. Faktor Lingkungan Kerja.
Bagian dari faktor yang berpengaruh terhadap safety climate antara lain.
a. Beban kerja menangani pasien lebih dari satu pasien pada saat bersamaan sering terjadi.
b. Peralatan untuk observasi intensif di IGD kurang memadai.
5. Faktor Organisasi dan Manajemen.
Cakupan risiko di rumah sakit terdiri dari dua hal yaitu corporate risks dan clinical risks, paparan
risiko ini berpotensi merugikan organisasi rumah sakit pada berbagai aspek antara lain aspek
finansial, aspek legal, dan aspek reputasi. Pengorganisasian secara formal manajemen risiko klinis
belum secara formal dibentuk, tetapi secara informal sudah ada struktur organisasi rumah sakit yang
mengelola risiko klinis walaupun belum terintegrasi dalam satu manajemen risiko.
2.6 PENERAPAN NILAI – NILAI SAFETY CULTURE DI TEMPAT KERJA (RUMAH SAKIT)
Penerapan nilai-nilai safety dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:
a. Pertama, sosialisasi dapat dilakukan baik secara informal maupun formal, misalnya pada waktu
Morning tea session selalu dilakukan penanaman nilai-nilai tersebut melalui cerita. Sosialisasi dapat
pula dilakukan melalui walk thetalk, atau MBWA (Management By Walking Around); para pemimpin
secara berkala mendatangi para stafnya selain mengontrol juga selalu meningkatkan pentingnya
safety. Di samping itu, dilakukan sosialisasi pada ritual tertentu seperti misalnya pemilihan karyawan
teladan dan acara-acara formal family day. Slogan-slogan, poster, dan simbol-simbol yang
mempromosikan safety seyogianya dipasang tempat-tempat strategis di RS agar semua karyawan dan
pasien ikut berpartisipasi dalam menanamkan budaya safety.
b. Kedua, pelatihan yang bersasaran dari kognitif, afektif sampai pada ranah psikomotorik. Pelatihan
Root Cause Analysis (RCA) untuk mencari penyebab AEs dapat dilakukan secara berkala. RCA
adalah metode pemecahan persoalan yang berorientasi pada pengidentifikasian akar persoalan atau
kejadian. RCA memiliki banyak metode atau tools yaitu: safety-based, production-based, processed-
based, failure-based dan system based. RCA pada patient-safety culture RS mengacu pada safety-
based. Tim inti perlu memiliki kompetensi RCA yang tinggi agar mampu menganalisis penyebab
persoalan yang menyarankan penangannya.
c. Ketiga, organizational learning yang dilakukan tim inti untuk menentukan strategi pembudayaan
nilai-nilai safety. Tim tersebut secara berkala bertemu untuk menganalisis RCA dari adverse events,
menentukan pola sosialisasi serta mengevaluasi program yang telah dilaksanakan melalui riset-riset
aplikatif. Melalui organizational learning akan diperoleh tacit dan explicit know ledge yang berguna
untuk menangani persoalan AEs.
d. Keempat, keteladanan para pemimpin yang menginspirasi dan mengarahkan para anak buahnya
untuk menganut nilai-nilai safety serta mewujudkannya dalam bentuk perilaku mereka sehari-hari.
e. Kelima, sistem MSDM yang mengkaitkan aktivitas SDM: rekruitment dan seleksi, pemeliharaan
serta pengembangan dengan patient-safety culture. Sistem seleksi karyawan mengacu pada nilai-nilai
tersebut. Pembentukan nilai-nilai juga dikaitkan dengan sistem reward and punishment.
f. Keenam, sistem safety yang mendorong orang untuk sulit berbuat salah, misalnya bor gigi yang
secara otomatis berhenti jika bersentuhan dengan benda lunak seperti gusi atau lidah. Foto X-ray akan
berhenti berfungsi jika posisi pasien belum tepat benar. Pada mobil ambulans terdapat lampu
pengingat pengemudi apabila pintu belakang belum tertutup sempurna dan posisi korban belum tepat.
2.7 FAKTOR PENYEBAB SAFETY CULTURE BELUM DITERAPKAN DI RUMAH SAKIT?
Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu ningsing dan Widodo (2011)menyatakan hal yang sama. Ada
beberapa faktor yang menjadi penyebab mengapa safety culture belum benar-benar diterapkan di
rumah sakit yaitu.
1. Rendahnya tingkat kepedulian petugas kesehatan terhadap pasien, hal ini bisa dilihat dengan masih
ditemukannya kejadian diskriminasi yang dialami oleh pasien terutama dari masyarakat yang tidak
mampu.
2. Beban kerja petugas kesehatan yang masih terlampau berat terutama perawat. Perawatlah yang
bertanggung jawab terkait asuhan keperawatan kepada pasien sedangkan disisi lain masih ada rumah
sakit yang memiliki keterbatasan jumlah perawat yang menjadikan beban kerja mereka meningkat.
Selain perawat, saat ini di Indonesia juga masih kekurangan dokter terutama dokter spesialis serta
distribusi yang tidak merata. Ini berdampak pada mutu pelayanan yang tidak sama di setiap rumah
sakit.
3. Orientasi pragmatisme para petugas kesehatan yang saat ini masih melekat di sebagian petugas
kesehatan. Masih ditemukan para petugas kesehatan yang hanya berorientasi untuk mencari
materi/keuntungan semata tanpa mempedulikan keselamatan pasien.
4. Lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan terhadap para petugas kesehatan.
Lemahnya pengawasan sendiri dikarenakan beberapa faktor mulai dari terbatasnya personel yang
dimiliki dinas kesehatan sampai rendahnya bargaining position dinas kesehatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Fadillah et al. (2013) memperlihatkan bahwa penerapan safety climate
dari masing-masing faktor yang dilakukan pada rumah sakit di Sulawesi Selatan pada bagian instalasi
gawat darurat, pada penelitian ini dihasilkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap safety
climate masih memiliki hasil yang rendah.
Indonesia sebagai negara yang besar memiliki banyak penduduk yang memerlukan pelayanan
Kesehatan khususnya UGD, hal ini belum berjalan dengan maksimal berdasarkan Badan Litbang
Kesehatan (2011) jumlah UGD di setiap provinsi yang ada di Indonesia belum terpenuhi 100%. Hal
ini mengakibatkan penerapan safety climate pasien belum dapat dimaksimalkan pada bagian Unit
Gawat Darurat yang mengakibatkan banyaknya kejadian yang tidak diinginkan terjadi di rumah sakit
khususnya pada bagian Unit Gawat Darurat.
BAB 3
PENUTUPAN

3.1 KESIMPULAN
Pengertian budaya keselamatan/ safety culture hampir sama dengan budaya organisasi secara
umum, yaitu: nilai-nilai (values) yang dianut bersama antar anggota organisasi tentang apa yang
penting, keyakinan (beliefs) tentang bagaimana melakukan sesuatu di dalam organisasi, dan interaksi
nilai dan keyakinan tersebut dengan unit kerja dan struktur serta sistem organisasi, yang secara
bersama-sama menghasilkan norma perilaku dalam organisasi. Begitupun dalam penerapan di Tempat
kerja ialah bagaimana cara perusahaan atau organisasi itu dapat membudayakan keselamatan baik
pada saat bekerja maupun tidak, karna sebenarnya dalam dunia kerja keselamatan adalah yang utama,
karena aspek yang umumnya ditekankan adalah sharing, yaitu bahwa norma-norma, nilai-nilai,
perilaku-perilaku terpola, atau tradisi.
DAFTAR PUSTAKA
Dihartawan. 2018. Budaya Keselamatan. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 14 (1): 99-102.
Budihardjo Andreas. 2008. Pentingnya Safety Culture di Rumah Sakit. Jurnal Manajemen Bisnis. 1
(1): 63-64.
Suwondo Chandra. 2012. Penerapan Budaya Kerja Unggulan 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan
Shitsuke) di Indonesia. Jurnal Magister Management. 1(1): 30-31.
Budi Seyto Ilham. Widyaningsih Heriyanti. 2014. Pengembangan Model Kebijakan Behaviour Safety
Culture Dalam Rangka Peningkatan Keamanan Dan Kesehatan Lingkungan Kerja. Jurnal
Kesehatan Masyarakat JKM Cendekia Utama. 2 (1): 7.
Andi. Alifen Ratna S. Chandra Aditya. 2005. Model Persamaan Struktural Pengaruh Budaya
Keselamatan Kerja pada Perilaku Pekerja di Proyek Konstruksi. Jurnal Teknik Sipil. 12 (5) :
129-130.
Nielsen Kent J. 2014. Improving safety culture through the health and safety organization: A case
study. Journal Of Safety Research. 7 (17): 8.
Nordlof Hassae. Wiitavara Birgitta. Winblad Ulrika. Ect . Safety culture and reasons for risk-taking at
a large steel-manufacturing Company: Investigating the worker perspective. Journal Safety
Sience. 126-127.
Nieva F V. Sorra J. 2003. Safety culture assessment: a tool for improving patient safety in healthcare
organizations. Journal Qual Saf Healty Care. 12(2): 17-18.
Timothy J. Vogus and Kathleen M. Sutcliffe. 2007. The Safety Organizing Scale: development and
validation of a behavioral measure of safety culture in hospital nursing units. Journal Medical
Care. 45 (1): 46-48.
Flin Rhona. 2007. Measuring safety culture in healthcare: A case for accurate diagnosis. Journal
Safety Sience. 45 (6): 653-655
TABEL PENILAIAN :

ARIF SOFYAN KETUA BUAT PPT 100%

NURUL ANGGOTA BUAT MAKALAH 100%


SHYAFIKA

MUHAMMAD ANGGOTA BUAT PPT 100%


RIDHO ALFIKRI

Anda mungkin juga menyukai